Anda di halaman 1dari 57

CT Tulang Belakang Pasca-Operasi: Apa Yang Perlu Diketahui

Oleh Dokter Ahli Radiologi

Nevil Ghodasara, MD Paul H.Yi, MD; Karen Clark, MD; Elliot K. Fishman, MD; Mazda Farshad, MD, MPH Jan Fritz, MD

Selama 2 dekade terakhir, jumlah tindakan bedah tulang belakang yang dilakukan

setiap tahunnya diketahui terus meningkat, dan prosedur-prosedur ini disertai dengan

semakin banyaknya studi pencitraan pasca-operasi untuk diinterpretasikan. CT

diketahui merupakan satu modalitas yang akurat untuk mengidentifikasi lokasi dan

integritas implan, menilai tingkat keberhasilan dekompresi dan prosedur-prosedur

arthrodesis intervertebral, dan juga untuk mendeteksi dan mengkarakterisasi

komplikasi-komplikasi yang berpotensi muncul. Walaupun CT spinal (tulang

belakang) pasca-operasi seringkali terbatasi karena adanya artifak yang disebabkan

oleh implan logam, namun pengoptimalan parameter dan teknik-teknik reduksi

artifak logam yang semakin canggih – yang diantaranya mencakup metode

rekonstruksi iteratif (berulang) dan monoenergetik – dapatlah diaplikasikan untuk

secara substansial mengurangi tingkat keparahan artefak logam dan juga untuk

meningkatkan kualitas gambar. Implan dan prostesis tulang belakang yang tersedia

dan umum digunakan baru-baru ini mencakup sekrup dan kawat, batang/ rod statis

dan batang mulur, material-material biologis dan tandur tulang, cage/ sangkar antar-

badan, dan prostesis diska intervertebral. Assessment CT dan spektrum komplikasi

yang dapat berpotensi terjadi setelah pembedahan tulang belakang dan artroplasti

intervertebral diantaranya mencakup semua yang terkait dengan posisi dan integritas

implan dan prostesis, degenerasi ruas damping, kumpulan/ koleksi, fistula,

pseudomeningokel, kebocoran cairan serebrospinal, dan infeksi di area pembedahan.

Pemahaman tentang berbagai teknik dan peralatan bedah tulang belakang diketahui
dapat membantu di dalam membedakan temuan-temuan pasca operasi dari

komplikasi-komplikasi yang berpotensi muncul. Berbagai tipe instrumentasi bedah

tulang belakang dan implan tulang belakang yang umum digunakan pun akan kami

tinjau/ bahas. Para peneliti juga akan menjelaskan dan mengilustrasikan temuan-

temuan spina pasca-operasi yang normal, tanda-tanda akan keberhasilan operasi, dan

spektrum komplikasi pasca operasi yang luas yang dapat membantu para dokter ahli

radiologi untuk menghasilkan laporan-laporan yang membahas tentang masalah-

masalah yang perlu diketahui oleh dokter ahli bedah, sehingga penanganan pasien

yang optimal dapatlah dicapai.

Tujuan Pembelajaran SA-CME

Setelah melakukan SA-CME yang berbasis jurnal ini, para peserta akan dapat:

■ Menjelaskan tantangan dan kesulitan-kesulitan teknis, dan solusi-solusi lainnya

yang terkait, di dalam pelaksanaan CT spina pasca-operasi pada para pasien yang

memiliki implan logam.

■ Membuat daftar kategori-kategori pembedahan spina, instrumentasi, dan implan

yang berbeda-beda yang digunakan pada prosedur operasi tulang belakang.

■ Mengidentifikasi temuan-temuan (baik yang bersifat normal maupun abnormal)

pada CT tulang belakang pasca operasi.

Lihat rsna.org/learning-center-rg.
Pendahuluan

Karena adanya inovasi di dalam pengembangan teknik dan perangkat pembedahan,

tingkat frekuensi prosedur operasi tulang belakang diketahui telah meningkat secara

stabil selama beberapa dekade terakhir ini. Antara tahun 2004 dan 2015, jumlah

operasi tulang belakang elektif yang dilakukan untuk mencapai fusi lumbal diketahui

telah meningkat dari 122.679 menjadi 199.140. Hal ini pun berkontribusi terhadap

peningkatan 177% dalam total biaya rumah sakit (dari $10 miliar biaya rumah sakit

pada tahun 2015). Hal serupa, jumlah total tindakan operasi tulang belakang leher

yang dilakukan pun meningkat dari 27.061 menjadi 34.882 antara tahun 2001 dan

2013, dengan peningkatan biaya yang mencapai 64%. Peningkatan tertinggi di dalam

volume prosedur bedah tulang belakang diketahui terjadi pada individu yang berusia

≥65 tahun. Dengan prevalensi yang mencapai 23%, nyeri leher dan nyeri tulang

belakang bagian bawah merupakan dua kondisi paling umum yang membutuhkan

tindakan bedah tulang belakang, dan tingkat prevalensi ini diketahui cenderung

meningkat yang diakibatkan karena peningkatan populasi individu lanjut usia.

HAL-HAL PENTING YANG DAPAT DIPELAJARI

 Tandur interbody (antar-badan) ventebral diposisikan secara akurat ketika

jarak antara penanda radiopak margin tandur posterior dengan margin badan

vertebral posterior adalah ≥ 2 mm. Jika tandur antar-badan ditempatkan lebih

dekat dari 2 mm ke margin posterior endplate, maka hal ini dapat

meningkatkan resiko migrasi posterior kedalam kanal tulang belakang,

dengan efek masa pada kantung tekal ventral.


 Arti penting dari pemposisian implan secara klinis tidaklah diketahui. Sekrup

diketahui dapatlah merusak korteks oseus dan bahkan dapat bersentuhan

dengan kantung tekal, elemen saraf, ataupun struktur paraspina, dan dapat

menyebabkan kemunculan gejala ataupun efek samping yang tidak

dikehendaki. Walaupun kasus sekrup yang menusuk dapat terjadi pada 5,1%

dari seluruh kasus, namun tingkat frekuensi dari kemunculan gejala-gejala

neurologis hanyalah mencapai kurang dari 0,2%.

 Osteolisis peri-implan sirkumferensial di sekitar implan tulang belakang yang

berukuran > 2 mm dapatlah menunjukkan terjadinya pelonggaran implan.

Namun demikian, untuk secara pasti mendiagnosis kasus implan yang

longgar, perubahan posisi implan haruslah terlihat pada beberapa pencitraan.

 Pola osteolisis peri-implan dapatlah membantu untuk membedakan antara

mana kondisi yang disebabkan oleh infeksi dengan kondisi yang disebabkan

karena gangguan secara mekanis. Ketika terjadinya pelonggaran sekrup,

osteolisis dapat lebih menonjol disepanjang ujung distal karena titik pivot di

mana sekrup bergerak, sedangkan osteolisis yang diakibatkan karena infeksi

diketahui lebih terlihat difus/ membaur.

 Penyakit segmen damping merupakan perkembangan atau progresi

degenerasi ruas gerak di atas dan di bawah konstruksi instrumentasi tulang

belakang. Pada penyakit segmen damping, proses degenerasi dapat dipercepat

akibat gabungan gaya dan resultan yang meningkatkan transmisi beban

biomekanik dari ruas spina yang mendapatkan-tindakan-instrumentasi dan

yang tidak dimobilisasi. Ruas-ruas ini beraksi seperti lengan tuas dan
mengerahkan kekuatan torsi pada tingkat ruas gerak asli damping di atas dan

di bawah konstruksi instrumentasi.

Peningkatan jumlah tindakan operasi tulang belakang diketahui juga memicu

peningkatan jumlah pemeriksaan pencitraan pasca-operasi yang harus

diinterpretasikan oleh para dokter ahli radiologi. Pemahaman tentang manifestasi-

manifestasi klinis awal, karakteristik-karakteristik pencitraan dari kelainan tulang

belakang pra operasi, tipe operasi yang dilakukan, dan lamanya waktu sejak

dilakukannya tindakan operasi, semuanya sangatlah membantu untuk secara akurat

menginterpretasikan hasil-hasil pemeriksaan pencitraan tulang belakang pasca

operasi. Pemahaman dan pengetahuan ini juga bermanfaat untuk penanganan pasien

selanjutnya. Selain itu, dengan memiliki pemahaman tentang teknik pembedahan

tulang belakang, pendekatan, dan peralatan, akanlah membantu di dalam

membedakan temuan-temuan pasca operasi dari kelainan-kelainan dan komplikasi-

komplikasi yang berpotensi muncul.

CT merupakan satu modalitas yang akurat untuk pendeteksian lokasi dan integritas

implan, selain itu, modalitas ini juga dapat membantu di dalam penilaian tingkat

keberhasilan dekompresi dan artrodesis intervertebral, serta untuk mendeteksi dan

mengkarakterisasi komplikasi yang terjadi. Jika digunakan bersamaan dengan

radiografi, CT dapat menjadi alat yang hebat untuk secara radiografis mendeteksi

kelainan-kelainan samar dan mengkarakterisasi potensi kelainan-kelainan yang

diduga terjadi.

Pada artikel ini, kami akan me-reviu berbagai tipe prosedur bedah tulang belakang,

dan kami juga akan menjelaskan implan-implan tulang belakang yang umum
digunakan. Kemudian, kami juga akan menjelaskan dan mengilustrasikan tentang

temuan-temuan normal pasca operasi, tanda-tanda keberhasilan operasi, dan berbagai

komplikasi pasca-operasi yang jarang terjadi, yang dimana hal ini akan dapat

membantu para dokter ahli radiologi untuk menghasilkan laporan-laporan yang

membahas tentang masalah-masalah yang perlu diketahui oleh para ahli bedah,

sehingga penanganan pasien yang optimal dapatlah diimplementasikan.

Beberapa Modalitas Pencitraan

Radiografi merupakan satu modalitas utama yang digunakan untuk pemeriksaan-

cepat pasca-operasi dan follow up jangka panjang pasca dilakukannya bedah

instrumentasi tulang belakang. Walaupun radiografi diketahui memiliki keterbatasan/

kekurangan, namun hal tersebut seringkali dapat digunakan untuk mengetahui posisi

implan dan perkembangan fusi tulang, dan juga untuk mendiagnosis secara pasti

akan berbagai komplikasi, seperti contohnya fraktur dan degenerasi ruas damping.

Pembandingan temuan-temuan radiografi follow up dengan temuan-temuan

radiografi baseline adalah hal yang penting untuk mendeteksi perubahan posisi alat/

perangkat dan penurunan fiksasi implan. USG dapatlah digunakan untuk mendeteksi

dan mengkarakterisasi kumpulan/ koleksi yang berlokasi secara suferfisial (dangkal);

namun demikian, karakterisasi yang akurat akan kedalamannya seringkali sulit

dilakukan melalui penggunaan modalitas ini.

Pencitraan radionuklida, yang mencakup sintigrafi tulang medronate 99m

technetium, dapatlah digunakan untuk mendiagnosis osteomielitis. Namun demikian,

tingkat sensitivitas yang tinggi yang dimiliki oleh modalitas ini seringkali
mengganggu proses pengidentifikasian kelainan-kelainan tertentu. Sintigrafi Gallium

67 diketahui memiliki tingkat spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan

pemindaian tulang tiga fase. Dengan demikian, kedua pemeriksaan ini seringkali

dikombinasikan. Sintigrafi leukosit berlabel dan PET/CT fluorin 18

fluorodeoxyglucose dapatlah digunakan untuk mendiagnosis infeksi tulang belakang.

