PENATALAKSANAAN
KARSINOMA SEL HATI
PERHIMPUNAN PENELITI HATI INDONESIA
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS PATOLOGI INDONESIA
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS ONKOLOGI RADIASI INDONESIA
PERKUMPULAN SUBSPESIALIS RADIOLOGI ABDOMEN INDONESIA
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH DIGESTIF INDONESIA
2017
KONSENSUS NASIONAL
PENATALAKSANAAN
KARSINOMA SEL HATI
PERHIMPUNAN PENELITI HATI INDONESIA
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS PATOLOGI INDONESIA
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS ONKOLOGI RADIASI INDONESIA
PERKUMPULAN SUBSPESIALIS RADIOLOGI ABDOMEN INDONESIA
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH DIGESTIF INDONESIA
2017
Tim Penyusun
Indonesian Liver Cancer Study Group
Prof. dr. Laurentius A. Lesmana, Ph.D, Sp.PD, K-GEH, FAASLD, FACP, FACG, FINASIM
dr. Agus Sudiro Waspodo, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. dr. Rino Alvani Gani, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
dr. Irsan Hasan, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
dr. Lianda Siregar, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. dr. Andri Sanityoso Sulaiman, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Dr. dr. Cosmas Rinaldi Adithya Lesmana, Sp.PD, K-GEH, FACP, FACG, FINASIM
dr. Juferdy Kurniawan, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
dr. Kemal Fariz Kalista, Sp.PD
dr. Imelda Maria Loho, Sp.PD
dr. Sri Inggriani, Sp.Rad
Dr. dr. Jacub Pandelaki, Sp.Rad(K)
dr. Romamtiezer Sahat B. Matondang, Sp.Rad(K)
dr. Ening Krisnuhoni, Sp.PA(K)
dr. Marini Stephanie, Sp.PA
dr. Fielda Djuita, Sp.Rad (K) OnkRad
Dr. dr. Toar J. M. Lalisang, Sp.B(K)BD
dr. Maria Mayasari, Sp.B(K)BD
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati
SAMBUTAN KETUA
PERHIMPUNAN PENELITI HATI INDONESIA
Karsinoma sel hati (KSH) merupakan kanker dengan prognosis yang
sangat buruk dengan rasio mortalitas dibandingkan insidensi secara
keseluruhan mencapai 0,95 dan KSH menjadi penyebab kedua tertinggi
kematian akibat kanker di seluruh dunia. Di Indonesia, KSH menempati
urutan keempat sebagai kanker tersering pada laki-laki, setelah kanker
paru, kolorektal, dan prostat. Hal ini tidak mengherankan karena
prevalensi hepatitis B kronik, yang merupakan etiologi terbanyak KSH,
masih cukup tinggi di Indonesia. Sayangnya, perhatian yang diberikan
terhadap masalah KSH masih rendah. Program surveilans untuk deteksi
dini KSH belum dilakukan secara seragam dan belum menjadi bagian dari
program kesehatan pemerintah. Akibatnya sebagian besar pasien KSH
datang berobat dalam kondisi stadium lanjut yang tidak memungkinkan
untuk dilakukan terapi kuratif. Di samping itu, tatalaksana KSH di
berbagai pusat kesehatan di Indonesia juga belum seragam.
Dengan mempertimbangkan besarnya masalah di atas, kami,
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI), berinisiatif menyusun
konsensus penatalaksanaan KSH dengan mengajak perwakilan bidang
lain yang turut terlibat dalam penatalaksanaan KSH. Kami berharap agar
konsensus ini dapat digunakan tidak hanya oleh dokter spesialis penyakit
dalam, namun oleh dokter bedah, radiologi, onkologi radiasi, patologi
anatomi, dan lain-lain dalam menatalaksana KSH secara holistik dan
komprehensif. Tujuan penyusunan konsensus ini adalah meningkatkan
pelayanan kesehatan bagi penderita KSH dan meningkatkan kesintasan
penderita KSH di masa mendatang.
Pada kesempatan ini, saya, atas nama Pengurus Besar PPHI,
mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota Indonesian Liver
Cancer Study Group, yang menjadi wadah penyusunan konsensus ini
pertama kali. Saya juga mengucapkan terima kasih dan selamat kepada
semua pihak yang terlibat dalam proses penyusunan konsensus ini
hingga selesai. Kami mohon maaf apabila masih ada kekurangan dalam
penyusunan konsensus ini. Kami percaya bahwa konsensus ini masih
akan terus mengalami perbaikan di kemudian hari sesuai dengan
kemajuan penelitian di bidang KSH.
dr. Irsan Hasan, Sp.PD, K-GEH
Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati
DAFTAR ISTILAH
3D-CRT 3D-conformal radiotherapy
AASLD American Association for the Study of Liver Diseases
AFP alfa feto-protein
APASL Asia Pacific Association for the Study of the Liver
BCLC Barcelona Clinic Liver Cancer
CEUS contrast-enhanced ultrasonography
CR complete response
CT computed tomography
CTLA-4 cytotoxic T lymphocyte antigen-4
DCP des-y-carboxy-prothrombin
DEB-TACE drug-eluting beads transarterial chemo-embolization
EASL European Association for the Study of the Liver
ECOG the Eastern Cooperative Oncology Group
EORTC European Organisation for Research and Treatment of
Cancer
FDG 2-deoxy-2-[fluorine-18]fluoro-D-glucose
FGFR fibroblast growth factor receptor 1
FNA fine needle aspiration
Gd-EOB-DTPA gadolinium ethoxybenzyl diethylenetriamine
pentaacetic acid
GPC glypican
GRADE Grading of Recommendations Assessment,
Development, and Evaluation
GS glutamin sintetase
HBIg Hepatitis B Immunoglobulin
HGDN high-grade dysplastic nodules
HIV human immunodeficiency virus
HSP heat-shock protein
HVPG hepatic venous pressure gradient
ICG indo-cyanine green
IK interval kepercayaan
IL interleukin
IMT indeks massa tubuh
= 11 Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Had
SAMBUTAN KETUA
PERHIMPUNAN PENELITI HATI INDONESIA
Karsinoma sel hati (KSH) merupakan kanker dengan prognosis yang
sangat buruk dengan rasio mortalitas dibandingkan insidensi secara
keseluruhan mencapai 0,95 dan KSH menjadi penyebab kedua tertinggi
kematian akibat kanker di seluruh dunia. Di Indonesia, KSH menempati
urutan keempat sebagai kanker tersering pada laki-laki, setelah kanker
paru, kolorektal, dan prostat. Hal ini tidak mengherankan karena
prevalensi hepatitis B kronik, yang merupakan etiologi terbanyak KSH,
masih cukup tinggi di Indonesia. Sayangnya, perhatian yang diberikan
terhadap masalah KSH masih rendah. Program surveilans untuk deteksi
dini KSH belum dilakukan secara seragam dan belum menjadi bagian dari
program kesehatan pemerintah. Akibatnya sebagian besar pasien KSH
datang berobat dalam kondisi stadium lanjut yang tidak memungkinkan
untuk dilakukan terapi kuratif. Di samping itu, tatalaksana KSH di
berbagai pusat kesehatan di Indonesia juga belum seragam.
Dengan mempertimbangkan besarnya masalah di atas, kami,
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI), berinisiatif menyusun
konsensus penatalaksanaan KSH dengan mengajak perwakilan bidang
lain yang turut terlibat dalam penatalaksanaan KSH. Kami berharap agar
konsensus ini dapat digunakan tidak hanya oleh dokter spesialis penyakit
dalam, namun oleh dokter bedah, radiologi, onkologi radiasi, patologi
anatomi, dan lain-lain dalam menatalaksana KSH secara holistik dan
komprehensif. Tujuan penyusunan konsensus ini adalah meningkatkan
pelayanan kesehatan bagi penderita KSH dan meningkatkan kesintasan
penderita KSH di masa mendatang.
Pada kesempatan ini, saya, atas nama Pengurus Besar PPHI,
mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota Indonesian Liver
Cancer Study Group, yang menjadi wadah penyusunan konsensus ini
pertama kali. Saya juga mengucapkan terima kasih dan selamat kepada
semua pihak yang terlibat dalam proses penyusunan konsensus ini
hingga selesai. Kami mohon maaf apabila masih ada kekurangan dalam
penyusunan konsensus ini. Kami percaya bahwa konsensus ini masih
akan terus mengalami perbaikan di kemudian hari sesuai dengan
kemajuan penelitian di bidang KSH.
