Anda di halaman 1dari 25

Referat

PATOFISIOLOGI ABSES PERIAPIKAL


DAN TATALAKSANA

Oleh:
Mentari Alisha, S.Ked.
NIM 71 2018 006

Pembimbing:
Drg. Nursiah Nasution, M. Kes.

SMF ILMU KESEHATAN GIGI DAN MULUT


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul:

Patofisiologi Abses Periapikal dan Tatalaksana

Oleh:
Mentari Alisha, S.Ked.

Telah dilaksanakan pada bulan november 2018 sebagai salah satu


syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF
Kesehatan Gigi dan Mulut Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, 12 November 2018


Pembimbing

Drg. Nursiah Nasution, M.Kes.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya,
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya, penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Patofisiologi Abses Periapikal

dan Tatalaksana” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan


Klinik Senior di SMF Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad
SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada:
1. Drg. Nursiah Nasution, M.Kes selaku pembimbing yang telah memberikan
masukan, arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini.
2. Rekan-rekan co-assistensi dan perawat atas bantuan dan kerjasamanya.
Peneliti menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna,
karena kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu, kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat peneliti harapkan demi
perbaikan di masa mendatang.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, 12 November 2018

Mentari Alisha

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 2


2.1 Anatomi Jaringan Periapikal ........................................................... 2
2.2 Pengertian Abses Periapikal. ........................................................... 4
2.3 Epidemiologi ................................................................................... 5
2.4 Etiologi ............................................................................................ 5
2.5 Patofisiologi ..................................................................................... 6
2.6 Klasifikasi Abses Periapikal............................................................ 9
2.7 Manifestasi Klinis ............................................................................ 12
2.8 Diagnosis ......................................................................................... 13
2.9 Diagnosis Banding........................................................................... 15
2.10 Tatalaksana.......................................................................................15
2.11 Komplikasi.......................................................................................18
2.12 Prognosis..........................................................................................19

BAB III KESIMPULAN ........................................................................... 20


DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 21

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berawal dari sisa makanan yang berampur dengan hasil metabolisme bakteri
Staphylococcus aureus, Streptococcus mutans, Lactobacillus yang berupa asam
akan mengakibatkan proses demineralisasi pada email sehingga terbentuk karies.
Proses karies ini mengakibatkan radang pada pulpa yang dikenal sebagai pulpitis
reversibel dan akan berlanjut menjadi pulpitis irreversibel. Bila infeksi dibiarkan
jaringan pulpa akan menjadi nekrosis sehingga infeksinya dapat masuk ke
pembuluh darah menuju jaringan periapikal melalui apeks. 1
Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan
infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah memfagosit bakteri, sel
darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah
yang mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan nanah ini maka jaringan
sekitarnya akan terdorong dan menjadi dinding pembatas abses.2 Hal ini
merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi
lebih lanjut.Jika suatu abses pecah maka infeksi bisa menyebar tergantung kepada
lokasi abses. Sehingga abses periapikal dapat didefinisikan sebagai suatu proses
supuratif disekitar ujung akar gigi yang terjadi karena hancurnya jaringan dan
merupakan respon inflamasi berlanjut dari jaringan periapikal terhadap iritasi
pulpa. 3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Jaringan Periapikal


Jaringan periapikal merupakan lanjutan jaringan periodonsium ke arah apikal
dari gigi, walaupun sebenarnya jaringan yang berada di dekat apeks gigi lebih
menyerupai isi dari saluran akar dibandingkan jaringan periodonsium. Jaringan
periodonsium adalah jaringan yang mengelilingi dan mendukung akar gigi, yang
terdiri dari sementum, ligamen periodontal, lamina dura dan tulang alveolar. Yang
menghubungkan antara pulpa dan jaringan periapikal adalah foramen apikal dan
kanal lateral. 4 Jaringan periapikal terdiri dari :

Gambar 2.1. Anatomi gigi

a) Foramen apikal
Foramen apikal merupakan penghubung antara pulpa dan jaringan
periapikal. Selama pembentukan akar, foramen apikal terletak pada ujung
akar anatomis. Ketika perkembangan gigi telah sempurna, foramen apikal
menjadi lebih kecil dan memiliki jarak dengan ujung akar anatomis. Pada satu

2
gigi, bisa terdapat satu atau lebih foramen apikal, biasanya pada gigi akar
ganda. Apabila terdapat lebih dari satu foramen, yang terbesar disebut sebagai
foramen apikal dan sisanya merupakan kanal aksesori atau kanal lateral.
Diameter foramen apikal biasanya antara 0.3-0.6mm. Diameter terbesar
ditemukan pada saluran akar distal molar mandibula dan akar palatal molar
maksila.

b) Kanal lateral
Kanal lateral atau kanal aksesori, merupakan penghubung komunikasi
antara pulpa dan ligamen periodontal. Komunikasi terjadi melalui saluran
yang melewati dentin dan sementum yang membawa pembuluh darah kecil
dan saraf. Kanal aksesori dapat berjumlah satu atau lebih, besar atau kecil.
Biasanya terbentuk pada daerah sepertiga apikal. Kanal lateral, sama seperti
foramen apikal, dapat menjadi jalur menyebarnya penyakit pulpa ke jaringan
periapikal dan terkadang menyebabkan penyakit periodonsium menyebar ke
saluran akar.

c) Sementum
Sementum, merupakan jaringan menyerupai tulang, dengan kekerasan
yang lebih tinggi, yang melapisi akar gigi dan menyediakan perlekatan untuk
serat-serat periodontal. Walaupun lebih keras dan resorbsinya lebih pelan dari
pada tulang, dentin tetap mengalami resorbsi saat terdapat lesi inflamasi
periapikal dan sering mengakibatkan hilangnya konstriksi apikal.

d) Ligamen periodontal
Ligamen periodontal, merupakan jaringan konektif khusus yang ruangnya
sempit, bervariasi dari 0.21 mm pada gigi muda hingga 0.15 mm pada gigi
yang lebih dewasa. Keseragaman dari besarnya ruang periodontal merupakan
salah satu kriteria untuk menentukan kesehatannya. Ruang periodontal
dibatasi oleh sementoblast dan osteoblast. Di dalam ruang periodontal juga
terdapat sel-sel seperti fibroblast, stem sel, makrofag, osteoklast, pembuluh
darah, saraf, dan limfatik. Sel-sel tersebut tidak berpengaruh terhadap

3
kesehatan periodonsium, namun akan berproliferasi pada saat terjadi
inflamasi sehingga menyebabkan pembentukan kista. Jaringan periodonsium
menerima inervasi autonomik dan sensoris. Saraf autonomiknya merupakan
saraf simpatetik, sedangkan saraf sensorik berasal dari saraf trigeminal divisi
2 dan 3. Saraf-saraf ini sangat sensitif dan merekam tekanan pada ligamen
yang berasosiasi dengan pergerakan gigi.

e) Lamina Dura
Lamina dura, merupakan bagian dari tulang alveolar yang memiliki
kepadatan yang lebih tinggi sehingga secara radiograf gambarannya terlihat
lebih opak. Kontinuitas dari lamina dura menentukan kesehatan periodontal.

f) Tulang alveolar
Tulang alveolar, memiliki banyak lubang untuk mengakomodasi
pembuluh darah, saraf, dan menanam jaringan konektif dari daerah kanselus
prosesus alveolaris yang melewati ruang periodontal.

2.2 Pengertian Abses Periapikal


Abses merupakan pus yang terlokalisir akibat adanya infeksi dan supurasi
jaringan. Abses bisa terjadi pada semua struktur atau jaringan rongga mulut.
Abses rongga mulut yang paling sering terjadi adalah abses periodontal dan abses
periapikal. 5
Abses periapikal merupakan suatu gejala dari respon proses infeksi pada gigi
yang menyebabkan adanya kumpulan pus yang terlokalisir yang dibatasi jaringan
tulang. Biasanya kumpulan pus terlokalisir pada ujung akar gigi dan jaringan
tulang di sekitarnya. 6
Abses periapikal adalah suatu kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan
periapikal dan merupakan respon inflamasi terhadap iritan mikroba dan non
mikroba dari pulpa yang nekrosis. 3
Abses periapikal umumnya berasal dari nekrosis jaringan pulpa. Jaringan
yang terinfeksi menyebabkan sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga
yang berisi jaringan dan sel – sel yang terinfeksi. Pus terbentuk sebagai usaha

4
untuk melawan aktivitas bakteri berbahaya yang menyebabkan infeksi. Abses
periapikal terbentuk jika tidak ada jalan keluar pus. Sehingga pus akan
terperangkap dalam jaringan dan terus membesar. 6

2.3 Epidemiologi
Abses periapikal lebih sering terjadi pada anak-anak yaitu 50% anak usia 9
tahun dan 80% pada usia dibawah 17 tahun. Berdasarkan data perawatan klinis di
dokter gigi abses periapikal akut memiliki persentase sekitar 2-6%, prevalensi
terjadinya abses periapikal akut 5-46%. Kejadian meningkat pada orang yang
kualitas hidupnya rendah dan sering terjadi pada anak-anak. 7

2.4 Etiologi
Abses periapikal biasanya terjadi sebagai akibat dari infeksi yang mengikuti
karies gigi dan infeksi pulpa, setelah trauma pada gigi yang mengakibatkan pulpa
nekrosis, iritasi jaringan periapikal baik oleh manipulasi mekanik maupun oleh
aplikasi bahan-bahan kimia di dalam prosedur endodontik, dan dapat berkembang
secara langsung dari periodontitis periapikal akut. 8
Abses periapikal akut juga dapat berkembang dari abses periapikal kronis
yang mengalami eksaserbasi akut. Hal ini dapat terjadi oleh karena beberapa
faktor yaitu terganggunya keseimbangan antara pertahanan tubuh pasien dan
virulensi dari mikroorganisme yang mempertahankan keadaan infeksi kronis. Jadi
jika pertahanan tubuh pasien menurun, maka mikroorganisme mampu menyerang
jaringan dengan lebih mudah dan menghasilkan abses yang akut. Faktor lain
adalah pada saat sinus dari abses periapikal kronis tertutup oleh debris-debris,
karena hal ini dapat menghalangi eksudat untuk keluar, maka keadaan akut dapat
terjadi. 8
Adapun bakteri yang dominan pada abses periapikal adalah bakteri anaerob
seperti : Treponema denticola, Porphyromonas endodontalis, Dialister
pneumosintes, Tannerella forsythia, Porphyromonas gingivalis, Dialister invisus,
Filifactor alocis, Fusobacterium nucleatum, Streptococcus species,
Propionibacterium propionicum, Parvimonas micra, Pseudoramibacter
alactolyticus, Prevotella intermedia, Prevotella nigrescens, Eikenella corrodens,
Treponea socranskii, Prevotella baroniae, Campylobacter gracilis, Treponema

5
socranskii, Prevotella baroniae, Campylobacter gracilis, Treponema
pectinovorum, Veillonella parvula, Treponema amylovorum, Veillonella parvula,
Treponema amylovorum, Catonella morbi, Centipeda periodontii, Bacteroidetes
clone Xo83, Campylobacter rectus, Granulicatella adiacens, Actinomyces
israelill, Olsenella uli, Enterococcus faecalis, Prevotella multisaccharivorax, dan
Treponema medium. 3

Gambar 2.4.1 Abses Periapikal

2.5 Patofisiologi
Faktor predisposisi yang paling umum dari pembentukan abses pada gigi
adalah karena adanya karies. Kesehatan gigi yang buruk merupakan salah satu
penyebab terjadinya abses gigi dan beberapa penyakit dan gangguan yang
berhubungan dengan penyakit periodontal (misalnya AIDS, diabetes, Down
Syndrome, leukemia, kehamilan, penggunaan metamfetamin, dan keganasan lain).
Meskipun karies adalah faktor yang paling predisposisi, setiap proses yang
menyebabkan atau merupakan predisposisi nekrosis pulpa dapat menyebabkan
pembentukan abses. 9
Abses pada gigi timbul sebagai respon akibat dari infeksi oleh flora mulut
normal pada gigi karies atau sebagai akibat dari trauma gingiva mukosa. Ketika

6
proses karies terus berlanjut melalui struktur keras gigi (enamel dan dentin)
menuju ke ruang pulpa, infeksi pulpa dan/atau proses peradangan terjadi. Proses
ini biasanya menghasilkan nekrosis pulpa.9
Abses gigi dimulai dengan nekrosis pulpa gigi, yang mengarah ke invasi
bakteri dari ruang pulpa dan jaringan yang lebih dalam. Dalam kavitas (karies)
menyebabkan nekrosis dengan memicu vasodilatasi dan edema, yang
menyebabkan tekanan dan nyeri pada dinding gigi. Tekanan ini memotong
sirkulasi ke pulp, dan infeksi dapat menyerang tulang di sekitarnya. Proses
inflamasi kemudian meluas ke jaringan periapikal melalui foramen apikal, yang
menyebabkan pembentukan abses periapikal. Jika terdapat infeksi bakteri di
dalam saluran akar, abses periapikal dapat terjadi.
Jaringan yang terinfeksi menyebabkan sebagian sel mati dan hancur,
meninggalkan rongga patologis yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi.
Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi,
bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah memfagosit bakteri, sel darah putih
akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah yang mengisi
rongga tersebut. Akibat penimbunan nanah ini maka jaringan sekitarnya akan
terdorong dan menjadi dinding pembatas abses. Hal ini merupakan mekanisme
pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Jika suatu
abses pecah di dalam maka infeksi bisa menyebar tergantung kepada lokasi abses.
Sel-sel darah putih yang mati seharusnya bisa dihancurkan oleh makrofag, namun
makrofag tidak sanggup menghancurkan semua sel darah putih yang mati tersebut
karena jumlahnya yang sudah terlalu banyak dan tidak menemukan jalan keluar.
Timbunan pus tersebut kemudian akan menekan sel syaraf dan menimbulkan
rangsangan nyeri. Sehingga, abses ini tergolong symptomatik dan disebut sebagai
abses apikalis akut. Apabila pus dalam jaringan tulang tersebut dapat menembus
korteks tulang dan menuju jaringan lunak, maka akan membentuk penyebaran
abses baru. Sehingga, abses apikalis berkembang menjadi abses apikalis kronik. 2
Abses periapikal dapat berlangsung secara akut dan kronis. Apabila ada
keseimbangan antara pus dan imunitas penderita maka abses periapikal dapat
berlangsung secara kronis. Jika tekanan hidrostatik dalam pus meningkat
mengakibatkan pus dalam abses periapikal berkembang progesif sehingga pus

7
membuat jalan yang mengakibatkan penyebaran pus di dalam intra oral maupun
ekstra oral. 10

Gambar 2.5.1 Gambaran penyebaran pus pada abses periapikal

Dari gambar tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa pus yang terdapat
pada abses periapikal dapat keluar melalui ruang saluran pulpa yang ditunjukan
dengan angka (1), pus dapat melewati ligamentum periodontal menuju sulkus
gingival (2), pus menyebabkan fistula pada jaringan lunak rongga mulut
menembus gingival sehingga terjagi gum boil (3), pus dapat menyebar menjauhi
jaringan apikal. Selain keadaan tersebut abses periapikal juga dapat menyebabkan
terjadinya abses maxillaries dan abses mandibularis yang dapat membahayakan
kondisi pasien jika dibiarkan lama oleh pasien tanpa ada penanganan dari dokter
gigi. 10
Proses infeksi pada jaringan pulpo-periapikal dapat menyebabkan
beberapa kondisi ketika melibatkan jaringan periapikal, dapat berupa granuloma,
abses, kista, atau osteomyelitis. Saluran pulpa yang sempit menyebabkan drainase
yang tidak sempurna pada pulpa yang terinfeksi, namun dapat menjadi tempat
berkumpulnya bakteri dan menyebar kearah jaringan periapikal secara progresif.
Ketika infeksi mencapai akar gigi, jalur patofisiologi proses infeksi ini

8
dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi bakteri, ketahanan host, dan anatomi
jaringan yang terlibat. 11
Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses ini yaitu
Staphylococcus aureus dan Streptococcus mutans. Staphylococcus aureus dalam
proses ini memiliki enzim aktif yang disebut koagulase yang fungsinya untuk
mendeposisi fibrin untuk membentuk sebuah pseudomembran yang terbuat dari
jaringan ikat, yang sering kita kenal sebagai membran abses. Sedangkan
Streptococcus mutans memiliki 3 enzim utama yang berperan dalam penyebaran
infeksi gigi, yaitu streptokinase, streptodornase, dan hyaluronidase. Hyaluronidase
adalah enzim yang bersifat merusak jembatan antar sel yang terbuat dari jaringan
ikat (hyalin/hyaluronat), kalau ditilik dari namanya “hyaluronidase”, artinya
adalah enzim pemecah hyalin/hyaluronat. Padahal, fungsi jembatan antar sel
penting adanya, sebagai transpor nutrisi antar sel, sebagai jalur komunikasi antar
sel, juga sebagai unsur penyusun dan penguat jaringan. Jika jembatan ini rusak
dalam jumlah besar, maka dapat diperkirakan, kelangsungan hidup jaringan yang
tersusun atas sel-sel dapat terancam rusak/mati/nekrosis. 11
Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses
saja yang terjadi pada peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada
pembentukan pus oleh bakteri pembuat pus (pyogenik), salah satunya juga adalah
S.aureus. jadi, rongga yang terbentuk oleh sinergi dua kelompok bakteri tadi,
tidak kosong, melainkan terisi oleh pus yang konsistensinya terdiri dari leukosit
yang mati (oleh karena itu pus terlihat putih kekuningan), jaringan nekrotik, dan
bakteri dalam jumlah besar. 11

2.6 Klasifikasi Abses Periapikal


Berdasarkan tingkat keparahan, abses periapikal dibagi menjadi :
1. Abses periapikal akut
Terjadi karena respon inflamasi parah terhadap iritan mikroba/non
mikroba dari pulpa yang nekrosis. Merupakan akumulasi pus di dalam tulang
alveolar pada apeks akar gigi non vital. Abses alveolar akut dihasilkan dari
penyebaran infeks dari pulpa melalui foramen apikal ke dalam jaringan

9
periradikular. Terdapat pengecualian pada gigi molar sulung, infeksi lebih
banyak menyebar melalui area furkasi daripada foramen apikal. 6

 Patogenesis Abses Periapikal


Kavitas yang terbuka karena karies dapat menyebabkan masuknya
bakteri kedalam pulpa sehingga pulpa menjadi nekrosis. Bakteri yang
berakumulasi didalam pulpa dapat menyebar ke jaringan periapikal melalui
foramen apikal sehingga terjadi infeksi bakteri pada jaringan tersebut. Bakteri
dapat menghasilkan toksin masiv di daerah inflamasi yang dilepaskan
keseluruh tubuh dan menimbulkan reaksi lokal terhadap infeksi. Apabila
pertahanan tubuh rendah maka virulensi bakteri dapat meningkat. Pus yang
telah terbentuk apabila tidak ditangani akan semakin meningkat dalam
jaringan sehingga pus menekan jaringan sekitar untuk mencari jalan keluar
dan menembus periosteum masuk ke jaringan lunak. 3

 Patogenesis terbentuknya pus


Ketika bakteri patogen berada di jaringan periapikal, neutrofil
disekresikan pada jaringan tersebut dan terjadi perlawanan. Bakteri patogen
akan menghasilkan toksin masiv untuk membunuh neutrofil. Neutrofil yang
mati menghasilkan enzim lysozym & pembentukan radikal bebas turunan
oksegen (superoxide & hydrogen peroxide) sehingga trejadi destruksi matrisk
ekstraseluler konektif dan terbentuklah pus. 3

2. Abses periapikal kronis


Terjadi apabila abses periapikal akut yang tidak dirawat, adanya
perubahan jaringan sekitar abses dari inflamasi akut menjadi kronis. Ciri
khasnya yaitu adanya fistula. Abses periapikal kronis adalah keadaan yang
timbul akibat lesi yang bertahan lama yang telah menyebabkan abses dengan
drainase ke permukaan.
Abses apikalis kronis merupakan respon inflamasi dari infeksi karena
bakteri yang memiliki virulensi yang rendah pada akar gigi. Rasa sakit yang
dirasakan pasien dikarenakan oleh tertutupnya alur sinus disertai tekanan.

10
Eksaserbasi akut dapat memperparah lesi kronis ini. Pembengkakan juga akan
semakin besar karena lesi sebelumnya.
Abses periapikal kronis umumnya asimtomatik, namun ada juga yang
simtomatik. Tidak merespon pada tes vitalitas pulpa dan tidak sensitiv pada
tekanan. Abses periapikal kronis berkembang dan membesar tanpa gejala
yang subjektif, hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan radiografis atau
dengan adanya fistula didaerah sekitar gigi yang terkena. Fistula merupakan
ciri khas dari abses apikalis kronis. Fistula merupakan saluran abnormal yang
terbentuk akibat drainase abses. 6

 Patogenesis Abses periapikal kronis


Mempunyai kesamaan patogenesis dengan abses periapikal akut.
Penyakit ini juga merupakan akibat dari nekrosis pulpa dan biasanya
dihubungkan dengan periodontitis apikalis kronis yang telah membentuk
abses. Abses telah menyebar melalui tulang dan jaringan lunak untuk
membentuk stoma saluran sinus (sinus tract stoma) pada mukosa oralatau
kadang-kadang hingga ke kulit wajah. Temuan histologik pada lesi ini serupa
dengan yang ditemukan pada periodontitis apikalis kronis. Abses periapikal
kronis dapat juga berdrainase melalui periodontium ke dalam sulkus dan
dapat menyerupai abses periodontium atau poket. 6

11
Gambar mekanisme terbentuknya abses

2.7 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis dari abses periapikal akut adalah sebagai berikut:
1. Terasa sakit sekali di daerah gigi yang non vital karena penekanan abses
dan efek bahan-bahan kimia pada jaringan syaraf.
2. Gigi sedikit ekstrusi dari soketnya yang disebabkan eksudat dan neutrofil
dari abses menyebabkan penekanan di daerah jaringan gigi.

12
3. Kadang-kadang memperlihatkan manifestasi sistemik dari proses infeksi
seperti demam, malaise dan leukositosis.
4. Biasanya pasien mengalami ketidaknyamanan yang moderat sampai parah
atau pembengkakan
5. Gigi yang terlibat tidak menimbulkan respon terhadap stimulasi elektrik
dan termis karena pulpa telah nekrosis.
6. Gigi terasa nyeri terhadap palpasi dan perkusi
7. Perluasan abses periapikal akut pada jaringan lunak yang akan
menunjukkan gambaran yang biasa dari inflamasi akut yaitu merah,
bengkak dan panas.

Gambaran klinis dari abses periapikal kronis adalah sebagai berikut:


1. Karena adanya drainase, abses periapikal kronis biasanya asimtomatik,
kecuali ada penutupan jalan masuk sinus yang kadang- kadang terjadi
yang menimbulkan nyeri.
2. Menunjukkan ketidaknyamanan yang ringan.
3. Gigi tidak mengalami respon terhadap stimulus termis dan elektris karena
pulpa sudah nekrosis.
4. Perkusi menyebabkan nyeri sedikit atau tidak sama sekali.
5. Gigi sedikit sensitive terhadap palpasi.
6. Adanya saluran sinus yan gsebagian atau seluruhnya dapat dibatasi oleh
epitel yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang terinflamasi.

2.8 Diagnosis
Anamnesis
Dalam menentukan diagnosa abses periapikal, perlu dilakukan :
1. Anamnesa (pemeriksaan subjektif)
2. Pemeriksaan klinis
 Tes mobilitas untuk mengetahui kegoyangan, kadang-kadang positif.
 Tes perkusi untuk menentukan keadaan periapikal, positif.
 Tes palpasi untuk batas inflamasi dan kualitas pembengkakan,
positif.

13
 Tes pulpa : termal dan elektrik untuk menentukan vitalitas pulpa,
negatif
3. Pemeriksaan penunjang
Pada tahap awal sebelum terjadinya resorbsi tulang, belum terlihat adanya
gambaran rontgenologi. Gambaran rontgenologi baru terlihat jika ada
pengrusakan tulang, dimana diperlukan waktu 2-3 minggu agar cukup
tejadi resorbsi tulang sehingga tampak adanya daerah radiolusen yang
difus dengan batas tidak jelas pada apeks gigi. Dapat juga terjadi
penebalan ligament periodonsium tetapi jarang terjadi. Di sekitar apeks
dari gigi terlihat daerah yang radiolusen dan berangsur-angsur menyatu di
sekeliling tulang tanpa danya batas yang jelas di antara keduanya. 10

Gambaran rontgenologi pada abses periapikal akut adalah sebagai


berikut :

Gambar 2.8.1 Gambaran radiologi abses periapikal

14
Gambaran radiolusen berbatas
difus di periapikal.

2.9 Diagnosis Banding


Kista Periapikal
Granuloma Periapikal

2.10 Tatalaksana
Pulpa pada abses periapikal biasanya atau hampir selalu non vital. Oleh
karena itu membutuhkan baik ekstraksi gigi atau perawatan endodontik. Jika
prosedur awal memungkinkan drainase yang memadai, terapi definitif dapat
menunggu sampai infeksi terkendali. 12
Pengelolaan abses periapikal yang terutama adalah bedah. Ekstraksi gigi
memungkinkan pelepasan tekanan dan drainase abses. Alternatif lainnya,
beberapa kasus gigi yang mengalami abses adalah kandidat untuk mengalami
terapi saluran akar. Cakupan antibiotik untuk kedua bakteri aerobik dan anaerobik
meningkatkan resolusi infeksi. Terapi antibiotik oral termasuk penisilin,
klindamisin (Cleocin), dan metronidazol. Metronidazol dapat digunakan dalam
kombinasi dengan penisilin tetapi tidak sendirian. Amoksisilin dengan clavunalate
(Augmentin) adalah sebuah alternatif untuk penisilin. Untuk pasien yang tidak
dapat mengambil antibiotik ini, eritromisin (E-Mycin), cephalexin (Keflex), sulfa,
kuinolon, dan tetrasiklin tidak efektif tetapi dapat digunakan. Jika diindikasikan,
terapi antibiotik parenteral dengan penisilin, klindamisin, dan metronidazol harus
digunakan. Cefazolin (Kefzol) dan cefoxitin (Mefoxin) kurang efektif. Gentamisin
(Garamycin), kloramfenikol, tobramisin, amikasin (Amikin), dan setiap generasi
ketiga cephalosporin tidak dianjurkan karena mereka gagal untuk memberikan

