Anda di halaman 1dari 23

JOURNAL READING

Emergency radiology: Maxillofacial and skull-base trauma

Disusun oleh :
Amri Ashshiddieq
1810221009

Pembimbing :
dr. Novita Elyana, SpRad

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI

RSUD AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN ‘VETERAN’ JAKARTA

PERIODE 19 NOVEMBER – 22 DESEMBER

2018
LEMBAR PENGESAHAN
JOURNAL READING

Emergency radiology: Maxillofacial and skull-base trauma

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu Radiologi
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun oleh :
Amri Ashshiddieq
1810221009

Telah disetujui dan disahkan oleh :

Dokter pembimbing,

dr. Novita Elyana, SpRad


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya lah
penulis dapat menyelesaikan Journal Reading yang berjudul “Emergency radiology:Maxillofacial
and skull-base trauma?”. Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Radiologi.
Penyusunan laporan ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang turut membantu
terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Novita Elyana, SpRad selaku pembimbing dan seluruh teman
kepaniteraan klinik Ilmu Radiologi atas kerjasamanya selama penyusunan laporan ini.

Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna perbaikan yang
lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca maupun bagi
semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta, Desember 2018

Penulis
KEGAWATAN RADIOLOGI : TRAUMA MAKSILOFASIAL DAN
BASIS CRANII

Abstract

Trauma kraniofasial sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas, tindak kekerasan, jatuh dari
ketinggian, dapat ditemukan tersendiri atau mengikuti kejadian trauma pada anggota tubuh
yang lain. Karena struktur maksilofasial dan bais kranii yang kompleks, diagnosis awal dapat
tidak akurat atau terlambat dan dapat mengakibatkan morbiditas yang signifikan. Computed
tomography multidetektor adalah pilihan utama pada kasus penetrasi atau trauma tumpul pada
regio maksilofasial. CT dapat memberikan evaluasi akurat dari tipe fraktur dan hubungannya
dengan komplikasinya terhadap jaringan lunak disekitarnya, dan dapat membantu dalam
tindakan operasi. Dalam aritkel ini, dibahas trauma maksilofasial dan basis cranii yang sering
terjadi, komplikasi, dan prognosisnya.

Kata kunci :

Trauma maksilofasial, trauma basis cranii, imaging, computed tomography, kegawatan


radiologi

Pendahuluan

Trauma craniofasial dilaporkan angka kejadiannya tinggi. fraktur maksilofasial dan


basis cranii sering terjadi pada trauma tanjam maupun tumpul pada kecelakaan lalu lintas,
pejalan kaki, kecelakaan kerja, jatuh dari ketinggian, maupun pada tindak kekerasan.

Energi dan area benturan gaya, juga regio anatomi yang terlibat, menentukan bentuk
fraktur. Area benturan yang kecil mengakibatkan fraktur pada lokasi yang terkena, sedangkan
benturan dengan area dan gaya yang lebih besar dapat mengakibatkan baik fraktur langsung
maupun tak langsung karena terjadinya transmisi energi benturan. Keparahan dan jenis lukanya
dapat bervariasi dan dapat menunjukkan karakteristik tertentu. Orang usia muda lebih sering
mengalami trauma dentoalveolar, sedangkan pada usia tua lebih sering mengalami fraktur
maksilofasial dan cedera jaringan lunak.
Diperlukan deskripsi dan klasifikasi fraktur, luka jaringan lunak, dan komplikasi yang
berhubungan secara akurat sangat penting untuk menentukan rencana terapi yang tepat (bedah).
Dalam artikel ini ditinjau peran penting Compted Tomography (CT), plain radiograph dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dalam evaluasi pasien dengan trauma maksilofasial dan
basis cranii.

Pendekatan Imaging

Tujuan dari imaging adalah untuk memeperlihatkan keberadaan fraktur, lokasi dan luasnya.,
dan untuk membuktikan temuan penting dengan tatalaksana bedah dan untuk memperkirakan
komplikasi yang mungkin terjadi. Tujuan terapi dalam kasus ini adalah untuk mengembalikan
dan stabilisasi facial alignment, anatomi jaringan lunak, dan fungsi mastikasi.

CT multidetektor resolusi tinggi dengan reformat multiplanar adalah pencitraan standar


dalam mengevaluasi pasien dengan trauma cranium dan cervikal. Dengan ketersediannya yang
luas, gambar yang cepat, penempatan pasien yang mudah, perannya menggantikan foto
konvensional. CT dapan memperlihatkan cedera tulang dan jaringan lunak yang lebih baik,
mendeteksi draktur non-dispace dari tulang wajah. Penilaian trauma yang akurat embutuhkan
potongan tipis (0.65-1mm) dalam potongan axial, cornal, dan sagital, baik dengan bone
windows maupun soft tissue windows. CT 3 dimensi dapat menggambarkan nilai lebih pada
evaluasi fraktur kompleks yang terjadi pergeseran tulang ke segala arah. Hal ini dapat
membantu dokter bedah untuk memvisualisasikan fragmen fraktur dan menilai derajat
pergeseran, juga kesimetrisan tulang fasial.

Peran foto konvensional terbatas dalam menilai cedera maksilofasial terisolasi karena
benturan langsung maupun jatuh dari ketinggian. Termasuk foto postero-anterior maupun
mandibula panoramik, serta occipito-mental.

MRI mempunyai peran sepsifik dalam menilai cedera fasial dan cranium, memberikan
informasi tambahan dalam kasus cedera nervus cranialis, tuli, komplikasi vaskuler dan
intracranial.

Fraktur Maxillofacial
Tulang fasial tersusund ari tulang yang saling berhubungan baik secara vertikal maupun
horizontal, yang membentuk bentuk wajah dan menjadi tempat untuk cavum orbital, cavum
nasal, sinus, dan gigi. Empat pasang penopang secara horizontal adaah tranversus maksilaris
superior dan inferior. Jaringan tulang vertikalnya terdiri dari maksilaris medial dan lateral,
maksila posterior, dan mandibula posterior. Gangguan pada salah satu atau lebih pada tulang-
tulang tersebut dapat merubah dimensi wajah dan mengganggu fungsi normal. Penggambaran
lokasi dan luasnya gangguan sangat penting untuk kepentingan recana terpai dan stabiitas dari
seluruh viscerocranium.

Fraktur Maksila
Imaging. Pada foto 2 dimensi, tulang fasial akan saling bertumpang tindih, sehingga peran foto
konvensional hanya sedikit dalam menilai trauma maksila. Foto konvensinal terdiri dari foto
postero-anterior atau potongan axial, lebih baik dalam memperlihatkan arcus zygomaticus,
occipito-mental atau waters, lebih baik dalam menilai dindinng orbital inferior dan lateral, serta
arcus zygomaticoalveolar. CT merupakan pilihan utama dalam menilai seluruh tulang fasial,
tanpa adanya superimposisi. Potongan axial dan coronal sejajar dan tegak lurus terhadarp
palatum durum dapat memperlihatkan seluruh informasi yang dibutuhkan untuk menilai dan
mengklasifikasikan trauma maksilofasial.
Klasifikasi dan komplikasi. Pola fraktur fasial dideskripsikan oleh seorang dokter
berkebangsaan Prancis, Rene Le Fort yang secara eksperimen memberikan benturan terhadap
kadaver ke area fasial. Definisi Le Fort, fraktr terjadi pada titik-titik lemah tulang fasial. Akan
membentuk fraktur yang simetris dan biateral dan selalu melewati lempeng pterygoid. Akan
tetapi aturan tersebut saat ini sudah jarang digunkana karena gaya yang terjadi dapat timbul
dari arah yang berbeda dan dengan kekuatan yang berbeda, namun terjadi dalam waktu
bersamaan, sehingga mengakibatkan fragmen fraktur yang multipel.
Awalnya, klasifikasi dibagi lagi menjadi cedera sentral, lateral, kombinasi sentro-lateral.
Cedera sentral dikenal dengan LE fort I dan le Fort II, fraktur pada kompleks asal dan naso-
ethmoid. Kombinasi tipe centro-lateral menlibatkan Le Fort II dan fraktur kompleks
zygomatico-maksila (ZMC) , fraktur maksila lateral dibagi lagi menjadi fraktur tulang
zygomaticus dan fratur arcus zygomaticus.

Le Fort I disebut juga “floating palate” karena terjadinya pemisahan total antara palatum
durum dengan basis cranii. Kondisi ini dapat terjadi pada benturan langsung pada regio rahang
atas. Garis fraktur akan meluas secara axial dari batas bawah apertura piriform dan septum
nasala, melalui dinding bawah sinus maksilar, tuberositas maksilar, dan aspek bawah
pterygoid. “floating palate” dapat terjadi pergeseran tulang ke arah posterior mengakibatkkan
maloklusi dan perdarahan pada sinus maksila. Fraktur pada akar gigi dan avulsi juga sering
terjadi dan dapat tergambar pada foto gigi secara panoramik atau CT.

Fraktur Le Fort II, disebut juga fraktur piramidal, merupakan salah satu dari fraktr
maksila berat, yang mengakibatkan terpisahnya maksila dari kompleks nasal dari tulang wajah.
Apeks piramid terletak pada inferior sutura naso-frontal. Garis tersebut berlanjut dengna arah
oblique melalui tulang lakrimal dan dinding medial orbital, berbelok ke arah anterior melalui
dasar orbita, dinding anterior maksila dan sutura zigomatico-maksila, juga secara posterior
melalui lempeng pterygoid. Arcus zygomaticus tetap intak. Fragmen fraktur pyramid akan
bergeser ke arah posterior yang mengakibatkan deformitas wajah dan maloklusi. Cedara pada
duktud dan saccus lacrimalis juga dapat terjadi, dan pada terjadi keruskaan pada saraf infra-
orbital, mengakibatkan anestesia.

Fraktur Le Fort III, atau ‘disosisasi kraniofasial’, mengakibatkan perppisahan


komplete antara tulang fasial dan cranial. Garis fraktur dari arah medial pada sutura naso-
frontal dan diding medial orbital, mirip dengan pola fraktur Le Fort II, akan tetapi garis fraktur
berlanjut secara horizontal memotong dasra orbital fisura orbital inferior, dan lempeng
pterygoid, begitu juga secara lateral ke dinding lateral orbital, memisahkan sutaura
zgomaticofrontal. Tidak seperti frakut Le Fort tipe I dan II, arcus zygomaticus juga mengalami
fraktur. Komplikasi yang dapat terjadi adalah, robeknya saraf infra-orbital, perdarahan orbital,
penekana pada nervus optikus, kerusakan pada aparatus lakrimal, dan rinorrhea LCS.

Gambar 1. Gambaran CT bone window memperlihatkan fraktur Le Fort I. Garis fraktur membentang
dari apertura piriformis inferior dan septum nasal (a), dinding sinus maksila (b), lempeng pterygoid (c)

Tatalaksana pembedahan. Fraktur le fort cenderung berbentuk kominuti dan seirng


dihubungkan dengan faktur mandibula, compleks nasoetmoid, zygoma, dan lengkung kranial.
Akan sering kita temukan kombinasi dari pola fraktur Le Fort. Teknik yang dugunakan dalam
tindakan pembedahan adalah untuk stabilisasi mandibula, dalam hubungannya dengan basis
cranii dan kemudian membentuk oklusi dengan amaksila sebagai fiksasi. Umumnya, semakin
berat derajat serpihan fraktur yang ada akan semakin sulit juga untuk mencapai stabilitas
tulang. Metode alternatif dalam fiksasi melibatkan fiksasi sisa dari fragmen yang rusak dari
tulang orbital berdasarkan gambaran radiografi sebelum operasi dan sealama operasi dan
memulai operasi dari titik tersebut. Pada pola fraktur kominuti yang lebih hebat, cangkok
tulang mungkin diperlukan, fiksasi intermaksila juga mungkin diperlukan untuk mencapai
kestabilan.

Gambar 2. Gambar 3 dimensi postero-anterior (a) oblique (b,c) CT scan memperlihatkan fraktur
kompleks dan bilateral, cenderung gambaran fraktur Le Fort II. Fraktur membentang dari sutura naso-frontal,
dinding orbital medial dan inferior, rima orbital dan dinding maksilar anterior secara bilateral. Dari posterior,
fraktur melibatkan lempeng pterygoid (tak terlihat). Pergeseran minimal terjadi pada fraktur parasimfisis
mandibula juga terlihat. Endotracheal tube.

Fraktur tulang nasal adalah bentuk fraktur yang sering teradi pada trauma fasial, dengan
epidemiologi lebih dari 50% dari seluruh fraktur maksilofasial, akan tetapi pemeriksaan secara
radiologi jarang diperlukan. Tergantung apada derajat dari cedra, derajat fraktur kominuti,
dislokasi nasal septum atau avulsi conchae. Komplikasi yang sering terjadi berupa epistaksis
dan obstruksi drainase sinus. Fraktur nasal yang terjadi sepanjang septum nasal dapat
megakibatkan kerusakan juga pada perichodnrium, hematom septal, atau terbentuknya abses,
memicu terjadinya necrosis dan perforasi.

Fraktur ZMC diakibatkan oleh benturan langsung eminensia malar dan meupakan
fraktur fasial tersering kedua setelah fraktur nasal. Dapat terlihat pada foto X-ray, dikenal
dengan fraktur trimalar atau fraktur tripod, karena adanya fraktur pada tiga perlekatan tulang
zigomaticum dan terpisahnya zygomaticum dari calvaria. Tiga komponen cederanya terdiri
dari fraktur dinding lateral orbital, terbentang dri sutura zygomaticum, fraktur sinus
maksilaris anterior terbentang melalui sutura zygomaticum dan fraktur arkus zygomatikum,
terbentanng anterior terhadap sutura zygomatikum. Oleh karena keterlibatan sutura
zygomaticosphenoidm tidak dapat terlihat pada foto X-ray, fraktur ini dikenal dengan fraktur
quadrimalar atau quadripod. Derajat dari displacement dan posisi dari fragmen fraktur multipel
akan telihat baik pada pemeriksaan dengan CT 3 dimensi rekonstruksi. Komplikasi yang dapat
terjadi adalah kerusakan pada saraf infraorbital, peningkatan volume orbital,mengakibatkan
enophtalmos dan gangguan mastikasi.

Gambar 3. CT scan bone window memperlihatkan fraktur Le Fort III sebelah kiri. Fraktur terbentang
dari diding orbital medial, inferior, dan lateral (a,b), arcus zygomatikus kiri (b) dan lempeng pterygoid secara
bilateral (c).

Gambar 4. Foto X-ray Occipitomental Gambar 5. CT 3 dimensi postero


pasien dengan frakut ZMC unilateral anterior tulang wajah memperlihatkan
kanan. Pemisahan total antara zygoma depresi dan rotasi zygoma kanan pada
dari viscerocranium karena gangguan pasien dengan fraktur ZMC unilateral
pada zygomatico-frontal, zygomatico- kanan.
temporal, dan sutura zygomatico-
maksilar. Sutura sygomatico-sphenoid
tak terlihat pada foto X ray
Fraktur terisolasi arkus zygomatikum biasanaya berbentuk segmental maupun
cominuti, mengakibatkan minimal dua fragmen fraktur terpisah. Fragmen tersebut dapat
bergeser ke arah inferior mapun medial terhadapfosa infratemporal, mengenai coronoid
mandibula, processus maupun muskulus temporalis dan mengakibatka kemampuan membuka
mulut berkurang.

Gambar 6. Fraktur blow-out robital kiri pada CT scan bone window (a) dan potongan
sagital soft tissue windows (b) memperlihatkan pergesran kominuti dan inferior dinding orbital
inferior (a,b) dan rima orbital yang masih intak. Terlihat herniasi inferior dan terjepitnya
musculus rectus inferior dalam potongan sagital (b)

Tatalaksan bedah. Tatalaksan bedah pada fraktur ZMC ditentukan dari keakuratan
reduksi anatomis tulang zygomaticum dan perbaikan anatomi orbital. Kompleks
orbitozygomatic harus ditatalaksana sebagai quadripod. Empat titik fraktur tersebut terletak
pada lokasi anatomis yang sempit, akan tetapi karena komposisinya yang padat, dapat
menerima plat osteosintesis yang dapat diletakan pada insisi kulit yang minimal. Keputusan
dalam tindakan operasi ditentukan oleh beberapa faktor kunci. Disrupsi orbital cenderung
mengakibatkan malposisi dan diplopia, trismus dapat terjadi akibat tubrukan arkus
zygomatikus pada processus korronoid mandibula dan deformitas terjadi akibat dirsupsi
orbitozygomati yang semuanya merupakan indikasi untuk segera dilakukan pembedahan.
Derajat kominuti dan displacement ditentukan dari pemeriksaan CT.
Trauma orbital

Imaging dan klasifikasi. Fraktur orbital dapat terjadi secara tersendiri maupun menjadi bagian
dari frakut maksila, terssering ZMC, Le Fort II, dan Le Fort III.

Fraktur blow-out terjadi akibat bernutan langsung pada regio orbital dari sebuah objek
yang terlaluu besar untuk melakukan penetrasi pada regio orbital. Gaya yang ada diserap oleh
tepi orbital anterior dan ditranmisikan ke dasar orbital yang lebih tipis di bagian medial.
Fragmen fraktur, kemudian bergeser ke arah luar, akibat adanya peningkatan mendadak
intraorbital. Tepi anterior orbital biasanya masih intak.

Herniasi pada lemak dan otot orbital mengakibatkan ‘pendng-drop’ sign pada X-ray
cranium yang secara bersamaan terjadi perdarahan pada sinus maksila mengakibatkan
gambaran air-fluid level. Karakteristik herniasi akan lebih baik terlihat dengan foto MRI,
karena hampir dari setengah herniasi muskulus rectus orbital tidak terlihat pada CT. CT dengan
potongan sagital dan coronal lebih baik dalam menggambarkan pola fraktur, khususnya fraktur
pada dasar, langit, dan apeks orbital.

Fraktur dinding orbital inferior, dimana terjadi herniasi muskulus rektus dan adanya
fraktur fragmen mengakibatkan terjepitnya saraf tersbut, kondisi ini disebut sebagai fraktur
trapdoor. Kondiisi ini mudah kita temukan pada pemeriksaan foto radiografi, dan apabila tidak
dilakukan pembedahan, mengakibatkan nekrosis otot. Pada CT, terjepitnya otot digambarkan
dengan masuknya ootot ke dalam sinus maksila, terkadang tanpa disertai fraktur dasar orbital.

Fraktur dinding medial terjadi lebih dari 50% pasien yang mengalami fraktur fasial
inferior. Fraktur non-displace lamina papyarcea atau ethmoid sukar digambarkan atau harus di
pertimbangkan jika terdapa air-cell opacification atau herniasi lemak orbital. Emfisema orbtial
adalah salah satu indikator lain pertanda terjadinya fraktur dinding medial. Fraktur sinus
maksilar terisolasi jarang menjadi sumber adanya udara orbital karena kondisi kedap udara dari
dasar orbital akibat ari edem dan herniasi lemak.. emfisema orbital dari kompleks sphenoid
atau fraktur sinus frontal lebih jarang terjadi.
Gambar 7. CT scan potongan kornal bone windows mempelihatkan fraktur orbital sisi
kiri. Terdapat fraktur kecil yang tidak berger dari dinding inferior orbital (a,b) dengan jaringan
lunak yang mendasarinya (b). Muskulus rectus inferior tak tampak dalam rongga orbital (b),
terjebak dalam sinus maksila kiri.

Gambar 8. Hematoma intra-orbital retro-bulbar kiri dalam CT scan potongan axial soft tissue
windows. Terlihat adanya eksoftalmos mata kiri.

Fragmen fraktur mungkin adakalanya mengakibatkan herniasi ke arah dalam


,mengakibatkan fraktur bentuk blow-in. Lebih dari separuh kasus dihubungkan dengan fraktur
sinus dan tengkorak, dasar orbital sering terlibat. Fragmen fraktur yang harus digambarkan dan
dilakukan reposisi karena mengingat risiko laserasi muskulus orbital.

Komplikasi. Komplikasi awal fraktur orbital termasuk, perdarahan intraorbital,


emfisema, emfisema, dan herniasi lemak orbital atau muskulus resktus melalui lokasi fraktur.
Herniasi terhadap seluru GLOBE ke dalam seluruh sinus maksila juga pernah dilaporkan.
Diantara komplikasi awal yang sering terjadi adalah kompresi nervus optikus karena fraktur
fragmen atau hematom perineural dilaporkan terjadi pada 4% pasien. Cedera terhadap nervus
infraorbital jika dasar atau rima inferior terlibat, dan cedera nervus II, IV<, dan VI jika fisura
orbitalis superior yang terlibat. Laserasi atau ruptur GLOBE jarang terjadi, dislokasi lensa dan
lepasnya retina juga mungkin terjadi.

Tatalaksana bedah. Pendekatatan bedah pada perbaikan primer pada fraktur orbital
mejadi lebih agresif. Tujuannya adalah untuk restorasi kontur dan volume tulang orbital ketika
reposisi herniasi jaringan orbital. Secara klinis, penilaian orthopedi dan radiologi dibutuhkan
untuk menentukan butuh atau tidaknya intevensi bedah. Derajat keparahan kerusakan tulang
orbit harus seluruhnya dinilai, sehingga dokter bedah bisa memutuskan jarak aman untuk
dilakukan deseksi. Idealnya, tulang orbit dapat terlihat pada foto axial, coronal, dan sagital,
utnuk memastikan luasnya kerusakan, rekosntruksi #D tulang orbit bergua pada fase ini untuk
keperluan recana pembedahan. Ketepatan DICOM memungkinkan untuk dilakukan
pencetakan 3D ketika dibutuhkan pemasangan alloplastic.

Gambar 9. Foto panoramik memperlihatkan perbeseran minimal angulus mandibula kiri dan fraktur
parasimfisis kanan.

Benda asing yang masih tertahan di orbital, harus dianggap sebagai cedera penetrasi,
baik letaknya di kompartemen inta/extra-orbital. Pemeriksaan CT diperlukan untuk
memperlihatkan benda asing berbahan kayu.

Indikasi klinis untuk dilakukan pembedahan segera diantaranya adalah enophtalmos


akut dan terpejitnya otot orbital. Karena edema orbital dan perdarahan orbital pada fase awal
trauma, bentuk ringan dari enoftalmos biasanya bermanifestasi selama beberapa hari setelah
cedera, ketika pembengkakan mulai mengecil. Pemeriksaan CT merupakan pilihan utama
untuk menggambarkan penyebab peningkatan volume intra-orbital, biasanya disebabkan oleh
pergesran dinding orbital atau akibat lekukan dan tindakan operasi yang kurang baik dari
fragmen fraktur.

Fraktur Naso-orbitoethmoid (NOE) melalui dinding medial orbital dan seluruh


kompleks NOE dapat mengakibatkan telechantus karena terjadinya cedera pada tendon canthal
medial. Derajat fraktur kinuti dari dinding medial orbital pada ketinggian fossa lacrimalis dapat
memprediksi adanya avulsi tendon dan membantu rencana perbaikan melalui pembedahan.
Fraktur pada dasar orbital superior dan lempeng cribiform dapat mengakibatkan kebocoroan
LCS, meningocoele, encephalocoele, dan perdarahan intrakrnaial.

Talaksana bedah. Anatomi yang rumit pada regio NOE seing mengakibatkan
misdiagnosis dan tatalaksana yang tidak adekuat. Pemeriksaan klinis dapat ditemukan
instabilitas fragmen medial tulang orbital, akan tetapi sebagian besar informasi akan didapat
pada pemeriksaan CT. Tujuan pembedahan adalah untuk mengembalikan jarak inter-canthus,
memperbaiki kontur nasal dan canthus medial. Kesulitannya adalah untuk mengidentifikasi
tendol canthus medial dan fragmen tulang yang pecah. Terdapat tiga pola fraktur, tiap pola
akan mentukan metode fiksasi yang digunakan. Tipe fraktur I (fraktur fragmen tunggal), type
II (fraktur kominuti orbital medial), type III (fraktur kominuti orbital medial yang memanjang
melalui insesrsi canthus medial atau ditambah dengan avulsi pada insersi tendon). Untuk
menyederhanakan recnana terpai primer, penting juga untuk mengetahui, antar afraktur
unilateral atau bilateral, dan juga luasnya segmen yang terlibat.

Fraktur mandibula.

Imaging. Fraktur mandibula termasuk salah satu fraktur tulang fasial yang sering
terjadi. Fraktur dapat terjadi sendriri karena benturan langsung pada mandibula atau
berhubungan dengan fraktur pada cedera maksila berat, sebagai bagian dari fraktur Le Fort.
Karena struktur pada perlekatan antara mandibula dan tulang cranim yang mirip cincin, yatu
pada articulatio temporomadibula, benturan pada mandibula dapat mengakibatkan fraktur
baikpada tulang mandibula maupun temporal pada 50% kasus. Fraktur terisolasi madibula
dapat telihat pada foto panoramic mandubula d dan foto PA mandibula. Peran CT juga
bermakna pada fraktur mandibula terisolasi, misalnya pada kasus suspek fraktur parasimfisis
atau fraktur ramus mandibula yans sulit terlihat pada foto X-ray karena ketidakmampuan
pasien untuk membuka mulut, atau karena tertutup oleh artefak pada vertebrae cervikal.
Gambaran fraktur pada CT akan terlihat lebih baik dengan arah foto axial sepanjang korpus
mandibula, dan potongan coronal sepanga ramus mandibula.

Gambar 10. Fraktur keuda condylus mandibula pada foto panoramikm terdapat dislokasi sendi
temporomandibula. Terlihat juga pergeseran fraktur melalui corpus mandibula kiri.

Gambar 11. Fraktur kominuti ekstra-kapsular melalui condylus mandibula. CT scan potongan coronal
bone windows dengan jelas memperlihatkan pergeseran ke arah medial dan anterior fraktur condylus mandibula
karena kontraksi muskulus pterygoid lateral.

Klasifikasi. Klasifikasi fraktur berdasarkan lokasi atau regio anatomi yang terlibat,
paramsimfisis, corpus mandibula, angulus atau ramus dan juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan derajat fraktr kominuti dan keberadaan fragmen yang bergeser. Fraktur ramus
dibagi lagi menjadi fraktur prosesus koronoid dan pfraktur processus condylar.

Fraktur condylar adalah yang paling sering dianggap bukan merupakan fraktur
mandibula. Pemeriksaan dengan CT akan lebih akurat, lebih sensitif, dan lebi spesifik
dibandingkan dengan foto panoramik. Lokasi dan derajat dislokasi fracture condylar
menentukan tatalaksana yang akan diberikan. Fraktur intracapsular jarang membuat pergeseran
fragmen dan biasanya ditatalaksana secara konservatif, sedangkan fraktur ekstrakapsular
diterapi secara bedah karena terjadi pergesran caput condylar ke arah medial dan anterior,
akibat tarikan dari muskulus pterygoid lateral. Fraktur fossa glenoid terjadi pada 1.4% pasien
dengan fraktur condylar, dan pada kejadian yang sangat jarang, condylus mandibular dapat
berpindah ke arah superor melalui fraktur fossa glenoid ke dalam fossa cranial medial atau ke
arah posteror , masuk kedalah kanalis auditorius external.

Komplikasi. Fraktur korpus, ramus, dan kanalis mandibula yang melibatkan canalis
mandibula dapat mengakibatkan cedera pada nervus alveolar inferior. Karena banyaknya
bakteri dalam mulut, fraktur mandibula terbuka sangat berisiko mengakibatkan infeksi dan
osteomyelitis. MRI berguna untuk mendiagnosa tahap awal osteomyelitis, akan tetapi CT dapat
memberikan informasi preoperatif, mengenaii ukuran, jumlah dan kebeeradaan pembentukan
callus. Komplikasi lain termasuk non-uion atau malunion, nekrosi atau fraktur caput
mandibular dan cedera pada diskus arcularis, akan lebih terlihat dengan pemeriksaan MRI.

Fraktur basis cranii.

Basis kranii dibentuk oleh 5 tulag, oksipital, temporal, dan sphenoid, lempeng cribiformi tulang
ethmoid dan lempeng orbital tulang frontal. Karena stuktur anatomi yang kompkes, fraktur
basis cranii cenderung berakibat pada komplikasi serius , termasuk cedera vaskuler, palsy
nervus cranial, komplikasi intracranial dan fistula aliran LCS.

Gambar 12. Fraktur longitudinal tulang temporal kanan. Pada CT scan bone windows potongan axial , fraktur
telihat melalui tulang mastoid akanan (a) melibatkan dinding lateral canalis peterosus karotis (b) dan genu
anterior canalis fasialis kiri (jarang) (b). Kapsula optikus tidak terlibat.
Farktur tulang temporal

Fraktur tulang temporal terjadi sebagai akibat dari trauma tumpul dengan energi tinggi yang
mengenai kepala, terjadi pada 14-22% pasien dengan fractur cranium. Baisanya terjadi pada
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan tindak kekerasan.

Imaging. Sebagian besar fraktur dapat diidentifikasi dalam pemeriksaan rutin kepala, CT fasial
atau vertebrae cervikal dresolusi tinggi dengan metode bone window. Pemeriksaan CT sangat
diperlukan jika terdapat kecurigaan terjadi cedera tulang temporal (misalnya, opasifikasi
kanalis auditorik eksternal atau udara mastoid, pneumocephalus, dan hematome extra-aksial
adanya air-fulid level pada sinus sphenoid ), akan tetapi tidak terlihat fraktur pada pemeriksaan
rutin trauma kepala. Cedera pada setiap kompoenen penting struktur tulang temporal harus
diidentifikasi dan dideskripsiak secara tersendriri untuk membantu rencana terapi dan
memprediksi prognosis. Untuk mempermudah deskipsi garis frakutr, pemeriksaan CT harus
dilihat dengan seksama untuk melihat keterlibatan ossikular, tulang labirin, nervus fasial,
auditori internal, dana canalis karotis. Adakalanya pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien
yang mengalami kehilangan pendengaran atau kelumpuhan nervus fasial, walaupun
penggunaanya terbatas pada kondisi muli-trauma akut.

Klasifikasi. Fraktur tulang secara sederhana diklasifikasikan menjadi fraktur longitudinal dan
tranversal, berdasarkan hubungannya dengan tulang petrosus. Sebanyak 90% berbjenis fraktur
longitudinal, terjadi karena adanya gaya yang mengenai regio temporoparietal dan berjalan
sejajar dengan tulang petrosus. Garis fraktur yang terjadi dapat pula mengenai parietal,
temporal squamosa, dan canalis auditori eksternal, serta telinga tengah. Struktur telinga tengah
biasanya masih utuh. Fraktur tranversal terjadi ketika terdapat gaya ke arah frontal atau
oksipital dan berjalan tegak lurus dengan os petrosus tulang temporal. Garis fraktur yang timbul
berjalan dari foramen magnum memotong pyramid os petrosus ke arah fosa cranialis medial,
sering juga melibatkan fraktur oblique atau fraktur campuran.

Hasil dari penelitian terbaru meenyebutkan baha tidak ada hubungan antara klasifikasi tersbut
dengan pognosis pasien. Dahiya dkk, mengajukan klasifikasi fraktur yang ditekankan pada
keterlibatan kapsula otikus, yang mana dalam sistem klasifikasi ini tidak hanya memandangnya
dari sudut pandang antomi, akan tetapi juga sangat berguna dalam stratifikasi derajat keparahan
klinis dan prediksi komplikasi yang potensial terjadi. Fraktur yang mengenai tulang labirin,
vestibula, dan cochlea, atau kanalis semicircular, disbut sebagai sebagai ‘otic capsule-
violateing fracture’, yang secara statistik cenderung mengakibatkan kehilagan pendengaran,
kebocoran LCS, paralisis nervus fasialis, dan komplikasi intrakranial, dibandingkan dengan
‘otic capsule-sparing fracture’. Penelitian menurut Little dkk juga menyebutkan bahwa ‘otic
capsule-violating fracture’ mempunyai risiko 25 kali lipat lebih besar untuk mengalami
kehilangan pendengaan, 8 kali lipat untuk mengalami kebocoran LCS, dan 5 kali lipat untu
mengalami cedera nervus fasialis dibandingkan dengan pasien dengan ‘otic capsule-sparing
fracture’.

Gambar 13. Potongan CT scan aksial bone windows memperlihatkan frature tarnversus akut
pada tulang temporal kanan yang melibatkan kapsula otikus. Garis fraktur melalui fosa jugular
posterior melalui koklea kanan dari arah anterior (a). Canalis carotis juga mengalami fraktur
(b)

Gambar 14. CT scan memperlihatkan sendi incudomaleolar. Terlihat perpisahan sendi incudo-maleolar kanan
(a) dibandingkan dengan posisi antomi normal pada persendian incuo-malelar kiri (b)

Komplikasi. Identifikasi dan deksripsi cedera tulang temporal sangatlah penting untuk
memprediksi prognosis pasien dan sebagai acuan untuk tatalaksana lebih anjut dari pada
mengklasifikannya menurut kategori-kategori tertentu.

Tuli konduktif dapat terjadi pada fraktur longitdinal maupun oblique karena ruptur membran
timpani, haemotympaninum, atau cedera ossikular. Tuli konduktif yang tetap ada setelah
cairan dalam telinga tengah dihilangkan atau setelah terjadi penyembuhan membran timpais,
dianggap sebagai cedera ossicular. Dislokasi ossicular lebih sering terjadi dibanding fraktur
ossicular, dan incus merupakan bagian paling sering yang mengalami dislokasi, karena adanya
gangguan pada sendi incudostapedial dan incudomalleolar.

Cedra nervus fasial terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan fraktur tranversal. Seirng
karena fraktur segmen labirin dari kanal nervus. Kelumpuhan nervus fasial yang terjadi secara
akut dan komplite, merupakan pertanda kerusakan nervus secara parsial maupun total, atau
amerupakan tanda terdapat kompresi dari fragmen fraktur. Pada fraktur longitudinal,
kelumpuhan nervus fasial terjadi pada 10-20% pasien dan sering terjadi beberapa hari setelah
fraktur, akibat adanya kontusio nervus, edema, hematoma, atau akibat selubung saraf yang
rusak.

Komplikasi fistula termasuk kebocoran LCS dan fistula perilimfatik. Kebocoran LCS sering
terjadi akibat fraktur pada tegmentum tympani dan bermanifestasi sebagai otorrhea dan
rhinorrhea, tergantung apakah membran tympani ruptur atau intak. Fistula perilifatik terjadi
pada tulang stapes dari jendela oval atau adanya fraktur pada round window. Diagnosis
mungkin akan sulit atau dapat dicurigai secara klinis menunjukkan demikian, efusi telinga
tengah yang tidak dapat dijelaskan, atau adanya pneumolabyrinth pada CT tulang temporal.

Fraktur Basis Kranii Senral

Karena letak Os clivus yang terletak ditengah antara fossa anterior, tengah dan posterior,
fraktur pada lokasi ini sering terjadi bersamaan dengan fraktur maksila dan cedera laterobasal
akibat benturan antero-posterior, maupun lateral.

Klasifikasi. Penelitain oleh West dkk mengidentifikasi empat pola fraktur basis cranii sentral,
yang kemudian dibagi lagi menjadi tranversal dan diagonal. Fraktur tranveral anterior
mengenai lempeng pterygoid dan bagian depan korpus sphenoid, sedangkan fraktur tranversal
posterior mengenai dinding posterior sinus sphenoid dan clivus. Fraktur diagonal lebih jarang
terjadi dan biasanya mengai bagiani lateral frontal dan occipoto-temporal.

Komplikasi. Pengenalan terhadap pola fraktur sangatlah penting untuk memprediksi prognosis
dan komplikasi. Fraktur diagnoal sering dihubungkan dengan angka mortalitas yang lebih
besar, mungkin karena hubungannya dengan cedera batang otak dan pembuluh vertebro-
basiler.

Kelumpuhan multipel nervus cranialis sering terjadi pada sebgaian besar pasien dengan fraktur
basis kranii sentral, paling sering mengenai nervus II, III, IV, VI, dan VII. Nervus tersebut
berjalan melalui apeks orbital, sehingga fraktur tranversal anterior cenderung kebutaan dan
kelumupuhan nervus occulomotorius, sedangakan fratur tranversus posterior cenderung
mengakibatkan cedera trochlear, abdusn, dan nervus fasial dan tuli.

Luasnya fraktur melalui canalis karotis mengakibatkan risiko yang lebih besar terhadap
terjadinya cedera arteri karotis interna (mengenai 10% dari semua paisne fraktur canalis
karotis), khususnya ketika garis fraktur melibatkan os petrosus dani kanalis karotis. Diantara
semua komplikasi vaskuler, fistula cavernosus karotis jarang akan tetapi merupakan
komplikasi serius yang dapat terjadi pada 0.2-0.3% pasien dengan trauma basis cranii, lebih
sering lagi terjadi pada fraktur basilar traversal. Biasanya pasien datang dengan chemosis,
ekssoftalmos, pulsasi bola mata, dan perubahan visual beberapa hari setelah trauma. Fistula
dapat terjadi karena laserasi dinding arteri karotis interna dalam sinus kavernosus dan harus
didiagnosa dengan CT kontras dan MRI. Digital subtraction angiography (DSA) dengan oklusi
balon dan coiling fistula merupakan pilihan terapi utama.

Kesimpulan

Fraktur maksilofasial dan basis cranii serng terjadi pada pasien trauma, dan pemeriksaan klinis
yang dapat dilakukan dapat kurang maksimal karena terjadinya edema, perdarahan, dan cedera
jaringan lunak. Pemeriksaan radiologis terhadap tulang maksila dan basis cranii semakin
ditingkatkan, pemeriksaan CT sudah menjadi hal yang sudah biasa dilakukan. Klasifikasi dan
identifikasi fraktur yang akurat, berhubungan dengan tatalaksana bedah yang tepat dan
mencegah deformitas kosmetik dan disabilitas fungsional. Pada artikel ini dibahas cedera yang
paling sering mengenai tulang wajah dan basis cranii dan hubungannya dengan komplikasi dan
prognosis.
Referensi

1. Allareddy V, Allareddy V and Nalliah RP. Epidemiology of facial fracture injuries. J Oral
Maxillofac Surg: Offic J Am Assoc Oral Maxillofac Surgeons 2011; 69: 2613–
2. Iida S, Kogo M, Sugiura T, et al. Retrospective analysis of 1502 patients with facial fractures.
Int J Oral Maxillofac Surg 2001; 30: 286–290.
3. Gassner R, Tuli T, Hachl O, et al. Cranio-maxillofacial trauma: a 10 year review of 9,543
cases with 21,067 injuries. J Cranio-maxillo-fac Surg: Offic Publ Eur Assoc Cranio-maxillo-
fac Surg 2003; 31: 51–61.
4. Kraft A, Abermann E, Stigler R, et al. Craniomaxillofacial trauma: synopsis of 14,654 cases
with 35,129 injuries in 15 years. Craniomaxillofac Trauma Reconstr 2012; 5: 41–50.
5. Hollier LH Jr, Sharabi SE, Koshy JC, et al. Facial trauma: general principles of management.
J Craniofac Surg 2010; 21: 1051–1053.
6. Schuknecht B and Graetz K. Radiologic assessment of maxillofacial, mandibular, and skull
base trauma. Eur Radiol 2005; 15: 560–568.
7. Winegar BA, Murillo H and Tantiwongkosi B. Spectrum of critical imaging findings in
complex facial skeletal trauma. Radiogr: Rev Publ Radiol Soc N Am 2013; 33: 3–19.
8. Hopper RA, Salemy S and Sze RW. Diagnosis of midface fractures with CT: what the
surgeon needs to know. Radiogr: Rev Publ Radiol Soc N Am 2006; 26: 783–793.
9. Avery LL, Susarla SM and Novelline RA. Multidetector and three-dimensional CT
evaluation of the patient with maxillofacial injury. Radiol Clin N Am 2011; 49: 183–203.
10. Som PM and Brandwein MS. Facial fractures and postoperative findings. In: Som PM,
Curtin HD (eds) Head and neck imaging, 4th edn. St Louis, MO: Elsevier, 2003, pp. 374–438.
11. Gillespie JE, Isherwood I, Barker GR, et al. Threedimensional reformations of computed
tomography in the assessment of facial trauma. Clin Radiol 1987; 38: 523–526.
12. Kaur J and Chopra R. Three dimensional CT reconstruction for the evaluation and surgical
planning of mid face fractures: a 100 case study. J Maxillofac Oral Surg 2010; 9: 323–328.
13. Gentry LR, Manor WF, Turski PA, et al. Highresolution CT analysis of facial struts in
trauma: 1. Normal anatomy. AJR Am J Roentgenol 1983; 140: 523–532.
14. Gentry LR, Manor WF, Turski PA, et al. High-resolution CT analysis of facial struts in
trauma: 2. Osseous and soft-tissue complications. AJR Am J Roentgenol 1983; 140: 533–541.
15. Linnau KF, Stanley RB Jr, Hallam DK, et al. Imaging of high-energy midfacial trauma:
what the surgeon needs to know. Eur J Radiol 2003; 48: 17–32.
16. Manson PN, Clark N, Robertson B, et al. Subunit principles in midface fractures: the
importance of sagittal buttresses, soft-tissue reductions, and sequencing treatment of segmental
fractures. Plast Reconstr Surg 1999; 103: 1287–1306, quiz 307.
17. Rhea JT, Rao PM and Novelline RA. Helical CT and three-dimensional CT of facial and
orbital injury. Radiol Clin N Am 1999; 37: 489–513.
18. Rowe NL. Maxillofacial injuries—current trends and techniques. Injury 1985; 16: 513–
525.
19. Gruss JS and Mackinnon SE. Complex maxillary fractures: role of buttress reconstruction
and immediate bone grafts. Plast Reconstr Surg 1986; 78: 9–22.
20. Manson PN, Hoopes JE and Su CT. Structural pillars of the facial skeleton: an approach to
the management of Le Fort fractures. Plast Reconstr Surg 1980; 66: 54–62.
21. Holland IS, McMahon JD, Koppel DA, et al. Maxillary and panfacial fractures. In: Booth
PW, Eppley BL and Schmelzeisen R (eds) Maxillofacial trauma and esthetic facial
reconstruction, 2nd edn. St Louis, MO: Elsevier, 2011, pp. 228–251.
22. Kelley P, Hopper R and Gruss J. Evaluation and treatment of zygomatic fractures. Plast
Reconstr Surg 2007; 120(7, Suppl 2): 5S–15S.
23. Freund M, Hahnel S and Sartor K. The value of magnetic resonance imaging in the
diagnosis of orbital floor fractures. Eur Radiol 2002; 12: 1127–1133.
24. Linnau KF, Hallam DK, Lomoschitz FM, et al. Orbital apex injury: trauma at the junction
between the face and the cranium. Eur J Radiol 2003; 48: 5–16.
25. Martello JY and Vasconez HC. Supraorbital roof fractures: a formidable entity with which
to contend. Ann Plast Surg 1997; 38: 223–227.
26. Pathria MN and Blaser SI. Diagnostic imaging of craniofacial fractures. Radiol Clin N Am
1989; 27: 839–853.
27. Burm JS, Chung CH and Oh SJ. Pure orbital blowout fracture: new concepts and
importance of medial orbital blowout fracture. Plast Reconstr Surg 1999; 103:
1839–1849.
28. Rohrich RJ, Hollier LH and Watumull D. Optimizing the management of orbitozygomatic
fractures. Clin Plast
Surg 1992; 19: 149–165.
29. Pelton RW, Rainey AM and Lee AG. Traumatic subluxation of the globe into the maxillary
sinus. AJNR Am J
Neuroradiol 1998; 19: 1450–1451.
30. Levin LA, Beck RW, Joseph MP, et al. The treatment of traumatic optic neuropathy: the
International Optic Nerve Trauma Study. Ophthalmology 1999; 106: 1268–1277.
31. Haug RH, Kimberly D and Bradrick JP. A comparison of microscrew and suture fixation
for porous high-density polyethylene orbital floor implants. J Oral Maxillofac Surg: Offic J
Am Assoc Oral Maxillofac Surgeons 1993; 51: 1217–12120.
32. Evans BT and Webb AA. Post-traumatic orbital reconstruction: anatomical landmarks and
the concept of the deep orbit. Br J Oral Maxillofac Surg 2007; 45: 183–189.
33. Kuhn F, Halda T, Witherspoon CD, et al. Intraocular foreign bodies: myths and truths. Eur
J Ophthalmol 1996; 6: 464–471.
34. Ho VT, McGuckin JF Jr and Smergel EM. Intraorbital wooden foreign body: CT and MR
appearance. AJNR Am J Neuroradiol 1996; 17: 134–136.
35. Whitehouse RW, Batterbury M, Jackson A, et al. Prediction of enophthalmos by computed
tomography after ‘blow out’ orbital fracture. Br J Ophthalmol 1994; 78: 618–620.
36. Schuknecht B, Carls F, Valavanis A, et al. CT assessment of orbital volume in late post-
traumatic enophthalmos. Neuroradiology 1996; 38: 470–475. 254 Trauma 16(4)
37. Markowitz BL, Manson PN, Sargent L, et al. Management of the medial canthal tendon in
nasoethmoid orbital fractures: the importance of the central fragment in classification and
treatment. Plast Reconstr Surg 1991; 87: 843–853.
38. Sargent LA. Nasoethmoid orbital fractures: diagnosis and treatment. Plast Reconstr Surg
2007; 120(7, Suppl 2): 16S–31S.
39. Ogura I, Kaneda T, Mori S, et al. Characterization of mandibular fractures using 64-slice
multidetector CT. Dento Maxillofac Radiol 2012; 41: 392–395.
40. Assael LA. Clinical aspects of imaging in maxillofacial trauma. Radiol Clin N Am 1993;
31: 209–220.
41. Chacon GE, Dawson KH, Myall RW, et al. A comparative study of 2 imaging techniques
for the diagnosis of condylar fractures in children. J Oral Maxillofac Surg: Offic J Am Assoc
Oral Maxillofac Surgeons 2003; 61: 668–672, discussion 73.
42. Ogura I, Sasaki Y and Kaneda T. Analysis of mandibular condylar and glenoid fossa
fractures with computed tomography. Eur Radiol 2013.
43. Schuknecht B and Valavanis A. Osteomyelitis of the mandible. Neuroimag Clin N Am
2003; 13: 605–618.
44. Brodie HA and Thompson TC. Management of complications from 820 temporal bone
fractures. Am J Otol 1997; 18: 188–197.
45. Nosan DK, Benecke JE Jr and Murr AH. Current perspective on temporal bone trauma.
Otolaryngol—Head Neck Surg: Offic J Am Acad Otolaryngol—Head Neck Surg 1997; 117:
67–71.
46. Cannon CR and Jahrsdoerfer RA. Temporal bone fractures. Review of 90 cases. Arch
Otolaryngol 1983; 109: 285–288.
47. Zayas JO, Feliciano YZ, Hadley CR, et al. Temporal bone trauma and the role of
multidetector CT in the emergency department. Radiogr: Rev Publ Radiol Soc N Am 2011; 31:
1741–1755.
48. Ishman SL and Friedland DR. Temporal bone fractures: traditional classification and
clinical relevance. Laryngoscope 2004; 114: 1734–1741.
49. Swartz JP and Curtin HD. Temporal bone: trauma. In: Som PM, Curtin HD (eds) Head and
neck imaging, 4th edn. St Louis, MO: Elsevier, 2003, pp. 1230–1244.
50. Gurdjian ES and Lissner HR. Deformations of the skull in head injury studied by the
stresscoat technique, quantitative determinations. Surg Gynecol Obstet 1946; 83: 219–233.
51. Travis LW, Stalnaker RL and Melvin JW. Impact trauma of the human temporal bone. J
Trauma 1977; 17: 761–766.
52. Dahiya R, Keller JD, Litofsky NS, et al. Temporal bone fractures: otic capsule sparing
versus otic capsule violating clinical and radiographic considerations. J Trauma 1999; 47:
1079–1083.
53. Little SC and Kesser BW. Radiographic classification of temporal bone fractures: clinical
predictability using a new system. Arch Otolaryngol—Head Neck Surg 2006; 132: 1300–1304.
54. Meriot P, Veillon F, Garcia JF, et al. CT appearances of ossicular injuries. Radiogr: Rev
Publ Radiol Soc N Am 1997; 17: 1445–1454.
55. Harker LA and McCabe BF. Temporal bone fractures and facial nerve injury. Otolaryngol
Clin N Am 1974; 7: 425–431.
56. Casselman JW. Temporal bone imaging. Neuroimag Clin N Am 1996; 6: 265–289.
57. West OC, Mirvis SE and Shanmuganathan K. Transsphenoid basilar skull fracture: CT
patterns. Radiology 1993; 188: 329–338.
58. Menku A, Koc RK, Tucer B, et al. Clivus fractures: clinical presentations and courses.
Neurosurg Rev 2004; 27: 194–198.
59. Resnick DK, Subach BR and Marion DW. The significance of carotid canal involvement
in basilar cranial fracture. Neurosurgery 1997; 40: 1177–1181.
60. Fabian TS, Woody JD, Ciraulo DL, et al. Posttraumatic carotid cavernous fistula: frequency
analysis of signs, symptoms, and disability outcomes after angiographic embolization

Anda mungkin juga menyukai