BUKITTINGGI, SO Duta Wisata Bukittinggi di Malaysia, Mohd Ramzi Ibrahim, kembali mempromosikan
Kota Wisata Bukittinggi di negara jiran itu. Tidak hanya di Malaysia, Ramzi bahkan berencana
mempromosikan potensi pariwisata Sumatera Barat ke Brunei Darussalam.
Kunjungan ke Brunei Darussalam sudah dijajaki. Hal ini sudah saya sampaikan kepada Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bukittinggi, ujar Mohd Ramzi Ibrahim, Rabu (14/5).
Dia menyebutkan, beberapa hari lalu ia didampingi pengurus Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia
(PHRI) Kota Bukittinggi H Syahril bersilaturahim ke Disbudpar Kota Bukittinggi untuk menyampaikan
rencana kunjungan ke Brunei Darussalam itu.
Kedatangan Ramzi disambut Kepala Disbudpar Drs Melfi, Sekretaris Disbudpar Leni Herlinda SH MH,
Kabid Pariwisata Drs Emil Anwar, dan Kabid Seni Budaya Reni Yudiwati SE.
Pihak Dinas Pariwisata Bukittinggi menyatakan respons positif, dan semoga dapat ikut mempromosikan
pariwisata Bukittinggi di Brunei Darussalam, kata Ramzi.
Pengurus PHRI Kota Bukittinggi H Syahril mengemukakan, Kota Bukittinggi merupakan salah satu tujuan
(destinasi) para wisatawan mancanegara, khususnya dari Negeri Jiran Malaysia dan Brunei Darussalam.
Wisawatan negeri jiran yang datang ke Bukittinggi masih mendominasi dari wisatawan negara lainnya,
ujar Syahril yang juga General Manager Hotel Nikita Bukittinggi.
Sebelumnya, lanjut Ramzi, ia telah menjajaki kerjasama pertukaran pelajar dan guru untuk Pesantren
Modern Prof Dr Hamka dengan sejumlah sekolah tahfiz Alquran di Negeri Kelantan Malaysia.
Untuk kerjasama pertukaran pelajar ini juga sudah positif, dan direncanakan akan berlangsung pada
awal Ramadhan 1435 Hijriah mendatang, katanya.
Dia menambahkan, dari pertukaran pelajar dan guru pesantren itu diharapkan akan terjadi pertukaran
informasi dua budaya antara Minangkabau dan Kelantan Malaysia yang akan semakin merekatkan
hubungan silaturahim kedua daerah.
Kami harapkan, santri-santri yang belajar di Malaysia di kemudian hari dapat meneruskan pendidikannya
ke perguruan-perguruan tinggi di Jordania maupun Mesir, atau juga-juga negara-negara Islam lainnya,
tambahnya.
Mohd Ramzi Ibrahim adalah pengusaha muda Negeri Kelantan yang didaulat sebagai Duta Wisata oleh
Pemerintah Kota Bukittinggi pada tahun 2008 silam. Amanah itu telah dijalankannya dan secara rutin
datang membawa rombongan pejabat-pejabat dari sejumlah negara bagian di Malaysia datang ke Ranah
Minang, khususnya ke Bukittinggi. Sejumlah kunjungan balasan juga ia hubungkan antara sejumlah pihak
di Sumatera Barat dengan sejumlah lembaga di Malaysia.
Dijelaskannya, selama ini kemacetan di kawasan Pasar Simpang Aur Kuning itu kerap terjadi,
apalagi pada waktu hari pasar. Kawasan Simpang Aur kuning merupakan kawasan strategis.
Selain sebagai kawasan perdagangan, kawasan tersebut juga jadi pintu gerbang keluar masuk bus
antar kota dan antar provinsi.
Pembangunan jalan layang yang membentang sepanjang 650 meter itu diperkirakan pengerjaannya memakan waktu 2 tahun dan menghabiskan biaya sebesar Rp 150 miliar.
Kita berharap kepada masyarakat untuk dapat memberikan dukungan terhadap rencana pembangunan ini. Karena tanpa dukungun masyarakat, sangat sulit rasanya untuk melaksanakan
pembangunan. Apalagi pembangunan ini memang membutuhkan pengorbanan yang panjang,
ungkap Ismet.
Ditambahkannya, sebelumnya Pemko Bukittinggi juga sudah melakukan pelebaran jalan By
Pass, dan tahun ini kita juga akan melanjutkan pembangunan Janjang Saribu yang sudah dimulai
tahun sebelumnya sebagai permulaan pengembangan kawasan Ngarai Sianok.
Mudah-mudahan apa yang telah kita rencanakan ini dapat terwujud sehingga jumlah
pengunjung ke-kota wisata ini semakin meningkat. Dan ini semua tidak terlepas dari dukungan
dan bantuan putra asli daerah Bukittinggi yang duduk di DPR RI, Ir Mulyadi, yang telah
berjuang untuk mengalokasikan dana dari pusat untuk pembangunan di Sumbar, khususnya di
kota wisata ini, pungkas Ismet. (h/cw-tot)
Sejumlah buruh melakukan pekerjaan membangun tiang beton Jembatan Fly Over di
ruas jalan Bypass Aur Kuning, Bukittinggi, Sumbar, Senin (9/6). Jembatan Fly Over
dengan panjang 675 meter yang menelan biaya sekitar Rp 130 miliar tersebut
dibangun melalui dana APBN dan diharapkan dapat mengatasi kemacetan di kota
wisata itu. (ant/iggoy el fitra)
AUR KUNING, METRO-Pembangunan jalan layang (fly over) di Aur Kuning, Bukittinggi,
dipercepat. Langkah awal, sebanyak 13 bangunan liar (bangli) segera dibongkar Pemko untuk
membantu percepatan pembangunan. Pasalnya, ketika proyek sedang berjalan dan ada
pemagaran, untuk kelancaran akses lalulintas jalan harus diperlebar.
Meski saat ini masih ada permasalahan tentang konsolidasi jalan Bypass yang terkena proyek fly
over, namun pembangunan tersebut tetap terus berjalan dan permasalahan yang muncul masih
tetap terus diupayakan Pemko. Pembangunan fly over sepanjang 675 meter dengan anggaran
Rp98 miliar berasal dari APBN dengan jangka waktu 13 bulan.
Kepala Kantor Satpol PP Bukittinggi, Syafnir menyebut, dengan dimulainya proyek tersebut,
ditandai dengan adanya alat berat milik PT Brantas pihak yang mengerjakan proyek, maka
keseluruhan bagian tengah jalan By Pass sudah dilakukan pemagaran. Untuk itu seluruh
bangunan liar yang ada di kawasan itu harus dibongkar, karena keberadaan bangunan itu dapat
mengganggu pengerjaan proyek, kata Syafnir.
Dijelaskan, untuk kelancaran lalulintas, kiri kanan jalan By Pass harus disediakan selebar 3,5
meter, sehingga sudah pasti bangunan liar yang ada di sebelah timur atau sebelah kiri dari arah
bawah harus dibongkar, terutama selama proyek berjalan. Untuk langkah sementara, Dinas
Pekerjaan Umum (PU) Bukittinggi sudah melakukan imbauan melalui camat dan pihak
kelurahan agar pemilik bangunan itu dengan kesadaran sendiri membongkar bangunan.
Sebab, kalau tidak dibongkar, maka akan dilayangkan Surat Peringatan (SP) pertama dan kedua.
Kalau tidak juga diindahkan, maka Satpol PP dan pihak terkait lainnya segera membongkar
bangunan liar itu. Sesuai data di Pemko Bukittinggi, terdapat 13 bangunan liar yang sangat
menjorok ke arah jalan By Pass dan harus segera dibongkar, jelasnya
Disinggung tentang, PKL yang masih ada di jalan By Pass, seperti di sekitar pintu keluar
terminal Simpang Aur, Syafnir juga menegaskan, seiring dengan akan adanya pembersihan jalan
sebelah kiri dari bawah, Sat Pol PP akan segera menertibkan PKL yang masih memakai badan
jalan. Namun, hingga kini, bagian di badan jalan sudah mulai sedikit berkurang tentang adanya
PKL yang sering ditertibkan.
Kita yakin, jika masalah PKL itu tidak akan menemui persoalan berarti. Sebab, ketika proyek
berjalan dan sudah memasuki sekitar PKL itu sendiri, sudah pasti tidak akan bisa lagi, sebab jalur
lalu lintas sudah pasti akan mengecil. Tapi kita memang, kita tetap akan melakukan pembersihan
di sekitar tempat itu, tegas Syafnir. (wan)
Parker gedung
INILAH.COM, Bukittinggi - Pembangunan gedung parkir megah di Kota
Bukittinggi akhirnya dimulai, yang ditandai dengan pemancangan tiang
perdana, yang disaksikan oleh Gubernur Sumbar Irwan Prayitno bersama
Walikota Bukittinggi Ismet Amzis dan Ketua DPRD Sumbar Yultekhnil, pada
Senin (28/5) kemarin.
Pembangunan gedung itu berada di lokasi eks Dinas kehutanan Jalan Perintis
Kemerdekaan, atau di seberang Kantor DPRD Bukittinggi. Lokasi gedung parkir itu
berjarak sekitar 100 meter di bawah Jam Gadang, di lahan seluas 1.927,87 meter
persegi.
Secara umum, pembangunan gedung parkir ini sangat membantu mengatasi
permasalahan parkir yang selama ini jadi problema pemerintah dan pengunjung.
Namun disisi lain, gedung parkir itu hanya mengatasi perparkiran untuk kendaraan
roda empat atau mobil, karena di dalam gedung itu tidak menyediakan tempat bagi
kendaraan roda dua atau sepeda motor.
Dari perencanaannya, gedung berlantai empat plus basemen itu memiliki daya
tampung 295 unit mobil, dengan rincian 51 unit di basemen, 50 unit di lantai satu,
44 unit di lantai dua, 50 unit di lantai tiga, dan 50 unit di lantai empat, ditambah
pada bagian atas gedung yang cukup menampung 50 unit mobil.
Semuanya memang dikhususkan untuk mobil. Untuk sepeda motor belum
direncanakan, tapi bisa saja nanti di tempatkan di sekitar lapangan gedung, ujar
Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Bukittinggi, Zet Buyung.
Menurut Zet, pembangunan gedung parkir itu menelan biaya sebesar Rp26,6 miliar.
Jumlah itu lebih besar dari perencanaan awal yang hanya mencapai Rp24 miliar.
Menurutnya, pembengkakan biaya itu hanya diakibatkan oleh faktor harga
bangunan yang cenderung tidak stabil dan terus berubah, sehingga perlu
disesuaikan.
Pembangunan itu sendiri dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama hanya
membangun basemen serta lantai satu dan lantai dua, yang menelan biaya Rp11
miliar. Sumber dana pembangunan tahap pertama itu berasal dari APBD Kota
Bukittinggi.
Sedangkan untuk tahap kedua akan dianggarkan sebanyak Rp16 miliar pada APBD
provinsi. Pembangunan tahap kedua itu melanjutkan pembangunan untuk lantai
tiga dan empat hingga finishing.
Walikota Bukittinggi Ismet Amzis menjelaskan, pembangunan gedung parkir itu
bukan berarti menuntaskan permasalahan parkir di Kota Bukittinggi. Menurutnya,
gedung parkir itu hanya mengatasi sebagian permasalahan parkir, terutama di
kawasan Pasar Atas.
Lahan parkir masih belum mencukupi. Yang dibangun sekarang ini merupakan
penyelesaian sebagian permasalahan parkir di Bukittinggi. Paling tidak beban yang
dipikul itu telah mulai ringan. Setelah gedung parkir selesai, perparkiran di sekitar
Pasar Atas akan ditertibkan, sehingga pengunjung akan merasa lebih nyaman,
jelas Ismet.
Ismet juga mengklaim bahwa keberadaan tempat parkir yang menampung lebih
200 kendaraan roda empat itu tidak akan berdampak besar pada kemecetan di
jalan utama sekitaran gedung parkir. Menurutnya, Pemko bersama pihak terkait
telah melakukan berbagai analisis dan kajian untuk antisipasi kemacetan tersebut.
Sementara itu, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mendukung penuh pembangunan
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Bukittinggi H Zet Buyung mengatakan, gedung parkir itu
direncanakan terdiri atas empat lantai ditambah besmen dengan total dana keseluruhan sebesar
Rp24 miliar.
"Gedung parkir yang akan dibangun itu untuk mengatasi masalah perparkiran yang sedang
dihadapi Bukittinggi karena tidak memiliki areal parkir representatif," katanya.
Ia mengatakan, lokasi pembangunan gedung parkir di lahan bekas kehutanan tersebut luasnya
1.900 meter bujur sangkar.
Kota Bukittinggi memiliki 31 lokasi parkir, kendati demikian pemerintah daerah cukup
kewalahan menampung kendaraan yang berkunjung ke daerah itu, terlebih para wisatawan.
"Sebanyak 500 kendaraan setiap hari parkir di Bukittinggi," katanya.
Menurut dia, gedung parkir tersebut akan mampu menampung 500 sampai 616 kendaraan
pribadi sehingga dapat mengatasi masalah perparkiran di Kota Bukittinggi.
Home / Spesial / Tender Gedung Parkir Bukittinggi Timbulkan Kecurigaan
R
epubliknews.com - BUKITTINGGI Proses Tender / Lelang proyek
pembangunan gedung parkir Bukittinggi, Sumatera Barat dengan pagu dana
Rp16,308 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2013
mengundang kecurigaan. Hal itu disebabkan perusahaan yang mendaftar
mengikuti tender dengan harga perkiraan sendiri (HPS) Rp16,3 miliar dari 51
perusahaan, namun yang masuk penawaran hanya tujuh perusahaan saja.
Ketujuh perusahaan tersebut, adalah PT. Jatikarya Mega Laksana, PT. Harry
Putra Utama, PT. Adhiwira Ikaputra, PT. Mina Fajar Abadi, PT. Bangun
Kharisma Prima, PT. Karuniaga Intisemesta dan Murni Karya Mandiri.
Kecurigaan lainnya, adalah harga penawaran oleh tujuh perusahaan itu
sama-sama memakai kepala 15 yaitu, PT. Jatikarya Mega Laksana nilai tawar
Rp15.259.550.000. Sedangkan PT. Harry Putra Utama dengan senilai
Rp15.400.000.000,
PT.
Adhiwira
Ikaputra
nilai
penawarannya
Rp15.558.000.000, PT. Mina Fajar Abadi nilai Rp15.807.000.000.
PT. Bangun Kharisma Prima, penawarannya senilai Rp15.956.900.000, PT.
Karuniaga Intisemesta yang nilai penawaran Rp15.959.519.000 dan Murni
Karya Mandiri dengan penawaran Rp.15.999.992.000.
Penawaran sama-sama memakai kepala 15 miliar di awalnya itu, diduga ada
unsur kepentingan, karena perusahaan yang mendaftar memiliki kesamaan
menampung 315 unit kendaraan roda empat untuk satu kali parkir.
( fadhil ).
BUKITTINGGI . Menteri Pekerjaan Umum (PU ) Republik Indonersia Djoko Kirmanto sangat
mendukung rencana pembangunan Jembatan Ngarai Sianok sepanjang 100 meter.Menteri
BukittinggiPendapat Menteri Perhubungan E.E Mangindaan bahwa penilaian tertib lalu lintas dan
anggkutan yang dihelat saban tahun dalam rangka mengujudkan manajemen transportasi yang baik
memang benar adanya. Melalui penilaian itu, secara bertahap masalah lalulintas dan anggkutan di
daerah yang ditangani Pemda dapat teratasi, sehingga secara ekonomipun pada akhirnya dapat
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
Pemikiran E.E Mangindaan itu sebenarnya telah ditunjukkan dan dibuktikan Pemko Bukittinggi.
Pengelolaan lalu lintas yang baik dan mengacu kepada aturan sehingga mendatangkan kenyamanan
bagi masyarakat, merupakan suatu keharusan. Bukittinggi tidak lagi milik orang Bukittinggi atau
masyarakat sekitar. Tapi, Bukittinggi kini juga telah menjadi kepunyaan dan kebanggaan Sumatera
Barat, Indonesia dan bahkan internasional. Bukankah dalam beberapa tahun terakhir jumlah
kunjungan ke Kota Jam Gadang ini selalu meningkat. Tidak saja pengunjung lokal (domestik), tapi juga
wisatawan
asing
(mancanegara).
Intensitas kepadatan Kota Bukittinggi pada siang hari benar-benar luar biasa. Kelipatannya tiga sampai
empat kali dibanding penduduk pada malam hari yang mencapai 110 ribu jiwa. Kepadatan itu, secara
langsung juga berdampak terhadap lalu lintas dan anggkutan. Apalagi, pengunjung banyak yang
memakai kendaraan pribadi, baik roda empat maupun roda dua, atau kendraan carteran seperti bus
pariwisata
dan
anggkutan
umum.
Dari kondisi dan permasalahan tersebut, sangat tidak gampang mengelola lalu lintas dan angkutan di
Kota Tri Arga ini. Tidak heran, Walikota H. Ismet Amzis menamsilkannya maelo rambuik dalam tapuang.
Rambut tak putus. Tepung tidak terserak. Artinya, kepentingan masalah transportasi dan ekonomi
serta aspek lainnya tidak saling terganggu, melainkan saling isi dan menutup kekurangan masingmasing.
Menurut hemat Kasi Manajemen dan rekayasa lalulintas Dishubkominfo Kota Bukittinggi Mashar Danil,
SST, banyak aspek yang mempengaruhi permasalahan lalu lintas dan anggkutan di Kota Sanjai ini.
Misalnya kapasitas jalan yang tidak lagi mampu menampung volume kendaraan dan angkutan, baik
kendaraan pribadi warga, pengunjung maupun angkutan kota, angkutan pedesaan, AKDP dan AKAP
yang ke luar masuk kota serta agkutan tidak bermesin seperti bendi, becak dan gerobak. Sementara,
karateristik setiap ruas jalan dalam kota dengan panjang jalan 169 kilometer tidak berubah. Justeru
sebagian jalan tersebut, khususnya pada ruas tertentu terpakai pula untuk parkir kendaraan.
Namun, sebagai komitmen dari Kadishub Kominfo Muhamad Idris, S.Sos tidak pernah berhenti apalagi
putus asa untuk mencarikan jalan keluar. Justeru permasalahan seperti parkir dan kemacetan pada
momen tertentu dijadikan tantangan. Perngkajian terhadap aspek teknis dan kelayakanpun segera
dilakukan, sehingga rasio kebutuhan dan kondisi dihadapi dapat diketahui. Perencanaan disusun,
sehingga tertuanglah di atas kertas program dan kebijakan strategis. Program itulah diaplikasikan
secara konkret di lapangan, di antaranya rekayasa lalu lintas, pembenahan dan efektivitas fasilitas
yang ada seperti terminal, trotoar dan pemasangan road barrier (pembatas jalan).
Didampingi Kasi Manajemen Rekayasa Lalu Lintas, Mashar Danil, SST dan Kasi Dalops Dishubkominfo,
Rahmadi, B.Sc, Muhamad Idris mengungkapkan, rekayasa lalu lintas dilakukan antara lain pada ruas
jalan di kawasan Jam Gadang. Jika sebelumnya jalur terbuka dari pendakian Wowo, kini sebaliknya,
yakni masuk dari jalan Minangkabau terus Jalan Cinduamato dan menurun ke Jalan Pemuda via
Terminal Tipe C (ex. Wowo). Dengan begitu beban kepadatan kendaraan jalan dari depan Istana Bung
Hatta menurun ke Jalan Imam Bonjol yang sebelumnya dari tiga pintu masuk, makin berkurang. Pada
gilirannya kepadatan menuju Jalan Sudirman pun dapat diminimalkan. Pada ruas Jalan yang lain
pelaksanaan rekayasa itu juga berdampak sangat positif. Kepadatan dan beban lalulintas diseputaran
Jam Gadang dan kawasan pusat perbelanjaan Pasar Atas untuk kendaraan, diakui Muhamad Idris dapat
dikurangi.
Selain itu, pembangunan gedung parkir di jalan Perintis Kemerdekaan terus dipacu. Seandainya
bangunan bertingkat empat itu nantinya rampung diharapkan dapat menampung sekitar 300
kendaraan of street, sehingga parkir on street pada beberapa ruas jalan sekitar Jam gadang dapat
diminimalkan. Dari pengamatan pihaknya, menurut Muhamad Idris, kebutuhan parkir di Kota Jam
Gadang secara keseluruhan mencapai 660 SRP (satuan ruang parkir), sementara ketersediaan saat ini
untuk parkir roda empat dan dua baru sekitar 200 SRP. Adanya gedung parkir itu nanti tentu dapat
lagi diminimalkan kebutuhan itu, tandas mantan Kabag Umper dan juga Kabag Perekonomian Setda
Bukittinggi ini. (hi/m.danil)
am Gadang adalah nama untuk menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi, Sumatera
Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga
dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".
Selain sebagai pusat penanda kota Bukittinggi, Jam Gadang juga telah dijadikan sebagai objek
wisata dengan diperluasnya taman di sekitar menara jam ini. Taman tersebut menjadi ruang
interaksi masyarakat baik di hari kerja maupun di hari libur. Acara-acara yang sifatnya umum
biasanya diselenggarakan di sekitar taman dekat menara jam ini.
Daftar isi
1 Struktur
2 Sejarah
3 Galeri
4 Referensi
5 Pranala luar
Struktur
Jam Gadang memiliki denah dasar seluas 13 x 4 meter. Bagian dalam menara jam setinggi 26
meter ini terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan
bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga harus diganti akibat gempa pada tahun 2007.
Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut
didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan
secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan
Big Ben di London, Inggris. Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah
tingkat paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann
Relinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan
Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam
pada tahun 1892.
Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya
hanya kapur, putih telur, dan pasir putih.
Sejarah
Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook
Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa
pemerintahan Hindia-Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazid Rajo Mangkuto,
sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu
masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong
fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam
ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang
kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.[1]
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal
didirikan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat
dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa
pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap
pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau,
Rumah Gadang.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan
Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan
Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota
Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010.[2]
Wilayah bukittinggi
Kota Bukittinggi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
"Fort de Kock" beralih ke halaman ini. Untuk benteng, silakan lihat Fort de
Kock (benteng)
Kota Bukittinggi
Logo
Kota Bukittinggi
Letak Bukittinggi di Indonesia
Koordinat:
0178,93LU 100223,61BT
Negara
Indonesia
Provinsi
Sumatera Barat
Pemerintahan
Wali kota
Area
Total
Populasi (2010[1])
Total
110.954
Kepadatan
Zona waktu
WIB (UTC+7)
Kode wilayah
+62 752
Situs web
www.bukittinggikota.go.id
"Bukittinggi" beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain dari Bukittinggi, lihat
Bukittinggi (disambiguasi).
Kota Bukittinggi adalah kota terbesar kedua di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia.[2] Kota ini
pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.[3] Kota
ini juga pernah menjadi ibu kota Provinsi Sumatera dan Provinsi Sumatera Tengah.[4]
Bukittinggi pada zaman kolonial Belanda disebut dengan Fort de Kock dan dahulunya dijuluki
sebagai Parijs van Sumatra selain Kota Medan.[5] Kota ini merupakan tempat kelahiran beberapa
tokoh pendiri Republik Indonesia, di antaranya adalah Mohammad Hatta dan Assaat yang
masing-masing merupakan proklamator dan pejabat presiden Republik Indonesia.
Selain sebagai kota perjuangan, Bukittinggi juga terkenal sebagai kota wisata yang berhawa
sejuk, dan bersaudara (sister city) dengan Seremban di Negeri Sembilan, Malaysia. Seluruh
wilayah kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam. Tempat wisata yang ramai
dikunjungi adalah Jam Gadang, yaitu sebuah menara jam yang terletak di jantung kota sekaligus
menjadi simbol bagi kota yang berada di tepi Ngarai Sianok.
Daftar isi
1 Sejarah
2 Geografi
3 Kependudukan
4 Pemerintahan
o
4.1 Perwakilan
5 Pendidikan
6 Kesehatan
7 Perhubungan
8 Perekonomian
9 Pariwisata
10 Olahraga
12 Kota persaudaraan
13 Galeri
14 Catatan kaki
15 Tautan luar
Sejarah
Kota Bukittinggi semula merupakan pasar (pekan) bagi masyarakat Agam Tuo. Kemudian
setelah kedatangan Belanda, kota ini menjadi kubu pertahanan mereka untuk melawan Kaum
Padri.[6] Pada tahun 1825, Belanda mendirikan benteng di salah satu bukit yang terdapat di dalam
kota ini. Tempat ini dikenal sebagai benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat
peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Pada masa pemerintahan
Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian
berkembang menjadi sebuah stadsgemeente (kota),[7] dan juga berfungsi sebagai ibu kota
Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.[8]
Pada masa pendudukan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan
militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand. Kota ini
menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kempetai, di bawah pimpinan Mayor
Jenderal Hirano Toyoji.[9] Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock
menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari
sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba, dan Bukit
Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera,
dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan.[10] Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan
sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor
391 tanggal 9 Juni 1947.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota
perjuangan, ketika pada tanggal 19 Desember 1948 kota ini ditunjuk sebagai Ibu Kota Negara
Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI). Di kemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela
Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Desember 2006.[11][12]
Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi kota besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun
1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah Provinsi
Sumatera Tengah masa itu,[13] yang meliputi wilayah Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau, dan
Kepulauan Riau sekarang.
Dalam rangka perluasan wilayah kota, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 yang isinya menggabungkan nagari-nagari di sekitar
Bukittinggi ke dalam wilayah kota. Nagari-nagari tersebut yaitu Cingkariang, Gaduik, Sianok
Anam Suku, Guguak Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang
Putiah, Pasia, Kapau, Batu Taba, dan Koto Gadang.[14] Namun, sebagian masyarakat di nagarinagari tersebut menolak untuk bergabung dengan Bukittinggi sehingga, peraturan tersebut hingga
saat ini belum dapat dilaksanakan.[15]
Geograf
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau
Sumatera, dan dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi.
Kota ini berada pada ketinggian 909941 meter di atas permukaan laut, dan memiliki hawa
cukup sejuk dengan suhu berkisar antara 16.124.9 C. Sementara itu, dari total luas wilayah
Kota Bukittinggi saat ini (25,24 km), 82,8% telah diperuntukkan menjadi lahan budidaya,
sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.
Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar
dalam wilayah perkotaan, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit
Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit
Canggang, Bukit Paninjauan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat lembah yang dikenal dengan
Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75110 m, yang di dasarnya mengalir
sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang.
Kependudukan
Perkembangan penduduk Bukittinggi tidak terlepas dari berubahnya peran kota ini menjadi pusat
perdagangan di dataran tinggi Minangkabau. Hal ini ditandai dengan dibangunnya pasar oleh
pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1890 dengan nama loods. Masyarakat setempat
mengejanya dengan loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih
Galuang.
Saat ini Bukittingi merupakan kota terpadat di Provinsi Sumatera Barat, dengan tingkat
kepadatan mencapai 4.400 jiwa/km. Jumlah angkatan kerja sebanyak 52.631 orang dan sekitar
3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran.[16] Kota ini didominasi oleh etnis
Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil, dan Batak.
Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi. Mereka
diizinkan pemerintah Hindia-Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit Benteng Fort de
Kock, yang terletak di bagian barat kota, membujur dari selatan ke utara, dan saat ini dikenal
dengan nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah utara,
melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut juga Kampung Keling.
Tahun
2008
Jumlah
penduduk
106.04
5
2010
110.95
4
Pemerintahan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar Wali Kota Bukittinggi
Sejak tahun 1918 Kota Bukittinggi telah berstatus gemeente,[17] selanjutnya tahun 1930 wilayah
kota ini diperluas menjadi 5.2 km.[18] Pada masa pendudukan Jepang wilayah kota ini kembali
diperluas. Kemudian di awal kemerdekaan Indonesia terjadi tumpang tindih batas-batas wilayah
kota ini karena penetapan sepihak baik masa Hindia-Belanda maupun Jepang.
Saat ini batas wilayah pemerintahan kota dikelilingi oleh Kabupaten Agam, dan konfik antara
kedua pemerintah daerah tersebut tentang batas wilayah masih berlanjut,[19] ditambah setelah
keluarnya Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah Kota
Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Dari peraturan pemerintah (PP) ini luas wilayah Kota
Bukittinggi bertambah menjadi 145.29,90 km, dengan memasukkan beberapa nagari yang
sebelumnya pada masa pendudukan Jepang berada dalam wilayah administrasi Kota Bukittinggi.
[20]
Namun seiring bergulirnya reformasi pemerintahan yang memberikan hak otonomi yang luas
kepada kabupaten dan kota, muncul kembali penolakan dari masyarakat Kabupaten Agam atas
perluasan dan pengembangan wilayah Kota Bukittinggi tersebut. Bagi masyarakat Kabupaten
Agam yang masuk ke dalam wilayah perluasan kota ini, merasa rugi karena dengan kembalinya
penerapan model pemerintahan nagari lebih menjanjikan, dibandingkan berada dalam sistem
kelurahan. Selain itu timbul asumsi, masyarakat kota yang telah heterogen juga dikhawatirkan
akan memberikan dampak kepada tradisi adat dan kekayaan yang selama ini dimiliki oleh nagari.
Perwakilan
DPRD kota Bukittinggi
2009-2014
Partai
Kursi
Partai Demokrat
Partai Golkar
3
3
PAN
PKS
PPP
Partai Hanura
PBB
1
1
Partai Gerindra
PKPI
Total
25
Sumber:
[21]
Pada Pemilu Legislatif 2009, DPRD Kota Bukittinggi adalah sebanyak 25 orang dan tersusun
dari perwakilan sembilan partai.[21]
Pendidikan
Sejak zaman kolonialis Belanda, kota ini telah menjadi pusat pendidikan di Pulau Sumatera.[22]
Dimulai sejak tahun 1872, dengan berdirinya Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers
(sekolah guru untuk guru-guru bumiputra) atau dikenal juga dengan nama sekolah radja, yang
selanjutnya berkembang menjadi volksschool atau sekolah rakyat. Kemudian pada tahun 1912
muncul Hollandsch Inlandsche School (HIS), yang dilanjutkan dengan berdirinya Sekolah
Pamong Opleiding School voor Inlandsch Ambtenaren (OSVIA) tahun 1918. Pada tahun 1926
juga telah berdiri MULO di Kota Bukittinggi.[23]
Pada masa awal kemerdekaan di kota ini pernah berdiri sekolah Polwan dan Kadet serta sekolah
Pamong Praja yang pertama di Indonesia. [24] Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan FKIP
Universitas Andalas (sekarang Universitas Negeri Padang) juga pertama kali didirikan di kota ini
sebelum dipindahkan ke Kota Padang.[25]
SD
SMP
atau
SMA
MA
SMK
atau
Pendidik
MI
negeri neger negeri Perguru
MTs
an
negeri
dan i dan dan
an
negeri
formal
dan
swast swast swast tinggi
dan
swast
a
a
a
swasta
a
Jumlah
satuan
65
19
11
13
[26][27]
Kesehatan
Kota Bukittinggi telah memiliki pelayanan kesehatan yang baik, kota dengan luas relatif kecil ini
telah memiliki 5 rumah sakit, yaitu 3 milik pemerintah dan 2 milik swasta. Selain itu, juga
didukung oleh 5 puskesmas, 6 puskesmas keliling, dan 15 puskesmas pembantu. Salah satu yang
utama adalah Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar, merupakan rumah sakit umum
milik pemerintah bertipe B dengan jumlah tempat tidur sebanyak 299.[28]
Rumah Sakit Stroke Nasional yang terdapat di kota ini, merupakan rumah sakit milik pemerintah
dengan pelayanan khusus penyakit stroke, dan memiliki jumlah tempat tidur sebanyak 124 buah.
[29][30]
Rumah sakit ini merupakan rumah sakit khusus pengobatan stroke pertama di Indonesia
dan ketiga di dunia.[25] Selain itu terdapat juga Rumah Sakit Islam Ibnu Sina, sebuah rumah sakit
swasta yang telah memiliki kapasitas tempat tidur sebanyak 136 buah.[28]
Sementara itu untuk meningkatkan ketersediaan dan kualitas tenaga kesehatan dalam rangka
meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat, sampai tahun 2009 terdapat delapan institusi
pendidikan tenaga kesehatan di Kota Bukittinggi. Dua institusi milik pemerintah (Poltekes) dan
enam dikelola oleh pihak swasta.[28]
Perhubungan
Kota Bukittinggi berada pada posisi strategis Jalur Lintas Sumatera, yang menghubungkan
Padang, Medan, dan Palembang, serta berada di antara Padang dan Pekanbaru. Terminal Aur
Kuning merupakan terminal utama untuk angkutan transportasi darat di kota ini. Sementara
untuk transportasi dalam kota, tersedia angkutan kota, taksi, dan bendi (kereta kuda).
Berdasarkan catatan Dinas Pekerjaan Umum, seluruh jalan di kota ini panjangnya mencapai 196
km, termasuk jalan negara dan jalan provinsi.
Sebelumnya kota ini dilalui oleh jalur kereta api yang menghubungkan Payakumbuh dan Padang
yang dibangun sekitar awal abad ke-20. Namun pada dekade 1970-an, sarana transportasi ini
tidak diaktifkan lagi. Kota ini juga telah memiliki sarana transportasi udara non-kelas yang
bernama Bandar Udara Gadut.[31]
Perekonomian
Pasar Atas
Perkembangan pasar Loih Galuang yang sekarang disebut juga Pasar Ateh, membuat pemerintah
Hindia-Belanda pada tahun 1900 mengembangkan sebuah loods ke arah timur, tepatnya pada
kawasan pinggang bukit yang berdekatan dengan selokan yang mengalir di kaki bukit. Karena
lokasi pasar tersebut berada di kemiringan, masyarakat setempat menyebutnya dengan nama
Pasar Teleng (Miring) atau Pasar Lereng. Perkembangan berikutnya di sekitar kawasan tersebut
muncul lagi beberapa pasar, di antaranya Pasar Bawah dan Pasar Banto. Pasar-pasar tradisional
di sekitar kawasan Jam Gadang ini, kemudian berkembang menjadi tempat penjualan hasil
kerajinan tangan dan cendera mata khas Minangkabau. Dalam penataan pasar, pemerintah
Hindia-Belanda juga menghubungkan setiap pasar tersebut dengan janjang (anak tangga), dan di
antara anak tangga yang terkenal adalah Janjang 40.
Untuk mengurangi penumpukan pada satu kawasan, pemerintah Bukittinggi kemudian
mengembangkan kawasan perkotaan ke arah timur dengan membangun Pasar Aur Kuning, yang
saat ini merupakan salah satu pusat perdagangan grosir terbesar di Pulau Sumatera. Disebabkan
luas wilayah yang kecil, sektor perdagangan merupakan salah satu pilihan bagi pemerintah
Bukittinggi dalam meningkatkan pendapatan penduduknya.
Selain itu pemerintah Bukittinggi juga menelurkan beberapa program dalam mengentaskan
kemiskinan, di antaranya pelatihan keterampilan membordir dan pelatihan pembuatan kebaya,
serta penumbuhan wirausaha baru.[32] Bordir asli Bukittinggi biasanya menggunakan teknik
krancang langsung yang tergolong rumit dan memakan waktu. Ini berbeda dengan barang hasil
serupa buatan Tasikmalaya, Jawa Barat yang menggunakan teknik krancang solder. [33]
Pariwisata
Jembatan Limpapeh
Industri pariwisata merupakan salah satu sektor andalan Kota Bukittinggi. Banyaknya objek
wisata yang menarik, menjadikan kota ini dijuluki sebagai "kota wisata". Pada tahun 2012,
jumlah wisatawan mancanegara yang mengunjungi kota ini mencapai 26.629 orang.[34] Saat ini di
Bukittinggi terdapat sekitar 60 hotel dan 15 biro perjalanan.[35] Hotel-hotel yang terdapat di
Bukittinggi antara lain The Hills, Hotel Pusako, dan Grand Rocky Hotel.
Ngarai Sianok merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama yang terletak di
dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat keindahan pemandangan
Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua bekas persembunyian tentara
Jepang sewaktu Perang Dunia II yang disebut dengan Lubang Japang. Untuk mengunjungi
nagari Koto Gadang di bawah ngarai, wisatawan bisa melalui Janjang Koto Gadang. Jenjang
yang memiliki panjang sekitar 1 km ini, memiliki desain seperti Tembok Besar China.[36]
Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum
kebudayaan Minangkabau. Kebun Binatang Bukittinggi dan Benteng Fort de Kock, dihubungkan
oleh jembatan penyeberangan yang disebut Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan
Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di Kota Bukittinggi.
Pasar Ateh (Pasar Atas) berada berdekatan dengan Jam Gadang yang merupakan pusat keramaian
kota. Di Pasar Ateh terdapat banyak penjual kerajinan tangan dan bordir,[37] serta makanan kecil
oleh-oleh khas Sumatera Barat, seperti keripik sanjai (keripik singkong ala daerah Sanjai di
Bukittinggi) yang terbuat dari singkong, karupuak jangek yang dibuat dari bahan kulit sapi atau
kerbau, dan karak kaliang, sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka
8.
Olahraga
Masyarakat Bukittinggi sangat menyukai olahraga berkuda, dan setiap tahunnya kota ini
mengadakan lomba pacu kuda di Bukit Ambacang, yang sudah diselenggarakan sejak tahun
1889.[6] Perlombaan pacu kuda ini merupakan rangkaian perlombaan pacu kuda yang diadakan di
beberapa kawasan lain di Sumatera Barat. Dengan adanya pelombaan ini, mendorong para
peternak kuda untuk tetap bertahan dan memanfaatkan tradisi ini sebagai sumber mata pencarian.
[38]