Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Manusia yang hidup berkelompok dalam suatu gugus yang disebut

masyarakat, inilah hakekat makna pola zoon politicon, ternyata juga berjati diri

homo economicus. Demi menjaga keberlanjutan eksistensinya selaku makhluk,

manusia sebagai anggota kelompok selalu berusaha keras untuk memenuhi segala

macam kebutuhan hayatinya yang sangat beraneka ragam. Baik kebutuhan hidup

dasar seperti pangan, sandang, papan, pasti juga diperjuangkan untuk semua itu

dengan mengerahkan segenap daya dan upaya. Tak ada mengenal istilah

menyerah dalam kamus hidupnya yang pasti mengalami pasang surut kehidupan.

Manusia sebagai makhluk sosial akan terus berusaha untuk melestarikan

eksistensinya supaya terus hidup berkelanjutan. Untuk itu segala jenis kebutuhan

hidupnya, bakal diusahakan untuk bisa tercukupi. Dala hal ini yang utama adalah

kebutuhan hidup berskala primer, pasti akan diutamakan untuk sesegera mungkin

terpenuhi.

Tantangan hidup mapan, khususnya dilingkungan masyarakat kota-kota

metropolitan, benar-benar memerlukan kerja keras yang tidak kepalang tanggung.

Apalagi jika hal ini berkaitan dengan hunian sebagai salah satu jenis properti,

sungguh hal yang sangat problematik mengingat ketersediaan lahan yang kian

menyempit di kawasan metropolitan, bahkan harganya dari waktu ke waktu

semakin melambung tinggi secara fantastis.


Keperluan pelayanan kebutuhan masyarakat kota metropolitan, selain

harus lengkap, sering kali juga harus memiliki nuansa kenyamanan yang prima.

Tidak jarang kita melihal lahan-lahan di pusat-pusat kota, apalagi yang menjadi

poros bisnis harga tanahnya sudah terlampau tinggi. Hal ini menyebabkan

ketersediaan lahan semakin menipis alternatif pembangunan properti secara

vertikal pada masa kini menhadi pilhan model yang sangat digemari pada zaman

sekarang.

Pengembang yang membangun rumah dan dipasarkan, yang berarti antara

pengembang dengan konsumen terikat dalam suatu hubungan hukum keperdataan,

yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik, disebut

dengan prestasi. Mengenai bentuk prestasi, sebagaimana Pasal 1234 Burgelijk

Wetboek (selanjutnya disingkat B.W.), yang menentukan bahwa “perikatan

ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak

berbuat sesuatu”. Hal ini berarti bahwa wujud prestasi berupa memberikan

sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu”. Apabila salah satu pihak tidak

berprestasi, maka sebagaimana pasal 1239 B.W. yang menentukan bahwa “tiap

perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib

diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila

debitur tidak memenuhi kewajibannya”

Ketentuan pasal 1239 B.W. dapat juga disebut wanprestasi menurut

Abdulkadir Muhammad menentukan bahwa “tidak memenuhi kewajiban yang

telah ditetapkan dalam perikatan”. Menurut Subekti, seseorang dikatakan telah

wanprestasi apabila:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.1

Banyak Dijumpai banyak apartemen yang baru dibangun tapi pengembang

telah memasarkannya yang dikenal dengan Pre Project Selling, yautu pemasaran

produk properti sebelum dibangun. Alasan pengembang untuk melakukan sistem

ini adalah untuk mengetahui respon dari pasar atas produk properti yang akan

dibangun.

Memasarakan properti yang sedang dibangun kepada masyarakat dengan

memajang market berserta promosi fasilitas kelengkapannya, pola ini

dilingkungan masyarakat intersasional sebagai “Pre Project Selling”. Menurut

pendapat dari Moch. Isnaeni Pre Project Selling secara garis besar diberi makna

sebagai suatu sistem pemasaran properti yang sedang dibangun oleh pengembang

dengan memperlihatkan gambar beserta fasilitas-fasilitas pendukungnya.

Pre Project Selling merupakan penjualan sebelum proyek dibangun

dimana properti yang dijual tersebut baru berupa gambar ataupun konsep. Pasal 1

ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun menentukan

Penyelenggara rumah susun adalah kegiatan perencanaan, pembangunan,

penguasaan dan pemanfaatan, pengelolaan, pemeliharaan dan perawatan,

pengendalian, kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran

1
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, Hal. 45.
masyarakat yang dilaksanakan secara sistematis, terpadu, berkelanjutan dan

bertanggung jawab.

Pada umumnya hubungan hukum antara pengembang dengan konsumen

sejak pertama kali sepakat melakukan transaksi unit properti yang sedang dalam

pembangunan dituangkan dalam wujud Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

yang dibuat dihadapan Notaris. Dalam hal ini pihak konsumen yang sudah

membeli dan menghuni salah satu unit dikawasan pemukiman yang dibangun

pengembang berdasarkan PPJB, maka yang bersangkutan belum mengantongi

tanda bukti kepemilikan berupa sertifikat atas tanah beserta rumahnya.

Masyarakat yang berminat untuk segera memiliki tempat hunian meski

kawasannya baru dalam tahap pembangunan sudah mulai mengadakan hubungan

hukum dengan pihak pengembang lewat perjanjian yang dikemas sesuai koridor

hukum aturan hukum yang diterbitkan oleh pemerintah. Pola ini menunjukan

adanya hubungan antara kebutuhan konsumen peminat properti, pengembang

yang sedang giat membangun kawas perumahan, dan aturan hukum yang

disediakan oleh pemerintah untuk memfasilitasi kebutuhan pasar. Dalam keadaan

seperti ini, untuk Negara Republik Indonesia belum dapat diwujudkan, justru yang

terjadi seolah-olah masing-masing pihak berjalan sendiri-sendiri meskipun

terangkai dalam suatu rangkaian hubungan hukum. Tingginya permintaan

konsumen akan kebutuhan papan, disisi lain pengembang dengan giat berupaya

mencari dana guna membangun properti yang sedang digarap.


Pihak pengembang sendiri saat memasarkan proyek pembangunan

perumahan dan pemukiman, dengan menggeber maket beserta fasilitan

penunjangnya, sering tidak memberika informasi yang lengkap. Promosi dan iklan

untuk menunjang pemasaran proyek pembangunan perumahan dan pemukiman

sering sangat berlebihan tanpa memerdulikan etika bisnis. Persyaratan berupa

perijinan, ataupun aspek yuridis lain, sering kali tidak diungkapkan dengan jujur

kepada konsumen yang sudah tergiur pada fasilitas-fasilitas unggul yang komom

tak ditemukan dikawasan perumahan manapun.

Daya tarik konsep pemasaran pre project selling ini sangat besar jika

dilihat dari berbondong-bondongnya konsumen atau orang-orang yang

mengunjungi acara pre launching atau pro sale dan sejenis ini. Biasanya para

calon konsumen tergiur potongan harga sebesar 15% sampai dengan 20% yang

diberikan oleh pengembang. Di samping potongan harga tersebut diberikan juga

bonus alat-alat elektornik yang besarnya mencapai jutaan rupiah bahkan sampai

puluhan juta rupiah. Para calon pembeli haruslah teliti dulu sebelum membeli

sesuai dengan nasihat yang terkesan klise, terutama bagi calon pembeli rumah,

nasihat ini harus diperhatikan sehingga mereka harus mengetahui dengan benar

mengenai siapa pengembang, kualitas bangunan dan sebagainya, sehingga tidak

menyesal dikemudian hari. Konsumen hanya diyakini melalui brosur, maket,

rumah contoh dan penawaran staf pemasaran yang berpenampilan menarik,

padahal jelas sekali produknya masih berupa konsep. Daya tarik yang diberikan

tersebut bukan hanya berkisar pada hadiah ataupun potongan harga yang
diberikan namun banyak digunakan para pengembang untuk menarik daya beli

dari konsumen.

Dalam hal terkait tulisan tersebut diatas pada realitanya terjadi pada

konsumen dari salah satu pengembang yaitu P.T Sipoa Group. Konsumen dari P.T

Sipoa Group telah melakukan transaksi Pre Project Selling yang dimana lahan

pembangunan terjadi dikawasan Jawa Timur. Konsumen dari pengembang merasa

dirugikan karena sudah terjadi transaksi tetapi pembangunan rumah susun tidak

berjalan semestinya. Dalam hal ini konsumen juga mengutarakan bahwa dasar

dalam transaksi tersebut hanya berdasarkan kwitansi pembayaran dan surat

keterangan yang diberikan oleh pengembang, tidak ada PPJB yang seharusnya

dilakukan dalam proses Pre Project Selling.

Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011

Tentang Rumah Susun menentukan bahwa Proses jual beli satuan rumah susun

sebelum pembangunan rumah susun selesai dilakukan melalui PPJB dihadapan

Notaris. Berdasarkan ketentuan dari Pasal 43 ini seharusnya konsumen

mendapatkan hak nya untuk melakukan PPJB sehingga menjadi dasar yang sesuai

dengan ketentuan yang diamanatkan oleh Pasal tersebut.

Konsumen dari P.T. Sipoa Group menyayangkan tindakan yang dilakukan

oleh pengembang. Oleh karena itu perlu dilakukannya penelitian hukum guna

memperoleh jawaban yang mampu memberikan keadilan serta kepastian hukum

terhadap permasalahan tersebut. Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri

Djamati: “Rechtvinding dibutuhkan karena konsep norma yang terbuka (open


texture) dan norma yang kabur (vague norm)”.2 Adapun kegiatan-kegiatan

rechtvinding tersebut menurut Peter Mahmud Marzuki: “…pembentukan hukum

(rechtvorming), analogi (rechtsanalogie), penghalusan hukum (rechtsverfijining),

atau penafsiran (interpretatie)”.3

Guna memberikan kontribusi terhadap dunia hukum khususnya terkait

dengan Notaris di Indonesia maka diperlukan penelitian terhadap permasalahan

ini. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan judul “Perlindungan

Hukum Konsumen dari P.T. Sipoa Group yang Wanprestasi berdasarkan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat ditarik

permasalahan yaitu:

a. Bagaimana pertanggung jawaban pengembang dalam hal ini P.T. Sipoa Group

yang tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan pembangunan

apartement ?

b. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi konsumen dari P.T Sipoa Group

yang telah Wanprestasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen ?

3. Tujuan Penilitian

Penulis mempunyai 2 tujuan dalam penulisan ini antara lain sebagai berikut:

2
Philipus M. Hadjon dan Titiek Sri Djamati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 31
3
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Kencana, Jakarta 2012,
hlm. 282.
1. Tujuan akademis

Tujuan akademis adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

Magister Kenotariatan tingkat strata 2 di Fakultas Hukum Universitas

Surabaya.

2. Tujuan Praktis

Pembahasan tesis ini dimaksudkan untuk mengetahui tanggung gugat pihak

pembangun apartment terhadap konsumen yang sudah melakukan pembayaran

baik lunas maupun kredit berdasarkan 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen.

4. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis yaitu memberi sumbangan dan masukan secara

umum untuk pengembangan ilmu hukum dan secara khusus di bidang

Pertanahan yaitu properti apartment terutama yang berkaitan dengan

Perlindungan Hukum Konsumen dari P.T. Sipoa Group yang Wanprestasi

berdasarkan Undang-Undang Nomo 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen.

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dalam penulisan ini, yaitu: (a) Memberikan gambaran

pemahaman tentang Perlindungan Hukum Konsumen dari P.T. Sipoa Group

yang Wanprestasi berdasarkan Undang-Undang Nomo 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen.; (b) Memberikan gambaran pemahaman tentang

bentuk pertanggung jawaban dari pengembang yang tidak melakukan


kewajibannya yaitu melakukan pembangunan apartement; (c) Memberikan

masukan kepada pembentuk peraturan perundang-undangan untuk dapat

memberikan kepastian hukum terhadap ketidak singkronisasian antara Pihak

Pengembang dan Konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen agar tidak terjadinya kerugian akibat

dari ketidak singkronisasian aturan hukum tersebut; dan (d) memberikan

masukan kepada Konsumen, Pengembang dan juga Notaris.

5. Kerangka Teoritis dan Konseptual


1. Teori Keadilan

Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti: tidak berat

sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-

wenang.4 Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa pengertian keadilan

adalah semua hal yang berkenan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antar

manusia, keadilan berisi sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya

sesuai dengan hak dan kewajibannya, perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau

pilih kasih; melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan

kewajibannya. 5

Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia.

Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara ke dua ujung ekstern yang

terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung eksterm itu menyangkut 2 orang

4
Liang Gie, The. Teori Keadilan: Sumbangan Bahan Untuk Pemahaman Pancasila.
Yogyakarta, Super, 1979. Hal 27
5
Ibid. Hal. 28
atau benda.6 Bila 2 orang tersebut punya kesamaan dalam ukuran yang telah

ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang

sama. Kalau tidak sama, maka akan terjadi pelanggaran terhadap proporsi tersebut

berarti ketidakadilan.

Pembagian Keadilan menurut Aristoteles yaitu :

a. Keadilan Komulatif adalah perlakuan terhadap seseorang yang tidak melihat


jasa yang dilakukannya, yakni setiap orang mendapat haknya.
b. Keadilan Distributif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan
jasanya yang telah dibuat, yakni setiap orang mendapat kapasitas dengan
potensi masing-masing.
c. Keadilan Findikatif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai
kelakuannya, yakni sebagai balasan kejahatan yang dilakukan.
d. Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal,
baik menyangkut benda atau orang. Menurut John Rawls, fi lsuf Amerika
Serikat yang dianggap salah satu fi lsuf politik terkemuka abad ke-20,
menyatakan bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari
institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”.7

Pada intinya, keadilan adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya

Istilah keadilan berasal dari kata adil yang berasal dari bahasa Arab. Kata adil

berarti tengah. Adil pada hakikatnya bahwa kita memberikan kepada siapa saja

apa yang menjadi haknya. Keadilan berarti tidak berat sebelah, menempatkan

sesuatu di tengah-tengah, tidak memihak. Keadilan juga diartikan sebagai suatu

keadaan dimana setiap orang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara memperoleh apa yang menjadi haknya, sehingga dapat melaksanakan

kewajibannya.

2. Teori Kepastian Hukum

6
Ibid. Hal. 36
7
Ibid. Hal. 47
Kepastian hukum merupakan salah satu elemen yang sangat dibutuhkan

dalam suatu negara hukum. Kepastian hukum tentu saja bertumpuh pada suatu

asas kepastian hukum itu sendiri. Asas kepastian hukum mengandung dua

pengertian, yaitu: (1) adanya aturan yang bersifat umum yang memberi suatu

penjelasan kepada setiap individu mengenai perbuatan yang boleh dilakukan dan

perbuatan yang dilarang untuk dilaksanakan; dan (2) adanya keamanan hukum

bagi setiap individu dari kesewenang-wenangan pemerintah.

Asas kepastian hukum berindikasi pada adanya aturan hukum yang jelas dan

tegas. Secara normatif, kepastian hukum ada pada saat suatu peraturan yang

dibuat dan diundangkan untuk memberikan pengaturan yang jelas dan logis. Jelas

dalam arti aturan hukum itu tidak menimbulkan multi tafsir atau keragu-raguan.

Logis maksudnya hukum tersebut menjadi suatu sistem norma yang di dalamnya

tidak terjadi benturan, atau konflik norma atau pun adanya norma yang kabur.

Terkait dengan asas kepastian hukum Petter Mahmud menyatakan, bahwa:

Asas kepastian hukum tentunya memberikan fondasi bagi tingkah laku


individu dan titik pijak perbuatan yang dapat dilakukan oleh negara terhadap
setiap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam
undang-undang tetapi juga adanya konsistensi dalam putusan antara hakim
yang satu dengan hakim yang lainnya terhadap kasus yang serupa.8

3. Apartemen/Satuan Rumah Susun

8
Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta,
2008, hlm. 158.
a. Pengertian Rumah Susun

Rumah susun atau dalam istilah lain kondominium atau strata tittle juga bisa

disebut join property atau apartemen merupakan wujud penyelenggaraan

perumahan dengan bangunan baik berupa hunian dan non hunian yang

diselenggarakan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Penyelenggaraan tersebut

harus memenuhi unsur-unsur perencanaan pembangunan, penguasaan,

pengelolaan, dan pemeliharaan berdasarkan peraturan pemerintah.9

Hak milik atas suatu ruamah susun tidak diatur didalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, melainkan

diatur didalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah

Susun.

Rumah susun adalah bangunan bertingkat untuk hunian, satuannya dapat

dimiliki secara terpisah. Sebagai bangunan hunian yang dapat dimiliki secara

terpisah, penghuni rumah susun mempunyai batasan dalam memanfaatkan ruang

dan benda yang terdapat didalam rumah susun. Pengertian rumah susun menurut

ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Rumah Susun menentukan bahwa :

“Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-
satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah
terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama dan
tanah bersama.”

9
Murhaini, Suriansyah. Hukum Rumah Susun. Laksbang Grafika, Surabaya. 2015. Hal. 35.
Dalam rumah susun dikenal adanya bagian bersama, benda bersama, dan

tanah bersama. Ketiga bagian tersebut merupakan hak bersama dari rumah susun

yang tidak dapat dipisahkan.10

b. Jenis-Jenis Rumah Susun

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Satuan Rumah Susun pada

ketentuan Pasal 1 menentukan ada beberapa jenis Rumah Susun yaitu :

1. Rumah Susun Umum, adalah rumah susun yang diselenggarakan yntuk


memenuhi rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Rumah susun
umum inilah yang kemudian berkembang menjadi Rusunami dan
Rusunawa. Rusunami adalah akronim dari Rumah Susun Umum Milik,
sedangkan Rusunawa adalah akronim dari Rumah Susun Sewa.
2. Rumah Susun Khusus, merupakan rumah susun yang diselenggarakan
untuk memenuhi kebutuhan khusus.
3. Rumah Susun Negara, yaitu rumah susun yang dimiliki Negara yang
menjadi tempat tinggal, sarana pembinaan, dan penunjang pelaksana tugas
pejabat dan pegawai negeri.
4. Rumah Susun Komersial adalah rumah susun yang diselenggarkan untuk
mendapatkan keuntungan. Rumah susun komersial oleh pengembang
sering disebut dengan apartemen, flat atau kondominium.

Adrian Sutedi memberikan uraian yang lebih rinci mengenai jenis rumah

susun menurut fungsi penggunaannya yaitu :

1. Rumah Susun Hunian, yaitu rumah susun yang digunakan untuk


akomodasi atau tempat tinggal seperti perumaan, apartemen, town house,
dan bangunan lainnya yang berfungsi untuk tepat tinggal.
2. Rumah Susun Komersial adalah bangunan yang digunakan yuntuk
kepentingan-kepentingan komersial .
3. Rumah Susun Mseperti pertokoan, perkantoran, pabrik, restoran, bank,
dan lain sebgainya.
4. Rumah Susun Industri merupakan bangunan yang digunakan untuk
kepentingan industri misalnya penyimpanan barang dalam jumlah besa
atau tempat aktifitas pabrik dan industri lainnya.
5. Rumah susun keramahtamahan, misalnya hotel, motel, hostel dan
sebagainya.11

10
Ibid. Hal. 36
11
c. Pembangunan Rumah Susun

Rumah susun umum, rumah susun khusus dan rumah susun negara

merupakan tanggung jawab pemerintah yang kemudian dapat dilaksanakan setiap

orang dengan mendapat kemudahan atau bantuan pemerintah, seedangkan rumah

susun komersial dapat dilaksanakan setiap orang. Menurut ketentuan Pasal 17 UU

Sarusun pembangunan rumah susun dapat dilakukan diatas tanah : (1) Hak Milik,

(2) Hak Guna Bangunan atau Hak pakai atas Tanah Negara, dan (3) Hak Guna

Bangunan atau Hak Pakai diatas Hak Pengelolaan.

Rumah susun umum dan rumah susun khusus juga dapat dibangun dengan

memanfaatkan tanah milik negara/daerah atau tanah wakaf. Pemanfaatan tanah

milik negara dapat dilakukan dengan cara sewa atau kerjasama pemanfaatan,

demikian halnya dengan tanah wakaf yang dapat didayagunakan melaluai sewa

atau kerjasama pemanfaatan sesuai dengan ikrar wakaf yang mana hal ini sesuai

dengan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Sarusun.

Ada beberapa persyaratan yang harus ditempuh dalam rangka pembangunan

rumah susun yang diatur didalam penjelasan dari ketentuan Pasal 24 UU Sarusun,

yaitu :

1. Persyaratan administratif, meliputi perizinan yang diperlukan sebagai


syarat untuk melakukan pembangunan rumah susun.
2. Persyaratan teknis, adalah persyartan yang berkaitan dengan struktur
bangunan, keamanan dan keselamatan bangunan, kesehatan lingkungan,
kenyamanan dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun,
termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan
3. Persyaratan ekologis, yaitu persyaratan berkaitang dengan analisis
dampak lingkungan.12

Sutedi, Adrian. Hukum Rumah Susun dan Apartemen Sinar Grafika, Jakarta Timur. 2010.
Hal. 10

12
Dalam hal pengembang dapat melakukan penjualan kepada konsumen ada

syarat lain yang harus dipenuhi diantaranya adalah yang diatur didalam ketentuan

Pasal 16 ayat (2) yang menentukan bahwa : “Pelaku pembangunan rumah susun

komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan rumah susun

umum sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah

susun (komersial yang dibangun.” Berdasarkan ketentuan ini pengembang tidak

bisa lagi hanya sekedar menjual rancangan, denah ataupun gambar semata, karena

ada kewajiban pembangunan minimal 20% (dua puluh persen) bagi pengembang

sebelum apartemen yang dibangun akan dipasarkan ke konsumen.13

d. Larangan dan Sanksi Bagi Penyelenggara Rumah Susun

Berdasarkan Pasal 97 UU Sarusun menentukan bahwa Setiap pelaku

pembangunan rumah susun komersial dilarang mengingkari kewajibannya untuk

menyediakan rumah susun umum sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen)

dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun.

Pada ketentuan selanjutnya pada Pasal 98 UU Sarusun juga menentukan

bahwa :

Pelaku pembangunan dilarang membuat PPJB:


a. yang tidak sesuai dengan yang dipasarkan; atau
b. sebelum memenuhi persyaratan kepastian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (2).

Pada ketentuan diatas sudah jelas bahwa para pengembang dilarang

melakukan hal-hal seperti pembangunan yang kurang dari 20% (dua puluh persen)

Ibid. Hal. 36
13
Ibid. Hal.96
dan juga dilarang untuk melakukan PPJB jika syarat-syarat administatif tidak

dilengkapi.

Setiap ada larangan selalu diberikan sanksi untuk mendapat efek jera bagi

para pelanggar peraturan. Ada beberapa sanksi bagi pengembang diantaranya

sanksi administratif, sanksi perdata dan sanksi pidana.

Sanksi administratif diatur pada ketentuan Pasal 108 ayai 1 dimana

menentukan bahwa sanksi administratif berupa :

a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha;
c. penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
d. penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan rumah
susun;
e. pengenaan denda administratif;
f. pencabutan IMB;
g. pencabutan sertifikat laik fungsi;
h. pencabutan SHM sarusun atau SKBG sarusun;
i. perintah pembongkaran bangunan rumah susun; atau
j. pencabutan izin usaha.

Kemudian pada ayat 2 menentukan bahwa sanksi administratif tidak

menghilangkan tanggung jawab pemulihan dan pidana.

Sanksi perdata tidak diatur didalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2011 Tentang Satuan Rumah Susun, akan tetapi diatur di dalam B.W. Bila

kerugian pembeli timbul atas dasar wanprestasi pengembang sesuai ketentuan

Pasal 1243 B.W. pengembang wajib mengganti kerugian tersebut. Sanksi perdata

tidak hanya berhenti disitu saja, pada ketentuan pasal 19 UUPK menentukan

bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian
terhadap konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan.

Sanksi pidana diatur didalam ketentuan Pasal 110 UU Sarusun yang

menentukan bahwa :

Pelaku pembangunan yang membuat PPJB:


a. yang tidak sesuai dengan yang dipasarkan; atau
b. sebelum memenuhi persyaratan kepastian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (2); sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau
denda paling banyak Rp 4.000.000.000,oo (empat miliar rupiah).

4. Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (selanjutnya disebut PPJB) merupakan

perjanjian kesepakatan para pihak mengenai rencana para pihak yang akan

melakukan jual-beli dan mengatur tentang hak dan kewajiban sehingga

memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak yang

membuatnya.14 Hal ini sesuai dengan asas hukum “Pacta Sun Servanda” artinya

perjanjian adalah Undang-Undang yang mengikat bagi para pihak yang

membuatnya.

Pada umumnya hubungan hukum antara pengembang dengan konsumen,

sejak pertama kali sepakat melakukan transaksi unit properti yang sedang dalam

tahap pembangunan dituang dalam wujud PPJB. Dalam hal keberadaa Pre Project

Selling sangat erat kaitannya dengan PPJB, karena PPJB adalah wadah bagi

14
Kallo, Erwin. Panduan Hukum Untuk Pemilik/Penghuni Rumah Susun. Minerva Athena
Pressindo. 2009. Hal. 42.
pengembang dan konsumen untuk dapat melakukan transaksi jual beli yang

sedang dalam tahap pembangunan.

Pada dasarnya PPJB merupakan perjanjian tak bernama yang didasari oleh

Bab V Buku III B.W. pada Pasal 1319, yang menentukan para pihak atas dasar

sepakat dapat membuat jenis perjanjian tak bernama, sehingga berdasarkan

ketentuan ini muncullah yang namanya PPJB. Sesuai dengan Pasal 1233 B.W.

PPJB sebagai salah satu jenis perjanjian tak bernama, akan melahikan perikatan

yang dari rahimnya bukan sekedar melahirkan hak pribadi atau hak perorangan,

dan bukan hak kebendaan yang memiliki sifat mutlak.15

Pada umumnya PPJB dikemas dalam wujud kontrak baku yang

hakekatnya merupakan perjanjian bersyarat sesuai dengan ketentuan Pasal 1253

Jo. 1263 B.W. sebenarnya merupakan jalan terobosan untuk dapat beroperasinya

sistem Pre Project Selling. PPJB yang dirakit secara baku lewat andalan asas

kebebasan berkontrak yang sering memingirkan kepentingan konsumen yang pada

akhirnya akan merusak kepercayaan dari konsumen.

PPJB dalam hal ini mengatur hal-hal sebagai berikut :

1. Komparisi Perjanjian, yaitu para pihak yang akan menandatangani PPJB.


Dalam hal ini pihak konsumen perlu mengetahui keabsahan badan hukum
perusahaan pengembang telah mendapat pengesahan dari Menteri
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
2. Premisi, yaitu penjelasan awal mengenai perjanjian yang harus menegaskan
bahwa pengembang telah memiliki atau menguasai lahan lokasi proyek
secara sah dan tidak dalam keadaan dijaminkan.
3. Isi PPJB, yaitu memuat :
a. Harga Jual dan biaya-biaya lain yand ditanggung konsumen.
b. Tanggal serah terima fisik yang tidak melebihi 18 (delapan belas) bulan
sejak pembayaran pertama.

15
Isnaeni, Moch. Urgensi Pengendalian Asas Kebebasan Berkontrak Sebagai Fasilitator
Sistem Pre Project Selling. 2017.
c. Denda keterlambatan bila pengembang terlambat melakukan serah
terima fisik kepada konsumen, demikian pula denda keterlambatan jika
konsumen terlambat melakukan pembayaran.
d. Spesifikasi bangunan dan lokasi
e. Hak pengembang untuk membatalkan PPJB bila konsumen lalai untuk
melakukan pembayaran.
f. Hak konsumen untuk membatalkan perjanjian bila pengembang lalai
akan kewajibanya dengan pembayaran kembali seluruh uang yang telah
disetor oleh konsumen berikut denda-dendanya.
g. Penandatanganan akta jual beli haruslah ada kepastian tanggalnya
h. Masa pemeliharaan 100 (seratus) hari sejak serah terima unit rumah
susun.
i. Force Majeure, dalam kondisi bagaimana dapat dikatakan terjadi
keadaan yang memaksa dan konsekuensinya.16

PPJB sebagai sebuah perjanjian tak bernama sedasar makna pasal 1319

B.W, baru akan direalisasikan menjadi Akta Jual Beli (selanjutnya disebut AJB)

jika sudah ada serah terima fisik dan syarat-syarat admintratif lainnya terpenuhi.

5. Perlindungan Konsumen Apartemen

Pada tanggal 20 April 1999 diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK), yang mulai

efektif berlaku pada 20 April 2000. Apabila dicermati muatan materi UUPK

cukup banyak mengatur perilaku pelaku usaha. Hal ini dapat dipahami mengingat

kerugian yang diderita konsumen barang atau jasa acapkali merupakan akibat

perilaku pelaku usaha, sehingga wajar apabila terdapat tuntutan agar perilaku

pelaku usaha tersebut diatur, dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut

dikenakan sanksi. Perilaku pelaku usaha dalam melakukan strategi untuk

16
Op. Cit. Kallo, Erwin. Hal. 46
mengembangkan bisnisnya inilah yang seringkali menimbulkan kerugian bagi

konsumen.

Berkaitan dengan strategi bisnis yang digunakan oleh pelaku usaha, pada

mulanya berkembang adagium caveat emptor (waspadalah konsumen), kemudian

berkembang menjadi caveat venditor (waspadalah pelaku usaha).17 Ketika strategi

bisnis berorientasi pada kemampuan menghasilkan produk (production oriented),

maka di sini konsumen harus waspada dalam menkonsumsi barang dan jasa yang

ditawarkan pelaku usaha. Pada masa ini konsumen tidak memiliki banyak peluang

untuk memilih barang atau jasa yang akan dikonsumsinya sesuai dengan selera,

daya beli dan kebutuhan. Konsumen lebih banyak dalam posisi didikte oleh

produsen.

Pola konsumsi masyarakat justru banyak ditentukan oleh pelaku usaha dan

bukan oleh konsumennya sendiri. Seiring dengan perkembangan ilmu

pengetahuan, teknologi dan meningkatnya tingkat pendidikan, meningkat pula

daya kritis masyarakat. Dalam masa yang demikian, pelaku usaha tidak mungkin

lagi mempertahankan strategi bisnisnya yang lama, dengan risiko barang atau jasa

yang ditawarkan tidak akan laku di pasaran.

Dalam konteks ini pelaku usaha dituntut untuk menghasilkan barang-

barang yang kompetitif terutama dari segi mutu, jumlah dan keamanan. Di dalam

UUPK antara lain ditegaskan, pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin mutu

barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan

ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku. Pelaku usaha dilarang
17
Ibid. Hal. 43
memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak

memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Ketentuan

tersebut semestinya ditaati dan dilaksanakan oleh para pelaku usaha.

Dalam kenyataannya banyak pelaku usaha yang kurang atau bahkan tidak

memberikan perhatian yang serius terhadap kewajiban maupun larangan tersebut,

sehingga berdampak pada timbulnya permasalahan dengan konsumen.

Permasalahan yang dihadapi konsumen dalam menkonsumsi barang dan jasa

terutama menyangkut mutu, pelayanan serta bentuk transaksi.

Transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha, cenderung bersifat tidak

seimbang. Konsumen terpaksa menandatangani per-janjian yang sebelumnya telah

disiapkan oleh pelaku usaha, akibatnya berbagai kasus seperti pembelian mobil,

alat-alat elektronik, pembelian rumah secara kredit umumnya menempatkan posisi

konsumen di pihak yang lemah.

Hak-hak dari konsumen juga tertuang pada ketentuan Pasal 89 ayat 2 huruf

(g) UU Sarusun yang mana menentukan bahwa : “konsumen berhak memperoleh

penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai

akibat penyelenggaraan rumah susun”. Kemudian pada ketentuan pasal yang sama

pada huruf (i) menentukan : “konsumen berhak mengajukan gugatan perwakilan ke

pengadilan terhadap penyelenggaraan rumah susun yang merugikan masyarakat.”

Permasalahan yang dihadapi konsumen tersebut pada dasarnya disebabkan

oleh kurang adanya tanggung jawab pengusaha dan juga lemahnya pengawasan

pemerintah. Secara normatif pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti


rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti

rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau

jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau

pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku yaitu berdasarkan ketentuan Pasal l9 ayat (l) UUPK yang menentukan :

Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau

jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Kemudian pada ayat (2) UUPK juga

menentukan : Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara

nilainya, atau perawatan kesehatan.

Ketentuan diatas merupakan upaya untuk memberikan perlindungan

kepada konsumen. Dengan demikian, dapat ditegaskan apabila konsumen

menderita kerugian sebagai akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang

dihasilkan oleh pelaku usaha, berhak untuk menuntut tanggung jawab secara

perdata kepada pelaku usaha atas kerugian yang timbul tersebut. Demikian halnya

pada transaksi Rumah Susun/Apartemen, apabila konsumen menderita kerugian

sehingga menyebabkan timbulnya kerugian, maka ia berhak untuk menuntut

penggantian kerugian tersebut kepada pengembang perumahan yang

bersangkutan.

Consumer is an individual who purchases, or has the capacity to purchases,


goods and services offered for sale by marketing institutions in order to
satisfy personal or hausehold needs,wdnts or desires. Adapun produsen
diartikan sebagai setiap penghasil barang dan jasa yang di-konsumsi oleh
pihak atau orang lain. Kata konsument (Belanda) oleh para ahli hukum telah
disepakati sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa (uitenindelijk
gebruiker van gordern en diesten) yang iserahkan kepada mereka oleh
pengusaha (ondernemer). 18

Secara teoretis, di dalam Undang-Undang Perlindungari Konsumen

(UUPK) diatur beberapa macam tanggung jawab (liability) sebagai berikut21:

1. Contractual Liability (Tanggung Jawab Kontrak)

Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku

usaha (barang atau jasa) dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha

didasarkan pada Contractual Liability (Pertanggung-jawaban Kontraktual), yaitu

tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/ kontrak dari pelaku usaha, atas

kerugian yang dialami konsumen aki-bat mengkonsumsi barang yang

dihasilkannya atau memanfaatkan jasa yang diberikannya. Selain berlaku UUPK,

khususnya ketentuan ten-tang pencantuman klausul baku sebagaimana diatur

dalam Pasal 18 UUPK, maka tanggung jawab atas dasar perjanjian dari pelaku

usaha, diberlakukan juga hukum perjanjian sebagaimana termuat di dalam Buku

III KUH Perdata.

2. Product Liability (Tanggung Jawab Produk)

Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity of contract)

antara pelaku usaha dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha

didasarkan pada Product Liability (Pertanggungjawaban Produk), yaitu tanggung

18
Ibid. Hal.39
jawab perdata secara langsung (Strict Liability) dari pelaku usaha atas kerugian

yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkannya.

Guidelines for Consumer Protection of 1985, yang dikeluarkan oleh

Persatuan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB) menyatakan: Konsumen di

manapun mereka berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya.

Yang dimaksud hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi

yang.jelas, benar, dan jujur; Hak untuk mendapatkan ganti rugi; hak untuk

mendapatkan kebutuhan dasar manusia (cukup pangan dan papan); Hak untuk

mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga

lingkungan; dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau

seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak-hak konsumen tersebut di

negaranya masing-masing.19

Hak-hak konsumen harus ditegakkan. Salah satu faktor untuk menegakkan

hak-hak konsumen itu adalah upaya untuk menumbuhkan sikap dan perilaku

konsumen itu sendiri, sehingga menjadi konsumen yang bertanggung jawab, yaitu

konsumen yang sadar akan hak-haknya sebagai konsumen. Kegiatan konsumen

dalam meningkatkan barang atau jasa yang dibutuhkannya (transaksi konsumen),

pada umumnya dikuasai oleh hukum perdata. Oleh karena itu, peranan hukum

perdata sangat besar artinya dalam menegakkan hak-hak konsumen dalam hukum

perlindungan konsumen. Di samping itu, aspek hukum perdata yang cukup

menonjol pada perlindungan konsumen adalah hak konsumen urituk mendapatkan

19

Ibid. Hal 43
ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen sebagai akibat dari pemakaian

barang-barang konsumsi.

Ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen sebagai akibat dari

pemakaian barang-barang konsumsi merupakan salah, satu hak pokok konsumen

dalam hukum perlindungan konsumen. Hak atas ganti rugi ini bersifat universal di

samping hak-hak pokok lainnya. Ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen

pada hakikatnya berfungsi sebagai:

a. Pemulihan hak-haknya yang telah dilanggar;

b. Pemulihan atas kerugian materil maupun irnmateril yang telah dideritanya,

dan;

c. Pemulihan pada keadaan semula.

Kerugian yang dapat diderita konsumen sebagai akibat dari pemakaian

barang-barang konsumsi itu dapat di klasifikasikan ke dalam:

a. Kerugian Materiil, yaitu berupa kerugian pada barang-barang yang

dibeli;

b. Kerugian Immateriil, yaitu kerugian yang membahayakan kesehatan

dan/atau jiwa konsumen.

6. Pengertian Perbuatan Melanggar/Melawan Hukum

Pengertian Perbuatan Melanggar/Melawan Hukum diatur dalam ketentuan

Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yang menentukan

bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada

orang lain, mewajibkan orang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya

untuk mengganti kerugian tersebut”.


Dari ketentuan Pasal 1365 tersebut, menurut M.A Moegni Djojodirdjo

terdapat syarat-syarat materiil yang harus dipenuhi untuk menuntut ganti

kerugian, yaitu:20

1. Perbuatan Melawan Hukum;

2. Kesalahan (schuld);

3. Kerugian (schade);

4. Hubungan Kausal (oorzakerlijk verband).

Dari pengertian perbuatan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata menurut Moegni ada dua pengertian: “Yakni sebagai perbuatan

dengan segi positifnya yakni dengan lain perkataan perbuatan yang merupakan

perwujudan daripada “berbuat sesuatu” dan sebagai perbuatan dengan segi

negatifnya yakni perbuatan yag berupa “mengabaikan suatu keharusan”.21

Pengertian perbuatan dalam Pasal 1365 tersebut kemudian diperjelas pada

Pasal 1366. Soetojo dalam bukunya mengatakan “didasarkan pada Pasal 1366

B.W tujuan dari pada Pasal tersebut sesungguhnya ialah untuk

mempertegas/memperjelas, bahwa tidak hanya perbuatan yang disengaja tetapi

juga perbuatan culpoos dapat digugat untuk membayar ganti rugi.22

Pengertian perbuatan Melawan Hukum secara luas dirumuskan sebagai

berikut:

20
M.A Moegni Djojodirodjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradya Paramita, Jakarta,
1979. Hal. 56-82.
21
Ibid. Hal 57.
22
Soetojo Prawiroharmidjojo dan Marthalena Pohan, Onrechtmatige Daad, Djumali,
Surbaya, 1979, Hal.2
Perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan atau kealpaan yang
bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku sendiri atau bertentangan baik dengan kesusilaan, maupun dengan sikap
hati-hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau
benda.23

Dalam perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan akan lenyap sifat

melawan hukum karena adanya dasar pembenar (rechtvaardingningsground),

Moegni mengatakan:

Dasar-dasar pembenar (rechtvaardingningsground) adalah keadaan memaksa


(overmacht), pembelaan terpaksa (noodweer), ketentuan undang-undang (wetelijk
voorschriff), dan perintah jabatan (wetelijk bevel). Sekalipun dalam undang-
undang tidak diatur dasar-dasar pembenar (rechtvaardingningsground) tersebut,
namun secara umum dasar pembenar tersebut diakui dapat diterapkan.24

Menurut dari pendapat Soetojo, berdasarkan ajaran sempit yang dimaksud

dengan perbuatan melanggar hukum adalah meliputi suatu perbuatan yang

mengurangi atau melanggar hak orang lain dan bahwa perbuatan itu bertentangan

dengan kewajiban hukum pelaksanannya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan

kewajiban hukum tersebut adalah suatu kewajiban yang telah ditentukan Undang-

Undang. Barang siapa berbuat bertentangan dengan kewajiban hukumnya dan

melakukan suatu perbuatan pidana ia wajib memberikan ganti rugi terhadap pihak

yang karena perbuatannya itu menderita kerugian.25

Unsur berikutnya dari perbuatan melawan hukum adalah adanya

kesalahan, Moegni mengatakan:

Dengan mensyaratkan adanya kesalahan (schuld) dalam Pasal 1365


KUHPerdata, pembuat undang-undang berkehendak menekankan, bahwa si
pelaku perbuatan melawan hukum hanyalah bertanggung gugat atas kerugian
23
Ibid, Hal. 58
24
M.A Moegni Djojodirdjo, Op. Cit. Hal.59
25
Soetojo Prawiroharmidjojo dan Marthalena Pohan, Op.cit, Hal. 2-4
yang ditimbulkannya bilamana perbuatan dari kerugian tersebut dapat
dipersalahkan kepadanya.26

Moegni juga mengatakan:

Kesalahan (schuld) mencakup kealpaan dari kesengajaan. Biasanya kealpaan


tersebut disebut kesalahan. Dengan demikian pengertian kesalahan mencakup
dua pengertian, yakni kesalahan dalam arti luas dan kesalahan dalam arti
sempit dan kesalahan dalam arti luas terdiri dari kealpaann, yakni kesalahan
dalam arti sempit dan kesengajaan. Kesalahan mencakup sifat melawan
hukum. Untuk kesengajaan adalah sudah cukum, bilamana orang pada waktu
ia melakukan perbuatan atau pada waktu melalaikan kewajiban sudah
mengetahui bahwa akibat yang merugikan itu menurut perkiraannya akan
atau pasti akan timbul dari orang tersebut, sekalipun ia sudah mengetahuinya
masih juga melakukan perbuatannya atau melalaikan keharusannya.27

Unsur berikutnya dalam perbuatan melawan hukum adalah kerugian

(schade), menurut pendapat Moegni: “Tiap perbuatan melawan hukum tidak

hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian

materiil atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan

hidup”.28

Dan dalam hal mengenai jumlah ganti kerugian yang harus diberikan,

Moegni mengatakan: Menurut ketentuan dalam Pasal 1246 KUHPerdata bahwa

kerugian yang disebabkan karena tidak dipenuhinya perikatannya pada umumnya

harus diganti dengan kerugian yang diderita oleh penderita dan juga dengan

keuntungan yang sekiranya dapat diterapkannya.29

Unsur yang terakhir dari perbuatan melawan hukum adalah adanya

Hubungan Kausal. Syarat dari hubungan kausal yang diutarakan Von Buri seperti

26
M.A Moegni Djojodirdjo, Op.cit. Hal 65
27
Ibid. Hal 66
28
Ibid.Hal. 76
29
Ibid. Hal. 77
yang dikemukakan Moegni dalam bukunya adalah: “Sesuatu perbuatan atau

masalah adalah syarat daripada suatu akibat, apabila perbuatan masalah itu tidak

dapat ditiadakan, hingga akibatnya akan timbul.30 Ajaran ini dinamakan teori

conditio sine qua non. Ajaran conditio sine qua non mengajarkan bahwa baik

syarat-syarat positif maupun negatif, sama-sama merupakan sebab dan sebagai

demikian sama nilainya.31 Kemudian ada ajaran teori adequate dari Von Kries.

Aduquate adalah seimbang. Teori ini mengajarkan bahwa perbuatan yang harus

dianggap sebagai sebab daripada akibat yang timbul adalah perbuatan yang

seimbang dengan akibat.32 Von Kries mengutarakan dalam buku karangan Moegni

bahwa:

Yang dapat menimbulkan akibat adalah perbuatan yang seimbang dengan


akibat yakni perbuatan, yang menurut perhitungan layak dapat menimbulkan
akibat, sedang pembuatnya mengetahui atau setidak-tidaknya harus
mengetahui bahwa perbuatan itu akan menimbulkan suatu akibat yang
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.33

Moegni dalam bukunya juga telah mengambil kesimpulan sebagai berikut

yaitu:

a. Tiap-Tiap perbuatan atau masalah, yang merupakan syarat daripada


sesuatu akibat yang terjadi, harus dianggap sebagai sebab daripada akibat
itu;
b. Syarat daripada akibat adalah bilamana perbuatan atau masalah itu tidak
dapat ditiadakan, sehingga tidak akan timbul suatu akibat.34

Moegni dalam hal ini juga berpendapat;

30
Ibid. Hal. 83
31
Ibid. Hal.84
32
Ibid. Hal. 88
33
Ibid. Hal. 89
34
Ibid. Hal. 84
Menurut hemat saya kiranya lebih pada tempatnya untuk menganggap ajaran
adequate sebagai ajaran kausalitas, sebagai demikian makan sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata harus diteliti tentang ada atau tidak
adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukumnya dengan
kerugian yang ditimbulkan dan baru kemudian sampailah pada kesimpulan
bahwa pelaku dapat dipertanggungjawabkan. Yang dicari adalah kausalnya,
sedang pertanggungan-gugatnya adalah tergantung pada ada atau tidak
adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian dan ajaran adequate
merupakan cara penelitiannya.35

5. Metode Penelitian

a. Tipe Penelitian

Dalam penulisan ini digunakan tipe penelitian yuridis normatif yaitu

penelitian yang berdasarkan studi pustaka guna mendapatkan bahan hukum.

Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa

yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau

hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma.36

b. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ini adalah pendekatan dengan

mengguanakan peraturan perundang-undangan yang terkait dan pendekatan

unsur-unsur, norma-norma serta pendapat para ahli (Statute Approach dan

Conseptual Approach).

c. Bahan Hukum

Bahan hukum dalam penulisan ini adalah pertama, bahan hukum primer yang

berupa peraturan perundang-undangan. Kedua bahan hukum sekunder yaitu

35
Ibid. Hal 91-92
36
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2004, hlm. 118
berupa skripsi, literatur, koran, jurnal dan lain-lain. Ketiga adalah bahan

hukum tersier yaitu berupa kamus.37

d. Langkah Penelitian

Langkah pengumpulan bahan hukum dalam penulisan ini adalah melalui studi

kepustakaan yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang

terkait dengan pokok permasalahan kemudian dilakukan klasifikasi

(pengelompokan) bahan hukum yang terkait kemudian dilakukan sistemisasi

untuk lebih mudah membaca dan mempelajarinya. Langkah pembahasan

tersebut dilakukan dengan penalaran yang bersifat deduktif dalam arti berawal

dari pengetahuan hukum yang bersifat umum diperoleh dari peraturan

perundang-undangan, literatur, pendapat para ahli, yang kemudian

diimplementasikan dalam permasalahan, sehingga akan dapat diperoleh

jawaban yang bersifat khusus (induktif).

7. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan ini merupakan urutan isi dari penulisan

secara keseluruhan dari awal sampai akhir. Dengan alur yang sistematis maka

akan memudahkan pembaca dalam mengikuti alur pemikiran dari penulis.

Penulisan ini akan disusun dalam 4 (empat) Bab agar mudah ditelaah dan diuji

secara ilmiah. Adapun struktur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bab I, merupakan pendahuluan, menguraikan latar belakang, perumusan

masalah, tujuan penulisian, metode penulisan, kajian pustaka dan sistematika

37
Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, PT Rajagrafindo Persada, September
2003, hlm. 29.
penulisan yang didalamnya menguraikan tentang tipe penelitian, pendekatan

masalah, bahan hukum dan langkah penelitian yang nantinya akan digunakan

dalam penulisan tesis ini. Sedangkan pada akhir bab akan menjelaskan tentang

pertanggung jawaban sistematika.

Bab II, Dalam bab ini dibahas mengenai pertanggung jawaban

pengembang dalam hal ini P.T. Sipoa Group yang tidak melakukan kewajibannya

untuk melakukan pembangunan apartement berdasarkan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2011 Tentang Satuan Rumah Susun. Bab ini digunakan untuk menjawab

permasalahan pertama yaitu pertanggung jawaban pengembang dalam hal ini P.T.

Sipoa Group yang tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan pembangunan

apartement. Sub babnya terdiri dari jenis-jenis apartemen, persyaratan

pembangunan apartemen, akibat hukum dari pengembang yang wanprestasi.

Bab III, merupakan pembahasan dari permasalahan yang kedua yaitu

bentuk perlindungan hukum bagi konsumen dari P.T Sipoa Group yang telah

Wanprestasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen. Bab ini berisikan jawaban atas permasalahan yang

kedua. Sub bab pertama membahas tentang Perlindungan Konsumen

mendaftarkan Akta Wasiat ke Kementerian Hukum dan Ham RI. Kemudian sub

bab kedua upaya hukum bagi konsumen yang merasa dirugikan.

Bab IV, Penutup, bab ini terdiri dari simpulan yang merupakan jawaban

ringkas atas permasalahan yang dikemukakan dan saran yang merupakan

penunjang dari simpulan dan beserta literatur dalam pembahasan dalam kasus

tersebut.

Anda mungkin juga menyukai