PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
masyarakat, inilah hakekat makna pola zoon politicon, ternyata juga berjati diri
manusia sebagai anggota kelompok selalu berusaha keras untuk memenuhi segala
macam kebutuhan hayatinya yang sangat beraneka ragam. Baik kebutuhan hidup
dasar seperti pangan, sandang, papan, pasti juga diperjuangkan untuk semua itu
dengan mengerahkan segenap daya dan upaya. Tak ada mengenal istilah
menyerah dalam kamus hidupnya yang pasti mengalami pasang surut kehidupan.
eksistensinya supaya terus hidup berkelanjutan. Untuk itu segala jenis kebutuhan
hidupnya, bakal diusahakan untuk bisa tercukupi. Dala hal ini yang utama adalah
kebutuhan hidup berskala primer, pasti akan diutamakan untuk sesegera mungkin
terpenuhi.
Apalagi jika hal ini berkaitan dengan hunian sebagai salah satu jenis properti,
sungguh hal yang sangat problematik mengingat ketersediaan lahan yang kian
harus lengkap, sering kali juga harus memiliki nuansa kenyamanan yang prima.
Tidak jarang kita melihal lahan-lahan di pusat-pusat kota, apalagi yang menjadi
poros bisnis harga tanahnya sudah terlampau tinggi. Hal ini menyebabkan
vertikal pada masa kini menhadi pilhan model yang sangat digemari pada zaman
sekarang.
yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik, disebut
ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu”. Hal ini berarti bahwa wujud prestasi berupa memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu”. Apabila salah satu pihak tidak
berprestasi, maka sebagaimana pasal 1239 B.W. yang menentukan bahwa “tiap
perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib
wanprestasi apabila:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
telah memasarkannya yang dikenal dengan Pre Project Selling, yautu pemasaran
ini adalah untuk mengetahui respon dari pasar atas produk properti yang akan
dibangun.
pendapat dari Moch. Isnaeni Pre Project Selling secara garis besar diberi makna
sebagai suatu sistem pemasaran properti yang sedang dibangun oleh pengembang
dimana properti yang dijual tersebut baru berupa gambar ataupun konsep. Pasal 1
1
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, Hal. 45.
masyarakat yang dilaksanakan secara sistematis, terpadu, berkelanjutan dan
bertanggung jawab.
sejak pertama kali sepakat melakukan transaksi unit properti yang sedang dalam
yang dibuat dihadapan Notaris. Dalam hal ini pihak konsumen yang sudah
membeli dan menghuni salah satu unit dikawasan pemukiman yang dibangun
hukum dengan pihak pengembang lewat perjanjian yang dikemas sesuai koridor
hukum aturan hukum yang diterbitkan oleh pemerintah. Pola ini menunjukan
yang sedang giat membangun kawas perumahan, dan aturan hukum yang
seperti ini, untuk Negara Republik Indonesia belum dapat diwujudkan, justru yang
konsumen akan kebutuhan papan, disisi lain pengembang dengan giat berupaya
penunjangnya, sering tidak memberika informasi yang lengkap. Promosi dan iklan
perijinan, ataupun aspek yuridis lain, sering kali tidak diungkapkan dengan jujur
kepada konsumen yang sudah tergiur pada fasilitas-fasilitas unggul yang komom
Daya tarik konsep pemasaran pre project selling ini sangat besar jika
mengunjungi acara pre launching atau pro sale dan sejenis ini. Biasanya para
calon konsumen tergiur potongan harga sebesar 15% sampai dengan 20% yang
bonus alat-alat elektornik yang besarnya mencapai jutaan rupiah bahkan sampai
puluhan juta rupiah. Para calon pembeli haruslah teliti dulu sebelum membeli
sesuai dengan nasihat yang terkesan klise, terutama bagi calon pembeli rumah,
nasihat ini harus diperhatikan sehingga mereka harus mengetahui dengan benar
padahal jelas sekali produknya masih berupa konsep. Daya tarik yang diberikan
tersebut bukan hanya berkisar pada hadiah ataupun potongan harga yang
diberikan namun banyak digunakan para pengembang untuk menarik daya beli
dari konsumen.
