Anda di halaman 1dari 92

p-ISSN 2088-1592

e-ISSN 2549-6425

JUKEMA
Volume 02 | Nomor 02 | Oktober 2016: 72 - 153

Jurnal
Kesehatan
Masyarakat
Aceh
Aceh Public Health Journal

PKPKM
JUKEMA Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh
Aceh Public Health Journal

p-ISSN: 2088-1592 | e-ISSN: 2549-6425


Volume 2, Nomor 2, Oktober 2016: 72 - 153

Editor-in-chief | Kepala Editor


Asnawi Abdullah, MHSM., MSc.HPPF., DLSHTM., PhD.

Deputy Editor-in-chief | Deputi Kepala Editor


Dr. Aulina Adamy, MSc.

International Board of Advisors | Mitra Bestari


Nizam Ismail, MPH., PhD. | Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, Indonesia
Dr. Adang Bachtiar, MPH., DSc. | Universitas Indonesia, Indonesia
Dr. Hermansyah, MPH. | Poltekkes Kemenkes NAD, Indonesia Dr.
Ede Suryadarmawan, MDM. | Universitas Indonesia, Indonesia
Fachmi Ichwansyah, MPH., HR.Dp. PhD. | Loka Litbang. Biomedis Aceh, Indonesia
Prof. Dr. Ridwan, MKes., MSc.PH. | Universitas Hasanuddin, Indonesia
Hanifa M. Denny, MPH., PhD. | Universitas Diponegoro, Indonesia
Defriman Djafri, MPH, PhD. | Universitas Andalas, Indonesia
Prof. Dr. Irnawati Marsaulina, MS. | Universitas Sumatera Utara, Indonesia
Prof. Budi Utomo, MPH., PhD. | Universitas Indonesia, Indonesia
Dr. Lal B. Rawal, Med., MA., MPH., PhD. | BRAC University, Bangladesh
Assoc. Prof. Dr. Victor Hoe Chee Wai | UKM, Malaysia
Prof. Johannes U. Just Stoelwinder | Monash University, Australia
Dr. Krishna Hort, MMBS., DTCH., DRCOG., MCH., FAFPHM. | University of Melbourne, Australia

Editorial Board | Dewan Penyunting


Fauzi Ali Amin, MKes.
Farida Hanum, MSi.
Vera Nazhira Arifin, MPH.

Editorial Administrator | Administrasi Editor


Agustina, SST., MKes. dan Surna Lastri, MSi.

Layout | Tata Letak


Nopa, SKM., MKes.

Penerbit:
Pusat Kajian dan Penelitian Kesehatan Masyarakat (PKPKM)
Gedung Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Lantai II, Universitas Muhammadiyah Aceh (UNMUHA)
Jl. Muhammadiyah No.93, Bathoh, Lueng Bata, Banda Aceh, Aceh
Telp. (0651) 31054, Fax. (0651) 31053
Email: jukema@fkm.unmuha.ac.id
Website: http://pps-unmuha.ac.id/pusat-kajian-dan-penelitian-kesehatan-masyarakat/

Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh (Aceh Public Health Journal) atau disingkat dengan JUKEMA merupakan kumpulan
jurnal ilmiah yang memuat artikel hasil penelitian atau yang setara dengan hasil penelitian di bidang ilmu kesehatan
masyarakat, ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan. Jurnal ini diterbitkan 2 x dalam setahun (Februari dan Oktober) oleh
PKPKM UNMUHA.
p-ISSN: 2088-1592 | e-ISSN: 2549-6425

Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh


Aceh Public Health Journal
Volume 2, Nomor 2, Oktober 2016: 72 – 153

Editorial: Regulasi, Aplikasi Pemberian ASI Ekskluksif, dan Status Gizi Balita di Aceh
Basri Aramico 72-74

Prevalensi dan Determinan Stunting Anak Sekolah Dasar di Wilayah Tsunami di Aceh Besar
Uswati, Nasrul Zaman, dan Aulina Adamy 75-81

Analisis Penggunaan Jenis MP-ASI dan Status Keluarga Terhadap Status Gizi Anak
Usia 7-24 Bulan di Kecamatan Jaya Baru
Agus Hendra AL-Rahmad 82-88

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi pada Atlet Tarung Derajat Aceh
Nazalia, Basri Aramico, dan Fauzi Ali Amin 89-96

Peningkatan Ketepatan Kader Melalui Modul Pendamping KMS dalam


Menginterpretasikan Hasil Penimbangan Balita
Agus Hendra AL-Rahmad 97-104

Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kepatuhan Bidan Desa dalam
Standar Pelayanan Ante Natal Care
Suryani, Aulina Adamy, dan Nizam Ismail 105-109

Analisis Faktor Risiko Abortus di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pemerintah Aceh
Masni, Asnawi Abdullah, dan Melania Hidayat 110-115

Kualitas Hidup Penderita Kanker Payudara di Rumah Sakit Ibu dan Anak
Pemerintah Aceh
Meilia Hidayah, Aulina Adamy, dan Teuku Tahlil 116-120

Analisis Faktor Risiko Penyebab Stroke pada Usia Produktif di Rumah Sakit Umum
dr. Zainoel Abidin
Sartika Maulida Putri, Hajjul Kamil, dan Teuku Tahlil 121-127

Analisis Kuesioner WHOQOL-BREF: Mengukur Kualitas Hidup Pasien yang


Menjalankan Terapi Hemodialisis di RSUDZA Banda Aceh
Muzafarsyah, Aulina Adamy, dan Nasrul Zaman 128-133

Perilaku Klien Suspek HIV/AIDS Terhadap Kesediaan Melakukan Voluntary Counseling


and Testing di Rumah Sakit Umum Tgk. Chik Ditiro Sigli
Annas, Aulina Adamy, dan Nasrul Zaman 134-140

Faktor Risiko Filariasis di Kabupaten Aceh Jaya


Mutia Ulfa Rahmad, Aulina Adamy, dan Asnawi Abdullah 141-146

Analisis Pembiayaan/Belanja Terhadap Penderita Chronic Kidney Disease (CKD) yang


Dirawat Inap di Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Syarkawi, Taufiq A. Rahim, dan Irwan Saputra 147-153

Template JUKEMA

Formulir Berlangganan
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 - 153

Editorial:
REGULASI, APLIKASI PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUKSIF,
DAN STATUS GIZI BALITA DI ACEH

Regulation, Application of Exclusive Breastfiding, and Nutritional Status of


Children in Aceh

Basri Aramico1
1
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh, 23245
1
basri.aramico@yahoo.com

Jumlah balita di Indonesia pada tahun 2013 sangat besar, sekitar 10% dari
seluruh penduduk Indonesia merupakan penduduk dengan usia di bawah 5 tahun.
Dengan jumlah yang besar, maka nasib bangsa Indonesia di masa datang juga
terletak pada generasi yang sekarang ini. Sebagai calon generasi penerus bangsa,
kualitas tumbuh kembang balita di Indonesia perlu mendapat perhatian serius.
Dalam perkembangan anak, terdapat masa kritis di mana diperlukan rangsangan
atau stimulasi yang berguna agar potensi anak dapat berkembang dengan
maksimal. Sehingga hal ini perlu mendapat perhatian dan stimulasi yang
memadai serta terjangkau oleh pelayanan kesehatan berkualitas termasuk deteksi
dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang, agar anak dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya dan mampu bersaing di era
global1.

Perkembangan dan pertumbuhan balita ditentukan oleh status gizi pada awal
kehidupan, bahkan sejak didalam kandungan yang dikenal sebagai 1.000 hari
pertama kehidupan (HPK) yaitu masa 270 hari di dalam kandungan dan masa
730 hari setelah kelahiran (2 tahun). Upaya untuk meningkatkan status gizi balita,
satu di antaranya adalah dengan memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif,
yaitu pemberian ASI saja tanpa makanan tambahan lain kepada bayi sejak usia 0-
6 bulan2.

Berbagai upaya efektif untuk mendorong pemberian pemberian ASI Eksklusif


terus dilakukan, termasuk dukungan Peraturan Daerah dalam berbagai regulasi
(Qanun). Di level nasional, peraturan kesehatan baru telah melarang dengan
tegas berbagai upaya promosi pengganti ASI di fasilitas kesehatan dan peraturan
pemerintah tentang hak ibu untuk menyusui secara eksklusif selama enam bulan
pertama dan terus menyusui selama dua tahun atau lebih. Upaya tersebut perlu
didukung oleh seluruh pemerintah kabupaten/kota.

Pada tatanan nasional pemerintah sudah mengatur ketentuan melalui Undang-


Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mendukung pemberian ASI
Eksklusif di Indonesia, tetapi pada tingkat pemerintahan daerah/kabupaten
peraturan dan perundang-undangan perlu penjabaran lebih detail sesuai dengan
situasi dan kondisi kabupaten/kota. Hasil telaah setidaknya ada 17 peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan ASI Eksklusif baik secara langsung
maupun tidak langsung. Beberapa peraturan tersebut3 di antaranya adalah UU No.
7/1996 tentang Pangan; UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen; UU
No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 32/2004 tentang

Editorial 72
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 - 153
Pemerintahan Daerah; UU No. 36/2009 tentang Kesehatan; UU No. 36/2014
tentang Tenaga Kesehatan; PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah; PP No. 33/2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif; Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Menkes/Per/XII/1976 tentang
Produksi dan Peredaran Makanan; Peraturan Bersama Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia, dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 48/Men.PP/XII/2008; No. PER.27/MEN/XII/2008; dan No.
1177/Menkes/PB/XII/2008 tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama
Waktu Kerja di Tempat Kerja; Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan di Kabupaten/Kota; dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 450/MENKES/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI Secara
Eksklusif pada Bayi di Indonesia.

Selain itu menurut UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, pada pasal 128 ayat (1)
menyebutkan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan ASI Eksklusif sejak
dilahirkan selama 6 (enam) bulan. Bayi setelah 30 menit dari kelahirannya
sampai 6 (enam) bulan bayi hanya diberikan air susu ibu saja tanpa makanan
atau minuman lain. Setelah usia 6 bulan, anak tetap menerima pemberian ASI
dengan makanan tambahan sampai anak berusia 2 tahun4. PP No. 33/2012
tentang pemberian ASI Eksklusif merupakan produk hukum dengan kekuatan
hukum yang jelas, tegas dan tertulis. Dalam ketentuan peralihan disebutkan
bahwa pada saat PP ini mulai berlaku, pengurus tempat kerja dan/atau
penyelenggara tempat sarana umum, wajib menyesuaikan dengan ketentuan PP
ini paling lama 1 (satu) tahun.

Hal ini sesuai dengan prinsip dalam agama yang tidak ingin memberatkan.
Kekuatan besar juga terdapat pada amanat PP no 33 tahun 2012 sesuai dengan
perintah dalam Al-Qur’an (Q.S. [2]: 233), (Q.S. Lukman [31]: 14), (Q.S. Al-
Ahqaaf [46]: 15). Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan tentang ASI
Eksklusif dalam Al-Qur’an, namun perintah kepada ibu untuk menyusukan
bayinya sampai 2 tahun merupakan landasan moril, kekuatan spiritual dan nyata
untuk dapat meningkatkan peran dakwah dalam Islam dalam membantu
peningkatan pemberian ASI eksklusif5. Provinsi Aceh juga telah mengatur
praktik pemberian ASI dalam Peraturan Daerah (Qanun), yaitu Qanun Aceh No.
04 Tahun 20106 tentang Kesehatan (Lembaran Daerah Aceh Tahun 2011 No.01).

Namun pada kenyataannya praktik pemberian ASI Eksklusif sering mengalami


kegagalan karena berbagai alasan. Pertama, karena terlalu cepat memberikan
makanan tambahan dan kedua karena tingginya keinginan ibu untuk memberikan
susu formula. Selain itu, rendahnya pengetahuan ibu tentang ASI Eksklusif dan
rendahnya dukungan untuk Inisiasi Menyusu Dini (IMD) juga berkontribusi
terhadap rendahnya cakupan pemberian ASI Eksklusif. Parktek pemberian ASI
Eksklusif tersebut dianggap gagal karena masih di bawah target kementerian
kesehatan yaitu 80%7. Di provinsi Aceh cakupan ASI Eksklusif masih sangat
rendah. Pada tahun 2015, cakupan ASI Eksklusif di Aceh baru mencapai 48.1%8.

Rendahnya praktek pemberian ASI Eksklusif tersebut ditenggarai mempengaruhi


peningkatan status gizi bayi dan balita. Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar

Editorial 73
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 - 153
(Riskesdas) tahun 2013, berat badan menurut umur (BB/U) secara nasional,
prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19.6%, terdiri dari 5.7% gizi
buruk dan 13.9% gizi kurang. Dari 34 provinsi di Indonesia terdapat 18 provinsi
dengan angka prevalensi gizi buruk dan kurang di atas angka nasional yaitu
berkisar antara 21.2% sampai 33.1% dan salah satunya adalah provinsi Aceh
yang menduduki urutan ke 7 di antara 18 Provinsi di Indonesia dengan
prevalensi gizi kurang sebesar 258.

Data profil kesehatan provinsi Aceh tahun 2013 dari 214.760 balita yang
ditimbang berat badannya sebanyak 65.3% balita dengan gizi baik. Sedangkan
Banda Aceh menunjukkan dari 14.436 balita, balita dengan gizi baik atau berat
badan naik (5.8%), balita dengan gizi kurang atau bawah garis merah (BGM)
atau yang mengalami gizi buruk (0.02%)7.

Pada tahun 2016 gubernur Aceh, Zaini Abdullah telah menetapkan Peraturan
Gubernur Aceh No. 49 tentang Pemberian Air Susu Ibu Ekslusif pada tanggal 11
Agustus 2016. Dalam Pergub yang diundangkan tanggal 12 Agustus 2016 itu
mewajibkan pemerintah Aceh dan kabupaten-kota di Aceh untuk memberikan
cuti hamil dan cuti melahirkan untuk PNS dan PPPK atau tenaga
honorer/kontrak, baik perempuan juga suami. Selanjutnya dalam pergub tersebut
mengatur bahwa bagi pegawai perempuan yang hamil mendapat 20 hari cuti
hamil sebelum waktu melahirkan, dan 6 bulan untuk cuti melahirkan guna
pemberian ASI Ekslusif. Cuti juga diperoleh suami untuk mendampingi istri
yaitu selama 7 hari sebelum melahirkan, dan 7 hari sesudah melahirkan9.

Penguatan regulasi untuk mendukung praktik pemberian ASI Eksklusif terus


ditetapkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dengan
harapan cakupan pemberian ASI Ekslusif terus meningkat. Hal tersebut tentunya
dalam upaya meningkatkan status gizi bayi dan balita agar dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal, serta menjadi investasi dan generasi bangsa yang
cerdas dan produkstif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes, Riset Kesehatan Dasar 2013, Kemenkes RI, Jakarta; 2014.


2. Rusli U., Inisiasi Menyusu Dini; Jakarta: Pustaka Bunda; 2010.
3. AIMI, Undang-Undang dan Peraturan tentang Menyusui; 2013.
4. Undang–Undang Kesehatan RI; Kesehatan, No.36 tahun 2009; 2009.
5. Peraturan Pemerintah RI; Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif; Nomor 33 tahun
2012; 2012.
6. Qanun Aceh; Kesehatan; Nomor 04 tahun 2010; 2010.
7. Dinkes Aceh; Profil Kesehatan Aceh 2013; Banda Aceh: Dinkes Provinsi;
2014.
8. Kemenkes; Riset Kesehatan Dasar tahun 2013; Jakarta: Kemenkes RI; 2014.
9. Risman Rachman, ‘Pergub 49: Pegawai dapat Cuti Hamil dan Melahirkan 6
Bulan’, Aceh Trend; 14 Agustus 2016. [3 November 2016].

Editorial 74
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

PREVALENSI DAN DETERMINAN STUNTING ANAK SEKOLAH


DASAR DI WILAYAH TSUNAMI DI ACEH BESAR

The Prevalence and Determinants of Stunting of Primary School Childern in Tsunami


Area in Aceh Besar

Uswati1, Nasrul Zaman2, dan Aulina Adamy3


1,3
Magister Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Aceh,
Banda Aceh, Aceh 23245
1
uswati.razy@gmail.com, 2nasrulzaman@gmail.com, 3aulinaadamy@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang: Khusus untuk beberapa daerah, tsunami yang melanda Aceh tahun 2014 juga dihipotesiskan
turut mempengaruhi stunting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan determinan stunting
anak sekolah dasar di wilayah terkena tsunami di Aceh Besar. Metode: Penelitian ini menggunakan desain
kasus control. Sampel kasus sebanyak 30 anak stunting dan kontrol sebanyak 60 anak tidak stunting.
Pengumpulan data dengan wawancara dan pengukuran tinggi badan dengan microtoise, kemudian diolah
dengan software WHO AnthroPlus. Analisis data univariat, bivariat dan multivariate menggunakan STATA
versi 12. Hasil: Prevalensi stunting di kecamatan Peukan Bada yang merupakan wilayah terkena tsunami
sebesar 24%. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan stunting dengan
pekerjaan ibu (sebagai petani) dengan OR = 98.9, p-value 0.035, pekerjaan ayah yang tidak tetap (tukang/buruh)
dengan OR = 22.9, p-value 0.046, dan diare dengan OR = 17.9, p-value 0.047 dan berat lahir dengan OR = 0.78,
p-value 0,047. Kesimpulan: Prevalensi stunting di kecamatan Peukan Bada yang merupakan wilayah terkena
tsunami tidak begitu berbeda dengan wilayah non-tsunami. Pekerjaan ibu atau ayah, diare dan berat badan lahir
merupakan determinan utama. Intervensi pada dua determinan pertama perlu keterlibatan lintas sektor, tidak
bisa ditangani sepenuhnya oleh jajaran kesehatan. Penyediaan air bersih dan menerapkan Perilaku Hidup Bersih
Sehat (PHBS) perlu terus menjadi perhatian untuk mengurangi kasus diare. Studi ini juga menunjukkan
konsumsi gizi yang mencukupi merupakan hal penting yang perlu menjadi prioritas untuk mengurangi BBLR
dan dampaknya terhadap stunting.

