Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TREND DAN ISSUE DALAM

PERAWATAN PALIATIF

Dosen Pembimbing:
Dian Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kes

DISUSUN
KHAILIANA APRIANI
REGULER B 2016

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TA 2017/2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik, meskipun
banyak kekurangan di dalamnya. Kami telah berusaha semaksimal mungkin dan tentunya
dengan kerjasama yang baik sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini.
Dan kami juga berterima kasih kepada Dosen yang telah menjadi pembimbing kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah wawasan
serta pengetahuan kita semua. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan yang membangun demi memperbaiki makalah yang telah kami buat,
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa adanya kritik & saran.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun orang lain. Sebelumnya kami minta maaf apa bila ada kata-kata yang kurang
berkenan dan kepada Allah swt kami mohon ampun.

Inderalaya, 25 februari 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………..ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……………………….……………………………………………1


B. Rumusan Masalah …………………………………………………………………3
C. Tujuan ….……………………………………………………………………..……3

BAB II : PEMBAHASAN

A. Gambaran Implementasi Perawatan Paliatif di Indonesia ……....………………….4


B. Gambaran Kematian dan Perawatan Paliatif ………………..…………….………… 4
C. Faktor-faktor yang terkait dengan praktik perawatan paliatif …………...………….6

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan ………..…………………………………………………..……………..11
B. Saran ..................................................................................... …………...…………..11

DAFTAR PUSTAKA ………..……………………………………………………………..12

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Perawatan Paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan beban


pasienterutama yang tidak dapat disembuhkan. Tindakan aktif yang dimaksud ialah antara
lainmenghilangkan nyeri dan keluhan lain, serta perbaikan dalam bidang psikologis,
sosial dan spiritual. Perawatan ini tidak saja diberikan kepada pasien yang tidak dapat
disembuhkan tetapi juga pasien yang mempunyai harapan untuk sembuh bersama-sama
dengan tindakan kuratif (Departemen Kesehatan [Depkes] RI, 1997).

World Health Organization [WHO] (2003) menekankan pentingnya


untukmenerapkan perawatan paliatif di negara berkembang dengan menggunakan
pendekatan advokasi untuk menghasilkan kebijakan layanan yang berbasis ilmiah dan
terintegrasi dalam rangka meningkatkan kualitas hidup individu dan keluarga yang
mempunyai penyakit kronis dan terminal. Indonesia sendiri telah mengembangkan
perawatan paliatif sejak tahun 1992.

Namun dalam konteks kebijakan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan


RepublikIndonesia baru menerbitkan Surat Keputusan [SK] Menteri Kesehatan RI
tertanggal 19 Juli 2007 Nomor 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan
Paliatif di Indonesia. SK tersebut merupakan suatu instruksi resmi yang diberikan kepada
seluruh institusi pelayanan kesehatan di Indonesia untuk mengembangkan layanan
perawatan paliatif di tempat masihg-masing.

Perawatan paliatif yang diselenggarakan di Indonesia pada saat ini lebih


menekankan pada penyakit kanker dan HIV/AIDS karena adanya peningkatan yang
signifikan dari kasus tersebut dalam setiap tahunnya. Prevalensi kanker di Indonesia yaitu
4.3 kasus per 1000 penduduk, yang menduduki rangking ke-4 setelah stroke, tuberkulosis,
kecelakaaan/cedera, kematian bayi dan diabetes mellitus. Kanker menempati urutan
ketujuh pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit di Indonesia. Disamping itu, angka
kejadian HIV/AIDS yang terus meningkat bersamaan dengan penyakit kronis dan
degeneratif yang sulit untuk ditangani (Riset Kesehatan Dasar, 2013). Permasalahan
kesehatan ini memerlukan penanganan yang komprehensif melalui penyelenggaraan
perawatan paliatif. Secara nyata implementasi peraturan ini masih menghadapi berbagai
permasalahan karena hanya beberapa institusi pelayanan kesehatan yang berada di 6 kota
besar yang telah melaksanakan perawatan paliatif dimana Bandung termasuk salah satu
didalamnya2 (Masyarakat Paliatif Indonesia, 2011). Implementasi dari kebijakan yang
belum dengan berjalan optimal ini terkait dengan pengetahuan serta keterampilan para
tenaga kesehatanyang berperan dalam pelayanan perawatan paliatif belum ditata dengan
baik.RSUP dr. Hasan Sadikin (RSHS) ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan nasional
yang berada di ibu kota Propinsi Jawa Barat dimana pada saat ini tengah menyiapkan unit
perawatan paliatif dalam rangka menindak lanjuti persiapan akreditasi Joint Commission
International (JCI). RSHS sudah memiliki tim pengembangan palliative care yang

4
bekerjasama dengan Fakultas Keperawatan Unpad untuk mengembangkan perawatan
paliatif dalam konteks pelayanan, pendidikan serta penelitian (Kepala Bidang
Keperawatan RSHS, komunikasi personal, 13 Juni 2014).