Dalam hal terkait tulisan tersebut diatas pada realitanya terjadi pada
konsumen dari salah satu pengembang yaitu P.T Sipoa Group. Konsumen dari P.T
Sipoa Group telah melakukan transaksi Pre Project Selling yang dimana lahan
dirugikan karena sudah terjadi transaksi tetapi pembangunan rumah susun tidak
berjalan semestinya. Dalam hal ini konsumen juga mengutarakan bahwa dasar
keterangan yang diberikan oleh pengembang, tidak ada PPJB yang seharusnya
Tentang Rumah Susun menentukan bahwa Proses jual beli satuan rumah susun
mendapatkan hak nya untuk melakukan PPJB sehingga menjadi dasar yang sesuai
oleh pengembang. Oleh karena itu perlu dilakukannya penelitian hukum guna
ini. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan judul “Perlindungan
Hukum Konsumen dari P.T. Sipoa Group yang Wanprestasi berdasarkan Undang-
2. Rumusan Masalah
permasalahan yaitu:
a. Bagaimana pertanggung jawaban pengembang dalam hal ini P.T. Sipoa Group
apartement ?
b. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi konsumen dari P.T Sipoa Group
3. Tujuan Penilitian
Penulis mempunyai 2 tujuan dalam penulisan ini antara lain sebagai berikut:
2
Philipus M. Hadjon dan Titiek Sri Djamati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 31
3
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Kencana, Jakarta 2012,
hlm. 282.
1. Tujuan akademis
Tujuan akademis adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Surabaya.
2. Tujuan Praktis
Konsumen.
4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Konsumen.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dalam penulisan ini, yaitu: (a) Memberikan gambaran
Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti: tidak berat
sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-
adalah semua hal yang berkenan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antar
sesuai dengan hak dan kewajibannya, perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau
pilih kasih; melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan
kewajibannya. 5
Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara ke dua ujung ekstern yang
terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung eksterm itu menyangkut 2 orang
4
Liang Gie, The. Teori Keadilan: Sumbangan Bahan Untuk Pemahaman Pancasila.
Yogyakarta, Super, 1979. Hal 27
5
Ibid. Hal. 28
atau benda.6 Bila 2 orang tersebut punya kesamaan dalam ukuran yang telah
ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang
sama. Kalau tidak sama, maka akan terjadi pelanggaran terhadap proporsi tersebut
berarti ketidakadilan.
Istilah keadilan berasal dari kata adil yang berasal dari bahasa Arab. Kata adil
berarti tengah. Adil pada hakikatnya bahwa kita memberikan kepada siapa saja
apa yang menjadi haknya. Keadilan berarti tidak berat sebelah, menempatkan
keadaan dimana setiap orang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
kewajibannya.
6
Ibid. Hal. 36
7
Ibid. Hal. 47
Kepastian hukum merupakan salah satu elemen yang sangat dibutuhkan
dalam suatu negara hukum. Kepastian hukum tentu saja bertumpuh pada suatu
asas kepastian hukum itu sendiri. Asas kepastian hukum mengandung dua
pengertian, yaitu: (1) adanya aturan yang bersifat umum yang memberi suatu
penjelasan kepada setiap individu mengenai perbuatan yang boleh dilakukan dan
perbuatan yang dilarang untuk dilaksanakan; dan (2) adanya keamanan hukum
Asas kepastian hukum berindikasi pada adanya aturan hukum yang jelas dan
tegas. Secara normatif, kepastian hukum ada pada saat suatu peraturan yang
dibuat dan diundangkan untuk memberikan pengaturan yang jelas dan logis. Jelas
dalam arti aturan hukum itu tidak menimbulkan multi tafsir atau keragu-raguan.
Logis maksudnya hukum tersebut menjadi suatu sistem norma yang di dalamnya
tidak terjadi benturan, atau konflik norma atau pun adanya norma yang kabur.
8
Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta,
2008, hlm. 158.
a. Pengertian Rumah Susun
Rumah susun atau dalam istilah lain kondominium atau strata tittle juga bisa
perumahan dengan bangunan baik berupa hunian dan non hunian yang
Hak milik atas suatu ruamah susun tidak diatur didalam Undang-Undang
Susun.
dimiliki secara terpisah. Sebagai bangunan hunian yang dapat dimiliki secara
dan benda yang terdapat didalam rumah susun. Pengertian rumah susun menurut
“Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-
satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah
terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama dan
tanah bersama.”
9
Murhaini, Suriansyah. Hukum Rumah Susun. Laksbang Grafika, Surabaya. 2015. Hal. 35.
Dalam rumah susun dikenal adanya bagian bersama, benda bersama, dan
tanah bersama. Ketiga bagian tersebut merupakan hak bersama dari rumah susun
Adrian Sutedi memberikan uraian yang lebih rinci mengenai jenis rumah
10
Ibid. Hal. 36
11
c. Pembangunan Rumah Susun
Rumah susun umum, rumah susun khusus dan rumah susun negara
Sarusun pembangunan rumah susun dapat dilakukan diatas tanah : (1) Hak Milik,
(2) Hak Guna Bangunan atau Hak pakai atas Tanah Negara, dan (3) Hak Guna
Rumah susun umum dan rumah susun khusus juga dapat dibangun dengan
milik negara dapat dilakukan dengan cara sewa atau kerjasama pemanfaatan,
demikian halnya dengan tanah wakaf yang dapat didayagunakan melaluai sewa
atau kerjasama pemanfaatan sesuai dengan ikrar wakaf yang mana hal ini sesuai
rumah susun yang diatur didalam penjelasan dari ketentuan Pasal 24 UU Sarusun,
yaitu :
Sutedi, Adrian. Hukum Rumah Susun dan Apartemen Sinar Grafika, Jakarta Timur. 2010.
Hal. 10
12
Dalam hal pengembang dapat melakukan penjualan kepada konsumen ada
syarat lain yang harus dipenuhi diantaranya adalah yang diatur didalam ketentuan
Pasal 16 ayat (2) yang menentukan bahwa : “Pelaku pembangunan rumah susun
komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan rumah susun
umum sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah
bisa lagi hanya sekedar menjual rancangan, denah ataupun gambar semata, karena
ada kewajiban pembangunan minimal 20% (dua puluh persen) bagi pengembang
bahwa :
melakukan hal-hal seperti pembangunan yang kurang dari 20% (dua puluh persen)
Ibid. Hal. 36
13
Ibid. Hal.96
dan juga dilarang untuk melakukan PPJB jika syarat-syarat administatif tidak
dilengkapi.
Setiap ada larangan selalu diberikan sanksi untuk mendapat efek jera bagi
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha;
c. penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
d. penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan rumah
susun;
e. pengenaan denda administratif;
f. pencabutan IMB;
g. pencabutan sertifikat laik fungsi;
h. pencabutan SHM sarusun atau SKBG sarusun;
i. perintah pembongkaran bangunan rumah susun; atau
j. pencabutan izin usaha.
2011 Tentang Satuan Rumah Susun, akan tetapi diatur di dalam B.W. Bila
Pasal 1243 B.W. pengembang wajib mengganti kerugian tersebut. Sanksi perdata
tidak hanya berhenti disitu saja, pada ketentuan pasal 19 UUPK menentukan
bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian
terhadap konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
menentukan bahwa :
perjanjian kesepakatan para pihak mengenai rencana para pihak yang akan
memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak yang
membuatnya.14 Hal ini sesuai dengan asas hukum “Pacta Sun Servanda” artinya
membuatnya.
sejak pertama kali sepakat melakukan transaksi unit properti yang sedang dalam
tahap pembangunan dituang dalam wujud PPJB. Dalam hal keberadaa Pre Project
Selling sangat erat kaitannya dengan PPJB, karena PPJB adalah wadah bagi
14
Kallo, Erwin. Panduan Hukum Untuk Pemilik/Penghuni Rumah Susun. Minerva Athena
Pressindo. 2009. Hal. 42.
pengembang dan konsumen untuk dapat melakukan transaksi jual beli yang
Pada dasarnya PPJB merupakan perjanjian tak bernama yang didasari oleh
Bab V Buku III B.W. pada Pasal 1319, yang menentukan para pihak atas dasar
ketentuan ini muncullah yang namanya PPJB. Sesuai dengan Pasal 1233 B.W.
PPJB sebagai salah satu jenis perjanjian tak bernama, akan melahikan perikatan
yang dari rahimnya bukan sekedar melahirkan hak pribadi atau hak perorangan,
Jo. 1263 B.W. sebenarnya merupakan jalan terobosan untuk dapat beroperasinya
sistem Pre Project Selling. PPJB yang dirakit secara baku lewat andalan asas
15
Isnaeni, Moch. Urgensi Pengendalian Asas Kebebasan Berkontrak Sebagai Fasilitator
Sistem Pre Project Selling. 2017.
c. Denda keterlambatan bila pengembang terlambat melakukan serah
terima fisik kepada konsumen, demikian pula denda keterlambatan jika
konsumen terlambat melakukan pembayaran.
d. Spesifikasi bangunan dan lokasi
e. Hak pengembang untuk membatalkan PPJB bila konsumen lalai untuk
melakukan pembayaran.
f. Hak konsumen untuk membatalkan perjanjian bila pengembang lalai
akan kewajibanya dengan pembayaran kembali seluruh uang yang telah
disetor oleh konsumen berikut denda-dendanya.
g. Penandatanganan akta jual beli haruslah ada kepastian tanggalnya
h. Masa pemeliharaan 100 (seratus) hari sejak serah terima unit rumah
susun.
i. Force Majeure, dalam kondisi bagaimana dapat dikatakan terjadi
keadaan yang memaksa dan konsekuensinya.16
PPJB sebagai sebuah perjanjian tak bernama sedasar makna pasal 1319
B.W, baru akan direalisasikan menjadi Akta Jual Beli (selanjutnya disebut AJB)
jika sudah ada serah terima fisik dan syarat-syarat admintratif lainnya terpenuhi.
efektif berlaku pada 20 April 2000. Apabila dicermati muatan materi UUPK
cukup banyak mengatur perilaku pelaku usaha. Hal ini dapat dipahami mengingat
kerugian yang diderita konsumen barang atau jasa acapkali merupakan akibat
perilaku pelaku usaha, sehingga wajar apabila terdapat tuntutan agar perilaku
16
Op. Cit. Kallo, Erwin. Hal. 46
mengembangkan bisnisnya inilah yang seringkali menimbulkan kerugian bagi
konsumen.
Berkaitan dengan strategi bisnis yang digunakan oleh pelaku usaha, pada
maka di sini konsumen harus waspada dalam menkonsumsi barang dan jasa yang
ditawarkan pelaku usaha. Pada masa ini konsumen tidak memiliki banyak peluang
untuk memilih barang atau jasa yang akan dikonsumsinya sesuai dengan selera,
daya beli dan kebutuhan. Konsumen lebih banyak dalam posisi didikte oleh
produsen.
Pola konsumsi masyarakat justru banyak ditentukan oleh pelaku usaha dan
daya kritis masyarakat. Dalam masa yang demikian, pelaku usaha tidak mungkin
lagi mempertahankan strategi bisnisnya yang lama, dengan risiko barang atau jasa
barang yang kompetitif terutama dari segi mutu, jumlah dan keamanan. Di dalam
UUPK antara lain ditegaskan, pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin mutu
barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku. Pelaku usaha dilarang
17
Ibid. Hal. 43
memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak
Dalam kenyataannya banyak pelaku usaha yang kurang atau bahkan tidak
disiapkan oleh pelaku usaha, akibatnya berbagai kasus seperti pembelian mobil,
Hak-hak dari konsumen juga tertuang pada ketentuan Pasal 89 ayat 2 huruf
penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai
akibat penyelenggaraan rumah susun”. Kemudian pada ketentuan pasal yang sama
oleh kurang adanya tanggung jawab pengusaha dan juga lemahnya pengawasan
mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti
rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau
jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau
berlaku yaitu berdasarkan ketentuan Pasal l9 ayat (l) UUPK yang menentukan :
jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Kemudian pada ayat (2) UUPK juga
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara
menderita kerugian sebagai akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang
dihasilkan oleh pelaku usaha, berhak untuk menuntut tanggung jawab secara
perdata kepada pelaku usaha atas kerugian yang timbul tersebut. Demikian halnya
bersangkutan.
usaha (barang atau jasa) dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha
tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/ kontrak dari pelaku usaha, atas
dalam Pasal 18 UUPK, maka tanggung jawab atas dasar perjanjian dari pelaku
antara pelaku usaha dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha
18
Ibid. Hal.39
jawab perdata secara langsung (Strict Liability) dari pelaku usaha atas kerugian
manapun mereka berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya.
Yang dimaksud hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi
yang.jelas, benar, dan jujur; Hak untuk mendapatkan ganti rugi; hak untuk
mendapatkan kebutuhan dasar manusia (cukup pangan dan papan); Hak untuk
mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga
negaranya masing-masing.19
hak-hak konsumen itu adalah upaya untuk menumbuhkan sikap dan perilaku
konsumen itu sendiri, sehingga menjadi konsumen yang bertanggung jawab, yaitu
pada umumnya dikuasai oleh hukum perdata. Oleh karena itu, peranan hukum
perdata sangat besar artinya dalam menegakkan hak-hak konsumen dalam hukum
19
Ibid. Hal 43
ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen sebagai akibat dari pemakaian
barang-barang konsumsi.
Ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen sebagai akibat dari
dalam hukum perlindungan konsumen. Hak atas ganti rugi ini bersifat universal di
samping hak-hak pokok lainnya. Ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen
dan;
dibeli;
kerugian, yaitu:20
2. Kesalahan (schuld);
3. Kerugian (schade);
Hukum Perdata menurut Moegni ada dua pengertian: “Yakni sebagai perbuatan
dengan segi positifnya yakni dengan lain perkataan perbuatan yang merupakan
Pasal 1366. Soetojo dalam bukunya mengatakan “didasarkan pada Pasal 1366
berikut:
20
M.A Moegni Djojodirodjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradya Paramita, Jakarta,
1979. Hal. 56-82.
21
Ibid. Hal 57.
22
Soetojo Prawiroharmidjojo dan Marthalena Pohan, Onrechtmatige Daad, Djumali,
Surbaya, 1979, Hal.2
Perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan atau kealpaan yang
bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku sendiri atau bertentangan baik dengan kesusilaan, maupun dengan sikap
hati-hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau
benda.23
Moegni mengatakan:
mengurangi atau melanggar hak orang lain dan bahwa perbuatan itu bertentangan
dengan kewajiban hukum pelaksanannya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan
kewajiban hukum tersebut adalah suatu kewajiban yang telah ditentukan Undang-
melakukan suatu perbuatan pidana ia wajib memberikan ganti rugi terhadap pihak
hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian
materiil atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan
hidup”.28
Dan dalam hal mengenai jumlah ganti kerugian yang harus diberikan,
harus diganti dengan kerugian yang diderita oleh penderita dan juga dengan
Hubungan Kausal. Syarat dari hubungan kausal yang diutarakan Von Buri seperti
26
M.A Moegni Djojodirdjo, Op.cit. Hal 65
27
Ibid. Hal 66
28
Ibid.Hal. 76
29
Ibid. Hal. 77
yang dikemukakan Moegni dalam bukunya adalah: “Sesuatu perbuatan atau
masalah adalah syarat daripada suatu akibat, apabila perbuatan masalah itu tidak
dapat ditiadakan, hingga akibatnya akan timbul.30 Ajaran ini dinamakan teori
conditio sine qua non. Ajaran conditio sine qua non mengajarkan bahwa baik
demikian sama nilainya.31 Kemudian ada ajaran teori adequate dari Von Kries.
Aduquate adalah seimbang. Teori ini mengajarkan bahwa perbuatan yang harus
dianggap sebagai sebab daripada akibat yang timbul adalah perbuatan yang
seimbang dengan akibat.32 Von Kries mengutarakan dalam buku karangan Moegni
bahwa:
yaitu:
30
Ibid. Hal. 83
31
Ibid. Hal.84
32
Ibid. Hal. 88
33
Ibid. Hal. 89
34
Ibid. Hal. 84
Menurut hemat saya kiranya lebih pada tempatnya untuk menganggap ajaran
adequate sebagai ajaran kausalitas, sebagai demikian makan sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata harus diteliti tentang ada atau tidak
adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukumnya dengan
kerugian yang ditimbulkan dan baru kemudian sampailah pada kesimpulan
bahwa pelaku dapat dipertanggungjawabkan. Yang dicari adalah kausalnya,
sedang pertanggungan-gugatnya adalah tergantung pada ada atau tidak
adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian dan ajaran adequate
merupakan cara penelitiannya.35
5. Metode Penelitian
a. Tipe Penelitian
Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa
b. Pendekatan Masalah
Conseptual Approach).
c. Bahan Hukum
Bahan hukum dalam penulisan ini adalah pertama, bahan hukum primer yang
35
Ibid. Hal 91-92
36
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2004, hlm. 118
berupa skripsi, literatur, koran, jurnal dan lain-lain. Ketiga adalah bahan
d. Langkah Penelitian
Langkah pengumpulan bahan hukum dalam penulisan ini adalah melalui studi
tersebut dilakukan dengan penalaran yang bersifat deduktif dalam arti berawal
7. Sistematika Penulisan
secara keseluruhan dari awal sampai akhir. Dengan alur yang sistematis maka
Penulisan ini akan disusun dalam 4 (empat) Bab agar mudah ditelaah dan diuji
secara ilmiah. Adapun struktur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
37
Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, PT Rajagrafindo Persada, September
2003, hlm. 29.
penulisan yang didalamnya menguraikan tentang tipe penelitian, pendekatan
masalah, bahan hukum dan langkah penelitian yang nantinya akan digunakan
dalam penulisan tesis ini. Sedangkan pada akhir bab akan menjelaskan tentang
pengembang dalam hal ini P.T. Sipoa Group yang tidak melakukan kewajibannya
20 Tahun 2011 Tentang Satuan Rumah Susun. Bab ini digunakan untuk menjawab
permasalahan pertama yaitu pertanggung jawaban pengembang dalam hal ini P.T.
bentuk perlindungan hukum bagi konsumen dari P.T Sipoa Group yang telah
mendaftarkan Akta Wasiat ke Kementerian Hukum dan Ham RI. Kemudian sub
Bab IV, Penutup, bab ini terdiri dari simpulan yang merupakan jawaban
penunjang dari simpulan dan beserta literatur dalam pembahasan dalam kasus
tersebut.