dr. Irsan Hasan, Sp.PD. K-GEH
Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Had
DAFTAR ISTILAH
3D-CRT 3D-conformal radiotherapy
AASLD American Association for the Study of Liver Diseases
AFP alfa feto-protein
APASL Asia Pacific Association for the Study of the Liver
BCLC Barcelona Clinic Liver Cancer
CEUS contrast-enhanced ultrasonography
CR complete response
CT computed tomography
CTLA-4 cytotoxic T lymphocyte antigen-4
DCP des-y-carboxy-prothrombin
DEB-TACE drug-eluting beads transarterial chemo-embolization
EASL European Association for the Study of the Liver
ECOG the Eastern Cooperative Oncology Group
EORTC European Organisation for Research and Treatment of
Cancer
FDG 2-deoxy-2-[fluorine-18]fluoro-D-glucose
FGFR fibroblast growth factor receptor 1
FNA ifne needle aspiration
Gd-EOB-DTPA gadolinium ethoxybenzyl diethylenetriamine
pentaacetic acid
GPC glypican
GRADE Grading of Recommendations Assessment,
Development, and Evaluation
GS glutamin sintetase
HBIg Hepatitis B Immunoglobulin
HGDN high-grade dysplastic nodules
HIV human immunodeficiency virus
HSP heat-shock protein
HVPG hepatic venous pressure gradient
ICG indo-cyanine green
IK interval kepercayaan
IL interleukin
IMT indeks massa tubuh
VIII Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman Pengesahan ii
TIM PENYUSUN iii
SAMBUTAN KETUA
PERHIMPUNAN PENELITI HATI INDONESIA vii
DAFTAR ISTILAH ix
DAFTAR ISI xiii
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xiv
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.2.1 Tujuan Umum 2
1.2.2 Tujuan Khusus 2
1.3 Sasaran 3
BAB 2. METODOLOGI 4
2.1 Penelusuran dan telaah kritis kepustakaan 4
2.2 Derajat Rekomendasi 5
BAB 3. EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
KARSINOMA SEL HATI 7
3.1 Epidemiologi 7
3.2 Etiologi dan Faktor Risiko 8
3.2.1 Sirosis Hati 8
3.2.2 Hepatitis B 8
3.2.3 Hepatitis C 9
3.2.4 Alkohol 9
3.2.5 Obesitas dan Perlemakan Hati 10
3.2.6 Aflatoksin 10
3.2.7 Diabetes Melitus 11
BAB 4. PENCEGAHAN KARSINOMA SEL HATI 12
4.1 Pencegahan Karsinoma Sel Hati 12
4.2 Terapi Antiviral
sebagai Pencegahan Karsinoma Sel Hati 13
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Nati XI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Algoritma Diagnosis Karsinoma Sel Hati 21
Gambar 2. Pembagian Stadium
Karsinoma Sel Hati Berdasarkan
Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) 31
Gambar 3. Algoritma Tatalaksana Karsinoma Sel Hati 33
Gambar 4. Algoritma Pemberian TACE Ulang
pada Pasien Karsinoma Sel Hati 48
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hatt
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karsinoma sel hati (KSH) saat ini menempati urutan kedua
sebagai penyebab kematian tersering akibat kanker di seluruh
dunia dan merupakan kanker kelima tersering di dunia pada laki-
laki.m Insidensi KSH pada laki-laki di Asia Tenggara menempati
urutan kedua tertinggi di dunia setelah Asia Timur dengan angka
age-standardised rate sebesar 22,2 per 100.000
penduduk.(1)
Di Indonesia, KSH menempati urutan keempat sebagai kanker
tersering pada laki-laki setelah kanker paru, kolorektal, dan prostat,
dengan angka insidensi age-standardised rate sebesar 13.4 per
100.000 penduduk.(2) Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) menunjukkan bahwa sebanyak 67% kasus KSH yang
berobat di RSCM pada tahun 2013-2014, disebabkan oleh hepatitis
B kronik.P) Data terakhir yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi
hepatitis B di Indonesia sebesar 7,5% sehingga diperkirakan 17,5
juta jiwa penduduk Indonesia menderita hepatitis B. Dari jumlah
tersebut, diperkirakan 20-30% (3,5 - 5,2 juta jiwa) akan mengalami
perkembangan penyakit menjadi sirosis dan atau kanker hati.
Selain jumlah kasus yang tinggi, kesintasan pasien KSH di Asia
Tenggara masih sangat rendah karena pasien baru datang berobat
ketika kanker mencapai stadium lanjut.(4-6) Data mengenai kesintasan
pasien KSH di Indonesia saat ini masih terbatas. Data terbaru dari
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebagai rumah sakit
rujukan nasional, menunjukkan bahwa kesintasan satu tahun pasien
KSH yang berobat di RSCM pada periode 2013-2014 masih sangat
rendah, yaitu 29,4% dengan median kesintasan sebesar 138 hari.(3)
Yang lebih memprihatinkan adalah angka ini tidak berbeda signifikan
dengan dengan data tahun 1998-1999.m Hal ini disebabkan karena
meskipun RSCM telah dilengkapi dengan berbagai modalitas terapi
yang canggih untuk KSH, pasien yang datang berobat sebagian besar
adalah stadium lanjut.(3) Pada stadium lanjut, kesintasan pasien KSH
amat rendah(8) dan pemberian terapi tidak lagi memberikan manfaat
berupa perbaikan kesintasan.(9,1°)
Manajemen KSH idealnya membutuhkan keterlibatan berbagai
disiplin ilmu, seperti hepatologi, bedah digestif, radiologi intervensi,
radiologi diagnostik, onkologi radiasi, dan patologi anatomi, yang
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Nati
BAB 2
METODOLOGI
2.1 Penelusuran dan telaah kritis kepustakaan
Naskah awal konsensus disusun oleh anggota Kelompok Studi
Kanker Hati Indonesia (Indonesia Liver Cancer Study Group), yang
terdiri dari ahli dalam bidang hepatologi, bedah digestif, radiologi
intervensi, radioterapi, dan patologi anatomi. Naskah awal disusun
berdasarkan literatur terbaru dan dengan memegang prinsip
kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine). Pertemuan
Indonesia Liver Cancer Study Group dilakukan pada 14 Mei 2016 dan
6 Agustus 2016. Setiap bagian melakukan revisi (via surat elektronik)
terhadap naskah awal yang sudah disusun. Pada saat pertemuan,
dilakukan pembahasan bersama terhadap poin-poin penting dalam
naskah. Hasil kedua pertemuan tersebut dipresentasikan dalam
Kongres Nasional PPHI - PGI - PEGI di Semarang pada tanggal 24
September 2016.
Naskah awal ini selanjutnya dibahas dalam rapat berikut ini:
1. Rapat 3 Maret 2017 di Divisi Hepatobilier,
Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(FKUI), RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), dengan mengundang
perwakilan dari patologi anatomi, radiologi, onkologi radiasi,
dan bedah digestif.
2. Jajak pendapat di antara anggota Perhimpunan
Peneliti Hati
Indonesia yang diselenggarakan di Bogor pada tanggal 2 April
2017
3. Rapat 19 Mei 2017 di Divisi Hepatobilier,
Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, FKUI, RSCM, dengan mengundang perwakilan
dari patologi anatomi, radiologi, onkologi radiasi, dan bedah
digestif.
4. Rapat 26 Juli 2017
di Divisi Hepatobilier, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, FKUI, RSCM, dengan mengundang perwakilan
dari onkologi radiasi.
Hasil akhir seluruh pertemuan tersebut disepakati menjadi
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati di
Indonesia tahun 2017. Perlu diingat bahwa konsensus ini
merupakan hasil telaah independen berbagai literatur terbaru yang
dilakukan oleh tim penyusun dan bukan merupakan pernyataan
kebijakan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Seiring
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati
dengan perkembangan waktu, akan terdapat berbagai bukti baru
yang hasilnya dapat berbeda dari rekomendasi yang diberikan
dalam konsensus ini.
2.2 Derajat Rekomendasi
Derajat rekomendasi yang digunakan dalam konsensus ini
menggunakan sistem Grading of Recommendations Assessment,
Development, and Evaluation (GRADE). Derajat rekomendasi dibagi
menjadi lemah atau kuat berdasarkan kualitas bukti-bukti yang
mendukung dan keseimbangan antara akibat yang diinginkan
maupun tidak dinginkan dari suatu langkah manajemen KSH.
Derajat rekomendasi berdasarkan sistem GRADE dapat dilihat pada
Tabel 1.111)
Terdapat empat determinan untuk rekomendasi kuat, yaitu
keseimbangan antara efek yang diinginkan dan tidak diinginkan,
kualitas bukti, nilai dan preferensi, dan biaya (alokasi sumber
dana). Semakin besar perbedaan antara efek yang diinginkan
dan tidak diinginkan, semakin besar kemungkinan rekomendasi
kuat diberikan. Semakin tinggi kualitas bukti, semakin mungkin
rekomendasi kuat diberikan. Semakin bervariasi nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat, semakin lemah rekomendasi yang diberikan.
Semakin tinggi biaya intervensi, semakin lemah rekomendasi yang
diberikan.011)
Tabel 1. Derajat kualitas bukti dan rekomendasi yang diadapatasi dari
sistem GRADE
Derajat kualitas
Keterangan Simbol
bukti
Baik Penelitian lebih lanjut hampir A
tidak mungkin mengubah
keyakinan terhadap perkiraan
efek yang diberikan
Menengah Penelitian lebih lanjut masih
mungkin memberikan perubahan
penting pada keyakinan terhadap
perkiraan efek dan dapat
mengubah perkiraan tersebut.
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hatt
Derajat kualitas
Keterangan Simbol
bukti
Rendah Penelitian lebih lanjut sangat C
mungkin memberikan perubahan
penting pada keyakinan terhadap
perkiraan efek dan dapat
m engubah perkiraan tersebut.
Sangat rendah Perkiraan terhadap efek tidak D
dapat ditentukan.
Derajat Keterangan Simbol
rekomendasi
Rekomendasi Efek yang diinginkan dari suatu 1
kuat intervensi jelas melebihi efek
yang tidak diinginkan
Rekomendasi Ketika efek yang diinginkan tidak 2
Iemah meyakinkan karena kualitas
bukti yang rendah atau efek yang
diinginkan dan tidak diinginkan
seimbang
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati
BIB 3
EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
KARSINOMA SEL HATI
3.1 Epidemiologi
Karsinoma sel hati (KSH) merupakan penyebab kedua tersering
kematian akibat kanker di seluruh dunia dan merupakan kanker
kelima tersering pada laki-laki dan kesembilan tersering pada wanita.
(1' 2) Karsinoma sel hati lebih banyak menyerang
pria dibandingkan
wanita dengan rasio bervariasi antara 2:1 sampai 4:1, dengan rasio
yang lebih besar terdapat pada daerah dengan prevalensi faktor
risiko KSH yang tinggi.(12, 13) Setiap tahun diperkirakan terdapat
782.000 kasus baru KHS terjadi di dunia dan sebanyak 83% terjadi
di negara berkembang.(1) Angka yang sebenarnya diperkirakan jauh
lebih besar karena banyak penderita KSH yang tidak terdiagnosis
atau tidak dilaporkan dengan baik di negara berkembang. Pada
tahun 2008, diperkirakan terdapat 50.900 kasus KSH baru pada pria
di Asia Tenggara dengan insidensi sebesar 21,4 kasus per 100.000
penduduk.(12) Angka ini meningkat menjadi 22,2 kasus per 100.000
penduduk dan merupakan yang kedua tertinggi di dunia setelah
Asia Timur.(1)
Belum ada data pasti mengenai insidensi KSH di Indonesia,
namun diperkirakan insidensi KSH di Indonesia tinggi karena
Indonesia merupakan negara dengan prevalensi hepatitis B kronik
yang tinggi. Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
menunjukkan bahwa sebanyak 67% kasus KSH yang berobat di RSCM
pada tahun 2013-2014, disebabkan oleh hepatitis B kronik.P) Data
terakhir yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi hepatitis B di Indonesia
sebesar 7,5% sehingga diperkirakan
17,5 juta jiwa penduduk
Indonesia menderita hepatitis B. Dari jumlah tersebut, diperkirakan
20-30% (3,5-5,2 juta jiwa) akan mengalami perkembangan penyakit
menjadi sirosis dan atau kanker hati.
