Anda di halaman 1dari 12

Bab I.

Membangun Bisnis

Bagian 1

Pengantar

Berita di surat kabar tentang keinginan Gubernur Soemarno


Sosroadmodjo membangun Jakarta dan meremajakan beberapa daerah,
terutama Pasar Senen, memicu adrenalin Ciputra. Ketika itu dia sudah
mengelola biro arsitek di Bandung bersama dua temannya. Dia tak puas
dengan pekerjaan di biro arsitek yang hanya menunggu order. Ciputra
ingin menjadi developer yang mengembangkan real estate. Ketika
mendapat kesempatan bertemu Soemarno, Ciputra segera menyampaikan
konsepnya untuk ikut membangun Jakarta.

Gagasan Ciputra untuk Proyek Senen adalah pusat perdagangan


modern yang terpadu. Maka pemukiman penduduk dan makam yang ada
di sana harus dipindahkan ke tempat lain. Pasar Senen kemudian
dibangun bertahap sesuai ketersediaan dana dan permintaan konsumen.
Setelah jadi, dia menjadi pasar yang dibanggakan warga Jakarta. Berkat
Pasar Senen pula Ciputra naik kelas dari konsultan arsitek menjadi seorang
pengembang.
Proyek Senen dan Lahirnya PT Pembangunan Jaya

Sepenggal kabar di majalah Star Weekly tahun 1961 itu memicu


adrenalin Ciputra. Dalam berita yang ditulis wartawan Harjoko Trisnadi
itu disebut rencana Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dr
Soemarno Sosroatmodjo membangun ibukota republik. Ketika itu Ciputra
masih tinggal di Bandung. Dia masih kuliah di Institut Teknologi Bandung
(ITB), tapi sudah berkeluarga dan mengelola biro arsitek PT Daya Cipta
bersama dua sahabatnya sesama mahasiswa di jurusan arsitektur ITB: Budi
Brasali dan Ismail Sofyan.

Kendati menangani cukup banyak proyek dan menghasilkan uang


tak sedikit, Ciputra tak puas dengan pekerjaan sebagai konsultan arsitek.
Sudah beberapa lama dia berbicara dengan Budi Brasali dan Ismail Sofyan
tentang hal itu. “Saya bilang, kita kok melulu menunggu proyek dari orang
lain? Saya nggak mau jadi pengemis. Kita harus jadi developer,” ujar
Ciputra. Kedua sahabat sekaligus rekan bisnisnya itu setuju. Ciputra lalu
memacu kuliahnya agar cepat selesai. Kedua sahabatnya mengikuti. Nilai
bagus atau buruk tak penting lagi. Pokoknya cepat lulus. Setelah diwisuda
pada 1961, “Saya lalu turun ke Jakarta mencari Gubernur Soemarno,” kata
Ciputra. Ismail Sofyan menambahkan bahwa sejak dulu Ciputra memang
seperti pemimpin di antara mereka bertiga. “Dia banyak ide dan pekerja
keras,” ujar Ismail Sofyan. “Buat saya, Pak Ci dan Pak Budi Brasali bukan
hanya teman, mereka seperti saudara.”

Di Jakarta, Ciputra tinggal sementara di rumah saudaranya di Jalan


Gunung Sahari V, Jakarta Pusat. Usahanya menemui Gubernur Soemarno
mulanya menemui jalan buntu. Sampai tiga bulan tinggal di Jakarta, dia
tak kunjung bisa berjumpa dengan sang gubernur. Tapi Ciputra tak kenal
putus asa. Titik terang muncul dari salah seorang saudaranya yang
mengenal Mayor Karles. “Mayor pensiunan ini pernah menjadi asisten Pak
Marno,” ujar Ciputra. Dialah pembuka jalan bagi Ciputra untuk bertemu
dengan Gubernur Soemarno. “Dia perkenalkan saya ke Pak Marno:
(Ciputra) famili dari kenalan saya. Dia sudah tamat arsitek dan ingin
membantu Bapak,” Ciputra menirukan ucapan Mayor Karles kepada
Gubernur Soemarno 57 tahun lalu.

Kesempatan emas bisa bertemu Gubernur Soemarno tak disia-siakan


oleh Ciputra. “Saya ‘jualan jamu’, menyampaikan keinginan dan konsep
untuk ikut serta membangun Jakarta,” katanya. Keinginan Ciputra
mendapat sambutan hangat dari Soemarno. Sang Gubernur
menyampaikan rencana membangun Jakarta dan meremajakan beberapa
daerah, terutama Pasar Senen yang merupakan gagasan Presiden Sukarno.
Soemarno ingin mengubah wajah Jakarta. Membangun kawasan yang
tadinya rawan, kumuh dan banyak sampah menjadi aman, sehat dan
bersih dengan partisipasi swasta. Peremajaan Pasar Senen menjadi
prioritas dan Ciputra diundang untuk menyampaikan konsepnya.

Ciputra segera bekerja. Menggunakan sepeda motor, dari rumah


saudaranya di Gunung Sahari, dia pergi ke Pasar Senen untuk melakukan
riset dan survei. Pasar Senen pada saat itu merupakan kawasan pusat
perdagangan yang berdenyut selama 24 jam tapi kumuh. Perpaduan
pemukiman dan pasar, serta banyak sampah. Di sana juga terdapat
pemakaman cina dan tempat keramat yang dikenal sebagai “Kramat
Ayam.” Para seniman sering berkumpul di sana, demikian pula para
pelacur. Dulu orang menamakan kawasan itu: Planet Senen.

Setelah melihat situasi Pasar Senen, Ciputra mulai menyusun


kerangka usulan proyek. Kemudian dia kembali ke Bandung untuk
membuat rencana teknis dan maket bersama dua temannya di PT Daya
Cipta. Bekerja tak kenal lelah, hanya dalam dua minggu mereka sudah
merampungkan studi kelayakan yang siap dipresentasikan kepada
Gubernur Soemarno. Lengkap dengan proyeksi keuangan yang baru
pertama kali itu dibuatnya, hasil menyontek dari proyek orang lain.

Konsep yang diajukan Ciputra adalah memisahkan pemukiman dari


pasar. Pasar Senen akan menjadi kompleks komersial 100 persen. Konsep
ini mensyaratkan masyarakat yang tinggal di sana untuk dipindahkan.
Bangunan yang ada termasuk kuburan juga harus digusur. Konsep ini
diterima oleh Gubernur Soemarno. Sang gubernur meminta Ciputra
menyampaikan juga konsep itu kepada Presiden Sukarno. Seingat Ciputra,
Bung Karno hanya manggut-manggut dan mengajukan dua pertanyaan
saat mendengar presentasinya. Pertama, tentang sampah selama
pengerjaan proyek, akan dibuang ke mana? Kedua, bagaimana cara
membangun proyek sebesar itu? (Tantangan Jadi Peluang, Bondan Winarno,
1987).

Ciputra menjelakan bahwa sampah akan dikumpulkan di satu


tempat dan kemudian diangkut oleh Dinas Kebersihan. Tentang cara
membangun, Ciputra menjawab bahwa proyek itu akan dikerjakan secara
bertahap. Bersamaan dengan pembebasan tanah, dibangun toko-toko
sementara di daerah Kramat Sentiong yang lokasinya tidak jauh dari Pasar
Senen. Pembangunan Pasar Senen sendiri akan dilakukan secara bertahap,
blok demi blok. Presiden Sukarno puas dengan jawaban Ciputra dan
menyetujui serta memerintahkan agar proyek itu segera dilaksanakan.

Kendati sudah disetujui presiden, peremajaan Pasar Senen --yang


dalam konsep awal luasnya mencapai 16 hektare-- tak bisa langsung
dikerjakan karena terbentur masalah biaya. Gubernur Soemarno
menyadari bahwa pemerintah DKI Jakarta hanya punya wewenang, tapi
tak punya uang untuk mengerjakan proyek itu. Hal itu mendorongnya
mengajak pihak swasta untuk membantu pembangunan Pasar Senen. Dia
berbicara dengan Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI) 1946 Jusuf
Muda Dalam, Direktur Utama Bank Dagang Negara (BDN) Jan Daniel
Massie, dan Direktur Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Soetjipto
Surjo Amidharmo. Kepala Bagian Hukum Bank Negara Indonesia 1946
Rantun Albert Benjamin Massie membantu persiapan hukum usaha ini.
Presiden Sukarno juga merekomendasikan dua pengusaha nasional untuk
membantu yaitu HMNM Hasjim Ning yang dikenal sebagai importir mobil
dan Agus Musin Dasaad dari Dasaad Musin Concern (Senen, “The First
Urban Renewal” In Indonesia, Endang Pitaloka Et.al, tanpa tahun).

Mereka semua bersedia membantu tapi mengajukan syarat agar


usaha itu dilakukan secara swasta. Alasannya, perusahaan negara terikat
oleh begitu banyak birokrasi sehingga akan lamban bekerja. Selain itu
perusahaan negara tidak terlalu berani menyerempet bahaya karena harus
mempertanggungjawabkan administrasinya kepada auditor negara.
Gubernur Soemarno tak keberatan dengan syarat itu. Maka pada 3
September 1961 didirikanlah PT Pembangunan Ibukota Jakarta Raya yang
kemudian dikenal sebagai PT Pembangunan Jaya. Para pendiri
menyetorkan dana sebagai modal kerja sebesar Rp 10 juta (uang saat itu --
Red). Selain itu ada dana pinjaman dari PT Taspen. Komposisi kepemilikan
saham pihak swasta sebanyak 75 persen dan Pemerintah DKI Jakarta 25
persen. Ciputra sendiri saat itu hanya mendapat 3 persen saham yang
kemudian dibaginya masing-masing 1 persen untuk Budi Brasali dan
Ismail Sofyan. “Itu janji saya kepada mereka,” ujarnya. “Janji harus
ditepati, itu bagian dari integritas.”

Kelak pembagian saham ini menuai masalah karena terbitnya


Undang-Undang Nomor 5 tahun 1962 yang tak membolehkan pemerintah
ikut memiliki saham dalam bisnis swasta. Gubernur Soemarno yang sejak
semula memang menghendaki PT Pembangunan Jaya bergerak sebagai
usaha swasta, memutuskan melepas kepemilikan saham 25 persen itu.
Apalagi Pemerintah DKI Jakarta memang tak pernah menyetor modal ke
perusahaan. PT Pembangunan Jaya yang seratus persen swasta itu
kemudian dicatatkan lewat akte notaris dan disahkan oleh Menteri
Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan Perundang-undangan –red).
Tapi rapat umum pemegang saham yang kemudian diadakan
memutuskan memberi opsi sejumlah saham --jumlahnya ketika itu belum
ditetapkan -- kepada Pemerintah DKI Jakarta sebagai pengakuan atas
inisiatif dan dukungan kepada PT Pembangunan Jaya. Rapat juga
memutuskan bahwa komisaris utama perusahaan dijabat secara ex-officio
oleh Gubernur DKI Jakarta. Diputuskan pula bahwa sampai peraturan
membolehkan, Pemerintah DKI Jakarta memperoleh segala hak sebagai
pemegang saham.

Di perusahaan baru itu Hasjim Ning ditunjuk menjadi presiden


direktur, Ciputra menjadi direktur teknis, dan Rantun Albert Benjamin
Massie sebagai direktur umum. Tapi Ciputra, ketika itu usianya baru 30
tahun, menjadi satu-satunya direktur yang bekerja penuh karena dua
direktur lain punya kesibukan sendiri. Kantor pertama mereka adalah
sebuah ruangan kecil di Balaikota DKI Jakarta yang hawanya panas karena
tak dilengkapi kipas angin dan bising karena dekat dengan jalan tempat
mobil lalu-lalang.

Lantaran khawatir modal awal habis tergerus inflasi yang tinggi dan
ada kewajiban membayar bunga pinjaman dari PT Taspen, Ciputra
memutar otak untuk memanfaatkan uang yang ada. PT Pembangunan Jaya
memutuskan membangun perumahan sebanyak 26 kavling berukuran 50 x
75 meter di daerah Slipi. Pembelinya sejumlah bank seperti BNI, BRI, Bank
Bumi Daya dan Bapindo. “Saya yang membangun perumahan itu,
kemudian bagian marketing menjual ke bank-bank,” ujar Hiskak
Secakusuma, insinyur sipil lulusan ITB yang bergabung ke PT
Pembangunan Jaya pada awal 1963. Perumahan itu dikenal sebagai proyek
real estate pertama yang dibangun oleh swasta di Indonesia. Sampai
sekarang deretan rumah itu masih terlihat di tepi Jalan Mayjen S Parman,
Slipi. “Tapi waktu itu nama Jalan Mayjen S. Parman belum ada dan
jalannya pun belum jadi,” ujar Soekrisman, arsitek lulusan Australia yang
masuk PT Pembangunan Jaya pada 1965.
Hasil penjualan rumah di Slipi kemudian dipakai untuk membiayai
pembebasan lahan Proyek Senen. Ciputra mempercayakan kegiatan
pembebasan lahan itu kepada Soekrisman. Pekerjaan ini tak mudah. Boleh
dibilang inilah penggusuran pertama dalam sejarah Indonesia modern.
Soekrisman memulai dengan mendata kepemilikan rumah tinggal dan
toko. Pedagang dan penduduk harus dipindahkan ke Kramat Sentiong dan
Johar Baru yang letaknya tak jauh dari Senen. Sedangkan sekitar 30 ribu
makam cina dipindahkan ke daerah Jelambar. Ketika buldoser mengeruk
kuburan cina, banyak penduduk berdatangan untuk mengambil perhiasan
yang, sesuai tradisi Cina, dulu ikut ditanam di makam itu. “Mereka
rayahan (rebutan –red),” ujar Soekrisman. “Gubernur Soemarno
mengadakan acara doa minta izin arwah untuk memindahkan makam,”
kata Hiskak Secakusuma yang akrab disapa Seca.

PT Pembangunan Jaya bahkan membeli sekitar 10 hektare lahan di


Cempaka Putih untuk menampung pelaku industri rumahan yang semula
berlokasi di Gang Jagal, Senen. “Di situ dulu ada bengkel las, bengkel
mobil dan pabrik-pabrik kecil,” kata Soekrisman. “Saya juga ikut
mengurusi pemindahan pelacur yang tadinya mangkal di rumah-rumah
bordil di Gang Cap Go Keng dan Gang Wangseng di belakang Pasar
Senen,” Soekrisman menambahkan. Tak hanya mengurus warga yang
digusur, dia juga harus berunding dengan anggota DPRD. “Ketika itu
masih ada anggota dari Partai Komunis, saya bicara juga dengan mereka,”
ujarnya.

Lantaran Proyek Senen merupakan program Pemerintah DKI Jakarta,


maka pemerintah ikut bertanggungjawab saat pembebasan lahan dan
pembangunan gedung. Situasi saat itu di Senen sudah banyak preman dan
pungutan liar. Maka Ciputra berinisiatif memasang pengumuman dengan
tulisan besar bahwa Pasar Senen adalah “Proyek Vital Negara.”
Pengumuman itu efektif mencegah pembangunan fisik di sana terhindar
dari pungutan liar preman dan pihak-pihak lain. “Pengumuman itu
dipasang di lokasi proyek dan truk-truk yang mengangkut pasir dan
kayu,” kata Soekrisman sambil tertawa mengenang masa itu.

Proses penggusuran penduduk ternyata membekas dalam di hati


Ciputra. Suatu ketika, dia mengunjungi daerah yang sedang dibebaskan
dan melihat seorang perempuan gila. Dia tertegun ketika diberi tahu
bahwa perempuan itu menjadi gila karena penggusuran yang
menimpanya. Namun, setelah diteliti, proses penggusuran yang dialami
perempuan itu tak berbeda dengan yang lain. “Saya tak bisa menolong ibu
itu. Kalau dia saya perlakukan khusus maka saya tak adil pada yang lain,”
ujarnya. (Tantangan Jadi Peluang, Bondan Winarno, 1987).

Beban Ciputra terasa berat karena harus menanggung sendiri segala


persoalan yang terjadi di Proyek Senen. Direktur Utama Hasjim Ning
jarang ke kantor. Dia lebih banyak menangani bisnisnya sendiri dan
bepergian ke luar negeri mengurusi proyek mandataris dari Presiden
Sukarno. Demikian pula dengan Direktur Umum Rantun Albert Benjamin
Massie. Kalaupun ke kantor, Hasjim Ning menimbulkan ketegangan
karena sikapnya yang keras. Suatu ketika hal itu memicu perdebatan
antara sang direktur utama dengan direktur teknis. “Dia tidak tahu tentang
properti tapi bicaranya mau mendominasi terus,” kata Ciputra. “Saya adu
argumen dengan dia. Dia gebuk meja, berdiri dan berteriak, ‘kamu anak
kemarin merasa lebih pintar dari saya ya?!’”. Namun dalam biografinya
Pasang Surut Pengusaha Pejuang, Hasjim Ning memuji Ciputra sebagai,
“(Pengusaha) nonpribumi yang semangat nasionalisme Indonesianya lebih
daripada banyak bangsaku sendiri. Aku sering lupa bahwa Ir Ciputra
adalah tokoh nonpribumi karena sikap hidup dan pandangan
nasionalismenya”.

Kutipan:
“Dia tidak tahu tentang properti tapi bicaranya mau mendominasi terus.
Saya adu argumen dengan dia. Dia gebuk meja, berdiri dan berteriak,
’kamu anak kemarin merasa lebih pintar dari saya ya?!’”

Situasi panas itu kemudian memicu desakan dari para pemegang


saham agar Ciputra yang lebih menguasai persoalan proyek ditunjuk
menjadi direktur utama. Sedangkan Hasjim Ning diangkat menjadi
komisaris. Pergantian direktur utama ini terjadi pada 1966. Waktu itu usia
Ciputra 35 tahun. Tapi, dalam Tantangan Jadi Peluang, Hasjim Ning
mengatakan menyerahkan tongkat kepemimpinan ke tangan Ciputra
karena ia makin sering diutus ke luar negeri untuk mengurusi proyek
mandataris.

Pengalaman membangun real estate di Slipi yang menggunakan


kontraktor dari luar, bermanfaat saat mulai membangun Proyek Senen
pada 1966. Sebelumnya proyek sempat jeda karena meletusnya Gerakan 30
September 1965. “Kami waktu itu nggak punya organisasi kontraktor.
Kami pengalaman sebagai pengawas,” kata Hiskak Secakusuma.
Perencanaan proyek dibantu oleh PT Daya Cipta yang sudah berubah
nama menjadi PT Perencana Jaya dan kantornya pindah dari Bandung ke
Jakarta. “Kami juga membentuk tim desainer sendiri. Saat itu mulailah
para arsitek bergabung di PT Pembangunan Jaya,” ujar Seca.

Pembangunan Proyek Senen kembali lancar setelah Ali Sadikin


menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Soemarno. Bang Ali yang
getol dengan pembangunan segera mendorong pengerjaan Proyek Senen
yang sempat lesu akibat meletusnya peristiwa G-30-S. Berkat dorongan
Bang Ali, Blok I yang berupa gedung 4 lantai seluas 28.551 meter persegi,
selesai dibangun dan diresmikan pembukaannya pada 1966. Pusat
Perdagangan Senen Blok I yang mentereng dan trendi untuk ukuran saat
itu segera menjadi kebanggaan warga Jakarta. “Kas perusahaan juga mulai
gemuk dari hasil penjualan toko,” kata Soekrisman.
Sejak awal Ciputra memang menyadari lokasi Pasar Senen cocok
untuk berbisnis. Setelah pasar selesai dibangun, dia tak perlu melakukan
promosi gencar berbiaya besar. Para pedagang dengan sendirinya datang
membeli toko dan konsumen berduyun-duyun berbelanja. Hasil penjualan
toko-toko di Blok I kemudian digunakan untuk membangun Blok II. Tiang-
tiang pancang Blok II mulai ditancapkan pada 1967. Kemudian setelah itu
barulah Blok III direncanakan akan dibangun. Namun, Gubernur Ali
Sadikin ingin pembangunan Blok III dilakukan pada saat bersamaan
dengan Blok II. PT Pembangunan Jaya tak punya cukup dana untuk
melakukannya. Lagipula permintaan pasar waktu itu dianggap belum
cukup untuk membangun Blok III.

Kemauan besar Bang Ali tak bisa dibendung. Akhirnya pemerintah


DKI Jakarta mengambilalih pembangunan Blok III. Kebetulan blok itu
berisi pasar sehingga pembangunan dan pengelolaannya dilakukan oleh
PD Pasar Jaya, perusahaan daerah yang mengurusi pasar-pasar milik
pemerintah di Jakarta.

Adapun, setelah menyelesaikan pembangunan Blok II, PT


Pembangunan Jaya kemudian membangun Blok IV yang terletak di bagian
timur Jalan Pasar Senen. Di bagian ini, Bang Ali kembali mengintervensi
dengan ide bahwa di sana juga perlu dibangun Pasar Inpres. ”Pasar Inpres
tidak selalu harus ada di daerah pinggiran,” ujarnya. (Tantangan Jadi
Peluang, Bondan Wirnarno, 1987). PT Pembangunan Jaya kemudian
berkoordinasi dengan PD Pasar Jaya, yang sesuai bidang tugasnya,
membangun bagian yang terletak di sisi Terminal Bus Senen itu.

Rampungnya Blok IV berikut Pasar Inpres belum bisa membuat


Ciputra dan kawan-kawan di PT Pembangunan Jaya bernapas lega.
Pemerintah DKI Jakarta menagih untuk mulai mengerjakan Proyek Senen
bagian barat yang dikenal dengan Segi Tiga Senen. Wilayah itu sejak 1961
memang tercakup dalam program pemerintah DKI Jakarta untuk
diremajakan. Delta yang terletak antara Jalan Senen Raya dan Jalan Pasar
Senen itu rencananya akan diubah dari rumah dan toko menjadi rumah
susun hunian, pertokoan dan perkantoran.

Pemerintah DKI Jakarta makin mendesak pengerjaan Segi Tiga Senen


karena akan membangun jalan layang Senen-Kramat Raya. Rencananya
pengerjaan jalan layang dan peremajaan Segi Tiga Senen akan dilakukan
secara bersamaan. Di kawasan seluas 6,7 hektare itu, menurut riset PT
Pembangunan Jaya, terdapat 361 bangunan tempat tinggal dan 209
bangunan perkantoran, pertokoan, industri rumah tangga dan
pergudangan. Namun, Ciputra akhirnya memutuskan mundur dari
pengerjaan Segi Tiga Senen. Dia beralasan tak sanggup lagi melakukan
penggusuran. “Lagi pula biayanya pada saat itu sudah sangat besar,”
ujarnya. Soekrisman menambahkan bahwa PT Pembangunan Jaya angkat
tangan karena sulit menghadapi menghadapi penghuni kawasan Segi Tiga
Senen. “Orang Senen kan kuat-kuat,” katanya.

Kutipan:

“Sebelumnya saya cuma konsultan. Di Proyek Senen saya jadi


developer. Konsultan itu proyek sudah diciptakan orang lain, kita
menunggu untuk mengerjakan. Kalau developer, kita yang menciptakan
proyek. Itu beda sekali.”

Peremajaan Segi Tiga Senen akhirnya dikerjakan oleh pengusaha


Sofyan Wanandi dan Kaharudin Ongko. Di sana mereka membangun mal,
hotel dan pertokoan. PT Pembangunan Jaya hanya menyisakan kenangan
rencana proyek dan gambar Segi Tiga Senen yang masih tersimpan rapi di
kantor Bintaro. Proyek Senen bertahan melintasi berbagai cobaan zaman
termasuk pembakaran saat pecahnya peristiwa Malari (Malapetaka 15
Januari 1974) dan kerusuhan Mei 1998. Namun secara keseluruhan, Proyek
Senen sangat memuaskan dan membanggakan Ciputra, serta menjadi
tonggak awal mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pengembang.
“Sebelumnya saya cuma konsultan. Di Proyek Senen saya jadi developer.
Konsultan itu proyek sudah diciptakan orang lain, kita menunggu untuk
mengerjakan. Kalau developer, kita yang menciptakan proyek. Itu beda
sekali,” ujar Ciputra.

*****

Anda mungkin juga menyukai