Pada situasi pasca operasi, MRI dapat digunakan terutama untuk memvisualisasikan

patensi atau bukaan kanal tulang belakang dan kompresi akar saraf, dan juga, MRI

dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengkarakterisasi koleksi dan infeksi.

Namun demikian, artefak-artefak dari dari implan logam diketahui dapatlah

membatasi kegunaan MRI di sekitarnya.

Setelah dilakukannya bedah instrumentasi tulang belakang, beberapa kondisi yang

umum yang membutuhkan pemeriksaan CT diantaranya mencakup

pengkarakterisasian integritas dan posisi implan, visualisasi keberadaan dan

perkembangan fusi tulang, dan diagnosis komplikasi-komplikasi seperti osteolisis

peri-implan, fraktur yang sama secara radiografis, dan koleksi jaringan lunak. CT

dapatlah menggambarkan struktur tulang dengan tingkat detail yang cukup tinggi,

dan dataset isotropik resolusi spasial tinggi dapatlah memungkinkan pengaplikasian

reformasi multiplanar, yang dimana hal ini dapat meningkatkan tingkat evaluasi

posisi implan, kesejajaran implan, dan fusi tulang. Dengan demikian, kemampuan

reformasi multiplanar dapatlah proses assessment keberhasilan tindakan bedah.

Mielografi CT diketahui merupakan satu metode pemeriksaan invasif yang dapat

berperan sebagai pengganti MRI untuk mengevaluasi kanal tulang belakang dan

akar-akar syaraf ketika tulang belakang pasien diduga mengalami infeksi, fibrosis,
dan himpitan. Selain itu, mielografi CT dapat juga digunakan untuk mengetahui

lokasi kebocoran cairan serebrospinal pasca operasi.

Gambar 1. Reduksi artifak logam pada hasli pemeriksaan CT seorang wanita usia 62

tahun yang pernah menjalani operasi instrumentasi tulang belakang posterior di

tingkat/ level badan vertebral L3-S1 dengan sekrup pedikel, batang vertikal,

dekompresi garis-tengah, dan penempatan tandur tulang posterolateral. Gambar CT

aksial pada tingkat badan vertebral L3 pada 100 keV (a) dan 140 keV (b)

menunjukkan adanya peningkatan tingkat keparahan artefak logam dan resolusi

kontras pada 100 keV, dengan penurunan keparahan artefak logam dan resolusi

kontras pada 140 keV.

Beberapa Teknik dan Protokol CT

Dengan adanya implan logam, pemeriksaan CT tulang belakang dapatlah terbatasi

oleh adanya artifak implan. Ketika sinar x melintasi implan dengan atenuasi tinggi,

starvasi foton, pengerasan sinar, dan hamburan sinar dapatlah terjadi, dan dapat

bermanifestasi sebagai artefak terang dan gelap yang mirip pita dan gelap atau juga

sebagai artifak yang seperti goresan pada gambar hasil pemeriksaan CT. Artefak-
artefak ini diketahui dapat membatasi visibilitas struktur implan dan area di

sekitarnya. Tingkat keparahan artefak sangatlah tergantung pada berbagai variabel

tetap dan variabel yang sulit dimodifikasi. Variabel yang tidak dapat dirubah akan

tergantung pada sifat implan itu sendiri, yang diantaranya mencakup komposisi dan

fitur geometris logam. Semakin tinggi densitas logam, maka semakin banyak artefak

yang akan terlihat. Dengan demikian, titanium (yang diketahui lebih tidak padat

dibandingkan dengan stainless steel) tidak terlalu menyebabkan atenuasi sinar-x dan

tidak terlalu menghasilkan banyak artifak. Polyetheretherketone merupakan satu

material yang umum digunakan untuk tandur antar-badan, dan selain itu, material ini

juga memiliki banyak sifat yang berguna, yang diantaranya mencakup fitur yang

tidak terlalu menghasilkan artifak pada pemeriksaan CT. Semakin tebal implan maka

akan semakin tinggi juga atenuasi dan tingkat keparahan artifak.

Peningkatan kualitas gambar dan akurasi diagnostik CT tulang belakang pasca

operasi sangatlah tergantung pada beberapa variabel yang dapat dimodifikasi/

dirubah, yang dimana hal ini memiliki hubungan dengan teknik CT, parameter, dan

protokol yang digunakan. Beberapa variabel yang dapat dimodifikasi dapatlah

dioptimalkan untuk meningkatkan kualitas gambar CT pada individu yang memiliki

implan di tulang belakang mereka, Dengan melakukan pencitraan yang tegak lurus

terhadap implan dan juga dengan sinar x yang sayat lintangnya terkecil, diketahui

dapatlah menurunkan tingkat keparahan artifak.

Beberapa faktor akuisisi gambar/ citra yang dapat mengurangi tingkat keparahan

artefak diantaranya mencakup voltase puncak yang tinggi, arus tabung yang tinggi,

kolimasi yang sempit, dan sayatan yang tipis. Tegangan/ voltase puncak (Gambar 1)
dapatlah mempengaruhi kemampuan sinar x untuk menembus struktur dan arus

tabung yang berhubungan dengan jumlah foton yang mencapai detektor untuk

menghasilkan gambar CT. Penggunaan tegangan puncak dan arus tabung yang lebih

tinggi dapatlah menurunan jumlah artefak. Namun demikian, hubungan kuadratik

antara peningkatan tegangan puncak dan peningkatan dosis radiasi haruslah

dipertimbangkan dengan cermat. Selain itu, penggunaan tegangan/ voltase puncak

yang lebih tinggi diketahui dapat menyebabkan penurunan resolusi kontras pada

gambar CT, yang dimana hal ini dapat menurunkan tingkat kemampuan pendeteksian

proses jaringan lunak.

Gerakan pasien selama akuisisi gambar/ citra dapatlah menyebabkan artefak

tambahan, namun hal ini dapat diminimalisir dengan akuisisi/ pengambilan data yang

cepat melalui pemindai CT multidetektor yang tersedia saat ini. Pengambilan data

CT melalui penggunaan pitch rendah diketahui dapatlah menurunkan tingkat

keparahan artifak (karena-implan), dimana penggunaan kernel rekonstruksi halus

dapatlah memfasilitasi penurunan tingkat noise/ derau. Dataset resolusi spasial tinggi

dengan ukuran voxel isotropik ≤0,75 X 0,75 X 0,75 mm3 dapatlah menghasilkan

detail gambar yang tinggi dan juga dapat memungkinkan pasca-pemrosesan tiga

dimensi.

Artefak-artefak CT (yang diinduksi karena keberadaan implan logam) dapatlah

diminimalisir melalui penggunaan berbagai teknik canggih, yang diantaranya

mencakup algoritma rekonstruksi reduksi artefak logam dan akuisisi data energi-

ganda dengan pasca-pemrosesan ekstrapolasi mononergis virtual. Walaupun terdapat

banyak vendor yang memiliki software reduksi artifak logam dan algoritma
rekonstruksi yang dianggap tepat oleh mereka, namun tidak sedikit dari mereka yang

menggunakan projection completion. Dengan projection completion, proyeksi sinar x

yang tidak akurat (atau yang hilang) dapat digantikan dengan interpolasi, dari

proyeksi di dekatnya. Gambar/ citra CT energi ganda dapat diperoleh dengan

menggunakan beberapa metode yang berbeda-beda, yang sebagian besarnya

melibatkan penggunaan sistem pemindai CT khusus (Gambar 2).

Dari dataset CT yang diperoleh dengan energi tabung yang berbeda-beda, beberapa

perhitungan dapatlah dilakukan untuk mengetahui tingkat kepadatan/ densitas masa

diferensial dari material dasar yang digunakan. Ketika densitas masa diferensial

dikombinasikan/ digabungkan dengan koefisien atenuasi masa, maka gambar

monoenergetik virtual dapat dihasilkan. Akuisisi gambar monoenergetik virtual pada

energi yang lebih tinggi diketahui dapatlah mengurangi tingkat keparahan artefak

yang dapat mengeraskan sinar atenuasi tinggi (Gambar 1), namun demikian, hal

tersebut tidaklah memiliki pengaruh terhadap hal-hal lain yang dapat menyebabkan

kemunculan artifak, seperti contohnya pembauran sinar.

Gambar 2. Gambar diatas menggambarkan teknik akuisisi dual energi CT (DECT/

CT energi ganda), yang diantaranya mencakup dual-source dual-energy CT dengan

dua tabung sinar x dan dua detektor (paling kiri), single source dual energy CT (CT

energi ganda sumber tunggal) dengan pengalihan energi tabung cepat (kedua dari
kiri), CT spektral berbasis detektor sumber tunggal (ketiga dari kiri), dan CT energi

ganda sumber tunggal dengan teknologi split x ray beam (paling kanan).

Beberapa teknik CT iteratif dan monoenergetik dapat secara substansial digunakan

untuk mengurangi artefak logam yang dipicu karena implan dan prostesis tulang

belakang, selain itu, beberapa teknik ini diketahui dapat meningkatkan visibilitas

tulang, jaringan lunak, dan proses patologis. Penggunaan pasca-pemrosesan tiga

dimensi dengan reformasi lengkung dan multiplanar, dan juga teknik perenderan

sinematik dan volume, dapatlah menurunkan tingkat keparahan artifak garis melalui

perata-rataan data aksial pada bidang reformasi dimana artifak acak dan sinyal nyata

dapat diseimbangkan.

Beberapa Teknik Instrumentasi Tulang Belakang

Pemahaman akan indikasi-indikasi untuk bedah tulang belakang, jenis prosedur yang

dilakukan, dan tujuan dari tindakan intervensi bedah, diketahui dapat membantu

penginterpretasian temuan-temuan CT pasca-operasi yang akurat. Beberapa tipe

pembedahan tulang belakang yang utama adalah mencakup dekompresi, fiksasi,

stabilisasi dan fusi, pembetulan deformitas (kondisi kecacatan), dan eksisi lesi, dan

debridement (penyiangan/ pembersihan).

Dekompresi utamanya dilakukan untuk meminimalisir efek masa melalui

pengangkatan material diska terherniasi atau juga untuk meredakan stenosis spinal

atau neuroforaminal. Dekompresi dapat dicapai melalui tindakan laminotomi,

sequestrektomi, atau nukleotomi (opsional) jika cacat anulus dapat diakses melalui

tindakan pembedahan. Laminotomi unilateral melibatkan pengangkatan sebagian


lamina sehingga dokter dapat melakukan pengangkatan fragmen diska secara

bertahap pada kasus diska yang terherniasi. Liniotomi garis-tengah, yang mencakup

pengangkatan bagian kaudal lamina atas dan bagian kranial lamina bawah, diketahui

merupakan satu prosedur bedah standar untuk penanganan stenosis spinal.