Karsinoma sel hati menyebabkan hampir 746.000 kematian
pada tahun 2012.11) Prognosis KSH juga sangat buruk dan terlihat
dari tingginya rasio mortalitas dibandingkan dengan insidensi,
yaitu sebesar 0.95.11) Median kesintasan penderita KSH di Indonesia
secara keseluruhan pada tahun 1998-1999 sebesar 138 hari dan
pada tahun 2013-2014 sebesar 146 hari.m Dengan kata lain, harapan
hidup keseluruhan penderita KSH di Indonesia hanya mencapai lebih
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hatt
F
alkohol dapat menyebabkan eksaserbasi kerusakan hati
dan menyebabkan pembentukan tumor.(") Konsumsi etanol
kronik dan berlebihan berhubungan dengan peningkatan
risiko KSH sebanyak dua kali lipat. Risiko ini meningkat
sesuai dengan jumlah etanol yang dikonsumsi dan risiko ini
dikatakan tetap bertahan sampai beberapa tahun setelah
menghentikan konsumsi alkohol.(")
3.2.5 Obesitas dan Perlemakan Hati
Berbagai literatur menunjukkan bahwa obesitas
berhubungan dengan insidens KSH dan mortalitas. Penelitian
dari Calle, dkk pada 900.000 orang dewasa di Amerika
mendapatkan bahwa orang dewasa dengan IMT minimal
35 memiliki risiko relatif yang lebih tinggi untuk mengalami
kanker hati, dengan RR sebesar 4,52
(95% IK: 2,94-6,94)
untuk pria dan 1,68 (95% IK:
0,93-3,05) untuk wanita.(32)
Meta-analisis dari sepuluh studi kohort juga menunjukkan
bahwa dibandingkan dengan berat badan normal, orang
dengan berat badan lebih memiliki risiko relatif sebesar 1,17
(95% IK: 1,02-1,34) untuk menderita KSH. Adapun orang
dengan obesitas memilikir risiko relatif sebesar 1,89 (95%
KI: 1,51-2,36) untuk menderita KSH dibandingkan dengan
berat badan normal.(33)
Obesitas dapat menyebabkan KSH melalui perlemakan
hati non-alkoholik, non-alcoholic steatohepatitis (NASH),
sirosis, lalu kanker hati. Obesitas juga dapat menyebabkan
KSH pada tikus melalui produksi sitokin IL-6 dan TNF yang
meningkat, yang menyebabbkan inflamasi hati dan aktivasi
faktor transkripsi onkogenik STAT3.(34)
3.2.6 Aflatoksin
Aflatoksin, suatu mikotoksin yang diproduksi oleh
Aspergillus parasiticus dan Aspergillus flavus, merupakan
kontaminan yang sering ditemukan pada makanan yang
dikonsumsi sehari-hari, seperti beras, jagung, tepung,
berbagai jenis kacang, dan lada hitam. Aflatoksin dapat
mengkontaminasi makanan pada saat proses pembuatan,
penyimpanan, maupun distribusi, ketika kondisi lingkungan
memungkinkan untuk pertumbuhan jamur. Kontaminasi
toksin ini umumnya terjadi di daerah tropis dan sub-tropis
yang memiliki suhu dan kelembapan yang tinggi, seperti
10 Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel
Hati
BAB 4
PENCEGAHAN KARSINOMA SEL HATI
4.1 Pencegahan Karsinoma Sel Hati
Pencegahan primer adalah mencegah suatu agen untuk memulai
suatu proses karsinogenik. Pencegahan primer KSH terbaik yang saat
ini dapat dilakukan adalah dengan melakukan vaksinasi hepatitis
B secara universal.(42) Prevalensi HBsAg positif di Indonesia pada
tahun 2007 mencapai 9,4%03) sehingga Indonesia termasuk dalam
negara dengan endemisitas hepatitis B yang tinggi. Pada daerah
dengan endemisitas tinggi, penularan virus hepatitis B (VHB) paling
sering terjadi secara vertikal dari ibu ke anak pada saat lahir atau
secara horizontal pada masa kanak-kanak awal.(44, 45) Oleh karena
itu, vaksinasi hepatitis B direkomendasikan untuk semua bayi yang
baru dilahirkan dan kelompok risiko tinggi menurut World Health
Organization (WHO).(46)
Pada bayi yang baru dilahirkan, dosis pertama vaksin hepatitis
B harus diberikan sesegera mungkin (<24 jam) setelah lahir. Dosis
ini diikuti dengan dua atau tiga dosis selanjutnya dengan interval
paling sedikit empat minggu.(46) Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) pada tahun 2014 merekomendasikan agar vaksin hepatitis B
diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir lalu dilanjutkan pada
bulan ke-1 dan bulan ke-6.07) Apabila bayi lahir dari ibu dengan
HBsAg positif, bayi diberikan vaksin hepatitis B dan imunoglobulin
hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda.(47)
Vaksinasi
juga direkomendasikan untuk remaja dan dewasa yang memiliki
faktor risiko untuk terkena infeksi hepatitis B, yaitu pekerja di
bidang kesehatan, individu yang sering mendapatkan produk darah,
pasien dialisis, penerima organ transplant, penghuni lembaga
pemasyarakatan, orang yang tinggal serumah atau pasangan seksual
penderita hepatitis B, pengguna narkoba suntik, men who have sex
with men, dan orang-orang dengan pasangan seksual multipel.C46)
Vaksinasi untuk hepatitis C hingga saat ini belum tersedia.
Akan tetapi, terdapat pencegahan primer lain yang dapat dilakukan
terhadap virus hepatitis B (VHB) maupun virus hepatitis C (VHC).
Pencegahan primer tersebut adalah melakukan metode penyuntikan
secara aman dengan menggunakan jarum dan spuit untuk satu kali
pakai, melakukan skrining VHC dan VHB pada darah yang berasal
dari donor, serta mencegah paparan aflatoksin B1 dengan melakukan
penyimpanan dan pengolahan bahan makanan dengan baik.(48)
MIR Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Karsinoma Sel Hati
BAB 5
SURVEILANS KARSINOMA SEL HAITI
Surveilans adalah melakukan suatu uji diagnostik secara periodik
pada individu yang memiliki risiko untuk menderita suatu penyakit.
(59) Dengan kata lain, surveilans adalah skrining yang dilakukan secara
berulang-ulang pada individu berisiko.(") Dengan melakukan surveilans,
diharapkan suatu penyakit dapat terdeteksi pada stadium awal sehingga
masih ada kemungkinan bagi individu tersebut untuk mendapat terapi
kuratif yang dapat memperpanjang harapan hidup.(61)
Agar manfaat surveilans dapat terwujud, surveilans harus dilakukan
dalam suatu program yang di dalamnya terdapat uji diagnostik dan
prosedur recall yang sudah terstandarisasi.(60) Uji diagnostik yang
digunakan haruslah suatu uji diagnostik yang harganya terjangkau, dapat
diterima oleh masyarakat luas, dan memiliki efikasi yang cukup baik.
(59) Sedangkan yang dimaksud dengan prosedur recall adalah algoritma
langkah-langkah lanjutan yang harus dilakukan berdasarkan hasil yang
ditemukan pada pemeriksaan uji diagnostik.(62) Di samping itu, sebelum
menentukan seorang individu masuk ke dalam program surveilans,
diperlukan penilaian mengenai stratifikasi risiko individu tersebut untuk
menderita penyakit dan seberapa sering uji diagnostik harus dilakukan.
(60)
Surveilans yang efektif untuk mendeteksi KSH stadium dini pada
setiap populasi berisiko sangat penting untuk dilakukan. Sampai saat
ini, perkembangan terapi KSH untuk pasien-pasien stadium lanjut masih
sangat sedikit. Pasien-pasien dengan KSH yang baru terdeteksi pada
stadium lanjut memiliki prognosis yang buruk dengan median kesintasan
0,7 bulan sampai 2 bulan.(63) Kesintasan satu tahun pasien KSH yang
berobat di RSCM pada tahun 1998-1999 dan
2013-2014 juga masih
sangat rendah, yaitu 24-29%. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
pasien KSH datang dalam stadium lanjut sehingga hanya sebagian kecil
yang dapat memperoleh terapi kuratif.(64) Sebaliknya, KSH berukuran
kecil yang dapat dideteksi pada saat surveilans memiliki kemungkinan
yang lebih besar untuk disembuhkan dan angka kesintasan lima tahun
sebesar lebih dari 50% dapat dicapai pada KSH stadium
awal yang
mendapat terapi reseksi atau transplantasi hati.(65)
5.1 Surveilans Karsinoma Sel Hati pada Populasi Sirosis Hati
Populasi yang memiliki risiko paling tinggi untuk menderita
KSH adalah penderita sirosis hat. Sebanyak 59-94% kasus KSH
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati
BAB 6
DIAGNOSIS KARSINOMA SEL HATI
6.1 Diagnosis Karsinoma Sel Hati
Kriteria diagnosis KSH ditentukan berdasarkan tiga faktor,
yaitu latar belakang penyakit hati kronik, penanda tumor, dan
pemeriksaan radiologi. Apabila terdapat sirosis hati, atau hepatitis B
kronik, atau hepatitis C kronik, peningkatan kadar penanda tumor,
dan gambaran khas pada imaging, maka diagnosis pasti KSH dapat
ditegakkan.(") Yang dimaksud dengan gambaran khas pada radiologi
adalah gambaran hipervaskular pada fase arterial dan washout pada
fase vena porta atau fase delayed pada pemeriksaan CT scan atau
MRI tiga fase.199) Apabila didapatkan gambaran hipervaskular pada
fase arteri tanpa disertai dengan washout pada fase vena atau fase
delayed, atau gambaran hipovaskular pada fase arteri, dibutuhkan
pemeriksaan lanjutan. Adapun sensitifitas CT scan tiga fase dalam
mendiagnosis KSH berukuran > 2 cm adalah 89 - 100%, sedangkan
untuk lesi berukuran 1 - 2 cm sebesar 44 - 67%.(99) Sensitifitas MRI
tiga fase untuk lesi berkuran > 2 cm adalah 100% dan untuk lesi
berukuran 1 - 2 cm sebesar 52 - 89%.(99) Kriteria diagnosis KSH
dapat dilihat pada Tabel 2 (dimodifikasi dari konsensus KSH yang
dikembangkan oleh Japan Society of Hepatology).
