Anda di halaman 1dari 25

PENDAHULUAN

Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikut dengan ketidakmampuan sum-sum
tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk mememenuhi kebutuhan tubuh terhadap
berkurangnya sel eritrosit, penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya hiperplasi sumsum tulang sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat dari
normal, hal ini terjadibila umur eritrosit kurang dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti
dengan anemia. Namun bila sumsum tulang tidak mampu mengatasi keadaan tersebut maka
akan terjad ianemia.
Anemia hemolitik berdasarkan etiologinya salah satunya dapat disebabkan oleh
defisiensi G6PD. Pada defisiensi G6PD, maka membran eritrosit akan lebih rentan terhadap
stress oksidan dan akan lebih mudah menimbulkan kerapuhan dikarenakan tidak kuatnya
membran dari eritrosit tersebut.
Hemolisis berbeda dengan proses penuaan (senescence) , yaitu pemecahan eritrosit
karena memang sudah cukup umurnya. Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah
(intravascular) atau di luar pembuluh darah (ekstravaskular) yang membawa konsekuensi
patofisiologik yang berbeda.
PEMBAHASAN

Anemia Hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis. Hemolisis
adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya (sebelum masa hidup
rata-rata eritrosit yaitu 120 hari). Hemolisis berbeda dengan proses penuaan (senescence) ,
yaitu pemecahan eritrosit karena memang sudah cukup umurnya. Hemolisis dapat terjadi
dalam pembuluh darah (intravascular) atau di luar pembuluh darah (ekstravaskular) yang
membawa konsekuensi patofisiologik yang berbeda.

Pada orang dengan sumsum tulang yang normal, hemolisis pada darah tepi akan direspon
oleh tubuh dengan peningkatan eritropoiesis dalam sumsum tulang. Kemampuan maksimum
sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoiesis adalah 6-8 kali normal. Apabila derajat
hemolisis tidak terlalu berat (pemendekan masa hidup eritrosit sekitar 50 hari) maka sumsum
tulang masih mampu melakukan kompensasi sehingga tidak timbul anemia. Keadaan ini
disebut sebagai keadaan hemolisis terkompensasi (compensated hemolytic state). Akan
tetapi, jika kemampuan kompensasi sumsum tulang dilampaui makan akan terjadi anemia
yang kita kenal sebagai anemia hemolitik.

Klasifikasi

 Gangguan Intrakorpuskuler
Anemia hemolitik karena factor di dalam eritrosit sendiri (intrakorpuskuler), yang
sebagian besar bersifat herediter-familier
A. Herediter-Familier
1. Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
a. Hereditary spherocytosis
Merupakan anemia hemolitik herediter diturunkan secara autosom
dominan, paling umum di Eropa Utara disebabkan cacat protein struktural
dari membran sel darah merah / defek membran. Sumsum tulang membuat
sel darah merah normal yang bikonkaf tetapi sel darah kehilangan
membrannya saat beredar melalui limpa dan sistem RES. Ratio permukaan
sel terhadap volume berkurang dan sel menjadi lebih sferis sehingga
kurang elastic melalui mikrosirkulasi dimana sferosit pecah lebih dini.
Tes Khusus:
•Fragilitas osmotik meningkat.
•Autohemolitik meningkat.
•Coomb’s direct test negatif.
•Cr51 destruksi oleh limpa terbanyak.

Panah hitam: Bentuk Sferositosis

b. Hereditary elliptocytosis
c. Hereditary stomatocytosis

2. Gangguan metabolism/enzim eritrosit (enzimopati)


a. Defek pada jalur heksosemonofosfat Defisiensi G-6PD (glucose-6
phosphate dehydrogenase)
Defisiensi G6PD diturunkan secara sex-linked, mengenai laki – laki dan
didapatkan pada wanita yang memperlihatkan kadar G6PD sel darah
merahnya setengah normal. Merupakan hemolisis intravaskuler yang
berkembang cepat dengan faktor pencetus infeksi dan penyakit akut lain,
obat-obatan dan kacang fava.
Defisiensi enzim dideteksi dengan tes penyaring pemeriksaan enzim G6PD
pada sel darah merah.

Gambaran darah tepi saat krisis: sel krenasi, sel fragmen, sel gigitan/bite,
dan sel lepuh/blister. Heinz Bodies/hemoglobin teroksidasi terdenaturasi
tampak pada retrikulosit, terutama pada saat splenektomi.
MUTASI GEN

G6PD ↓ NADPH ↓ Stress oksidatif ↑

Obat
Stress oksidatif hemolisis
(oksidan)

Eritrosit ↓
Bilirubin
direk ↑
Hematokrit ↓

lemas
Hb keluar

Bilirubin
ATP ↓ Katabolisme heme
indirek ↑↑
hemoglobinemia

Metabolisme Vasokonstriksi
O2 ↓ pucat
otot ↓ perifer

b. Defek pada jalur Embden-Meyerhoff Defisiensi piruvat-kinase


Diturunkan secara resesif otosomal homozigot. Sel darah merah lisis
karena pembentukan ATP berkurang. Sel darah merah lisis karena
pembentukan ATP berkurang. Anemia ringan dengan hemoglobin 4-10g/dl
disebabkan pergeseran kurva disosiasi O2 ke kanan akibat kenaikan 2,3
DPG dalam sel.
Pemeriksaan Laboratorium : Autohemolisis meningkat. Diagnosis pasti
dengan pemeriksaan jumlah enzim PK.
c. Nucleotide enzyme defect
3. Gangguan pembentukan hemoglobin (hemoglobinopati)
a. Hemoglobinopati structural (kelainan struktur asam amino pada rantai alfa
atau beta : HbC, HbD, HbE, HbS, unstable Hb, dll
b. Sindrom Thalassemia (gangguan sintesis rantai alfa atau beta) Thalasemia
alfa, beta , dll
c. Heterosigot ganda hemoglobinopati dan thalassemia Thalassemia-HbE, dll
B. Didapat
1. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH)
Hemoglobinuria Paroksismal Nokturnal adalah anemia hemolitik yang jarang
terjadi, yang menyebabkan serangan mendadak dan berulang dari
penghancuran sel darah merah oleh sistem kekebalan.

Penghancuran sejumlah besar sel darah merah yang terjadi secara mendadak
(paroksismal), bisa terjadi kapan saja, tidak hanya pada malam hari
(nokturnal), menyebabkan hemoglobin tumpah ke dalam darah.
Ginjal menyaring hemoglobin, sehingga air kemih berwarna gelap
(hemoglobinuria).

Anemia ini lebih sering terjadi pada pria muda, tetapi bisa terjadi kapan saja
dan pada jenis kelamin apa saja.
Penyebabnya masih belum diketahui.

Penyakit ini bisa menyebabkan kram perut atau nyeri punggung yang hebat
dan pembentukan bekuan darah dalam vena besar dari perut dan tungkai.

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium yang bisa


menemukan adanya sel darah merah yang abnormal, khas untuk penyakit ini.

Untuk meringankan gejala diberikan kortikosteroid (misalnya prednison).


Penderita yang memiliki bekuan darah mungkin memerlukan antikoagulan
(obat yang mengurangi kecenderungan darah untuk membeku, misalnya
warfarin).
Transplantasi sumsum tulang bisa dipertimbangkan pada penderita yang
menunjukkan anemia yang sangat berat.

 Gangguan Ekstrakorpuskuler
Anemia hemolitik karena factor di luar eritrosit (ekstrakorpuskuler), yang sebagian
besar bersifat didapat (acquired).
A. Didapat
1. Imun
a. Autoimun
 Warm antibody type
 Cold antibody type
b. Aloimun
 Hemolytic transfusion reactions
 Hemolytic disease of newborn
 Allograft (bonemarrow transpalantation)
2. Drug associated
3. Red cell fragmentation syndromes
a. Graft arteri
b. Katup jantung (buatan)
4. Mikroangiopatik
a. Thrombotic Thrombocytopenic purpura (TTP)
b. Hemolytic uremic syndrome (HUS)
c. Disseminated intravascular coagulation (DIC)
d. Pre-eklampsia
5. March hemoglobinuria
6. Infesksi
a. Malaria
b. Clostridia
7. Bahan kimia dan fisik
a. Obat
b. Bahan kimia dan rumah tangga
c. Luka bakar luas
8. Hipersplenisme
Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh 2 faktor yang berbeda yaitu faktor intrinsik & faktor
ekstrinsik.

Faktor Intrinsik
Yaitu kelainan yang terjadi pada sel eritrosit. Kelainan karena faktor ini dibagi menjadi tiga
macam yaitu:
1. Karena kekurangan bahan baku pembuat eritrosit
2. Karena kelainan eritrosit yang bersifat kongenital contohnya thalasemia & sferosis
kongenital
3. Abnormalitas dari enzim dalam eritrosit

Faktor Ekstrinsik
Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
1. Akibat reaksi non imumitas : karena bahan kimia / obat
2. Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh antibodi yang dibentuk oleh
tubuh sendiri.

Tanda-tanda proses hemolisis : Penghancuran eritrosit yang berlebihan akan menunjukan


tanda-tanda yang khas yaitu:
1. Perubahan metabolisme bilirubin dan urobilin yang merupakan hasil pemecahan eritrosit.
Peningkatan zat tersebut akan dapat terlihat pada hasil ekskresi yaitu urin dan feses.
2. Hemoglobinemia : adanya hemoglobin dalam plasma yang seharusnya tidak ada karena
hemoglobin terikat pada eritrosit.
Pemecahan eritrosit yang berlebihan akan membuat hemoglobin dilepaskan kedalam plasma.
Jumlah hemoglobin yang tidak dapat diakomodasi seluruhnya oleh sistem keseimbangan
darah akan menyebabkan hemoglobinemia.
3. Masa hidup eritrosit memendek karena penghancuran yang berlebih.
4. Retikulositosis : produksi eritrosit yang meningkat sebagai kompensasi banyaknya eritrosit
yang hancur sehingga sel muda seperti retikulosit banyak ditemukan.

Diagnosa Anemia Hemolitik


1. Menentukan Anemia Hemolitik dibandungkan dengan anemia jenis lain dengan
memeriksa:
- adanya tanda penghancuran dan pembentukan eritrosit pada waktu yang sama
- terjadinya anemia yang diikuti dengan sistem eritropoesis yang meningkat (hipersensitivitas
eritropoesis)
- terjadinya penurunan kadar hemoglobin dengan cepat tanpa diimbangi dengan proses
eritropoesis yang normal.
2. Menentukan penyebab spesifik dari anemia hemolitik tersebut.
3. Mengklasifikasikan termasuk ke dalam jenis anemia hemolitik apa

Gambaran apus darah penderita anemia hemolitik ditandai dengan mikrosferosit (hiperkrom
mikrositer) dan bentuk eritrosit abnormal.

Pemeriksaan Lab
1. Gambaran penghancuran eritrosit yang meningkat:
- bilirubin serum meningkat
- urobilinogen urin meningkat, urin kuning pekat
- strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam

2. Gambaran peningkatan produksi eritrosit


- retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital
- hiperplasia eritropoesis sum-sum tulang

3. Gambaran rusaknya eritrosit:


- morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom mikrositer, target cell,
sickle cell, sferosit.
- fragilitas osmosis, otohemolisis
- umur eritrosit memendek. pemeriksaan terbaik dengan labeling crom. persentasi aktifikas
crom dapat dilihat dan sebanding dengan umur eritrosit. semakin cepat penurunan aktifikas
Cr maka semakin pendek umur eritrosit

Anemia hemolitik akuisita

1. Anemia hemolitik autoimun (AIHA) terjadi ketika terdapat autoantibodi yang


berikatan dengan eritrosit, sehingga menghancurkan sel darah merah dan berujung
pada manifestasi anemia. Anemia hemolitik autoimun menandakan adanya kegagalan
dalam mekanisme pengenalan antigen diri. Mekanisme spesifik dari AIHA sendiri
belum jelas sampai saat ini.1 Sindrom AIHA secara umum dibagi berdasarkan
hubungan antara aktivitas antibodi dan suhu. Antibodi tipe hangat yaitu molekul IgG
mempunyai afinitas maksimal pada eritrosit di suhu tubuh. Sedangkan antibodi tipe
dingin yaitu molekul IgM, mempunyai afinitas maksimal pada eritrosit di suhu
rendah.

Insidens dari AIHA tipe hangat sekitar satu dari total 75-80.000 populasi di USA.
Anemia hemolitik autoimun tipe hangat dapat muncul pada usia berapapun, tidak
seperti AIHA tipe dingin yang seringkali menyerang usia pertengahan dan lanjut, atau
Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH) yang melibatkan usia kanak.2 Namun, di
Indonesia tidak ada data yang khusus membahas tentang prevalensi dan insiden kasus
AIHA secara nasional.

Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic anemia/ AIHA) merupakan suatu


kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit
memendek.

Etiologi

Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
autoreaktif residual. Adapun klasifikasi dari penyebab anemia hemolitik autoimun
sebagai berikut:
Patofisiologi

Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi sistem
komplemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi keduanya

Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya


membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskular yang ditandai dengan
hemoglobinemia dan hemoglobinuria.

Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM,
IgG1, IgG2, IgG3 disebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan
dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah
suhu tubuh. Antibodi IgG disebut agglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen
permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
Klasifikasi

A. Anemia hemolitik tipe hangat


B. Anemia hemolitik tipe dingin

A. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat

Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi secara optimal
pada suhu 37°C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain. Eritrosit
biasanya dilapisi oleh immunoglobulin (IgG) saja atau dengan komplemen, dan karena itu,
diambil oleh makrofag retikuloendotelial yang mempunyai reseptor untuk fragmen Fc IgG.
Bagian dari membran yang terlapis hilang sehingga sel menjadi makin sferis secara progresif
untuk mempertahankan volume yang sama dan akhirnya dihancurkan secara prematur,
terutama di limpa. Jika sel dilapisi IgG dan komplemen (C3d, fragmen C3 yang terdegradasi)
atau komplemen saja, destruksi eritrosit menjadi lebih banyak dalam sistem
retikuloendotelial.

Gejala dan Tanda: penyakit ini dapat terjadi pada semua usia dan semua jenis kelamin,
timbul sebagai anemia hemolitik dengan keparahan yang bervariasi. Limpa seringkali
membesar. Penyakit ini cenderung mengalami remisi dan relaps; dapat timbul sendiri atau
disertai penyakit lain, atau muncul pada beberapa pasien akibat terapi metildopa.

Awitan penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan demam. Pada
beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia
berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuria. Ikterik terjadi pada 40% pasien.
Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%, Hepatomegali terjadi pada 30%, dan
limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ
dan limfonodi.

Laboratorium: temuan laboratorium dan biokimia bersifat khas pada anemia hemolitik
ekstravaskular dengan sferositosis yang menonjol dalam darah tepi. Hemoglobin sering
dijumpai di bawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk biasanya positif. Autoantibodi tipe
hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit.
Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal.
Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien
sendiri, biasanya antigen Rh.

Prognosis dan Survival: Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan
sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun terkendali.
Survival 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli paru, infark limpa, dan kejadian
kardiovaskular lain 14ias terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun
sebesar 15-25%. Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit yang mendasari.

Terapi:

- Kortikosteroid: 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan


menunjukkan respon klinis baik (Ht meningkat, retikulosit menurun, tes coombs direk
positif lemah, tes comb indirek negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada
hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respon terhadap steroid, dosis diturunkan
tiap minggu 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis <30 mg/hari diberikan secara selang
sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah,
namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Ht, maka
perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.

- Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis
selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa
terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit
terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan
eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun
tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah
splenektomi.
- Imunosupresi. Azatioprin 50-200 mg/hari, siklofosfamid 50-150 mg/hari.

Terapi lain: danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama


steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol
diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Terapi immunoglobulin (400 mg/kgBB per hari
selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan
terapi ini juga tidak efektif pada beberapa pasien lain. Jadi terapi ini diberikan
bersama terapi lain dan responnya hanya bersifat sementara. Terapi plasmafaresis
masih kontroversial.

- Terapi transfusi. Terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada


kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb < 3 g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil
menunggu steroid dan immunoglobulin untuk berefek.

B. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Dingin

Pada tipe ini, autoantibodi, baik monoklonal (seperti pada sindrom hemaglutinin dingin
idiopatik atau yang terkait dengan penyakit limfoproliferatif) atau poliklonal (seperti sesudah
infeksi) melekat pada eritrosit terutama di sirkulasi perifer dengan suhu darah yang
mendingin. Antibodi biasanya adalah IgM dan paling baik berikatan dengan eritrosit pada
suhu 4°C. Antibodi IgM sangat efisien dalam memfiksasi komplemen dan dapat terjadi
hemolisis intrvaskular dan ekstravaskular. Komplemen sendiri biasanya terdeteksi pada
eritrosit, antibodinya telah mengalami elusi dari sel pada bagian sirkulasi yang lebih hangat.
Pada hampir semua tipe ini, antibodi ditujukan pada antigen ‘I’ di permukaan eritrosit.

Gambaran klinis: Pasien mungkin menderita anemia hemolitik kronik yang diperburuk oleh
dingin dan seringkali disertai dengan hemolisis intravascular. Dapat terjadi ikterus ringan dan
splenomegali. Pasien dapat menderita akrosianosis di ujung hidung, telinga, jari-jari tangan
dan kaki yang disebabkan oleh aglutinasi eritrosit dalam pembuluh darah kecil. Hemolisis
berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb 9-12 g/dl.

Laboratorium: Anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs langsung


memperlihatkan komplemen (C3d) saja pada permukaan eritrosit, eritrosit beraglutinasi
dalam suhu dingin.
Prognosis dan Survival: Pasien dengan sindrom kronik akan memiliki survival yang baik
dan cukup stabil.

Terapi: Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis, prednisone dan
splenektomi tidak banyak membantu, klorambusil 2-4 mg/hari, plasmaferesis untuk
mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi hemolisis, namun secara praktik hal
ini sukar dilakukan.

2. Anemia Hemolitik Imun Diinduksi Obat

Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu:


hapten/penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks
ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander), induksi autoantibodi yang
bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin.
Penyerapan/absorbsi protein non-imunologis terkait obat akan menyebabkan tes coombs
positif tanpa kerusakan eritrosit.

- Pada mekanisme hapten/absorbsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan kuat.
Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan
eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa.
Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang
mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misal penisilin).

- Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat,


tempat ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktivasi komplemen. Antibodi
melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel
target tersebut lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat
ataupun membrane eritrosit. Beberapa antibodi itu memiliki spesifisitas terhadap
antigen golongan darah tertentu. Pemeriksaan coombs biasanya positif. Setelah
aktivasi komplemen terjadi hemolisis intravaskular, hemoglobinemia, dan
hemoglobinuria. Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin,
sulfonamide, sulfonylurea, dan tiazid.
- Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog,
seperti contoh metildopa. Metildopa yang bersirkulasi dalam plasma akan
menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel darah
merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah autoantibodi,
sedangkan obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi autoantibodi
ini tidak diketahui.

- Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin mengikat
oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif.
Eritrosit yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena
proses oksidasi adalah dengan ditemukannya methemoglobin, sulfhemoglobin, dan
Heinz bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang
menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin,
aminosalicylic acid. Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes coombs
positif karena absorbsi non-imunologis, immunoglobulin, komplemen, albumin,
fibrinogen, dan plasma protein lain pada membran eritrosit.

Gambaran klinis: Adanya riwayat pemakaian obat tertentu. Pasien yang timbul hemolisis
melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis
ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolisis akan terjadi
secara berat, mendadak, dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat
tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemajanan dengan dosis tunggal.

Laboratorium: Anemia, retikulositosis, MCV tinggi, tes coombs positif, leukopenia,


trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada hemolisis yang
diperantarai kompleks ternary.

Terapi: dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis dapat
dikurangi. Kortikosteroid dan tranfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat.
3. Anemia Hemolitik Aloimun karena Transfusi

Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan karena
ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A pada pasien
golongan darah O yang memiliki antibodi IgM anti-A pada serum) yang akan memicu
aktivasi komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan menimbulkan DIC dan
infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan sesak nafas, demam, nyeri pinggang,
menggigil, mual, muntah, dan syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah
transfusi, biasanya disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen
minor eritrosit. Setelah terpapar dengan sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat
kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.

Di klinik, khususnya penyakit dalam, anemia hemolitik yang paling sering dijumpai adalah
anemia hemolitik autoimun.

I. Gambaran Klinik
Gambaran klinik sangat bervariasi, disebabkan oleh perjalan penyakit (akut atau
kronik) dan tempat kejadian hemolisis (ekstravaskular atau intravaskuler)
sehingga pada umumnya dilihat dari gejala kliniknya, anemia hemolitik dapat
dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu :

a. Anemia hemolitik kronik herediter-familier


Didominasi oleh gejala akibat hemolisis ekstravaskuler yang berlangsung
perlahan-lahan
b. Anemia hemolitik akut didapat ( acquired)
Terjadi hemolisis ekstravaskuler masif atau hemolisis ekstravaskuleR

Gejala klinik anemia hemolitik dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Gejala umum anemia


Gejala umum akan timbul jika hemoglobin turun < 7-8 g/dl. Makin berat
penurunan kadar hemoglobin makin berat gejala yang timbul. Beratnya gejala
juga ditentukan oleh kecepatan penurunan kadar hemoglobin.
2. Gejala Hemolitik
Pada anemia hemolitik kronik familier herediter gejala klinik dapat timbul
berupa
a. Ikterus
Akibat dari peningkatan bilirubin indirekdi dalam darah
b. Splenomegali dan hepatomegali
Splenomegali pada umumnya ringan sampai sedang, tetapi kadang-kadang
dapat besar sekali. Hepatomegali lebih jarang dijumpai dibandingkan
splenomegali, karena makrofag dalam limfa lebih aktif dibandingkan
makrofag pada hati.
c. Kholelitiasis
d. Ulkus pada kaki
e. Kelainan tulang

II. Pemeriksaan Laboratorium


Kelainan Laboratorium pada anemia hemolitik
a. Adanya anemia
- Penurunan hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit
- Penurunan Hb>1 g/dl dalam waktu satu minggu khas pada hemolitik akut
didapat
b. Tanda-tanda hemolisis
- Penurunan masa hidup eritrosit
- Peningkatan katabolisme heme
i. Peningkatan produksi karbonmonoksid (CO) endogen
ii. Peningkatan urobilinogen urin dan sterkobilinogen feses
- Peningkatan aktivitas LDH serum
- Penurunan haptoglobin serum
- Penurunan hemoglobin terglikolisasi
- Tanda-tanda hemolisis intravascular
i. Hemoglobinemia
ii. Hemoglobinuria
iii. Hemosiderinuria
iv. Methemalbunemia
v. Penurunan kadar hemopeksin serum
c. Kompensasi sumsum tulang
- Retikulositosis
- Polikromasia pada darah tepi
- Hiperplasia normoblastik pada sumsum tulang

d. Kelainan laboratorium akibat penyakit dasar


- Tes Coomb positif
- Tes fragilitas osmotic
- Kelainan morfologik eritrosit

III. Patofisiologi
Proses hemolisis akan menimbulkan sebagai berikut
1. Penurunan hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia.
2. Peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalam tubuh. Hemolisis berdasarkan
tempatnya dibagi dua, yaitu :
a. Hemolisis ekstravaskuler
Lebih sering dijumpai dibandingkan hemolisis intravaskuler. Hemolisis
terjadi pada sel makrofag dari system RES (retikuloendothelial) terutama
pada lien, hepar, dan sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim
heme oxygenase. Lisis terjadi karena kerusakan membrane (misalnya
akibat reaksi antigen antibody), presipitasi hemoglobin dalam sitoplasma,
dan menurunnya fleksibilitas eritrosit. Kapiler lien dengan diameter yang
relative kecil dan suasana relative hipoksik akan member kesempatan
destruksi sel eritrosit, mungkin melalui mekanisme fragmentasi.
Hemoglobin

Heme Globin

Besi Protoporfirin Pool protein

Makrofag (RES) CO Bilirubin unconjugated Reutilisasi


Hati
Reutilisasi Bilirubin conjugated
Empedu

Urobilinogen Sterkobilinogen
Hemoglobin

Urine Feses

b. Hemolisis Intravaskuler

Pemecahan eritrosit intravaskuler menyebabkan lepasnya hemoglobin


bebas ke dalam plasma.
Hemoglobin

Hemoglobin bebas dalam plasma (hemoglobinemia)


Haptoglobin Oksidasi Ginjal
Hemopeksin
Kompleks Hb- Kompleks Hb- Methemo-
Hemoglobinuria
Haptoglobin hemopeksin globinemia

Clearance Clearance oleh Epitel tubulus


Oleh RES RES
Hemosiderinuria

Pemecahan eritrosit intravascular akan melepaskan banyak LDH yang


terdapat dalam eritrosit sehingga LDH serum meningkat.

3. Kompensasi sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoiesis


Destruksi eritrosit dalam darah tepi akan merangsang mekanisme biofeedback
(melalui eritropoietin) sehingga sumsum tulang meningkatkan eritropoiesis.
Sumsum tulang normal dapat meningkatkan kemampuan eritropoiesisnya 6-8
kali lipat. Peningkatkan ditandai oleh peningkatan jumah normoblas di
sumsum tulang sehingga terjadi hyperplasia normoblastik. Normoblas sering
dilepaskan ke darah tepi sehingga terjadi normoblastemia. Sel retikulosit akan
dilepaskan ke darah tepi sehingga terjadi retikulositosis dalam darah tepi. Sel-
sel eritrosit warnanya tidak merata disebut polikromasia. Produksi system lain
dalam sumsum tulang sering ikut terpacu sehingga terjadi leukositosis dan
trombositosis ringan.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan referat yang berjudul
“Anemia Hemolitik” tepat pada waktunya.
Diharapkan referat ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang hal-hal
mengenai anemia hemolitik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi
kesempurnaan referat ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan referat ini dari awal sampai akhir. Dan juga penulis ingin berterima kasih
kepada dr. H. A. Syaiful Karim, Sp. PD yang telah menyempatkan waktu untuk bimbingan
referat ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Jakarta, 5 Januari 2013

Penulis
REFERAT
ANEMIA HEMOLITIK

DOKTER PEMBIMBING:
Dr. H. A. SYAIFUL KARIM, Sp. PD
DISUSUN OLEH:
PAULA DEWI ALAMANDA
(030.06.192)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

Anda mungkin juga menyukai