Laminektomi melibatkan pengangkatan lamina secara, dan hal ini dapat dilakukan

secara unilateral melalui pengangkatan satu lamina, atau juga secara bilateral melalui

pengangkatan kedua lamina dan proses spina. Terkadang, prosedur ini digunakan

pada prosedur dekompresi garis-tengah ekstensif untuk meredakan stenosis kanal

tulang belakang.

Fasetektomi parsial diperuntukkan ketika adanya akar saraf keluar yang terkompresi.

Tujuan metode ini adalah untuk hanya mengangkat sendi faset untuk mendekompresi

akar syaraf tanpa menyebabkan ketidakstabilan segmental, yang dimana kondisi ini

dapat menyebabkan subluksasi anterior jika tidak ditangani. Laminektomi dan

fasetektomi biasanya disertai dengan penggunaan instrumentasi untuk fiksasi.

Stabilisasi dilakukan untuk mencapai fusi tulang spina ketika terdapat ketidakstabilan

sebagai akibat dari penyakit diska degeneratif, spondilolisis dengan spondilolistesis,

trauma, infeksi, dan/ atau karena kanker. Pada kondisi ini, tujuan dari implan tulang

belakang adalah untuk (a) mendiamkan ruas gerak untuk memungkinkan fusi tulang,

(b) menjaga atau mengembalikan kesejajaran, dan (c) memungkinkan kemampuan

untuk mengatasi gaya biomekanis pasca pengangkatan bagian spina/ tulang

belakang.
Banyak dari pendekatan bedah (yang diterbitkan maupun yang belum diterbitkan)

yang didasarkan pada skenario klinis, keahlian lokal, preferensi praktik, dan kelainan

saat ini. Pada reviu kali ini, kami pun menjelaskan tentang konsep-konsep yang

paling relevan untuk penginterpretasian temuan-temuan pemeriksaan CT pasca

operasi.

Diketahui, terdapat beberapa pendekatan bedah anterior dan posterior pada tulang

spina leher, yang dimana hal ini tergantung pada kelainan penyebab dan tingkat ruas

tulang yang terlibat. Satu pendekatan klasik untuk tulang spina leher adalah

pendekatan anterior Smith-Robinson, yang digunakan untuk akses anterior ke tingkat

tulang spina leher C2-T1 pada beberapa prosedur, yang diantaranya mencakup

diskektomi dan fusi leher anterior (ACDF/ anterior cervical discectomy and fusion),

korpektomi dan fusi serviks anterior, serta penggantian diska leher. Satu pendekatan

transoral pun dibutuhkan untuk mengakses klivus dan badan vertebral C1 dan C2.

Pendekatan posterior, yang memang lebih jarang dipilih, dapatlah digunakan untuk

laminoplasti, laminektomi, dan instrumentasi posterior. Instrumentasi spinal servikal

(tulang belakang leher) posterior melibatkan upaya penempatan sekrup masa lateral

di dalam badan vertebra C3-C7 dan sekrup transpedikular di dalam badan vertebra

C2 dengan batang/ rod vertikal secara bilateral. Pada beberapa skenario klinis

tertentu, pendekatan anterior dan posterior yang dikombinasikan dapatlah digunakan.

Kemajuan dalam bidang instrumentasi dan teknik navigasi khusus dapatlah

memungkinkan dilakukannya penempatan sekrup pedikula pada badan vertebral C3-

C6.
Gambar 3. ACDF – pada seorang wanita yang berusia 62 tahun yang pernah

menjalani instrumentasi tulang belakang leher – yang membentang dari ruas gerak

C3 ke C5, yang mencakup diskektomi C3-C4 dan C4-C5 dengan penempatan tandur

interbody (antar-badan), pelat anterior, dan fiksasi sekrup. Gambar CT sagital

menunjukkan anatomi vertebra setelah dilakukannya artrodesis intervertebral yang

berhasil, sebagaimana yang ditunjukkan oleh penyambungan tulang padat melalui (*)

dan sekitar (panah) tandur antar-badan.

Gambar 4. Fistula – pada seorang wanita yang berusia 66 tahun yang pernah

menjalani instrumentasi servikotorasik posterior – yang mencakup korpektomi C5-

T1 dengan penempatan tandur antar-badan, fiksasi sekrup dan plat anterior C4-T2,

dan fiksasi batang serta sekrup pedikel dan sekrup batang C2-T5 posterior. Gambar

CT sagital tulang belakang leher diperjelas dengan material kontras yang berbasis

yodium oral (a) dan gambar mielografi CT aksial dari tulang belakang leher (b) yang

menunjukkan fistula (ditunjukkan dengan tanda anak panah) antara esofagus dan
tandur interbody (antar-badan). Terlihat terjadi penyambungan oseus dewasa di

lokasi tandur tulang posterolateral (tanda ujung anak panah di gambar a).

ACDF merupakan satu teknik bedah yang paling umum yang digunakan untuk

penanganan stenosis sentral dan foraminal (Gambar 3). Teknik ini melibatkan

pengangkatan diska intervertebralis (diskektomi) dan penempatan cage antarbadan

ataupun tandur tulang trikortikal untuk mengembalikan tinggi foraminal neural,

menjaga lordosis tulang leher, dan meningkatkan artrodesis intervertebral. Satu pelat

anterior dengan sekrup unikortikal atau bikortikal dapat ditambahkan pada ACDF

multilevel, pada kasus lesi traumatis, dan hanya ketika tandur tulang trikortikal,

polyetheretherketone (bukan titanium), atau cage karbon, dapat ditempatkan untuk

meningkatkan proses fusi tulang. Pada fusi dan korpektomi leher anterior, satu (atau

lebih) badan vertebral pun direseksi (Gambar 4). Cage interbody dengan material

tandur tulang merupakan metode yang paling umum untuk digunakan untuk

menggantikan badan-badan vertebral yang direseksi. Tindakan reseksi lebih dari dua

badan vertebral seringkali membutuhkan stabilisasi posterior tambahan.

Penggantian diska dapat dilakukan untuk menjaga gerakan segmental fisiologis pada

para pasien yang berusia masih relatif muda (yang belum mengalami gangguan

degeneratif ataupun artrosis terbuka) (Gambar 5 dan 6). Hampir dari seluruh implan

memiliki desain ball-and-socket (bola dan soket), dengan pelat dasar superior dan

inferior yang dipasangkan dengan badan vertebral atas dan bawah dengan rangka,

paku, atau sekrup. Namun demikian, jumlah desain yang berbeda-beda pun

meningkat.
Terdapat beberapa pendekatan dan teknik dasar yang dapat diaplikasikan untuk

operasi tulang belakang lumbar (Gambar 7). Namun demikian, terdapat banyak

variasi, teknik, dan pendekatan yang dapat digunakan. Pemahaman tentang

pendekatan bedah yang digunakan dapatlah memungkinkan dokter ahli radiologi

untuk dapat memprediksi lokasi perubahan-perubahan diseksi bedah pada dinding

badan dan unggun bedah. Pemeriksaan struktur-struktur anatomi paraspinal (seperti

contohnya otot psoas dan pembuluh darah perut) sangatlah membantu untuk memilih

pendekatan bedah.

Gambar 5. Penggantian diska intervertebral lumbal pada pria usia 48 tahun yang

pernah penanganan operasi untuk menangani karena nyeri punggung akibat

degenerasi diska pada ruas gerak L4-L5. Gambar CT sagital menunjukkan

penempatan dan penjangkaran prostesis diska yang akurat di dalam endplate dan

integrasi tulang, sebagaimana yang diindikasikan oleh perluasan tulang kanselosa ke

permukaan implan (tanda anak panah) tanpa pengidapan sklerosis ataupun osteolisis.

Pensejajaran tulang belakang lumbar secara anatomik pun dipertahankan. Artefak

logam gelap (putih *) dan artifak logam terang (hitam *) pun dapat terlihat pada

gambar diatas.
Gambar 6. Penggantian diska intervertebral leher pada pria yang berusia 51 tahun

yang pernah menjalani prosedur bedah karena sakit punggung akibat degenerasi

diska pada ruas gerak C4-C5. Gambar CT sagital menunjukkan penempatan prostesis

diska, dengan margin implan (tanda ujung anak panah) yang diposisikan secara

anterior sekitar 3 mm dari endplate. Akibatnya, terdapat kesejajaran non-anatomik

dengan angulasi posterior ringan poros implan superoinferior, bukaan anterior yang

tidak proporsional, dan lordosis segmental ringan (tanda garis). Area osteolisis

subkortikal yang kecil (tanda anak panah) juga terlihat pada gambar diatas.

Pendekatan posterior merupakan pendekatan yang paling umum digunakan, dan hal

ini akan memungkinkan terdapatnya akses ke elemen posterior, kanal tulang

belakang, dan diskus. Laminotomi, laminektomi, fasetektomi, dan diskektomi,

bersama dengan sekrup pedikel dan fiksasi batang/ rod, dapatlah dilakukan sesuai

dengan indikasi dan tujuan tindakan operasi. Pendekatan anterior utamanya akan

digunakan untuk mengakses sambungan lumbosakral. Indikasi untuk pendekatan

lateral diantaranya mencakup diskektomi dengan penempatan tandur interbody

(antar-badan) ketika tidak diperlukannya dekompresi posterior dan ketika

dekompresi posterior tak-langsung diperlukan melalui distraksi elemen-elemen

posterior.
Instrumentasi Tulang Belakang dan Nomenklatur Implan

Fiksasi spina/ tulang belakang dapatlah dicapai melalui penggunaan berbagai implan.

Terdapat banyak sistem instrumentasi, alat, implan, dan konstruksi khusus yang

berbeda-beda. Kami pun akan mengulas tentang implan-implan tulang belakang yang

paling umum digunakan yang memiliki kaitan dengan penginterpretasian temuan-

temuan pada pemeriksaan CT tulang belakang pasca-operasi.

Sekrup dan Kawat/ Wire

Sekrup digunakan untuk berbagai tujuan pada tindakan operasi tulang belakang, dari

mulai fiksasi fraktur sampai tindakan pembedahan untuk fusi/ penyatuan tulang

belakang (Gambar 3). Sekrup tunggal diketahui dapat memberikan stabilitas dan

kompresi bagi penyembuhan kondisi fraktur, seperti contohnya di dalam penanganan

fraktur pars unilateral; namun demikian, tindakan ini jaranglah diindikasikan.

Sepasang sekrup transpedikular, translaminar, dan transartikular dapat berfungsi

sebagai jangkar untuk batang penghubung posterior pada konstruksi fiksasi spina

untuk mencapai penyatuan tulang belakang dan artrodesis intervertebral. Sekrup

digunakan untuk mem-paskan pelat ke elemen oseus vertebra untuk memberikan

stabilitas bagi fusi atau penyatuan tulang belakang, seperti yang dilakukan pada

prosedur ACDF. Walaupun kawat/ wire yang ditempatkan pada posisi sublaminar

sekarang lebih jarang digunakan jika dibandingkan dengan sekrup, namun

penggunaan wire diketahui dapat memberikan stabilitas untuk pembetulan fraktur

tulang dan juga pembetulan kondisi deformitas.


Pelat

Jika digunakan bersamaan dengan sekrup, pelat diketahui dapat memberikan

stabilitas dan memicu kompresi pada konstruksi spina pada kasus penanganan

dekompresi neural, , cedera traumatik, cacat tulang, dan rekonstruksi onkologis

(Gambar 3, 4). Pelat biasanya ditempatkan pada posisi anterior, anterolateral, atau

lateral dan mencakupi dua tingkat vertebral atau lebih. Modalitas ini umumnya

memiliki rancangan yang sederhana untuk tetap sama rata dengan korteks tubuh

vertebral dan juga untuk meminimalisir kondisi cedera ataupun iritasi terhadap

struktur dan organ disekitarnya.

Batang/ Rod

Batang dapat digunakan bersamaan dengan sekrup pedikel penahan untuk

menstabilkan konstruksi fiksasi, memperbaiki deformitas, dan menjaga kesejajaran

tulang belakang melalui distraksi, seperti halnya yang diaplikasikan pada tindakan

bedah pembetulan skoliosis (Gambar 8). Walaupun Harrington rod seringkali

digunakan untuk menggambarkan batang fiksasi tulang belakang posterior, namun

modalitas tersebut sebenarnya merupakan batang/ rod khusus yang dirancang pada

awal tahun 1960-an dan diperuntukkan untuk tindakan perbaikan skoliosis hingga

akhir 1990-an. Hal serupa, batang Luque (Luque rod) mulai diperkenalkan di awal

tahun 1980-an sebagai alternatif untuk fiksasi posterior dan gangguan yang

menggunakan kawat sublaminar untuk memperbaiki batang/ rod. Namun demikian,

baik Harrington rod maupun Luque rod sudah tidak digunakan lagi dalam tindakan

bedah tulang belakang modern. Karena banyaknya variabilitas di dalam rancangan


batang pada konstruksi fiksasi spina modern, penggunaan deskriptor sederhana

seperti contohnya “batang” diketahui dapat mencegah ketidakakurasian.

Gambar 7. Gambar diatas menggambarkan beberapa pendekatan bedah untuk

penempatan tandur interbody (antar-badan) pada tulang belakang lumbar. Teknik

akses fusi antar-badan lumbar anterior (ALIF), oblik (OLIF), lateral (XLIF),

transforaminal (TLIF), dan posterior (PLIF), dengan lokasi-lokasi akses disekektomi

yang berbeda-beda, pun digambarkan pada gambar di atas. Beberapa struktur

anatomi yang mencakup otot psoas dan pembuluh darah abdomen, dapat memandu

pendektan bedah di berbagai tingkat lumbar. Akses fusi antar-badan lumbar posterior

melibatkan laminotomi bilateral, dengan pengangkatan elemen posterior. Akses fusi

antar-badan lumbar transforaminal melibatkan tindakan laminektomi unilateral dan

fasetektomi inferior.

Batang tumbuh atau growing rods (batang yang dapat memanjang) dapat digunakan

untuk konstruksi fiksasi yang dapat disesuaikan pada tindakan bedah pembetulan

skoliosis (Gambar 9, 10). Pada konstruksi growing rods, satu atau dua rod/ batang

difiksasikan ke sekrup atau kait diatas dan di bawah lengkung skoliotik. Batang atau

rod mencakup beberapa mekanisme yang memungkinkan pemanjangan inkremental,


baik dengan cara akses bedah invasif minimal atau dengan akses bedah non-invasif

melalui pengaplikasian transkutan gaya magnet (contohnya, dengan pengendali jarak

jauh eksternal).

Komponen inti pada konstruksi growing rod adalah aktuator, yang dimana lebih

lebar dari komponen batang proksimal dan distal. Aktuator berperan sebagai tempat

untuk magnet internal dan mekanisme distraksi batang/ rod. Aktuator memiliki

ukuran yang berbeda-beda, yang dapat memfasilitasi kapasitas untuk distraksi pasca-

operasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh, aktuator yang berukuran 70 dan 90 mm

masing-masing dapatlah memberikan distraksi pasca-operasi maksimal 28 dan 48

mm.

Gambar 8. Terlepasnya batang/ rod pada seorang pria usia 62 tahun yang pernah

menjalani instrumentasi tulang belakang lumbar posterior yang memanjang dari

badan vertebral L5 ke S1 untuk menangani anterolistesis Meyerding grade 1.

Gambar CT sagital menunjukkan terlepasnya batang mekanik yang ditandai dengan

ketidaksejajaran angular dan migrasi superior batang (tanda ujung anak panah) relatif

terhadap penghubung/ konektor (**). Fenomena celah vakum kecil (tanda anak
panah) di ruang diska dan tidak sempurnanya penyambungan tulang dapat

mengindikasikan mikro-gerak dan instabilitas konstruksi.

Diketahui, terdapat dua polaritas batang: yaitu batang standar dan batang offset. Pada

batang standar, magnet ditempatkan di dalam bagian distal atau inferior dari aktuator,

dan pemanjangan terjadi pada arah sefalik. Sebaliknya, pada batang offset, magnet

ditempatkan di bagian proksimal atau superior pada aktuator, dan pemanjangan

terjadi pada arah kaudal (Gambar 9, 10). Pada konstruksi dengan dua batang standar,

batang dapat diperpanjang secara bersamaan, sedangkan konstruksi dengan batang

standar dan offset dapat memungkinkan pemanjangan bebas ketika remote control

eksternal digunakan.

Gambar 9. Foto-foto diatas menunjukkan growing rod (batang yang dapat

memanjang) yang dikendalikan secara magnetik. (a) Masing-masing batang terdiri

dari satu komponen aktuator (tanda anak panah warna putih), yang menjadi tempat

magnet dan mekanisme pemanjangan, dan batang (tanda anak panah warna hitam),

yang diadaptasikan oleh dokter ahli bedah ke lengkungan tulang belakang kifotik dan

lordotik. (b) Pada satu batang standar, pemanjangan pada aktuator terjadi dengan

arah sefalik. Aktuator terdiri dari komponen sorong yang lebih sempit (tanda anak

panah warna hitam) dan komponen magnet yang lebih lebar (tanda anak panah warna
putih). Batang dapat dibedakan sebagai batang teleskopik yang-dapat-dipanjangkan

(tanda ujung anak panah warna hitam) dan batang statis (tanda ujung anak panah

putih). (c) Konstruksi batang standar (tanda anak panah putih) dan batang offset

(tanda anak panah hitam) dapat memungkinkan pemanjangan independen/ bebas

melalui penggunaan remote kontrol eksternal (tidak ditunjukkan).

Gambar 10. Pembetulan skoliosis dengan menggunakan growing rods yang

dikendalikan secara magnetis pada seorang gadis usia 7 tahun yang menderita

sindrom Marfan. (a) Gambar CT sagital growing rod standar unilateral yang

menunjukkan aktuator dengan mekanisme pemanjangan (tanda anak panah putih)

pada arah sefalik, dan batang. Osteolisis (tanda anak panah hitam) di sekitar sekrup

penahan proksimal yang menunjukkan fiksasi tulang yang tidak berhasil. (b)

Radiograf frontal tulang belakang pasca operasi revisi yang menunjukkan satu

konstruksi yang terdiri dari satu batang standar (tanda anak panah hitam) dan batang

offset (tanda anak panah putih). Konstruksi ini memungkinkan pemanjangan


independen pada arah kaudal (batang offset) dan sefalik (rod/ batang standar) dengan

menggunakan remote kontrol eksternal (tidak ditampilkan)

Tandur Tulang dan Material-Material Biologis Lainnya

Tandur tulang seringkali digunakan secara posterolateral pada konstruksi fiksasi

sebagai upaya biologis untuk memicu penyatuan tulang. Tandur tulang autologus

adalah tandur tulang yang jaringannya berasal dari si pasien sendiri, dan tandur

tulang alogenik adalah tandur tulang yang jaringannya berasal dari jaringan tulang

orang lain/ mayat. Material-material biologis lainnya yang digunakan untuk memicu

penyatuan atau fusi tulang diantaranya mencakup matriks tulang yang

terdemineralisasi dan protein morfogenetik tulang (BMP/ bone morphogenetic

protein). Pada gambar CT, material-material ini seringkali memiliki tampilan

elemen-elemen oseus pada lokasi instrumentasi.

Cage/ Sangkar Interbody (Antar-Badan)

Tandur dan cage interbody, yang juga dikenal dengan istilah spacer intervertebralis

dapat memiliki desain yang beragam dan umum digunakan untuk mengembalikan

ketinggian diska setelah dilakukannya diskektomi, dan hal ini diketahui dapat

memicu penyambungan tulang pada ruang diska (Gambar 3). Cage antar-badan yang

solid seringkali memiliki lubang dan dapat terbungkus dengan material-material

biologis lainnya. Tandur antar-badan dapat terdiri dari logam paduan seperti

titanium; plastik (seperti contohnya polietereterketon); serat karbon; dan keramik.

Beberapa kandang/ cage dirancang untuk tidak hanya mengembalikan tinggi diska
saja, namun juga untuk mengganti seluruh badan vertebral atau ruas badan vertebral

pada tindakan korpektomi untuk pelaksanaan bedah tumor ataupun pada kasus

trauma.

Gambar 11. Dua desain prostesis disk serviks/ tulang leher. (a, b) Foto diatas

menunjukkan rancangan yang-tidak-dibatasi yang terdiri dari artikulasi bola-dan-

socket (tanda anak panah hitam) dan antar-muka tulang-ke-prostesis yang

menampilkan lunas (tanda ujung anak panah) dan permukaan datar yang memiliki

tingkat porositas tinggi (tanda anak panah putih). (c, d) Foto-foto ini menunjukkan

rancangan yang tidak dibatasi yang terdiri dari artikulasi bola dan soket (tanda anak

panah) dan antarmuka tulang-ke-prostesis yang menampilkan paku (tanda ujung anak

panah) dan permukaan yang melengkung dengan tingkat porositas tinggi. Permukaan

lengkung dengan tingkat porositas tinggi ini tersembunyikan oleh model paku semi

transparan.
Gambar 12. Prostesis diskus lumbar. Foto-foto diatas menunjukkan desain prostesis

lumbar disk yang-tidak-dibatasi yang terdiri dari artikulasi bola dan soket (tanda

anak panah hitam) dan antarmuka tulang-ke-prostesis yang menampilkan keel/ lunas

(tanda ujung anak panah putih), paku (tanda ujung anak panah hitam), dan

permukaan datar yang memiliki porositas tinggi (tanda anak panah putih pada

gambar b).

Penggantian Diska Intervertebral

Motion-preserving total intervertebral disk prostesis (prostesis diska intervertebral

total pengekal-gerakan) merupakan satu alternatif untuk mengimobilisasi fusi oseus/

tulang dan mendukung instrumentasi spina dan intervertebral (Gambar 5, 6).

Penggantian diska intervertebralis diketahui memiliki kelebihan, yaitu gerakan

segmental spina dapat dipertahankan pasca dilakukannya prosedur, sedangkan fusi

oseus/ tulang dapat mengakibatkan hilangnya/ berkurangnya gerakan segmental dan

peningkatan transmisi gaya ke ruas-ruas damping (didekatnya).

Prostesis penggantian diska biasanya terdiri dari permukaan berbantalan polietilen

artikulasi dan dua komponen endplate logam, dengan dasar dan permukaan yang

berpori yang digunakan untuk menjangkar ke badan vertebral inang superior dan

inferior (Gambar 5, 6). Sistem prostesis disk intervertebral diketahui memiliki


keragaman di dalam rancangan, material, antar-muka tulang-ke-prostesis, dan tipe

artikulasi (Gambar 11, 12). Prostesis diska intervertebral dengan desain terbatas

terdiri dari bantalan yang memiliki mekanisme henti pada rentang gerak fisiologis

normal, sedangkan prostesis dengan desain yang tidak terbatas tidak memiliki

mekanisme pembatasan gerak. Hampir dari seluruh prostesis terbuat dari logam

paduan yang mengandung komponen kobalt, titanium, dan polietilen.

Terdapat berbagai struktur antarmuka tulang-ke-prostesis yang tersedia untuk

meningkatkan integritas oseus ke tulang inang. Struktur-struktur ini mencakup lunas/

keel, paku, jaring kawat, permukaan dengan tingkat porositas tinggi, sekrup fiksasi,

lapisan permukaan yang terbuat dari titanium yang berlapis plasma, aluminium

oksida, hidroksiapatit, dan kalsium fosfat. Tipe-tipe artikulasi dapat dibedakan

menjadi artikulasi bola-ke-soket (yang memungkinkan rotasi di sekitar satu titik

individual) dan artikulasi pelana, yang memungkinkan lebih dari satu pusat rotasi.

Penggantian diskus intervertebral dapat dilakukan terutama di tulang belakang leher

dan lumbar, namun demikian hal ini belum secara luas diaplikasikan.

Beberapa Indikasi untuk Pemeriksaan CT Pasca Operasi

Beberapa indikasi untuk pemeriksaan CT pasca operasi tulang belakang meliputi

assessment atau pemeriksaan tipe/ jenis, integritas, dan posisi implan tulang

belakang. Beberapa indikasi lain mencakup gambaran hubungan implan dengan

anatomi tulang belakang penyebab dan kelainan-kelainannya. CT pasca operasi juga

dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat keselarasan/ kesejajaran tulang belakang

dan efek dari tindakan bedah dekompresi pada kanal tulang belakang dan foramina
saraf, selain itu, hal ini juga dapat diaplikasikan untuk mengetahui tingkat

keberhasilan artrodesis intervertebral, serta juga untuk mendeteksi dan

mengkarakterisasi kelainan-kelainan yang berpotensi muncul pasca operasi.

Temuan-Temuan Normal Dari Pemeriksaan CT Pasca-Operasi

Pada periode pasca-operasi bedah tulang belakang, temuan-temuan CT yang dapat

ditemukan diantaranya mencakup edema jaringan lunak, gas, dan cairan pada lokasi

akses bedah, disekitar implan, dan pada ruas tulang belakang yang ditangani melalui

instrumentasi. Seroma, yang merupakan satu temuan normal pasca operasi lainnya,

adalah sedikit kumpulan/ koleksi pada bedengan bedah. Ketika kumpulan-kumpulan

ini dapat terlokasi secara superfisial, seringkali kumpulan-kumpulan ini akan hilang

dengan sendirinya.

BMP-2 manusia rekombinan pada tandur tulang dan tandur antar-badan seringkali

memicu respons inflamasi akut, yang dimana hal ini dapat meyebabkan osteolisis

fokal, resorpsi endplate terbatas pada lokasi tandur, dan pembengkakan jaringan

lunak di sekitarnya.

Sekrup transpedikular haruslah melintasi bagian tengah pedikel dan memasuki badan

vertebral pada posisi sejajar dengan endplate tanpa menembus korteks badan

vertebral atau tanpa berhubungan dengan elemen saraf dan struktur vaskulatur

(struktur pembuluh darah). Sebagai pengecualian, sekrup fiksasi sakral dapatlah

mempenetrasi korteks anterior untuk jarak pendek.


Pada konstruksi instrumentasi tulang belakang leher, sekrup C2 dan C7

transpedikular haruslah memiliki orientasi horisontal, yang memanjang secara

anterior dan sedikit berorientasi medial tanpa menusuk korteks pedikula. Sekrup

masa lateral pada badan vertebra C3-C7 haruslah memiliki orientasi superior dan

sedikit lateral. Pasca ACDF, pelat leher anterior harus memiliki kontur lordotik dan

sejajar dengan badan vertebral. Harus ada jarak minimal 5 mm antara margin pelat

superior dan inferior dengan endplate damping untuk mencegah osifikasi peri-pelat.

Sekrup harus dikencangkan sedemikian rupa sehingga kepala sekrup berada sejajar

dengan pelat.

Pada konstruksi instrumentasi tulang belakang posterior dengan sekrup dan batang,

sambungan sekrup dan batang haruslah dievaluasi secara cermat untuk memastikan

bahwa tutup konektor benar-benar terpasang pada soket konektor, selain itu batang

harus sejajar dengan tepat. Batang yang tidak sejajar secara angular pada konektor

dapat menjadi penanda ketidakstabilan konstruksi (Gambar 8).

Tandur antar-badan harus secara akurat diposisikan ketika jarak antara penanda

radiopak margin tandur posterior dengan margin badan vertebral posterior mencapai

≥2 mm (Gambar 13). Ketika tandur antar-badan ditempatkan lebih dekat dari 2 mm

ke margin posterior endplate, maka akan terjadi peningkatan risiko migrasi posterior

ke kanal tulang belakang, dengan efek massa pada kantung tekal ventral. Tandur

antarbadan, khususnya cage tunggal, akanlah menyusut kedalam badan vertebral

didekatnya sebesar ≤3 mm sebelum fusi tulang terjadi.

Tergantung pada lamanya waktu sejak dilakukannya operasi, berbagai tingkat

penyambungan tulang/ oseus disepanjang lokasi tandur tulang dapatlah terjadi. Pada
6 bulan pasca diskektomi dengan penempatan tandur antar-badan (interbody),

penyambungan tulang trabekular haruslah terlihat pada gambar hasil pemeriksaan

CT, baik di sekitar atau pada tandur antarbadan (Gambar 3). Demikian pula, setelah

penempatan tandur tulang posterolateral dengan sekrup pedikel dan fiksasi batang,

tulang yang menyambung harus terlihat antara proses lintang dan sendi-sendi faset.

Pada satu tahun setelah operasi, trabekulasi matang dan penyambungan kortikal solid

haruslah terjadi disepanjang ruang diska (Gambar 14) dan pada lokasi penempatan

tandur tulang posterolateral (Gambar 4).

Pada pemeriksaan CT follow up, granulasi asimtomatik atau jaringan parut di

sepanjang saluran bedah dan ruang peridural diketahui merupakan adalah bagian dari

proses penyembuhan yang normal. Fibrosis epidural umumnya memiliki nilai

atenuasi sekitar 50-75 HU, dan secara parsial akan hilang/ pulih dengan sendirinya.

Atrofi otot paraspinal yang berubah menjadi jaringan lemak merupakan satu temuan

yang umum setelah dilakukannya prosedur bedah posterior.

Gambar 13. Migrasi tandur antar-badan posterior pada seorang pria yang berusia 69

tahun yang pernah menjalani instrumentasi tulang belakang lumbar posterior yang

memanjang dari badan vertebral L3 ke L5 dan mencakup diskektomi L3-L4 dan


penempatan tandar antar-badan, dekompresi garis tengah posterior, dan sekrup

pedikel serta fiksasi batang (tidak ditampilkan). (a) Gambar CT sagital yang

diperoleh sesaat setelah dilakukannya operasi menunjukkan adanya keberhasilan

penempatan tandur antar-badan L3-L4 diantara endplate, dengan jarak 2 mm antara

margin tandur posterior dengan margin badan vertebral posterior (tanda anak panah).

(b) Gambar CT sagital yang didapatkan 6 minggu pasca pembedahan menunjukkan

migrasi posterior tandur antar-badan (tanda anak panah) kedalam kanal spina pusat,

dengan efek massa pada kantung tekal ventral.

Gambar 14. Temuan-temuan hasil pemeriksaan CT pada pria yang berusia 29 tahun

dengan riwayat pengidapan spondilolisis L5-S1 dan spondilolistesis grade

Meyerding I, yang pernah menjalani instrumentasi tulang belakang lumbar ruas

gerak L5-S1, yang diantaranya mencakup diskektomi dengan penempatan tandur

antar-badan, pemasangan pelat anterior, dan fiksasi sekrup. (a) Gambar CT sagital

yang diperoleh 39 minggu setelah operasi dapat menunjukkan area lusensi tak-teratur

(tanda anak panah) di sepanjang ruang sambungan endplate-tandur, yang dimana hal

ini merepresentasikan integrasi tulang dan artrodesis yang tidak lengkap. (b) Gambar

CT sagital didapat 2 tahun setelah operasi yang menunjukkan integrasi oseus lengkap

(tanda anak panah) disepanjang antarmuka endplate-tandur dan arthrodesis yang

berhasil.
Beberapa Tampilan CT Yang Mengindikasikan Komplikasi-Komplikasi Tulang

Belakang Pasca-operasi

Pemasangan Implan

Data tentang posisi implan merupakan satu informasi penting yang dapat diperoleh

dari pemeriksaan CT tulang belakang pasca-operasi. Setiap penyimpangan atau

deviasi dari posisi yang diharapkan haruslah diketahui secara jelas (Gambar 15).

Namun demikian, manfaat klinis yang pasti dari pemposisian implan yang sedikit

terdeviasi umumnya tidaklah diketahui. Sekrup diketahui dapat berpotensi merusak

korteks oseus dan bahkan dapat bersentuhan dengan kantung tekal, elemen saraf,

ataupun struktur paraspinal, yang dimana hal ini dapat memunculkan gejala atau

outcome-outcome klinis yang buruk. Walaupun tingkat resiko yang buruk dari

pemasangan sekrup pedikel dapat mencapai 5,1% kasus, namun gejala-gejala

neurologis yang muncul hanya terjadi pada 0,2% kasus. Kasus yang paling umum

dari pemposisian implan yang sedikit terdeviasi adalah yang melibatkan salah-

pemposisian sekrup pedikel.

Dengan demikian, jika kondisi cedera tidak terlihat pada struktur atau organ di

sekitarnya, maka kami pun merekomendasikan untuk menggunakan deskriptor netral

untuk mengkarakterisasi pemposisian implan. Hal ini mencakup upaya untuk tidak

menggunakan kata-kata seperti buruk, salah posisi, atau salah pengarahan posisi.

Sebagai contoh, deskripsi posisi implan yang sedikit terdeviasi dapat dibaca

sebagaimana berikut ini: "Ujung sekrup pedikel L1 kiri berbatasan dengan margin/

batas posterior vena cava inferior, dengan pemeliharaan bidang lemak di dekatnya.”

Contoh ini diketahui dapat secara akurat mendeskripsikan posisi alat, pengaruh ujung
sekrup pada vena cava, dan temuan-temuan tambahan terkait seperti contohnya

pemeliharaan bidang lemak di dekatnya, yang dimana hal ini akan menyiratkan

bahwa tidak terdapat temuan radiologis akan kondisi cedera. Dalam hal ini, temuan-

temuan akan cedera langsung (contohnya: laserasi organ atau pembuluh darah) atau

cedera tak-langsung (untaian lemak) ke struktur-struktur di dekatnya haruslah

dijelaskan dan disampaikan di dalam komunikasi antara dokter ahli bedah dengan

dokter ahli radiologi.

Gambar 15. Penempatan sekrup yang sedikit terdeviasi. (a) Gambar CT aksial pada

level badan vertebral L5 pada seorang pria usia 71 tahun yang pernah menjalani

instrumentasi tulang belakang lumbar ruas gerak L3-S1, yang didalamnya mencakup

dekompresi garis tengah dan instrumentasi posterior dengan sekrup pedikel dan

batang vertikal, dan menunjukkan bahwa sekrup pedikel kanan (tanda anak panah)

melintasi ceruk lateral kanan kanal tulang belakang. (b) Gambar CT aksial pada

level/ tingkat badan vertebral T1 pada wanita usia 60 tahun yang pernah menjalani

instrumentasi tulang belakang toraks ruas gerak T1-T6, yang mencakup dekompresi

garis tengah dan instrumentasi posterior dengan sekrup pedikel dan batang vertikal,

dan menunjukkan sekrup pedikel kiri yang melintasi proses artikular kiri (tanda anak

panah) dengan posisi lateral ke pedikel kiri.


Gambar 16. Penempatan sekrup pedikel toraks yang sedikit terdeviasi pada pria usia

52 tahun yang pernah menjalani instrumentasi tulang belakang posterior yang

memanjang dari oksiput ke badan vertebra T8 setelah reseksi massa pada leher.

Gambar CT aksial menunjukkan bahwa ujung sekrup pedikel T7 kiri (tanda anak

panah) menembus korteks badan vertebral anterolateral dan masuk ke dalam aorta

toraks (*). Selanjutnya, tandur stent jaring endovaskular pun ditempatkan untuk

meminimalisir risiko cedera aorta.

Angulasi medial sekrup pedikel, yang menyentuh korteks medial, diketahui dapat

menyebabkan kontak dan iritasi pada akar saraf, dan kasus ini merupakan komplikasi

yang umum akibat pemasangan sekrup. Pada instrumentasi tulang belakang leher

posterior, angulasi lateral sekrup dapatlah menembus foramen transversarium dan

merusak arteri vertebralis (15). Pada instrumentasi posterior tulang belakang toraks

dan lumbar, sekrup dapat melintasi korteks anterior dan bersentuhan dengan struktur

retroperitoneal, yang dimana hal ini dapat menyebabkan cedera langsung atau cedera

tertunda (Gambar 16). Hal serupa, tandur antar-badan dapat meluas keluar batas

badan vertebral sampai menyentuh ke struktur-struktur didekatnya (Gambar 17).


Data tentang posisi tandur antar-badan dan pelat badan vertebral dapatlah digunakan

sebagai informasi untuk memprediksi kemunculan dan perkembangan komplikasi-

komplikasi yang dapat terjadi di kemudian hari. Tandur antarbadan yang

ditempatkan terlalu dekat dengan margin endplate diketahui dapat menyebabkan

migrasi (Gambar 13, 18). Posisi tandur antar-badan yang di-lateral-kan dapat

menyebabkan pembebanan aksial dan juga kesejajaran tulang belakang yang tidak

normal. Penempatan pelat anterior dengan jarak 5 mm ke endplate didekatnya

dapatlah meningkatkan resiko pembentukan osteofit.

Osteolisis Peri-implan

Pemeriksaan untuk mengetahui terjadi tidaknya pelonggaran implan tulang belakang

dapat dilakukan menurut prinsip-prinsip yang mirip dengan proses pengevaluasian

struktur-struktur bagian tulang lain, seperti contohnya pada tulang pinggul ataupun

lutut setelah dilakukannya artroplasti. Osteolisis peri-implan pada tulang belakang

mungkin dapat disebabkan karena gerak-mikro, infeksi, atau reaksi benda asing

terhadap polietilen dan produk-produk logam lainnya (Gambar 19-21). Selain itu,

pemecahan produk-produk BMP-2 yang digunakan bersamaan dengan penggunaan

tandur antar-badan dapatlah menyebabkan osteolisis endplate sementara. Osteolisis

peri-implan sirkumferensial di sekitar implan tulang belakang yang berukuran lebih

besar dari 2 mm dapat mengindikasikan terjadinya pelonggaran implan. Namun

demikian, untuk secara pasti mendiagnosis terjadinya pelonggaran implan,

perubahan posisi implan haruslah dipastikan melalui pemeriksaan pencitraan.

Sklerosis di sekitar sekrup dapat dijadikan penanda akan respon adaptif terhadap

kasus longgarnya alat/ instrumen. Migrasi implan dapatlah menyebabkan aperubahan


kesejajaran tulang belakang, seperti contohnya peningkatan anterolistesis pada kasus

sekrup pedikel yang longgar (Gambar 22).

Gambar 17. Osteolisis periprostetik dan migrasi tandur pada seorang pria usia 47

tahun yang pernah menjalani instrumentasi tulang belakang lumbar posterior yang

memanjang dari badan vertebral L4 ke S1, dengan penempatan tandur semen

antarbadan, dekompresi garis tengah posterior, dan sekrup pedikel serta fiksasi

batang. Gambar CT aksial (a) dan sagital (b) diatas dapat menunjukkan perluasan

anterior tandur semen antarbadan (tanda anak panah), yang bersentuhan dengan vena

iliak komunis kanan (* pada gambar a), serta osteolisis di sepanjang antarmuka

tandur-endplate (tanda anak panah), dengan subsidensi/ amblesan.

Gambar 18. Migrasi tandur antar-badan pada pria usia 52 tahun yang pernah

menjalani instrumentasi tulang belakang lumbar posterior dari L4 ke S1 vertebra,


yang didalamnya mencakup diskektomi dan penempatan tandur antar-badan. Gambar

CT aksial (a) dan sagital (b) diatas menunjukkan pergeseran anterior tandur antar-

badan L4-L5 (tanda anak panah), yang berposisi pas dibawah percabangan/ bifurkasi

dan menyentuh arteri iliak komunis kiri dan kanan proksimal.

Gambar 19. Temuan-temuan pada pemeriksaan CT pada seorang pria usia 70 tahun

dengan riwayat nyeri punggung pasca mendapatkan tindakan instrumentasi tulang

belakang lumbar yang memanjang dari ruas gerak L1 ke S1, yang didalamnya

mencakup dekompresi garis tengah posterior, diskektomi L2-L3 dan L3-L4 dengan

penempatan tandur antar-badan, dan fiksasi sekrup dan batang pedikel yang

dilakukan 8 tahun sebelumnya. Gambar CT sagital (a) dan koronal (b) diatas

menunjukkan osteolisis di sekitar sekrup pedikel L1 dan S1 (tanda ujung anak panah)

dan fenomena celah vakum L1-L2, L4-L5, dan L5-S1 (tanda anak panah putih), yang

dimana hal ini menunjukkan bahwa gerak-mikro dapat menjadi penyebab

ketidakberhasilan artrodesis. Arthrodesis L2-L3 dan L3-L4 (tanda anak panah hitam)

menunjukkan keberhasilan, seperti yang ditunjukkan oleh penyambungan tulang

padat disepanjang rongga/ ruang diska. Penyakit ruas damping dengan degenerasi

disk yang parah (* pada gambar a) juga dapat terlihat.


Gambar 20. Osteolisis periprostetik dan migrasi implan pada pria usia 66 tahun

yang pernah menjalani instrumentasi tulang belakang posterior yang memanjang dari

badan vertebral C2 ke T2, dengan dekompresi garis tengah dan fiksasi batang dan

sekrup pedikel. (a) Gambar CT Sagital diatas menunjukkan osteolisis (tanda anak

panah) di sekitar sekrup C2 kanan, yang mengindikasikan gangguan fiksasi oseus.

(B) Gambar Sagital CT diatas diperolah pada periode follow up selama 16 bulan dan

menunjukkan terjadinya osteolisis progresif (tanda anak panah) dan migrasi angular

sekrup C2 kanan, dengan perluasan kedalam sendi faset C1-C2 kanan (tanda ujung

anak panah).

Gambar 21. Penempatan sekrup yang sedikit terdeviasi pada seorang pria usia 71

tahun yang pernah menjalani instrumentasi tulang belakang servikotoraks posterior

yang dimulai dari badan vertebra C3. Gambar CT sagital diatas menunjukkan kurang

mengenanya sekrup lateral C3 kanan pada tulang (tanda anak panah), dengan ujung
sekrup yang mencapai sendi faset C2-C3 kanan, dan retraksi konstruksi instrumentasi

(tanda ujung anak panah).

Karena infeksi dapat bermanifestasi dengan osteolisis periimplant, sangatlah penting

bagi kita untuk membedakan antara infeksi dengan pelonggaran mekanis; Namun

demikian, hal ini tidaklah mudah. Pola osteolisis peri-implan diketahui dapat

membantu untuk membedakan penyebab akibat infeksi dengan penyebab yang

berkaitan dengan pelonggaran mekanis. Ketika terjadi pelonggaran mekanis pada

sekrup, osteolisis akan lebih tampak jelas disepanjang ujung distal karena titik putar

disekitar sekrup bergerak, sedangkan osteolisis yang disebabkan karena infeksi akan

lebih terdifusi (Gambar 23). Namun demikian, karena osteolisis yang diakibatkan

karena faktor mekanis dan osteolisis yang diakibatkan karena infeksi tampilannya

cukup membingungkan pada gambar CT, maka pengoreksian tampilan CT harus

dilakukan, dan harus disertai dengan pemeriksaan laboratorium, penyesuaian dengan

temuan-temuan pencitraan sebelumnya, dan pencitraan radionuklida. Pengaruh

inflamasi karena penggunaan BMP-2 manusia rekombinan diketahui dapat

memunculkan untaian inflamasi pada jaringan lunak dan penajaman abnormal, dan

hal ini akan membuat dokter pemeriksa sulit membedakannya dari tampilan kondisi

infeksi pada gambar CT tulang belakang pasca-operasi.

Pelonggaran dan gerakan implan tulang belakang diketahui dapat menjadi

kontributor yang penting terhadap ketidakberhasilan artrodesis invertebral,

pseudoarthrosis, dan sulit menyatunya tulang, yang dimana hal ini dapat diketahui

dari hasil pemeriksaan CT, karena jika kondisi ini terjadi, penyambungan tulang

yang matang tidak tercapai 1 tahun pasca operasi. Pseudoarthrosis dapatlah


memunculkan rasa nyeri dan meningkatkan tekanan implan yang dapat menyebabkan

kegagalan implan. Secara radiografis, perubahan jarak antar-spina yang mencapai

lebih dari 2 mm atau perubahan ukuran sudut Cobb ≥2° dapat dijadikan dasar untuk

melahirkan diagnosis pseudoartrosis. Pada pemeriksaan CT, pseudoarthrosis

bermanifestasi sebagai satu garis lusen yang melalui material tandur tulang

intervertebralis atau disepanjang antar-muka tunda tandur, dengan atau tanpa

sklerosis damping (Gambar 14, 24, 25). Setelah penempatan tandur antar-badan,

kista-kista subkorteks, fenomena celah vakum (Gambar 14, 24), dan kurangnya

trabulasi matang di sepanjang ruang diska 24 bulan pasca operasi dapatlah menjadi

tanda tambahan yang menunjukkan bahwa mikro-gerak dan pseudoartrosis dialami

oleh pasien. Subsidensi, resorpsi, migrasi tandur antar-badan, dan fraktur setelah

penempatan tandur antar-badan merupakan kondisi yang mengindikasikan terjadinya

mikro-gerak dan pseudoartrosis (Gambar 24, 25). Selain itu, kegagalan penyatuan

fragmen oseus dan tidak adanya penyambungan pada lokasi penempatan tandur

tulang posterolateral dan pada elemen posterior 24 bulan pasca instrumen tulang

belakang dapatlah menunjukkan ketidakberhasilan penyatuan tulang.