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Karsinoma Sel Hati
A. Penyakit hati yang mendasari (satu faktor positif)
Penyakit hati terkait hepatitis B
Penyakit hati terkait hepatitis C
Sirosis hati
B. Penanda tumor (salah satu pemeriksaan positif)
AFP 200 ng/mL dan cenderung meningkat
PIVKA-II (?.. 40 mAU/mL) dan cenderung
C. Gambaran radiologi khas
Hipervaskular pada fase arterial dan washout pada fase vena porta
atau fase delayed pada pemeriksaan CT scan atau MRI tiga fase
A+B+C atau A+C atau B+C: Diagnosis KSH dapat ditegakkan.
A+B atau B saja: sangat mencurigakan suatu KSH sehingga dibutuhkan
pemeriksaan CT scan atau MRI tiga fase.
C saja: lanjutkan dengan biopsi hati
Apabila didapatkan nodul dengan gambaran atipikal, khususnya nodul
hipervaskular tanpa washout pada fase vena porta atau nodul hipovaskular
pada fase arterial, pasien harus menjalani pemeriksaan lanjutan.
Keterangan: AFP: alfa-fetoprotein, PIVKA-II: proteins induced by vitamin K absence-
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati
jumlah besar dan infiltrasi pada daerah portal, sedangkan pada nodul
displastik derajat tinggi, terdapat variasi dalam peningkatan jumlah
arteriol dan infiltrasi daerah portal yang dapat overlap dengan KSH.
(104) Oleh karena itu, dibutuhkan pemeriksaan lanjutan berupa biopsi
nodul atau MRI dengan kontras yang spesifik untuk hepatobilier.
Kontras Gd-EOB-DTPA merupakan kontras yang spesifik untuk
hati dan sebanyak 50% diekskresikan di hati dan saluran bilier
pada kondisi hati normal. Setelah injeksi intravena, Gd-EOB-DTPA
terdistribusi ke dalam ruang vaskular dan ekstravaskular selama
fase arterial, vena, dan delayed, selanjutnya Gd-EOB-DTPA secara
progresif masuk ke dalam hepatosit dan duktus bilier selama fase
hepatobilier. Uptake Gd-EOB-DTPA oleh hepatosit terjadi terutama
melalui transporter molekular OATP1 (organic anion-transporting
polypeptide-1) -B1 dan B3 yang terletak pada membran
sinusoid,
sedangkan ekskresi bilier terjadi melalui multidrug-resistance-
associated proteins-2 (MRP2) yang terletak pada membran kanalikuli.
Karena karakteristik ini, Gd-EOB-DTPA memiliki perilaku serupa
dengan kontras gadolinium non-spesifik lain selama fase dinamik,
dan menambah informasi substansial selama fase hepatobilier. Fase
hepatobilier dapat meningkatkan deteksi dan karakterisasi lesi
fokal hati dan penyakit hati difus. Hal ini sangat bermanfaat untuk
mendeteksi nodul pada sirosis hati dan membedakan karakter
antara nodul displastik dengan KSH stadium awal.(105)
Terdapat tiga pola penyangatan KSH menggunakan kontras
Gd-EOB-DTPA, yang sangat tergantung pada ekspresi transporter
molekular OATP1 pada membran sel. Pertama, secara tipikal, >80%
KSH dapat menunjukan lesi hipervaskular pada fase arteri dan
washout pada fase 3 menit, serta menjadi hipointens (tidak uptake)
pada fase 10-20 menit. Hal ini disebabkan karena pada KSH tidak
ditemukan hepatosit yang fungsiona1.(106,107) Kedua, secara atipikal,
pada lebih kurang 10-20% KSH, ditemukan gambaran lesi isointens
atau hiperintens pada fase 10-20 menit. Hal ini disebabkan karena
KSH moderate atau well-differentiated masih memperlihatkan
ekspresi transporter anion OATP1. Pada keadaan ini sulit untuk
membedakan KSH dengan nodul jinak.1106, 107) Ketiga, pada sekitar
10% KSH, khususnya pada lesi kecil, dapat ditemukan lesi hipointens
pada fase hepatosit tanpa diikuti dengan hipervaskular pada fase
arteri atau hiperintens pada T2 dan DWI.
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati 25
V
Terdapat perbedaaan jenis spesimen yang didapatkan pada kedua
metode diatas. Pada metode biopsi core, spesimen yang didapatkan
merupakan jaringan (histopatologi), sedangkan pada metode
FNA merupakan sel-sel yang terlepas (sitologi). Oleh karena itu
FNA memiliki keterbatasan dalam menilai arsitektur jaringan dan
gambaran transformasi antara jaringan non tumor dan tumor serta
keterbatasan material untuk pemeriksaan lanjutan. Kombinasi
pemeriksaan sitologi (FNA) dan biopsi core sangat dianjurkan dalam
menegakkan diagnosis patologi. (117)
Kesulitan untuk menegakkan diagnosis KSH berdasarkan
pemeriksaan patologi anatomi umumnya terjadi pada nodul
berukuran <2 cm. Karsinoma sel hati awal (early
HCC) secara
makroskopik tampak semi nodular (vaguely nodular) dan ditandai
dengan kombinasi beberapa ciri-ciri berikut ini:(1 18)
(1) Peningkatan densitas sel lebih dari dua kali dibandingkan
jaringan sekitarnya, disertai peningkatan rasio nukleus/
sitoplasma, dan pola trabekular tipis yang ireguler;
(2) Masih ditemukan area portal dengan jumlah yang bervariasi di
dalam nodul;
(3) Pola psudoglandular;
(4) Diffuse fatty change;
(5) Unpaired or nontriadal arteries (pembentukan pembuluh
darah baru, yang bukan bagian dari portal) dalam jumlah yang
bervariasi.
Dari seluruh gambaran diatas, diffuse fatty change ditemukan
pada 40% kasus dan semakin berkurang seiring dengan peningkatan
ukuran tumor.('") Di samping itu, semua gambaran di atas juga dapat
ditemukan pada high-grade dysplastic nodules (HGDN). Satu-satunya
ciri yang membedakan HGDN dengan early HCC adalah invasi stromal.
Akan tetapi, sulit untuk mendapatkan gambaran invasi stromal ini
pada spesimen biopsi. Pemeriksaan panel imunohistokimia dapat
dilakukan untuk membedakan early HCC dengan nodul regenerasi
dan nodul displastik. Panel imunohistokimia yang dianjurkan adalah
glypican-3 (GPC-3), heat shock protein 70
(HSP70), dan glutamin
sintetase (GS).(120)
Glypican-3 adalah suatu proteoglikan heparan sulfat yang
menempel di permukaan sel melalui suatu molekul glikosilfosfatidil-
inositol. Glypican-3 (GPC-3)
berperan dalam pertumbuhan,
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Had
BAB 7
STADIUM KARSINOMA SEL HATI
7.1 Penilaian Stadium Karsinoma Sel Hati
Perbedaan stadium KSH tidak sama seperti penilaian kanker lain
yang umumnya menggunakan sistem TNM (tumor, node, metastasis).
Hal ini disebabkan karena selain ekstensi tumor, penyakit hati
yang mendasari juga turut berperan dalam menentukan prognosis
pasien. Sebagai contoh, KSH berukuran 5 cm yang ditemukan pada
pasien sirosis hati dekompensata akan memiliki prognosis yang
berbeda dibandingkan dengan KSH berukuran 5 cm yang ditemukan
pada pasien non-sirotik atau pasien sirosis kompensata. Dengan
demikian, sistem pembagian stadium KSH yang ideal adalah sistem
yang mengikutsertakan penilaian ekstensi tumor sekaligus derajat
fungsi hati. Saat ini sistem yang mengakomodasi ekstensi tumor
dan derajat fungsi hati adalah sistem Barcelona Clinic Liver Cancer
(BCLC) (Gambar 2). Komponen yang dinilai dalam sistem ini adalah
ektensi tumor, gejala konstitusional atau performance status (Tabel
3), dan derajat fungsi hati (Tabel 4).(127)
Sistem ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1999(127) lalu
mengalami evolusi berupa penambahan stadium dan penambahan
strategi terapi untuk setiap stadium. Pada tahun 2003, dilakukan
penambahan stadium 0 (stadium sangat awal) dan
penambahan
kemoembolisasi untuk stadium BCLC B (stadium menengah).(128)
Lalu pada tahun 2008, sorafenib ditambahkan sebagai terapi lini
pertama pada stadium BCLC C (stadium lanjut).(129)
Adapun, konsensus ini mengadopsi sistem BCLC dalam hal
pembagian stadium, namun tidak mengadopsi sistem ini dalam
hal strategi terapi karena KSH bersifat heterogen (Gambar 2).
Pasien pada stadium yang sama, khususnya stadium BCLC B, dapat
memiliki prognosis dan respons terapi yang berbeda, tergantung
pada jumlah nodul, ukuran nodul, serta derajat fungsi hati.(130) Oleh
karena itu, konsensus ini mengadopsi algoritma tatalaksana yang
dianut oleh Japan Society of Hepatology (JSH)(131) dengan sedikit
modifikasi. Algoritma terapi ini diharapkan mempermudah dokter
untuk menentukan kapan harus merujuk pasien KSH ke pusat
kesehatan yang lebih tinggi untuk mendapatkan terapi lebih lanjut.
Adapun pembagian stadium tetap dilakukan berdasarkan sistem
BCLC dengan tujuan untuk menyeragamkan sistem stadium yang
digunakan untuk penelitian di bidang KSH.
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati
Rekomendasi
8. Sistem stadium KSH yang digunakan
untuk memprediksi
prognosis adalah sistem stadium
BCLC (rekomendasi 1B).
Sistem stadium ini dapat diaplikasikan pada sebagian besar
pasien KHS dan dianjurkan untuk digunakan dalam praktik
klinis sehari-hari.
Karsinoma Sel Hati
\l/
\l/
Stadium 0 Stadium A-C
Stadium D
PS 0, Child-Pugh A
PS 0-2, Child-Pugh A B PS 3-4, Child-
Pugh C
\l/ ‘1/
Stadium Sangat
Stadium Stadium Stadium Stadium
Awal (0)
Awal (A) Intermediet (B) Lanjut (C) Terminal
(D)
tunggul 5 2 cm,
tunggal atau MuItinodulur, PS 0 lnvasi Portal,
carcinoma in situ
3 nodul < 3 cm, NI, Ml, PS 1-2
PS 0
Gambar 2. Pembagian Stadium Karsinoma Sel Hati Berdasarkan
Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC)
Keterangan: PS: performance status yang ditentukan berdasarkan klasifikasi The
Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG)
(lihat tabel 3), Child-Pugh: klasifikasi
derajat gangguan fungsi hati berdasarkan skor Child-Pugh (lihat tabel 4). Keterangan:
N: kelenjar getah bening (KGB), M: metastasis, PS: performance status
Tabel 3. Skala Performance Status Berdasarkan Klasifikasi The Eastern
Cooperative Oncology Group (ECOG)(132)
Nilai Deskripsi
0 Aktivitas normal
1 Terdapat gejala, namun hampir
sepenuhnya mandiri dalam melakukan
aktivitas sehari-hari
2 <50% waktu dalam satu hari dihabiskan
di tempat tidur
3 Perlu berada di tempat tidur selama
>50% waktu dalam satu hari
4 Tidak dapat beranjak dari tempat tidur
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati
BAB 8
TATALAKSANA KARSINOMA SEL HATI
8.1 Algoritma Tatalaksana Karsinoma Sel
Hati
Dalam menentukan terapi yang akan diberikan untuk penderita
KSH, terdapat beberapa tahap yang dapat dilihat pada Gambar 3.
Algoritma ini mengadaptasi algoritma tatalaksana yang dikeluarkan
oleh Asia Pacific Association for the Study of the Liver (APASL) pada
tahun 2017.(134l Pertimbangan penyusun
memilih menggunakan
algoritma ini adalah kondisi penderita KSH di Indonesia yang
tidak sama dengan negara lain. Keterbatasan dalam fasilitas dan
sumber daya merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari,
namun konsensus ini tetap berusaha mencatumkan algoritma yang
berdasarkan pada bukti-bukti terbaru.
Karsinoma Sel Hat)
Derajat lungs) hat) >
Child-Pugh NB Child-Pugh C
Inns) Vaskular >
Tidak Ya
Penyebaran
Ekstrahepatik Tidak
Child. Child-
Pugh
A, Pugh BI
Jumlah Nodal C
(1) (a' 8)
Ukuran < 3 cm
1. Reseksi
2. TACE 1. Reseksi 1. Best Supportive
Terapi Ulama 2. Ablasl lokal
3. TACE + Masi lake) Sorafenib Care
3. Transplanlasi heti
4. Transplantasi heti 2. Transplantasi had
Terapi Sorafenib Mau TAREISIRT
TAREISIRT
SBRT Radiolerapi: diulamakan HIRT,
minimal 30.CRTe Regorafenth
Mullah( (pada TACE realer, ChIld•Pugh A,
LW) SNP
SBRT: sterotactic body radiation therapy, SIRT: selective internal radiation therapy,
TACE: transarterial chemoembolization, TARE: transarterial radioembolization, *SBRT:
pada KSH dengan trombus vena porta yang tidak dapat dilakukan terapi lain, ukuran
<8 cm, Child-Pugh A. #: radioterapi diberikan dalam bentuk kombinasi dengan TACE
atau bila gagal dengan TACE.
Gambar 3. Algoritma Tatalaksana Karsinoma Sel Hati
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati
Keterangan gambar:
Tahap pertama adalah menentukan derajat fungsi hati yang dinilai
dengan sistem klasifikasi Child-Pugh (Tabel
3). Pasien dengan
gangguan fungsi hati yang berat (Child-Pugh C) dan memiliki tumor
dengan karakteristik melampaui kriteria Milan (tumor tunggal <5
cm atau nodul dengan ukuran masing-masing
cm), dianjurkan
untuk diberikan terapi suportif. Apabila pasien dengan klasifikasi
Child-Pugh C memiliki tumor yang masih berada dalam kriteria
KSH serta tidak terdapat penyebaran ekstrahepatik, maka pasien
dapat disarankan untuk menjalani transplantasi hati. Perlu diingat
bahwa program transplantasi hati berbiaya amat besar dan hanya
dapat dilakukan pada beberapa rumah sakit yang memiliki tim
multidisiplin dan terlatih. Oleh karena itu, pasien yang memenuhi
kriteria transplantasi hati harus dibicarakan terlebih dahulu dalam
tim multidisiplin.
Apabila pasien memiliki fungsi hati yang cukup baik (klasifikasi
Child-Pugh A atau B), maka langkah selanjutnya adalah menentukan
adanya invasi vaskular. Yang dimaksud dengan invasi vaskular
adalah ditemukannya trombus pada vena porta atau vena cava
inferior pada pencitraan. Invasi vaskular merupakan prediktor
yang kuat untuk prognosis yang buruk. Apabila didapatkan invasi
vaskular, maka perlu dilihat bagaimana skor Child-Pughnya. Pasien
dengan Child-Pugh A atau B dengan skor maksimal 7 disertai invasi
vascular, dapat diberikan terapi target, yaitu sorafenib. Apabila
pasien tidak dapat diberikan sorafenib, maka terapi lini kedua adalah
transarterial radioembolization (TARE) atau disebut juga selective
intra-arterial radiation therapy (SIRT). Apabila pasien mengalami
progresifitas setelah mendapat terapi sorafenib, maka dapat
diberikan regorafenib. Untuk pasien dengan invasi vaskular yang
tidak dapat diberikan sorafenib atau SIRT, maka dapat dilakukan
selective body radiation therapy (SBRT), dengan syarat yaitu tumor
berukuran <8 cm dan Child-Pugh A. Sebaliknya, pasien dengan skor
Child-Pugh 8 dianjurkan untuk terapi suportif.
Langkah ketiga setelah menilai invasi vaskular adalah
menentukan adanya penyebaran
ekstrahepatik. Mayoritas
metastasis ekstrahepatik ditemukan pada KSH multipel yang
terdapat pada lebih dari satu lobus hati atau KSH yang sudah
menginvasi cabang utama vena porta atau vena hepatika.(135) Tiga
lokasi metastasis yang paling sering ditemukan adalah paru, kelenjar
getah bening (KGB) intra-abdominal, dan tulang.[135)
Metastasis
34 Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Karsinoma Sel Nati
Rekomendasi
9. Reseksi adalah terapi lini pertama pada pasien
dengan tumor
soliter dan fungsi hati yang masih baik, yang didefinisikan
sebagai bilirubin normal dan gradien tekanan vena hepatik
510 mmHg atau trombosit 2100.000. (rekomendasi 1B)
a. Prinsip reseksi anatomis direkomendasikan
untuk
diaplikasikan. (rekomendasi 2C)
10. Pada tumor berukuran besar
(>5 cm), reseksi dapat
dipertimbangkan sebagai terapi pilihan pada (1) pasien dengan
KSH soliter yang terletak pada bagian perifer, < 30% jaringan
rusak yang dinilai melalui MRI atau CT scan, atau >
50%
hipertrofi hati kompensatorik; (2) tidak ditemukan hipertensi
portal atau hipertensi portal ringan; dan (3) tidak ada riwayat
dekompensasi hati. (rekomendasi 2C)
11. Pada tumor multifokal, reseksi masih dapat
dipertimbangkan
pada pasien dengan maksimal tiga nodul dan hanya melibatkan
2 - 3
segmen hati yang berdekatan, atau pada pasien
dengan hipertensi portal ringan yang tidak dapat dilakukan
transplantasi hati. (rekomendasi 2C)
12. Terapi neo-ajuvan atau terapi ajuvan belum
terbukti
memperbaiki luaran pasien yang dilakukan reseksi (atau ablasi
lokal). (rekomendasi 2C)
8.3 Transplantasi Hati
Transplantasi hati ortotopik secara teori merupakan terapi
kuratif terbaik untuk pasien KSH karena dapat mencapai batas
reseksi terluas untuk kanker hati, mengganti hati yang tersisa
yang masih memiliki risiko untuk mengalami keganasan, dan
mengembalikan fungsi hati. Pada KSH stadium lanjut, transplantasi
hati memberikan hasil yang kurang baik dengan angka kesintasan
lima tahun hanya sebesar 20% karena insidensi rekurensi tumor
tumor yang tinggi. Hal ini diperkirakan terjadi akibat sel-sel tumor
masuk ke sirkulasi karena ukuran KSH yang besar.(157) Sebaliknya,
transplantasi hati merupakan terapi yang efektif untuk pasien KSH
stadium awal yang menderita sirosis hati lanjut (Child-Pugh B atau
C).