Terkait dengan pelaksanaan perawatan paliatif di rumah sakit, meskipun belum


pernah ditemukan adanya studi empiris tentang hal ini, perawatan paliatif di Indonesia
lebih menitikberatkan pada perawatan untuk menangani gejala (symptom management)
pada periode end-of-life dimana target populasi dari program ini adalah pasien kanker
dengan stadium lanjut (Tejawinata & Razak, 2012). Padahal jika ditinjau secara konsep,
perawatan paliatif ini merupakan perawatan yang komprehensif yang diperuntukkan bagi
pasien dan keluarga yang menderita penyakit yang tidak menunjukkan respon positif
terhadap pengobatan secara medis, dimana tujuan akhir dari tindakan aktif ini adalah
peningkatan kualias hidup (WHO, 2007).

Secara umum, terdapat beberapa masalah terkait implementasi perawatan paliatif di


Indonesia yang memerlukan perhatian dari tenaga kesehatan. Penelitian yang dilakukan
oleh Effendy et al. (2014) di beberapa rumah sakit di Indonesia mengidentifikasi bahwa
pasien kanker mengalami banyak masalah terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar.
Disamping itu pula dari pihak keluarga, mereka banyak terlibat dalam berbagai aspek
selama perawatan di rumah sakit. Masalah finansial, otonomi serta psikosial seringkali
ditemukan pada keluaga dengan penyakit kanker. Hal ini perlu mendapatkan perhatian
secara khusus dari tenaga kesehatan khususnya dari tenaga perawat yang berada 24 jam
disamping pasien ketika mereka masih berada di rumah sakit. Banyak pasien paliatif
mengalami berbagai gejala fisik yang parah terutama ketika berada pada fase end-of-life
(Rocque & Cleary, 2013).

Prinsip dasar dari perawatan paliatif yaitu: 1) meningkatkan kualitas hidup; 2)


menganggap kematian adalah proses yang wajar; 3) tidak mempercepat atau menunda
kematian; 4) menghilangkan nyeri serta keluhan lain yang mengganggu; 5) menjaga
keseimbangan aspek psiko sosio dan spiritual; 6) mengusahakan agar pasien tetap aktif
sampai akhir hayatnya; 7) memberikan dukungan kepada keluarga dalam masa dukacita;
8) menggunakan pendekatan interdisiplin untuk menyelesaikan masalah; dan 9) dapat
diaplikasikan sejak dini serta dapat diselenggarakan bersama dengan bentuk pelayanan
kuratif yang bertujuan untuk meningkatkan harapan hidup (Kemenkes RI, 2009; WHO,
2008).

Untuk dapat menyelenggarakan pelayanan perawatan paliatif yang berkualitas


sesuai dengan prinsip dasar seperti yang telah ditetapkan oleh WHO terutama pada pasien
dengan penyakit kronis atau menjelang ajal (end-of life), maka perawat harus memiliki
pengetahuan yang baik, sikap yang mendukung serta praktek pelaksanaan perawatan
paliatif (palliativecare) yang adekuat (Sepulveda, 2002). Walaupun perawatan paliatif
sudahdiimplementasikan oleh beberapa rumah sakit rujukan namun data empiris
tentangimplementasi praktek ini belum ditemukan di Indonesia. Sebagai data dasar, satu
penelitian yang melihat gambaran sikap perawat terhadap perawatan end-of-life yang
pernah dilakukan di Ruangan Kemuning RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung (N=60)

5
menunjukkan bahwa sebagian besar perawat yang menjadi responden (45%) mempunyai
sikap yang tidak mendukung. Perawat yang mempunyai pengalaman kerja dibawah 5
tahun lebih banyak yang menunjukkan sikap yang tidak mendukung dalam merawat
pasien dengan kondisi sekarat (dying). Ditinjau dari aspek pendidikan perawat, tidak
ditemukan perbedaan sikap antara lulusan DIII dan S1 Keperawatan, hal ini menunjukkan
bahwa pendidikan yang tinggi belum tentu berkontribusi pada pelaksanaan praktek yang
adekuat. Tingkat pendidikan serta pengalaman kerja menunjukkan hasil yang berbeda
dimana perawat lulusan S1 cenderung menunjukkan sikap yang kurang mendukung
(unfavorable)Daripada perawat lulusan D3. Disamping itu, perawat dengan pengalaman
kerja di atas 5 tahun cenderung menunjukan sikap yang lebih mendukung untuk merawat
pasien yang sedang sekarat (dying) daripada perawat yang mempunyai masa kerja kurang
dari 5 tahun. Namun dalam penelitian tersebut tidak dilakukan kajian tentang tingkat
pengetahuan perawat tentang perawatan paliatif dan end-of life (EOL) (Fauziah,
Agustina, Amrullah, 2012). Sedangkan di rumah sakit daerah, berdasarkan hasil
wawancara dengan ketua Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (ARSADA),
wacana implementasi palliative care sudah pernah didiskusikan dalam program kerja
organisasi, namun sampai saat ini belum ada kebijakan yang mendukung untuk
implementasi program tersebut (Suherman, komunikasi personal, 20 Juli 2014).
Mengingat masih sedikitnya penelitian dan publikasi terkait dengan implementasi
perawatan paliatif oleh perawat maka replikasi penelitian perlu dilakukan di Indonesia
dengan tujuan utama untuk mengeksplorasi pengetahuan dan sikap perawat serta praktik
perawatan paliatif di rumah sakit pemerintahserta untuk menginformasikan dimana
kesenjangan dalam pengetahuan atau pemahaman mungkin terjadi di kalangan perawat di
rumah sakit. Dengan demikian diharapkan dapat ditentukan langkah awal untuk
mengembangkan sumber daya keperawatan serta pengembangan sistem perawatan
paliatif yang terintegrasi dalam pelayanan rumah sakit.