Kata Kunci: Stunting, Diare, Sosial Ekonomi, Anak Sekolah, dan Tsunami.

ABSTRACT

Background: In some areas, the tsunami that hit Aceh in 2014 also hypothesizes associated with stunting.
However, no research has been conducted examine stunting risk factor in tsunami affected area. This study aims
to determine the prevalence and determinants of stunting in primary school children in the area affected by the
tsunami in Aceh Besar. Methods: This study uses a case-control design. The samples are 30 cases of child
stunting and 60 control children not stunting. The collection of data through interviews and height measurement,
and then processed by software AnthroPlus WHO. The data analysis for univariate, bivariate and multivariate
(logistic regression test) used STATA version 12. Results: The prevalence of stunting in the tsunami-affected
region in Peukan Bada district of 24%. Multivariate analysis showed that stuting significantly associated with
mother's occupation stunting (as farmers) with an OR of 98.9, p-value of 0.035, uncertainty father's occupation
(builders/workers) with an OR of 22.9, p-value of 0.046, and diarrhea with OR of 17.9, p-value of 0.047, and
birth weight with an OR of 0.78, p-value 0.04. Conclusions: The prevalence of stunting in the tsunami-affected
region in Peukan Bada district is not so different from non-tsunami region. Works mother or father, diarrhea
and birth weight is a major determinant. Intervention on the first two determinants need cross-sector
involvement therefore can not be handled entirely by health personnel. Providing clean water and clean and
healthy behavior need to continue to reduce cases of diarrhea. This study also shows the consumption of
adequate nutrition is an important thing that should be a priority to reduce its impact on the low birth weight
and stunting.

Keywords: Stunting, Diarrhea, Economic Social, School Children, and Tsunami

Gizi Kesehatan Masyarakat 75


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
PENDAHULUAN semakin terpuruk. Tingkat kemiskinan
mencapai 33% dan pengangguran terbuka
Stunting adalah bentuk dari proses mencapai 11.2% (Lampiran 5 Perpres RI
pertumbuhan anak yang terhambat1. No. 30 tahun 2005). Saat itu mayoritas
Stunting merupakan gangguan penduduk Aceh kesulitan memperoleh
pertumbuhan linear yang disebabkan pangan yang baik dan sendi-sendi
adanya malnutrisi asupan gizi kronis dan kehidupan masyarakat menjadi porak
atau penyakit infeksi kronis maupun poranda5.
berulang yang ditunjukkan dengan nilai z Penanganan masalah gizi memerlukan
score tinggi badan menurut usia (TB/U) pendekatan yang terpadu yang mengarah
kurang dari -2 standar deviasi (SD) pada pemberdayaan ekonomi keluarga,
berdasarkan standar World Health peningkatan kemampuan dan keterampilan
Organization (WHO). Kekurangan gizi asuhan gizi keluarga serta peningkatan
seperti protein dan kalsium yang terjadi cakupan dan pelayanan dan kualitas
pada usia anak sekolah dasar diketahui pelayanan kesehatan6. Perlu penanganan
dapat mengganggu pertumbuhan fisik anak. dan penanggulangan masalah gizi
Hal ini harus mendapat perhatian serius khususnya yang dialami anak usia sekolah
karena masalah stunting merupakan dasar, diperlukan kajian tentang faktor
masalah gizi kronis2. determinan stunting dan seberapa besar
Dari hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi stunting tersebut.
prevalensi pendek nasional adalah 37.2%.
Aceh dianggap serius dengan prevalensi METODE PENELITIAN
stunting balita 41% 3. Prevalensi pendek
pada anak umur 5-12 tahun adalah 30.7%, Pendekatan penelitian secara
dan Aceh di atas prevalensi nasional (> kuantitatif dengan rancangan Case Control
30.7%). Data Dinkes Aceh Besar tahun Study dengan memilih kasus anak sekolah
2015 prevalensi balita dengan kategori yang stunting dan kelompok kontrol
sangat pendek sebesar 2.74%, pendek adalah anak sekolah yang tidak stunting
sebesar 11.50%, dan normal sebesar yang dilaksanakan di wilayah kecamatan
85.39%. Sedangkan untuk Kecamatan Peukan Bada.
Peukan Bada kategori pendek sebesar Populasi adalah siswa kelas IV dan V
1.24%, normal 98.76% dan sangat pendek yang berasal dari 6 sekolah dasar (SD) dan
0 persen. 2 madrasah ibtidaiyah (MI) yang
Provinsi Aceh memiliki faktor khusus berjumlah 127 siswa. Jumlah sampel
dalam terjadinya stunting, karena Aceh dalam penelitian ini sebanyak 90 anak
adalah salah satu wilayah yang dilanda SD/MI yang terdiri dari 30 kelompok
gempa tektonik dan Tsunami menelan kasus dan 60 kelompok kontrol beserta
ratusan ribu korban jiwa dan menimbulkan ibunya. Sampel kasus sesuai kriteria
kerusakan besar di beberapa kabupaten inklusi adalah: siswa stunting kelas IV dan
sehingga mengakibatkan masyarakat V SD, kelahiran tahun 2005-2006
kehilangan harta benda, mata pencaharian merupakan keluarga korban tsunami serta
dan pekerjaan mereka. Hasil studi tinggal di lokasi penelitian beserta ibunya.
memperkirakan kerusakan produktivitas Sampel kontrol adalah individu dari
akibat bencana tsunami dan gempa bumi kelompok yang sama dan bukan status
ini mencapai 68%4. stunting sejumlah 60 anak. Dalam
Penderitaan masyarakat Aceh yang pemilihan kelompok kasus dan kontrol
demikian lama akibat konflik bersenjata dilakukan matching berdasarkan periode
yang panjang, ditambah lagi dengan kelahiran subjek yaitu tahun 2005 dan
bencana gempa dan tsunami, telah 2006.
menempatkan mereka pada posisi yang Pengumpulan data melalui wawancara

Gizi Kesehatan Masyarakat 76


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
dengan kuesioner. Stunting diukur dengan Analisis Bivariat
microtoise diidentifikasi status gizi dengan
software WHO AnthroPlus. Data dianalisa Berdasarkan hasil analisis bivariate,
dengan menggunakan software Stata 12. variabel sosial ekonomi yang secara
statistik signifikan berhubungan dengan
HASIL PENELITIAN stunting adalah pekerjaan ibu sebagai
petani dengan OR = 3.37 (95% CI: 0.96-
Analisis Univariat 11.76) p-value 0.056. Sementara
pendidikan ayah, pendidikan ibu,
Pengukuran tinggi badan dilakukan pekerjaan ayah, pendapatan keluarga dan
pada 127 orang anak SD/MI, diperoleh jumlah anggota keluarga secara statistik
laki-laki sebanyak 68 orang (54%) dan tidak signifikan berhubungan dengan
perempuan sebanyak 59 orang (46%). stunting.
Diperoleh tinggi badan tertinggi adalah Pada variabel lingkungan
157.6 cm dan tinggi badan terendah menunjukkan bahwa jenis jamban dan
adalah 118.9 cm. Dari hasil pengolahan sumber air minum secara statistik tidak
tinggi badan dengan menggunakan berhubungan dengan stunting. Pada
software WHO AnthroPlus didapatkan variabel ibu menunjukkan bahwa usia ibu
sejumlah 33 anak sekolah dasar (25.9%) saat melahirkan, jumlah anak, pemberian
termasuk dalam kategori stunting dan 97 ASI eksklusif dan waktu inisiasi menyusui
anak (76%) termasuk dalam kategori tidak secara statistik tidak ada hubungan dengan
stunting. stunting.

Tabel 1. Analisis Bivariat Prevalensi dan Determinan Stunting Anak Sekolah di


Wilayah Tsunami

Variabel OR 95% CI p-value


Pendidikan ayah: menengah 0.67 (0.13-3.40) 0.625
Pendidikan ayah: dasar 0.97 (0.20-4.77) 0.969
Pendidikan ibu: menengah 0.38 (0.05-2.95) 0.354
Pendidikan ibu dasar 0.86 (0.14-5.19) 0.866
Pekerjaan ayah: tukang/buruh 1.25 (0.43-3.64) 0.683
Pekerjaan ibu: pedagang/honorer 2.65 (0.82-8.56) 0.103
Pekerjaan ibu: petani 3.37 (0.96-11.76) 0.056
Pendapatan keluarga 1.00 (1.00-1.00) 0.825
Jumlah anggota keluarga 1.49 (0.63-3.55) 0.368
Jenis jamban 2.14 (0.84-5.48) 0.112
Sumber air minum: air isi ulang 1.88 (0.21-17.01) 0.574
Sumber air minum: sumur 2.53 (0.25-25.72) 0.434
Usia ibu saat melahirkan: < 20 dan
> 35 tahun 1.62 (0.70 - 3.78) 0.261

Pada variabel individu diperoleh diare hubungan bermakna secara statistik antara
dengan OR = 8.73 (95% CI 1.00-75.86) p- diare dengan stunting (lihat Tabel 1).
value 0.05 berarti bahwa terdapat

Gizi Kesehatan Masyarakat 77


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Tabel 1. Lanjutan

Variabel OR 95% CI p-value


Jumlah anak 1.20 (0.89-1.61) 0.222
Berat lahir 0.46 (0.18-1.16) 0.1
Diare jarang 1.89 (0.33-10.80) 0.474
Diare sering 8.73 (1.00-75.86) 0.05
Waktu inisiasi menyusui 0.42 (0.07-2.64) 0.355

Analisis Multivariat multivariate dilakukan dengan


menghubungkan beberapa variabel
Hasil analisis multivariate yang independen dan variabel dependen pada
bertujuan untuk menentukan variabel waktu bersamaan sehingga dapat
yang paling dominan dalam diperkirakan kemungkinan stunting. Hasil
mempengaruhi stunting. Analisis analisis multivariate dapat dilihat pada
Tabel 2.

Tabel 2. Analisis Final Model Multivariat Prevalensi dan Determinan Stunting Anak
Sekolah di Wilayah Tsunami Kabupaten Aceh Besar

Variabel OR 95% CI p-value


Pekerjaan ibu sebagai tukang
cuci/jahit/pedagang/honorer 9.84 (0.88-110.57) 0.064
Pekerjaan ibu sebagai petani 98.95 (1.38-7097.67) 0.035
Pekerjaan ayah sebagai
tukang/buruh 22.89 (1.05-498.12) 0.046
Pendapatan keluarga 34.78 (0.42-2895.63) 0.116
Jumlah anggota keluarga 0.42 (0.02-8.53) 0.573
Usia ibu saat melahirkan 3.41 (0.68-17.25) 0.138
Jumlah anak 1.14 (0.48-2.69) 0.766
Berat lahir 0.78 (0.62-0.98) 0.035
Diare sering 17.90 (1.04-309.16) 0.047
Waktu inisiasi menyusui 3.06 (0.12-79.93) 0.502

Dari hasil Tabel 2, final model CI: 1.05-498.12) p-value 0.046 yang
multivariate diperoleh hasil bahwa yang merupakan faktor risiko terhadap stunting.
menjadi faktor risiko stunting pada anak Hal ini berarti bahwa anak dengan
sekolah dasar dalam penelitian ini adalah: pekerjaan ayah tidak tetap (tukang/buruh)
dari variabel sosial ekonomi yaitu memiliki risiko menjadi stunting sebesar
pekerjaan ibu sebagai petani dengan OR = 22.89 kali dibandingkan anak dengan
98.95 (95% CI: 1.38-7097.6) p-value pekerjaan ayah tetap.
0.035 yang merupakan faktor risiko Sementara dari variabel individu diare
terhadap stunting. Hal ini berarti bahwa dengan OR = 17.90 (95% CI: 1.04-309.16)
anak dengan pekerjaan ibu sebagai petani p-value 0.047 yang berarti diare
memiliki risiko menjadi stunting sebesar merupakan faktor risiko terhadap stunting.
98.95 kali dibandingkan anak dengan ibu Hal ini berarti bahwa anak yang sering
yang tidak bekerja/IRT. menderita diare memiliki risiko menjadi
Kemudian pekerjaan ayah tidak tetap stunting sebesar 17.90 kali dibandingkan
(tukang/buruh) dengan OR = 22.89 (95% dengan anak yang tidak pernah diare.
Gizi Kesehatan Masyarakat 78
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Berat lahir dengan OR = 0.78 (95% CI: Faktor Risiko Sosial Ekonomi
0.62-0.98) p-value 0.035 yang berarti
merupakan faktor pelindung (protektif) Tingkat pendidikan ibu tinggi tidak
terhadap stunting. Hal ini berarti setiap menjamin anak terhindar dari malnutrisi
peningkatan 100 gram berat lahir risiko karena tingkat pendidikan tinggi tidak
stunting menurun sebesar 22%. berarti ibu memiliki pengetahuan yang
cukup akan gizi yang baik. Sejalan dengan
PEMBAHASAN penelitian yang dilakukan oleh Adel El
Taguri dkk. (2009) menyimpulkan bahwa
Gambaran Stunting pada Anak SD/MI pada analisis bivariat tingkat pendidikan
ibu berhubungan dengan kejadian stunting
Gelombang tsunami telah merusak pada balita.
jaringan jalan maupun jembatan sehingga Untuk pekerjaan ayah sebagai
akses dari satu tempat ke tempat lain tukang/buruh (berpenghasilan tidak tetap)
menjadi lumpuh7. Kecamatan Peukan merupakan faktor risiko stunting yang
Bada merupakan salah satu wilayah di berarti anak memiliki risiko 22.89 kali
kabupaten Aceh Besar yang parah dilanda menderita stunting jika pekerjaan ayah
gempa dan tsunami yang dahsyat setelah sebagai tukang/buruh. Penelitian Hatril
bencana ditandai dengan terbatasnya (2001) menunjukkan kecenderungan
ketersediaan makanan dan terbatasnya air bahwa ayah yang bekerja dalam kategori
bersih serta hygiene dan sanitasi yang swasta mempunyai pola konsumsi
buruk, yang dapat meningkatkan risiko makanan keluarga yang lebih baik
gizi kurang pada anak-anak8. Bencana dibandingkan dengan ayah yang bekerja
alam akan menimbulkan dampak jangka sebagai buruh.
panjang yang rumit dan mempengaruhi Dari hasil analisis multivariate
segala aspek termasuk pada mata didapatkan anak memiliki risiko 10.14 kali
pencaharian, infrastruktur fisik, sosial dan menderita stunting jika ibu bekerja sebagai
politik, serta lingkungan, menghidupkan petani dibandingkan anak dengan ibu yang
kembali sumber penghasilan, membangun tidak bekerja. Sejalan dengan penelitian
perumahan, sekolah-sekolah dan kegiatan Hien dan Hoa (2009) yang mendapatkan
pencarian nafkah9. Pembangunan pekerjaan ibu berhubungan secara
infrastruktur terus dilakukan untuk signifikan dengan gizi kurang.
mengembalikan Aceh dan lebih
mengembangkan Aceh . 10 Faktor Risiko Lingkungan dengan
Prevalensi stunting pada anak-anak Stunting
SD/MI di kecamatan Peukan Bada
ditemukan sebanyak 24% (belum berat Hasil uji multivariat tidak ada
menurut WHO). Padahal untuk kawasan hubungan yang signifikan antara jenis
yang terkena bencana dahsyat sekelas jamban dan sumber air minum dengan
tsunami Aceh tentu saja akan stunting. Air minum isi ulang yang kita
menimbulkan permasalahan stunting yang peroleh dari depot air minum isi ulang
cukup serius. Hal ini menunjukkan bahwa (DAMIU) yang banyak dikonsumsi oleh
rekonstruksi yang dilakukan pasca masyarakat, belum sepenuhnya baik dari
Tsunami akan memberikan dampak jangka segi kesehatan disebabkan oleh beberapa
panjang terhadap kesehatan dan hal seperti lokasi depot yang berada di
kesejahteraan masyarakat dan hasil pinggir jalan raya sehingga merupakan
perjuangan bersama selama ini dari sumber polusi dan debu. Kondisi depot
berbagai pihak telah memberikan hasil yang tidak steril ini tentu saja kurang sehat.
yang menggembirakan.

Gizi Kesehatan Masyarakat 79


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Faktor Risiko Ibu dengan Stunting Faktor Risiko Individu dengan Stunting

Dalam penelitian ini ditemukan anak Hasil multivariat berat lahir diperoleh
yang mengalami stunting lebih banyak berat lahir merupakan faktor proteksi
pada anak dengan riwayat usia ibu terhadap stunting. Hal ini berarti setiap
melahirkan <20 tahun dan >35 tahun yaitu peningkatan 100 gram berat lahir risiko
sebanyak 63.33%. Walaupun dari hasil terhadap stunting menurun sebesar 22%.
analisis multivariate usia ibu saat Hasil penelitian Putri dan Utami (2015)
melahirkan dengan (OR = 3.41 95% CI: menunjukkan bahwa berat lahir
0.68-17.25) p-value 0.138 bukan berhubungan signifikan dengan kejadian
merupakan faktor risiko stunting. Serupa stunting pada anak umur 6-23 bulan yang
penelitian Nadiyah (2014) bahwa tidak lahir cukup bulan di Indonesia, namun
ditemukan hubungan yang signifikan baik berat lahir bukan merupakan prediktor
antara paritas ataupun umur ibu yang kuat terhadap kejadian stunting.
melahirkan dengan stunting pada anak (p Diare dengan OR = 17.90 (95% CI:
>0.05). 1.04-309.16) p-value 0.047 menunjukkan
Dalam penelitian ini ditemukan anak yang sering menderita diare memiliki
keluarga dengan jumlah anak >4 orang peluang mengalami stunting 17.90 kali
yang mengalami stunting sebanyak dibandingkan anak yang tidak pernah
63.33%. Dari hasil multivariate jumlah menderita diare. Bila dikaitkan dengan
anak bukan merupakan faktor risiko situasi bencana seperti tsunami yang
stunting. Meskipun demikian, tidak melanda Aceh, kejadian diare pada anak
terdapat hubungan yang bermakna antara tetap merupakan salah satu masalah
jumlah anak dengan kejadian stunting pada kesehatan yang umum dijumpai, hal ini
balita. tentu saja dipicu oleh buruknya kondisi
Waktu inisiasi menyusui bukan faktor lingkungan dan sanitasi.
risiko stunting. Dalam penelitian ini Selama di pengungsian biasanya
sebesar 93.3% ibu-ibu tidak melakukan persoalan yang dijumpai adalah masalah
inisiasi menyusui dengan tepat. Ibu ketersediaan air bersih dan fasilitas MCK
diharapkan mulai menyusui anaknya yang kurang layak. Masalah kesehatan
segera setelah melahirkan, atau antara 1 yang biasanya disebabkan oleh kebersihan
jam setelah melahirkan. Sejalan dengan lingkungan termasuk sumber air yang
penelitian Nadiyah et al. (2014) inisiasi kurang memadai, sehingga anak-anak
menyusui tidak berhubungan signifikan mudah terserang diare dan juga penyakit
dengan stunting. gatal-gatal.
Dari hasil penelitian pada kelompok Sampai saat ini penyakit diare yang
kasus hanya sebanyak 6.67% yang diderita anak-anak masih merupakan
memberikan ASI secara eksklusif. masalah yang serius, permasalahan ini
Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu- bukan saja terkait dengan saat kejadian
ibu responden diperoleh ada banyak alasan bencana dimana situasi dan kondisi
mengapa ibu-ibu tidak memberikan ASI lingkungan tidak kondusif tanpa ada
Eksklusif, di antaranya karena ASI tidak bencanapun prevalensi diare tetap tinggi.
keluar, ibu bekerja, ASI tidak mencukupi Penyakit diare merupakan salah satu
kebutuhan bayi, ibu sakit, ASI sedikit dan penyakit berbasis lingkungan masih
lain-lain. Hal inilah yang mempengaruhi menjadi permasalahan kesehatan Indonesia
mengapa ada banyak bayi yang tidak hingga saat ini.
mendapat ASI eksklusif.

Gizi Kesehatan Masyarakat 80


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
KESIMPULAN Sekolah di Kecamatan Lubuk
Kilangan Kota Padang, Majalah
Prevalensi stunting di Kecamatan Kedokteran Andalas; 2012. no.1, vol.
Peukan Bada sebesar 24%, belum 36, Januari-Juni.
termasuk kategori berat menurut WHO. 7. Wesli., 'Kajian Mobilitas Penduduk
Hal ini disebabkan karena adanya berbagai Pada Sistem Transportasi Darat
program bantuan dan rehabilitasi dalam Pasca Tsunami Di Propinsi Aceh',
berbagai aspek termasuk kesehatan baik Teras Jurnal; 2011. vol.1, no.1, Maret.
dari masyarakat, lembaga lokal maupun 8. Jayatissa, R., et al., 'Assessment of
internasional yang dilakukan pasca Nutritional Status of Children
tsunami dalam rangka pemulihan kembali Under Five Years of Age, Pregnant
daerah Aceh sehingga memberikan Women, and Lactating Women
dampak jangka panjang terhadap Living in Relief Camps After the
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Tsunami in Sri Lanka', Food and
Rendahnya sosial ekonomi keluarga Nutrition Bulletin; 2006. vol. 27, no. 2.
yang berkaitan dengan pekerjaan orangtua 9. Daly, P.F., Michael. Reid, Anthony,
akan mempengaruhi pendapatan keluarga Aceh Setelah Tsunami dan Konflik,
yang merupakan faktor yang turut Jakarta: Pustaka Larasan; 2013
menentukan status gizi balita. Perlu 10. Hartini, N., Remaja Nanggroe Aceh
adanya kebijakan dan program perbaikan Darussalam Pasca Tsunami; 2011.
gizi dan kesehatan diprioritaskan pada vol. 4, no.1.
keluarga miskin dengan peningkatan
ketersediaan pangan melalui pemanfaatan
pekarangan sebagai sumber pangan dan
gizi keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

1. UNICEF, Ringkasan Kajian Gizi


Ibu dan Anak; 2012.
2. Hartono, R.D., Hubungan Asupan
Protein, Kalsium dan Vitamin C
dengan Kejadian Stunting pada
Anak Sekolah Dasar di Kec.
Biringkanaya Kota Makassar,
Jurnal Kesehatan Masyarakat; 2013:
vol. VII, no.2.
3. Kemenkes, Laporan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas); 2013.
4. ILO-APINDO, Dampak Tsunami
dan Gempa Bumi pada 26
Desember 2004 terhadap
Perusahaan-Perusahaan Anggota
APINDO di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam; Banda Aceh: 2005.
5. Aditama, T.Y., Masalah Kesehatan
Pasca Tsunami 2005, Jakarta: UI
Press.
6. Sulastri, D., Faktor Determinan
Kejadian Stunting Pada Anak Usia

Gizi Kesehatan Masyarakat 81


3
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

ANALISIS PENGGUNAAN JENIS MP-ASI DAN STATUS KELUARGA


TERHADAP STATUS GIZI ANAK USIA 7-24 BULAN
DI KECAMATAN JAYA BARU

Analysis the Use of Complementary Feeding and Family Status toward the Child
Nutritional Status of 7-24 Months in the District Jaya Baru

Agus Hendra AL-Rahmad1


1
Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Kemenkes RI Aceh, Jl. Soekarno-Hatta Kampus Terpadu Poltekkes
Kemenkes Aceh, Aceh Besar, 23532, Indonesia.
1
4605.ah@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang: Anak usia di bawah dua tahun merupakan masa dengan pertumbuhan serta perkembangan
secara pesat (periode emas) dan digolongkan dalam kelompok yang sangat rawan gizi. Makanan pendamping
ASI (MP-ASI) dan status gizi balita memunculkan masalah pada aspek hubungan sebab akibat. Bahwa
pemberian MP-ASI yang kurang tepat berdampak terhadap status gizi kurang atau gizi buruk. Penelitian
bertujuan untuk mengukur perbedaan penggunaan jenis MP-ASI pada keluarga PNS dengan bukan PNS
terhadap status gizi anak usia 7-24 bulan di kecamatan Jaya Baru Banda Aceh. Metode: Metode penelitian
dilakukan dengan pendekatan kuantitatif melalui rancangan crossectional. Variabel penelitian terdiri dari
penggunaan MP-ASI, status gizi, dan status keluarga. Data dikumpulkan dengan wawancara dan observasi yang
diambil pada 83 sampel terpilih secara acak. Analisa data menggunakan uji statistik Chi-Square pada CI: 95%.
Hasil: Hasil penelitian menujukkan secara proporsional tidak terdapat perbedaan status gizi (p-value 0.518)
antara keluarga PNS dengan keluarga bukan PNS (p-value >0.05). Selanjutnya penggunaan jenis MP-ASI secara
proporsional menunjukkan perbedaannya dengan nilai p-value 0.005 di kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh.
Saran: Kesimpulan bahwa status gizi balita antara keluarga PNS dengan keluarga bukan PNS tidak menunjukan
perbedaan, tetapi menurut penggunaan MP-ASI baik proporsi maupun jenis antara keluarga PNS dengan bukan
PNS secara proporsional mempunyai perbedaan signfikan.

Kata Kunci: Status Gizi, MP-ASI, Status Keluarga, Anak Usia 7-24 Bulan

ABSTRACT

Background: Children under two years is a period with rapid growth and development in (called golden period)
and is classified in the group were extremely malnutrition. Complementary feeding (MP-ASI) and the nutritional
status of children raised problems in the aspect of causality. Giving MP-ASI that is less precise can impact on
the children malnutrition status. The study aims to measure the difference in the use MP-ASI type from families
with non-civil and civil servants background on the nutritional status of children aged 7-24 months in the
district Jaya Baru, Banda Aceh. Methods: The research method is quantitative approached through cross-
sectional design with variables consisted: MP-ASI, nutritional status, and family status. Data was collected
through interviews and observations taken randomly with total 83 selected samples. Analysis data used Chi-
Square test on CI: 95%. Results: The results showed no difference in proportion of nutritional status (p-value
0.518) between families from civil servants with no civil servants background (p-value >0.05). Furthermore, the
use of MP-ASI type proportionally shows differences (p-value 0.005) in the district of Jaya Baru, Banda Aceh.
Recommendation: The conclusion that the nutritional status of children between families of civil servants and
not civil servants backgrounds did not show differences, but in the use of MP-ASI by proportion and type
between family statuses have significant differences.

Keywords: Nutritional Status, Complementary Feeding, Family Status, Child Aged 7-24 Months

Gizi Kesehatan Masyarakat 82


3
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
PENDAHULUAN dilanjutkan sampai bayi berumur 2
tahun.
Global Strategy for Infant and Young Jenis makanan pendamping seperti
Child Feeding, melalui WHO/UNICEF makanan formula, bubur nasi saring,
merekomendasikan empat hal penting kentang rebus yang dihaluskan, pisang
yang harus dilakukan yaitu pertama dan biskuit yang dihaluskan, sehingga
memberikan memberikan air susu ibu dapat memenuhi gizi untuk balita4. Usia 6
kepada bayi segera dalam waktu 30 menit bulan bayi mulai diberikan MP-ASI.
setelah bayi lahir, kedua memberikan Sebagian besar anak tidak mendapatkan
hanya air susu ibu (ASI) atau pemberian MP-ASI dalam jumlah yang cukup baik
ASI secara eksklusif sejak lahir sampai 6 dari segi kualitas maupun kuantitas dan
bulan, ketiga memberikan makanan ini sangat siginifkan pengaruhnya ke
pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak status gizi5. Beberapa penelitian
bayi berusia 6 bulan, sampai usia 24 bulan, menyatakan bahwa masalah gizi pada bayi
dan keempat meneruskan pemberian ASI dan anak disebabkan kebiasaan pemberian
sampai anak berusia 24 bulan atau lebih. ASI dan MP-ASI yang tidak tepat baik
Rekomendasi tersebut menekankan secara segi kuantitas dan kualitas6.
sosial budaya MP-ASI hendaknya di buat Selain itu, para ibu kurang menyadari
dari bahan pangan yang murah dan mudah bahwa sejak bayi berusia 6 bulan sudah
diperoleh dari daerah setempat1. memerlukan MP-ASI dalam jumlah dan
Rencana Pembangunan Jangka mutu yang baik dan kondisi tersebut juga
Panjang dan Menengah Nasional akibat pengaruh dari geografis tempat
(RPJPMN) bidang kesehatan, antara lain tinggal7. Hasil Riset Kesehatan Dasar
dengan memberikan prioritas kepada (Riskesdas) pada tahun 2010, ditemukan
perbaikan kesehatan dan bidang gizi bayi bahwa jenis makanan prelakteal yang
dan anak. Sebagai tindakan lanjut paling banyak berikan kepada bayi baru
RPJPMN, Rencana Aksi Nasional (RAN) lahir yaitu susu formula sebesar (71.3%),
pencegahan dan penanggulangan gizi madu (19.8%) dan air putih 14.6%). Jenis
buruk tahun 2010-2015 telah menyusun yang termasuk kategori lainnya meliputi
sejumlah kegiatan yang segera kopi, santan, biskuit, dan kurma8.
dilaksanakan. Seluruh perbaikan gizi yang Target yang tertuang dalam Millenium
dilakukan diharapkan dapat menurunkan Development Goals bahwa gizi kurang
masalah gizi kurang menjadi 20% dan pada balita dapat diturunkan sebesar
masalah gizi buruk menjadi 5% di tahun 15.0% dan gizi buruk sebesar 3.5%9.
20152. Tahun 2013, provinsi Aceh mempunyai
Peningkatan pemberian ASI dan MP- prevalensi balita kekurangan gizi masih
ASI merekomendasikan pemberian 23.7% dan angka stunting 38.9% serta
makanan yang baik dan tepat bagi bayi wasting (anak kurus) 14.2%. Jika kita
dan anak 0-24 bulan secara nasional. Hal bandingkan dengan kategori masalah gizi
ini diperkuat dengan Surat Keputusan menurut WHO maka kondisi masalah gizi
Menteri Kesehatan terkait pemberian ASI di Aceh tergolong kategori sangat tinggi,
esksklusif (Permenkes nomor 450/ dan serius10. Dari data Puskesmas di
Menkes/SK/IV/2004) dan makanan kecamatan Jaya Baru terdapat 1.415 balita,
pendamping ASI (nomor 237/1997). Perlu dan 500 baduta, dengan proporsi anak
ditegaskan bahwa MP-ASI bukanlah yang mengalami gizi kurang (indikator
makanan pengganti ASI3. BB/U) sebesar 10.64%, sedangkan gizi
Makanan pendamping ASI (MP-ASI) buruk hanya sebesar 1.40%11.
adalah makanan lain selain ASI yang Masalah gizi sangat identik dengan
diberikan pada bayi berusia 6 sampai 24 kondisi keluarga balita, khususnya keadaan
bulan, namun pemberian ASI harus tetap sosial ekonomi suatu keluarga. Semakin

Gizi Kesehatan Masyarakat 83


3
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
banyak jumlah keluarga miskin sangat melakukan observasi. Sedangkan data
mempengaruhi daya beli terhadap pangan. sekunder dilakukan secara observasi
Terbatasnya ketersediaan bahan makanan sebagai metode pengumpulan data
dalam keluarga berpotensi menimbulkan dilaksanakan dengan cara mengamati
terjadinya gizi kurang bahkan gizi buruk7. langsung jalan tertentu disertai pendataan.
Menurut Amosu12, bahwa anak balita di Pengolahan data penelitian meliputi
pedesaan cenderung mengalami kekurangan empat tahapan yaitu tahap editing, coding,
gizi karena status kemiskinan terkait sosial cleaning sampai tahap data entry. Analisis
ekonomi keluarga mereka seperti rendahnya data baik secara univariat maupun bivariat
pendidikan, pekerjaan yang tidak menetap. menggunakan software komputer. Dalam
Muldimensi permasalahan gizi menjawab tujuan penelitian serta
termasuk faktor konsumsi (ASI eksklusif membuktikan hipotesis, digunakan
dan MP-ASI khusus anak di bawah dua analisis uji statistik yaitu Chi-Square
tahun) dan non-konsumsi seperti rendahnya dengan tingkat kemaknaan 95%14. Hasil
pendapatan, status pekerjaan orang tua, penelitian disajikan dalam bentuk
ketersediaan makanan, sanitasi yang buruk tekstular dan tabular serta grafikal.
berdampak terhadap kualitas anak-anak
pada masa akan datang. Hal tersebut HASIL PENELITIAN
bertujuan untuk meningkatkan kesehatan
dan gizi anak berlandaskan UUD 1945 dan Karakteritik Subjek
kesepakatan internasional tertuang dalam
konvensi Hak Anak (Komisi Hak Asasi Sampel dalam penelitian ini yang
Anak PBB) pasal 24 yaitu memberikan berjenis kelamin laki-laki lebih banyak
makanan yang terbaik bagi anak usia di proporsinya yaitu sebesar 54.2%
bawah 2 tahun untuk pemenuhan kebutuhan dibandingkan berjenis kelamin perempuan
gizi. Peneliti ingin melakukan penelitian (45.8%). Selanjutnya berdasarkan
dengan tujuan untuk mengukur perbedaan kelompok usia, ternyata anak dengan usia
penggunaan jenis MP-ASI pada keluarga 7–15 bulan lebih banyak yaitu mencapai
PNS dengan bukan PNS terhadap status gizi sebesar 56.6% dan yang berusia 16–24
Anak 7-24 bulan di kecamatan Jaya Baru, bulan hanya sebesar 43.4%. Sedangkan
Banda Aceh. sebaran data karakteristik sampel secara
deskritif statistik menurut berat badan,
METODE PENELITIAN tinggi badan, umur, z-score disajikan pada
Tabel 1.
Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif yang menggunakan desain Tabel 1. Tabel Distribusi Deskriptif
Crossectional Study13 yang dilaksanakan Statistik
di Gampong Lamteumen Timur
Kecamatan Jaya Baru Banda Aceh, pada Variabel
Mini- Mak-
Mean
Standar
tanggal 2-15 Agustus 2015. Sampel mum simum Deviasi
merupakan keseluruhan populasi Berat
penelitian yaitu seluruh anak bayi dua Badan 6.5 14.0 9.5 2.013
tahun sebanyak 34 orang yang diambil (kg)
secara total sampling. Tinggi
63 89 77.5 6.895
Data primer terdiri data karakteristik Badan
responden, data jenis MP-ASI, status (cm)
Umur
7 22 14.5 4.424
keluarga, dan status gizi. Data primer ini (bulan)
dikumpulkan secara wawancara secara Z-Score -3.13 4.6 -0.43 1.767
langsung menggunakan kuesioner,
melakukan pengukuran antropometri, serta Dari 83 sampel penelitian ternyata

Gizi Kesehatan Masyarakat 84


3
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
rata-rata berat badan yaitu 9.5 kg dengan Berdasarkan Tabel 2, diketahui anak
deviasi 2.013 sedangkan menurut tinggi yang berstatus gizi normal dan gemuk
badan rata-rata yaitu 77.5 cm dengan mempunyai proporsi yang lebih banyak
deviasinya 6.895 cm. Begitu juga dengan pada keluarga PNS yaitu masing-masing
usia sampel dalam penelitian ini, sebesar 61.9% dan 62.5% kemudian
umumnya berusia 15 tahun (rerata 14.5) diikuti oleh anak yang berstatus gizi
dan menurut data status gizi secara rerata kurus juga mayoritas berasal dari keluarga
dapat diketahui mempunyai status gizi PNS yaitu sebesar 53.7%. Hasil uji
normal (rerata -0.43) berdasarkan indeks statistik Chi-Square diperoleh nilai p-
IMT/U dengan baku rujukan WHO di value 0.764. Hasil ini dapat disimpulkan
kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh. bahwa secara statistik pada CI: 95% tidak
Hasil pengukuran antropometri dan menunjukan perbedaan (p-value >0.05)
perhitungan status gizi pada anak usia 7-22 proporsi status gizi anak usia 7–24 bulan
bulan tergambarkan bahwa dari 83 sampel antara yang berasal dari keluarga PNS
menurut indikator IMT/U sebesar 74.3% maupun dengan dari keluarga bukan PNS.
mempunyai status gizi normal dan yang
gemuk hanya sebesar 8.6%. Tabel 2. Perbedaan Proporsi Status
Gizi Anak
Karakteritik Responden
Status Keluarga
Hasil penelitian secara variabelitas Status PNS Bukan
P
terhadap karakteristik responden seperti Gizi n % n %
variabel pekerjaan dan jenis MP-ASI yang Kurus 29 53.7 25 46.3
Normal 13 61.9 8 38.1 0.764
digunakan akan memberikan gambaran 5 62.5 3 37.5
menurut data distribusi frekuensi pada Gemuk
responden. Dalam penelitian, responden Total 47 56.5 36 43.4
(keluarga) lebih mayoritas mempunyai
pekerjaan sebagai PNS yaitu sebesar Perbedaan Penggunaan Jenis MP-ASI
56.6% sedangkan pekerjaan responden Antara Keluarga PNS dengan Bukan
yang bukan PNS hanya sebesar 43.4%. PNS
Penggunaan jenis MP-ASI juga bervariasi
pada responden dalam penelitian ini. Berikut ini disajikan pada Tabel 3
Berdasarkan hasil penelitian tergambarkan yaitu hasil penelitian terkait dengan
bahwa mayoritas responden dalam perbedaan penggunaan jenis MP-ASI
penggunaan jenis MP-ASI yaitu yang diperoleh bayi usia 7–24 bulan baik
menggunakan MP-ASI lokal (73.5%), dan yang berasal dari keluarga PNS maupun
hanya sedikit yang menggunakan jenis yang berasal dari keluarga bukan PNS.
MP- ASI non lokal atau pabrikan (26.5%).
Tabel 3. Perbedaan Penggunaan Jenis
Perbedaan Status Gizi Anak Antara MP-ASI
Keluarga PNS dengan Bukan PNS
Status Keluarga
Status gizi anak usia 7–24 bulan secara Jenis PNS
Bukan
umum lebih banyak yang berstatus gizi MP- PNS P
normal, tetapi hal tersebut belum bisa ASI n % n %
diidentifikasi berasal dari keluarga PNS Lokal 18 81.8 4 18.2
atau bukan. Berikut ini disajikan hasil Non Lokal 29 47.5 32 52.5 0.005
penelitian terkait perbedaan proporsi status Total 47 56.5 36 43.4
gizi BADUTA antara masing-masing
keluarga.
Proporsi penggunaan jenis MP-ASI

Gizi Kesehatan Masyarakat 85


3
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
lokal sebesar 81.8% terdapat pada balita gangguan pertumbuhan pada anak.
dengan status keluarga PNS, sedangkan Selanjutnya menurut Amosu12, ternyata
penggunaan jenis MP-ASI non lokal rendahnya peluang untuk memperoleh
(pabrikan) sebesar 52.5% terdapat pada pekerjaan yang lebih baik akan
keluarga yang bukan PNS. Selanjutnya berdampak terhadap rendahnya
hasil uji statistik Chi-Square test diperoleh pendapatan keluarga dengan demikian
nilai p-value 0.005. Hal ini berarti pada kebutuhan nutrisi yang lebih baik sangat
tingkat kemaknaan 95% terdapat tidak memungkinkan untuk terpenuhi bagi
perbedaan (p-value <0.05) secara keluarga.
proporsional antara penggunaan jenis MP- Konsumsi merupakan faktor langsung
ASI menurut status keluarga. terhadap status gizi, dan berkaitan dengan
pola konsumsi keluarga dan distribusi
PEMBAHASAN makananan antar anggota keluarga.
Selanjutnya pola distribusi makanan antar
Perbedaan Status Gizi Anak Antara anggota keluarga dipengaruhi banyak
Keluarga PNS dengan Bukan PNS faktor antara lain tingkat upah kerja,
alokasi waktu untuk keluarga, siapa
Masalah status gizi pada anak usia 7– pengambil keputisan belanja makanan di
24 bulan lebih banyak terjadi pada rumah tangga18. Sehingga status pekerjaan
keluarga PNS baik masalah kekurusan kepala keluarga atau ibu akan
maupun kegemukan dibandingkan mempengaruhi tingkat pendapatan yang
keluarga bukan PNS. Secara statistik, ada dalam keluarga tersebut. Kemampuan
proporsi status gizi anak usia 7–24 bulan membeli suatu rumah tangga yang
tidak menunjukkan perbedaan antara yang ayahnya bekerja sebagai petani, tentu
berasal dari keluarga PNS maupun dengan akan berbeda dengan kepala keluarga
dari keluarga bukan PNS di kecamatan yang bekerja sebagai pegawai negri sipil.
Jaya Baru, kota Banda Aceh. Hal tersebut dapat mempengaruhi
Hasil penelitian ini searah dengan hasil kemampuan membeli suatu makanan
penelitian Kristianti15, bahwa status gizi lewat banyaknya jumlah makanan yang
anak tidak berkaitan dengan status dibeli atau variasi makanan. Pendapatan
pekerjaan ibu (p-value 0.805), selain itu keluarga memiliki peran yang sangat
faktor pendidikan juga tidak dapat penting untuk mendukung kelangsungan
menunjukan perbedaan terhadap status gizi hidup keluarga19. Dalam riset kesehatan
balita (p-value 0.595). Menurutnya, 2007 dikemukakan bahwa semakin tinggi
keadaan ini dapat disebabkan oleh faktor pendapatan sebuah keluarga apabila
lain, seperti pendapatan keluarga sehingga dilihat dari status pekerjaan seorang
berdampak terhadap daya beli. Keluarga kepala keluarga20.
dengan pekerjaan tetap umumnya
mempunyai pendapatan tinggi yang Perbedaan Penggunaan Jenis MP-ASI
disertai berlebihan dalam memenuhi Antara Keluarga PNS dengan Bukan
kebutuhan makanan, sebaliknya keluarga PNS
dengan pekerjaan tidak tetap cenderung
mempunyai pendapatan rendah, dan hal ini Penggunaan jenis MP-ASI pada
akan mempersulit dalam pemenuhan keluarga PNS lebih banyak menggunakan
kebutuhan pangan. makanan lokal, sebaliknya pada keluarga
Hal ini juga didukung oleh penelitian bukan PNS lebih banyak menggunakan
Hong16, bahwa kesenjangan ekonomi makanan pendampingnya yaitu berasal
keluarga secara signifikan sangat terkait dari pabrikan atau non lokal. Hasil
dengan kekurangan gizi pada anak-anak, statistik ternyata terdapat perbedaan
dalam kurun waktu yang lama akan terjadi secara proporsional antara penggunaan

Gizi Kesehatan Masyarakat 86


3
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
jenis MP-ASI menurut status keluarga di KESIMPULAN DAN SARAN
kecamatan Jaya Baru, kota Banda Aceh.
Menurut Muchina5, mayoritas ibu Anak usia 7–24 bulan lebih banyak
dengan pekerjaannya sebagai tenaga berstatus gizi normal (61.9%) dan gemuk
kesehatan mempunyai kesesuaian dengan (62.5%) yang berasal dari keluarga PNS
praktek pemberian ASI sesuai dengan dibandingkan keluarga bukan PNS,
yang dianjurkan. Makanan pendamping sehingga secara proporsional tidak
ASI pada ibu yang bekerja terlalu dini menunjukkan perbedaan (p-value 0.764)
diperkenalkan, yang umumnya merupakan antara status gizi anak yang berasal dari
hasil olahan sendiri. Selanjutnya penelitian keluarga PNS dengan status gizi anak dari
lain yang mendukung yaitu penelitian keluarga bukan PNS. Selanjutnya sebesar
Sakti7 yang menyimpulkan tidak terdapat 81.8% jenis MP-ASI lokal digunakan oleh
pengaruh yang signifikan antara jenis keluarga PNS, dan sebesar 52.4% jenis
makanan terhadap status keluarga. Ibu MP-ASI non lokal (pabrikan) digunakan
yang memberikan bubur beras atau bubur oleh keluarga bukan PNS, sehingga
formula kepada anak sebagai MP-ASI, terdapat perbedaan (p-value 0.005) secara
namun masih ditemukan banyak anak proporsional antara penggunaan jenis MP-
yang status gizinya tidak baik, hal ini juga ASI menurut status keluarga di kecamatan
disebabakan oleh faktor jumlah MP-ASI Jaya Baru, Banda Aceh.
yang diberikan masih sangat kurang Diperlukan kegiatan pemantauan
memadai. status gizi dan evaluasi indikator gizi
Sejalan dengan penelitian ini pada secara kontinu. Ini dapat dilakukan oleh
penelitian sebelumnya yang cukup pihak Dinas Kesehatan kota Banda Aceh
berkaitan dengan penelitian ini melalui Puskesmas Jaya Baru agar
menyebutkan bahwa frekuensi jenis MP- pertumbuhan dan perkembang anak
ASI mempengaruhi status gizi anak yang terpantau secara baik sehingga dengan
berasal dari keluarga pegawai maupun berbagai intervensi maka status gizi anak
bukan. Hal ini menunjukkan bahwa mencapai pada titik optimal. Selain itu
pemberian MP-ASI dalam jumlah yang penting untuk memberikan informasi-
cukup merupakan salah satu faktor yang informasi yang lebih banyak terkait
tercapainya status gizi pada masing- masalah gizi dan kesehatan anak, seperti
masing keluarga mereka. penyuluhan tentang pentingnya posyandu
Melalui penerapan perilaku Keluarga dan praktek pembuatan MP-ASI.
Sadar Gizi keluarga didorong untuk Bagi pemerintahan setempat yaitu
memberikan ASI eksklusif pada bayi sejak pihak Muspika kecamatan Jaya Baru agar
lahir sampai berusia 6 bulan dan memberikan motivasi kepada masyarakat
memberikan MP-ASI yang cukup dan untuk lebih peduli masalah gizi dan
bermutu kepada bayi dan anak usia 6-24 kesehatan. Setiap bulannya membawa
bulan. Bagi keluarga mampu pemberian anak-anaknya ke posyandu untuk
MP-ASI yang cukup dan bermutu relatif pemantauan status gizi dan tumbuh
tidak bermasalah. Pada keluarga miskin, kembang anak dengan arti lain
pendapatan yang rendah menimbulkan meningkatkan partisipasi dalam hal
keterbatasan pangan di rumah tangga yang kesehatan. Selain itu melibatkan semua
berlanjut kepada rendahnya jumlah dan pimpinan desa untuk menginformasi
mutu MP-ASI yang diberikan kepada bayi kepada warganya agar tetap menyadari
dan anak1. akan pentingnya pemberian makanan
bergizi pada anak dan selalu
menkonsultasikan masalah gizi anak
kepada petugas kesehatan di puskesmas
ataupun posyandu.

Gizi Kesehatan Masyarakat 87


3
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
DAFTAR PUSTAKA 2010. Tersedia dari:
<www.riskesdas.litbang.go.iddownlo
1. Depkes., Pedoman Umum ad TabelRiskesdas2010.pdf>
Pemberian Makanan Pendamping 9. Bappenas, Laporan Pencapaian
Air Susu (MP-ASI) Lokal, Jakarta: Tujuan Pembangunan Milenium
Direktorat Jendral Bina Kesehatan Indonesia 2010, Jakarta:
Masyarakat; 2010. Kementerian Perencanaan
2. Bappenas, Rencana Pembangunan Pembangunan Nasional/ Badan
Jangka Menengah Nasional 2010 - Perencanaan Pembangunan Nasional
2015, Jakarta: Kementerian (BAPPENAS); 2010.
Perencanaan Pembangunan Nasional/ 10. Balitbangkes, Riset Kesehatan
Badan Perencanaan Pembangunan Dasar 2013 Berdasarkan Provinsi
Nasional (BAPPENAS); 2013. Aceh, Edisi Pertama. eds, Herman S.,
3. Prabantini D., A to Z Makanan Puspasari N., Banda Aceh: Badan
Pendamping ASI Si Kecil Sehat dan Penelitian dan Pengembangan
Cerdas Berkat MP-ASI Rumahan, Kesehatan Kementerian Kesehatan RI;
Yogyakarta: CV. Andi Offset; 2010. 2013.
4. Nurlinda A., Gizi dan Siklus Daur 11. Puskemas Jaya Baru, Profil
Kehidupan Seri Baduta (untuk Puskesmas Jaya Baru Tahun 2014,
anak 1-2 tahun), Yogyakarta: CV. Banda Aceh; 2014.
Andi Offset; 2013. 12. Amosu A.M., Degun A.M.,
5. Muchina E, Waithaka P., Atulomah N.O.S. and Olanrewju
Relationship between Breastfeeding M.F., A Study of the Nutritional
Practices and Nutritional Status of Status of Under-5 Children of Low-
Children Aged 0-24 Months in Income Earners in a South-
Nairobi, Kenya, African J. Food Western Nigerian Community,
Agric. Nutr. Dev.; 2010. vol.10, no. 4, Current Res. J. Biol. Sci.; 2011. vol. 3,
p.p. 2358–78. no. 6, p.p. 578–85.
6. Septiana, R., Djannah, R.S.N. & 13. Creswell J.W., Research Design:
Djamil, M.D., Hubungan Antara Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
Pola Pemberian Makanan dan Mixed, Edisi Ketiga. ed,
Pendamping ASI (MP-ASI) dan Achmad F., Yogyakarta: Pustaka
Status Gizi Balita Usia 6-24 Bulan Pelajar; 2010.
di Wilayah Kerja Puskesmas 14. Sugiyono., Statistika untuk
Gedongtengen, Yogyakarta, Penelitian, Edisi Keenam. Bel.
Kesehatan Masyarakat UAD; 2010. Bandung: Alfabeta; 2010.
vol 4, no 2, p.p. 118–24. 15. Kristianti, D. dan Suriadi, P.,
7. Sakti R.E., Hadju V., Rochimiwati Hubungan antara Karakteristik
S.N., Hubungan Pola Pemberian Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi
MP-ASI dengan Status Gizi Anak Anak Usia 4-6 Tahun di TK
Usia 6-23 Bulan di Wilayah Pesisir Salomo Pontianak, ProNers; 2013.
Kecamatan Tallo Kota Makassar, vol. 3, no.1, p.p. 1–6.
J. MKMI; 2013. p.p. 1–12.Tersedia
dari:
<http://repository.unhas.ac.id/handle/1
234 56789/5480>
8. Balitbangkes, Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2010, Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI;

Gizi Kesehatan Masyarakat 88


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 - 153

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI


PADA ATLET TARUNG DERAJAT ACEH

Factors Associated with Nutritional Status on Acehnese Tarung Derajat Athletes

Nazalia1, Basri Aramico2, dan Fauzi Ali Amin3


Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh, #23245
1,2,3
2
aramico.basri@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang: Status gizi yang buruk dapat mempengaruhi derajat kesehatan dan kebugaran atlet. Status gizi
atlet diukur dengan menggunakan indikator Indeks Massa Tubuh (IMT). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor apa yang berhubungan dengan status gizi pada atlet Tarung Derajat Aceh. Metode:
Penelitian ini bersifat observasional analitik dan menggunakan desain cross-sectional. Pengumpulan data
dilakukan dengan metode wawancara dan penyebaran angket. Sampel adalah seluruh populasi - seluruh atlet
tarung derajat Aceh telah memasuki masa Training Center (TC) sejumlah 51 orang. Uji statistik yang digunakan
yaitu uji chi-square dan dianalisa secara univariat dan bivariat. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa atlet
tarung derajat yang status gizi kurus 13.7%, status gizi normal 74.5%, dan status gizi gemuk 11.8%.
Berdasarkan analisa univariat terdapat atlet dengan pola makan salah 47.1%, melakukan aktivitas fisik yang
berat 33.3%, aktivitas ringan 23.5%, pengetahuan gizi kurang 43.1%, intensitas latihan kurang 29.4% dan
intensitas latihan berat 25.5%. Berdasarkan hasil bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan pola makan (p-
value 0.040), aktivitas fisik (p-value 0.031), pengetahuan gizi (p-value 0.016) dan intensitas latihan (p-value
0.043) dengan status gizi atlet. Saran: Diharapkan kepada para pengurus dan pelatih tarung derajat Aceh agar
lebih memperhatikan pola makan atlet sesuai dengan kebutuhannya, jumlah kalori yang dikonsumsi dan jadwal
yang teratur dapat membantu proses pemenuhan gizi menjadi lebih baik, serta mengadakan penyuluhan gizi
yang melibatkan atlet dan para pelatih guna meningkatkan pengetahuan tentanggizi.

Kata Kunci: Gizi Atlet, Pola Makan, Aktivitas Fisik, Pengetahuan Gizi, dan Intensitas Latihan.

ABSTRACT

Background: Poor nutritional status can affect health status and fitness athletes. The nutritional status of
athletes was measured using indicators of Body Mass Index (BMI). This study aims to determine what factors
associated with nutritional status in Tarung Derajat Aceh athletes. Methods: This research categorised as
observational analytic and using cross-sectional design. Data collection conducted through interview and
distributing questionnaires. The sample is the entire population-all Tarung Derajat Aceh athletes that has
entered Training Center (TC) period total up to 51 people. The statistical used is the chi-square test and
univariate and bivariate analysis. Results: The results showed that Tarung Derajat Aceh athletes’ nutritional
statuses are 13.7% underweight, 74.5% normal nutritional status, and 11.8% respondents with obese nutritional
status. Based on univariate analysis, there are 47.1% athletes with wrong dietary habit, 33.3% athletes
performing heavy physical activities, 23.5% atheletes performing light activities, 43.1% athelets with poor
nutrition knowledge, 29.4% athelets with less exercise intensity meanwhile, 25.5% atheletes with heavy exercise
intensity. Based on bivariate results, indicated that there is a relationship between diet (p-value 0.040), physical
activity (p-value 0.031), nutritional knowledge (p-value 0.016) and intensity of exercise (p-value 0.043) with
nutritional status of athletes. Suggestion: The organization committee and coaches of Tarung Derajat Aceh
athletes should give more attention to athletes’ diet based on their needs, the number of calories consumed and
regular schedule can help for better of nutrition, and conduct nutritional counseling involving athletes and
coaches to improve knowledge about nutrition.

Keyword: Athlete Nutrition, Diet, Physical Activity, Nutrition Sciences, and Intensity Exercise.

Gizi Kesehatan Masyarakat 89


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 - 153
PENDAHULUAN yaitu olahraga, umur dan jenis kelamin,
asupan gizi dan status gizi, kebiasaan
Proses pencapaian prestasi dalam merokok dan minum alkohol. Berdasarkan
bidang olahraga banyak dipengaruhi oleh hasil penelitian yang dilakukan The
berbagai faktor. Salah satu faktor yaitu National Academies menunjukkan bahwa
tersedianya energi yang cukup dan pola makan yang salah menyebabkan
memadai merupakan salah satu faktor stamina atlet menurun3.
yang penting untuk menentukan Intensitas latihan pada atlet harus
keberhasilan atlet dalam mencapai prestasi. dilaksanakan secara teratur karena dengan
Peningkatan prestasi atlet tergantung dari meningkatnya intensitas atlet maka akan
banyak faktor, salah satu faktor yang meningkat juga kebutuhan energinya. Jika
penting untuk mewujudkannya adalah atlet tidak memperoleh energi sesuai
melalui pemenuhan zat gizi yang seimbang kebutuhannya maka akan terjadi
sesuai kebutuhan para atlet1. pengambilan cadangan lemak untuk
Gizi yang tepat merupakan dasar memenuhi kebutuhan energi, sehingga
utama bagi penampilan prima seorang pemenuhan kebutuhan atlet jadi berkurang
olahragawan pada saat bertanding. Selain dan menyebabkan atlet kurus dan cepat
itu gizi dibutuhkan pula pada kerja merasa kelelahan4.
biologik tubuh. Untuk penyediaan energi Berdasarkan data yang diperoleh dari
tubuh pada saat seorang olahragawan Komite Olahraga Nasional Indonesia
melakukan berbagai aktifitas fisik, (KONI) ACEH, prestasi para atlet Tarung
misalnya pada saat latihan (training), Derajat Aceh pada tahun 2014 ini menurun
bertanding dan saat pemulihan. Gizi juga dengan prestasi 3 emas, 4 perak dan 5
dibutuhkan untuk memperbaiki atau perunggu, dibandingkan dengan tahun-
mengganti sel tubuh yang rusak1. tahun sebelumnya yang mendapatkan 5
Berdasarkan hasil penelitian yang emas, 2 perak dan 1 perunggu. Hal ini
dilakukan oleh Magfirah2-Hubungan masih di bawah target dan mengecewakan
Tingkat Pengetahuan Gizi Olahraga, semua jajaran pengurus KONI dan
Frekuensi Konsumsi Suplemen, dan Status termasuk para atlet.
Gizi dengan Kebugaran Jasmani Atlet di
Klub Sepakbola PSIM Yogyakarta, dari 45 METODE PENELITIAN
atlet menunjukkan yang berstatus gizi
kurang yaitu 22 responden (48.8%) dan Penelitian ini bersifat observasional
status gizi lebih yaitu 9 responden (20.0%) analitik dan menggunakan desain cross-
dan selebihnya berstatus gizi normal, dari sectional. Populasi dalam penelitian ini
data tersebut menunjukkan bahwa masih adalah seluruh atlet tarung derajat Aceh
banyaknya atlet yang mengalami gizi telah memasuki masa Training Center (TC)
kurang dan berstatus gizi lebih. yang berjumlah 51 orang. Sampel penelitian
Berdasarkan data hasil evaluasi tes fisik ini adalah 51 orang yang diperoleh dengan
dan status gizi olah tim Pengurus Provinsi teknik total populasi. Penelitian ini
Tarung Derajat Aceh (2014) dari dilakukan dari tanggal 18–24 April 2016.
keseluruhan atlet yaitu 66 orang atlet, Pengumpulan data primer dilakukan
diantaranya masih ada yang status gizi dengan metode observasi, wawancara dan
kurang yaitu 23 orang atau sekitar 34.1%. penyebaran angket. Data karakteristik,
Menurunnya prestasi atlet tidak hanya aktivitas fisik dan pengetahuan didapat
disebabkan oleh satu faktor saja tetapi melalui wawancara dengan responden
disebabkan oleh banyak faktor, di mana menggunakan alat bantu kuesioner. Data
faktor-faktor tersebut saling berhubungan Berat Badan (BB) dan pengukuran Tinggi
satu dengan lainnya. Beberapa faktor yang Badan (TB) didapat dengan melakukan
mempengaruhi status gizi seorang atlet, pengukuran langsung menggunakan alat

Gizi Kesehatan Masyarakat 90


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 - 153
bantu timbangan dan microtoice dengan sebagian besar memiliki pola makan baik
ketelitian 0.1 cm, data pola didapat (52,9%) dibandingkan yang memiliki
dengan menggunakan formulir “Food pola makan tidak baik (47.1%). Hasil
record Quesioner”, serta data intensitas penelitian menunjukkan bahwa 33.3%
latihan atlet tarung derajat didapat melalui responden melakukan aktivitas fisik berat,
test fisik yang dilakukan oleh para pelatih 43.1% responden melakukan aktivitas fisik
tarung derajat untuk mendapatkan hasil cukup, dan 23.5% atlet melakukan aktivitas
data yang akurat. Analisa data aktivitas fisik ringan. Lebih banyak
menggunakan analisa univariat dalam responden yang memiliki pengetahuan gizi
bentuk tabel distribusi frekuensi dan baik (56.9%) dibandingkan dengan yang
analisa bivariat menggunakan uji statitistik kurang (43.1%). Hasil penelitian juga
Chi Square (X²) dengan α = 0.05. menunjukkan responden memiliki intensitas
latihan kurang sebanyak 29.4%, memiliki
HASIL PENELITIAN intensitas latihan sedang sebanyak 45.1%
dan memiliki intensitas latihan yang baik
Hasil dari pengumpulan data pada sebanyak 25.5%.
objek penelitian terdiri dari atlet yang
berusia 18-26 tahun yang berjumlah 51 Hubungan Pola Makan, Aktivitas Fisik,
sampel di Tarung Derajat Aceh yang Pengetahuan Gizi, dan Intensitas Latihan
dianalisa secara univariat dan bivariat. dengan Status Gizi
Dari 51 responden atlet tarung derajat
Aceh yang status gizinya kurus yaitu Tentang pola makan atlet menunjukkan
sebanyak 7 responden (13.7%), 6 bahwa, atlet yang status gizinya kurus pada
responden yang berstatus gizi gemuk pola makan salah yaitu 20.8%, lebih besar
(11.8%) dan 38 respondenberstatus gizi bila dibandingkan dengan atlet yang
normal (74.5%). Dari 51 responden memiliki pola makan benar sebanyak 7.4%.

Tabel 1. Hubungan Pola Makan, Aktivitas Fisik, Pengetahuan Gizi, Intensitas Latihan
dengan Status Gizi

Status Gizi
Variabel Kurus Normal Gemuk
F % p-value
n % n % n %
Pola Makan
1 Benar 5 20.8 14 58.4 5 20.8 24 100
0.040
2 Salah 2 7.4 24 88.9 1 3.7 27 100
Aktivitas Fisik
1 Ringan 2 16.7 6 50 4 33.3 12 100
2 Cukup 1 4.5 20 91 1 4.5 22 100 0.031
3 Berat 4 23.5 12 70.6 1 5.9 17 100
Pengetahuan Gizi Atlet
1 Kurang 5 22.7 12 54.6 5 22.7 22 100
0.016
2 Baik 2 6.9 26 89.7 1 3.4 29 100
Intensitas Latihan
1 Ringan 4 26.7 7 46.6 4 26.7 15 100
2 Cukup 1 4.3 21 91.4 1 4.3 23 100 0.043
3 Berat 2 15.4 10 76.9 1 7.7 13 100

Gizi Kesehatan Masyarakat 91


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 - 153
Atlet yang status gizinya normal pada intensitas latihan dengan status gizi
pola makan benar 88.9% lebih besar menunjukkan bahwa atlet yang status
dibandingkan dengan atlet yang pola gizinya kurus lebih banyak pada atlet yang
makan salah 58.3%. Sedangkan atlet yang intensitas latihan ringan sebesar 26.7%
status gizinya gemuk pada pola makannya dibandingkan dengan atlet yang intensitas
salah sebesar 20.8%, proporsinya lebih latihan cukup 4,3% dan intensitas latihan
besar bila dibandinkan dengan atlet yang berat 15.4%. Atlet yang berstatus gizi
pola makan benar 3.7%. Hasil uji statistik normal lebih banyak pada atlet yang
menunjukkan bahwa ada hubungan yang intensitas latihan cukup sebesar 91.3%
bermakna antara pola makan dengan status dibandingkan dengan atlet yang intensitas
gizi atlet (p-value 0.040 <0.05). latihan ringan 46.7% dan intensitas latihan
Hasil analisis bivariat aktivitas fisik berat 76.9%. Sedangkan atlet yang status
atlet menunjukkan bahwa, atlet yang status gizinya gemuk lebih banyak pada atlet
gizinya kurus lebih banyak pada atlet yang yang intensitas latihan ringan 26.7%
melakukan aktivitas fisik berat sebesar dibandingkan dengan atlet yang intensitas
23.5% dibandingkan dengan atlet yang latihan cukup 4.3% dan intensitas latihan
melakukan aktivitas fisik cukup 4.5% dan berat 7.7%. Hasil uji statistik menunjukkan
ringan 16.7%. Atlet yang status gizi bahwa ada hubungan yang bermakna
normal lebih banyak pada atlet yang antara intensitas latihan dengan status gizi
melakukan aktivitas fisik cukup sebesar atlet (p-value 0.043 <0.05).
90.9% dibandingkan dengan atlet yang
melakukan aktivitas fisik berat 70.6% dan PEMBAHASAN
aktivitas fisik ringan 50%. Sedangkan
Atlet yang status gizinya gemuk lebih Hubungan Pola Makan dengan Status
banyak pada atlet yang melakukan aktifitas Gizi Atlet Tarung Derajat Aceh
fisik ringan 33.3% dibandingkan dengan
atlet yang melakukan aktifitas fisik cukup Hasil penelitian menunjukkan bahwa
4.5% dan aktivitas fisik berat 5.9%. Hasil ada hubungan pola makan dengan status
uji statistik menunjukkan bahwa ada gizi pada atlet di mana p-value 0.040
hubungan yang bermakna antara aktivitas <0.05. Penelitian ini sejalan dengan hasil
fisik dengan status gizi atlet (p-value 0.031 penelitian Putra5 yang menunjukkan ada
<0.05). Hasil analisis bivariat pengetahuan hubungan yang signifikan antara pola
gizi atlet menunjukkan bahwa atlet yang makan dengan status gizi atlet di
status gizinya kurus lebih besar Yogyakarta (p-value 0.020). Di mana
proporsinya pada atlet dengan proporsi status gizi kurus dan gemuk lebih
pengetahuan gizi kurang yaitu 22.7% banyak ditemukan pada atlet yang pola
dibandingkan dengan atlet dengan makannya kurang.
pengetahuan gizi baik 6.9%. Atlet yang Pola makan atlet yang kurang tepat
gizi normal lebih besar proporsinya pada disebabkan oleh berbagai faktor, salah
atlet yang pengetahuan gizi baik yaitu satunya yang ditemukan di lapangan yaitu
89.7% dibandingkan dengan atlet perbedaan tempat tinggal atlet, atlet yang
berpengetahuan kurang 54.5%. Sedangkan tinggal di asrama pola dan jadwal
atlet yang status gizinya gemuk lebih makannya lebih teratur dibandingkan
banyak pada atlet dengan pengetahuan gizi dengan atlet yang masih tinggal di
kurang 22.7% dibandingkan dengan atlet rumahnya masing-masing, selain itu porsi
yang pengetahuan gizi baik 3.4%. Hasil uji makanan yang dikonsumsi juga berbeda.
statistik menunjukkan bahwa ada Atlet yang mengkonsumsi makanan
hubungan yang bermakna antara dalam porsi lebih banyak karena perlu
pengetahuan gizi dengan status gizi atlet untuk menambah berat badan dan ada juga
(p-value 0.0016 <0.05). atlet yang mengurangi porsi makan karena
Hasil bivariat hubungan antara
Gizi Kesehatan Masyarakat 92
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 - 153
harus mengurangi berat badan, serta dengan cara beraktivitas. Berdasarkan
ditemukan juga atlet yang tidak hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
mengkonsumsi nasi dan menggantikannya ada hubungan aktivitas fisik dengan status
dengan kentang dan ubi. gizi pada atlet dengan p-value 0.031<0.05,
Hasil penelitian ini sama dengan artinya semakin berat aktivitas atlet maka
konsep teoritis di mana disebutkan bahwa atlet akan semakin kurus. Semakin ringan
kemampuan atlet untuk mempertahankan aktivitas atlet makan akan atlet akan
cukupnya tenaga langsung dipengaruhi semakin gemuk.
oleh jumlah kalori yang dikonsumsinya. Hasil penelitian ini menunjukkan atlet
Intake kalori setiap hari pada dasarnya yang beraktivitas ringan namun status gizi
mempengaruhi kemampuan atlet tersebut kurus, dan atlet yang betaktivitas berat
mempertahankan kecukupan tenaga. Pola namun status gizi gemuk, hal tersebut
makan yang sehat dan bergizi juga dapat dapat dipengaruhi oleh faktor lain di
mempengaruhi pertumbuhan dan prestasi antaranya dimungkinkan disebabkan oleh
atlet. Pola makan sehat yang dimaksud atlet yang pola makannya salah, pola
meliputi jenis makan yang bergizi, istirahatnya kurang, diet. Berdasarkan
frekuensi makan yang diperhatikan, serta hasil penelitian juga diketahui bahwa atlet
porsi makan yang dikonsumsi atlet. dengan status gizi gemuk masih ada yang
Kebutuhan dan asupan gizi berasal dari menkonsumsi snack yang berlebihan
konsumsi makanan sehari-hari. diluar jam makannya.
Status gizi kurus atau gemuk sangat Menurut Indrawagita6 ada hubungan
sering dialami oleh atlet yang berpola antara aktivitas fisik dengan status gizi
makan yang tidak baik ditambah lagi pada atlet PUSDIKLAT Depok (p-value
waktu yang tidak teratur dalam 0.015). Khomsan8 menyebutkan bahwa
mengkonsumsi makanan menyebabkan orang yang hanya duduk atau aktivitas
asupan gizi tidak maksimal6. fisik yang kurang dalam waktu panjang
Asumsi peneliti dalam penelitian ini memiliki risiko terkena penyakit lebih
adalah jika pola makannya salah maka tinggi, obesitas akibat kurang bergerak,
akan memicu terjadinya status gizi kurus juga akan menyebabkan kematian dini.
atau gemuk, namun dari hasil penelitian ini Begitu juga sebaliknya aktivitas tinggi
juga ditemukan bahwa terdapat beberapa yang tidak sesuai dengan kebutuhannya
orang atlet dengan pola makan yang benar maka juga akan menyebabkan kekurusan.
namun mengalami status gizi kurus dan Manusia beraktivitas setiap hari,
gemuk. Hal tersebut dapat terjadi karena di sehingga membutuhkan tubuh yang sehat
picu oleh beberapa faktor lain di antaranya untuk menunjang aktivitas. Aktivitas fisik
frekuensi dan jumlah konsumsi makan, yang berlebihan atau dilakukan melebihi
densitas atktifitas yang rendah dan nafsu batas kemampuan tubuh dapat berdampak
makan berkurang. Konsumsi makanan buruk bagi kesehatan. Orang yang
yang tidak seimbang dapat menyebabkan berlebihan dalam melakukan aktivitas fisik
sintesis jaringan terbatas sehingga akan kelelahan, bahkan dapat mengalami
mengakibatkan kekurusan, begitu juga cedera dan sakit. Setiap orang tentu ingin
sebaliknya. sehat. Tubuh yang sehat dapat diperoleh
dengan mengkonsumsi makanan yang
Hubungan Aktivitas Fisik dengan bergizi, menjaga kebersihan diri dan
Status Gizi Atlet Tarung Derajat Aceh lingkungan serta dengan melakukan
olahraga yang teratur8.
Aktivitas fisik merupakan salah satu Asumsi peneliti dalam penelitian ini
faktor yang mempengaruhi status gizi adalah semakin berat aktivitas fisik atlet
karena status gizi seseorang bergantung maka akan semakin besar atlet mengalami
juga penggunaan zat gizi yang dikonsumsi gizi kurus, juga semakin ringan aktivitas

Gizi Kesehatan Masyarakat 93


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 - 153
fisik atlet maka juga akan semakin besar atlet yang menderita status gizi kurus
atlet mengalami kegemukan, namun pada padahal aktifitas yang dilakukannya
penelitian ini masih ada atlet yang tergolong ringan, hal ini dapat terjadi
menderita status gizi gemuk padahal karena asupan makanan yang dikonsumsi
aktivitas fisik yang dilakukan tergolong terlalu berlebihan atau asupan yang
berat, begitu juga sebaliknya masih ada dikonsumsi tidak memenuhi kebutuhan
atlet yang menderita status gizi kurus hariannya sehingga atlet kekurangan
padahal aktifitas yang dilakukannya nutrisi di dalam tubuhnya.
tergolong ringan, hal ini dapat terjadi
karena asupan makanan yang dikonsumsi Hubungan Pengetahuan Gizi dengan
terlalu berlebihan atau asupan yang Status Gizi Atlet Tarung Derajat Aceh
dikonsumsi tidak memenuhi kebutuhan
hariannya sehingga atlet kekurangan Pengetahuan gizi kurang pada atlet
nutrisi di dalam tubuhnya. tarung derajat disebabkan oleh ketika
Menurut Indrawagita6 ada hubungan mereka memasuki masa traning center
antara aktivitas fisik dengan status gizi (TC) mereka tidak dibekali dengan ilmu-
pada atlet PUSDIKLAT Depok (p-value ilmu gizi yang cukup untuk
0.015). Khomsan8 menyebutkan bahwa mempertahankan atau memperbaiki status
orang yang hanya duduk atau aktivitas gizi mereka, dan ini juga disebabkan pada
fisik yang kurang dalam waktu panjang perekrutan atlet dari dasarnya tidak
memiliki risiko terkena penyakit lebih didukung oleh status gizi atlet yang baik,
tinggi, obesitas akibat kurang bergerak, karena atlet tidak mengikuti kejuaraan
juga akan menyebabkan kematian dini. berdasarkan berat badan idealnya masing-
Begitu juga sebaliknya aktivitas tinggi masing, tetapi dengan kelas yang sudah
yang tidak sesuai dengan kebutuhannya ditentukan berdasarkan kemampuan
maka juga akan menyebabkan kekurusan. mereka.
Manusia beraktivitas setiap hari, Hasil penelitian menunjukkan adanya
sehingga membutuhkan tubuh yang sehat hubungan antara pengetahuan gizi dengan
untuk menunjang aktivitas. Aktivitas fisik status gizi atlet di mana p-value 0.016
yang berlebihan atau dilakukan melebihi <0.05. Pengetahuan gizi juga termasuk
batas kemampuan tubuh dapat berdampak salah satu faktor yang berhubungan
buruk bagi kesehatan. Orang yang dengan status gizi, Kumiati menyatakan
berlebihan dalam melakukan aktivitas fisik bahwa penyebab dari gangguan gizi adalah
akan kelelahan, bahkan dapat mengalami kurangnya pengetahuan tentang gizi dan
cedera dan sakit. Setiap orang tentu ingin kurangnya kemampuan untuk menerapkan
sehat. Tubuh yang sehat dapat diperoleh informasi yang diperoleh dari kehidupan
dengan mengkonsumsi makanan yang sehari-hari. Berdasarkan penelitian Putra5
bergizi, menjaga kebersihan diri dan yang mengemukakan bahwa pengetahuan
lingkungan serta dengan melakukan gizi sangat berhubungan dengan status gizi
olahraga yang teratur8. atlet, berbeda dengan penelitian yang
Asumsi peneliti dalam penelitian ini dilakukan Mustamin10. Prevalensi status
adalah semakin berat aktivitas fisik atlet gizi kurus pada atlet yang pengetahuan
maka akan semakin besar atlet mengalami gizinya kurang adalah 55.3% dan
kekurusan, juga semakin ringan aktivitas prevalensi status gizi gemuk pada atlet
fisik atlet maka juga akan semakin besar yang berpengetahuan kurang adalah 10%
atlet mengalami kegemukan, namun pada walaupun tidak berhubungan secara
penelitian ini masih ada atlet yang statistik.
menderita status gizi gemuk padahal Banyak faktor yang mempengaruhi
aktivitas fisik yang dilakukan tergolong pengetahuan gizi seseorang di antaranya
berat, begitu juga sebaliknya masih ada adalah umur, di mana semakin tua umur

Gizi Kesehatan Masyarakat 94


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 - 153
seseorang maka proses perkembangan hasil bivariat menunjukkan bahwa ada
mentalnya menjadi baik, intelegensi atau hubungan pola makan (p-value 0.040),
kemampuan untuk belajar dan berpikir aktivitas fisik (p-value 0.031),
masih baik dan menyesuaikan diri dalam pengetahuan gizi (p-value 0.016) dan
situasi baru, kemudian lingkungan di mana intensitas latihan (p-value 0.043) dengan
seseorang dapat mempelajari hal-hal baik status gizi atlet.
juga buruk tergantung pada sifat
kelompoknya, budaya yang memegang DAFTAR PUSTAKA
peran penting dalam pengetahuan10.
1. Penggalih, dkk., Gaya Hidup, Status
Hubungan Intensitas Latihan dengan Gizi dan Stamina Atlet pada
Status Gizi Atlet Tarung Derajat Aceh Sebuah Klub Sepakbola, Berita
Kedokteran Masyarakat; Desember
Intensitas latihan merupakan aktivitas 2007. vol. 23, no. 4.
yang memerlukan ketahanan fisik dan 2. Magfirah, dkk., Hubungan Tingkat
kesehatan yang optimal, untuk Pengetahuan Gizi Olahraga,
mempertahankan ketahanan fisik dan Frekuensi Konsumsi Suplemen, dan
kesehatan yang optimal diperlukan status Status Gizi dengan Kebugaran
gizi yang baik. Hasil penelitian Jasmani Atlet di Klub Sepakbola
menunjukkan bahwa ada hubungan PSIM Yogyakart [Skripsi],
intensitas latihan dengan status gizi pada Universitas Respati Yogyakarta; 2013.
atlet dimana p-value 0.043 <0.05. 3. Kanca, Pencegahan Penyakit
Penelitian ini sejalan dengan hasil Degeneratif Usia Dini Melalui
penelitian Arum12 yang menunjukkan Pelatihan Olahraga: Suatu Kajian
bahwa ada hubungan yang signifikan Fisiobologis, Makalah Orasi
antara intensitas latihan dengan status gizi Pengenalan Guru Besar Tetap dalam
atlet (p-value 0.016) Di mana proporsi Bidang Pendidikan Jasmani dan
status gizi kurus dan gemuk lebih banyak Kesehatan pada Fakultas Ilmu
ditemukan pada atlet yang intensitas Keolahragaan Undiksha Singaraja;
latihannya ringan. 2006.
Intensitas latihan harus diselesaikan 4. Brian J., Kebugaran dan kesehatan,
dalam waktu tertentu, dan memerlukan penerjemah. Eri Desmarini Nasution,
banyak energi. Dengan meningkatnya Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada:
intensitas latihan atlet maka akan Jakarta; 2003.
meningkat juga kebutuhan energinya. Jika 5. Putra, Irama, Adhitya., Hubungan
atlet tidak memperoleh energi sesuai Pola Makan dan Pengetahuan Gizi
kebutuhannya maka akan terjadi Terhadap Status Gizi Atlet di
pengambilan cadangan lemak untuk Yogyakarta, Yogyakarta; 2013.
memenuhi kebutuhan energi, sehingga 6. Indrawagita, L., Hubungan
pemenuhan kebutuhan atlet jadi berkurang Kebugaran dan Aktivitas Fisik
dan menyebabkan atlet kurus dan cepat Terhadap Status Gizi Atlet
merasa kelelahan4. Pusdiklat Depok, Depok: Fakultas
Kesehatan Masyarakat; 2009.
KESIMPULAN 7. Karyamitha dan Adhi, Tingkat
Kecukupan Gizi, Aktivitas Fisik
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan dan Status Gizi Atlet Sepakbola
bahwa ada hubungan antara pola makan, Remaja Putra Menengah Atas
aktivitas fisik, pengetahuan gizi dan (SMA) Negeri di Kota Denpasar;
intensitas latihan dengan status gizi pada 2011.
atlet tarung derajat Aceh. Berdasarkan 8. Khomsan, A., Pangan dan Gizi

Gizi Kesehatan Masyarakat 95


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 - 153
untuk Kesehatan, Jakarta:
Rajagrafindo Persada; 2009.
9. Wahjoedi, Landasan Evaluasi
Pendidikan Jasmani, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada; 2001.
10. Mustamin, dkk., Tingkat
Pengetahuan Gizi, Asupan dan
Status Gizi Atlet di Pusdiklat
Olahraga Pelajar Sudian Kota
Makasar, Makasar; 2010.
11. Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Jakarta: Rineka Cipta;
2003.
12. Arum, M.V. dan Mulyati, T.,
Hubungan Intensitas Latihan,
Persen Lemak Tubuh dan Kadar
Hemoglobin terhadap Status Gizi
Atlet Sepak Bola, Program Studi
Ilmu Gizi Kedokteran Universitas
Diponegoro; 2014.

Gizi Kesehatan Masyarakat 96


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

PENINGKATAN KETEPATAN KADER MELALUI MODUL


PENDAMPING KMS DALAM MENGINTERPRETASIKAN HASIL
PENIMBANGAN BALITA

Increasing the Accuracy of Cadres through KMS Companion Module in Interpreting


the Results of a Child’s Weight

Agus Hendra AL-Rahmad1


1
Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Kemenkes RI Aceh, Jl. Soekarno-Hatta Kampus Terpadu Poltekkes
Kemenkes Aceh, Aceh Besar, 23532, Indonesia.
1
4605.ah@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang: Kekurangan energi protein (KEP) di provinsi Aceh tahun 2013 diperoleh 21.52%, serta
prevalensi anak pendek mencapai sebesar 36.5%. Kader mempunyai peran strategis melalui kegiatan
pemantauan pertumbuhan anak di posyandu (Pos Pelayanan Terpadu). Sehingga diperlukan pelatihan bagi kader
dengan modul pendamping KMS untuk menentukan interpretasi hasil penimbangan anak di posyandu.
Penelitian bertujuan menilai efektivitas pelatihan penggunaan modul pendamping KMS terhadap ketepatan
kader dalam menginterpretasikan hasil penimbangan balita. Metode: Jenis penelitian deskriptif analitik
menggunakan desain Quasi Experimental dengan pendekatan pretest posttest non equivalent group,
dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Darul Imarah selama 2 bulan (Februari-Maret 2015). Sampel
merupakan kader puskesmas berjumlah 40 orang (20 perlakuan dan 20 kontrol) yang diambil secara acak. Data
dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner dan dianalisis menggunakan statistik R-Cmdr
terhadap analisis deskriptif dan analisis inferensial (T-test) pada CI 95%. Hasil: Hasil penelitian diketahui
pelatihan mempunyai pengaruh signifikan dalam meningkatkan ketepatan kader (p = 0.000) dalam melakukan
interpretasi data. Selanjutnya, pelatihan dengan modul KMS lebih efektif dalam meningkatkan ketepatan kader
dibandingkan pelatihan tanpa modul. Kesimpulan: Pelatihan dengan modul pendamping KMS mempunyai
pengaruh dalam meningkatkan ketepatan kader. Pelatihan ini mempunyai efektifitas yang lebih baik
dibandingkan pelatihan tanpa modul.

Kata Kunci: Modul Pendamping KMS, Kader, Ketepatan, dan Interpretasi

ABSTRACT

Background: Protein-energy malnutrition (PEM) in the province of Aceh in 2013 was obtained 21:52%, and
the prevalence of short children reached 36.5%. Health cadre has a strategic role by monitoring the growth of
children in Posyandu (integrated service post). Therefore, training for cadres with KMS companion module is
required to determine the interpretation of results of weighing children in posyandu. The research goal is to
assess the effectiveness of training on the use of KMS companion module on the accuracy of cadres in
interpreting the results of a child's weight. Methods: Research using Quasi-Experimental design approach with
pretest posttest non equivalent group in Darul Imarah Health Center (puskesmas) for 2 months (February-
March 2015). Samples are cadres of community health centers total up to 40 respondents (20 treated and 20
controls) were taken randomly. Data was collected through interview by distributing questionnaire and was
analyzed statistically using R-Cmdr for descriptive analysis and with inferential (T-test) at CI 95%. Results:
The results revealed thar training had significant influence in improving the accuracy of cadres (p = 0.000) in
interpreting the data. Furthermore, training with KMS module is more effective in improving accuracy
compared cadre training without KMS module. Conclusion: Training with KMS companion module has an
effect in improving the accuracy of cadres. This training has better effectiveness than training without modules.

Keywords: KMS Companion Modules, Cadre, Accuracy, and Interpretation

Gizi Kesehatan Masyarakat 97


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
PENDAHULUAN kurang sebesar 19% dan gizi buruk sebesar
9%. Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang
Millennium Development Goals (KEP Total) yang mengindentifikasi balita
(MDG’s) dalam kesepakatan global yang underweight dari tahun 2007 sampai
terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 dengan 2014 relatifnya mengalami
indikator, dengan target pada tahun 2015 peningkatan yang signifikan3.
setiap negara harus menurunkan angka Pemantauan pertumbuhan merupakan
kematian anak di bawah 5 tahun sampai salah satu kegiatan utama program
dua pertiga dari angka kematian anak pada perbaikan gizi, yang menitikberatkan pada
tahun 1990. Berdasarkan tujuan tersebut, upaya pencegahan dan peningkatan
maka salah satu target dalam MDGs ke keadaan gizi balita4. Penelitian Minarto,
empat yaitu berhubungan dengan menyimpulkan bahwa frekuensi dan
penurunan kematian balita dan merupakan kontinuitas berat badan tidak naik secara
target paling menentukan adalah konsisten sangat mempengaruhi
penurunan prevalensi kasus gizi kurang pertumbuhan bayi 6 bulan dan 12 bulan.
dan gizi buruk. Terkait dengan hal tersebut Faktor kesakitan dan pemantauan
bahwa pencapaian penurunan prevalensi pertumbuhan sangat mempengaruhi
gizi kurang dan gizi buruk dalam MDGs ketepatan pengukuran dan tindak lanjutnya
pada tahun 2015 adalah sebesar 15% dan oleh kader5. Pembinaan kader merupakan
3.5%. Dua dari indikator sebagai sarana penting dalam peningkatan
penjabaran tujuan pertama MDG’s adalah pengetahuan dan keterampilan kader4.
menurunnya prevalensi gizi kurang pada Berdasarkan training needs assessment
anak balita dan menurunnya jumlah kader di provinsi Aceh, ternyata kader
penduduk dengan defisit energi1. masih kesulitan dalam pengisian grafik
Kekurangan gizi merupakan masalah KMS, termasuk dalam menentukan
serius yang berkontribusi kematian balita interpretasi hasil penimbangan. Peran
dan kematian ibu. Di Indonesia sampai kader yang sangat strategis melalui
kini masih terdapat empat masalah gizi kegiatan pemantauan pertumbuhan anak di
utama yang harus ditanggulangi dengan posyandu dan masih banyak dijumpai
program perbaikan gizi, upaya perbaikan kesalahan kader dalam menentukan
gizi dilaksanakan secara bertahap dan interpretasi hasil penimbangan. Penelitian
berkesinambungan sesuai dengan ini bertujuan mengukur tingkat efektivitas
pentahapan dan prioritas pembangunan pelatihan penggunaan modul pendamping
nasional. Sasaran jangka panjang yang KMS terhadap peningkatan pengetahuan
ingin dicapai adalah bahwa masalah gizi dan ketepatan kader dalam
tidak menjadi masalah kesehatan menginterpretasikan hasil penimbangan
masyarakat .2 balita.
Hasil Riskesdas 2013, menunjukkan
bahwa prevalensi gizi buruk dan gizi METODE PENELITIAN
kurang (underweight) di Indonesia adalah
19.6%, balita pendek (stunting) yaitu Penelitian kuantitatif ini menggunakan
sebesar 37.2% dan balita yang kurus desain Quasi Experimental dengan
(wasting) sebesar 12.1%. Provinsi Aceh rancangan pretest posttest non equivalent
memiliki prevalensi gizi buruk dan kurang group. Penelitian dilaksanakan di
(underweight) yang masih berada di atas Puskesmas Darul Imarah, Aceh Besar,
angka prevalensi nasional yaitu sebesar terhitung Februari–Maret 2015. Sampel
26.3%. Berdasarkan hasil survei merupakan kader terpilih secara acak dari
Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2014 hasil perhitungan besar sampel
di kabupaten Aceh Besar diketahui menggunakan rumus ukuran sampel untuk
prevalensi balita yang mengalami gizi menguji hipotesis dua sisi dua populasi

Gizi Kesehatan Masyarakat 98


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
rata- rata6, yaitu: tergambarkan bahwa secara proporsi yang
bekerja 5 tahun ke bawah umumnya lebih
banyak. Menurut hasil statistik terbukti
bahwa tidak terdapat perbedaan lama
bekerja responden antara kedua kelompok.
Secara lebih jelas disajikan dalam Tabel 1
berikut ini lengkap dengan hasil uji
Besar sampel diperoleh 40 orang yang statistik.
dibagi ke dalam dua kelompok (20
perlakuan dan 20 kontrol). Pengumpulan Tabel 1. Distribusi Karakteristik Subjek
data meliputi data primer (identitas subjek, Penelitian Menurut Kelompok
pengetahuan, ketepatan kader) yang Penelitian
diperoleh melalui wawancara dan
observasi. Data skunder meliputi wilayah Kelompok Penelitian
kerja kader, demografi lokasi serta data Karakteristik X2
Subjek Perlakuan Kontrol p-value
dukung lainnya diperoleh melalui studi n % n %
dokumen. Analisis data menggunakan Umur (tahun)
software statistik R (R-Cmdr) bersifat 21 – 30 7 35 6 30 0.22
open source. Analisis data dimulai secara 31 – 40 10 50 10 50 0.896
deskriptif, pengujian pra syarat analisis, 41 – 50 3 15 4 20
pengujian normalitas (Kolmogorov Pendidikan
Smirnov), dan pengujian homogenitas SD 1 5 4 20
varians tes statistik yang digunakan adalah SMP 6 30 2 10 3.84
SMA 12 60 13 65 0.279
uji F (Levene’s Test for Equality of Diploma 0 0 0 0
Variances). Dalam membuktikan hipotesis, Sarjana 1 5 1 5
uji statistik yaitu Dependent T-test dan Pelatihan
Independent T-test. Statistik Dependent Ya 13 65 14 70 0.11
T-test atau Wilcoxon (data tidak Tidak 7 35 6 30 1.000
Lama
berdistribusi normal) serta Independent T- Bekerja
<5 tahun 10 50 12 60 0.40
test atau Mann Whitney (data tidak >5 tahun 10 50 8 40 0.751
berdistribusi normal)7. Total 20 10 20 100
0
HASIL Hasil penelitian mengilustrasi, tidak
terdapatnya perbedaan yang signifikan CI
Karakteritik Subjek 95% pada karakteristik subjek. Artinya,
baik dari kelompok perlakuan maupun
Karakteristik kader terdiri dari umur, kelompok kontrol berasal dari karakteristik
tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, yang sama sehingga diharapkan tidak
pelatihan kader yang sejenis dan lamanya terjadinya ketimpangan data dalam
menjadi kader. Menurut karakteristik penelitian sehingga hasil dari intervensi
pelatihan tergambarkan secara proporsi pada kelompok perlakuan merupakan
bahwa baik pada kelompok perlakuan perubahan akibat dari pelatihan
maupun kelompok kontrol umumnya penggunaan modul pendamping KMS,
sudah pernah mendapatkan pelatihan, bukan akibat dari perbedaan karakteristik
artinya secara statistik untuk karakteristik subjek.
pelatihan kader juga tidak terdapat
perbedaan proporsi pada kedua kelompok
dengan nilai p = 1.000 (p-value >0.05).
Sedangkan menurut karakteristik lama
bekerja, pada kader posyandu

Gizi Kesehatan Masyarakat 99


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Pengaruh Pelatihan Terhadap Ketepatan menujukan pengaruh yang sangat
Kader dalam Interpretasi Hasil signifikan untuk menghasilkan ketepatan
Penimbangan kader dalam meningkatkan serta
menginterpretasikan data terkait hasil
Berikut ini merupakan hasil analisis penimbangan di posyandu dalam wilayah
data secara analitik yang meliputi kerja Puskesmas Darul Imarah tahun 2015.
penimbangan dan ketepatan kader dalam Selanjutnya, berdasarkan Tabel 2
melakukan interpretasi data yang terlihat bahwa selisih rerata skor ketepatan
digolongkan menurut kelompok baik kader dalam melakukan interpretasi data
dengan penggunaan modul maupun tanpa hasil penimbangan di posyandu pada
penggunaan modul. Dianalisis secara pelatihan tanpa penggunaan modul
statistik menggunakan uji Dependent T- pendamping KMS antara sebelum dengan
test, dengan CI 95%. Hasil dapat dilihat sesudah pelatihan hanya sebesar 0.1
pada Tabel 2. dengan deviasinya 0.72. Secara statistik,
hasil ini tidak menunjukan perbedaan
Tabel 2. Pengaruh Pelatihan antara ketepatan kader sebelum pelatihan
Penggunaan Modul Pendamping KMS dengan setelah pelatihan dengan nilai p =
Terhadap Peningkatan Ketepatan 0.541 (p-value >0.05) dalam melakukan
Kader (n = 20) interpretasi data hasil penimbangan di
Posyandu. Sehingga disimpulkan,
Ketepatan Mean Δ Mean p- pelatihan tanpa penggunaan modul
Kader  SD  SD value pendamping KMS bagi kader ternyata
Dengan modul: secara signifikan tidak bisa menujukan
Sebelum pelatihan 7.4  0.50 1.4  0.88 0.000* pengaruh untuk menghasilkan ketepatan
Setelah pelatihan 8.8  0.95 kader dalam menginterpretasikan data
Tanpa Modul: terkait hasil penimbangan di Posyandu
Sebelum pelatihan 7.1  0.69 0.1  0.72 0.541 dalam wilayah kerja Puskesmas Darul
Setelah pelatihan 7.2  0.88 Imarah tahun 2015.
*Signifikan pada CI 95% dengan df = 19 (p-value <0.05)
Efektifitas Pelatihan Modul
Pengaruh pelatihan dengan modul Pendamping KMS Terhadap
pendamping KMS terhadap peningkatan Peningkatan Ketepatan Kader dalam
kemampuan kader dalam hal ketepatan Interpretasi Hasil Penimbangan di
interpretasi data hasil penimbangan Posyandu
sebagaimana disajikan pada Tabel 2 dapat
dijelaskan bahwa ketepatan kader Efektivitas pelatihan yang dilakukan
sebagaimana hasil penelitian dapat juga dengan penggunaan modul pendamping
dijelaskan bahwa selisih rerata ketapatan KMS bertujuan melihat apakah pelatihan
kader antara sebelum dilakukan pelatihan dan penerapan daripada modul yang telah
dengan setelah dilakukan pelatihan yaitu dirancang yang mengacu kepada standar
sebesar 1.4 dengan deviasinya 0.88. Secara KMS 2008, mempunyai nilai yang lebih
statistik, hasil ini juga menunjukan baik untuk meningkatkan ketepatan kader
terdapat perbedaan signifikan antara dalam melakukan interpretasi data hasil
ketepatan kader sebelum pelatihan dengan penimbangan di posyandu bila
setelah pelatihan dengan nilai p = 0.000 dibandingkan pelatihan tanpa penggunaan
(p-value <0.05) dalam melakukan modul. Untuk mengetahui hasil efektivitas
interpretasi data hasil penimbangan di tersebut, secara statistik digunakan uji
posyandu. Sehingga dapat disimpulkan, statistik Independent T-test. Berikut hasil
pelatihan penggunaan modul pendamping analisis data ketepatan kader menurut
KMS bagi kader ternyata secara statistik kelompok perlakuan penelitian

Gizi Kesehatan Masyarakat 100


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
(menggunakan modul pendamping KMS) Sehingga dapat disimpulkan bahwa
dan kelompok kontrol (tanpa pelatihan dengan modul pendamping KMS
menggunakan modul). Hasil dapat dilihat yang diberikan kepada kader ternyata
pada Tabel 3. mempunyai nilai efektifitas yang lebih
baik bila dibandingkan dengan pemberian
Tabel 3. Efektivitas Pelatihan Antara pelatihan tanpa penggunaan modul
Penggunaan Modul Pendamping KMS pendamping KMS untuk meningkatkan
(n = 20) dengan Pelatihan Tanpa Modul ketepatan kader dalam melakukan
(n = 20) dalam Meningkatkan interpretasi data hasil penimbangan
Ketepatan Kader posyandu di wilayah kerja Puskesmas
Darul Imarah.
Interpretasi Hasil
Ketepatan Penimbangan di Posyandu PEMBAHASAN
Kader (Post-test)
n Mean  SD p-value
Karakteritik Subjek
Dengan Modul 20 8.8 + 0.951 0.000*
Tanpa Modul 20 7.2 + 0.875 Karakteristik dari subjek penelitian
*Signifikan pada CI 95% dengan df = 38 (p-value <0.05) antara kelompok kader dengan perlakuan
dan kelompok kader dengan kontrol adalah
Hasil penelitian berkaitan dengan homogen. Berdasarkan hasil uji statistik
efektifitas pelatihan antara menggunakan pada karakteristik umur, tingkat
modul pendamping KMS dengan tidak pendidikan, pelatihan kader dan lamanya
menggunakan modul pendamping KMS menjadi kader tidak terdapat perbedaan
(Tabel 3) yang bertujuan untuk yang bermakna secara proporsi pada kedua
meningkatkan ketepatan kader dalam kelompok. Tidak terdapat perbedaan yang
melakukan interpretasi data hasil bermakna pada CI 95% pada skor pretes
penimbangan di posyandu, dapat antara kelompok kader perlakuan dengan
dijelaskan untuk menilai efektifitas dari kelompok kader kontrol (p >0.05). Hal ini
suatu pelatihan dilihat berdasarkan menunjukkan kemampuan awal kedua
pencapaian pada akhir kegiatan setelah kelompok adalah seimbang. Jika
proses pelatihan dievaluasi. Berdasarkan karakteristik awal kedua kelompok
tabel 3 terlihat bahwa setelah dilakukan sama/seimbang, maka apabila terdapat
pelatihan di antara kedua kelompok, perubahan peningkatan ketepatan kader
ternyata kelompok yang mendapat modul dalam melakukan interpretasi data hasil
pendamping KMS mempunyai nilai rerata penimbangan itu merupakan akibat yang
yang lebih besar dibandingkan kelompok diperoleh karena intervensi yang diberikan
tanpa penggunaan modul. Hal ini jelas dan bukan oleh faktor lain.
terlihat dari pemusatan nilai rata-ratanya
yaitu ketepatan kader (menggunakan Pengaruh Pelatihan Terhadap Ketepatan
modul = 8.8 dan tanpa modul = 7.2) Kader Mengiterpretasi Hasil
dengan perbedaan nilai rerata sebesar 1.65. Penimbangan
Selanjutnya hasil statistik
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan Ketepatan kader menunjukkan
yang siginifikan pada CI 95% ketepatan perbedaan signifikan antara sebelum
kader (p-value = 0.000) antara kedua pelatihan dengan setelah pelatihan (p-
kelompok perlakuan yaitu kelompok value <0.05) dalam melakukan interpretasi
pelatihan yang mendapat modul data hasil penimbangan di posyandu.
pendamping KMS lebih tinggi nilai Pelatihan penggunaan modul pendamping
reratanya dibandingkan kelompok KMS bagi kader ternyata menujukan
pelatihan tanpa penggunaan modul pengaruh yang sangat signifikan untuk
pendamping KMS (p-value <0.05).

Gizi Kesehatan Masyarakat 101


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
menghasilkan ketepatan kader dalam tanpa penggunaan modul untuk
meningkatkan serta menginterpretasikan meningkatkan ketepatan kader dalam
data hasil penimbangan di posyandu dalam melakukan interpretasi data hasil
wilayah kerja Puskesmas Darul Imarah. penimbangan posyandu di wilayah kerja
Penelitian Khaidir menyatakan Puskesmas Darul Imarah.
keterampilan kader dalam pengelolaan Hasil penelitian ini searah dengan
posyandu meningkat secara signifikan penelitian Al-Rahmad, TPG Puskesmas
sesudah mendapat pelatihan berdasarkan yang mendapat pelatihan dan penerapan
kompetensi8. Sedangkan hasil penelitian berbasis software WHO Anthro lebih
Al-Rahmad, bahwa model pendidikan efektif dibandingkan dengan berbasis
kesehatan melalui modul sangat konvensional dalam membentuk kualitas
berpengaruh bagi tenaga gizi dalam dan data status gizi yang lebih baik10.
meningkatkan keterampilan TPG dalam Pendidikan dan pelatihan menjadi sangat
melakukan interpretasi data status gizi penting disuatu institusi kesehatan,
balita10. mengingat dalam mencapai tujuannya
Kegiatan pelatihan mempunyai tujuan diperlukan tenaga kerja yang berkualitas
adalah untuk meningkatkan kemampuan serta terampil. Pendidikan dan pelatihan
kerja peserta yang menimbulkan tenaga kerja khususnya bidang kesehatan
perubahan perilaku aspek-aspek kognitif, merupakan suatu proses dalam
keterampilan dan sikap, seperti: meningkatkan pengetahuan, sikap dan
kemampuan membentuk dan membina keterampilan terhadap hal-hal yang
hubungan antar perorangan (personal) sifatnya baru maupun proses penyegaran
dalam organisasi, kemampuan yang pada akhirnya masalah ini akan
menyesuaikan diri dengan keseluruhan menjadi salah satu faktor sukses
lingkungan kerja, pengetahuan dan pencapaian tujuan institusi.
kecakapan untuk melakukan suatu
pekerjaan tertentu dan kebiasaan, pikiran KESIMPULAN DAN SARAN
dan tindakan serta sikap dalam pekerjaan13.
Untuk meningkatkan pengetahuan
Efektifitas Pelatihan Modul Pendamping kader dalam hal interpretasi hasil
KMS Terhadap Peningkatan Ketepatan penimbangan, maka pelatihan dengan
Kader dalam Interpretasi Hasil modul pendamping KMS secara signifikan
Penimbangan di Posyandu dapat meningkatkan nilai ketepatan yang
lebih baik dalam melakukan interpretasi
Penggunaan metode yang tepat dalam data hasil penimbangan. Hasil penelitian
pelatihan sangat mendukung hasil suatu membuktikan bahwa pelatihan dengan
pelatihan. Menurut Mathis dan Jackson modul pendamping KMS-2008 secara
bahwa penerapan yang efektif dari sebuah signifikan meningkatkan ketepatan kader
pelaksanaan pelatihan membutuhkan (p = 0.000) dalam menginterpretasikan
penggunaan rancangan pelatihan, seperti hasil penimbangan balita di Posyandu
mempersiapkan dan mempertimbangkan melalui pelatihan di wilayah kerja
konsep dan model pembelajaran, motivasi Puskesmas Darul Imarah Kabupaten Aceh
belajar, serta pendekatan efektifitas diri17. Besar. Selanjutnya pelatihan penggunaan
Hasil penelitian terdapat perbedaan modul pendamping KMS-2008
siginifikan (p-value <0.05) ketepatan mempunyai efektivitas yang lebih baik
kader antara kedua kelompok perlakuan. terhadap peningkatan ketepatan kader (p =
Pelatihan dengan modul pendamping KMS 0.000) dibandingkan pelatihan tanpa
yang diberikan kepada kader ternyata penggunaan modul dalam
mempunyai nilai efektifitas yang lebih menginterpretasikan hasil penimbangan
baik bila dibandingkan dengan pelatihan balita di posyandu di wilayah kerja

Gizi Kesehatan Masyarakat 102


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Puskesmas Darul Imarah, kabupaten Aceh Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang
Besar. Kesehatan, Gadjah Mada University
Keterampilan kader perlu ditingkatkan Press: Edisi ke-2. Yogyakarta; 2010.
dalam hal membuat interpretasi hasil 7. Hastono, SP., Modul Analisis Data,
penimbangan yang tepat, oleh karena itu Fakultas Kesehatan Masyarakat:
sebaiknya pada waktu pelatihan kader Universitas Indonesia; 2001.
tentang interpretasi hasil penimbangan 8. Khaidir, Pengaruh Pelatihan
dilakukan dengan alat bantu modul. Selain Berdasarkan Kompetensi terhadap
itu perlu penguatan terhadap modul Pengetahuan dan Keterampilan
pendamping, sehingga bisa digunakan Kader Gizi dalam Pengelolaan
secara menyeluruh pada semua wilayah Kegiatan Posyandu di Kecamatan
puskesmas khususnya yang berada di Pondok Kelapa Kabupaten
wilayah kerja Dinas Kesehatan kabupaten Bengkulu Utara [Tesis]. Yogyakarta:
Aceh Besar. Sedangkan saran bagi pihak Universitas Gadjah Mada; 2005.
dinas kesehatan terkait, agar dapat 9. Ratna, W., Donsu, D. dan Surantono,
memfasilitasi kegiatan pelatihan kader PengaruhModul Terhadap
dengan menggunakan modul pendamping Peningkatan Pengetahuan dan
KMS-2008 sehingga dapat dimanfaatkan Keterampilan Ibu Balita dalam
dengan baik demi membentuk data dan Pemberian Makanan Sumber
informasi gizi yang mempunyai nilai Vitamin A di Puskesmas Seyegan,
kualitasnya. Yogyakarta. Jurnal Teknologi
Kesehatan; 2009, Vol. 5, No. 1, hal.
DAFTAR PUSTAKA 24-31
10. Al-Rahmad, A.H.; ‘Efektivitas
1. Bappenas RI., Laporan Pencapaian Penggunaan Standar Pertumbuhan
Tujuan Pembangunan Milenium WHO Anthro Terhadap Kualitas
Indonesia 2010, Kementerian Dan Informasi Data Status Gizi
Perencanaan Pembangunan Nasional/ Balita’; 2013. Tersedia dari:
Badan Perencanaan Pembangunan <http://etd.ugm.ac.id/index.php.>
Nasional (BAPPENAS): Jakarta; 11. Simon-Morton, B.G., Green, W.H.
2010 dan Gottlieb, N.H., Introduction to
2. Depkes RI., Rencana Aksi Pangan Health Education and Health
dan Gizi Nasional 2001-2005, Promotion, USA: Waveland Press inc.
Jakarta; 2010 Illinois; 1995.
3. Al-Rahmad., Situasi Gizi Balita di 12. Notoatmodjo, S., Promosi Kesehatan
Provinsi Aceh Berdasarkan dan Ilmu Perilaku, Penerbit Rineka
Laporan Risekesdas dan PSG 2014, Cipta: Jakarta; 2007.
Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes 13. Hamalik, O., Pengembangan
Aceh: Banda Aceh. 2014 Sumber Daya Manusia Manajemen
4. Depkes RI., Standar Pemantauan Pelatihan Ketenagakerjaan
Pertumbuhan Balita, Dirjen, Bina Pendekatan Terpadu, Bumi Aksara;
Gizi Masyarakat: Jakarta; 2006. 2005.
5. Minarto, Berat Badan Tidak Naik 14. Omar M., Gerein N., Tarin E.,
Sebagai Indikator Dini Gangguan Butcher C., Pearson S., dan Heidari,
Pertumbuhan pada Bayi Sampai ‘Training Evaluation: A Case Study
Usia 12 Bulan di Kab. Bogor Jabar of Training Iranian Health
Tahun 2006, Jurnal Info Pangan Managers’. Tersedia dari:
dan Gizi, 2008; Vol. IX No. 3, p.p 23-24. <http://www.human-resources-
6. Murti, B., Desain dan Ukuran health.com, 2009>
Sampel untuk Penelitian 15. Saleh S.S., Williams D. dan Balougan,

