Anda di halaman 1dari 7

http://www.indesignlive.co.

id/articles/achmad-noeman
https://arsiteknews.wordpress.com/2013/08/25/achmad-noeman/
.

Frederich Silaban

Biograf

Ars. Frederich Silaban (lahir di Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912


meninggal di Jakarta, 14 Mei 1984 pada umur 71 tahun) adalah seorang
opzichter/arsitek generasi awal di negeri Indonesia. Dia merupakan seorang arsitek
otodidak. Pendidikan formalnya hanya setingkat STM (Sekolah Teknik Menengah)
namun ketekunannya membuahkan beberapa kemenangan sayembara
perancangan arsitektur, sehingga dunia profesipun mengakuinya sebagai arsitek.
Dan seiring perjalanan waktu, ia terkenal dengan berbagai karya besarnya di dunia
arsitektur dan rancang bangun dimana beberapa hasil karyanya menjadi simbol
kebanggaan bagi daerah tersebut.

Frederich Silaban telah menerima anugerah Tanda Kehormatan Bintang Jasa Sipil
berupa Bintang Jasa Utama dari pemerintah atas prestasinya dalam merancang
pembangunan Mesjid Istiqlal.

Frederich Silaban juga merupakan salah satu penandatangan Konsepsi Kebudayaan


yang dimuat di Lentera dan lembaran kebudayaan harian Bintang Timur mulai
tanggal 16 Maret 1962 yakni sebuah konsepsi kebudayaan untuk mendukung upaya
pemerintah untuk memajukan kebudayaan nasional termasuk musik yang
diprakarsai oleh Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat, onderbouw Partai Komunis
Indonesia) dan didukung oleh Lembaga Kebudayaan Nasional (onderbouw Partai
Nasional Indonesia) dan Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi) milik Pesindo.

Pembentukan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)

Selain itu, Frederich Silaban juga berperan besar dalam pembentukan Ikatan
Arsitek Indonesia (IAI). Pada April 1959, Ir. Soehartono Soesilo yang mewakili biro

arsitektur PT Budaya dan Ars. F. Silaban merasa tidak puas atas hasil yang dicapai
pada Konperensi Nasional di Jakarta, yakni pembentukan Gabungan Perusahaan
Perencanaan dan Pelaksanaan Nasional (GAPERNAS) dimana keduanya berpendapat
bahwa kedudukan "perencana dan perancangan" tidaklah sama dan tidak juga
setara dengan "pelaksana". Mereka berpendapat pekerjaan perencanaanperancangan berada di dalam lingkup kegiatan profesional (konsultan), yang
mencakupi tanggung jawab moral dan kehormatan perorangan yang terlibat, karena
itu tidak semata-mata berorientasi sebagai usaha yang mengejar laba (proft
oriented). Sebaliknya pekerjaan pelaksanaan (kontraktor) cenderung bersifat bisnis
komersial, yang keberhasilannya diukur dengan besarnya laba dan tanggung
jawabnya secara yuridis/formal bersifat kelembagaan atau badan hukum, bukan
perorangan serta terbatas pada sisi fnansial. Akhir kerja keras dua pelopor ini
bermuara pada pertemuan besar pertama para arsitek dua generasi di Bandung
pada tanggal 16 dan 17 September 1959. pertemuan ini dihadiri 21 orang, tiga
orang arsitek senior, yaitu: Ars. Frederich Silaban, Ars. Mohammad Soesilo, Ars. Lim
Bwan Tjie dan 18 orang arsitek muda lulusan pertama Jurusan Arsitektur Institut
Teknologi Bandung tahun 1958 dan 1959. Dalam pertemuan tersebut dirumuskan
tujuan, cita-cita, konsep Anggaran Dasar dan dasar-dasar pendirian persatuan
arsitek murni, sebagai yang tertuang dalam dokumen pendiriannya, Menuju dunia
Arsitektur Indonesia yang sehat. Pada malam yang bersejarah itu resmi berdiri
satu-satunya lembaga tertinggi dalam dunia arsitektur profesional Indonesia
dengan nama Ikatan Arsitek Indonesia disingkat IAI.

Kisah dengan Bung Karno & Pembangunan GBK

GBK dibangun dua tahun menjelang Asian Games IV 1962. Jakarta. Soekarno,
seperti dikutip Harian Merdeka, 1 Maret 1962, menganggap Asian Games sebagai
usaha perjuangan 'nation building'. Yakni meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia
sebagai suatu bangsa yang bahagia dan terhormat di dunia.

Disebutkan kalau sejak tahun 1950-an Soekarno memang punya mimpi untuk
membangun stadion sepakbola terbesar di dunia. Tapi bukan sembarang stadion
yang dia mau. Salah satu syarat yang diminta adalah stadion tersebut memiliki atap
temu gelang (berbentuk melingkar mengelilingi stadion dan bertemu di kedua
ujungnya), pekerjaan arsitektur semacam itu dianggap sesuatu yang nyaris
mustahil di periode tersebut.

Arsitek kelahiran Sumatera Utara bernama Friedrich Silaban akhirnya bisa


mewujudkan mimpi Soekarno.

Arsitektur yang satu ini memang seorang yang selalu kuat mempertahankan apa
yang sudah diyakininya benar. Sifatnya yang demikian, telah juga menggoreskan
kenangan manis dalam perjalanan hidupnya. Sifat pendirian yang konsisten itu
telah membuat hubungannya dengan Bung Karno, Presiden Republik Indonesia
pertama, menjadi agak menarik dan unik. Cerita dimaksud diungkapkannya pada
Solichin Salam dalam satu wawancara pada bulan Pebruari 1978.

Secara jujur dikatakannya, bahwa arsitekturlah yang membuat hubungannya


dengan Bung Karno menjadi unik. Menurutnya, selama 24 tahun dia sering
berselisih pendapat dengan Bung Karno. Namun dalam perselisihan pendapat itu,
katanya, tidak jarang Bung Karno mengakui terus terang bahwa beliau yang salah
dan Silabanlah yang benar.

Bagi Anak kelima dari Jonas Silaban (ayah) dan Noria boru Simamora (ibu), ini
pengalaman-pengalaman dengan Presiden Soekarno itu menjadi kenangannya
sampai mati. Saya sudah bekerja 47 tahun terus menerus sampai sekarang, tetapi
belum pernah ada pemimpin yang mengaku salah pendapat terhadap saya, selain
dari Bung Karno. Contoh untuk ini saya sebutkan antara lain masalah kompleks
Bangunan Olah Raga (sebelumnya Asian Games-red) Senayan, kata Silaban saat
itu.

Karena adalah suatu kekeliruan untuk membuat suatu sport complex yang
berkaliber internasional atau dua bidang tanah yang terpisah oleh sebuah jalan raya
yang nanti akan menjadi jalan raya yang tersibuk di Asia Tenggara. Ditilik dari sudut
manajemen dan organisasi, ini akan menyulitkan secara terus menerus dan
berganda. Betul saya lihat di sini (gambar) direncanakan sebuah tunnel raksasa, di
bawah jalan Jenderal Sudirman, tetapi itu terlalu onna tuurijk.

Di samping itu tunnel demikian akan terus kebanjiran, sehingga membutuhkan


pompa raksasa untuk menjamin kekeringannya. Tenaga listrik untuk itu dan untuk
penerangan tunnel demikian besarnya, sehingga cukup untuk sebuah kota
menengah. Tetapi bukan itu saja keberatan saya. Keberatan terbesar adalah

masalah lalu-1intas. Duku Atas terlalu dekat kepada bundaran Jalan Thamrin seperti
tadi saya telah katakan, maka jalan Sudirman akan menjadi jalan raya tersibuk di
seluruh Asia Tenggara. Sukar dapat dibayangkan, betapa macetnya lalu lintas
apabila ada sport festivaldi Asian Games Complex itu katanya.

Suami dari Letty Kievits, ini lebih lanjut mengatakan, untuk menonton pertandingan
pada pukul 17.00 (sore), rakyat sudah harus berkumpul di Stadion sejak pukul 13.00
(siang) kalau tidak, mereka tidak akan kebagian tempat. Sementara kalau presiden
mau jalan, selalu didahului voorrijders dengan sirenenya, sehingga tidak pernah
mengalami apa yang harus dihadapi oleh rakyat.

Jadi kalau tokh Pemerintah mempertahankan Duku Atas sebagai tempat untuk
Asian Games itu, maka sudah dapat diramalkan bahwa lalu lintas pada hari-hari ada
acara sport di Asian Games Complex, di jalan itu akan macet total. Kalau Presiden
tokh mempertahankan tanah Duku Atas itu dengan rencana Rusia yang pada hari ini
saya lihat, maka saya khawatir, bahwa kelak anak-anak Guntur akan nyeletuk: Kok
kakek kami bodoh amat membuat kompleks stadion begitu, begitu kritik Silaban
dengan jujur kepada Bung Karno ketika itu.

Menurutnya, ketika itu Bung Karno berkomentar, Ya, Presiden Soekarno yang salah
dan Silaban yang benar. Itulah kenangan yang tak pernah dilupakannya sampai
akhir hidupnya.

Spoiler for Bung Karno dan Arsitek Silaban, Sering "Bertengkar" di Udara:

Hasil Karya:

Gedung Universitas Nommensen - Medan (1982)

Gelora Bung Karno - Jakarta (1962)

Rumah A Lie Hong - Bogor (1968)

Monumen Pembebasan Irian Barat - Jakarta (1963)

Markas TNI Angkatan Udara - Jakarta (1962)

Gedung Pola - Jakarta (1962)

Gedung BNI 1946 - Medan (1962)

Menara Bung Karno - Jakarta 1960-1965 (tidak terbangun)

Monumen Nasional / Tugu Monas - Jakarta (1960)

Gedung BNI 1946 - Jakarta (1960)

Gedung BLLD, Bank Indonesia, Jalan Kebon Sirih - Jakarta (1960)

Kantor Pusat Bank Indonesia, Jalan Thamrin - Jakarta (1958)

Rumah Pribadi Friderich Silaban - Bogor (1958)

Masjid Istiqlal - Jakarta (1954)

Frederich Silaban memenangkan sayembara pembuatan gambar maket Masjid


dengan motto (sandi) "Ketuhanan" yang kemudian bertugas membuat desain
Istiqlal secara keseluruhan. Istiqlal ini juga merupakan masjid terbesar di Asia
Tenggara pada tahun 1970-an

Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat beragama
di Indonesia, baik yang Muslim, Nasrani maupun yang lainnya. Apabila satu
pemeluk agama tertentu suatu ketika membangun tempat ibadah, tidak jarang
kemudian dibantu oleh umat agama lain. Demikian halnya dalam pembangunan
Mesjid Agung Istiqlal. Mesjid yang di awal abad 21 merupakan mesjid terbesar di
Asia Tenggara itu, dalam proses pembangunannya telah menyimpan satu sejarah
toleransi beragama yang sangat tinggi.

Disebutkan demikian, karena sang arsitek dari mesjid tersebut adalah seorang
penganut Kristen Protestan yang taat. Tidak ada yang dibuat-buat sehingga menjadi
demikian, namun begitulah memang gambaran toleransi beragama antara umat di
negeri ini sejak dulu. Kebesaran jiwa dari umat Islam sangat jelas terlihat disini.
Mereka mau menerima pemikiran atau desain tempat ibadah mereka dari seorang
yang non muslim. Demikian juga dengan Friedrich Silaban, sang arsitek, telah
menunjukkan kebesaran jiwanya dengan terbukanya hati dan pikirannya untuk
mengerjakan mesjid yang sangat monumental tersebut.

Gedung Bentol - Jawa Barat (1954)

Gedung ini merupakan bagian dari Istana Kepresidenan Cipanas yang terletak di
jalur jalan raya puncak, Jawa Barat dan berlokasi tepat di belakang gedung induk
dan berdiri di dataran yang lebih dari bangunan-bangunan lain. Gedung yang sering
disebut sebagai tempat Soekarno mencari inspirasi dinamakan Gedung Bentol
karena seluruh dindingnya ditempel batu alam yang membuat kesan bentol-bentol.

Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata - Jakarta (1953)

Kampus Cibalagung, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP)/Sekolah

Pertanian Menengah Atas (SPMA) - Bogor (1953)

Sekolah pertanian ini telah melahirkan sejumlah tokoh kawakan di berbagai bidang.
Beberapa di antaranya bahkan pernah menjabat sebagai menteri. Padahal sekolah
yang kini berumur seabad ini sejatinya "kawah candradimuka" bagi penyuluh dan
teknisi di bidang pertanian.

Rumah Dinas Walikota - Bogor (1952)

Kantor Dinas Perikanan - Bogor (1951)

Tugu Khatulistiwa - Pontianak (1938)

Tugu ini dibangun pertama kali pada 1928 oleh seorang ahli geograf
berkebangsaan Belanda. Pada 1938 dibangun kembali dan disempurnakan oleh
Frederich Silaban. Pada 1990 dibangun duplikatnya dengan ukuran 5 kali lebih besar
untuk melindungi tugu khatulistiwa yang asli. Pembangunan yang terakhir
diresmikan pada 21 September 1991.

http://noraini22.blogspot.co.id/2015/08/biograf-dan-hasil-karya-frederich.html

Anda mungkin juga menyukai