1.2 Rumusan masalah

Bagaimana sikap, pengetahuan, dan praktek untuk melaksanakan perawatan


paliatif olehperawat serta kesulitan perawat dalam melaksanakan perawatan paliatif di
rumah sakit.

1.3 Tujuan masaalah

Untuk mengetahui sikap, pengetahuan, dan praktek untuk melaksanakan


perawatan paliatif olehperawat serta kesulitan perawat dalam melaksanakan perawatan
paliatif di rumah sakit.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Implementasi Perawatan Paliatif di Indonesia

Seperti telah dijelaskan pada Bab I, meskipun perawatan paliatif dikembangkan


pertama kali di rumah sakit lebih sejak hampir dua dekade lalu, implementasi perawatan
paliatif di rumah sakit masih menghadapi berbagai permasalahan (Masyarakat Paliatif
Indonesia, 2011; Kemenkes, 2007). Hal ini, khususnya terkait dengan fokus yang masih
terbatas pada penyakit kanker dan HIV/AIDS dan pemerintah yang lebih fokus
menangani kematian ibu dan bayi yang masih tinggi (Kemenkes RI, 2013), sehingga
perkembangan perawatan paliatif di Indonesia relatif lambat dibandingkan dengan Negara
tetangga di Asia lainnya, seperti Singapura dan Malaysia.

2.2 Gambaran Kematian dan Perawatan Paliatif dalam Situasi Pelayanan


PerawatanAkut

Rumah sakit modern telah menjadi fitur utama dalam pelayanan kesehatan di abad
ke- 20 (Seymour, 2001). Kematian pasien dengan penyakit yang membatasi kehidupan
(lifelimiting illness) di rumah sakit biasanya tidak diharapkan, sehingga memberikan
tantangan tersendiri bagi pasien maupun petugas kesehatan yang merawat. Banyak
petugas kesehatan di rumah sakit yang mengalami perasaan gagal apabila pasien tidak
dapat lagi disembuhkan, sehingga memilih untuk menjauhkan diri dari pasien dan
membuat pasien yang sedang menjelang ajal merasa sendiri dan kesepian (Costello, 2006;
Saltmarsh, 2009). Tidak seperti petugas kesehatan lainnya, perawat cenderung melayani
pasien dan keluarga dalam basis yang konstan (Alvaro, 2009), sehingga merawat pasien
yang sedang menghadapi ajal merupakan mandat profesi, dimana perawat dapat
mengembangkan keunggulan dalam pelayanan keperawatan (Hansford, Robinson, &
Scott, 2007). Selain itu, Saltmarsh (2009) menekankan bahwa perawatan paliatif pada
pasien dengan life-limiting illness penting dilakukan dalam semua tatanan pelayanan
kesehatan dan semua tingkat perawatan. Namun pada kenyataannya, memberikan
pelayanan perawatan paliatif di rumah sakit sulit dilakukan karena keterbatasan akses
perawat dalam memperoleh pendidikan dan pelatihan perawatan paliatif serta dominasi
model pelayanan ilmiah kedokteran dalam tatanan ini (Saltmarsh, 2009).

Rokach (2005) menegaskan bahwa dalam perawatan paliatif, kematian dianggap


sebagai proses yang normal dan bukan kegagalan pengobatan. Karena proses kematian
aktif (active dying) memiliki manifestasi yang beragam, seringkali penerimaan terhadap
kematian sebagai hasil akhir sulit bagi petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit
(Bloomer, Moss,& Cross, 2011a). Dalam hal ini, pasien menjelang ajal justru cenderung
menerima pengobatan aktif yang ditujukan untuk penyembuhan. Selanjutnya, kesulitan
dalam mengenali tanda-tanda kematian aktif dapat membuat petugas kesehatan ragu

7
untuk memutuskan kapan harus melakukan transisi dari upaya kuratif ke perawatan
menjelang kematian (end-of-life (EOL) care) (Bloomer et al., 2011b).

