Anda di halaman 1dari 10

REVIEW BUKU

PELAYANAN PEMERINTAHAN DISEKTOR PUBLIK

Dosen Pengampu :

Gazali Rahman, S.Sos M.Si

DISUSUN OLEH:

ALDA FANI NUR RAFIKAH

1710413620008

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

PRODI ILMU PEMERINTAHAN

2019
KUALITAS PELAYANAN SEKTOR PUBLIK: TETAP
MENJADI ISSUE PENTING
Oleh. Haris Faozan

LATAR BELAKANG

Perubahan yang terjadi dalam masyarakat saat ini telah mendorong perkembangan dan
peningkatan bidang jasa pelayanan baik yang dijalankan oleh pemerintah maupun swasta.
Perkembangan sektor jasa layanan tersebut tumbuh seiring dengan semakin meningkatnya
tuntutan dan kebutuhan publik Karena tuntutan dan kebutuhan publik yang demikian inilah
maka para pihak penghasil jasa terdorong untuk meningkatkan kecepatan, kemudahan dan
kesederhanaan dalam pelayanan mereka guna mencapai hasil pelayanan yang berkualitas
(service exellence).

Pada era '90 an, kualitas pelayanan (service quality) mulai menjadi sorotan yang luar biasa.
Prinsip "putting the customers first" semakin bergema sehingga organisasi-organisasi penghasil
jasa berlomba-lomba menerapkan prinsip tersebut. Namun demikian ternyata hal itu tidaklah
semudah membalik tangan Karena untuk dapat menerapkan prinsip tersebut sebuah organisasi
penghasil jasa harus juga memahami konsep manajemen perubahan (change management)
sehingga mampu menerapkan strategi yang terpadu dan menyeluruh (integrated and holistic
strategy) agar efisiensi dan efektivitas dapat dicapai (Rich & Mifflin dalam Berger et al. (eds),
1994). Hal tersebut tidak saja berlaku bagi organisasi privat akan tetapi organisasi publik pun
demikian apabila tidak menginginkan citranya semakin terbenam.

Tulisan ini pertama-tama akan membahas mengenai makna kualitas pelayanan. Kemudian akan
dilanjutkan dengan membahas tentang arti penting kualitas pelayanan di era sekarang. Tulisan
ini akan ditutup dengan sebuah kesimpulan.

KUALITAS PELAYANAN

Pelayanan (service) sebagai suatu produk seringkali sulit didefinisikan dibandingkan dengan
mendefinisikan produk yang berupa barang (goods). Oleh karena muncul definisi yang
memiliki pemahaman secara lebih luas. Gronroos (1990) membuat elaborasi dari berbagai
definisi tentang pelayanan sebagai berikut :
A service is an activity normally, but not necessarily, take place in interactions
between the customer and the service employee and/or physical resources or
goods and/or systems of the service provider, which are or series of activities of
more or less intangible nature that provided as solution to customer problems.

Sementara dipihak lain, Gummesson (1987) membuat definisi sederhana sebagai usaha
menemukan definisi yang lebih dapat diterima, yaitu "services are something which can
be bought and sold but which you can not drop on your foot".

Yang jelas terdapat perbedaan yang mendasar antara sebuah organisasi yang menghasilkan
produk intinya berupa pelayanan dengan sebuah organisasi yang menghasilkan produk
intinya berupa barang. Hal itu sebagaimana dinyatakan Gabott & Hogg (1997) terdapat
perbedaan diantara produk-produk dimana inti dari yang dijual adalah sebuah pelayanan
dengan kemungkinan dibarangi dengan barang, dengan produk-produk dimana intinya
adalah sebuah barang dimana elemen pelayanan digunakan sebagai tambahan secara fisik
(augmentation) untuk keunggulan daya saing.

Meskipun terminologi "pelayanan" itu sendiri seringkali sulit didefinisikan akan tetapi
semua produk memiliki karakteristik atau atribut berdasarkan kondisi yang ditawarkan.
Menurut Lovelock (1981) dan Gronroos (1978) sebagaimana dikutip Gabott & Hogg
(1997) bahwa pelayanan dapat diidentifikasi beberapa karakteristiknya yaitu intangibility,
heterogeneity, inseparability, perishability and the concept of ownership. Karakteristik
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut

1. Intangibility merupakan satu dari beberapa karakteristik pelayanan yang sangat


penting dimana hal itu idak memiliki dimensi fisik. Seringkali pelayana
digambarkan dengan menggunakan benda-benda yang dapat diraba tetapi hal ini
dapat menjelaskan fundamental alamiah pelayanan yang pada dasarnya bersifat
tidak dapat diraba (intangible). Hal ini mengisyaratkan bahwasanya para
pelanggan tidak dapat melihat, menyentuh, mendengar, merasakan atau
mengendus sebuah pelayanan, mereka hanya bisa mengalami (experience)
pelaksanaan dari sebuah pelayanan. Karena demikian inilah maka persepsi dari
sebuah pelayanan merupakan hal yang sangat subyektif dan konsep yang abstrak
2. Karakteristik pelayanan adalah tidak dapat dipisahkannya (inseparability) aspek
produksi dan konsumsi dari sebuah transaksi Pelayanan adalah sebuah kinerja,
dimana pembeli atau pelanggan bekerjasama dengan penyedia (provider) agar apa
yang diinginkan para pembeli/pelangga dapat dipenuhi.
3. Keberanekaan (heterogeinity) pelayanan merupakan juga sebuah fungsi
keterlibatan manusia dalam proses penyampaian dan konsumsi (delivery and
consumption process). Hal ini pula yang menyebabkan pengalaman orang per
orang dalam menerima pelayanan, karena proses.
penyampaian pelayanan dilakukan juga oleh orang per orang yang berbeda.
4. Ketidaktahanan (perishability) pelayanan menggambarkan kondisi nyata sebuah
produk. Pelayanan tidak dapat disimpan sebagaimana sebuah barang. Dengan
demikian pada pelayanan dibutuhkan maka pelayanan pada saat itu juga harus
tersedia
5. Konsep kepemilikan (concept of ownership) dalam palayanan sangat berbeda
dengan konsep kepemilikan barang. pembeli/pelanggan hanya dapat
menggunakannya sementara waktu, sehingga apa yang dimiliki adalah manfaat
dari sebuah pelayanan itu bukannya pelayanan itu sendiri.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa kualitas pelayanan menjadi semakin


penting bagi organisasi-organaisasi penghasil layanan. Gronroos (1984) mengusulkan dua
tipe kualitas pelayanan, yaitu teknikal dan fungsional (technical and fuctional) dimana
keduanya memberikan kontribusi kepada kualitas pelayanan yang dirasakan (perceived
service quality). Technical quality sering dapat dinilai dalam kondisi obyektif, sedangkan
functional quality dirasakan melalui cara yang lebih subyektif. Technical quality misalnya
transfer uang dari satu rekening bank ke rekening bank lain, sedangkan functional quality
misalnya sikap, aksesibilitas, penampilan sebuah bank. Di pihak lain Peters dan Waterman
maupun Lassem membagi kualitas pelayanan ke dalam hard and soft quality (dalam
Gabott & Hogg, 1997). Hard quality meliputi strategi, struktur, dan sistem organisasi.
Sedangkan soft quality diantaranya meliputi skills, staff atau style. Hard and quality
mempengaruhi perjalanan hari demi hari suatu hubungan dan keduanya mempengaruhi
satu dan yang lainnya.

Sejalan dengan pemikiran di atas, Szmigin (1993) mengidentifikasi beberapa situasi yang
dapat menimbulkan perubahan masalah hard/soft quality:

1. Change in top management


2. Change in company objectives
3. Change in decision-making unit.
4. Change in specific objectives relating to the supplier/client relationship
5. Change in personnel on the supplier side.
6. Reduced interest shown by supplier to buyer, possibly for one the reasona above,
e.g. change in company objectives

Sementara itu, Zeithaml et al. (1990) mengidentifikasi lima kesenjangan yang kerap
terjadi dalam pelaksanaan layanan dan penerima layanan, yang dikenal dengan Gap Model
(lihat gambar 1). Kesenjangan tersebut yaitu

1. kesenjangan antara harapan pelanggan mengenai pelayanan (Expected Service)


dengan persepsi manajemen (Management Perception of Customer Expectation).
2. kesenjangan antara persepsi manajemen (Management Perception of Customer
Expectation) dengan spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification).
3. kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification)
dengan penyampaian pelayanan (Service Delivery)
4. kesenjangan antara komunikasi eksternal kepada pelanggan (External
Communication to Customers) dengan proses penyampaian pelayanan (Service
Delivery)
5. kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service)
dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service)

Gambar 1
Conceptual Model Of Service Quality
Dari kesenjangan-kesenjangan tersebut perlu dilakukannya pendekatan agar tingkat
keinginan atau harapan dan persepsi pelanggan dapat dipenuhi. Dalam riset eksplorasinya,
Parasuraman et al. (1985) mengidentifikasi sepuluh dimensi utama yang menentukan
kualitas pelayanan. Kesepuluh dimensi tersebut menurut mereka adalah:

1. Reliability, mencakup dua ha (performance) dan kemampuan untuk dipercaya


(dependability). Hal in berarti perusahaan memberikan jasanya secara tepat semenjak
saat pertama (right the first time). Selain itu juga perusahaan yang bersangkutan
memenuhi janjinya, misalnya menyampaikan jasanya sesuai dengan jadwal yang telah
disepakti.
2. Responsiveness, yaitu kemauan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa
yang dibutuhkan pelanggan.
3. Competence, artinya dalam suatu perusahaan memiliki ketrampilan dan pengetahuan
yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu.
4. Access, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Ha ini berarti lokasi
fasilitas jasa yang mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama saluran
komunikasi yang dihubungi, dan lain pokok, yaitu konsistensi kerja lain.
5. Courtesy, meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian dan keramahan yang dimiliki
para contact personal (seperti resepsionis operator telepon, dan lain-lain) .
6. Communication, artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang
dapat mereka pahami serta mendengarkan saran dan keluhan.
7. Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Hal ini mencakup nama perusahaan,
reputasi perusahaan, karakteristik pribadi contact personnel, dan interaksi dengan
petugas.
8. Securty, yaitu aman dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Aspek ini meliputi
keamanan secara fisik (phisical safety), keamanan finansial (financial security) dan
kerahasiaan (confidentiality)
9. Understanding/knowing the customer, yaitu usaha untuk memahami kebutuhan
pelanggan
10. Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik , peralatan yang
dipergunakan, representasi fisik dari jasa.

Dalam perkembangannya, Parasuraman merangkum sepuluh dimensi menjadi lima


dimensi kualitas pelayanan (SERVQUAL). Kelima dimensi kualitas ini digunakan
sebagai kriteria perwujudan pelaksanaan pelayanan yang berkualitas dimana dimensi ini
harus diperhatikan dalam perbaikan pelaksanaan pelayanan, yaitu:

1. Bukti langsung (tangibles), terdiri dari : penampilan fisik bangunan serta sarana dan
prasarana yang mendukung; penampilan petugas saat memberikan pelayanan atau saat
pelaksanaan pelayanan.
2. Kehandalan (reliability), terdiri dari kecakapan/ keakuratan petugas dalam
memberikan pelayanan; ketepatan waktu dalam memberikan pelayanan.
3. Kepekaan/daya tanggap (responsiveness), terdiri dari kemudahan petugas untuk
dihubungi; kemauan petugas untuk pertolongan kepada pelanggan
4. Jaminan (asurance), terdiri dari pengetahuan, kesopanan dan sikap untuk dapat
dipercaya yang dimiliki oleh petugas sehingga tidak menimbulkan keraguan dan
resiko yang mungkin timbu akibat pelayanan yang diberikan
5. Kemampuan untuk memahami kebutuhan pelanggan (emphaty) , terdiri dar:
kepedulian/perhatian dari petugas secara individual terhadap pengguna layanan

Dalam model berikutnya (lihat gambar 2), Zeithaml, et al. (1990) menggambarkan
tentang bagaimana cara melakukan pengukuran dan meningkatkan peningkatan kualitas
secara berkelanjutan. Model in menjadi kian penting untuk diperhatikan agar apa yang
menjadi harapan para pengguna layanan dapat dipenuhi secara bertahap dan
berkesinambungan. Sebuah model dibuat untuk memberikan gambaran secara lebih
ringkas atau sederhana mengenai sesuatu hal.

Namun demikian model pelayanan yang dimunculkan pun seringkali menjadi perdebatan.
Hal demikian wajar karena banyak terdapat sudut pandang yang harus dijelajahi,
sedangkan latar belakang profesional/ pendidikan, kemampuan, tenaga, pikiran, biaya dan
waktu yang tersedia relatif terbatas. Pada dasarnya model-model kualitas pelayanan yang
telah dikembangkan merupakan sesuatu yang saling melengkapi. Keadaan demikian perlu
dipahami karena ilmu pengetahuarn yang bersifat aplikatif senantiasa berkembang
mengikuti perkembangan realitas yang terjadi di dalam suatu kehidupan.

ARTI PENTING KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI ERA SEKARANG

Pada esensinya tercapainya kualitas pelayanan di sektor publik -dimana aparatur


pemerintah sebagai pelakunya merupakan salah satu bentuk akuntabilitas publik. Turner
(2000) menduga terdapat 2 tujuan prinsip dari akuntabilitas pemerintahan Irndonesia,
yaitu pengecekan terhadap korupsi dan peningkatan pelayanan. Khusus mengenai
peningkatan pelayanan di sektor publik, Turner (2000) menekankan perlunya penerapan
Standar Pemberian Pelayanan Minimum (Minimum Service Provision Standard/MSPS)
dengan alasan guna mempertahankan tingkat pelayanan publik yang sudah ada pada masa
transisi ke otonomi daerah dan kemudian membantu perbaikan pelayanan tersebut. Hal ini
penting untuk diperhatikan mengingat publik sebagai massa
(earth) di mana seluruh bangunan resmi pemerintahan seharusnya mengakar (down
rooted).

Gambar 2
Process Model for Continuous Measurement and
Improvement of Service Quality

Dengan penerapan MSPS tersebut organisasi pemerintah penghasil jasa pelayanan mau
tidak mau harus memiliki indicator dan standar kinerja secara jelas. Namun demikian
indikator kinerja beserta langkah-langkah kinerja tersebut pun tidak akan menghasilkan
perbaikan dan kepemerintahan yang baik
kecuali hal tersebut terkait dengan strategi perbaikan kualitas (Turner, 2000). Salah satu
strategi jangka menengah dan jangka panjang yang dipandang tepat dalam upaya
meningkatkan pelayanan badan-badan di pemerintah daerah adalah melalui penggunaan
piagam warga atau klien (client/citizen charter). Salah satu negara yang telah menerapkan
piagam warga adalah Malaysia. Piagam warga berisi tentang pernyataan tertulis terkait
pemberian pelayanan kepada warga masyarakat dari badan-badan pemerintah tersebut.
Piagam warga merupakan standar pelayanan dimana warga masyarakat berhak
menyampaikan keluhan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan strandar
pelayanan yang telah ditetapkan.

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa untuk meningkatkan kualitas pelayanan


diperlukan reformasi proses kerja di dalam organisasi pemerintahan baik Pusat maupun
Daerah. Salah satu contoh menarik adalah yang terjadi di Philipina. Pada tahun 1994,
Komite PNS Philipina (Philippine Civil Service Commission) melancarkan program
kampanye kepuasan penduduk/warga yang disebut "Citizens Now, Not Later" (St.
Thomas, 1995). Pada dasarnya mekanisme reformasi ini ditujukan untuk memperbaikii
kinerja PNS dengan mengggunakan tekanan luar untuk memaksa sistem internal. Program
kampanye ini mengadopsi norma-norma standar perilaku dan pelayanan kepada klien.

Adalah menarik juga jika kita tengok pengalaman di Jerman. Beberapa kota di Jerman
secara intensif telah mempraktekan perbaikan kualitas pelayanan publik sejak awal '90 an.
Perbaikan kualitas pelayanan publik tersebut selain dipicu oleh New Public Management,
TQM, dan ISO 9000, juga didorong oleh krisis keuangan negara. Dampak dari semua itu,
dibangun unit-unit pelayanan pemerintah yang disebut Burgeramt atau Burgerburo
(kantor atau dinas rakyat) yang menyatukan berbagai jasa layanan administratif dari
berbagai instansi, antara lain statistik dan kependudukan; rumah dan bangunan; kendaran
(STNK, SIM); dan pajak Para pengguna jasa layanan tersebut dapat meminta berbagai
layanan dalam waktu yang relatif singkat antara 40-50 menit (Hil & Klages dalam
Wibawa & Purbokusumo, 1998)

KESIMPULAN

Meskipun terminologi pelayanan memiliki makna abstrak, namun demikian banyak pakar
mencoba merumuskannya agar dapat dijadikan rujukan . Dari definisi-definisi tersebut
akhirnya dapat pula diidentifikasi berbagai karakteristik pelayanan yaitu intangibility,
heterogeneity, inseparability, perishability and the concept of ownership
Membicarkan pelayanan berarti tidak lepas dari makna kualitas pelayanan itu sendiri.
Tolok ukur pelayanan yang berkualitas dapat cermati melalui: bukti langsung (tangibles),
kehandalan (reliability), kepekaan/daya tanggap memahami (responsiveness), jaminan
(asurance) dan kemampuan untuk kebutuhan pelanggan (emphaty). Tolok ukur tersebut
berlaku universal, artinya berlaku dimana saja dan bagi organisasi apa saja -publik
maupun privat.

Kualitas pelayanan bagi sektor publik terkait sangat erat dengan keberadaan organisasi
publik itu sendiri baik di Pusat maupun Daerah. Mengapa hal ini menjadi issue penting?
Jawabannya sederhana, otonomi daerah digalakkan dalam rangka mempercepat jalur
pelayanan bagi masyarakatnya. Lebih jauh lagi dapat diartikan bahwa pemerintah -Pusat
dan Daerah- harus mampu memberikan pelayanan berkualitas kepada masyarakatnya.
Berkualitasnya pelayanan yang diberikan pemerintah -Pusat dan Daerah- dapat dijadikan
tolok ukur kinerja mereka. Dengan demikian dapat digarisbawahi bahwa kualitas
pelayanan merupakan satu issue yang sangat sensitif, baik saat ini maupun pada masa-
masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai