Anda di halaman 1dari 30

Menentukan Kebutuhan dan Kebijakan Pendidikan

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sistem

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Mukhneri, M.Pd

Disusun Oleh :
Anita Farida (1103618006)
Dewi Anatasya (1103818034)
Muhammad Dandy Prasetyo (1103618080)
Muhammad Ibrahim Adham (1103618072)
Yulia Gusti Wulandari (1103618068)

Manajemen Pendidikan 2018 B

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Menentukan
Kebutuhan dan Kebijakan Pendidikan”. Kami menyadari selesainya makalah ini
tidak lepas dari bantuan berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk itu kami menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Mukhneri M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Teori Sistem.
2. Teman-teman sekelas MP 2018 B yang membantu dan mendukung kami
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sistem dan
memberikan manfaat bagi pembaca khususnya untuk kami sendiri. Makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, penyusun
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya civitas
akademika Universitas Negeri Jakarta.

Jakarta, 13 Maret 2019

Penyusun

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................. 2
D. Manfaat Penulisan ................................................................................................ 2
BAB II ................................................................................................................................ 3
KAJIAN TEORI ............................................................................................................... 3
A. Menentukan Kebutuhan Pendidikan .................................................................. 3
B. Pedoman Penetepan Kebutuhan Pendidikan ..................................................... 5
C. Konsep Dasar Kebijakan...................................................................................... 5
D. Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan ................................................................. 7
E. Stratifikasi Kebijakan Pendidikan ...................................................................... 9
F. Proses Dasar Formulasi Kebijakan Pendidikan .............................................. 14
G. Proses Formulasi Kebijakan Pendidikan .......................................................... 16
H. Implementasi Kebijakan Pendidikan ................................................................ 20
I. Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Pendidikan............................................. 22
BAB III............................................................................................................................. 25
PENUTUP........................................................................................................................ 25
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 25
B. Saran .................................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 26

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dekade terakhir ini telah banyak disadari bahwa Pendidikan yang
bermutu dapat diukur dari pemenuhan harapan masyarakat yang memfokuskan
pelayanannya pada kebutuhan pelanggan, baik pelanggan di dalam organisasi
(Intern Customers) maupun pelanggan diluar organisasi (External Customers).
Pemenuhan kebutuhan pelanggan tersebut merupakan usaha organisasi untuk
menjaga kualitas, dengan harapan pelanggan tetap percaya dan bertahan pada
produk dan jasa yang dihasilkan organisasi. Begitu juga dalam organisasi
Pendidikan, sekolah yang berkualitas selalu memenuhi kebutuhan dan harapan
guru, siswa, masyarakat, dan pemerintah.
Pemenuhan kebutuhan dan pemenuhan harapan pelanggan internal dan
eksternal yang diberikan Lembaga Pendidikan pada akhir-akhir ini
menunjukkan belum memenuhi harapan pelanggan, baik ditinjau dari guru
sebagai pelanggan internal yang masih merasakan kebutuhan dan harapan
mereka belum terpenuhi, misalnya : masih rendahnya gaji guru, kenaikan
pangkat yang tertunda, dan perbaikan layanan terhadap pelanggan masih
rendah. Begitu juga dari pelanggan eksternal siswa yang tidak terpenuhi
kebutuhan pembelajaraannya di sekolah lebih memilih Pendidikan non-formal
untuk memenuhi kebutuhan mereka, pelayanan guru dan kepala sekolah belum
sesuai dengan harapan dan kebutuhan siswa.
Engkoswara mengatakan, “Administrasi Pendidikan adalah ilmu yang
mempelajari penataan sumber daya manusia yaitu : Kurikulum dan fasilitas
untuk mencapai tujuan Pendidikan secara optimal dan penciptaan suasana yang
baik bagi manusia dalam mencapai tujuan Pendidikan”. Setelah kita mengetahui
definisi administrasi Pendidikan tentu administrasi Pendidikan menjadi salah
satu disiplin ilmu yang berkontribusi untuk mencapai tujuan Pendidikan. Di
dalam administrasi Pendidikan terdapat kebijakan Pendidikan yang digunakan
dalam dunia persekolah dan Pendidikan tentunya. Kebijakan disamakan dengan
cara dan program, bahkan sering tidak dibedakan antara perbuatan kebijakan

1
2

(Policy Making) atau pembuatan kebijakan (Decision Making). Tidak


hanya itu di dalam kebijakan Pendidikan juga terdapat pendekatan dan model-
model kebijakan yang digunakan dalam Pendidikan. Semuanya ini saling
berkaitan guna mencapai suatu tujuan Pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara menentukan kebutuhan pendidikan?
2. Jelaskan pedoman penentuan kebutuhan pendidikan?
3. Jelaskan konsep dasar kebijakan?
4. Jelaskan konsep dasar kebijakan pendidikan?
5. Jelaskan stratifikasi kebijakan pendidikan?
6. Bagaimana proses dasar formulasi kebijakan pendidikan?
7. Bagaimana implementasi kebijakan pendidikan
8. Jelaskan monitoring dan evaluasi kebijakan pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah teori sistem
2. Sebagai bahan diskusi kelompok.
3. Untuk mengetahui bagaimana pedoman menentukan kebijakan dan
kebutuhan pendidikan.
4. Untuk mengetahui bagaimana proses implementasi, serta evaluasi kebijakan
pendidikan.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi akademisi, makalah ini bermanfaat untuk menambah referensi tentang
bagaimana cara menentukan kebutuhan dan kebijakan pendidikan.
2. Bagi pembuat kebijakan, makalah ini bermanfaat sebagai bahan masukan
tentang penentuan kebutuhan dan kebijakan Pendidikan.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Menentukan Kebutuhan Pendidikan
Kebutuhan pelanggan internal dalam Lembaga Pendidikan, seperti
kepala sekolah, guru, dan Lembaga teknis lainnya merupakan sesuatu yang
harus dipenuhi. Kalau tidak terpenuhi kebutuhan tersebut, maka akan bermuara
pada masalah-masalah dalam penyelenggaraan Pendidikan di Lembaga
persekolahan. Sedangkan pelanggan eksternal, seperti siswa, orang tua,
masyarakat, perusahaan, industry, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Pendidikan yang bermutu dalam hal ini adalah bagaimana Lembaga Pendidikan
memenuhi harapan dan kebutuhan yang ada dalam pelanggan eksternal
tersebut.
Kebutuhan Pendidikan semakin meningkat diseluruh dunia, dimana
undang-undang tentang dana dan alat-alat perlengkapan merupakan dorongan
yang utama. Pendekatan yang digunakan untuk mementukan kebutuhan
Pendidikan adalan menggunakan Teknik Delphi yaitu dengan cara menanyakan
kepada kepala sekolah, guru, pegawai, siswa, orang tua, masyarakat dan
pemerintah tentang kebutuhan mereka dalam bidang Pendidikan. Kebutuhan
tersebut berupa data-data dan fakta secara empiris yang terjadi dalam
masyarakat, baik masyarakat sekolah maupun masyarakat diluar sekolah.
Identifikasi kebutuhan merupakan Analisa yang dilakukan evaluator terhadap
ketidaksesuaian antara fakta dengan standar yang ditetapkan sebelumnya, atau
kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang ditunjukkan dalam dua
kutup: dimana posisi sekarang, dan bagaimana untuk pencapaiannya.
Sehubungan dengan penetapan kebutuhan Pendidikan, faktor siswa,
orang tua, masyarakat, dan pendidik meruapakan subjek yang harus dipenuhi
kebutuhannya dalam kegiatan pelaksanaan Pendidikan dan pengajaran di
sekolah. Orang-orang tersebut merupakan aspek yang harus dipenuhi
kebutuhannya dalam perencanaan Pendidikan. Partisipasi dan keikutsertaan
mereka dalam penyelenggaraan Pendidikan sangat dibutuhkan sesuai dengan
peranan mereka dalam membangun ide dan metode.

3
4

Model penetapan kebutuhan Pendidikan menurut Kaufman dan Harsh


(1969) terdiri dari model induktif, deduktif, dan klasik. Pertama, model induktif
dimulai dari fakta, tujuan, harapan, dan hasil dari suatu kegiatan nyata
Pendidikan dalam masyarakat. Pada model ini difokuskan bagaimana data
diperoleh dari lingkungan dan program Pendidikan pada Lembaga
persekolahan. Dalam menggunakan model ini pekerjaan utama yang harus
dilakukan perencana adalah melihat bagaimana siswa bertingtkah laku dalam
lingkungannya. Selanjutnya, peristiwa Penting disusun kedalam suatu program
dan harapan tingkah laku yang akan mewakili tingkah laku masyarakat yang
ada pada suatu daerah. Untuk menyatukan ketidak cocokan antara harapan dan
kenyataan, maka ditentukan tujuan-tujuan yang mengarah kepada tingkah laku
yang diperlukan dalam masyarakat. Dari tujuan-tujuan yang terperinci ini
program Pendidikan akan bias dibangun, diterapkan, dan tujuan dapat diperiksa
dan merevisi kembali sesuai dengan kebutuhan.
Kedua, model deduktif dimulai dari tujuan, pernyataan dan pendapat
untuk menarik kesimpulan terhadap program pendidikan. Dalam menggunakan
model ini, dititik beratkan pada kegiatan untuk mengidentifikasi dan memilih
tujuan Pendidikan agar terjadinya perubahan pada lingkungan sekolah. Ukuran
kriteria (indicator nyata) yang dapat digunakan untuk menentukan tujuan
Pendidikan. Langkah selanjutnya adalah dilihat perubahan-perubahan dalam
sistem Pendidikan. Kemudian data yang actual akan terlihat dari kriteria atau
indikator yang ada.
Ketiga, model klasik sebagai model yang sering digunakan dewan
Pendidikan yang dimulai dari beberapa pernyataan umum masing-masing
tujuan. Proses ini ditujukan untuk mengembangkan program Pendidikan yang
dapat diterapkan dan dievaluasi pada masing-masing Lembaga Pendidikan.
Setelah kebutuhan ditentukan, selanjutnya diurutkan menurut tingkat
kepentingannya, dengan cara menganalisa masing-masing kebutuhan sesuai
dengan manfaat dan prioritas pencapaiannya. Penentuan prioritas ini adalah
penting yang didasarkan waktu dan biaya pada setiap kebutuhan dalam kegiatan
5

pendidikan dengan mempertimbangkan sumber-sumber dan dana harus


dialosikan sesuai dengan prioritas dan hasil.
Beberapa kriteria penentuan prioritas adalah melakukan penilaian
terhadap masing-masing kebutuhan. Penetapan prioritas adalah dengan
menyusun dan mengindentifikasi kebutuhan dengan prioritas utama.
Memahami kebutuhan yang cocok dengan masalah, dan cara memecahkannya.
B. Pedoman Penetepan Kebutuhan Pendidikan
Pedoman penetapan kebutuhan ini pada awalnya dikemukakan oleh
Kaufman, Coriga, dan Johnson (1969), mereka mengusulkan kegunaan satu
model untuk keseluruhan pendidikan. Pada akhirnya siswa berhasil dan survive
dalam kelangsungan hidupnya sesuai dengan yang dicita-citakan.
Penggunaan beberapa model lainnya. Pertama, model Sweigert sebagai
penetapan kebutuhan secara rinci dalam pemecahan masalah pendidikan. Dia
mengusulkan karakteristik untuk menetapkan suatu kebutuhan, yaitu:
1. Terpusat pada kebutuhan siswa
2. Mengidentifikasi pencapaian kelompok siswa
3. Kriteria untuk mengevaluasi kemajuan terhadap kebutuhan
4. Kebutuhan yang kritis
5. Ukuran penetapan
6. Penemuan komitmen secara umum
Kedua, model Stafflebean (1968) yang mengusulkan beberapa
pertimbangan oleh pendidik dalam menentukan kebutuhan, diantaranya:
1. Konteks evaluasi, analisis secara teratur dari sebuah bendanya
2. Masukan evaluasi belajar dari fasilitas, pegawai, dan pelayan
3. Proses evaluasi dan urutan kondisi dalam program
4. Evaluasi dan perubahan yang diharapkan.
C. Konsep Dasar Kebijakan
Bidang Pendidikan merupakan salah satu dari bidang pemerintahan
yang sering dipandang vital. Itulah sebabnya mengapa bidang Pendidikan
menjadi satu-satunya urusan pemerintahan yang platform anggarannya
ditentukan secara pasti dalam konstitusi negara (UUD 1945), sementara bidang
6

lainnya tidak. BAB XIII Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 menyatakan, “Negara
memprioritaskan anggaran Pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN
serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.” Sebagai konsekuensinya, setiap pelaksana dan penyelenggara
Pendidikan berkewajiban untuk memahami dan melaksanakan kebijakan
Pendidikan sebagaimana mestinya. Diperlukan pengetahuan mengenai
kebijakan Pendidikan, baik secara teori, maupun implementasi, monitoring dan
evaluasinya, agar tujuan tersebut dapat dicapai.
Kata kebijakan atau polesi (Policy) itu sendiri, menurut Bernard
Schaffer (1996) mempunyai tiga makna. Pertama, kebijakan mengacu kepada
tujuan-tujuan yang diasosiasikan orang dengan polis. Makna kedua berkaitan
dengan tinjauan informasi dan determinasi tindakan yang sesuai. Makna ketiga
berkaitan dengan pengamanan dan komitmen sumber daya.
Istilah (terminology) kebijakan (Policy term) sebagaimana dikatakan
Jones (2004) digunakan dalam praktik sehari-hari untuk menggantikan kegiatan
atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah kebijakan sering dipertukarkan
dengan tujuan (Goals), program, keputusan (Decisions), standard, proposal, dan
grand design. Secara umum istilah kebijakan digunakan untuk menunjuk
perilaku seorang pejabat suatu kelompok, maupun suatu Lembaga pemerintah
atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Anderson, 2000).
Menurut Lasswell (1970) kebijakan didefinisikan sebagai suatu program
pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah. Sedangkan
Eulao sebagai mana dikutip Jones (2004) mendefinisikan kebijakan sebagai
cara bertindak yang sengaja dilaksankan untuk menyelesaikan masalah-masalah
dengan keputusan yang tepat, dicirikan oleh tindak yang berkesinambungan dan
berulang-ulang kepada mereka yang menyusun dan melaksanakan kebijakan.
Dalam praktik penyelengaraan negara, sesuai dengan peraturan Meneg-
PAN Nomor: PER/04/M.PAN/42007 tentang Pedoman Umum Formulasi,
Implementasi, Evaluasi kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan
Pemerintah Pusat dan Daerah, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“kebijakan” adalah keputusan yang dibuat oleh suatu Lembaga pemerintahan
7

atau organisasi dan bersifat mengikat para pihak yang terkait dengan Lembaga
tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
kebijakan adalah arah tindakan yang mempunyai tujuan yang ditetapkan oleh
seseorang atau beberapa aktor guna mengatasi suatu masalah, baik masalah
kenegaraan maupun masalah organisasi.
D. Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan
Menurut Carter V. Good (1959), kebijakan Pendidikan adalah suatu
pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap
faktor-faktor yang bersifat situasional; pertimbangan tersebut dijadikan sebagai
dasar untuk mengoperasikan Pendidikan yang bersifat melembaga;
pertimbangan tersebut merupakan perencanaan umum yang dijadikan sebagai
pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga
bias tercapai. Good melihat kebijakan Pendidikan sebagai suatu proses.
Menurut Gamage & Pang (2003), kebijakan Pendidikan dapat juga
dipahami sebagai perangkat panduan yang memberikan kerangka kerja bagi
tindakan dalam hubungan dalam persoalan substantif. Garis panduan dimaksud
mencakup istilah umum (General Terms), dan tindakan (yang akan
dilaksanakan dengan mempertimbangkan masalah yang ada). Garis panduan
atau kebijakan Pendidikan akan menjadikan kepala sekolah, staf, dan personalia
lainnya sebagai warga sekolah dapat melaksanakan tanggung jawabnya dengan
arah yang jelas.
Tilaar & Riant Nugroho (2009), merumuskan makna atau Batasan
kebijakan Pendidikan. Menurut mereka, “kebijakan Pendidikan merupakan
keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategic Pendidikan
yang dijabarkan dari visi, misi Pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan
tercapainya tujuan Pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu
tertentu.”
Kebijakan Pendidikan menurut Tilaar & Riant Nugroho (2009), dapat
dikenali berdasarkan aspek-aspek yang terkandung didalamnya sebagaimana
diuraikan berikut ini:
8

1. Kebijakan Pendidikan merupakan suatu keseluruhan deliberasi mengenai


hakikat manusia sebagai makhluk yang menjadi manusia dalam lingkungan
kemanusiaan. Oleh sebab itu, kebijakan Pendidikan merupakan penjabaran
dari visi dan misi dalam masyarakat tertentu.
2. Kebijakan Pendidikan dilahirkan dari ilmu Pendidikan sebagai ilmu praksis
yaitu kesatuan antara teori dan praktek Pendidikan.
3. Kebijakan Pendidikan haruslah mempunyai validitas dalam perkembangan
pribadi serta masyarakat yang memiliki Pendidikan itu.
4. Keterbukaan (openess). Proses Pendidikan sebagai proses pemanusiaan
terjadi dalam interaksi sosial. Hal itu berarti bahwa Pendidikan merupakan
milik masyarakat.
5. Kebijakan Pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan. Suatu
kebijakan Pendidikan merupakan pilihan dari berbagai pilihan alternatif
kebijakan sehingga perlu dilihat output dari kebijakan tersebut dalam
praktik.
6. Analisis kebijakan
7. Kebijakan Pendidikan pertama-tama ditujukan kepada kebutuhan peserta
didik.
8. Kebijakan Pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat demokratis.
9. Kebijakan Pendidikan berkaitan dengan penjabaran misi Pendidikan dalam
pencapaian tujuan-tujuan tertentu.
10. Kebijakan Pendidikan harus berdasarkan efisiensi
11. Kebijakan Pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi kepada
kebutuhan peserta didik.
12. Kebijakan Pendidikan bukan berdasarkan intuisi atau irasional.
13. Kejelasan tujuan akan melahirkan kebijakan yang tepat.
14. Kebijakan Pendidikan diarahkan bagi pemenuhan kebutuhan peserta didik
dan bukan kepuasan birokrat
Kebijakan Pendidikan dipahami sebagai bagian dari kebijakan public,
yaitu kebijakan public di bidang Pendidikan. Dengan demikian, kebijakan
Pendidikan harus sebangun dengan kebijakan publik. Kebijakan Pendidikan
9

merupakan kebijakan public yang ditujukan untuk mencapai tujuan


pembangunan negara-bangsa dibidang Pendidikan, sebagai salah satu bagian
dari tujuan pembangungan negara-bangsa secara keseluruhan.
Kebijakan Pendidikan merupakan bagian dari kebijakan public atau
kebijakan pembangunan, sebagaimana digambarkan sebagai berikut ini.

Ideologi
Negara

Politik Negara

Politik
Pembangunan

Kebijakan
Publik

Kebijakan Pembangunan
Kebijaka
Kebijaka Kebijaka
n Kebijaka Kebijaka
Pendidik
n n Luar Dst..
15. n Militer n Sosial
Ekonomi Negeri
an

E. Stratifikasi Kebijakan Pendidikan


Sejalan dengan pandangan bahwa kebijakan Pendidikan adalah produk
sistem dan politik Pendidikan, maka stratifikasi kebijakan Pendidikan pada dasa
sangat luas dan beragam. Dipilih dari sisi kuantitas, jumlahnya sebanyak
jummlah level pemerintahan, dikalikan policy makers nya, dikalikan jenis
10

masalah Pendidikan yang hendak ditangani atau dipecahkan oleh kebijakan


Pendidikan tersebut. Jadi stratifikasi kebijakan Pendidikan dapat terentang
mulai dari yang bersifat makro seperti UUD 1945 (Konstitusi negara),
keputusan atau peraturan presiden, keputusan dan peraturan Menteri Pendidikan
hingga yang bersifat mikro seperti peraturan desa atau perdes, peraturan
sekolah, ataupun peraturan rukun tetangga.
Stratifikasi kebijakan Pendidikan juga dapat dilihat dari gaya ikat (atau
sifat imperative) terhadap wilayah pemberlakuan. Berdasarkan wilayah
pemberlakuan ada kebijakan Pendidikan yang bersifat nasional, adapula yang
bersifat daerah, artinya ada kebijakan Pendidikan yang hanya berlaku disuatu
provinsi atau berlaku disuatu kabupaten/kota tertentu saja. Sementara dipilih
dari sisi cakupannya ada kebijakan Pendidikan yang bersifat makro, ada pula
kebijakan Pendidikan yang bersifat mikro.
Secara ringkas, stratifikasi kebijakan Pendidikan meliputi :
1. Kebijakan Pendidikan di tingkat pusat.
2. Kebijakan Pendidikan di tingkat daerah.
Sedangkan sifat kebijakan Pendidikan meliputi :
1. Kebijakan Pendidikan strategis/politis, berkaitan dengan penetapan politik
dan strategi dasar negara, yang menyentuh wewenang dan penyelenggaraan
tugas Lembaga pemerintah di bidang Pendidikan.
2. Kebijakan Pendidikan manajemen, berkaitan dengan pembentukan
kebijakan sebagai penjabaran terhadap politik dan strategi dasar urusan
pemerintahan di bidang Pendidikan.
3. Kebijakan Pendidikan teknis,, sebagai acuan dalam pelaksanaan pencapaian
sasaran tertentu secara teknis dalam rangka pelaksanaan kebijakan
Pendidikan pada umumnya.
a. Kebijakan Pendidikan Nasional dan Daerah
Sesuai dengan Undang-Undang nomor 32/2004 tentang pemerintah
daerah, berikut penyempurnaanya, urusan pemerintahan dibagi menjadi dua
jenis, yaitu urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintah
(pusat) dan urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintah
11

daerah (provinsi,kabupaten/kota). Urusan Pendidikan, sesuai dengan pasal


13 dan 14 undang-undang nomor 32/2004, merupakan urusan wajib yang
harus diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Artinya, urusan Pendidikan bersifat desentralistik kendati demikian,
kebijakan Pendidikan tidak secara otomatis bersifat desentralistik, ada
kebijakan Pendidikan yang bersifat sentralistik, ada pula yang bersifat
desentralistatik, terutama jika dilihat dari level-level kebijakan tersebut
dirumuskan dan dilaksanakan.
Kebijakan Pendidikan yang bersifat sentralistik disebut juga
kebijakan Pendidikan pada tingkat nasional (national policy level). Sebagai
penentu tingkat kebijakan Pendidikan nasional, ini adalah Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Kebijakan Pendidikan yang berada pada level
nasional ini, disebut juga kebijakan administrative. Salah satu produk MPR
(Bersama DPR & DPD) adalah konstitusi, UUD 1945 berikut
amandemennya yang berisi pasal-pasal tentang Pendidikan nasional, dan
selalu menjadi konsiderat bagi perumusan kebijakan Pendidikan
dibawahnya, misalnya undang-undang tentang SISDIKNAS.
Dalam konteks otonomi daerah sesuai dengan ketentuan UU Nomor
32/2004, tentang pemerintah daerah dan perubahannya dimana kewenangan
sebagian penyelenggaraan dan urusan Pendidikan dasar dan menengah
berada pada daerah otonom yakni kabupaten/kota. Wujud kebijakan
Pendidikan di daerah ada 2 macam, yaitu, pertama, perda (Peraturan
Daerah) tentang Pendidikan yang perumusannya berada di tangan eksekutif
(bupati/Walikota) dan legislative atau mitra bupati/walikota, yakni DPRD.
Kedua, keputusan/peraturan bupati/walikota tentang Pendidikan.
Contoh kebijakan Pendidikan yang bersifat sentralistik misalnya,
adalah kebijakan tentang Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN) dan Ujian Akhir Nasional (UAN). Contoh kebijakajn
Pendidikan yang bersifat desentralistik misalnya penerimaan siswa baru
(PSB) mulai dari SD hingga SMA/SMK.
b. Kebijakan Pendidikan umum, khusus, dan teknis
12

Sifat kebijakan Pendidikan yang bersifat umum (General Policy Level),


merupakan kebijakan Pendidikan eksekutif, oleh karena yang menentukan
adalah mereka yang berada di posisi eksekutif. Yang termasuk kedalam
kebijakan Pendidikan eksekutif ini adalah:
1) Undang-undang
Kekuasaan membuat undang-undang berada ditangan Presiden,
meskipun harus dengan persetujuan DPR. Produk kebijakan
peendidikan dalam bentuk undang-undang, antara lain ialah UU No.
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 14/2005 tentang
guru dan dosen.
2) Peraturan pemerintah
Merupakan kebijakan Pendidikan yang dibuat dalam rangka
mengoperasikan undang-undang, kekuasaan pemerintahan ada pada
kepala pemerintahan, yakni, Presiden. Produk kebijakan Pendidikan
dalam bentuk PP antara lain: PP No. 28 tahun 1990 tentang Pendidikan
dasar; PP No. 41 tahun 2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen,
tunjangan khusus guru dan dosen serta tunjangan kehormatan professor;
PP No. 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan
Pendidikan.
3) Keputusan, peraturan, dan intruksi presiden
Berisikan kebijakan umum penyelenggaraan pemerintahan dibidang
Pendidikan yang kekuasaan pembuatannya berada ditangan Presiden.
Contoh kebijakan Pendidikan dalam kategori ini antara lain Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 102 tahun 2001 tentang kedudukan,
tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja
departemen.
Sifat kebijakan Pendidikan yang bersifat khusus (Special Policy
Level). Tingkat kebijakan khusus ini letak penentunya ada ditangan
Menteri Pendidikan. Menteri Pendidikan adalah anggota kabinet suatu
pemerintahan. Special Policy Level ini dibuat oleh Menteri Pendidikan
dengan mendasarkan kebijakan yang ada diatasnya, berupa keputusan
13

Bersama dengan Menteri (kepala suatu badan setingkat Menteri), atau


berupa peraturan Menteri negara. Kebijakan Pendidikan yang
wewenang kebijakannya ada di tangan Menteri Pendidikan dapat
berupa: keputusan Menteri, peraturan Menteri, instruksi Menteri.
Contoh kebijakan Pendidikan yang bersifat khusus antara lain berikut
ini;
a) Keputusan MENDIKNAS RI No. 056/P/2007, tentang
pembentukan konsorsium sertifikasi guru.
b) PERMENDIKNAS RI No. 36 tahun 2007, tentang penyaluran
tunjangan profesi bagi guru.
c) Peraturan Menteri Negera PAN dan reformasi birokrasi No. 16
tahun 2009, tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.
d) Peraturan Bersama MENDIKNAS dan kepala BKN No:
03/V/PB/2010; No: 14 tahun 2010 tentang petunjuk pelaksanaan
jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.
Oleh karena sekretaris jenderal dan inspektur jenderal berfungsi selaku
pembantu Menteri, maka kebijakan kedua pejabat ini juga dapat
dikategorikan sebagai kebijakan khusus. Contohnya adalah Surat
Edaran Bersama Sekretaris Jenderal Departemen Agama dan Direktur
Jenderal PMPTK, No. SJ/DJ.I/Kp.02/1569/2007; 4823/F/SE/2007,
tanggal 7 Agustus 2007.
Sifat kebijakan teknis (Technical Policy Level) lazim disebut
dengan kebijakan operatif. Dikatakan sebagai kebijakan operatif, karena
kebijakan Pendidikan ini merupakan pedoman pelaksanaan. Penentuan
kebijakan Pendidikan ini berada pada pejabat eselon 2 ke bawah, seperti
Direktorat Jenderal atau Pimpinan Lembaga non Departemental. Contoh
kebijakan Pendidikan ini antara lain, DEPDIKBUD RI No. 43/
D3/Kep/1983 tentang beban tugas tenaga pengajar pada perguruan
tinggi; Keputusan Dirjen DIKTI DEPDIKNAS No.
44/DIKTI/Kep/2006, tentang rambu-rambu pelaksanaan kelompok
mata kuliah. Berdasarkan Technical Policy Level ini pula Gubernur,
14

Kakanwil, Bupati8, dan Kandep di masingt-masing bidang,


melaksanakan kebijakan Pendidikan sesuai dengan faktor kondisional
dan situasional daerahnya.
F. Proses Dasar Formulasi Kebijakan Pendidikan
Secara umum, penetapan kebijakan pendidikan adalah suatu keputusan
yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan, guna mengatasi
masalah pendidikan, melakukan kegiatan pendidikan, dan mencapai tujuan
pendidikan serta manfaatnya bagi orang banyak atau masyarakat luas atau
publik. Penetapan kebijakan pendidikan merupakan salah satu tugas dari
lembaga pemerintahan yang berkewenangan dibidang pendidikan dalam rangka
penyelenggaraan dalam tugas pemerintahan dan membangun bangsa dalam
bidang pendidikan itu sendiri. Oleh sebab itu hal ini tidak dapat digantikan,
dalam arti didelegasikan, dipindahkan, ataupun diprivatisasikan kepada
organisasi di luar pemerintahan.
1. Nilai-nilai Dasar dan Prinsip Kebijakan Pendidikan
Mengadopsi Peraturan Meneg-PAN Nomor: PER/04/M.PAN/4/2007,
tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan
Revisi Kebijakan Publik di Lingkunagn Lembaga Pemerintah Pusat dan
daerah, maka ketika merumuskan suatu kebijakan Pendidikan, sekurang-
kurangnya ada 6 (enam) nilai dasar kebijakan pendidikan, yaitu:
a. Kebijakan yang dirumuskan bersifat cerdas
Dalam arti kebijakan pendidikan tersebut harus mampu memecahkan
problem pendidikan yang dapet dipertanggungjawabkan kepada publik,
baik dari segi manfaat, kualitas , maupun akuntabilitasnya.
b. Kebijakan yang dirumuskan bersifat bijaksana
Dalam arti tidak menimbulkan problematika pendidikan baru yang lebih
besar dan lebih rumit dibandingkan problem yang hendak diatasi atau
dipecahkan.
c. Kebijakan yang dirumuskan memberikan harapan baru
15

Memberikan harapan baru bagi warga negara bahwa mereka dapat


menjalani hari esok yang jauh lebih baik setelah kebijakan pendidikan
itu diimplementasikan.
d. Kebijakan yang dirumuskan difokuskan untuk kepentingan masyarakat
Dalam arti untuk masyarakat pengguna pendidikan, dan bukan
difokuskan untuk kepentingan negara, pemerintah, ataupun untuk
kepentingan para birokrat pendidikan.
e. Kebijakan yang dirumuskan harus mampu memotivasi
Memotivasi masyarakat dan para pemangku kepentingan terhadap dunia
pendidikan sehingga terbangun komite untuk mengimplementasi
kebijakan pendidikan secara internal.
f. Kebijakan yang dirumuskan mendorong produktivitas, kualitas, dan peri
kehidupan bersama.
Adapun prinsip-prinsip yang dianut dalam formulasi kebijakan pendidikan
adalah sebagai berikut:
a. Benar dalam prosesnya, artinya dilakukan secara transparan, dapat
diperanggungjawabkan, dan melibatkan pihak yang seharusnya terlibat.
a. Benar secara isi, artinya isi kebijakan sesuai dengan isu kebijakan
pendidikan, peraturan yang lebih tinggi atau setara, pasal-pasal yang
ada.
b. Benar secara politik-etik, artinya mengakomodasi pihak terkait secara
langsung dengan kebijakan pendidikan, menerapkan prinsip-prinsip
pokok dalam good governance, yaitu proses dan memperhatikan
kaidah-kaidah moralitas dalam pembuatan kebijakan pendidikan.
c. Benar secara hukum, artinya kebijakan pendidikan benar-benar
merupakan kaidah hukum.
d. Benar secara manajemen, artinya kebijakan pendidikan bersifat
sistematis, dapat dilaksanakan, dapat dikendalikan pemerintah secara
efektif, dan mempunyai manfaat dan impak (impact) yang terukur.
e. Benar secara bahasa, artinya kebijakan pendidikan harus menggunakan
Bahasa Indonesia yang baik dan benar
16

G. Proses Formulasi Kebijakan Pendidikan


1. Proses Dasar Formulasi : Kajian Akademik
Proses dasar yang merupakan kajian akademik berikut ini
merupakan bagian dari analisis kebijakan publik. Proses dasar ini
mengandaikan bahwa kebijakan pendidikan diformulasikan melalui
berbagai tahapan atau siklus hidup yang berkesinambungan.
Siklus hidup atau tahapan-tahapan dari suatu kebijakan pendidikan
jika diurutkan yang pertama adalah Perumusan Masalah, Interpretasi,
Identifikasi Alternatif, Evaluasi, Pemilihan Alternatif, Interpretasi,
Implementasi, Evaluasi.
Kajian akademik dalam proses dasar formulasi kebijakan
pendidikan tersebut sebagai analisis kebijakan pendidikan, suatu proses
yang oleh Dunn (2004), disebut sebagai proses politik atau proses
intelektual. Menurut Dunn (2004), proses analisis kebijakan adalah
serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan
yang pada dasarnya bersifat politis. Aktifitas politis tersebut dijelaskan
sebagai proses pembuatan kebijakan, dan divisualisasikan sebagai
serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurun kurun
waktu, mulai dari penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi
kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan.
Hal itu berarti, analisis kebijakan pendidikan analisis kebijakan
pendidikan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan
pendidikan. Analisis kebijakan pendidikan sendiri dilakukan untuk
menciptakan, secara kritis menilai, dan mengomunikasikan pengetahuan
yang relevan dengan dunia pendidikan.
Dunn (2004), mengemukakan proses dasar formulasi kebijakan
pendidikan terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut:
 penyusunan agenda (agenda setting),
 formulasi kebijakan pendidikan,
 adopsi (penerimaan) kebijakan pendidikan,
17

 Implementasi (pelaksanaan) kebijakan pendidikan, pengkajian


kebijakan pendidikan,
 perbaikan kebijakan pendidikan,
 penerusan kebijakan pendidikan,
 dan pengakhiran kebijakan pendidikan.
Berdasarkan proses dasar diatas, jelas bahwa rasionalitas formulasi
kebijakan pendidikan adalah adanya suatu masalah pendidikan yang hendak
dicarikan solusinya. Oleh karena itu dibutuhkan berbagai informasi untuk
memformulasikan kebijakan pendidikan. Ada lima tipe informasi yang
relevan dengan kebijakan pendidikan, yaitu, masalah kebijakan pendidikan,
masa depan kebijakan pendidikan, aksi kebijakan pendidikan, hasil
kebijakan pendidikan, dan kinerja kebijakan pendidikan yang dibutuhkan,
saling berhubungan dan saling bergantung.
2. Proses Dasar Formulasi: Pedoman Pragmatik
Tahap-tahap formulasi kebijakan Pendidikan yang sejalan dengan Per-
Menpan adalah sebagai berikut :
a. Menetapkan isu kebijakan Pendidikan
Pada tahap ini, Kementerian Pendidikan dan perangkat
organisasi publlik lain dibidang pendidikan menetapkan suatu isu
menjadi isu kebijakan pendidikan. Isu kebijakan pendidikan adalah
masalah pendidikan dan/atau kebutuhan pendidikan dari masyarakat
dan/atau negara, yang sudah dan sedang muncul, berpotensi muncul
dimasa depan, bersifat mendasar, mempunyai cakupan atau dampak
yang luas , sehingga memerlukan peraturan dari pemerintah.
a. Membentuk Tim Penyusun Formulasi Kebijakan Pendidikan
1) Tim Penyusun Kebijakan Pendidikan, bersifar adhoc (sementara),
terdiri atas pejabat birokrasi pendidikan dan yang terkait. Waktu
pembentukan tim ini maksimal 7 (tujuh) hari kerja. Susunan
keanggotaan terdiri atas Ketua, Sekretaris, anggota yang secara
teknis menguasai substansi permasalahan pendidikan, anggota yang
menguasai hukum peraturan perundang-undangan, anggota yang
18

menguasai analisis kebijakan pendidikan, dan anggota yang


menguasai tata bahasa Indonesia.
2) Tim Penyusun Kebijakan Pendidikan mengawal serta menjaga
tingkat keamanan rumusan draf kebijakan pendidikan, berkenaan
dengan materi pasal-pasal, substansinya (isi), dan fisik dokumen,
sejak dibentuknya tim hingga kebijakan pendidikan ditetapkan oleh
pejabat publik dibidang pendidikan.
b. Melaksanakan Tugas Penyusunan Pra Kebijakan Pendidikan
Tugas pra-kebijakan adaalah:
1) merumuskan naskah akademik, yang berisi landasan-landasan
teoritis dan metodologis dari kebijakan pendidikan yang akan
dikembangkan.
2) Merumuskan draf nol kebijakan Pendidikan :
- Tidak harus pasal-pasal
- hal-hal yang akan diatur dan konsekuensi-konsekuensinya
- tidak harus dikerjakan atau dikontrakan kepada pihak luar
- waktu merumuskan naskah akademik bersama dengan draf nol
kebijakan maksimal 14 (empat belas) hari kerja.
c. Proses Publik Pertama
Setelah terbentuk, rumusan draf nol kebijakan pendidikan
didiskusikan bersama forum publik, dalam empat jenjang. Forum publik
pertama, yaitu para pakar kebijakan dan pakar pendidikan. Tujuannya
untuk melakukan verifikasi secara akademis dan kebenaran ilmiah.
Proses ini dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari.
d. Proses Publik Kedua
Diskusi publik yang kedua adalah diskusi dengan instansi
pemerintah di luar lembaga pemerintah yang merumuskan kebijakan
pemerintah Proses publik kedua dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
19

e. Proses Publik Ketiga


Diskusi publik ketiga adalah diskusi dengan para pihak yang
terkait langsung dengan kebijakan ata yang terkena impak (impact)
langsung, atau bisa juga dibilang kelompok sasaran ata penerimma
manfaat kebijakan pendidikan. Diskusi ini bertujuan untuk
mendapatkan verifikasi secara sosial dan politik dari kelompok
masyarakat yang terkait langsung. Proses publik ketiga dilakukan paling
banyak 3 (tiga) kali dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
f. Proses Publik Keempat
Proses publik keempat adalah diskusi dengan seluruh pemangku
kepentingan pendidikan secara luas, dengan meghadirkan tokoh-tokoh
masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi isu
Pendidikan, asosiasi usaha di bidang Pendidikan. Diskusi ini ditunjukan
untuk membangun pemahaman publik terhadap rencana dibangunnya
suatu kebijakan. Tujuannya untuk mendapat masukan/kritik dari publik
terhadap kebijakan pendidikan yang akan dibuat. Pada diskusi publiik
yang keempat, materi diskusi bersifat umum dalam bentu kebijakan-
kbijakan. Proses publik keempat ini dilakukan paling banyak 2 (dua)
kali dalam waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari.
g. Merumuskan Draf Final Pertama
Hasil diskusi publik dijadikan sebagai materi penyusunan pasal-
pasal kebijakan pendidikan yang akan dikerjakan oleh tim perumus.
h. Menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terfokus
Draf-1 (hasil dari draf final pertama), didiskusikan dan
diverifikasi dalam diskusi kelompok terfokus (focused group
discussion/FGD) yang melibatkan instansi/dinas pendidikan, pakar
kebijakan, dan pakar permasalahan pendidikan.
i. Merumuskan Draft Final Kedua
Informasi yang dihasilkan dari diskusi kelompok terfokus
merupakan materi draf final kedua.
j. Pengesahan (atau pelanjutan ke langkah legislasi)
20

Draf final ini kemudian disahkan oleh pejabat pendidikan yang


berwenang, atau untuk kebijakan pendidikan yang berbentuk Undang-
undang dibawa pada proses legislasi.
H. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Terkait implementasi kebijakan pendidikan banyak kasus menarik
yang mengindikasikan betapa tidak ( mungkin belum ) sinkron antara
formulasi dan implementasi. Ada belasan kebijakan pendidikan yang
ditetapkan oleh kementrian pendidikan menyangkut sertifikasi guru. Seperti
diketahui, belasan kebijakan pendidikan teknis itu merupakan kebijakan
derivative yang diturunkan dari UU No. 20/2003, tentang system
Pendidikan nasional (pasal 43 ayat 2, dan pasal 61) ; UU No. 14/2005,
tentang guru dan dosen ( pasal 8- 13); dan PP No. 74 tahun 2008, tentang
guru. Sertifikat profesi yang diperoleh guru bertimplikasi pada pemberian
tunjangan profesi yang besarannya sangat signifikan, yakni setara gaji guru.
Namun di lapangan, impelemtasi kebijakan sertifikasi guru karut marut.
Indikasinya beragam, mulai dari sinyalemen mengenai kepalsuan pengisian
dokumen portofolio yang terungkap di berbagai daerah, pelaksanaan PLPB
yang tidak efektif dan efisien, hingga kemudian diubah hanya dengan
pendidikan profesi guru.
Menurut Grindle ( 1984 ), implementasi kebijakan pendidikan
sesungguhnya bukan sekadar bersangkut paut dengan mekanisme
penjabaran keputusan- keputusan politik kedalam prosedur- prosedur rutin
lewat saluran- saluran birokrasi pendidikan, melainkan lebih dari itu.
Implementasi kebijakan pendidikan juga menyangkut masalah konflik
kepentingan, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari kebijakan
pendidikan tersebut. Lebih jauh Grindle ( 1984 ), menjelaskan bahwa
pengukuran implementasi dalam dilihat dari prosesnya, dengan
mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah
ditentukan yaitu melihat pada aksi program berbasis proyek individual dan
yang kedua apakah program tersebut tercapai. Kebijakan pendidikan hanya
21

akan menjadi sekadar impian atau rencana yang sempurna yang tersimpan
rapi sebagai arsip apabila tidak dapat diimplementasikan.
1. Konsep Dasar Implementasi
Webster Dictionary merumuskan singkat kata to implement
(mengimplementasikann) dalam arti to provide the means for carrying
out yang artinya kurang lebih “ menyediakan sarana untuk
melaksanakan sesuatu “, dan to give practical effect to, yang artinya
kurang lebih “menimbulkan dampak terhadap sesuatu.” Jika makna
harfiah tersebut digunakan, maka implementasi kebijakan pendidikan
berarti suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan Pendidikan.
Proses untuk melaksanakan kebijakan Pendidikan perlu
mendapatkan perhatian yang seksama, sehingga keliru kalau ada
anggapan bahwa proses implementasi akan terjadi dengan sendirinya
dan bersifat mulus.
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas
merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah kebijakan
ditetapkan (Budi Winarno, 2008). Istilah implementasi menunjuk pada
sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-
tujuan program dan hasil- hasil yang diinginkan oleh para pejabat
pemerintah. Implementasi mencakup tindakan- tindakan (tanpa
tindakan- tindakan) oleh berbagai actor, khususnya para birokrat yang
dimaksudkan untuk membuat program berjalan.
Berdasarkan pandangan- pandangan yang diutarakan ahli- ahli
tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan
pendidikan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut prilaku badan-
badan administrative yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
program pendidikan dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok
sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan
politik, ekonomi, dan social yang langsung dan tidak langsung dapat
memengaruhi prilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya
berpengaruh terhadap dampak, baik yang diharapkan maupun yang
22

tidak diharapkan. Berdasarkan pandangan sebagaimana dikemukakan


Mazmaniam dan Sabatier dimuka terlihat pula bahwa antara apa yang
disebut sebagi formulasi kebijakan pendidikan dan implementasi
kebijakan pendidikan tidak dianggap sebagai suatu hal yang terpisah,
sekalipun mungkin secara analitis, bias saja dibedakan.
Berdasarkan berbagai pendapat tentang Batasan implementasi kebijakan
Pendidikan tersebut diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa setiap
implementasi kebijakan Pendidikan agaknya selalu berdimensi tiga hal,
yaitu :
a. Adanya tujuan kebijakan pendidikan dan sasaran yang ingin dicapai
b. Adanya aktivitas dan strategi pencapaian tujuan
c. Adanya produk dan keluaran kebijakan pendidikan yang dapat
diukur baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Akhirnya penting diketengahkan, meminjam pandangan Riant
Nugroho (2009) pada konteks implementasi kebijakan pendidikan,
rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi 60%, 20% sisanya
adalah bagaimana mengendalikan implementasi.
2. Langkah- Langkah Implementasi
a. Penyiapan implementaasi kebijakan pendidikan (0 s.d 6 bulan),
termasuk kegiatan sosialisasi dan pemberdayaan para pihak yang
menjadi pelaksana kebijakan pendidikan.
b. Implementasi kebijakan pendidikan dilaksanakan tanpa sanksi
(masa uji coba) selama 6 bulan s.d 1 tahun.
c. Implementasi kebijakan pendidikan dengan sanksi dilakukan setelah
masa uji coba selesai disertainya pengawasan dan pengendalian.
Setelah dilakukan implementasi kebijakan pendidikan selama 3 tahun,
dilaksanakan evaluasi kebijakan pendidikan.
I. Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Pendidikan
Implementation gap, suatu istilah yang dimaksudkannya untuk
menjelaskan keadaan dimana dalam proses kebijakan pendidikan selalu akan
23

terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan oleh


pembuat kebijakan pendidikan dengan apa yang senyatanya dicapai.
Kapasitas implemantasi tidak lain ialah kemampuan suatu organisasi
untuk melaksanakan keputusan kebijakan sedemikian rupa sehingga ada
jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen
formal kebijakan Pendidikan dapat dicapai.
1. Monitoring kebijakan Pendidikan
Sebagaimana dikatakan Dunn (2004), konsekuensi dari tindakan
kebijakan tidak pernah diketahui secara penuh, dan oleh karena itu
memantau tindakan merupakan suatu keharusan.
Mengikuti DEPDIKNAS (2001), monitoring kebijakan pendidikan
adalah suatu proses pemantauan untuk mendapatkan informasi tentang
pelaksanaan pendidikan. Kegiatan monitoring diarahkan untuk:
a. Memastikan bahwa proses implementasi kebijakan pendidikan sejalan
dengan model implementasi kebijakan pendidikan yang sesuai.
b. Memastikan bahwa implementasi kebijakan pendidikan menuju kearah
kinerja kebijakan pendidikan yang dikehendaki.
Monitoring dan evaluasi kebijakan pendidikan bertujuan untuk
mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan.
1. Evaluasi Kebijakan Pendidikan
Evaluasi terutama menekankan pada penciptaan premis-premis nilai
yang diperlukan untuk menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan
pendidikan. Secara umum, evaluasi didefinisikan sebagai proses
mengumpulkan informasi mengenai suatu objek, nilai suatu objek, dan
membandingkannya dengan kriteria, standar, dan indikator.
Menurut Riant Nugroho (2009), tujuan pokok evaluasi bukanlah
untuk menyalah-nyalahkan, melainkan untuk melihat seberapa besar
kesenjangan antara pencapaian dan harapan suatu kebijakan pendidikan.
Ciri dari evaluasi kebijakan pendidikan adalah :
a. Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan
kinerja kebijakan pendidikan
24

b. Evaluator mampu mengambill jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana


kebijakan, dan targer kebijakan pendidikan.
c. Prosedur dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi.
d. Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan dan kebencian.
e. Evaluasi mencakup formulasi, implementasi, lingkungan, dan kinerja
kebijakan Pendidikan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebutuhan pelanggan internal dan eksternal dalam Lembaga Pendidikan,
merupakan sesuatu yang harus dipenuhi. Kalau tidak terpenuhi kebutuhan
tersebut, maka akan bermuara pada masalah-masalah dalam penyelenggaraan
Pendidikan di Lembaga persekolahan. Pendidikan yang bermutu dalam hal ini
adalah bagaimana Lembaga Pendidikan memenuhi harapan dan kebutuhan
yang ada dalam pelanggan eksternal tersebut.
Kebutuhan Pendidikan semakin meningkat diseluruh dunia. Identifikasi
kebutuhan merupakan Analisa yang dilakukan evaluator terhadap
ketidaksesuaian antara fakta dengan standar yang ditetapkan sebelumnya, atau
kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang ditunjukkan dalam dua
kutup: dimana posisi sekarang, dan bagaimana untuk pencapaiannya.
Tilaar & Riant Nugroho (2009), merumuskan makna atau Batasan kebijakan
Pendidikan. Menurut mereka, “kebijakan Pendidikan merupakan keseluruhan
proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategic Pendidikan yang
dijabarkan dari visi, misi Pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan
tercapainya tujuan Pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu
tertentu.”
B. Saran
Pedoman penetapan kebijakan pendidikan diharapkan mempu memperhatikan
kebutuhan pelanggan internal dan eksternal pendidikan. Dalam pelaksanaan
kegiataannya juga harus berpegang teguh terhadap undang-undang yang
mengatur tentang pendidikan, serta berusaha untuk menyamaratakan akses
pendidikan terhadap seluruh warga negara Indonesia.

25
DAFTAR PUSTAKA

Mukhneri. (2005). Manajemen Sistem Dalam Pendidikan. Jakarta: Badan Penerbit


Jurusan Manajemen Pendidikan.

Permana, A. (2016, Mei 16). Blogspot.com. Retrieved from


anggapermana24.blogspot.com/2016/05/menentukan-kebutuhan-
pendidikan.html

Rawita, I. S. (2010). Kebijakan Pendidikan : Teori, Implementasi, dan Monev. Yogyakarta:


PT. Kurnia Kalam Semesta.

26

Anda mungkin juga menyukai