Anda di halaman 1dari 8

RUMAH ADAT INDONESIA TAHAN GEMPA

Indonesia merupakan satu dari negara di dunia yang rentan mengalami gempa bumi. Sebab merupakan
wilayah yang dilewati oleh lempeng-lempeng yang dapat memicu gempa tanpa diduga.Teranyar gempa
terjadi di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Namun, di balik ancaman tersebut, Indonesia memiliki rumah adat yang memiliki kontruksi terhadap
serangan gempa.

Omo Hada

Rumah adat dari Nias, Sumatera Utara ini, berberapa waktu lalu membuktikan kehebatan konstruksinya.
Tahun 2010 silam, Nias mendapatkan gempa besar. Ternyata, banyak rumah Omo Hada yang masih
berdiri dan posisinya hanya sedikit bergeser. Konstruksi rumah ini didominasi kayu. Untuk menyatukan
antarbagian, dipakailah pasak dan bukan paku. Rumah Omo Hada tidak memiliki jendela. Atapnya oval
dan pengganti jendela hanya dibuat model teralis. Rumah ini banyak ditemukan di desa Tumori,
Gunungsitoli.

Gadang

Rumah adat dari Minangkabau, Sumatera Barat ini, memperlihatkan ketahanannya saat terjadi gempa di
Padang pada 30 September 2009. Banyak rumah yang tidak runtuh kala itu. Bentuk rumah Gadang
cukup dikenal dengan kekhasan atapnya yang melengkung ke dalam. Atapnya dibuat dari ijuk.

Laheik

Rumah adat ini berasal dari Kerinci, Riau. Hampir sama dengan Omo Hada, Laheik tersusun dari kayu
yang saling disatukan dengan pasak. Antarbagian juga disatukan dengan ikatan tambang yang terbuat
dari ijuk. Laheik banyak ditemukan di Kecamatan Danau Kerinci.

Woloan

Rumah adat ini berkonsep rumah panggung. Asalnya dari Tomohon, Sulawesi Utara. Bahan yang dipakai
biasanya kayu besi dan kayu cempaka. Rumah ini turut dikenal di mancanegara. Argentina dan
Venezuela adalah beberapa negara yang kerap mengimpor rumah ini..

Rumah Aceh

Rumah tradisional Aceh berbentuk panggung dan berbahan kayu yang didesain berdasarkan kondisi
alam daerah Aceh. Dibangun sejak zaman nenek moyang dengan mempertimbangkan faktor-faktor
pengurangan risiko terhadap bencana gempa bumi, banjir dan tsunami mengingat Aceh termasuk
daerah yang rentan terhadap bencana alam.

Rumah Tua Bali Utara


Rumah-rumah yang berada di kawasan Bali Utara ini dianggap tahan akan gempa, karena memiliki
konstruksi yang memanfaatkan saka atau tiang kayu dan lambang serta sineb sebagai balok. Hal ini
bertujuan untuk melindungi penghuninya dari reruntuhan bangunan akibat gempa. Arsitektur lokal sejak
peradaban Bali Kuno sudah melakukan ujicoba yang panjang untuk membangun rumah tahan gempa
yang dapat diwariskan ke generasi selanjutnya. Bangunan adat di Bali Utara ini menkadi salah satu
temuan penting dalam kesejarahan gempa di Indonesia.

Rumah Joglo

Rumah Joglo merupakan bentuk hunian tradisonal yang tersebar di Jawa, dari Cirebon hingga
Banyuwangi. Daerah-daerah ini merupakan daerah aktif gempa. Struktur rumah Joglo yang berbahan
kayu menghasilkan kemampuan meredam getaran/guncangan yang efektif, lebih fleksibel, dan juga
stabil. Struktur dari kayu inilah yang berfungsi meredam efek getaran/guncangan dari gempa.

Rumah Nuwou Sesat

Nuwou Sesat secara struktur hampir sama dengan rumah adat suku asli Sumatera lainnya. Rumah adat
Lampung ini berbentuk panggung dengan bahan utama berupa kayu atau papan. Struktur rumah
panggung pada rumah Nuwou Sesat pada masa silam ditujukan sebagai upaya untuk menghindari
serangan binatang buas bagi penghuninya. Selain itu, struktur panggung juga sengaja digunakan sebagai
desain rumah tahan gempa.

https://gpriority.co.id/rumah-adat-tahan-gempa-di-indonesia/. 23 Oktober 2018. Redaksi.

Bangunan Adat Indonesia Tahan Gempa

16 Jan 2017

JAKARTA – Indonesia yang rawan gempa tektonik dan gempa vulkanik memiliki teknologi warisan nenek
moyang yang sangat bernilai yaitu rumah tahan gempa.

Konstruksi bangunan adat yang umumnya berupa rumah panggung mampu menahan guncangan saat
gempa bumi terjadi. Hasil budaya suatu bangsa yang paling mudah dikenali antara lain adalah ada
bangunan-bangunan yang digunakan untuk melaksanakan kehidupan sehari-hari. Bangunan yang ada
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bangunan tradisional yang meliputi rumah adat (rumah ketua
adat), bangunan ibadah, bangunan musyawarah (balai adat), lumbung padi, dan sebagainya; dan rumah-
rumah masyarakat kebanyakan yang disebut rumah vernakular.

Rumah vernakular merupakan bangunan yang khas, unik, berbeda dengan yang lain. Keunikannya ada
pada sistem struktur bangunannya yang non engineered. Diturunkan dari tradisi kuno, rumah mampu
bertahan terhadap lingkungan fisik (iklim, gempa, dan angin) serta sesuai dengan keinginan
masyarakatnya. Ketua Kelompok Keahlian (KK) Teknologi Bangunan Sekolah Arsitektur, Perencanaan,
dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB Sugeng Triyadi mengatakan, rumah vernakular di Nusantara
ini sangat banyak ragamnya, mulai dari Sabang hingga Merauke.
“Ditambah lagi bahwa setiap etnis mempunyai rumah vernakular lebih dari satu,” ungkap dia saat
dihubungi. Diamencontohkanrumahvernakular Batak ada banyak macamnya antara lain
RumahBatakToba, Karo, danMandaling. Rumah vernakular Jawa ada rumah Yogyakarta, Jawa Timur,
Kudus, Banyumas, dan sebagainya. Rumah vernakular Sunda ada rumah Kampung Dukuh, Kampung
Pulo, Kampung Naga, dan sebagainya. Pengetahuan teknologi bangunan pada rumah vernakular
merupakan pengetahuan turun-temurun dari nenek moyang yang secara trial and error disempurnakan.

Teknologi bangunan inilah yang menjaga bangunan tetap berdiri, aman dihuni, dan tahan terhadap
gangguan atau perilaku alam seperti gempa, angin ribut, banjir, tanahlongsor, dantsunami. Teknologi
bangunan pada rumah vernakular adalah salah satu kearifan lokal rumah vernakular tersebut. Rumah
vernakular Sunda/ Jawa Barat, struktur bangunannya menggunakan bambu dengan sistem ikatan
antarkomponen bangunannya serta panggung yang tingginya sekitar 60 cm.

Sistem struktur seperti ini, bila terjadi guncangan gempa, bangunan hanya bergoyang dan tidak
mengalami kerusakan. Panggung setinggi 60 cm dimaksudkan untuk menjaga bangunan tetap utuh
walau jatuh ke permukaan tanah bila terjadi tanah longsor. Ada juga Rumah Aceh yang struktur
bangunannya dari kayu saling dikaitkan satu sama lain. Dikunci dengan baji atau pasak sehingga lebih
dinamis dan tahan guncangan gempa (kokoh dan dinamis). Belum ada dalam sejarah Aceh gempa besar
yang dapat merobohkan rumah adat Aceh.

Demikian pula bila habis terjadi gempa besar, sebagian besar masyarakat Aceh memeriksa baji atau
pasak yang ada. Bila terlihat menonjol keluar, segera dikembalikan ke posisinya semula dengan dipukul.
Dia menjelaskan, kehidupan masyarakat zaman dahulu sangat menyatu dengan alam sehingga perilaku
alam sangat menjadi perhatian. Gempa menjadi salah satu pemicu mereka untuk membuat rumah yang
aman dan nyaman. Rumah mereka dibangun dengan pengetahuan turun-temurun yang terus
disempurnakan.

“Teknologi bangunannya sesuai dengan kemampuannya, sesuai dengan peralatan membangun yang
dipunyai, menggunakan material yang ada, yaitu kayu dan sebagainya. Dengan begitu, pengetahuan
membangun yang mereka miliki telah teruji oleh waktu dan terbukti andal sampai sekarang,” papar dia.
Dosen Program Studi Mitigasi Bencana IPB Boedi Tjahjono mengatakan, dari pengalamannya saat
melakukan penelitian pascagempa, kebanyakan rumah yang rusakataupunrubuhbermaterial tembok
atau beton.

Sementara rumah yang materialnya berasal dari kayu atau bambu cenderung bertahan. Rumah yang
materialnya berasal dari kayu dan bambu memiliki kelenturan terhadap guncangan gempa. Kearifan
lokal itu ternyata diadopsi oleh sejumlah negara seperti Jepang. Saat ini hampir semua rumah di Jepang
berbahan dasar kayu atau bahan bangunan ringan yang lain. Masyarakat Jepang menyadari yang
berbahaya dari gempa bukanlah peristiwanya, tetapi rubuhnya bangunan akibat gempa. Tidak heran
kalau bencana gempa yang terjadi di Jepang tidak banyak menimbulkan jatuh korban jiwa. Apakah harga
rumah tahan gempa tersebut lebih mahal?

Arsitek Probumi Alfian Hasan menegaskan tidak semahal bangunan gempa yang dalam penyelesaiannya
lebih mengutamakan memperkokoh struktur bangunan. Menurutnya, rumah tahan gempa berdasarkan
kearifan lokal lebih mengutamakan konstruksi yang lebih fleksibel. “Bukan menguatkan, tetapi
mengutamakan fleksibilitas,” kata dia. Misalkan saja rumah joglo. Ada beberapa alasan mengapa rumah
joglo lebih tahan terhadap gempa. Pertama, rangka utama (core frame) yang terdiri umpak, soko guru,
dan tumpang sari, dapatmenahanbebanlateral yang bergerak horizontal ketika terjadi gempa.

Kedua, struktur rumah joglo yang berbahan kayu menghasilkan kemampuan meredam
getaran/guncangan yang efektif, lebih fleksibel, juga stabil. Struktur dari kayu inilah yang berfungsi
meredam efek getaran/guncangan dari gempa. Ketiga, kolom rumah yang memiliki tumpuan sendi dan
rol, sambungan kayu yang memakai sistem sambungan lidah alur dan konfigurasi kolom anak (sokosoko
emper) terhadap kolomkolominduk( soko-soko guru) merupakan earthquake responsive buildingdari
rumah joglo. “Mungkin saatnya kembali kepada kearifanlokal. Lebihnyaman, aman, dan murah,” ucap
dia.

Rumah tahan gempa (RTG) diyakini mengurangi korban jiwa akibat bencana gempa bumi. Peneliti
geoteknologi dan paleoseismologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto
menjelaskan, RTG dirancang khusus, yakni konstruksi bangunan dibuat tidak permanen serta tembok
yang dibuat ringan. Tak kalah penting, unsur strukturbangunansepertikolom rumah dan slope diperkuat,
sementara unsur nonstruktur dibuat seringan mungkin seperti tembok.

“Di Jepang kebanyakan bangunan dibuat semipermanen di mana partisinya dibuat dengan bahan ringan
,” jelas Eko.

Hermansah/ ananda nararya

Sumber : koransindo.com. 15 Januari 2017

Sivitas Terkait : Dr. Eko Yulianto http://lipi.go.id/lipimedia/bangunan-adat-indonesia-tahan-


gempa/17406.

Rumah Tradisional Nusantara Lebih Tahan Gempa

Oleh: Irfan Teguh - 9 Agustus 2018 https://tirto.id/rumah-tradisional-nusantara-lebih-tahan-gempa-


cQPU.

Sejak dulu, masyarakat di berbagai wilayah di Nusantara mengantisipasi gempa dengan membangun
rumah-rumah tradisional yang tahan terhadap guncangan.

tirto.id - Sebagai negeri yang berada di jalur Cincin Api Pasifik atau Ring of Fire, dari dulu Kepulauan
Nusantara selalu diintai marabahaya, salah satunya gempa bumi. Tingginya tingkat kerawanan bencana
di Indonesia digambarkan oleh Gede Suantika, yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Bidang Mitigasi
Gempa Bumi dan Gerakan Tanah, dengan mencubit lengannya dengan jari.

“Setiap jari tangan mewakili sebuah lempeng, dan cubitan merepresentasikan arah dorongan. Garis
kerutan di kulit mewakili sesar atau patahan yang terbentuk di darat,” ujarnya dalam artikel bertajuk
“Siaga di Laut, Bahaya di Bawah Selimut” yang dihimpun dalam Gempa: Kumpulan Artikel Ilmu &
Teknologi Majalah TEMPO (2013).

Menurutnya, Indonesia adalah tempat bertemunya tiga lempeng bumi yang terus-menerus saling
mendorong. Semakin banyak lempeng, tambahnya, maka patahannya semakin rumit dan berbahaya.

“Patahan itu, ujar Gede, merupakan sumber gempa. Energi gempa dari patahan memang tak sebesar
gempa yang dihasilkan tumbukan antarlempeng. Namun bahayanya tak bisa dianggap enteng, karena
banyak patahan itu berada tepat di bawah kota, di bawah rumah-rumah,” tulis Tempo. Menghadapi
situasi seperti itu, sejak dulu penduduk Nusantara telah mencoba melakukan mitigasi bencana dengan
membangun rumah-rumah tradisional yang tahan gempa.

Memperpendek Tiang-Tiang Penyangga

Salah satu peristiwa gempa besar yang terjadi adalah di Minahasa pada 1845 yang mengakibatkan
ribuan rumah rusak. Setelah peristiwa itu masyarakat Minahasa mulai membangun rumah dengan
rancangan yang meminimalkan kerusakan jika terjadi bencana serupa.

“Sejak peristiwa tersebut maka rumah-rumah penduduk dibangun dengan ukuran kecil, tiang-tiangnya
dipendekkan dan diperkecil serta rangka-rangka rumah dibuat sedemikian rupa agar tidak mudah
roboh,” tulis Syamsidar dalam Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Utara (1991).

Periode sebelum tahun 1845, menurut catatan Marwati dalam “Studi Rumah Panggung Tahan Gempa
Woloan di Minahasa Manado” (Jurnal Teknosains, Vol. 8 No. 1, Januari 2014) adalah saat rumah-rumah
orang Minahasa memiliki tiang-tiang penyangga yang cukup tinggi, yaitu antara 3-5 meter.

Sejak semula, yakni sebelum terjadi gempa, konstruksi rumah tradisional Minahasa berbahan kayu dan
bambu batangan. Bahan-bahan tersebut disambungkan dengan sistem sambungan pen dan diikat
dengan tali ijuk pada usuk dari bambu. Sementara kolong bangunan terdiri dari 16-18 tiang penyangga
dengan ukuran diameter 80-200 cm.

Setelah gempa, tambah Marwati, rumah tradisional Minahasa tidak mengalami banyak perubahan,
kecuali panjang tiang-tiang penyangganya yang dikurangi menjadi 1,5-2,5 meter dan diameter tiang-
tiang tersebut menjadi lebih kecil yakni 30 cm.

“Rumah panggung Wuloan di Minahasa merupakan rumah panggung tahan gempa pada semua struktur
pondasi, dinding dan balok rangka utama dari kayu besi memenuhi syarat sebagai konstruksi gempa.
Setiap balok saling kait mengait. Dinding dari papan maka tidak mudah retak atau pecah,” tulisnya.

Pengurangan tinggi tiang-tiang penyangga rumah tersebut, menurut Hokky Situngkir dalam Kode-kode
Nusantara: Telaah Sains Mutakhir atas Jejak-jejak Tradisi di Kepulauan Indonesia (2016), adalah untuk
memaksimalkan fungsi suspensi sehingga rumah tidak mudah roboh ketika ada getaran hebat.

Fenomena tersebut ia bandingkan pula dengan kondisi rumah-rumah di sejumlah kampung tradisional di
Jawa Barat yang jarak antara tanah dengan lantai rumah sangat pendek. Hal ini, selain karena
masyarakat Sunda tidak memiliki budaya memanfaatkan kolong rumah sebagai tempat menyimpan
cadangan logistik, juga jika dikaitkan dengan gempa bumi adalah untuk mengantisipasi guncangan.

“Sela antara tanah dan lantai rumah dibuat rendah untuk fungsi suspensi dari rumah agar tak goyah dan
roboh ketika ada gempa bumi,” tulisnya.

Kolom Penyangga Tidak Ditanam di Tanah

Kolong rumah yang pendek ternyata bukan konsep permanen jika melihat rumah-rumah tradisional di
Sumatra yang rata-rata memiliki tiang-tiang penyangga yang tinggi. Dalam merancang rumah, selain
disesuaikan dengan antisipasi bencana alam, masyarakat di Nusantara juga menyesuaikannya dengan
situasi kehidupan sosial masing-masing.

Jika di masyarakat Sunda tiang-tiang rumah dibuat rendah karena mereka tidak mempunyai budaya
menyimpan cadangan logistik di kolong rumah, maka di daerah Nias tiang-tiang penyangga dibuat tinggi
karena dulu kerap terjadi perang antar-desa.

Peperangan itu, menurut Isnen Fitri dan Basaria Thalarosa dalam “Rumah Tradisional Nias Pasca Gempa
Bumi 2005, Studi Kasus: Desa Bawomataluo, Nias Selatan”, mendorong warga memagari desa mereka
dengan pagar yang rapat dan menjulang tinggi untuk melindungi wilayah dari serangan musuh.

“Tidak ada bentuk umum teknologi sipil yang ditemukan dalam arsitektur tradisional (vernakular) di
sepanjang Kepulauan Nusantara. Semua berbeda-beda bergantung pada lokalitas kehidupan
sosioekologis masyarakat setempat,” tulis Hokky Situngkir.

Dalam kaitannya dengan ketahanan terhadap gempa, Isnen Fitri dan Basaria Thalarosa mencatat bahwa
rumah tradisional Nias di Desa Bawomataluo, Nias Selatan, yang menjadi objek studi kasus mereka,
mengalami beberapa kerusakan meski tidak separah rumah-rumah modern yang ada di Gunung Sitoli
dan Teluk Dalam.

Mereka menjelaskan bahwa secara konstruksi rumah tradisional Nias dibangun dengan menggunakan
material lokal, yakni kayu yang kualitasnya dipilih sedemikian rupa sehingga mempunyai ketahanan yang
berumur panjang.

“Seperti halnya teknik konstruksi rumah Austronesia, tidak menggunakan paku, sepenuhnya bertumpu
pada sistem sambungan pasak,” tulis mereka.

Tiang-tiang yang menyangga rumah beralaskan batu-batu yang menjadi pondasi, sehingga tidak ditanam
di dalam tanah. Hal ini dimaksudkan agar ketika terjadi guncangan, tiang-tiang bisa lebih fleksibel
bergerak dan bergeser.

Namun saat terjadi gempa pada 2005, setelah memeriksa sejumlah rumah tradisional Nias yang
mengalami kerusakan, mereka menemukan bahwa terjadi pergeseran tiang atau kolom rumah dari
pondasinya. Hal ini membuat sambungan pasak antara tiang yang satu dengan lainnya mengalami
perenggangan. Selain itu, sambungan antara tiang struktur bawah yang berbentuk V dengan tiang-tiang
lainnya juga mengalami pergeseran.

Sejumlah perenggangan yang terjadi pada sambungan tersebut, berdasarkan amatan mereka, ternyata
terjadi karena usia tiang-tiang penyangga telah terlalu tua, yakni sudah hampir mencapai ratusan tahun.

“Bagian sambungan tiang-tiang kayu banyak yang sudah tidak utuh lagi dan lapuk, sehingga kontrol
seismik antara sambungan hilang, maka ketika terjadi gempa, bagian ini merenggang dan berpengaruh
kepada struktur lain yang bertumpu kepadanya seperti struktur lantai dan dinding. Terdapat beberapa
celah antara dinding dan balok bangunan yang merupakan akibat dari pergeseran tiang-tiang struktur
bawah bangunan,” tambah mereka.

Salah satu kunci ketahanan rumah tradisional Nias yang tiang-tiangnya bertumpu pada batu, dalam
Pesan dari Wae Rebo: Kelahiran Kembali Arsitektur Nusantara Sebuah Pelajaran dari Masa Lalu untuk
Masa Depan (2010) yang disunting oleh Yori Antar, juga terdapat di banyak tempat di Nusantara dan
merupakan tipe konstruksi yang paling ampuh menghadapi gempa.

Sambung Ikat

Teknik sambung dan ikat dalam mendirikan rumah tradisional hampir terjadi di berbagai wilayah di
Nusantara. Salah satunya pada rumah Baghi, yakni rumah masyarakat Besemah di Pagar Alam, Sumatra
Selatan.

Rumah ini, menurut M. Ali Husin dalam “Kearifan Lokal dan Mitigasi Bencana pada Rumah Tradisional
Besemah, Pagar Alam, Sumatra Selatan”, menggunakan konstruksi sambung ikat dan memanfaatkan
bahan-bahan bangunan ringan.

Seperti rumah tradisional Nias, rumah Baghi juga menggunakan batu sebagai alas tiang yang disebut
umpak batu. Selain agar gerak tiang menjadi lebih fleksibel, alas batu juga berfungsi melindungi tiang
yang berada di atasnya agar tidak langsung bersentuhan dengan tanah yang memiliki kelembaban tinggi
sehingga dapat merusak tiang tersebut.

“Semua rincian konstruksi diselesaikan dengan prinsip-prinsip ikatan, tumpuan, pasak, tumpuan berpaut
dan sambungan berkait. Untuk pengikat umumnya digunakan rotan dan bambu, atau dengan teknik
pasak. Jika terjadi gempa, maka struktur rumah akan bergerak dinamis,” tulis Ali Husin.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pada rumah Baghi juga terdapat balok sloof yang berfungsi untuk
menahan agar pondasi-pondasi pada rumah tersebut tidak bergeser sehingga rumah dapat bertahan
saat terjadi gempa bumi.

Penulis: Irfan Teguh. Editor: Ivan Aulia Ahsan.

Rumah Adat Lombok yang Tahan Gempa

August 2018 // http://majalah1000guru.net/2018/08/rumah-lombok-tahan-gempa/.


Gempa berkekuatan 7 skala Richter yang mengguncang daerah Lombok, Nusa tenggara Barat, beberapa
waktu yang lalu mengakibatkan sebanyak 71.692 unit rumah rusak dengan klasifikasi kerusakan 32.016
unit rusak berat, 3.173, rusak sedang, dan 36.773 rusak ringan. Namun, kalangan relawan menyebutkan
bahwa sejumlah rumah adat berbahan kayu masih kokoh berdiri meskipun diguncang gempa tektonik
beberapa saat yang lalu. Bagaimanakah rumah warisan nenek moyang ini mampu menahan guncangan
gempa yang mampu merobohkan rumah-rumah modern tersebut?

Gaya arsitektur yang dirancang berdasarkan kebutuhan lokal, ketersediaan bahan bangunan, dan kondisi
iklim serta diturunkan secara turun-temurun tanpa ada teori njelimet dan intervensi arsitek profesional
disebut dengan arsitektur vernakular. Arsitektur vernakular merupakan hasil trial and error dalam
teknologi bangunan yang dilakukan oleh nenek moyang kita demi menghasilkan hunian yang sesuai
dengan kondisi lokal yang ada. Frank Lyod Wright menggambarkan bahwa arsitektur vernakular sebagai
sebuah bangunan yang mana masyarakat dimunculkan untuk menanggapi kebutuhan yang ada sesuai
dengan kondisi sekitar lingkungan, dan dibangun oleh orang-orang yang mengetahui secara jelas
kebutuhan yang diinginkannya.

Kondisi geografis Lombok yang berada pada Ring of Fire membuat nenek moyang bangsa Indonesia
harus mampu untuk beradaptasi dengan kondisi alam tesebut. Bentuk adaptasi ini menghasilkan
arsitektur vernakular yang tercermin dari detail rumah adat yang secara turun temurun telah
diwariskan.

Terdapat dua jenis rumah tradisional Lombok, yang pertama yaitu lumbung padi yang berfungsi sebagai
tempat menyimpan padi dan segala jenis hasil panen dan yang kedua adalah rumah yang digunakan
untuk tidur dan memasak. Kedua jenis rumah ini terbuat dari kayu yang saling dikaitkan satu lainnya
dengan sistem baji atau pasak. Ikatan sambungan semacam ini dinilai sangat dinamis sehingga mampu
menahan goncangan yang tinggi seperti gempa. Pada prinsipnya, rumah-rumah ini dibuat bukan untuk
memperkuat struktur dan sambungannya, melainkan untuk memperbesar fleksibilitas strukturnya.
Pasca gempa, biasanya masyarakat akan membenarkan posisi pasak-pasak yang menonjol keluar dengan
cara dipukul-pukul.

Penggunaan material kayu atau bambu pada rumah adat juga membuat rumah memiliki lebih banyak
kelenturan terhadap guncangan gempa. Bahan ringan seperti kayu ini dinilai lebih aman untuk
diterapkan pada rumah, karena yang berbahaya dari gempa bukanlah peristiwanya, namun rubuhnya
bangunan akibat gempa. Penggunaan kayu mampu menghasilkan kemampuan meredam getaran yang
lebih efektif, fleksibel, dan stabil. Sebagian besar rumah tradisional juga dibuat dengan bentuk yang
simetris. Hal inilah yang memberikan pengaruh pada kestabilan rumah adat. Dengan bentuk yang
simetris, sebaran beban pada rumah adat akan merata sehingga kestabilan dapat terjaga.

Anda mungkin juga menyukai