Anda di halaman 1dari 7

INFEKSI JAMUR

A. Definisi
Suatu kondisi infeksi baik lokal maupun sistemik yang disebabkan oleh jamur
yang menginfeksi tubuh.

B. Epidemiologi
Prevalensi infeksi jamur menunjukkan baik peningkatan maupun penurunan
dari waktu ke waktu. Peningkatan disebabkan oleh bertambahnya jumlah orang
dengan kondisi immunocompromised, serta banyaknya penggunaan obat-obatan
antijamur serta profilaksis yang menyebabkan resistensi. Semetara itu,
penurunannya disebabkan salah satunya oleh kemajuan teknologi dan taraf hidup
masyarakat, sehingga lebih mengerti tentang bagaimana menjaga kebersihan dan
kesehatan diri dan lingkungan yang baik. Jika dilihat dari faktor iklim, prevalensi
infeksi jamur lebih banyak terjadi di negara beriklim tropis karena suhu dan
kelembabannya yang relatif stabil.

C. Klasifikasi dan Etiologi


Berdasarkan jaringan di mana agen penginfeksi (jamur) terkolonisasi, infeksi
jamur dibedakan menjadi:
 Infeksi superficial
Adalah infeksi jamur yang hanya menginvasi jaringan superfisialis yang
terkeratinisasi seperti rambut, kulit, dan kuku. Contoh : infeksi Tinea capitis
serta Malassezia furfur.
 Infeksi sistemik (invasif)
Adalah infeksi jamur yang menginvasi organ-organ dalam, fokus
utammanya umumnya adalah paru-paru, dan menyebar ke jaringan lain
bahkan sampai ke selaput otak. Contoh : infeksi Cryptococcus neoformans
dan Histoplasma capsulatum.
Berdasarkan etiologinya, infeksi jamur dibedakan menjadi:
 Aspergilosis : disebabkan oleh Aspergillus sp. Umumnya merupakan
infeksi sistemik yang terjadi di paru-paru.
 Blastomikosis : disebabkan oleh Blastomyces sp. Infeksinya terjadi
pertama di oaru-paru lalu menyebar ke kulit.
 Candidiasis : disebabkan oleh jamur spesies Candida. Infeksinya terjadi di
paru-paru, mulut, serta vagina.
 Coccidiodomikosis : disebabkan oleh Coccidioydes sp. Infeksinya
pertama terjadi di paru, gejalanya seperti flu, namun kemudian menyebar
ke seluruh tubuh.
 Cryptococosis : disebabkan oleh Cryptococcus sp. Infeksinya terjadi di
selaput otak, kulit, dan paru-paru.
 Histoplasmosis : disebabkan oleh spesies Histoplasma. Infeksinya
berupa pneumonia pada paru-paru.
 Mucormikosis (zygomikosis) : disebabkan oleh ordo Mucorales.
Infeksinya pada paru-paru serta darah.
 Paracoccidiodomikosis : disebabkan oleh spesies Paracoccidioides.
Infeksinya terjadi pada nodus limfe.
 Sporotrichosis : disebabkan oleh spesies Sporothrix . Infeksinya terjadi
pada pembuluh limfe dan kulit.
 Tineasis : disebabkan oleh spesies Tinea. Umumnya berupa infeksi
kulit lokal.

D. Patofisiologi
Infeksi jamur diawali dengan masuknya spora jamur ke dalam tubuh atau
melekatnya spora tersebut pada kulit. Infeksi sistemik umumnya diawali dengan
terhirupnya spora ke dalam paru-paru, atau pada candidiasis vulvovaginal infeksi
dapat terjadi karena spora masuk melalui lubang vagina karena kurangnya
kebersihan. Sebenarnya tubuh memiliki proses pertahanan terhadap infeksi jamur,
akan tetapi kekuatannya sangat bervariasi antar individu tergantung tingkat daya
tahannya. Pada pasien dengan kondisi immunocompromised infeksi jamur bahkan
yang sifatnya oportunistik sangat mudah terjadi. Setelah spora masuk dan melewati
lini pertahanan tubuh, dengan kondisi tertentu spora dapat berkembang menjadi
jamur dan membentuk koloni di dalam tubuh atau pada jaringan superfisial. Hal
tersebut akan menimbulkan gejala lokal maupun sistemik.

E. Gambaran Klinis
Infeksi superfisial
 Gatal pada bagian yang terinfeksi, bertambah gatal saat panas dan
berkeringat
 Timbul manifestasi pada kulit berupa kemerahan, keputih-putihan, agak
kuning, dsb. Lesi berupa pulau-pulau.
 Keratolitik (kulit mengelupas)
 Sariawan
Infeksi sistemik
 Flu-like syndrome
 Mallaise
 Pusing, nyeri
 Demam

F. Terapi
1) Outcome : sembuh
2) Tujuan : eradikasi agen penginfeksi, mengurangi ketidaknyamanan
dari gejala yang timbul
3) Sasaran : bagian yang terinfeksi
4) Strategi :
 Farmakologis :
o Agen antifungi topikal : ketokonazole, miconazole, terbinafine,
nistatin, dsb.
o Agen antifungi sistemik : griseofulvin, ketokonazole, dll.
 Non-farmakologis :
o Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
o Rajin mandi
o Tidak bertukar handuk, pakaian, dan berganti pakaian dalam
setiap berkeringat dan saat mandi.
o Menjaga asupan nutrisi yang baik.

G. Kasus
Nama : Ny. Sumiarti
Umur : 25 tahun
Alamat : Krasak GK II/24
Keluhan : gatal-gatal pada bagian paha sampai bokong serta pada kaki,
bertambah gatal saat berkeringat, terasa berair.
Latar belakang pasien : pekerjaan sebagai tukang cuci.
R/
Griseofulvin 125 mg
No. XXVII
S 2 dd tab II
Miconazol 2%
S 2 dd u.e.
CTM 4 mg
No. X
S 2 dd tab I prn

H. Guideline Terapi (Treatment Guidelines for Medicine and Primary Care, 2004)
1) Tinea cruris (jock itch)
Merupakan infeksi jamur (dermatofitosis) pada bagian paha sampai bokong.
Gejala : papula dan pustula, gatal.
Terapi : topical antifungal.
2) Tinea pedis (athlete’s foot)
Merupakan infeksi jamur (dermatofitosis) pada bagian kaki.
Terapi : agen antifungi topikal seperti econazole (Spectazole), ketoconazole
(Nizoral), and terbinafine (Lamisil).

I. Analisis Kasus
1) Medical problem : tinea cruris dan tinea pedis
2) Terapi
a) Griseofulvin
Kandungan : griseofulvin 125 mg
Indikasi : pengobatan infeksi jamur (ring-worm) pada kulit,
rambut dan kuku yang disebabkan oleh Microsporum, Epidermophyton
dan Trichophyton.
Kontra Indikasi :
Pasien yang menderita penyakit porfiria, gangguan sel hati dan pasien
yang hipersensitif terhadap griseofulvin. Jangan digunakan pada
penderita yang sedang hamil, menyusui dan penderita lupus
erythematosus sistemik.
Cara Kerja Obat :
Griseofulvin menghambat mitosis jamur dengan berkaitan dengan
mikrotubulus dan menghambat polimerisasi tubulin menjadi mikrotubulus.
Dosis:
Dewasa, pada umumnya 4 kali sehari 1 tablet sudah cukup. Untuk
kasus tertentu mungkin diperlukan dosis awal yang lebih tinggi yaitu 8
tablet sehari. Anak-anak, sehari 10 mg per kg berat badan. Lama
pengobatan dilakukan paling sedikit 4 minggu. Untuk kasus tertentu
misalnya infeksi kuku, pengobatan dapat berlangsung selama 6 - 12
bulan. Terapi dihentikan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah infeksi
hilang.
Efek Samping:
Efek samping bersifat ringan dan sementara, misalnya: sakit kepala,
rasa kering pada mulut, iritasi lambung dan rash kulit. Reaksi
hipersensitivitas: urtikaria, edema angioneurotik. Proteinuria,
hepatotoksisitas.

b) Miconazole krim
Kandungan : miconazole 2%
Indikasi : pengobatan infeksi jamur superfisial
Kontra Indikasi :
Wanita hamil, hipersensitif terhadap komponen obat ini
Cara Kerja Obat :
Menghambat 14-α-demetilase, enzim yang bertanggung jawab untuk
sintesis ergosterol (sterol utama membran sel jamur). Pada konsentrasi
tinggi menyebabkan kebocoran sel pada jamur.
Dosis:
Untuk pengobatan topikal dengan salep 2%.
Efek Samping:
Iritasi, pruritus, rana panas.

c) CTM
Kandungan : chlortrimeton (Chlorpheniramin maleat 4 mg)
Indikasi : pengobatan gejala-gejala alergi, seperti: bersin,
rinorrhea, urticaria, pruritis, dll.
Cara Kerja Obat :
Menghambat biosintesis histamin (mediator reaksi alergi)
Dosis:
Dewasa: 3 - 4 kali sehari 2-4 mg
Anak-anak 6 - 12 tahun : 0.5 dosis dewasa.
Anak-anak 1 - 6 tahun : 0.25 dosis dewasa.
Efek Samping:
Mengantuk

3) DRP
Medication Error : Prescribing (ketidaklengkapan instruksi pada resep yang
berhubungan dengan aturan pakai dari obat tersebut, seperti pada
griseofulvin seharusnya ditulis p.c./ post coenam / sesudah makan).
Dalam resep tidak disebutkan berapa tube mikonazol krim yang harus
diberikan pada pasien, padahal untuk pengobatan tine cruris dan tinea pedis
secara topikal harus dilakukan selama 4 minggu. Seharusnya tertulis
s.d.i.3plo (diberikan 3 kalinya).
Drug Therapy Problems :
 P.4.6 : obat tanpa indikasi
 Pemberian CTM tanpa indikasi terjadinya alergi. Jika CTM ditujukan
untuk mengatasi efek samping dari penggunaan mikonazol berupa
pruritis, maka dapat diatasi dengan tindakan nonfarmakologis,
seperti cara mengoleskan salep yang tidak berlebih dan hanya
pada lesi akibat jamur.
 P.3.3 : pemilihan obat salah
 Dalam guideline yang digunakan disebutkan bahwa infeksi tinea
cruris dan tinea pedis dapat diatasi hanya dengan pemberian
antijamur topikal seperti terbinafine HCl atau obat-obat golongan
imidazole. Dengan demikian pemberian griseofulvin dirasa tidak
diperlukan. Secara empiris pemberian terapi antifungi seringkali
dikombinasikan antara antibiotik sistemik dan topikal, akan tetapi
hal tersebut akan memperbesar kemungkinan resistensi. Jika
griseofulvin tetap diberikan pun dosisnya kurang karena
pengobatan infeksi dermatofit pada kulit dengan griseofulvin harus
dilakukan minimal 4 minggu dengan dosis terbagi 500 mg per hari
(pada resep yang diberikan hanya 250mg per hari selama 2 1
minggu). Untuk mendukung terapi sebaiknya diganti dengan usaha
non-farmakologis seperti eningkatkan asupan gizi.
4) Plan
1. Tidak memberikan CTM dan griseofulvin
2. Krim mikonazol digunakan secara teratur 2 kali sehari selama 4 minggu
pada bagian lesi saja untuk mencegah efek samping pada kulit.

5) Monitoring
1. Memonitor ketaatan pasien dalam meminum obat sehingga mencapai
outcome yang diharapkan.
2. Memonitoring gejala-gejala yang terjadi, terutama apakah ada respon
terhadap medikasi yang diberikan, ditandai dengan pengurangan lesi yang
timbul.

6) KIE
1. Lebih menjaga kebersihan diri
2. Mikonazol dioleskan tidak berlebihan dan hanya bagian lesi saja
3. Jika selesai bekerja kaki dan bagian tubuh yang basah atau berkeringat
dikeringkan
4. Tidak bertukar handuk dan pakaian
5. Rajin berganti pakaian
6. Kembali berobat jika tidak terjadi perubahan sama sekali setelah 2 minggu
pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai