Anda di halaman 1dari 17

Dia arsitek pengukir sejarah toleransi beragama di negeri ini.

Bung Karno
menjulukinya sebagai “by the grace of God” karena kemenangannya mengikuti
sayembara desain Mesjid Istiqlal. Friedrich Silaban, seorang penganut Kristen
Protestan yang taat kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912, wafat
dalam usia 72 tahun pada hari Senin, 14 Mei 1984 RSPAD Gatot Subroto Jakarta,
karena komplikasi beberapa penyakit yang dideritanya.

Friedrich Silaban, Arsitek Mesjid Istiqlal

Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat beragama di
Indonesia, baik yang Muslim, Nasrani maupun yang lainnya. Apabila satu pemeluk
agama tertentu suatu ketika membangun tempat ibadah, tidak jarang kemudian
dibantu oleh umat agama lain. Demikian halnya dalam pembangunan Mesjid Agung
Istiqlal. Mesjid yang di awal abad 21 merupakan mesjid terbesar di Asia Tenggara itu,
dalam proses pembangunannya telah menyimpan satu sejarah toleransi beragama
yang sangat tinggi.

Disebutkan demikian, karena sang arsitek dari mesjid tersebut adalah seorang
penganut Kristen Protestan yang taat. Tidak ada yang dibuat-buat sehingga menjadi
demikian, namun begitulah memang gambaran toleransi beragama antara umat di
negeri ini sejak dulu. Kebesaran jiwa dari umat Islam sangat jelas terlihat disini.
Mereka mau menerima pemikiran atau desain tempat ibadah mereka dari seorang
yang non muslim. Demikian juga dengan Friedrich Silaban, sang arsitek, telah
menunjukkan kebesaran jiwanya dengan terbukanya hati dan pikirannya untuk
mengerjakan mesjid yang sangat monumental tersebut.

Pekerjaan karya besar demikian, memang hanya mungkin dilakukan Silaban dengan
jiwa besarnya tadi. Sebab dengan perbedaan latar belakang kepercayaan tersebut,
maka ia harus terlebih dahulu mampu menjawab pertanyaan yang timbul dalam hati
nuraninya sendiri. Pertanyaan dimaksud adalah pantaskah ia sebagai seorang pemeluk
Agama Kristen Protestan membuat desain sebuah mesjid?

Sedangkan mesjid dalam hal ini bukanlah sekedar bangunan yang terdiri dari atap
genting, dengan dinding batu bata semata. Melainkan merupakan bangunan yang
disucikan sebagai tempat umat Islam beribadah dan melakukan kegiatan religius dan
sosial lainnya. Apalagi mesjid disini adalah Mesjid Agung Istiqlal (Istiqlal artinya
merdeka).

Mesjid yang diniatkan untuk melambangkan kejayaan dan kemerdekaan bangsa


Indonesia. Mesjid yang merupakan suatu bangunan monumental kebanggaan seluruh
umat Islam di Indonesia, dan akan tercatat sebagai mesjid terbesar di Asia Tenggara
dijamannya. Karenanya, bangunan ini akan ‘berbicara’ tidak hanya puluhan tahun tapi
sampai ratusan tahun kelak.

Pencetus ide pembangunan mesjid ini sendiri adalah KH Wahid Hasyim yang kala itu
menjabat sebagai Menteri Agama RI pertama. Selanjutnya, pada 1950 ayah KH
Abdurrahman Wahid (Presiden RI keempat) ini bersama-sama dengan H Agus Salim,
Anwar Tjokroaminoto, Ir Sofwan dan sekitar 200-an orang tokoh Islam pimpinan KH
Taufiqorrahman melembagakannya dengan membentuk Yayasan Mesjid Istiqlal.

Lembaga ini kemudian dikukuhkan di hadapan notaris Elisa Pondang pada tanggal 7
Desember 1954. Yayasan Mesjid Istiqlal mengharapkan adanya mesjid yang kelak
dapat menjadi identitas bagi mayoritas umat Islam di Indonesia. Gagasan dimaksud,
juga mendapat dukungan dari Ir. Soekarno, Presiden RI ketika itu. Bahkan, presiden
bersedia membantu pembangunan mesjid.

Demi mendapatkan hasil terbaik, desain mesjid sengaja diperlombakan. Untuk itu
dibentuklah tim juri yang beranggotakan Prof. Ir. Rooseno, Ir. H Djuanda, Prof. Ir.
Suwardi. Hamka, H. AbubakarAceh dan Oemar Husein Amin yang diketuai langsung
oleh Ir. Soekarno.

Setelah melalui beberapa kali pertemuan di Istana Negara dan Istana Bogor, maka
pada 5 Juli 1955 tim juri memutuskan desain kreasi Silaban yang berjudul
‘Ketuhanan’ jadi pemenangnya. Dia menciptakan karya besar untuk saudaranya
sebangsa yang beragama Islam, tanpa mengorbankan keyakinannya pada agama yang
dianutnya.

Sedangkan lokasinya diputuskan di Wilhelmina Park, bekas benteng kolonial


Belanda. Karena lokasi yang terletak di depan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat itu
tergolong sepi, gelap, dan tembok-tembok bekas bangunan benteng telah ditumbuhi
lumut dan ilalang menyemak di mana-mana, maka masyarakat, alim ulama sampai
ABRI turun bahu-membahu bekerja bakti membersihkan lokasi tersebut pada tahun
1960. Dan setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 24 Agustus 1961, pemancangan
batu pertamapun dilaksanakan oleh Ir. Soekarno.