Menurut Costello (2006), perawat memiliki sedikit bukti empiris yang dapat
digunakan sebagai basis untuk mengelola EOL care di rumah sakit dan memiliki
kecenderungan tidak siap secara edukasional maupun klinis dalam mengenali dan
mengelola fase ajal/sakaratul maut (dying phase) (Bloomer et al., 2012). Sedangkan
menurut penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Su et al ( 2014 ) di Korea Selatan
tentang cara mengetahui pasien-pasien End-of-Life meninggal dalam damai dengan
metode in-depth interview. Didapatkan 5 (lima) tema besar dengan 16 sub tema yaitu
recognizing dengan sub tema mengenali perubahan tonus otot, perubahan kemampuan
fisik, perubahan ekskresi dan perubahan sirkulasi darah. Tema kedua adalah comfort
dengan subtema bebas dari gejala, tindakan yang diinginkan dan diorientasikan,
dukungan emosional dan kedamaian spiritual. Bertemu dengan seseorang, menghabiskan
waktu dengan keluarga merupakan subtema dari fulfillment, sedangkan mempertahankan
harga diri, tidak mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan dan menemani sampai
meninggal adalah subtema dari presence. Tema nesting mempunyai subtema ruangan
yang familiar, ruangan yang siap untuk meninggal dan privasi. Untuk itu, Bakitas,
Bishop, dan Caron (2010) merekomendasikan reformasi dan redesain sistem secara
mendasar untuk meningkatkan pelayanan rumah sakit bagi pasien dengan lifelimiting,
karena secara tradisional, rumah sakit tidak menyelenggarakan perawatan untuk keadaan-
keadaan tersebut. Selanjutnya, perawatan paliatif berbasis rumah sakit (hospitalbased
palliative care) dapat diselenggarakan dalam beberapa tingkat atau model, yaitu primer,
sekunder, dan tersier (Bakitas et al., 2010).

Pertama, perawatan paliatif primer harus tersedia di semua rumah sakit. Pada
tingkat ini, minimal klinisi harus memiliki pendidikan tentang dasar-dasar pengelolaan
nyeri dan simptom lainnya. Model primer berfokus pada peningkatan pelayanan yang
sudah ada dan pendidikan bagi klinisi. Karena itu, model ini cocok bagi institusi yang
memiliki keterbatasan sumber daya. Kedua, perawatan paliatif sekunder memerlukan
semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam perawatan pasien untuk memiliki level
kompetensi minimum dan memerlukan para spesialis yang menyediakan perawatan
paliatif melalui tim konsultansi interdisipliner, unit khusus, maupun keduanya. Ketiga,
program tingkat tersier dapat melibatkan organisasi tersier, seperti rumah sakit
pendidikan (teaching hospital) dan pusat-pusat pendidikan dengan tim ahli dalam
perawatan paliatif. Pada level ini, program yang dibuat dapat dijadikan sebagai konsultan
bagi level praktik primer dan sekunder ataupun sebagai program percontohan bagi pusat-
pusat pengembangan lainnya. Praktisi dan institusi yang terlibat alam level perawatan
paliatif tersier juga harus berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas pendidikan dan
penelitian (Bakitas et al., 2010).

8
2.3 Faktor-faktor yang terkait dengan praktik perawatan paliatif yang dilakukan oleh
perawat

Perawat memiliki kecenderungan menjadi ‘first responders’ dalam


mengidentifikasi berbagai masalah pada pasien dengan penyakit yang mengancam
kehidupan (life-threatening illness) (Dahlin, 2010). Merawat pasien dan keluarga
menjelang kematian secara formal sudah dilakukan perawat sejak era Nightingale‘
(Mallory, 2001). Meskipun demikian, banyak di antara petugas kesehatan memasuki area
perawatan paliatif secara tidak sengaja dengan risiko besar mengalami kejenuhan
(burnout) (Rokach, 2005). Morita et al. (2012) menyatakan bahwa kurangnya
pengetahuan dan keterampilan para profesional kesehatan merupakan barier utama dalam
mencapai pelayanan paliatif yang bermutu. Sementara itu, di Negara-negara Barat,
program-program edukasi terkait dengan perawatan paliatif sudah terbukti dapat
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.

Meskipun demikian, untuk mengimplementasikan program edukasi yang efektif,


pengetahuan, keterampilan, praktik dan kesulitan dalam implementasi perawatan paliatif
harus diidentifikasi dan dipahami terlebih dahulu (Sato et al., 2014). Selain itu, prevalensi
penyakit kronis yang tidak menular sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas di
negara berkembang juga mengindikasikan adanya kebutuhan bagi para profesional di
sektor kesehatan untuk memperoleh pengetahuan dan mengembangkan keterampilan
dalam perawatan paliatif. Pengetahuan dan sikap praktisi kesehatan (dokter, apoteker,
perawat, dan petugas kesehatan lainnya) terhadap perawatan paliatif dan akhir kehidupan
(EOL) telah dieksplorasi dalam beberapa studi di Pakistan, Lebanon, India, dan Turki
(Hiwot et al.,2014).

Penelitian yang telah dilakukan di beberapa negara tersebut pada umumnya


berfokus pada sikap terhadap perawatan pada pasien dengan kondisi terminal. Namun,
bagaimana praktik perawatan paliatif itu dilakukan oleh perawat masih jarang diteliti.
Dalam sebuah studi di Jepang, Sato et al. (2014) menginvestigasi pengetahuan, kesulitan,
dan praktik terkait dengan perawatan paliatif pada perawat yang bekerja di tatanan rumah
sakit dan home care untuk melayani pasien-pasien kanker (N=2378). Studi yang
mengambil sampel di 4 wilayah di seluruh Jepang pada tahun 2008 tersebut menemukan
bahwa pada aspek pengetahuan yang diukur dengan Palliative Care Knowledge Test pada
5 domain/subskala, perawat memiliki skor pengetahuan tertinggi pada aspek filosofi
perawatan paliatif (88±26%) dan terendah pada aspek permasalahan psikiatrik (37±29%).
Untuk aspek praktik yang diukur dengan Palliative Care Self-Reported Practices Scale
(PCPS) pada 7 domain /subskala, perawat melaporkan bahwa pengelolaan nyeri adalah
yang paling sering dilakukan dan sebaliknya, pengelolaan delirium adalah yang paling
sedikit dilakukan. Untuk aspek kesulitan yang diukur dengan Palliative Care Difficulty
Scale (PCDS) pada 5 domain/subskala, perawat teridentifikasi mengalami kesulitan
paling banyak dalam menangani gejala-gejala (alleviatingsymptoms), sedangkan
dukungan ahli merupakan domain yang dianggap paling sedikitkesulitannya (Sato et al.,
2014).

9
Penelitian oleh Sato et al. (2014) juga menemukan bahwa skor pengetahuan
perawat yang rendah pada aspek pengelolaan symptom, khususnya terkait dengan aspek
psikologis lebih banyak ditunjukkan oleh perawat yang bekerja di rumah sakit daerah
dimana para perawat memiliki pengalaman yang sedikit dalam merawat pasien-pasien
terminal dan hanya sedikit perawat yang memiliki latar belakang pendidikan S-2
perawatan paliatif. Selain itu, dukungan spesialis perawatan paliatif pada rumah sakit-
rumah sakit tersebut masih sedikit. Pada kajian aspek praktik perawatan paliatif, perawat
relatif banyak melakukan pengelolaan nyeri, perawatan berpusat pada pasien dan
keluarga, serta perawatan rongga mulut (oral care) dibandingkan dengan pengelolaan
pasien yang mengalami delirium. Dapat disimpulkan bahwa tantangan utama bagi
perawat dalam melaksanakan perawatan paliatif adalah mengelola symptom psikologis,
dimana pengetahuan perawat dalam hal ini masih kurang, perawat melaporkan banyak
kesulitan, dan praktik yang dilakukan pun relatif sedikit.

Selain itu, masih banyak juga perawat yang mengalami kesulitan dalam mengelola
nyeri, meskipun sebagian besar perawat sudah melakukan pengkajian dan memberikan
pengobatan sesuai dengan dosis anjuran. Hal ini dapat merefleksikan gaya bekerja yang
pasif dari para perawat di Jepang, dimana mereka hanya mengikuti instruksi dokter saja.
Hasil penelitian Sato et al. (2014) tersebut merekomendasikan pentingnya pendidikan
berkelanjutan, dukungan ahli dan pengalaman klinis yang adekuat bagi perawat untuk
meningkatkan mutu perawatan paliatif. Senada dengan Sato et al. (2014), Hiwot et al.
(2010), Morita et al.9 (2012) dan Nakazawa et al. (2010) menyatakan bahwa kehadiran
ahli untuk menyediakan layanan konsultasi tentang perawatan paliatif, seperti tim
perawatan paliatif atau perawat spesialis klinis, dapat membantu meningkatkan pelayanan
perawatan, khususnya untuk pasien kanker. Selain aspek pengetahuan dan kesulitan
dalam melaksanakan perawatan paliatif, sikap perawat dalam merawat pasien-pasien
terminal atau menjelang ajal diasumsikan memiliki kaitan dengan praktik perawatan
paliatif. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian di berbagai Negara
lebih banyak mengeksplor tentang sikap terkait dengan perawatan pasien pada fase EOL
(Hiwot et al., 2014).

Corr, Nabe, dan Corr (2009, hal. 46) mendefinisikan sikap sebagai ―suatu cara
menampilkan diri kepada atau di dunia sekitar yang meliputi keyakinan, perasaan, nilai-
nilai, postur, dan kecenderungan dalam tindakan. Secara spesifik, (Alvaro, 2009, hal. 12)
mengajukan definisi sikap terhadap perawatan menjelang kematian sebagai ―pandangan
terhadap berbagai aspek dari proses kematian dan perawatan paliatif yang menyebabkan
seseorang bereaksi dalam cara tertentu saat merawat pasien menjelang kematian; dapat
terdiri dari elemen kognitif, afektif, maupun psikomotor. Selain itu, Mallory (2001)
menegaskan bahwa sikap terhadap perawatan pasien menjelang ajal tidak terbentuk
secara instan, melainkan berkembang dari pengalaman hidup dan dibentuk oleh budaya
sosial.Berbagai penelitian sudah melakukan investigasi hubungan antara sikap
terhadapperawatan pasien menjelang ajal dan berbagai variabel personal maupun
profesional. Berikut ini dijelaskan beragam temuan penelitian terkait dengan sikap
perawat terhadap perawatan menjelang ajal.

10
Sebuah studi kuasi-eksperimental oleh Frommelt (2003) dilakukan untuk
mengevaluasi efek sebuah program edukasional terhadap sikap dalam merawat pasien
dengan penyakit terminal dan keluarga. Studi ini melibatkan 115 mahasiswa Strata-1 dari
berbagai disiplin ilmu (keperawatan, psikologi, fisioterapi, dan lain-lain) di sebuah
universitas swasta di bagian Barat Tengah, Amerika Serikat (N=49 untuk kelompok
eksperimen; N=66 untuk kelompok kontrol). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
mahasiswa yang mengikuti program edukasional selama satu semester (15 minggu, 45
jam) terkait dengan kematian dan ajal memperlihatkan perubahan positif yang signifikan
dalam skor sikap yang diukur dengan FATCOD, Form B©. Frommelt (2003) juga
menemukan bahwa beberapa variabel seperti jenis kelamin, usia, jurusan studi, agama,
keyakinan spiritual, dan pengalaman kehilangan tidak memiliki efek signifikan terhadap
sikap. Sebuah studi di sebuah rumah sakit swasta di Tokyo, Jepang oleh Miyashita et al.
(2007) mengeksplor beberapa faktor terkait dengan sikap perawat terhadap perawatan
pasien menjelang ajal (N=178) dengan menggunakan kuesioner demografik dan tiga
pengukuran (FATCOD, Form B© — versi Bahasa Jepang, the Pankratz Nursing
Questionnaire [PNQ (Pankratz & Pankratz, 1974)] untuk mengukur persepsi perawat
tentang otonomi profesional, dan the Death Attitude Inventory [DAI (Hirai et al., 2000]
untuk mengukur sikap terhadap kematian). Survey cross-sectional ini menemukan bahwa
sikap positif terhadap perawatan pasien menjelang kematian memiliki korelasi signifikan
dengan lamanya pengalaman klinik, posisi manajerial, jumlah pengalaman dalam
merawat pasien menjelang ajal, kesempatan untuk mengikuti seminar/kursus tentang
terminal/cancer care di luar rumah sakit, dan dukungan mentor terkait dengan isu-isu
EOL. Selain itu, studi ini juga menunjukkan bahwa autonomi keperawatan memiliki
peranan penting terhadap sikap perawat dalam perawatan pasien menjelang ajal
(Miyashita et al., 2007).

Penelitian lainnya oleh Lange, Thom, dan Kline (2008) menilai sikap perawat
onkologi terhadap kematian dan perawatan pasien menjelang ajal (N=355) di pusat
kanker komprehensif di New York yang berkapasitas 432 tempat tidur. Studi deskriptif
kuantitatif ini menggunakan paket survey yang terdiri dari FATCOD, Form B©, the
Death Attitude Profile — Revised [DAP-R (Wong, Reker, & Gesser, 1994)], dan sebuah
kuesioner demografik singkat. Lange dkk. (2008) mencatat hubungan yang signifikan
secara statistik antara usia, pengalaman bekerja sebagai perawat, pengalaman sebelumnya
dalam merawat pasien terminal, dengan skor dari FATCOD maupun DAP-R. Secara
spesifik, studi ini menjelaskan bahwa perawat yang lebih tua menunjukkan sikap yang
lebih positif. Selain itu, perawat dengan pengalaman kerja 11 tahun atau lebih memiliki
skor FATCOD yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan mereka yang
memiliki pengalaman kerja kurang dari 5 tahun. Perawat dengan pengalaman merawat
pasien menjelang ajal sebelumnya juga memiliki skor FATCOD yang lebih tinggi,
sehingga paparan yang lebih banyak dalam merawat pasien menjelang ajal memiliki
korelasi dengan sikap yang lebih positif dalammerawat pasien tersebut. Lange dkk.
(2008) juga merekomendasikan program edukasional selama orientasi staf sebelum
mereka memberikan pelayanan bagi pasien menjelang kematian, khususnya bagi perawat
baru agar memiliki latar belakang yang kuat dalam perawatan paliatif maupun

11
keterampilan koping. Berbagai studi di Amerika Serikat juga dilakukan dengan
melibatkan paket kurikulum

ELNEC [End-of-Life Nursing Education Consortium] (American Association of


Colleges of Nursing, 2013) untuk pelatihan perawatan paliatif pada level pendidikan
berkelanjutan (Alvaro, 2009) ataupun pada level pendidikan Strata-1 keperawatan
(Barrere, Durkin, &LaCoursiere, 2008; Mallory, 2001). Studi-studi tersebut
menggunakan komponen kurikulum ELNEC baik secara keseluruhan ataupun parsial.