Gambar 22. Osteolisis periprostetik dan migrasi implan pada seorang wanita usia 33

tahun yang pernah menjalani instrumentasi tulang belakang leher posterior dari
badan vertebral C3 ke C7, yang mencakup dekompresi garis tengah dan fiksasi

batang dan sekrup. (a) Gambar Sagital CT diatas menunjukkan osteolisis (tanda anak

panah) di sekitar sekrup massa lateral kiri badan vertebral C3, dengan retraksi sekrup

(tanda ujung anak panah) yang mengindikasikan ketidakberhasilan fiksasi tulang. (b)

Gambar sagital CT diatas didapat 3 bulan pasca tindakan operasi dan menunjukkan

adanya pemburukan osteolisis (tanda anak panah), peningkatan retraksi sekrup, dan

peningkatan anterolistesis C3-C4 (tanda ujung anak panah).

Gambar 23. Osteolisis periprostetik dan perpindahan/ pergeseran implan pada

seorang pria usia 31 tahun yang pernah menjalani instrumentasi tulang belakang

leher anterior, yang mencakup diskektomi C6-C7 dengan pelat anterior dan fiksasi

sekrup, dekompresi garis tengah C5-T1, serta sekrup posterior dan fiksasi batang. (a)

Gambar CT aksial diatas menunjukkan osteolisis geografis di sekitar sekrup vertebra

C6 kanan anterior (tanda anak panah) yang diakibatkan oleh infeksi. (b) Gambar

oblik yang volume nya dirender menunjukkan pergeseran sekrup C6 kiri (tanda

ujung anak panah) kedalam jaringan lunak prevertebral.


Gambar 24. Pseudoarthrosis intervertebralis. Gambar CT sagital diatas

menunjukkan apa yang disebut dengan pseudoarthrosis terkunci, yang ditandai

dengan ketidaksempurnaan penyambungan oseus melalui tandur antar badang (tanda

ujung anak panah), dimana lapisan yang tidak terosifikasi tetap ada antara kolom

yang terosifikasi yang berlawanan (*). Keberadaan fenomena celah vakum (tanda

anak panah) pada lapisan yang tidak terosifikasi dan antar-muka tandur-endplate

dapatlah menunjukkan adanya gerakan dan mikro-instabilitas ruas/ segmental.

Gambar 25. Pseudoarthrosis intervertebralis. Gambar CT sagital diatas

menunjukkan pseudoarthrosis terkunci, yang dicirikan dengan upaya dengan

ketidaklengkapan penyambungan oseus melalui tandur antar-badan (tanda ujung

anak panah), dimana lapisan yang tidak terosifikasi (tanda anak panah) tetap ada

antara kolom yang terosifikasi yang (*). Tidak adanya fenomena celah vakum pada
lapisan yang-tidak-terosifikasi dan antar-muka tandur-endplate diketahui dapat

menunjukkan stabilitas segmental.

Gambar 26. Fraktur sekrup pada dua pasien. (a) Gambar Sagital CT pada seorang

wanita 66 tahun yang menunjukkan fraktur (tanda anak panah) batang sekrup T2 kiri

pada pedikel, dengan sedikit pergeseran. (b, c) Gambar CT sagital (b) dan gambar

oblik yang volumenya dirender (diolah-kembali) (c) pada pria usia 78 tahun

menunjukkan fraktur leher sekrup S1 kiri (tanda anak panah). Fraktur sekrup dapat

secara lebih baik digambarkan pada gambar CT yang volumenya-dirender.

Kegagalan Implan/ Implan Yang Gagal

Implan dapat mengalami kegagalan yang disebabkan oleh beberapa mekanisme.

Implan itu sendiri diketahui dapat mengalami fraktur/ patah yang diakibatkan karena

tekanan/ stres berulang (Gambar 26). Postprocessing/ pasca-pemrosesan tiga dimensi

dapatlah digunakan untuk mendeteksi terjadi tidaknya pergeseran karena fraktur pada
implan. Implan yang mengalami fraktur dapat menyebabkan micromotion (gerakan-

kecil/ mikro) dan mikro-instabilitas segmental, yang dimana hal ini dapat

mengganggu laju fusi tulang (Gambar 27). Walaupun mungkin implan tetap utuh,

namun dapat terjadi terlepasnya sekrup, baut, dan/ atau batang mekanis, seperti

halnya yang terjadi pada fiksasi posterior (Gambar 8). Pada beberapa kasus yang

ekstrem, diketahui dapat juga terjadi pelonggaran cap dengan batang yang tidak

berada di posisi yang tepat (Gambar 28). Pada konstruksi fiksasi pelat dan sekrup,

sekrup dapat dipasangkan dengan pelat untuk memastikan kompresi. Namun

demikian, jika terdapat beberapa sekrup, satu sekrup yang mengalami kegagalan/

kerusakan tidaklah akan mengganggu stabilitas konstruksi, dan fusi oseus/ tulang

masihlah dapat terjadi (Gambar 29).

Gambar 27. Fraktur batang pada seorang wanita usia 69 tahun yang pernah

menjalani instrumentasi tulang belakang lumbal posterior yang memanjang dari ruas

gerak T8 ke S2, dengan kait yang terlepas pada level T8-T9 (tanda anak panah

putih), satu batang patah pada level S1 (tanda anak panah hitam), osteolisis di sekitar
sekrup S1, dan fenomena celah vakum (tanda ujung anak panah) pada ruang/ rongga

diska L5-S1, yang dimana hal ini menunjukkan terjadinya micromotion/ mikrogerak

dan ketidakstabilan segmental/ ruas.

Gambar 28. Batang yang terlepas pada seorang wanita dengan usia 77 tahun yang

pernah menjalani instrumentasi tulang belakang lumbar posterior, yang memanjang

dari badan vertebral L3 ke S1. Gambar CT aksial diatas menunjukkan terlepasnya

batang pada sekrup pedikel S1 kiri (tanda ujung anak panah panah putih) yang

disebabkan karena pergeseran sekrup kepala pengunci (*) dari soket konektor (tanda

ujung anak panah hitam).

Gambar 29. Gambar CT sagital diatas didapat pasca dilakukannya diskektomi

tulang leher dengan penempatan tandur antar-badan dan pelat anterior serta fiksasi
sekrup ruas gerak C3-C5, yang menunjukkan sekrup (tanda anak panah) yang tidak

sepenuhnya terpasang pada level C5 dan satu sekrup yang terpasang sempurna secara

superior (tanda ujung anak panah). Dari gambar diatas, terlihat bahwa terdapat

artrodesis intervertebral yang berhasil, sebagaimana yang diindikasikan oleh

penyambungan oseus lengkap disepanjang ruang diska.

Migrasi dan subsidensi/ penurunan implan diketahui dapat menyebabkan

penyempitan kanal tulang belakang dan neuroforaminal, pseudoarthrosis, instabilitas,

dan degenerasi ruas damping (ruas lain di sampingnya). Dan, tingkat subsidensi

tandur antar-badan dan cage yang tidak signifikan kedalam damping dapat saja

terjadi, dan hal tersebut dianggap normal. Namun demikian, jika tingkat subsidensi

mencapai kedalaman diatas 3 mm, maka hal ini akan menyebabkan penyempitan

ruang diska dan foramen saraf, yang kemudian dapat menyebabkan nyeri radikuler

(Gambar 30). Karena penggunaan implan polietereterketon dan titanium, maka

artifak garis diketahui tidak lagi secara signifikan akan menghalangi pendeteksian

subsidensi.

Fraktur di sekitar Implan dan Prostheses

Karena terjadinya penurunan kekuatan tulang yang diakibatkan oleh osteolisis,

sebelum reseksi tulang, dan/ atau peningkatan pemuatan/ beban biomekanik melalui

konstruksi fiksasi, maka fraktur tulang dapat saja terjadi disekitar implan atau

prostesis tulang belakang yang tertanam/ menempel pada tulang (Gambar 31, 32).

Deskriptor fraktur yang dapat bermanfaat bagi para dokter ahli bedah diantaranya

mencakup orientasi garis fraktur, derajat kominusi, panjang garis fraktur ke


permukaan artikular dan foramina, penyelarasan/ kesejajaran abnormal, dan

kelainan-kelainan lain pada tulang belakang.

Penyakit Segmen/ Ruas Damping (Yang Berdekatan Dengan Ruas Yang

Dipasang Konstruksi)

Penyakit segmen damping merupakan satu proses pemburukan degenerasi ruas gerak

yang berada di atas dan atau di bawah konstruksi instrumentasi spina. Pada penyakit

ruas damping, degenerasi dapat diperburuk karena gabungan gaya dan transmisi

beban biomekanis yang meningkat karena resultan dari ruas tulang belakang yang

terimobilisasi dan yang ditangani dengan instrumentasi. Ruas-ruas ini berperan/

beraksi sebagai lengan tuas dan gaya torsi keluar pada level ruas-ruas gerak asli

damping diatas dan di bawah konstruksi instrumentasi. Temuan-temuan pada

pemeriksaan CT diantaranya mencakup degenerasi diska dan artrosis sendi facet,

yang dimana hal ini akan dapat berkembang menjadi kondisi stenosis spinal.

Penyakit segmen damping diketahui lebih umum terjadi pada tulang belakang lumbar

dan pada level diatas ruas yang ditangani dengan instrumentasi (Gambar 19).
Gambar 30. Temuan-temuan pemeriksaan CT pada seorang pria dengan usia 71

tahun yang mengalami nyeri punggung bawah persisten pasca menjalani

instrumentasi tulang belakang lumbal pada ruas gerak L4-L5, yang mencakup

diskektomi dengan penempatan tandur antarbadan serta fiksasi sekrup dan pelat

posterior. Gambar CT koronal diatas menunjukkan fenomena celah vakum (tanda

anak panah) pada antar-ruang L4-L5, dan juga migrasi tandur sejauh 3 mm kedalam

endplate dengan osteolisis di sekitarnya (tanda anak panah), yang dimana hal ini

mengindikasikan mikro-gerak dan tidak sempurnanya integrasi oseus/ tulang.

Gambar 31. Fraktur tulang periprostetik pada seorang wanita usia 77 tahun yang

pernah menjalani instrumentasi tulang belakang lumbar posterior yang memanjang


dari badan vertebral L3 ke S1. (a) Gambar CT sagital yang diperoleh 1 hari setelah

dilakukannya operasi instrumentasi menunjukkan terjadinya kesejajaran baseline,

dengan badan vertebral S1 yang utuh (tanda anak panah). (B) Gambar Sagital CT

yang didapat 1 bulan pasca operasi yang menunjukkan adanya fraktur baru (tanda

anak panah) pada ruas S1 damping (ruas S1 disampingnya), dengan pergeseran

anterior.

Gambar 32. Fraktur periprostetik pada seorang wanita dengan usia 73 tahun yang

pernah menjalani instrumentasi tulang belakang lumbar posterior dari badan vertebra

L4 ke S1, yang mencakup dekompresi garis tengah dan sekrup pedikel serta fiksasi

batang. Gambar sagital (a) dan koronal (b) diatas menunjukkan fraktur (tanda anak

panah) proses artikular kanan dan kiri pada badan vertebral L3 didekatnya.

Koleksi/ Kumpulan dan Fistula

Pasca dilakukannya operasi tulang belakang, kemunculan kumpulan/ koleksi pasca-

operasi merupakan hal yang umum, yang mencakup seroma, hematoma, abses, dan

pseudomeningokel, yang dapat memunculkan gejala ataupun tidak (yang terdeteksi


secara tidak sengaja). Pembedaan yang akurat untuk berbagai tipe koleksi merupakan

hal yang penting untuk mengimplementasikan penanganan yang paling tepat.

Hematoma pasca-operasi satu jenis koleksi/ kumpulan fokus produk-produk darah,

yang dapat terlokasi di dalam atau di sekitar kanal tulang belakang ataupun implan,

dan/ atau di sepanjang akses bedah. Hematoma umumnya berkembang pada jaringan

subkutan/ sub-kulit, dan biasanya, kondisi ini tidak memerlukan tindakan intervensi/

penanganan. Hampir dari seluruh hematoma pasca- operasi dapat muncul dalam

beberapa jam (sampai beberapa hari) pasca tindakan operasi. Gejala-gejala yang

diakibatkan karena perdarahan pasca-operasi didasarkan pada lokasi koleksi/

kumpulan.

Gambar 33. Koleksi pasca operasi pada seorang wanita usia 68 tahun yang pernah

menjalani instrumentasi tulang belakang posterior dari badan vertebral T4 ke S1,

yang mencakup dekompresi garis tengah badan vertebra L2-L4. Gambar sagital (a)

dan aksial (b) spina lumbar pada level L3-L4 diatas menunjukkan koleksi atenuasi
rendah (tanda anak panah), yang dimana temuan tersebut merepresentasikan seroma

pasca-bedah pada bedengan dekompresi posterior.

Gambar 34. Koleksi/ kumpulan pasca-operasi pada pria dengan usia 70 tahun yang

pernah menjalani instrumentasi tulang belakang lumbar posterior yang memanjang

dari badan vertebral L4 ke S1, yang mencakup dekompresi garis tengah, penempatan

tandur antar-badan vertebral, serta sekrup pedikel posterior dan fiksasi batang.

Gambar CT aksial yang diperoleh pada level L4-L5 menunjukkan koleksi

hipoatenuasi berukuran besar (tanda anak panah putih) pada area dekompresi garis

tengah dan akses bedah, tanpa terpisah dari kantung tekal. Batas koleksi terdiri dari

jaringan fibrosa reaktif (tanda anak panah hitam), yang dimana temuan ini

menunjukkan adanya pseudomeningokel. Pemeriksaan MRI kepala (tidak

ditampilkan) menunjukkan tanda-tanda hipotensi intrakranium, dan MRI tulang

belakang lumbar (tidak ditampilkan) menggambarkan usak dural kecil dengan

kebocoran cairan serebrospinal pada level L4-L5, yang dimana temuan ini

mengkonfirmasikan adanya pseudomeningokel.

Hematoma spinal epidural dan subdural dapatlah memunculkan efek masa pada

elemen-elemen saraf dan dapat menyebabkan nyeri serta defisit neurologis. Namun
demikian, tingkat insiden hematoma epidural simptomatik seringkali ter-

overestimasi, dimana tingkat insiden aktual nya adalah sekitar 0,1% - 1,0%.

Pemeriksaan CT non-kontras (yang kontrasnya tidak diperjelas dengan menggunakan

material) menggambarkan adanya hematoma gumpal sebagai koleksi ekstradural

atenuasi tinggi dengan bentuk bikonveks. Kumpulan/ koleksi atenuasi tinggi adalah

tampak berbeda dari tulang belakang dan lemak epidural atenuasi rendah yang ada di

dekatnya. Hematoma epidural sering muncul pada posisi dorsolateral terhadap korda

spina. Perdarahan subdural jaranglah terjadi, hanyalah beberapa kasus saja yang

dilaporkan.

Seroma pasca operasi (Gambar 33) merupakan koleksi/ kumpulan cairan serosa

bening yang mengandung plasma darah ataupun cairan inflamasi, masing-masing

yang berasal dari pembuluh-pembuluh darah kecil yang rusak ataupun jaringan

lunak. Koleksi/ kumpulan ini dapat ditemukan pada jaringan subkutan ataupun

paraspinal. Penggunaan BMP diketahui memiliki hubungan dengan peningkatan

risiko seroma pasca-operasi. Penanganan untuk kondisi ini mencakup penggunaan

perban kompresi untuk seroma yang ukurannya relatif kecil dan penyaliran bedah

untuk seroma yang berukuran besar, simtomatik, ataupun yang terinfeksi.

Pengukuran atenuasi CT dapatlah dilakukan untuk membedakan seroma dari

hematoma. Namun demikian, MRI diketahui merupakan modalitas yang lebih akurat

untuk area-area tanpa adanya artifak logam (yang berpotensi menghalangi).


Pseudomeningokel dan Kebocoran Dural

Pseudomeningokel (Gambar 34) merupakan koleksi/ kumpulan cairan serebrospinal

abnormal di wilayah paraspinal yang terhubung dengan ruang cairan serebrospinal di

sekitar korda spina melalui celah meningeal. Pseudomeningokel diketahui dapat

dialami oleh <2% pasien yang mendapatkan tindakan laminektomi atau diskektomi.

Pseudomeningokel dapatlah memunculkan gejala karena adanya efek masa dan dapat

disertai oleh kondisi hipotensi intrakranial dan meningitis akibat hipovolemia cairan

serebrospinal. Batas pseudomeningokel (meningokel-semu), yang tidak seperti

meningosel nyata, adalah terdiri dari jaringan fibrosa reaktif (Gambar 34).

Pseudomeningokel dapatlah meluas dari kanal spina melalui usak posterior pada

lokasi elemen posterior yang direseksi. Pada gambar hasil pemeriksaan CT,

pseudomeningokel umumnya muncul sebagai kumpulan/ koleksi yang ber-

hipoatenuasi yang meluas ke dura, dengan penajaman tepi minimal. Pada lokasi

dilakukannya laminotomi dan laminektomi, kantung dural dapat menonjol ke arah

belakang dan tidak boleh disalahartikan sebagai pseudomeningosel. CT mielografi

dapatlah berguna untuk membedakan pseudomeningosel komunikan dari seroma dan

kebocoran dural. Penggunaan material kontras (berbasis-iodine) yang diinjeksikan

dengan panduan CT dapatlah berguna untuk memvisualisasikan kondisi celah,

sebagaimana yang diindikasikan oleh material kontras berbahan-iodine yang

melintasi kedalam pseudomeningokel.


Gambar 35. Abses paraspinal pada pria usia 31 tahun yang pernah menjalani

instrumentasi cervicothoracic/ servikotoraks posterior yang memanjang dari C5 ke

T1. Gambar CT aksial yang diperoleh setelah pemberian material kontras intravena

berbahan iodine menunjukkan adanya koleksi yang batas-batasnya tampak menajam

(tanda anak panah), yang menunjukkan abses jaringan lunak dengan posisi posterior

terhadap proses spina, dengan untaian lemak di dekatnya.

Gambar 36. Temuan hasil pemeriksaan CT pada seorang pria usia 33 tahun yang

pernah menjalani instrumentasi tulang leher yang memanjang dari badan vertebral

C4 ke C7. Gambar CT aksial (a) dan koronal (b) yang didapat pasca pemberian

material kontras berbahan-iodine (yang diberikan melalui intravena), dengan pasca-

pemrosesan reduksi artifak logam iteratif, yang menunjukkan koleksi bertepian jelas

(tanda anak panah), pada posisi kranial terhadap batang kanan, yang dimana temuan

ini merepresentasikan abses jaringan lunak.


Abses dan Infeksi Pada Lokasi Bedah

Infeksi lokasi bedah merupakan satu bentuk komplikasi yang cukup serius yang

umumnya dapat muncul selama bulan pertama pasca dilakukannya bedah tulang

belakang. Beberapa penyebab infeksi ini diantaranya mencakup kontaminasi

langsung selama dilakukannya pembedahan, pengunggulan hematogenosa, dan

infeksi yang berkaitan dengan pemasangan implan. Beberapa faktor resiko yang

berkaitan-dengan-kondisi-pasien diantaranya mencakup diabetes melitus, kebiasaan

merokok, gagal ginjal, malnutrisi, imunosupresi, obesitas, dan usia lanjut. Beberapa

faktor resiko yang berkaitan-dengan-tindakan-pembedahan diantaranya mencakup

lamanya waktu pembedahan, retraksi yang terlalu lama, penempatan implan, dan

penempatan tandur tulang. Organisme penginfeksi yang paling umum adalah

Staphylococus aureus dan bakteria gram-negatif.

Walaupun MRI diketahui sebagai modalitas dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi

dibandingkan dengan CT di dalam pengevaluasian kumpulan/ koleksi cairan pasca

operasi, namun CT (yang dipertajam dengan kontras) dapatlah digunakan untuk

mendeteksi abses dengan batas yang diperjelas pada bedengan bedah dan muskulatur

paraspina (Gambar 35, 36). Temuan-temuan lain mencakup edema paraspinal dan

flegma, penajaman muskular, destruksi badan vertebral, dan pembentukan gas pada

jaringan lunak dan tulang.

Kesimpulan

CT diketahui merupakan satu modalitas yang penting yang dapat digunakan untuk

mengevaluasi tingkat keberhasilan tindakan operasi instrumentasi tulang belakang


dan juga untuk mendeteksi keberadaan komplikasi pasca operasi. Penggunaan

protokol CT dan teknik-teknik reduksi artifak logam terbaru diketahui dapat

memfasilitasi peminimalisiran artifak dan peningkatan kualitas gambar hasil

pencitraan. CT adalah modalitas yang akurat untuk mengetahui lokasi dan integritas

implan dan juga untuk mengidentifikasi osteolisis peri-implan, fraktur, dan penyakit

segmen damping. CT dapatlah menunjukkan/ mendeskripsikan koleksi/ kumpulan

dan seringkali dapat digunakan untuk melahirkan diagnosis abses. Namun demikian,

mielografi dan MRI seringkali diperlukan untuk secara penuh mengkarakterisasi dan

melahirkan diagnosis fistula, pseudomeningokel, dan infeksi pada lokasi bedah.

Pemahaman yang cukup tentang implan tulang belakang, teknik-teknik bedah tulang

belakang, tampilan tulang belakang pasca operasi yang normal, dan berbagai

komplikasi terkait akanlah membantu di dalam penafsiran yang akurat akan temuan-

temuan CT pasca operasi, dan juga di dalam pemanduan penanganan medis, bedah,

dan intervensional.

Anda mungkin juga menyukai