Kriteria yang sering digunakan untuk menentukan kandidat
transplantasi hati adalah pasien sirosis hati Child-Pugh C dengan
nodul KSH soliter berukuran kurang dari 5 cm atau nodul KSH
berjumlah 3 nodul dengan ukuran masing-masing
3 cm,
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati
Rekomendasi
13. Transplantasi hati dipertimbangkan sebagai
pilihan terapi
pada pasien dengan tumor soliter berukuran < 5 cm atau 5 3
nodul dengan ukuran masing-masing 5 3 cm (kriteria Milan),
yang tidak dapat dilakukan reseksi. (rekomendasi 1A)
14. Ekstensi kriteria transplantasi di luar
kriteria Milan
memerlukan validasi lebih lanjut meskipun beberapa
penelitian telah menunjukkan basil yang menjanjikan. Oleh
karena itu, penerapan ekstensi kriteria Milan membutuhkan
diskusi multidisiplin yang melibatkan tim transplantasi hall,
(rekomendasi 2C)
8.4 Ablasi Lokal
Ablasi lokal merupakan terapi lini pertama untuk pasien
stadium awal yang tidak dapat dilakukan reseksi. Hambatan untuk
melakukan reseksi dapat berhubungan dengan ukuran, lokasi, dan
jumlah tumor, keterlibatan vaskular dan ekstrahepatik, serta fungsi
hati. Terdapat dua teknik ablasi lokal yang direkomendasikan, yaitu
radiofrequency ablation (RFA) dan percutaneous ethanol
injection
(PEIT).
Teknik ablasi yang pertama kali digunakan adalah injeksi etanol
perkutan (PEI). Pada teknik ini, etanol diinjeksikan ke dalam nodul
untuk menginduksi nekrosis koagulasi pada lesi akibat dehidrasi
sel, denaturasi protein, dan oklusi kimiawi pembuluh darah tumor
berukuran kecil yang disebabkan oleh etano1.(59) Melalui teknik
PEI, nekrosis tumor yang komplit dapat dicapai pada 90% nodul
berukuran <2 cm, 70% nodul berukuran 2-3 cm, dan 50% nodul
berukuran 3-5 cm.(162, 163)
Teknik yang saat ini lebih sering digunakan dan banyak diteliti
adalah radiofrequency ablation (RFA). Teknik ini menggunakan
energi elektromagnetik untuk memanaskan jaringan tumor.
(163) Keberhasilan teknik ini tergantung pada
kemampuan
untuk mengablasi seluruh jaringan tumor yang hidup dan bila
memungkinkan membuat batas bebas tumor yang mencukupi. Yang
ideal adalah membuat batas ablasi sebesar 360° dan setebal 0,5-1
cm di sekeliling tumor.(164) Efikasi RFA maupun PEI dinilai satu bulan
setelah terapi dengan menggunakan CT-scan abdomen tiga fase.
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Nati
menjadi alternatif reseksi pada tumor berukuran <2 cm, saat ini
belum dapat ditentukan dan masih membutuhkan penelitian
lebih lanjut.
8.5 Transarterial Chemoembolization (TACE)
Transarterial chemoembolization (TACE) adalah suatu teknik
perkutaneus yang menggunakan fluoroskopi dan pendekatan
melalui arteri femoralis untuk memberikan obat kemoterapi ke
dalam pembuluh darah arteri hepatika yang memperdarahi tumor
dan dilanjutkan dengan embolisasi menggunakan materi permanen
atau temporer.(173) Tujuan TACE adalah memberikan efek sitotoksik
yang kuat dan iskemia pada jaringan tumor. Tindakan ini harus
dibedakan dengan transarterial chemoinfusion (TACI) atau chemo-
lipiodolization yang hanya memberikan zat kemoterapi yang
dicampur dengan lipiodol secara intra-arterial tanpa dilanjutkan
dengan embolisasi.
Obat kemoterapi yang digunakan antara lain adalah
doksorubisin, mitomisin, epirubicin, 5-fluorouracil, dan cisplatin.
Obat-obat ini diemulsikan dengan lipiodol yang berfungsi sebagai
zat pembawa kemoterapi ke dalam tumor. Lipiodol secara selektif
dapat bertahan di dalam nodul tumor selama beberapa minggu
hinggu lebih dari satu tahun karena tumor memiliki vaskularisasi
yang lebih banyak dibandingkan dengan jaringan hati yang sehat
dan tidak memiliki sel Kupffer.(174) Terdapat dua macam prosedur
TACE, yaitu TACE konvensional dan drug eluting bead TACE (deb-
TACE).
8.5.1 Transarterial Chemoembolization Konvensional
Pada TACE konvensional, dilakukan pemberian
kemoterapi yang diemulsikan dengan lipiodol dan
dilanjutkan dengan embolisasi pembuluh darah. Dalam tiga
puluh tahun terakhir, berbagai studi mengenai TACE telah
dipublikasi. Pada tahun 2002, dua buah studi acak terkontrol
menunjukkan bahwa TACE dapat memperbaiki kesintasan
penderita KSHP',170 Selanjutnya, dua buah meta-analisis juga
menunjukkan bahwa TACE dapat memperbaiki kesintasan
penderita KSH dibandingkan dengan terapi konservatif.(1°,177)
Sejak itu, TACE ditetapkan sebagai terapi standar untuk KSH
stadium intermediet.(59, 60) Meskipun meta-analisis terbaru
dari Cochrane(178) menyebutkan bahwa tidak ada bukti yang
kuat untuk mendukung atau menolak TACE, meta-analisis ini
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Had
(p=0,9). Akan tetapi, jumlah sampel dalam studi ini sedikit sehingga
dibutuhkan penelitian lanjutan.
Meskipun radioembolisasi umumnya dapat ditoleransi, dapat
terjadi efek samping yang berat akibat efek radiasi pada organ
lain. Radioembolisasi juga berhubungan dengan sindrom obstruksi
sinusoidal, yang disebut dengan radioembolization-induced liver
disease, yang dapat terjadi 4 - 8 minggu pasta terapi, dalam bentuk
ikterus, asites ringan, dan kolestasis sedang.(225)
Studi fase tiga yang membandingkan SIRT dan sorafenib pada
KSH stadium lokal lanjut mendapatkan time-to-tumor progression
(TTP) yang lebih bails dan efek samping yang lebih ringan pada
kelompok SIRT dibandingkan sorafenib. Akan tetapi, tidak
didapatkan perbedaan kesintasan yang signifikan (8,54 bulan
pada kelompok SIRT dan 10,58 bulan pada kelompok sorafenib,
dengan hazard ratio 1,17 dan p=0,203). (226)
Studi retrospektif di
Eropa mendapatkan angka kesintasan yang lebih balk, yaitu 12,8
bulan karena pada studi ini, pasien dengan BCLC A dan BCLC B juga
dilibatkan. Adapun pada BCLC C, kesintasan mencapai 10 bulan.
(227) Pada studi ini juga didapatkan bahwa faktor prognostic yang
berperan terhadap kesintasan adalah performance status (ECOG),
besar tumor, INR > 1,2, dan penyakit ekstrahepatik.
Rekomendasi:
30. Transarterial radioembolization (TARE) dengan yttrium-90-
loaded resin/glass beads dapat digunakan sebagai alternatif
terapi lokoregional untuk pasien KSH yang tidak dapat
direseksi (rekomendasi 2B)
8.9 Regorafenib
Regorafenib adalah inhibitor multikinase baru, yang memiliki
aktivitas penghambatan yang lebih poten terhadap berbagai jalur
angiogenik (vascular endothelial growth factor receptor
(VEGFR)
1-3, platelet-derived growth factor receptor (PDGFR) 8, TIE2, dan
fibroblast growth factor receptor (FGFR) 1), serta jalur onkogenik
(RET, KIT, c-RAF/RAF-1, dan BRAF) dibandingkan sorafenib.(228)
Efikasi dan keamanan regorafenib dengan dosis 1 x 160 mg per hari
selama tiga minggu dengan siklus setiap empat minggu, telah diteliti
dalam studi acak tersamar ganda fase 3
(RESORCE trial).(229)
Dibandingkan dengan plasebo, regorafenib dapat menurunkan
risiko kematian secara signifikan (HR 0,62;
95% IK 0,50-0,78;
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati
Rekomendasi mRECIST
Efusi pleura dan asites Konfirmasi sitopatologik diperlukan untuk menetapkan
apakah efusi dan asites yang memburuk pada saat terapi
merupakan suatu PD
KGB porta hepatis KGB yang terdeteksi pada
daerah porta hepatis dapat
dianggap maligna apabila aksis pendek KGB minimal 2 cm
Trombosis vena porta Trombosis vena porta maligna harus dianggap sebagai lesi
yang tidal dapat diukur sehingga dimasukkan ke dalam
lesi non-target
Lesi barn Suatu lesi baru dapat dianggap
sebagai KSH apabila
diameter terpanjang minimal 1 cm dan memiliki
gambaran penyangatan yang khas untuk KSH. Sebuah lesi
dengan pola radiologis atipikal dapat didiagnosis sebagai
KSH apabila didapatkan pertambahan diameter sebanyak
1 cm dibandingkan dengan hasil pencitraan sebelumnya.
Keterangan: mRECIST: modified Response Evaluation Criteria in Solid Tumors; CR: complete
respons; IR: incomplete response; PR: partial response; SD: stable disease, PD: progressive
disease, KGB: kelenjar getah bening
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hatt
DAFTAR PUSTAKA
1. Ferlay J, Soerjomataram I, Ervik M,
Dikshit R, Eser S, Mathers C. GLOBOCAN
2012 v1.0, Cancer incidence and mortality worldwide: IARC Cancer Base no.
112012 6 September 2015. Available from:
http://globocan.iarfc.fr/Default.
aspx.
2. Ferlay J, Soerjomataram I, Dikshit R,
Eser S, Mathers C, Rebelo M, et al. Cancer
incidence and mortality worldwide: sources, methods and major patterns in
GLOBOCAN 2012. Int J Cancer. 2015;136(5):E359-86.
3. Loho IM, Hasan I, Lesmana CR,
Dewiasty E, Gani RA. Hepatocellular Carcinoma
in a Tertiary Referral Hospital in Indonesia: Lack of Improvement of One-Year
Survival Rates between 1998-1999 and 2013-2014. Asian Pac J Cancer Prey.
2016;17(4):2165-70.
4." Norsa'adah B, Nurhazalini-Zayani
CG. Epidemiology and survival of
hepatocellular carcinoma in north-east Peninsular Malaysia. Asian Pac J Cancer
Prey. 2013;14(11):6955-9.
5. Somboon K, Siramolpiwat S, Vilaichone
RK. Epidemiology and survival of
hepatocellular carcinoma in the central region of Thailand. Asian Pac J Cancer
Prey. 2014;15(8):3567-70.
6. Sithinamsuwan P, Piratvisuth T,
Tanomkiat W, Apakupakul N, Tongyoo S.
Review of 336 patients with hepatocellular carcinoma at Songklanagarind
Hospital. World J Gastroenterol. 2000;6(3):339-43.
7. Mulyana E. Analisis kesintasan pasien
hepatoma di RSUPN-CM Jakarta. [Tesis].
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2001.
8. Cabibbo G, Enea M, Attanasio M, Bruix
J, Craxi A, Camma C. A meta-analysis of
survival rates of untreated patients in randomized clinical trials of hepatocellular
carcinoma. Hepatology. 2010;51(4):1274-83.
9. Bruix J, Llovet JM, Castells A, Montalia
X, Brd C, Ayuso MDC, et al. Transarterial
embolization versus symptomatic treatment in patients with advanced
hepatocellular carcinoma: Results of a randomized, controlled trial in a single
institution. Hepatology. 1998;27(6):1578-83.
10. Llovet JM, Bruix J. Systematic review of
randomized trials for unresectable
hepatocellular carcinoma: Chemoembolization improves survival. Hepatology.
2003;37(2):429-42.
11. Guyatt GH, Oxman AD, Kunz R,
Falck-Ytter Y, Vist GE, Liberati A, et al. Going from
evidence to recommendations. Bmj. 2008;336(7652):1049-51.
12. Ferlay J, Shin H-R, Bray F, Forman D,
Mathers C, Parkin DM. Estimates of
worldwide burden of cancer in 2008: GLOBOCAN 2008. International Journal of
Cancer. 2010;127(12):2893-917.
13. Zhu RX, Seto WK, Lai CL, Yuen MF.
Epidemiology of Hepatocellular Carcinoma in
the Asia-Pacific Region. Gut Liver.
2016;10(3):332-9.
60 Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Karsinoma Sel Nati
■Ir
86. Yamashita T, Forgues M, Wang W, Kim
JW, Ye Q, Jia H, et al. EpCAM and alpha-
fetoprotein expression defines novel prognostic subtypes of hepatocellular
carcinoma. Cancer Res. 2008;68(5):1451-61.
87. Liebman HA, Furie BC, Tong MJ,
Blanchard RA, Lo KJ, Lee SD, et al. Des-gamma-
carboxy (abnormal) prothrombin as a serum marker of primary hepatocellular
carcinoma. N Engl J Med. 1984;310(22):1427-31.
88. Seo SI, Kim HS, Kim WJ, Shin WG, Kim
DJ, Kim KH, et al. Diagnostic value of
PIVKA-II and alpha-fetoprotein in hepatitis B virus-associated hepatocellular
carcinoma. World J Gastroenterol. 2015;21(13):3928-35.
89. De J, Shen Y, Qin J, Feng L, Wang Y,
Yang L. A Systematic Review of Des-y-Carboxy
Prothrombin for the Diagnosis of Primary Hepatocellular Carcinoma. Medicine
(Baltimore). 2016;95(17).
90. Li C, Zhang Z, Zhang P, Liu J.
Diagnostic accuracy of des-gamma-carboxy
prothrombin versus alpha-fetoprotein for hepatocellular carcinoma: A
systematic review. Hepatol Res. 2014;44(10):E11-25.
91. Zhu R, Yang J, Xu L, Dai W, Wang F,
Shen M, et al. Diagnostic Performance of Des-
gamma-carboxy Prothrombin for Hepatocellular Carcinoma: A Meta-Analysis.
Gastroenterol Res Pract. 2014;2014:529314.
92. Gao P, Li M, Tian QB, Liu DW.
Diagnostic performance of des-gamma-carboxy
prothrombin (DCP) for hepatocellular carcinoma: a bivariate meta-analysis.
Neoplasma. 2012;59(2):150-9.
93. Tateishi R, Yoshida H, Matsuyama Y,
Mine N, Kondo Y, Omata M. Diagnostic
accuracy of tumor markers for hepatocellular carcinoma: a systematic review.
Hepatol Int. 2008;2(1):17-30.
94. Kudo M. Japan's Successful Model of
Nationwide Hepatocellular Carcinoma
Surveillance Highlighting the Urgent Need for Global Surveillance. Liver Cancer.
2012;1(3-4):141-3.
95. Thompson Coon J, Rogers G, Hewson
P, Wright D, Anderson R, Jackson S, et al.
Surveillance of cirrhosis for hepatocellular carcinoma: a cost-utility analysis. Br
J Cancer. 2008;98(7):1166-75.
96. Kuo MJ, Chen HH, Chen CL, Fann JCY,
Chen SLS, Chiu SYH, et al. Cost-effectiveness
analysis of population-based screening of hepatocellular carcinoma:
Comparing ultrasonography with two-stage screening. World J Gastroenterol.
2016;22 (12):3460-70.
97. Eltabbakh M, Zaghla H, Abdel-Razek W,
Elshinnawy H, Ezzat S, Gomaa A, et al.
Utility and cost-effectiveness of screening for hepatocellular carcinoma in a
resource-limited setting. Med Oncol. 2015;32(1):432.
98. Roskams T. Anatomic pathology impact
on prognosis and response to therapy.
Clin Liver Dis. 2011;15:245-59.
99. Lencioni R, Crocetti L, Della Pina M,
Cioni D. Guidelines for imaging focal lesions
in liver cirrhosis. Expert Rev Gastroenterol Hepatol. 2008;2(5):697-703.
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati
100. Choi JY, Lee JM, Sirlin CB. CT and MR imaging diagnosis and staging of
hepatocellular carcinoma: part I. Development, growth, and spread: key
pathologic and imaging aspects. Radiology. 2014;272(3):635-54.
101. Kokudo N, Hasegawa K, Akahane M, Igaki H, Izumi N, Ichida T, et al. Evidence-
based Clinical Practice Guidelines for Hepatocellular Carcinoma: The Japan
Society of Hepatology 2013 update (3rd JSH-HCC
Guidelines). Hepatol Res.
2015;45(2):123-7.
102. Terminology of nodular hepatocellular lesions. Hepatology. 1995;22 (3):983-93.
103. Tornillo L, Carafa V, Sauter G, Moch H, Minola E, Gambacorta M, et al.
Chromosomal alterations in hepatocellular nodules by comparative genomic
hybridization: high-grade dysplastic nodules represent early stages of
hepatocellular carcinoma. Lab Invest. 2002;82(5):547-53.
104. Roncalli M, Roz E, Coggi G, Di Rocco MG, Bossi P, Minola E, et al. The vascular
• profile of regenerative and dysplastic
nodules of the cirrhotic liver: implications
for diagnosis and classification. Hepatology. 1999;30(5):1174-8.
105. Van Beers BE, Pastor CM, Hussain HK. Primovist, Eovist: what to expect? J
Hepatol. 2012;57(2):421-9.
106. Kim SH, Kim SH, Lee J, Kim MJ, Jeon YH, Park Y, et al. Gadoxetic acid-enhanced
MRI versus triple-phase MDCT for the preoperative detection of hepatocellular
carcinoma. AIR Am J Roentgenol. 2009;192(6):1675-81.
107. Frericks BB, Loddenkemper C, Huppertz A, Valdeig S, Stroux A, Seja M, et al.
Qualitative and quantitative evaluation of hepatocellular carcinoma and
cirrhotic liver enhancement using Gd-EOB-DTPA. AJR Am J Roentgenol.
2009;193(4):1053-60.
108. Sung Soo A, Myeong-Jin K, Joon Seok
L, Hye-Suk H, Yong Eun C, Jin-Young C.
Added Value of Gadoxetic Acid—enhanced Hepatobiliary Phase MR Imaging in
the Diagnosis of Hepatocellular Carcinoma. Radiology. 2010;255(2):459-66.
109. Arif-Tiwari H, Kalb B, Chundru S,
Sharma P, Costello J, Guessner RW, et al. MRI
of hepatocellular carcinoma: an update of current practices. Diagn Intery Radiol.
2014;20(3):209-21.
110. Zheng SG, Xu HX, Liu LN.
Management of hepatocellular carcinoma: The role of
contrast-enhanced ultrasound. World J Radiol. 2014;6(1):7-14.
111. Nolsoe CP, Lorentzen T.
International guidelines for contrast-enhanced
ultrasonography: ultrasound imaging in the new millennium. 2016;35(2):89-
103.
112. Colli A, Fraquelli M, Casazza G,
Massironi S, Colucci A, Conte D, et al. Accuracy
of ultrasonography, spiral CT, magnetic resonance, and alpha-fetoprotein in
diagnosing hepatocellular carcinoma: a systematic review. Am J Gastroenterol.
2006;101(3):513-23.
113. Sacks A, Peller PJ, Surasi DS,
Chatburn L, Mercier G, Subramaniam RM. Value of
PET/CT in the management of primary hepatobiliary tumors, part 2. AIR Am J
Roentgenol. 2011;197(2):W260-5.
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati 67
7
114. Khan MA, Combs CS, Brunt EM, Lowe
VI, Wolverson MK, Solomon H, et al.
Positron emission tomography scanning in the evaluation of hepatocellular
carcinoma. J Hepatol. 2000;32(5):792-7.
115. Wudel LJ, Jr., Delbeke D, Morris D, Rice
M, Washington MK, Shyr Y, et al. The
role of [18F]fluorodeoxyglucose positron
emission tomography imaging in
the evaluation of hepatocellular carcinoma. Am Surg. 2003;69(2):117-24;
discussion 24-6.
116. Di Tommaso L, Franchi G, Park YN,
Fiamengo B, Destro A, Morenghi E, et al.
Diagnostic value of HSP70, glypican 3, and glutamine synthetase in hepatocellular
nodules in cirrhosis. Hepatology. 2007;45(3):725-34.
117. Wee A. Fine-Needle Aspiration Biopsy of
Hepatocellular Carcinoma and Related
Hepatocellular Nodular Lesions in Cirrhosis: Controversies, Challenges, and
Expectations. Pathology Research International. 2011;2011:17.
118. Pathologic diagnosis of early
hepatocellular carcinoma: a report of the
international consensus group for hepatocellular neoplasia. Hepatology.
2009;49(2):658-64.
119. Kutami R, Nakashima Y, Nakashima 0,
Shiota K, Kojiro M. Pathomorphologic
study on the mechanism of fatty change in small hepatocellular carcinoma of
humans. J Hepatol. 2000;33(2):282-9.
120. Bosman F, Carneiro F, Hruban R, Thelse
ND. WHO classification of tumours.
Lyon: International Agency for Research on Cancer; 2010.
121. Zhu ZW, Friess H, Wang L, Abou-Shady
M, Zimmermann A, Lander AD, et al.
Enhanced glypican-3 expression differentiates the majority of hepatocellular
carcinomas from benign hepatic disorders. Gut. 2001;48(4):558-64.
122. Jolly C, Morimoto RI. Role of the heat
shock response and molecular chaperones
in oncogenesis and cell death. J Natl Cancer Inst. 2000;92(19):1564-72.
123. Chuma M, Sakamoto M, Yamazaki K,
Ohta T, Ohki M, Asaka M, et al.
Expression profiling in multistage hepatocarcinogenesis: identification of
HSP70 as a molecular marker of early hepatocellular carcinoma. Hepatology.
2003;37(1):198-207.
124. Reitzer LJ, Wice BM, Kennell D.
Evidence that glutamine, not sugar, is the major
energy source for cultured HeLa cells. J Biol Chem. 1979;254(8):2669-76.
125. Gebhardt R, Tanaka T, Williams GM.
Glutamine synthetase heterogeneous
expression as a marker for the cellular lineage of preneoplastic and neoplastic
liver populations. Carcinogenesis. 1989;10(10):1917-23.
126. Christa L, Simon MT, Flinois JP,
Gebhardt R, Brechot C, Lasserre C. Overexpression
of glutamine synthetase in human ,primary liver cancer. Gastroenterology.
1994;106(5):1312-20.
127. Llovet JM, Bru C, Bruix J. Prognosis of
hepatocellular carcinoma: the BCLC
staging classification. Semin Liver Dis. 1999;19(3):329-38.
128. Llovet JM, Burroughs A, Bruix J.
Hepatocellular carcinoma. Lancet.
2003; 362 (9399):1907-17.
68 Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Karsinoma Sel Hati
143. Akriviadis EA, Llovet JM, Efremidis SC, Shouval D, Canelo R, Ringe B, et al.
Hepatocellular carcinoma. Br J Surg. 1998;85(10):1319-31.
144. Regimbeau JM, Farges 0, Shen BY, Sauvanet A, Belghiti J. Is surgery for large
hepatocellular carcinoma justified? J Hepatol. 1999;31 (6):1062-8.
145. Poon RT, Fan ST, Wong J. Selection criteria for hepatic resection in patients with
large hepatocellular carcinoma larger than 10 cm in diameter. J Am Coll Surg.
2002;194(5):592-602.
146. Zhang ZM, Guo JX, Zhang ZC, Jiang N, Zhang ZY, Pan LJ. Therapeutic options
for intermediate-advanced hepatocellular carcinoma. World J Gastroenterol.
2011;17(13):1685-9.
147. Shi M, Guo RP, Lin XJ, Zhang YQ, Chen MS, Zhang CQ, et al. Partial hepatectomy
with wide versus narrow resection margin for solitary hepatocellular carcinoma:
a prospective randomized trial. Ann Surg. 2007;245(1):36-43.
148. Makuuchi M, Kosuge T, Takayama T, Yamazaki S, Kakazu T, Miyagawa S, et al.
Surgery for small liver cancers. Semin Surg Oncol. 1993;9(4):298-304.
149. De Gasperi A, Mazza E, Prosperi M. Indocyanine green kinetics to assess liver
function: Ready for a clinical dynamic assessment in major liver surgery? World
J Hepatol. 2016;8(7):355-67.
150. Ribero D, Curley SA, Imamura H, Madoff DC, Nagorney DM, Ng KK, et al. Selection
for resection of hepatocellular carcinoma and surgical strategy: indications for
resection, evaluation of liver function, portal vein embolization, and resection.
Ann Surg Oncol. 2008;15(4):986-92.
151. Bruix J, Castells A, Bosch J, Feu F, Fuster J, Garcia-Pagan JC, et al. Surgical
resection of hepatocellular carcinoma in cirrhotic patients: prognostic value of
preoperative portal pressure. Gastroenterology. 1996;111(4):1018-22.
152. Ng KK, Vauthey JN, Pawlik TM, Lauwers GY, Regimbeau JM, Belghiti j, et al. Is
hepatic resection for large or multinodular hepatocellular carcinoma justified?
Results from a multi-institutional database. Ann Surg Oncol. 2005;12(5):364-
73.
153. Pawlik TM, Poon RT, Abdalla EK, Ikai I, Nagorney DM, Belghiti J, et al.
Hepatectomy for hepatocellular carcinoma with major portal or hepatic vein
invasion: results of a multicenter study. Surgery. 2005;137(4):403-10.
154. Torzilli G, Makuuchi M, Inoue K, Takayama T, Sakamoto Y, Sugawara Y, et al.
No-mortality liver resection for hepatocellular carcinoma in cirrhotic and
noncirrhotic patients: is there a way? A prospective analysis of our approach.
Arch Surg. 1999;134(9):984-92.
155. Poon RT, Fan ST, Lo CM, Liu CL, Lam CM, Yuen WK, et al. Improving perioperative
outcome expands the role of hepatectomy in management of benign and
malignant hepatobiliary diseases: analysis of 1222 consecutive patients from a
prospective database. Ann Surg. 2004;240(4):698-708; discussion -10.
156. Asiyanbola B, Chang D, Gleisner AL, Nathan H, Choti MA, Schulick RD, et al.
Operative mortality after hepatic resection: are literature-based rates broadly
applicable? J Gastrointest Surg. 2008;12(5):842-51.
70 Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati
157. Penn I. Hepatic transplantation for primary and metastatic cancers of the liver.
Surgery. 1991;110(4):726-34; discussion 34-5.
158. Mazzaferro V, Regalia E, Doci Andreola S, Pulvirenti A,
Bozzetti F, et al. Liver
transplantation for the treatment of small hepatocellular carcinomas in patients
with cirrhosis. N Engl J Med. 1996;334(11):693-9.
159. Yao FY, Ferrell L, Bass NM, Watson JJ, Bacchetti P, Venook A, et al. Liver
transplantation for hepatocellular carcinoma: expansion of the tumor size limits
does not adversely impact survival. Hepatology. 2001;33(6):1394-403.
160. Zheng SS, Xu X, Wu J, Chen J, Wang WL, Zhang M, et al. Liver transplantation
for hepatocellular carcinoma: Hangzhou experiences. Transplantation.
2008;85(12):1726-32.
161. Mazzaferro V, Llovet JM, Miceli R, Bhoori S, Schiavo M, Mariani L, et al. Predicting
survival after liver transplantation in patients with hepatocellular carcinoma
• beyond the Milan criteria: a
retrospective, exploratory analysis. Lancet Oncol.
2009;10(1):35-43.
162. Sala M, Llovet JM, Vilana R, Bianchi L, Sole M, Ayuso C, et al. Initial response
to percutaneous ablation predicts survival in patients with hepatocellular
carcinoma. Hepatology. 2004;40(6):1352-60.
163. Lencioni R. Loco-regional treatment of hepatocellular carcinoma. Hepatology.
2010;52(2):762-73.
164. Crocetti L, de Baere T, Lencioni R. Quality improvement guidelines for
radiofrequency ablation of liver tumours. Cardiovasc Intervent Radiol.
2010;33 (1) :11-7.
165. Lencioni RA, Allgaier HP, Cioni D, Olschewski M, Deibert P, Crocetti L, et al.
Small hepatocellular carcinoma in cirrhosis: randomized comparison of radio-
frequency thermal ablation versus percutaneous ethanol injection. Radiology.
2003;228(1):235-40.
166. Lin SM, Lin CJ, Lin CC, Hsu CW, Chen YC. Radiofrequency ablation improves
prognosis compared with ethanol injection for hepatocellular carcinoma < or
=4 cm. Gastroenterology. 2004;127(6):1714-23.
167. Shiina S, Teratani T, Obi S, Sato S, Tateishi R, Fujishima T, et al. A randomized
controlled trial of radiofrequency ablation with ethanol injection for small
hepatocellular carcinoma. Gastroenterology. 2005;129(1):122-30.
168. Lin SM, Lin CJ, Lin CC, Hsu CW, Chen YC. Randomised controlled trial comparing
percutaneous radiofrequency thermal ablation, percutaneous ethanol injection,
and percutaneous acetic acid injection to treat hepatocellular carcinoma of 3 cm
or less. Gut. 2005;54(8):1151-6.
169. Brunello F,VeltriA, Carucci P, Pagano E, Ciccone G, Moretto P, et al. Radiofrequency
ablation versus ethanol injection for early hepatocellular carcinoma: A
randomized controlled trial. Scand J Gastroenterol. 2008;43(6):727-35.
170. Zhou Y, Zhao Y, Li B, Xu D, Yin Z, Xie F, et al. Meta-analysis of radiofrequency
ablation versus hepatic resection for small hepatocellular carcinoma. BMC
Gastroenterology. 2010;10(1):1-7.
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Karsinoma Sel Hati 71