Barrere et al. (2008) mengevaluasi efek dari program pendidikan ELNEC yang
diintegrasikan ke dalam kurikulum Strata-1 keperawatan terhadap sikap mahasiswa
keperawatan dalam perawatan menjelang ajal (N=73). Data dikumpulkan dengan
kuesioner FATCOD© dan kuesioner demografik pada awal dan akhir komponen profesi
dari tiap program Strata-1 tersebut (kelas reguler dan kelas akselerasi). Penelitian kuasi-
eksperimental ini menemukan bahwa integrasi modul ELNEC sepanjang kurikulum
Strata-1 keperawatan (BSN) mempengaruhi sikap secara positif. Selain itu, Barrere et al.
(2008) juga mengidentifikasi dua prediktor signifikan dalam perubahan sikap, yaitu usia
dan pengalaman sebelumnya dalam merawat pasien menjelang ajal. Sedangkan jenis
kelamin, pendidikan umum, pendidikan sebelumnya terkait kematian dan ajal, serta tipe
program Strata-1 (BSN) merupakan prediktor-prediktor non-signifikan.

Sebuah penelitian lain oleh Mallory (2001) menemukan bahwa mahasiswa Strata-
1 yang mengikuti format edukasi perawatan paliatif selama 6 minggu memiliki
peningkatan signifikan yang positif dalam sikap terhadap perawatan pasien menjelang
kematian. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan yang signifikan antara mahasiswa
yang mendapatkan edukasi tentang perawatan paliatif dan yang tidak mendapatkan
edukasi tersebut. Penggunaan paket edukasi ELNEC ditambah dengan pengalaman
praktik di area hospis, rumah duka, laboratorium anatomi, dan bermain peran dapat
memfasilitasi transformative learning pada mahasiswa keperawatan (Mallory, 2001).
Penelitian oleh Barrere et al. (2008) dan Mallory (2001) mendukung pendapat bahwa
sikap perawat dalam mengelola isu terkait dengan kematian dan ajal terbentuk dalam
masa belajar sebagai mahasiswa, sehingga proses pendidikan dan perkembangan
emosional harus ditumbuhkan dan dipupuk pada fase ini (Boyle & Carter, 1998).

Dalam area pendidikan berkelanjutan, Alvaro (2009) mengevaluasi sikap perawat


kritis dalam merawat pasien menjelang kematian di dua ICU di sebuah rumah sakit di
Amerika Serikat. Studi longitudinal kuasi-eksperimental ini menggunakan intervensi
edukasional selama 4-6 minggu yang terdiri dari materi-materi ELNEC yang disampaikan
bersamaan dengan pertemuan rutin staf dan paket self-study. Kuesioner FATCOD dan
kuesioner demografik digunakan untuk mengumpulkan data 2 minggu sebelum
implementasiintervensi edukasional dan tiga minggu setelah implementasi dilakukan.
Studi inimenemukan bahwa baik kelompok kontrol (N=21) maupun eksperimen(N=35)
memiliki rerata skor FATCOD yang hampir sama pada pre-test, tetapi rerata skor sikap
pada post-test berbeda secara signifikan. Alvaro (2009) selanjutnya menemukan bahwa
tidak ada perbedaan sikap dalam merawat pasien menjelang kematian antara berbagai

12
variabel demografik, seperti pengalaman bekerja sebagai perawat, pendidikan
keperawatan inisial, jenis kelamin, pendidikan sebelumnya tentang kematian dan ajal,
serta kontak personal dengan kejadian kematian. Selain itu, hampir semua perawat
menyatakan bahwa mereka tidak disiapkan dengan baik melalui pendidikan awal mereka
untuk merawat pasien menjelang kematian. Praptiwi (2014) menginvestigasi hubungan
antara kesejahteraan spiritual perawat dengan sikap mereka terhadap perawatan pasien
menjelang kematian. Penelitian deskriptif ini bersifat korelasional dan cross-sectional
dengan melibatkan perawat yang bekerja di lingkungan perawatan akut di RSUP Dr
Hasan Sadikin Bandung (N=228). Penelitian ini menggunakan FATCOD, Form B© dan
inventori SHALOM© [Spiritual Health And Life Orientation Measure] (Fisher, 1999).
Hasil analisis menggunakan Pearson correlation test menunjukkan bahwa secara
keseluruhan terdapat korelasi yang lemah antara kesejahteraan spiritual perawat dengan
sikap tersebut (r=0.243, 95% CI 0.117, 0.361; p<0.001). Namun, berkaitan dengan aspek
ideal untuk kesejahteraan spiritual, terdapat korelasi moderat dengan sikap (r=0.404, 95%
CI 0.289, 0.507; p<0.001). Analisis sekunder menunjukkan bahwa latar belakang
pendidikan keperawatan, pendidikan khusus terkait kematian dan ajal sebelumnya, unit
kerja, dan kontak dengan pasien terminal atau pasien menjelang ajal merupakan prediktor
signifikan sikap perawat terhadap perawatan pasien menjelang ajal (Praptiwi, 2014).

Berbagai hasil penelitian terkait dengan berbagai faktor yang berhubungan dengan
praktik perawatan paliatif oleh perawat, khususnya yang bekerja di rumah sakit telah
diuraikan di atas. Meskipun desain yang digunakan beragam dan responden penelitian
juga berasal dari populasi yang berbeda-beda, hasil-hasil penelitian tersebut perspektif
terhadap berbagai aspek personal maupun profesional perawat yang dapat mendukung
peningkatan mutu pelayanan perawatan paliatif, khususnya oleh perawat.

13
BAB III

PENUTUP

1.3 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwadalam menyediakan


pelayanan perawatan paliatif yang bermutu, perawat ditantang untuk memiliki
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang adekuat dalam merawat pasien-pasien paliatif.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Barrere et al. (2008) dan Mallory (2001)
mendukung pendapat bahwa sikap perawat dalam mengelola isu terkait dengan kematian
dan ajal terbentuk dalam masa belajar sebagai mahasiswa, sehingga proses pendidikan
dan perkembangan emosional harus ditumbuhkan dan dipupuk pada fase ini (Boyle &
Carter, 1998). Untuk itu calon generasi perawat selanjutnya perlu benar-benar dilatih
secara profesional dalam mengaplikasikan ilmu dan keterampilan skill nya dengan baik,
agar perawat dimasa depan dapat memahami dengan mudah bagaimana cara merawat
pasien-pasien terminal dan menjelang ajal dan dapat meningkakatkan kualitas hidup
pasien dan keluarganya. Selain itu pada analisis sekunder menunjukkan bahwa kesulitan
tersebut merupakan dampak dari latar belakang pendidikan formal yang mayoritas
dimilikioleh perawat adalah D III Keperawatan.

2.3 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini perlu ada peningkatan pengetahuan melalui


pendidikanformal perawat dari DIII keperawatan menjadi sarjana keperawatan agar sikap
perawat dalammerawat pasien paliatif dapat ditingkatkan. Selain dapat meningkatkan
sikap, peningkatanpendidikan juga dapat mengatasi kesulitan komunikasi antara perawat
dengan timmultidisiplin dan tindakan perawat untuk mengurangi gejala pada pasien
pasien paliatif.

14
DAFTAR PUSTAKA

Masyarakat Paliatif Indonesia. (2011). Palliative Care di Indonesia. Dipetik dari


www.mpi.org.

Tejawinata, S, Razak, A. (2012). Surabaya kota paliatif: citra dan pesonanya. Surabaya,
RSUD dr. Soetomo.

Alvaro, A. W. (2009). Critical care nurses' attitudes towards the care of the dying: an
educational intervention. (Master's thesis). Western Carolina University, USA.
Retrievedfrom http://libres.uncg.edu/ir/wcu/f/Alvaro2009.pdf

American Association of Colleges of Nursing [AACN]. (2013). End-of-Life Nursing


Education Consortium (ELNEC) factsheet: updated 10/16/13. Retrieved from
http://www.aacn.nche.edu/elnec

Barrere, C. C., Durkin, A., & LaCoursiere, S. (2008). The influence of end-of-life education
on attitudes of nursing students. International Journal of Nursing Education
Scholarship, 5(1), 1-18. doi: 10.2202/1548-923X.1494

Costello, J. (2006). Dying well: nurses' experiences of 'good and bad' deaths in hospital.
Journal of Advanced Nursing, 54(5), 594-601. doi:10.1111/j.1365-2648.2006.03867.x

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2007). Kebijakan Perawatan


Paliatif. Jakarta: Kemenkes RI.

Kemenkes RI. (2013). Riset kesehatan dasar tahun 2013. Dipetik dari http://depkes.go.id

Kemenkes RI. (2014). Data online Rumah Sakit. Dipetik


darihttp://sirs.buk.depkes.go.id/rsonline/data_view.php?editid1=637

Lange, M., Thom, B., & Kline, N. E. (2008). Assessing nurses' attitudes toward death and
caring for dying patients in a comprehensive cancer center. Oncology Nursing
Forum,35(6),955-959.doi:10.1188/08.ONF.955-959

Mallory, J. L. (2001). The impact of a palliative care educational component on attitudes


toward care of the dying in undergraduate nursing students. (Doctoral thesis). North
Carolina State University, Raleigh, USA. Retrieved from
http://repository.lib.ncsu.edu/ir/bitstream/1840.16/4771/1/etd.pd

Praptiwi, A. (2014). Nurses’ spiritual well-being and attitudes towards care of dying
patients. (Unpublished Master‘s Thesis). Monash University, Australia.

World Health Organization. (2007). WHO guide for effective program_Palliative Care.
Geneva: WHO Press. Retrieved from http://www.who.int

15

Anda mungkin juga menyukai