Gizi Kesehatan Masyarakat 103


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
M., ‘Evaluating the Effectiveness of
Public Health Leadership Training:
The NEPHLI Experience’; 2011
Tersedia dari: <http://ajph.
aphapublications.org.>
16. Al-Rahmad, Miko, A., dan Wilis, R.,
Efektifitas Penggunaan Standar
Baru Antropometri WHO-2006
Terhadap Peningkatan
Pengetahuan dan Penilaian Status
Gizi Tenaga Gizi Pelaksana Dikota
Banda Aceh Tahun 2009’,
Nasuwakes Poltekkes Aceh; 2011. vol.
4, edisi 1.
17. Mathis, R.L. dan Jackson, J.H,
Manajemen Sumber Daya Manusia,
Editor: Diana Angelica, Penerbit
Salemba Empat: Edisi ke-10. Jakarta;
2006.

Gizi Kesehatan Masyarakat 104


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT


KEPATUHAN BIDAN DESA DALAM STANDAR PELAYANAN ANTE
NATAL CARE

Analysis of Factors Related to the Level of Midwife Compliance in Ante Natal Care
Service Standards

Suryani1, Aulina Adamy2, dan Nizam Ismail3


1,2,3
Magister Kesehatan Masyarakat, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh, Aceh 23245
suryani_hamid_brn@yahoo.com1, aulinaadamy@gmail.com2

ABSTRAK

Latar Belakang: Pengukuran kepatuhan bidan terhadap standar pelayanan antenatalcare (ANC) sebagai wujud
penilaian kinerja dan mutu pelayanan ANC perlu dilakukan. Hipotesisnya semakin patuh bidan pada standar
ANC, semakin tinggi mutu pelayanan ANC. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kepatuhan
bidan desa di Puskesmas Indrajaya dan Puskesmas Peukan Baro di Kabupaten Pidie pada standar pelayanan
ANC dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan bidan desa. Metode: Penelitian menggunakan
metode penelitian kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah 514 bidan desa dan 514 ibu hamil di
Puskesmas Indrajaya dan 570 bidan dan 570 ibu hamil di Puskesmas Peukan Baro. Sampel yang diambil
sebanyak 58 bidan desa dan 58 ibu hamil di kecamatan Indrajaya dan 59 bidan desa dan 59 ibu hamil di
kecamatan Peukan Baro sampai dengan Maret 2016 dengan menggunakan teknik simple random sampling.
Hasil: Terdapat 39.6% bidan desa yang patuh di Puskesmas Indrajaya dan sebanyak 61% bidan di Puskesmas
Peukan Baro. Hasil uji statistik bivariat diperoleh hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan
kepatuhan bidan desa (p-value = 0.00), sebaliknya variabel yang lain (pelatihan, supervisi, utilitas fasilitas,
persepsi, dan motivasi) tidak memiliki hubungan dengan kepatuhan bidan. Kesimpulan: Tingkat kepatuhan
bidan dalam menerapkan standar ANC di Puskesmas Kecamatan Indrajaya dan Puskesmas Kecamatan Peukan
Baro masih rendah. Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan bidan desa dalam pelayanan ANC di wilayah
kerja dua puskesmas tersebut adalah pengetahuan.

Kata Kunci: Kepatuhan Bidan Desa dan ANC

ABSTRACT

Background: Measurement of midwife obedience to antenatalcare service standards (ANC) as a form of


performance assessment and quality of ANC needs to be done. The hypothesis more closely midwives with ANC
standard, the higher the quality of ANC. The purpose of this study was to determine the level of compliance of
midwives on the standard of ANC in Indrajaya Health Centers and Peukan Baro Health Centers in Pidie district
and factors associated with the compliance. Methods: The study used quantitative research methods. The
population in this study was 514 midwives and 514 pregnant women at Indrajaya Health Centers and 570
midwives and 570 pregnant women at Peukan Baro Health Centers. Samples taken as many as 58 midwives and
58 pregnant women in Indrajaya Health Centers and 59 midwives and 59 pregnant women in the Peukan Baro
Health Centers up to March 2016 by using simple random sampling technique. Results: There were 39.6%
midwives in Indrajaya Health Centers and as much as 61% of midwives in Peukan Baro Health Center that are
adherent with ANC standard. The statistical bivariate test results shows significant relationship between
knowledge and midwife obedience (p-value = 0.00), whereas the other variables (training, supervision, utility
facilities, perception, and motivation) have no relationship with the midwife compliance. Conclusion: The level
of midwives compliance in applying the standard ANC in Indrajaya Health Centers and Peukan Baro Health
Centers still low. Factors associated with midwives compliance with ANC standard in this study is knowledge.

Key Words: Midwife Compliances and ANC

Kesehatan Reproduksi 105


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
PENDAHULUAN Baro serta 514 orang sasaran ibu hamil
dalam setahun di Puskesmas Indrajaya dan
Kematian ibu yang masih tinggi dan 570 orang sasaran ibu hamil dalam
menunjukkan kualitas pelayanan kesehatan setahun di Puskesmas Peukan Baro.
maternal yang masih rendah termasuk Menggunakan rumus Slovin, diperoleh
pelayanan antenatal care (ANC) pada ibu sampel berjumlah 58 orang bidan desa di
hamil1. Melalui pelayanan ANC, Kecamatan Indrajaya dan 59 orang bidan
determinan kematian ibu dapat dicegah desa Kecamatan Peukan Baro serta 58 ibu
apabila risiko tinggi atau komplikasi hamil berusia di atas 5 bulan yang
kehamilan dan persalinan dapat dideteksi berkunjung di Puskesmas Indrajaya dan 59
sejak dini dan ditangani secara akurat2. hamil yang berkunjung ke Puskesmas
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan Peukan Baro sampai dengan Maret 2016.
salah satu indikator untuk melihat derajat Penelitian dilakukan dengan metode
kesehatan perempuan3. World Health kuantitatif melalui penyebaran kuesioner
Organization (WHO) tahun 2010 dan pengisian daftar cek list baik kepada
memperkirakan sepanjang tahun 2008, bidan maupun ibu hamil. Ibu hamil
sebanyak 358.000 kematian ibu di dunia sebagai responden untuk mengukur tingkat
terjadi akibat kehamilan dan melahirkan. kepatuhan pelayanan ANC yang dilakukan
Hal ini berarti 29.833 ibu meninggal setiap oleh bidan selama ini sedangkan kuesioner
bulan atau 981 ibu meninggal setiap hari untuk bidan berisi pertanyaan untuk
karena penyebab yang berhubungan mengukur faktor-faktor yang
dengan kehamilan dan melahirkan4. Data mempengaruhi tingkat kepatuhannya.
terakhir dari Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia tahun 2012, terjadi HASIL PENELITIAN
peningkatan AKI sebesar 359 per 100.000
kelahiran hidup5. Jumlah kematian ibu di Tingkat kepatuhan bidan dinilai
Aceh yang dilaporkan dari perhitungan apabila melakukan minimal 8T dari 10T
AKI pada tahun 2014 adalah sebesar 148.9 yang wajib dilakukan dalam proses
ibu per 100.000 lahir hidup. Survei awal pelayanan ANC yang ideal. Hasil
yang diperoleh dari Dinas Kesehatan penelitian menunjukkan bahwa tingkat
Kabupaten Pidie dengan wawancara dan kepatuhan bidan desa dalam pelayanan
pengamatan diperoleh jumlah kematian ANC di Puskesmas Indrajaya sebanyak 23
ibu hamil pada tahun 2015 adalah orang (39.6%) yang melaksanakan 8T, 9T
sebanyak 12 orang6. Jumlah kematian ibu dan 10T, di Puskesmas Peukan Baro
melahirkan di kecamatan Indrajaya dan sebanyak 36 orang (61%) yang
Peukan Baro pada tahun 2015 adalah melaksanakan 8T, 9T dan 10T (lihat
sebanyak 3 orang7. Oleh karena itu, Tabel 1). Dapat disimpulkan bahwa
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan bidan desa di Puskesmas
tingkat kepatuhan bidan desa di Puskesmas Indrajaya lebih rendah dibandingkan
Indrajaya dan Puskesmas Peukan Baro di dengan kepatuhan bidan desa di
Kabupaten Pidie pada standar pelayanan Puskesmas Peukan Baro. Walaupun secara
ANC dan faktor-faktor yang berhubungan umum, tingkat kepatuhan bidan desa pada
dengan tingkat kepatuhan bidan desa kedua puskesmas masih dianggap rendah
tersebut. karena hanya 1 bidan desa di Puskesmas
Indrajaya yang melakukan 10T dari total
METODE PENELITIAN 58 bidan dan hanya 2 bidan desa di
Puskesmas Peukan Baro yang melakukan
Populasi dalam penelitian ini adalah pelayanan 10 T dari total 59 bidan desa
seluruh bidan desa di Puskesmas Indrajaya sebagai responden.
dan seluruh bidan di Puskesmas Peukan

Kesehatan Reproduksi 106


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

Tabel 1. Tingkat Kepatuhan Bidan Desa orang (39,6%) yang melaksanakan 8T, 9T
dalam Pelayanan ANC dan 10T, di Puskesmas Peukan Baro
sebanyak 36 orang (61%) yang
Kecamatan Kecamatan melaksanakan 8T, 9T, dan 10T. Berarti
Pelayanan Indrajaya Peukan Baro Total umumnya bidan di kedua puskesmas
ANC
Jumlah % Jumlah % tersebut belum patuh menerapkan standar
pelayanan ANC. Hasil penelitian ini sejalan
4T 3 5.2 0 0 3
5T 5 8.6 4 6.8 9
dengan hasil penelitian (Guspianto, 2012)
6T 12 20.7 3 5.1 15 yang menunjukkan bahwa tingkat
7T 15 25.9 16 27.1 31 kepatuhan bidan di desa terhadap standar
8T 13 22.4 22 37.3 35 layanan ANC masih rendah (74.28%).
9T 9 15.5 12 20.3 21 Pelayanan antenatal adalah pelayanan
10T 1 1.7 2 3.4 3 kesehatan selama masa kehamilan seorang
ibu yang diberikan sesuai dengan Pedoman
Sementara itu, untuk hasil analisis pelayanan antenatal yang telah ditentukan.
faktor-faktor yang berhubungan dengan
tingkat kepatuhan bidan dapat dilihat pada Hubungan Pengetahuan dengan Tingkat
Tabel 2. Hasil analisis multivariat Kepatuhan Bidan Desa dalam Pelayanan
menunjukkan ada 1 (satu) variabel model ANC
ini mempunyai p-value (sig) di bawah
0.05 yaitu variabel pengetahuan. Artinya Hasil penelitian menunjukkan adanya
dari semua variabel yang diteliti, hanya hubungan antara pengetahuan dengan
variabel pengetahuan yang berpengaruh kepatuhan bidan desa di Puskesmas
secara signifikan dengan kepatuhan bidan Indrajaya Kabupaten Pidie dalam pelayanan
desa terhadap standar pelayanan ANC di ANC (OR = 5.21; 95% CI; 2.30–11.82).
Puskesmas Indrajaya dan Puskesmas Hasil penelitian di Puskesmas Indrajaya
Peukan Baro. kabupaten Pidie sesuai dengan hipotesis
penelitian, menyatakan bahwa pengetahuan
Tabel 2. Analisis Multivariat Regresi bidan berhubungan dengan kepatuhan bidan
Logistik Antara Pengetahuan dan desa dalam pelayanan ANC. Terdapatnya
Pelatihan dengan Kepatuhan Bidan hubungan antara pengetahuan dengan
Desa Terhadap Standar Pelayanan kepatuhan bidan desa di Puskesmas
ANC. Indrajaya kabupaten Pidie sejalan dengan
studi Luo Y. dkk. Di China8 yang
Std. membuktikan bahwa dengan meningkatnya
Variabel OR Z P>Z 95% CI pemahaman terhadap standar pelayanan
Error
Pengetahuan 5.86 2.54 4.08 0.00 2.51 - 13.72 melalui pelatihan quality assurance akan
efektif meningkatkan kepatuhan terhadap
Pelatihan 2.35 1.04 1.94 0.053 0.98 - 5.61 standar pelayanan.

PEMBAHASAN Hubungan Pelatihan dengan Tingkat


Kepatuhan Bidan Desa Dalam Pelayanan
Berdasarkan penelitian yang telah ANC
dilakukan didapatkan tingkat kepatuhan
bidan dalam pelayanan ANC dinilai Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dengan jawaban ibu hamil. Hasil tidak terdapat hubungan antara pelatihan
penelitian menunjukkan bahwa tingkat dengan kepatuhan bidan desa di Puskesmas
kepatuhan bidan desa dalam pelayanan Indrajaya kabupaten Pidie dalam pelayanan
ANC di Puskesmas Indrajaya sebanyak 23 ANC (OR = 1.83; 95% CI; 0.83 – 4.02)

Kesehatan Reproduksi 107


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
(p-value = 0.13). Hasil penelitian ini CI; 0.06-16.09). Hasil penelitian ini tidak
sejalan dengan penelitian yang dilakukan sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya
oleh Yuliana9 yang menyatakan bahwa yang menyatakan bahwa semakin baik
tidak ada perbedaan antara mereka yang perkembangan persepsi pegawai maka akan
pernah mengikuti pelatihan dan mereka terus meningkatkan kinerja pegawai di
yang tidak pernah mengikuti pelatihan ruang ICU/ICCU RSUD Gambaran kota
terhadap kepatuhan mereka. Kediri11.

Hubungan Supervisi dengan Tingkat Hubungan Motivasi dengan Tingkat


Kepatuhan Bidan Desa Dalam Kepatuhan Bidan Desa Dalam Pelayanan
Pelayanan ANC ANC

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hasil penelitian menunjukkan bahwa


tidak terdapat hubungan antara supervisi tidak terdapat hubungan antara motivasi
dengan kepatuhan bidan desa di dengan kepatuhan bidan desa di Puskesmas
Puskesmas Indrajaya, kabupaten Pidie Indrajaya dan Puskesmas Peukan Baro
dalam pelayanan antenatal care (OR = 1.5; kabupaten Pidie dalam pelayanan ANC (OR
95% CI; 0.24-9.32). Hasil tersebut tidak = 0.48; 95% CI; 0.42–5.47). Hasil
mendukung penelitian lain yang penelitian ini sejalan dengan penelitian
membuktikan bahwa efektivitas sistem yang menyatakan bahwa tidak ada
supervisi berpengaruh terhadap kepatuhan perbedaaan antara petugas yang
menerapkan standar bagi petugas motivasinya baik dan mereka yang
kesehatan dan organisasi pelayanan motivasinya tidak baik terhadap kepatuhan
kesehatan primer10. mereka9.

Hubungan Utilitas Fasilitas dengan KESIMPULAN DAN SARAN


Tingkat Kepatuhan Bidan Desa Dalam
Pelayanan ANC. Hasil penelitian yang telah dilakukan di
kecamatan Indrajaya dan kecamatan Peukan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Baro, kabupaten Pidie didapatkan tingkat
tidak terdapat hubungan antara utilitas kepatuhan bidan desa dalam pelayanan
fasilitas dengan kepatuhan bidan desa di ANC di Puskesmas Indrajaya sebanyak
Puskesmas Indrajaya, kabupaten Pidie 39.6% dan di Puskesmas Peukan Baro
dalam pelayanan ANC (OR = 0.98; 95% sebanyak 61%. Secara keseluruhan
CI; 0.13–7.21). Fasilitas yang menunjang kepatuhan bidan menerapkan standar ANC
pelayanan ANC umumnya sudah lengkap di Puskesmas Kecamatan Indrajaya dan
dan sesuai standar serta bebas digunakan Puskesmas Kecamatan Peukan Baro masih
oleh bidan, jadi tidak alasan bagi bidan rendah. