Anda di halaman 1dari 4

Reading Report 3 Mata Kuliah Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Nama Anggota : Elva Azzahra Puji Lestari


NPM : 1906436601
Kelas/Nama Dosen Kelas : Kebijakan Luar Negeri Indonesia-A/Nurul
Isnaeni, Ph.D. & Hariyadi Wirawan, Ph.D.
Referensi : Weinstein, Franklin B. “The Uses of Foreign
Policy in Indonesia: An Approach to the Analysis
of Foreign Policy in the Less Developed
Countries”, World Politics, 24(3),1972, pp.356-381

Pendekatan Analisis Kebijakan Luar Negeri di Negara Berkembang


Artikel Franklin B. Weinstein mengungkap masalah utama terhadap pemahaman hubungan
antara kebijakan luar negeri dan masalah yang terkait dengan fenomena yaitu kurangnya analisis
yang mengeksplorasi interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan kebijakan
luar negeri. Sebagian besar analisis, kebijakan luar negeri dapat dikatakan tidak relevan secara
khusus dengan kondisi negara. Mayoritas analitis hanya menuliskan faktor dan keterkaitan, atau
mencoba membuat tingkatan variabel yang tampaknya cenderung hanya menghasilkan hasil yang
tidak konklusif. Cukup sulit berharap dalam memilih variabel tertentu sebagai faktor dominan
dalam pembentukan kebijakan luar negeri suatu negara.
Summary
Analisis pembentukan kebijakan luar negeri Indonesia membutuhkan model yang akan
memfasilitasi data sedemikian rupa untuk menerangi hubungan di antara variabel-variabel kunci.
Dalam melakukan studi kebijakan luar negeri Indonesia ini, upaya yang dilakukan untuk
menentukan apakah mungkin menggunakan salah satu dari beberapa model analitis terkenal yang
diusulkan untuk memandu penelitian tentang sumber-sumber kebijakan luar negeri. Ternyata tidak
ada yang terbukti berlaku. Tentu saja perlu untuk menjelaskan alasannya.
Model pertama yang dipertimbangkan adalah model pengambilan keputusan perintis yang
dikemukakan oleh Richard C. Snyder dan rekan-rekannya. Dimulai dengan pendekatan
pengambilan keputusan di negara yang kurang berkembang seperti Indonesia dipertanyakan.
Cukup jarang masalah yang dihadapi dengan cara yang jelas dalam hal pilihan kebijakan alternatif.
Model kedua untuk analisis sumber-sumber kebijakan luar negeri adalah "pra-teori" James N.
Rosenau. Rosenau menegaskan, semua perilaku kebijakan luar negeri dapat dijelaskan dalam hal
pengaruh relatif dari lima set variabel yaitu keistimewaan, aturan, pemerintah, masyarakat, dan
sistemik. Salah satu asumsi Rosenau adalah semua perilaku kebijakan luar negeri dapat dijelaskan
dalam lima set variabelnya. Model kebijakan luar negeri yang tampaknya dapat mengatasi
beberapa kekurangan model Rosenau adalah Michael Brecher. Brecher mengoperasionalkan
modelnya dan menunjukkan sebuah prosedur untuk menentukan kepentingan relatif serta
memasukkan spekulasi tentang gambar yang tidak diartikulasikan ke dalam kerangka
kuantitatifnya.
Pendekatan penulis bukan untuk memaksakan pada awalnya model yang didasarkan pada
deduksi tentang kebijakan luar negeri, melainkan untuk membangun model langkah demi langkah
seiring dengan kemajuan penelitian. Konsep pengorganisasian dan proses model kebijakan luar
negeri yang memandu penulisan ini dengan demikian muncul secara bertahap dari akumulasi data.
Saat proses model ini dikembangkan, akan bermanfaat untuk membahas sifat proyek penelitian
terlebih dahulu dan model itu sendiri.
Premis mendasar yang melatarbelakangi artikel Weinstein adalah menggabungkan
pendekatan sejarah tradisional yang bermanfaat dengan analisis yang menggunakan beberapa
teknik perilaku yang lebih baru. Ada beberapa sumber tambahan data, termasuk berbagai surat
kabar Indonesia, dokumen pemerintah, pernyataan partai politik, dan esai tentang identitas
nasional Indonesia. Analisis historis berfokus pada dua kebijakan yang tampaknya melambangkan
ekspresi utama kebijakan luar negeri dalam dua periode yang menjadi perhatian penelitian
Weinstein. Sumber utama analisis historis adalah wawancara dengan penduduk Indonesia dan
pejabat diplomatik asing, laporan surat kabar, dan dokumen pemerintah, termasuk beberapa yang
tidak dipublikasikan. Dalam melakukan penelitian sikap dan sejarah ini, menjadi semakin jelas
bahwa salah satu cara mengkaitkan kebijakan luar negeri dengan masalah keterbelakangan akan
dimulai dengan mengakui dinamika fundamental kebijakan luar negeri di Indonesia adalah suatu
kelemahan.
Pentingnya kelemahan untuk pembentukan kebijakan luar negeri bukanlah menempatkan
pada negara atas belas kasihan kekuatan yang lebih kuat, melainkan menentukan beberapa
perhatian utama para pembuat kebijakan. Kebijakan luar negeri di negara seperti Indonesia terikat
dengan tugas mengatasi atau menjadikan kelemahan itu merupakan sebuah kekuatan. Tidak sulit
untuk menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia terlepas dari semua perubahan yang
telah dialaminya dalam beberapa tahun terakhir, secara konsisten berupaya meringankan atau
memberikan penjelasan bagi kondisi kelemahan Indonesia.
Fokus pada penggunaan kebijakan luar negeri memungkinkan untuk mengembangkan
model di mana hubungan antara variabel-variabel yang menentukan kebijakan diperhatikan. Baik
data sikap dan historis dapat dimasukkan dalam model untuk menghasilkan proposisi tentang
hubungan antara kebijakan luar negeri dan masalah-masalah politik dan ekonomi yang terkait
dengan keadaan keterbelakangan. Di Indonesia dari tahun 1962 hingga tahun 1970, kebijakan luar
negeri tampaknya telah mengaplikasikan tiga kegunaan utama yaitu pertahanan kemerdekaan
bangsa terhadap ancaman, mobilisasi sumber daya internasional untuk pembangunan ekonomi
negara, dan pencapaian berbagai tujuan terkait untuk kompetisi politik dalam negeri. Untuk elit
Indonesia, kebijakan luar negeri pada dasarnya adalah interaksi di antara kemerdekaan,
pembangunan, dan persaingan politik.
Untuk menunjukkan bagaimana model diterapkan, pemeriksaan singkat tentang hubungan
antara pola sikap, struktur politik, dan penekanan pada independensi atau pengembangan
penggunaan kebijakan luar negeri di Indonesia dari tahun 1962 sampai 1970 adalah tepat. Data
menunjukkan bahwa sepanjang periode tersebut pola sikap yang berlaku yang menekankan
permusuhan dari dunia luar, menyiratkan perlunya kebijakan kemerdekaan yang murni. Pada
periode 1962-1966, sistem politik kompetitif dalam arti bahwa ada tiga pesaing nyata untuk
kekuasaan yaitu Sukarno, tentara, dan PKI. Dalam situasi itu, mengingat sikap yang berlaku,
kebijakan luar negeri yang menekankan perlunya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari
ancaman eksternal melayani berbagai kegunaan politik.
Perlu disempurnakan dan diuji lebih lanjut sebelum dapat dianggap sepenuhnya divalidasi
bahkan untuk Indonesia. Sehubungan dengan negara-negara lain yang tampaknya memiliki
transformasi kebijakan luar negeri yang serupa dengan Indonesia seperti Aljazair dan Ghana
adalah contoh-contoh yang konkrit. Jika hal tersebut divalidasi, paling tidak temuan ini
memerlukan modifikasi dari pernyataan bahwa pada umumnya ada insentif kuat bagi para
pemimpin karismatik di negara-negara yang kurang berkembang untuk memulai kebijakan luar
negeri yang "penuh tantangan". Sejauh mana insentif tersebut mungkin akan tergantung pada
hubungan antara pola sikap dan tingkat persaingan politik dalam sistem.
Kesimpulan
Artikel Franklin B. Weinstein yang mengungkap masalah utama terhadap pemahaman
hubungan antara kebijakan luar negeri dan masalah yang terkait dengan fenomena telah
memperlihatkan perkembangan model-model oleh para analitis seiring berjalannya waktu.
Pentingnya kelemahan untuk pembentukan kebijakan luar negeri bukanlah menempatkan pada
negara atas belas kasihan kekuatan yang lebih kuat, melainkan menentukan beberapa perhatian
utama para pembuat kebijakan. Di Indonesia dari tahun 1962 hingga tahun 1970, kebijakan luar
negeri tampaknya telah mengaplikasikan tiga kegunaan utama yaitu pertahanan kemerdekaan
bangsa terhadap ancaman, mobilisasi sumber daya internasional untuk pembangunan ekonomi
negara, dan pencapaian berbagai tujuan terkait untuk kompetisi politik dalam negeri. Untuk elit
Indonesia, kebijakan luar negeri pada dasarnya adalah interaksi di antara kemerdekaan,
pembangunan, dan persaingan politik.

Anda mungkin juga menyukai