CEPHALGIA
1. Definisi
Cephalgia atau sakit kepala adalah salah satu keluhan fisik paling utama manusia. Sakit
kepala pada kenyataannya adalah gejala bukan penyakit dan dapat menunjukkan penyakit
organik ( neurologi atau penyakit lain), respon stress, vasodilatasi (migren), tegangan
otot rangka (sakit kepala tegang) atau kombinasi respon tersebut (Brunner & Suddart dalam
Nugraheni, 2011)
Cephalgia atau nyeri kepala termasuk keluhan yang umum dan dapat terjadi akibat banyak
sebab yang membuat pemeriksaan harus dilakukan dengan lengkap. Sakit kepala kronik
biasanya disebabkan oleh migraine, ketegangan, atau depresi, namun dapat juga terkait
dengan lesi intracranial, cedera kepala, dan spondilosis servikal, penyakit gigi atau mata,
disfungdi sendi temporomandibular, hipertensi, sinusitis, dan berbagai macam gangguan
medis umum lainnya. Walaupun lesi structural jarang ditemukan pada kebanyakan pasien
yang mengalami cephalgia, keberadaan lesi tersebut tetap penting untuk diwaspadai. Sekitar
satu pertiga pasien tumor otak, sebagai contoh, datang dengan keluhan utama sakit kepala.
(Nugraheni, 2011)
Intensitas, kualitas, dan lokasi nyeri –terutama durasi dari cephalgia dan keberadaan gejala
neurologik terkait- dapat memberikan tanda penyebab. Migraine atau nyeri kepala tipe tegang
biasanya dijelaskan sebagai sensasi berdenyut; sensasi tekanan juga umum terdapat pada nyeri
kepala tipe tegang. Nyeri seperti tertusuk-tusuk menandakan penyebab neuritik; nyeri okuler
dan periorbital menandakan terjadinya migraine atau nyeri kepala kluster, dan nyeri kepala
persisten merupakan gejala tipikal dari massa intracranial. Nyeri okuler dan periokuler
menandakan gangguan ophtalmologik, nyeri dengan sensasi terikat umum pada nyeri kepala
tipe tegang. Pada pasien dengan sinusitis, mungkin didapatkan rasa nyeri pada kulit dan tulang
sekitar. (Nugraheni, 2011)
Cephalgia menandakan aktivasi dari serat afferent primer yang menginnervasi pembuluh
darah cephalic, terutama pembuluh darah meningeal atau cerebral.Kebanakan serat nosiseptif
yang menginnervasi struktur ini berasal dari neuron pseudounipolar yang terletak dalam
ganglia trigerminal (divisi pertama), walaupun beberapa lainna berasal dari dalam ganglia
servikal bagian atas. Rangsangan yang mengaktivasi serat ini cukup bervariabel, mulai dari
traksi mekanikal langsung akibat tumor sampai iritasi kimia yang disebabkan oleh infeksi SSP
atau perdarahan subarachnoid. Pada pasien dengan gangguan cephalgia sekunder, sakit kepala
berasal dari sumber struktur atau peradangan yang dapat teridentifikasi. Penanganan terhadap
abnormalitas primer tersebut dapat mengakibatkan penyembuhan sakit kepala. Akan tetapi
kebanyakan pasien dengan sakit kepala yang kronik memiliki gangguan cephalgia primer
seperti migraine atau nyeri kepala tipe tegang, dimana pada keadaan ini pemeriksaan fisik dan
laboratorium biasanya normal. (Nugraheni, 2011)
Teori vasogenik yang mengatakan bahwa vasokonstriksi intracranial berperan terhadap
terjadinya gejala aura migraine dan cephalgia terjadi akibat dilatasi “rebound” atau distensi
pembuluh cranial dan aktivasi dari akson nosiseptif perivaskuler. Teori ini berdasarkan
pengamatan dari adanya (1) Pelebaran pembuluh ekstrakranial dan denyut selama serangan
migraine terjadi pada kebanyakan pasien, sehingga menandakan kemungkinan peranan
penting dari pembuluh cranial; (2) Rangsangan pembuluh intracranial pada pasien yang
terjada mengakibatkan sakit kepala ipsilateral; dan (3) Zat yang dapat menyebabkan
vasokonstriksi, seperti ergot alkaloid, ergot alkaloids, meringankan sakit kepala, sedangkan
vasodilator seperti nitrat, dapat memicu serangan.2
Hipotesis lainnya yaitu teori neurogenik, yaitu mengidentifikasi otak sebagai pusat
migraine dan menyatakan bahwa kemugkinan serangan migrain menandakan ambang nyeri
intrinsic otak untuk tiap individu; perubahan vaskuler yang terjadi saat migraine merupakan
akibat bukan penyebab dari serangan migraine. Dukungan dari hipotesis ini berdasar pada
serangan migraine biasanya diikuti dengan beragam gejala fokal (pada aura) dan vegetatif
(pada prodromal) yang tidak dapat dijelaskan secara sederhana dari terjadinya vasokonstriksi
dalam distribusi tunggal neurovaskuler. (Nugraheni, 2011)
Sepertinya elemen dari kedua teori ini telah dapat menjelaskan beberapa patofisiologi dasar
dari migraine dan gangguan cephalgia primer lainnya. Pencitraan (i.e., magnetic resonance
imaging [MRI] dan positron emission tomography [PET]) dan pemeriksaan genetic yang
mengkonfirmasi bahwa migraine dan cephalgia terkait merupakan gangguan dari
neurovaskuler. (Nugraheni, 2011)
2. Klasifikasi
Klasifikasi sakit kepala yang paling baru dikeluarkan oleh Headache Classification Cimitte of
the International Headache Society sebagai berikut:
a. Migren (dengan atau tanpa aura)
b. Sakit kepala tegang
c. Sakit kepala klaster dan hemikrania paroksismal
d. Berbagai sakit kepala yang dikaitkan dengan lesi struktural.
e. Sakit kepala dikaitkan dengan trauma kepala.
f. Sakit kepala dihubungkan dengan gangguan vaskuler (mis. Perdarahan subarakhnoid).
g. Sakit kepala dihubungkan dengan gangguan intrakranial non vaskuler ( mis. Tumor
otak)
h. Sakit kepala dihubungkan dengan penggunaan zat kimia tau putus obat.
i. Sakit kepala dihubungkan dengan infeksi non sefalik.
j. Sakit kepala yang dihubungkan dengan gangguan metabolik (hipoglikemia).
k. Sakit kepala atau nyeri wajah yang dihubungkan dengan gangguan kepala, leher
atau struktur sekitar kepala ( mis. Glaukoma akut)
l. Neuralgia kranial (nyeri menetap berasal dari saraf kranial)
(dalam Nugraheni, 2011)
3. Pathway
(Maulana, 2016)
4. Patofisiologi
Sakit kepala timbul sebagai hasil perangsangan terhadap bangunan-bangunan diwilayah
kepala dan leher yang peka terhadap nyeri. Bangunan-bangunan ekstrakranial yang peka nyeri
ialah otot-otot okspital, temporal dan frontal, kulit kepala, arteri-arteri subkutis dan
periostium. Tulang tengkorak sendiri tidak peka nyeri. Bangunan-bangunan intrakranial yang
peka nyeri terdiri dari meninges, terutama dura basalis dan meninges yang mendindingi sinus
venosus serta arteri-arteri besar pada basis otak. Sebagian besar dari jaringan otak sendiri tidak
peka nyeri.
Perangsangan terhadap bangunan-bangunan itu dapat berupa:
Infeksi selaput otak : meningitis, ensefalitis.
Iritasi kimiawi terhadap selaput otak seperti pada perdarahan subdural atau setelah
dilakukan pneumo atau zat kontras ensefalografi.
Peregangan selaput otak akibat proses desak ruang intrakranial, penyumbatan jalan lintasan
liquor, trombosis venos spinosus, edema serebri atau tekanan intrakranial yang menurun
tiba-tiba atau cepat sekali.
Vasodilatasi arteri intrakranial akibat keadaan toksik (seperti pada infeksi umum,
intoksikasi alkohol, intoksikasi CO, reaksi alergik), gangguan metabolik (seperti
hipoksemia, hipoglikemia dan hiperkapnia), pemakaian obat vasodilatasi, keadaan paska
contusio serebri, insufisiensi serebrovasculer akut).
Gangguan pembuluh darah ekstrakranial, misalnya vasodilatasi ( migren dan cluster
headache) dan radang (arteritis temporalis)
Gangguan terhadap otot-otot yang mempunyai hubungan dengan kepala, seperti pada
spondiloartrosis deformans servikalis.
Penjalaran nyeri (reffererd pain) dari daerah mata (glaukoma, iritis), sinus (sinusitis),
baseol kranii ( ca. Nasofaring), gigi geligi (pulpitis dan molar III yang mendesak gigi) dan
daerah leher (spondiloartritis deforman servikalis.
Ketegangan otot kepala, leher bahu sebagai manifestasi psikoorganik pada keadaan depresi
dan stress. Dalam hal ini sakit kepala sininim dari pusing kepala.
(dalam Nugraheni, 2011)
4. Manifestasi Klinis
a. Migren
Migren adalah gejala kompleks yang mempunyai karakteristik pada waktu tertentu dan
serangan sakit kepala berat yang terjadi berulang-ulang. Penyebab migren tidak diketahui jelas,
tetapi ini dapat disebabkan oleh gangguan vaskuler primer yang biasanya banyak terjadi pada
wanita dan mempunyai kecenderungan kuat dalam keluarga. (Nugraheni, 2011)
Tanda dan gejala adanya migren pada serebral merupakan hasil dari derajat iskhemia kortikal
yang bervariasi. Serangan dimulai dengan vasokonstriksi arteri kulit kepala dam pembuluh
darah retina dan serebral. Pembuluh darah intra dan ekstrakranial mengalami dilatasi, yang
menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan. (Nugraheni, 2011)
1. Fase aura.
Berlangsung lebih kurang 30 menit, dan dapat memberikan kesempatan bagi pasien untuk
menentukan obat yang digunakan untuk mencegah serangan yang dalam. Gejala dari periode
ini adalah gangguan penglihatan ( silau ), kesemutan, perasaan gatal pada wajah dan tangan,
sedikit lemah pada ekstremitas dan pusing.
Periode aura ini berhubungan dengan vasokonstriksi tanpa nyeri yang diawali dengan
perubahan fisiologi awal. Aliran darah serebral berkurang, dengan kehilangan autoregulasi
laanjut dan kerusakan responsivitas CO2. (Nugraheni, 2011)
Fase sakit kepala berdenyut yang berat dan menjadikan tidak mampu yang dihungkan dengan
fotofobia, mual dan muntah. Durasi keadaan ini bervariasi, beberapa jam dalam satu hari atau
beberapa hari. (Nugraheni, 2011)
3. Fase pemulihan
Periode kontraksi otot leher dan kulit kepala yang dihubungkan dengan sakit otot dan
ketegangan lokal. Kelelahan biasanya terjadi, dan pasien dapat tidur untuk waktu yang panjang.
(Nugraheni, 2011)
b. Cluster Headache
Cluster Headache adalah bentuk sakit kepal vaskuler lainnya yang sering terjadi pada pria.
Serangan datang dalam bentuk yang menumpuk atau berkelompok, dengan nyeri yang
menyiksa didaerah mata dan menyebar kedaerah wajah dan temporal. Nyeri diikuti mata berair
dan sumbatan hidung. Serangan berakhir dari 15 menit sampai 2 jam yang menguat dan
menurun kekuatannya.
Tipe sakit kepala ini dikaitkan dengan dilatasi didaerah dan sekitar arteri ekstrakranualis, yang
ditimbulkan oleh alkohol, nitrit, vasodilator dan histamin. Sakit kepala ini berespon terhadap
klorpromazin. (Nugraheni, 2011)
c. Tension Headache
Stress fisik dan emosional dapat menyebabkan kontraksi pada otot-otot leher dan kulit kepala,
yang menyebabkan sakit kepala karena tegang. Karakteristik dari sakit kepala ini perasaan ada
tekanan pada dahi, pelipis, atau belakang leher. Hal ini sering tergambar sebagai “beban berat
yang menutupi kepala”. Sakit kepala ini cenderung kronik daripada berat. Pasien membutuhkan
ketenangan hati, dan biasanya keadaan ini merupakan ketakutan yang tidak terucapkan.
Bantuan simtomatik mungkin diberikan untuk memanaskan pada lokasi, memijat, analgetik,
antidepresan dan obat relaksan otot. (Nugraheni, 2011)
5. Diagnostik
1. CT Scan, menjadi mudah dijangkau sebagai cara yang mudah dan aman untuk menemukan
abnormalitas pada susunan saraf pusat.
2. MRI Scan, dengan tujuan mendeteksi kondisi patologi otak dan medula spinalis dengan
menggunakan tehnik scanning dengan kekuatan magnet untuk membuat bayangan struktur
tubuh.
3. Pungsi lumbal, dengan mengambil cairan serebrospinalis untuk pemeriksaan. Hal ini tidak
dilakukan bila diketahui terjadi peningkatan tekanan intrakranial dan tumor otak, karena
penurunan tekanan yang mendadak akibat pengambilan CSF.
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan chepalgia meliputi :
- Cidera serebrovaskuler / Stroke
- Infeksi intrakranial
- Trauma kranioserebral
- Cemas
- Gangguan tidur
- Depresi
- Masalah fisik dan psikologis lainnya
(Djoefrei, 2014)
(Djoefrei, 2014)
(Nugraheni, 2011)
DAFTAR PUSTAKA
Cynthia. M.T, Sheila. S.R. 2011. Diagnosis keperawatan dengan rencana asuhan. EGC: Jakarta.
Djoefrei. 2014. Laporan Pendahuluan Chepalgia. https://www.scribd.com/doc/210702954/LP-
Chepalgia. (diakses tanggal 19 oktober 2019)
Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. EGC: Jakarta.
Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes Mourologi. Erlangga: Jakarta.
Markam, soemarmo. 2009. Penuntun Neurlogi. Binarupa Aksara.Jakarta.
Maulana, Dimas. 2016. Pathway Chepalgia. https://www.scribd.com/doc/310258950/Pathway-
Chepalgia. ( diakses tanggal 19 oktober 2019)
Nugraheni, N.G Ariani. 2011. Laporan Pendahuluan Chepalgia.
https://www.academia.edu/23475382/Dokumen.tips_cepalgia-lp. (diakses tanggal 19 oktober
2019)
Papdi, Eimed. 2012. Kegawatdaruratan Penyakit Dalam (Emergency in internal medicine).Interna
Publishing: Jakarta.
Priguna Sidharta. 2008. Neurogi Klinis dalam Praktek Umum. Dian Rakyat : Jakarta.
Weiner. H.L, Levitt. L.P. 2005. NEUROLOGI. Edisi 5. EGC: Jakarta.