Pembangunan mesjid ini memakan waktu kurang lebih sepuluh tahun. Panjangnya
waktu ini karena pembangunannya memang sempat tersendat oleh krisis ekonomi dan
iklim politik yang memanas. Disamping itu, kebetulan pula pembangunan mesjid ini
berbarengan dengan pembangunan monumen lainnya, seperti Gelora Senayan
(sekarang Gelora Bung Karno) dan Monas.

Bahkan meletusnya peristiwa pemberontakan G 30 S PKI pada 1965, mengakibatkan


pembangunannya sempat berhenti total. Dan baru dimulai kembali setelah Menteri
Agama KH. M. Dahlan mengupayakan penggalangan dana. Kepengurusanpun diganti
dan ditangani langsung oleh KH. Idham Chalid yang bertindak sebagai koordinator.

Mesjid dengan arsitektur bergaya modern yang memiliki luas bangunan sekitar empat
hektar dengan luas tanah mencapai sembilan setengah hektar dan terbagi atas
beberapa bagian, yakni gedung induk dan qubah, gedung pendahuluan dan emper
penghubung, teras raksasa dan emper keliling, menara, halaman, taman, air mancur,
serta ruang wudhu itu akhirnya terselesaikan juga. Penggunaannya kemudian
diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 22 Februari 1978.

Di Mesjid ini, beragam kegiatan diselenggarakan, diantaranya kuliah zuhur, taklim


magrib, pengajian kaum ibu, pengajian bulanan, bimbingan qiro atul Qur’an,
pengajian tinggi Istiqlal, pusat perpustakaan Islam Indonesia, TK Islam, dan lain-lain.

Pergulatan Hati Silaban.


Menjawab pertanyaan hati nuraninya mengenai pantas tidaknya dirinya membangun
sebuah mesjid, maka sebelum Silaban mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal
tersebut, ia minta nasehat dari Monsigneur Geisse, seorang uskup dari Bogor. Dan
terutama memohon petunjuk dari Tuhan Allahnya sendiri.

“Oh, Tuhan! Kalau di MataMu itu benar, saya sebagai pengikut Yesus turut dalam
sayembara pembuatan Mesjid Besar buat Indonesia di Jakarta. Tolonglah saya!
Tunjukkan semua jalan-jalannya dan ide-idenya, supaya saya sukses. Akan tetapi
Tuhan! kalau di MataMu itu tidak benar, tidak suka Tuhan saya turut maka
gagalkanlah semua usaha saya. Bikin saya sakit atau macam-macam hingga saya tak
dapat turut dalam sayembara”, begitu doa Silaban minta petunjuk Tuhan.

Ternyata Arsitek kelahiran Bonandolok (sebelah barat Danau Toba), Sumatera Utara,
16 Desember 1912 ini tidak mengalami hambatan apa-apa ketika hendak mengikuti
sayembara. Dengan demikian ia berkesimpulan bahwa Tuhan mengijinkannya, maka
iapun mengikuti. Begitulah akhirnya hingga ia dipilih sebagai pemenang pertama.

Desainnya yang menerapkan prinsip minimalis pada Mesjid Istiqlal tersebut serta
penataan ruangan-ruangannya yang terbuka di kiri-kanan bangunan utama dengan
tiang-tiang lebar diantaranya sehingga memudahkan sirkulasi udara dan penerangan
yang alami kedalamnya, membuat desain Silaban ini sangat cocok untuk mesjid yang
berdaya tampung 100.000-an tersebut.

Kisah dengan Bung Karno.


Arsitektur yang satu ini memang seorang yang selalu kuat mempertahankan apa yang
sudah diyakininya benar. Sifatnya yang demikian, telah juga menggoreskan kenangan
manis dalam perjalanan hidupnya. Sifat pendirian yang konsisten itu telah membuat
hubungannya dengan Bung Karno, Presiden Republik Indonesia pertama, menjadi
agak menarik dan unik. Cerita dimaksud diungkapkannya pada Solichin Salam dalam
satu wawancara pada bulan Pebruari 1978.
Secara jujur dikatakannya, bahwa arsitekturlah yang membuat hubungannya dengan
Bung Karno menjadi unik. Menurutnya, selama 24 tahun dia sering berselisih
pendapat dengan Bung Karno. Namun dalam perselisihan pendapat itu, katanya, tidak
jarang Bung Karno mengakui terus terang bahwa beliau yang salah dan Silabanlah
yang benar.

Bagi Anak kelima dari Jonas Silaban (ayah) dan Noria boru Simamora (ibu), ini
pengalaman-pengalaman dengan Presiden Soekarno itu menjadi kenangannya sampai
mati. “Saya sudah bekerja 47 tahun terus menerus sampai sekarang, tetapi belum
pernah ada pemimpin yang mengaku salah pendapat terhadap saya, selain dari Bung
Karno. Contoh untuk ini saya sebutkan antara lain masalah kompleks Bangunan Olah
Raga (sebelumnya Asian Games-red) Senayan”, kata Silaban saat itu.

“Karena adalah suatu kekeliruan untuk membuat suatu ‘sport complex’ yang
berkaliber internasional atau dua bidang tanah yang terpisah oleh sebuah jalan raya
yang nanti akan menjadi jalan raya yang tersibuk di Asia Tenggara. Ditilik dari sudut
manajemen dan organisasi, ini akan menyulitkan secara terus menerus dan berganda.
Betul saya lihat di sini (gambar) direncanakan sebuah tunnel raksasa, di bawah jalan
Jenderal Sudirman, tetapi itu terlalu ‘onna tuurijk’.

Di samping itu ‘tunnel’ demikian akan terus kebanjiran, sehingga membutuhkan


pompa raksasa untuk menjamin kekeringannya. Tenaga listrik untuk itu dan untuk
penerangan ‘tunnel’ demikian besarnya, sehingga cukup untuk sebuah kota menengah.
Tetapi bukan itu saja keberatan saya. Keberatan terbesar adalah masalah lalu-1intas.
Duku Atas terlalu dekat kepada bundaran Jalan Thamrin seperti tadi saya telah
katakan, maka jalan Sudirman akan menjadi jalan raya tersibuk di seluruh Asia
Tenggara. Sukar dapat dibayangkan, betapa macetnya lalu lintas apabila ada ‘sport
festival’di ‘Asian Games Complex’ itu” katanya.

Suami dari Letty Kievits, ini lebih lanjut mengatakan, untuk menonton pertandingan
pada pukul 17.00 (sore), rakyat sudah harus berkumpul di Stadion sejak pukul 13.00
(siang) kalau tidak, mereka tidak akan kebagian tempat. Sementara kalau presiden
mau jalan, selalu didahului ‘voorrijders’ dengan sirenenya, sehingga tidak pernah
mengalami apa yang harus dihadapi oleh rakyat.

“Jadi kalau tokh Pemerintah mempertahankan Duku Atas sebagai tempat untuk Asian
Games itu, maka sudah dapat diramalkan bahwa lalu lintas pada hari-hari ada acara
sport di Asian Games Complex, di jalan itu akan macet total. Kalau Presiden tokh
mempertahankan tanah Duku Atas itu dengan rencana Rusia yang pada hari ini saya
lihat, maka saya khawatir, bahwa kelak anak-anak Guntur akan nyeletuk: Kok kakek
kami bodoh amat membuat kompleks stadion begitu”, begitu kritik Silaban dengan
jujur kepada Bung Karno ketika itu.

Menurutnya, ketika itu Bung Karno berkomentar, “Ya, Presiden Soekarno yang salah
dan Silaban yang benar”. Itulah kenangan yang tak pernah dilupakannya sampai akhir
hidupnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan formal di H.I.S. Narumonda, Tapanuli tahun 1927,


Koningen Wilhelmina School (K.W.S.) di Jakarta pada tahun 1931, dan Academic van
Bouwkunst Amsterdam, Belanda pada tahun 1950, Ia kemudian bekerja menjadi
pegawai Kotapraja Batavia, Opster Zeni AD Belanda, Kepala Zenie di Pontianak
Kalimantan Barat (1937) dan sebagai Kepala DPU Kotapraja Bogor hingga 1965.

Di zaman kolonial, ayah dari 10 orang anak dan kakek 5 orang cucu, ini sudah
menunjukkan prestasi-prestasi yang gemi1ang, seperti misalnya ia berhasil
memenangkan sayembara perencanaan rumah Walikota Bogor (1935) dan beberapa
hotel. Dalam sayembara-sayembara tersebut, hanya dialah satu-satunya arsitek
pribumi. Karyanya dalam membuat monumen mengenang orang-orang Belanda yang
gugur melawan Nazi Jerman di masa Perang Dunia II, membuatnya mendapat pujian
dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu. Telah banyak karyanya yang sungguh
mengagumkan, diantaranya adalah Mesjid Istqlal, Monumen Nasional, Gelora
Senayan dan lain-lain.

Karya-karyanya itu jualah yang menobatkannya menjadi orang yang dianggap pantas
mendapat penghargaan-penghargaan, baik dari bangsanya sendiri maupun dari luar
bangsanya. Penghargaan dimaksud antara lain berupa tanda kehormatan Satya
Lencana Pembangunan yang disematkan oleh Presiden Sukarno pada tahun1962.
Penghargaan Honorary Citizen (warga negara kehormatan) dari New Orleans,
Amerika Serikat. Di samping itu Qubah Mesjid Istiqlal telah diakui Universitas
Darmstadt, Jerman Barat sebagai hak ciptanya, sehingga disebut sebagai “Si1aban
Dom”, atau qubah Si1aban.

Tokoh yang dijuluki Bung Karno sebagai “by the grace of God” karena
kemenangannya mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal, ini akhirnya tutup usia
di RSP AD Gatot Subroto Jakarta, pada hari Senin, 14 Mei 1984, karena komplikasi
beberapa penyakit yang dideritanya.

Ia pergi dengan hati bangga, karena hasil karya besarnya telah menjadi kenyataan.
Silaban yang sampai akhir hayatnya masih tetap menjabat sebagai Wakil Kepala
Proyek Pembangunan Mesjid Istiqlal Jakarta itu akan tercatat dalam sejarah Indonesia
sebagai arsitek dari Mesjid Istiqlal. Sebuah mesjid yang termegah di Asia Tenggara
pada jamannya.

Dia pergi setelah mengukir sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi dari karya sebuah
hasil seni atau teknologi. Tapi adalah sejarah kemanusiaan, kebersamaan, toleransi.
Namanya akan dikenang sepanjang zaman.
Biograf

Ars. Frederich Silaban (lahir di Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912 – meninggal di
Jakarta, 14 Mei 1984 pada umur 71 tahun) adalah seorang opzichter/arsitek generasi awal di negeri
Indonesia. Dia merupakan seorang arsitek otodidak. Pendidikan formalnya hanya setingkat STM
(Sekolah Teknik Menengah) namun ketekunannya membuahkan beberapa kemenangan sayembara
perancangan arsitektur, sehingga dunia profesipun mengakuinya sebagai arsitek. Dan seiring
perjalanan waktu, ia terkenal dengan berbagai karya besarnya di dunia arsitektur dan rancang bangun
dimana beberapa hasil karyanya menjadi simbol kebanggaan bagi daerah tersebut.
Frederich Silaban telah menerima anugerah Tanda Kehormatan Bintang Jasa Sipil berupa Bintang Jasa
Utama dari pemerintah atas prestasinya dalam merancang pembangunan Mesjid Istiqlal.
Frederich Silaban juga merupakan salah satu penandatangan Konsepsi Kebudayaan yang dimuat di
Lentera dan lembaran kebudayaan harian Bintang Timur mulai tanggal 16 Maret 1962 yakni sebuah
konsepsi kebudayaan untuk mendukung upaya pemerintah untuk memajukan kebudayaan nasional
termasuk musik yang diprakarsai oleh Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat, onderbouw Partai Komunis
Indonesia) dan didukung oleh Lembaga Kebudayaan Nasional (onderbouw Partai Nasional Indonesia)
dan Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi) milik Pesindo.
Pembentukan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)

Selain itu, Frederich Silaban juga berperan besar dalam pembentukan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).
Pada April 1959, Ir. Soehartono Soesilo yang mewakili biro arsitektur PT Budaya dan Ars. F. Silaban
merasa tidak puas atas hasil yang dicapai pada Konperensi Nasional di Jakarta, yakni pembentukan
Gabungan Perusahaan Perencanaan dan Pelaksanaan Nasional (GAPERNAS) dimana keduanya
berpendapat bahwa kedudukan "perencana dan perancangan" tidaklah sama dan tidak juga setara
dengan "pelaksana". Mereka berpendapat pekerjaan perencanaan-perancangan berada di dalam
lingkup kegiatan profesional (konsultan), yang mencakupi tanggung jawab moral dan kehormatan
perorangan yang terlibat, karena itu tidak semata-mata berorientasi sebagai usaha yang mengejar laba
(profit oriented). Sebaliknya pekerjaan pelaksanaan (kontraktor) cenderung bersifat bisnis komersial,
yang keberhasilannya diukur dengan besarnya laba dan tanggung jawabnya secara yuridis/formal
bersifat kelembagaan atau badan hukum, bukan perorangan serta terbatas pada sisi finansial. Akhir
kerja keras dua pelopor ini bermuara pada pertemuan besar pertama para arsitek dua generasi di
Bandung pada tanggal 16 dan 17 September 1959. pertemuan ini dihadiri 21 orang, tiga orang arsitek
senior, yaitu: Ars. Frederich Silaban, Ars. Mohammad Soesilo, Ars. Lim Bwan Tjie dan 18 orang arsitek
muda lulusan pertama Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung tahun 1958 dan 1959. Dalam
pertemuan tersebut dirumuskan tujuan, cita-cita, konsep Anggaran Dasar dan dasar-dasar pendirian
persatuan arsitek murni, sebagai yang tertuang dalam dokumen pendiriannya, “Menuju dunia
Arsitektur Indonesia yang sehat”. Pada malam yang bersejarah itu resmi berdiri satu-satunya lembaga
tertinggi dalam dunia arsitektur profesional Indonesia dengan nama Ikatan Arsitek Indonesia disingkat
IAI.

Kisah dengan Bung Karno & Pembangunan GBK.


GBK dibangun dua tahun menjelang Asian Games IV 1962. Jakarta. Soekarno, seperti dikutip Harian
Merdeka, 1 Maret 1962, menganggap Asian Games sebagai usaha perjuangan 'nation building'. Yakni
meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia sebagai suatu bangsa yang bahagia dan terhormat di
dunia.

Disebutkan kalau sejak tahun 1950-an Soekarno memang punya mimpi untuk membangun stadion
sepakbola terbesar di dunia. Tapi bukan sembarang stadion yang dia mau. Salah satu syarat yang
diminta adalah stadion tersebut memiliki atap temu gelang (berbentuk melingkar mengelilingi stadion
dan bertemu di kedua ujungnya), pekerjaan arsitektur semacam itu dianggap sesuatu yang nyaris
mustahil di periode tersebut.

Arsitek kelahiran Sumatera Utara bernama Friedrich Silaban akhirnya bisa mewujudkan mimpi
Soekarno.

Arsitektur yang satu ini memang seorang yang selalu kuat mempertahankan apa yang sudah
diyakininya benar. Sifatnya yang demikian, telah juga menggoreskan kenangan manis dalam perjalanan
hidupnya. Sifat pendirian yang konsisten itu telah membuat hubungannya dengan Bung Karno,
Presiden Republik Indonesia pertama, menjadi agak menarik dan unik. Cerita dimaksud
diungkapkannya pada Solichin Salam dalam satu wawancara pada bulan Pebruari 1978.

Secara jujur dikatakannya, bahwa arsitekturlah yang membuat hubungannya dengan Bung Karno
menjadi unik. Menurutnya, selama 24 tahun dia sering berselisih pendapat dengan Bung Karno.
Namun dalam perselisihan pendapat itu, katanya, tidak jarang Bung Karno mengakui terus terang
bahwa beliau yang salah dan Silabanlah yang benar.

Bagi Anak kelima dari Jonas Silaban (ayah) dan Noria boru Simamora (ibu), ini pengalaman-
pengalaman dengan Presiden Soekarno itu menjadi kenangannya sampai mati. “Saya sudah bekerja 47
tahun terus menerus sampai sekarang, tetapi belum pernah ada pemimpin yang mengaku salah
pendapat terhadap saya, selain dari Bung Karno. Contoh untuk ini saya sebutkan antara lain masalah
kompleks Bangunan Olah Raga (sebelumnya Asian Games-red) Senayan”, kata Silaban saat itu.

“Karena adalah suatu kekeliruan untuk membuat suatu ‘sport complex’ yang berkaliber internasional
atau dua bidang tanah yang terpisah oleh sebuah jalan raya yang nanti akan menjadi jalan raya yang
tersibuk di Asia Tenggara. Ditilik dari sudut manajemen dan organisasi, ini akan menyulitkan secara
terus menerus dan berganda. Betul saya lihat di sini (gambar) direncanakan sebuah tunnel raksasa, di
bawah jalan Jenderal Sudirman, tetapi itu terlalu ‘onna tuurijk’.

Di samping itu ‘tunnel’ demikian akan terus kebanjiran, sehingga membutuhkan pompa raksasa untuk
menjamin kekeringannya. Tenaga listrik untuk itu dan untuk penerangan ‘tunnel’ demikian besarnya,
sehingga cukup untuk sebuah kota menengah. Tetapi bukan itu saja keberatan saya. Keberatan
terbesar adalah masalah lalu-1intas. Duku Atas terlalu dekat kepada bundaran Jalan Thamrin seperti
tadi saya telah katakan, maka jalan Sudirman akan menjadi jalan raya tersibuk di seluruh Asia
Tenggara. Sukar dapat dibayangkan, betapa macetnya lalu lintas apabila ada ‘sport festival’di ‘Asian
Games Complex’ itu” katanya.

Suami dari Letty Kievits, ini lebih lanjut mengatakan, untuk menonton pertandingan pada pukul 17.00
(sore), rakyat sudah harus berkumpul di Stadion sejak pukul 13.00 (siang) kalau tidak, mereka tidak
akan kebagian tempat. Sementara kalau presiden mau jalan, selalu didahului ‘voorrijders’ dengan
sirenenya, sehingga tidak pernah mengalami apa yang harus dihadapi oleh rakyat.

“Jadi kalau tokh Pemerintah mempertahankan Duku Atas sebagai tempat untuk Asian Games itu,
maka sudah dapat diramalkan bahwa lalu lintas pada hari-hari ada acara sport di Asian Games
Complex, di jalan itu akan macet total. Kalau Presiden tokh mempertahankan tanah Duku Atas itu
dengan rencana Rusia yang pada hari ini saya lihat, maka saya khawatir, bahwa kelak anak-anak
Guntur akan nyeletuk: Kok kakek kami bodoh amat membuat kompleks stadion begitu”, begitu kritik
Silaban dengan jujur kepada Bung Karno ketika itu.

Menurutnya, ketika itu Bung Karno berkomentar, “Ya, Presiden Soekarno yang salah dan Silaban yang
benar”. Itulah kenangan yang tak pernah dilupakannya sampai akhir hidupnya.

Spoiler for Bung Karno dan Arsitek Silaban, Sering "Bertengkar" di Udara:

Hasil Karya:

Gedung Universitas Nommensen - Medan (1982)


Gelora Bung Karno - Jakarta (1962)
Rumah A Lie Hong - Bogor (1968)
Monumen Pembebasan Irian Barat - Jakarta (1963)
Markas TNI Angkatan Udara - Jakarta (1962)
Gedung Pola - Jakarta (1962)
Gedung BNI 1946 - Medan (1962)
Menara Bung Karno - Jakarta 1960-1965 (tidak terbangun)
Monumen Nasional / Tugu Monas - Jakarta (1960)
Gedung BNI 1946 - Jakarta (1960)
Gedung BLLD, Bank Indonesia, Jalan Kebon Sirih - Jakarta (1960)
Kantor Pusat Bank Indonesia, Jalan Thamrin - Jakarta (1958)
Rumah Pribadi Friderich Silaban - Bogor (1958)

Masjid Istiqlal - Jakarta (1954)


Frederich Silaban memenangkan sayembara pembuatan gambar maket Masjid dengan motto (sandi)
"Ketuhanan" yang kemudian bertugas membuat desain Istiqlal secara keseluruhan. Istiqlal ini juga
merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara pada tahun 1970-an

Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat beragama di Indonesia, baik
yang Muslim, Nasrani maupun yang lainnya. Apabila satu pemeluk agama tertentu suatu ketika
membangun tempat ibadah, tidak jarang kemudian dibantu oleh umat agama lain. Demikian halnya
dalam pembangunan Mesjid Agung Istiqlal. Mesjid yang di awal abad 21 merupakan mesjid terbesar di
Asia Tenggara itu, dalam proses pembangunannya telah menyimpan satu sejarah toleransi beragama
yang sangat tinggi.

Disebutkan demikian, karena sang arsitek dari mesjid tersebut adalah seorang penganut Kristen
Protestan yang taat. Tidak ada yang dibuat-buat sehingga menjadi demikian, namun begitulah
memang gambaran toleransi beragama antara umat di negeri ini sejak dulu. Kebesaran jiwa dari umat
Islam sangat jelas terlihat disini. Mereka mau menerima pemikiran atau desain tempat ibadah mereka
dari seorang yang non muslim. Demikian juga dengan Friedrich Silaban, sang arsitek, telah
menunjukkan kebesaran jiwanya dengan terbukanya hati dan pikirannya untuk mengerjakan mesjid
yang sangat monumental tersebut.

Gedung Bentol - Jawa Barat (1954)


Gedung ini merupakan bagian dari Istana Kepresidenan Cipanas yang terletak di jalur jalan raya
puncak, Jawa Barat dan berlokasi tepat di belakang gedung induk dan berdiri di dataran yang lebih dari
bangunan-bangunan lain. Gedung yang sering disebut sebagai tempat Soekarno mencari inspirasi
dinamakan Gedung Bentol karena seluruh dindingnya ditempel batu alam yang membuat kesan
bentol-bentol.

Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata - Jakarta (1953)

Kampus Cibalagung, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP)/Sekolah


Pertanian Menengah Atas (SPMA) - Bogor (1953)
Sekolah pertanian ini telah melahirkan sejumlah tokoh kawakan di berbagai bidang. Beberapa di
antaranya bahkan pernah menjabat sebagai menteri. Padahal sekolah yang kini berumur seabad ini
sejatinya "kawah candradimuka" bagi penyuluh dan teknisi di bidang pertanian.

Rumah Dinas Walikota - Bogor (1952)


Kantor Dinas Perikanan - Bogor (1951)

Tugu Khatulistiwa - Pontianak (1938)


Tugu ini dibangun pertama kali pada 1928 oleh seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda. Pada
1938 dibangun kembali dan disempurnakan oleh Frederich Silaban. Pada 1990 dibangun duplikatnya
dengan ukuran 5 kali lebih besar untuk melindungi tugu khatulistiwa yang asli. Pembangunan yang
terakhir diresmikan pada 21 September 1991

Menurut Agan2 sekalian, kira2 penghargaan apa yang cocok untuk mengenang prestasi & karya2
Beliau?
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Frederich_Silaban
http://www.silaban.net/2005/10/08/fr...rah-toleransi/
https://firmanirmansyah.wordpress.com/tag/silaban/

Frederich Silaban
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Frederich Silaban

F. Silaban dan Bung Karno


Lahir 16 Desember 1912
Bonandolok, Sumatera
Utara,Indonesia
Meninggal 14 Mei 1984 (umur 71)
Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia

Karya
Bangunan Stadion Utama Gelora Bung Karno
Monumen Nasional
Masjid Istiqlal
Ini adalah nama Suku Batak Toba; Marga tokoh ini adalah "Silaban".
Ars. Frederich Silaban (lahir di Bonandolok, Sumatera Utara, 16
Desember 1912 – meninggal di Jakarta, 14 Mei 1984 pada umur 71 tahun) adalah
seorang opzichter/arsitek generasi awal di negeri Indonesia. Dia merupakan seorang
arsitek otodidak. Pendidikan formalnya hanya setingkat STM (Sekolah Teknik
Menengah) namun ketekunannya membuahkan beberapa kemenangan sayembara
perancangan arsitektur, sehingga dunia profesipun mengakuinya sebagai arsitek. Dan
seiring perjalanan waktu, ia terkenal dengan berbagai karya besarnya di dunia
arsitektur dan rancang bangun di mana beberapa hasil karyanya menjadi simbol
kebanggaan bagi daerah tersebut.
Frederich Silaban telah menerima anugerah Tanda Kehormatan Bintang Jasa
Sipil berupa Bintang Jasa Utama dari pemerintah atas prestasinya dalam merancang
pembangunan Mesjid Istiqlal.
Frederich Silaban juga merupakan salah satu penandatangan Konsepsi Kebudayaan
yang dimuat di Lentera dan lembaran kebudayaan harian Bintang Timur mulai
tanggal 16 Maret 1962 yakni sebuah konsepsi kebudayaan untuk mendukung upaya
pemerintah untuk memajukan kebudayaan nasional termasuk musik yang diprakarsai
oleh Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat,onderbouw Partai Komunis Indonesia) dan
didukung oleh Lembaga Kebudayaan Nasional (onderbouw Partai Nasional
Indonesia) dan Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi) milik Pesindo.
Selain itu, Frederich Silaban juga berperan besar dalam pembentukan Ikatan Arsitek
Indonesia (IAI). Pada April 1959, Ir. Soehartono Soesilo yang mewakili biro arsitektur
PT Budaya dan Ars. F. Silaban merasa tidak puas atas hasil yang dicapai pada
Konperensi Nasional di Jakarta, yakni pembentukan Gabungan Perusahaan
Perencanaan dan Pelaksanaan Nasional (GAPERNAS) di mana keduanya berpendapat
bahwa kedudukan "perencana dan perancangan" tidaklah sama dan tidak juga setara
dengan "pelaksana". Mereka berpendapat pekerjaan perencanaan-perancangan berada
di dalam lingkup kegiatan profesional (konsultan), yang mencakupi tanggung jawab
moral dan kehormatan perorangan yang terlibat, karena itu tidak semata-mata
berorientasi sebagai usaha yang mengejar laba (profit oriented). Sebaliknya pekerjaan
pelaksanaan (kontraktor) cenderung bersifat bisnis komersial, yang keberhasilannya
diukur dengan besarnya laba dan tanggung jawabnya secara yuridis/formal bersifat
kelembagaan atau badan hukum, bukan perorangan serta terbatas pada sisi finansial.
Akhir kerja keras dua pelopor ini bermuara pada pertemuan besar pertama para arsitek
dua generasi di Bandung pada tanggal 16 dan 17 September 1959. pertemuan ini
dihadiri 21 orang, tiga orang arsitek senior, yaitu: Ars. Frederich Silaban, Ars.
Mohammad Soesilo, Ars. Lim Bwan Tjie dan 18 orang arsitek muda lulusan pertama
Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung tahun 1958 dan 1959. Dalam
pertemuan tersebut dirumuskan tujuan, cita-cita, konsep Anggaran Dasar dan dasar-
dasar pendirian persatuan arsitek murni, sebagai yang tertuang dalam dokumen
pendiriannya, “Menuju dunia Arsitektur Indonesia yang sehat”. Pada malam yang
bersejarah itu resmi berdiri satu-satunya lembaga tertinggi dalam dunia arsitektur
profesional Indonesia dengan nama Ikatan Arsitek Indonesia disingkat IAI.

Hasil karya[sunting | sunting sumber]


 Gedung Universitas HKBP Nommensen - Medan (1982)
 Stadion Utama Gelora Bung Karno - Jakarta (1962)
 Rumah A Lie Hong - Bogor (1968)
 Monumen Pembebasan Irian Barat - Jakarta (1963)
 Markas TNI Angkatan Udara - Jakarta (1962)
 Gedung Pola - Jakarta (1962)
 Gedung BNI 1946 - Medan (1962)
 Menara Bung Karno - Jakarta 1960-1965 (tidak terbangun)
 Monumen Nasional / Tugu Monas - Jakarta (1960)
 Gedung BNI 1946 - Jakarta (1960)
 Gedung BLLD, Bank Indonesia, Jalan Kebon Sirih - Jakarta (1960)
 Kantor Pusat Bank Indonesia, Jalan Thamrin - Jakarta (1958)
 Rumah Pribadi Friderich Silaban - Bogor (1958)
 Masjid Istiqlal - Jakarta (1954)

Frederich Silaban memenangkan sayembara pembuatan gambar maket Masjid dengan motto
(sandi) "Ketuhanan" yang kemudian bertugas membuat desain Istiqlal secara keseluruhan. Istiqlal
ini juga merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara pada tahun 1970-an

 Gedung Bentol - Jawa Barat (1954)

Gedung ini merupakan bagian dari Istana Kepresidenan Cipanas yang terletak di jalur jalan raya
puncak, Jawa Barat dan berlokasi tepat di belakang gedung induk dan berdiri di dataran yang lebih
dari bangunan-bangunan lain. Gedung yang sering disebut sebagai tempat Soekarno mencari
inspirasi dinamakan Gedung Bentol karena seluruh dindingnya ditempel batu alam yang membuat
kesan bentol-bentol.

 Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata - Jakarta (1953)


 Kampus Cibalagung, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP)/Sekolah Pertanian Menengah
Atas (SPMA) - Bogor (1953)

Sekolah pertanian ini telah melahirkan sejumlah tokoh kawakan di berbagai bidang. Beberapa di
antaranya bahkan pernah menjabat sebagai menteri. Padahal sekolah yangkini berumur seabad ini
sejatinya "kawah candradimuka" bagi penyuluh dan teknisi di bidang pertanian.

 Rumah Dinas Walikota - Bogor (1952)


 Kantor Dinas Perikanan - Bogor (1951)
 Tugu Khatulistiwa - Pontianak (1938)

Tugu ini dibangun pertama kali pada 1928 oleh seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda.
Pada 1938 dibangun kembali dan disempurnakan oleh Frederich Silaban. Pada 1990 dibangun
duplikatnya dengan ukuran 5 kali lebih besar untuk melindungi tugu khatulistiwa yang asli.
Pembangunan yang terakhir diresmikan pada 21 September 1991
SILABAN Sang Arsitek Kesayangan Bung Karno
Kategori: Seputar Silaban || Kontributor: Charly Silaban || || ||

Deprecated: preg_replace(): The /e modifier is deprecated, use preg_replace_callback instead


in/home/jf_silaban/silaban.net/wp-includes/functions-formatting.php on line 76

Di Kota Bogor tidak ada jalan Silaban


atau Wisma Silaban, Padahal, beliau adalah sang Arsitek terkenal dengan karya-karya
bangunannya yang kini masih berdiri kokoh, baik di Kota Bogor maupun di Jakarta.
Bangunan yang masih berdiri kokoh karya dari arsitek Silaban di Kota Bogor antara
lain Rumah Dinas Walikota Bogor, dan di Jakarta yaitu Masjid Istiqlal.

Ide dan Karya F Silaban sebagian muncul antara Tahun 1950 – 1960. Pada kurun
waktu tersebut Kondisi Sosial Politik Luar Negeri maupun Dalam Negeri dalam
keadaan labil. Keadaan Sosial Politik Luar Negeri dalam pembenahan setelah Perang
Dunia II

Sedangkan keadaan Sosial Politik Dalam Negeri dalam taraf renovasi untuk
menentukan bentuk Negara Republik Indonesia Kondisi yang sangat menonjol saat itu
adalah adanya Kultur Individu terhadap seorang Pemimin, yaitu Presiden Pertama
Indonesia Ir. Soekarno. Pada saat itu Pribadi F Silaban sangat dekat dengan sosok
Soekarno, bahkan sering mendukung ide–ide yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno
termasuk ide-ide tentang arsitektur dan produknya..Hal ini dapat dilihat pada saat
Presiden Soekarno mencetuskan ide adanya Nation Building, adalah Paham tentang
bangunan yang mampu mencerminkan dan membangkitkan kebanggan Nasional,
sehingga bangunan–bangunan yang tercetus berskala raksasa, megah dah heroik.

Hal inilah sempat memberikan warna terhadap ide dan karya F Silaban, pada waktu
itu sering mendapat pesanan langsung dari Presiden Soekarno. Sang Arsitek
kesayangan Bung Karno ini seorang Bapak yang dekat dengan anak–anaknya dan
sahabat–sahabatnya,dan beliaulah perancang Mesjid Istiqlal yang memiliki Skala
Gigantik.
Mengamati riwayat hidupnya dapat diketahui dengan jelas bahwa waktu yang dijalani
sepanjang hidup dan karier sebagai arstiek adalah di Bogor dan Jakarta. Masa kecil di
Tapanuli dilalui hanya sebentar setamat HIS (Holland Inlandsche School, Sekolah
Dasar Belanda dahulu) di Narumonda tahun 1927. Melanjutkan pendidikan pada
Koninginlijke Wilhelmina School, KWS, yaitu Sekolah Tehnik jaman Belanda tahun
1931 di Batavia: setelah tamat dari KWS, langsung bekerja di Batavia sebagai juru
gambar (Bouwkundig Tekenaar Stadsgemeente ) pada kantor Kota Praja Batavia. Bagi
F. Silaban, putera kelima keluarga Djonas Silaban, pekerjaan itu dipandang sebagai
suatu rahmat.

Ketika lulus dari KWS di Batavia tahun 1931 ia langsung bekerja sebagai Bouw
Kundig Tekenar Stads gemeente mulai Mei–Juni 1931 dan langsung setelah itu
menjabat Opzichter Geniedienst di Jakarta sampai tahun 1937. Selanjutnya tahunitu
pula ia diangkat sebagai Geniedief Pontianak untuk daerah Kalimantan Barat. Jabatan
itu diembannya hingga tahun 1939.

Kepindahannya ke Bogor sebagai Opzichter Tekenaar Stadsgemeente Bogor


mengawali babak baru di dalam riwayat hidupnya, baik sebagai warga Bogor maupun
sebagai Arsitek yang selanjutnya ia bolak – balik Jakarta – Bogor.Mengingat proyek–
proyek yang ditanganinya kebanyakan berlokasi di Jakarta dari tahun 1939 – 1949,

Silaban tidak pernah lepas dari tugas dan jabatan yang berkaitan dengan lingkup
pekerjaan umum, Berturut – turut tahun 1942 – 1947 menjabat Kepala PU dan
Direktur PU Kota Bogor .

Tahun 1950, Silaban sempat menjabat sebagai Kepala PU Kota Bogor, Bahkan,
selama lima tahun dipercaya menjadi Ketua Panitia Keindahan Kota DKI Jakarta.
Dari sejumlah Karya tercatat beberapa hasil rancangannya antara lain Sekolah
Pertanian Menengah Atas (SPMA) Bogor, Kantor Perikanan Darat Sempur, Kota
Bogor, Rumah Dinas Walikota Bogor (1935), Bank Indonesia, Jalan Thamrin Jakarta,
Bank Indonesia, BLLD, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Bank Negara 1946, Jakarta Kota
Masjid Istiqlal Jakarta, Flat BLLD, Bank Indonesia Jalan Budi Kemuliaan Jakarta,
Gedung Bank Negara Indonesia 46 di Surabaya, Gedung Bank Indonesia di Surabaya,
Markas Besar Angkatan Udara (MBAU) Pancoran Jakarta, Gedung Pola Jakarta Hotel
Banteng, yang kemudian menjadi Hotel Borobudur Selain itu beberapa karya lainnya
rumah tinggal dan monumen–monumen, antara lain Monumen Nasional Pembebasan
Irian Barat Lapangan Banteng Jakarta, Tugu Selamat Datang Bunderan HI Jakarta,
Taman Makam Pahlawan Kalibata (peresmian 10 Nopember 1954) dan Makam Raden
Saleh Bondongan Bogor. Silaban sempat dikukuhkan sebagai Anggota Dewan
Perancang Nasional (Depernas)

Akhirnya bulan Mei tahun 1965, sang arsitek F Silaban pensiun dari Dinas Pekerjaan
Umum Kota Madya Bogor. Masa bebas tugas itu bukan berarti Silaban duduk
berpangku tangan. Dari tahun 1967 hingga ahir hayatnya Silaban tercatat sebagai
Wakil Kepala Proyek Masjid Istiqlal Jakarta (1954). Sedengkan diluar profesi arsitek,
F Silaban menjabat dosen luar biasa.

Arsitek yang lengkapnya bernama Friedrich Silaban Ompu Ni Maya. Lahir pada
tanggal 16 Desember 1912 di Bondolok Tapanuli, Sumatera Utara. Menikah dengan
sang isteri tercinta Letty Kievits pada tanggal 18 Oktober 1946. F.Silaban terlahir dari
sang Ibu Boru Simamora dan Bapak Sintua Djonas Silaban. Dari hasil perkawinannya
dengan Letty Kievits beliau dikaruniai 10 (sepuluh) orang anak, dua perempuan dan
delapan laki-laki. Salah seorang anaknya mengikuti jejak sang ayah sebagai Arsitek;
yakni Ir. Panogu Silaban lulusan Departemen Arsitektur, Institut Teknologi Bandung.

Sang arsitek yang gemar melukis dan main catur ini akhirnya menghadap Sang
Pencipta 14 Mei 1984 diusia usia 71 tahun, setelah menderita sakit. Silaban yang
bertempat tinggal di Jalan Gedong Sawah II No : 10 Bogor Tengah Kota Bogor
dimakamkan di TPU Cipaku Bogor Selatan, Kota Bogor.

Sumber : (Iyan/Rais — Gentra Madani) Bogor News dan Sipatahunan : Dari Rumah
Dinas Walikota Bogor sampai ke Masjid Istiqlal

Anda mungkin juga menyukai