15
perlindungan yang memadai, memiliki komplikasi yang merugikan
(kloramfenikol), mahal, atau spektrum yang lebih luas dari yang diperlukan. 9
Peng-kulturan debit purulen dapat menghasilkan diagnosis bakteri yang lebih
spesifik, dan terapi yang tepat dapat kemudian diimplementasikan. Terapi
analgesik diindikasikan sebagai tambahan terhadap pengobatan antibiotik dan
bedah. Hidrasi pasien diperlukan untuk memastikan pengiriman tepat terapi
antibiotik yang dipilih. Operasi Emergent diindikasikan jika ada permasalah dari
kompromi napas atau dekompensasi pasien.9

Perawatan pada abses periapikal yaitu :


1. Perio (Insisi dan drainase)
Menurut Nasution (2003), tahapan prosedur insisi pada penatalaksanaan
abses adalah sebagai berikut :
1. Aplikasi larutan antiseptik sebelum insisi.
2. Anestesi dilakukan pada daerah sekitar drainase abses yang akan
dilakukan dengan anestesi infiltrasi.
3. Untuk mencegah penyebaran mikroba ke jaringan sekitarnya maka
direncanakan insisi :
a. Menghindari duktus (Wharton, Stensen) dan pembuluh darah
besar.
b. Drainase yang cukup, maka insisi dilakukan pada bagian
superfisial pada titik terendah akumulasi untuk menghindari
sakit dan pengeluaran pus sesuai gravitasi.
c. Jika memungkinkan insisi dilakukan pada daerah yang baik
secara estetik, jika memungkinkan dilakukan secara intraoral.
d. Insisi dan drainase abses harus dilakukan pada saat yang tepat,
saat fluktuasi positif.
4. Drainase abses diawali dengan hemostat dimasukkan ke dalam
rongga abses dengan ujung tertutup, lakukan eksplorasi kemudian
dikeluarkan dengan ujung terbuka. Bersamaan dengan eksplorasi,
dilakukan pijatan lunak untuk mempermudah pengeluaran pus.

16
5. Penempatan drain karet di dalam rongga abses dan difiksasi dengan
jahitan pada salah satu tepi insisi untuk menjaga insisi menutup dan
kasa tidak terlepas.
6. Peresepan antibiotik (perawatan pendukung); peresepan antibiotik
penisilin atau erythromycin serta obat analgesik (kombinasi
narkotik/nonnarkotik). Dapat ditambah dengan kumur larutan saline
(1 sendok teh garam + 1 gelas air) yang dikumurkan setiap setelah
makan.
7. Pencabutan gigi penyebab secepatnya. 13

2. Endo (Perawatan Saluran Akar)


Perawatan endo pada abses periapikalis bertujuan untuk mengeliminasi
secara menyeluruh mikroorganisme yang terlibat. Beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa instrumentasi dan irigasi dapat mengurangi
sejumlah mikroorganisme dengan dukungan bahan dressing yang baik.
Bahan dressing yang diindikasian adalah sodium hipoklorit. 13

3. Ekstraksi gigi
Indikasi apabila mobilitas lebih dari 1mm, Keterlibatan furkasi kelas 2-
3, probing lebih dari 8 mm dan kehilangan tulang alveolar lebih dari
40%. 13

17
2.11 Komplikasi
1. Periostitis
Perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi, karena sesuai
perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak
menuju ke arah tepian tulang atau lapisan tulang terluar yang kita kenal
dengan sebutan korteks tulang. Tulang yang dalam kondisi hidup dan
normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi dengan baik
guna menutrisi tulang dari luar, yang disebut periosteum. Karena memiliki
vaskularisasi yang baik ini, maka respon keradangan juga terjadi ketika pus
mulai mencapai korteks, dan melakukan eksudasinya dengan melepas
komponen keradangan dan sel plasma ke rongga subperiosteal (antara
korteks dan periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus yang
kandungannya berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa ini cenderung
menimbulkan rasa sakit, terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul
pembengkakan, peristiwa ini disebut periostitis/serous periostitis. Adanya
tambahan istilah “serous” disebabkan karena konsistensi eksudat yang
dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih 70%
plasma, dan tidak kental seperti pus karena memang belum ada keterlibatan
pus di rongga tersebut. Periostitis dapat berlangsung selama 2-3 hari,
tergantung keadaan host.

2. Abses subperiosteal
Abses subperiosteal terjadi di sela-sela antara korteks tulang dengan
lapisan periosteum, bedanya adalah di kondisi ini sudah terdapat
keterlibatan pus, pus sudah berhasil menembus korteks dan memasuki
rongga subperiosteal, karenanya nama abses yang tadinya disebut abses
periapikal, berubah terminologi menjadi abses subperiosteal. Karena lapisan
periosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam beberapa jam saja akan
mudah tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang sangat
berbeda dengan peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya lebih
serous.

18
3. Fascial abscess
Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang
tadi, maka dengan bebasnya, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial
space terdekat, karena telah mencapai area jaringan lunak. Apabila infeksi
telah meluas mengenai fascial spaces, maka dapat terjadi fascial abscess.
Fascial spaces adalah ruangan potensial yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh
lapisan jaringan ikat

2.12 Prognosis
Perawatan abses periapikal akan baik, tergantung pada tingkat keterlibatan
lokal dan jumlah kerusakan jaringan. Meskipun parah umumnya mereda bila
dilakukan drainase yang baik dan tepat.

19
BAB III
KESIMPULAN

Abses periapikal umumnya berasal dari nekrosis jaringan


pulpa.Jaringan yang terinfeksi menyebabkan sebagian sel mati dan hancur,
meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel
darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi,
bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah memfagosit bakteri, sel darah
putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah yang
mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan nanah ini maka jaringan
sekitarnya akan terdorong dan menjadi dinding pembatas abses. Hal ini
merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi
lebih lanjut.Jika suatu abses pecah di dalam maka infeksi bisa menyebar
tergantung kepada lokasi abses. Ketika infeksi mencapai akar gigi, jalur
patofisiologi proses infeksi ini dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi bakteri,
ketahanan host, dan anatomi jaringan yang terlibat.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Oliet, S. & Pollock,S. : Bull. Phila. Dent. Soc., 34:12, 1968 dalam
Grossman, L.I., Oliet, S. & Del Rio, C.E. 1988. Endodontic Practice. 11 th
ed. Philadelphia :Lea & Febiger.
2. Neville, B. W., Damm, D. D., Allen, C. M., Bouquot, J. E. 2002. Oral &
Maxillofacial Pathology, 2nd ed. USA: W. B. Saunders Company.
3. Hargreaves, K.M and Stephen, C. 2011. Cohen’s pathways of the pulp.
10ed. Mosby Elsevier, China. P : 37, 540, 564 & 576.
4. Ingle JI, Bakland LK. Endodontics. 5th ed. Canada: B.C. Decker, Inc;
2002. p. 179- 186.
5. Rahmadhan AG. 2010. Serba – Serbi Kesehatan Gigi & Mulut. Jakarta :
Bukune.
6. Regezi JA, Scuiba J. 2003. Oral Pathology. 2nd ed. Philadelphia : WB.
Saunders
7. Matthews,D.C.Sutherland,S,Basrani,13.2003. Emergency Managament of
Acute Apical Abcesses in the Permanent Dentition:A Systematic Review of
the Literature. J Can Dental Assicitation;69(10):660
8. Sitanggang, Ima.RH. 2002. Abses Periapikal Sebagai Penyebab
Terjadinya Osteomyelitis Supuratif Akut. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatra Utara, Medan.
9. Buttaro TM, Trybulski J, Bailey PP, and Cook JS. 2013. Primary Care: A
Collaborative Practice. USA: Elseiver Mosby. pp.385-386.
10. Saunders WB; Regezi JA; Sciubba JJ; Jordan R. 2003. Oral Pathology,
clinical pathological correlations fifth Edision.
11. Oliet, S. & Pollock,S. : Bull. Phila. Dent. Soc., 34:12, 1968 dalam
Grossman, L.I., Oliet, S. & Del Rio, C.E. 1988. Endodontic Practice. 11 th
ed. Philadelphia :Lea & Febiger
12. King C and Henretig FM, 2008. Textbook of Pediatric Emergency
Procedures. USA: Lippincott Williams & wilkins. 2nd. pp. 659-660
13. Nasution, NA. 2003. Perawatan Pulpa Gigi Sulung Disertai Abses Dento
Alveolar. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Meda,

21

Anda mungkin juga menyukai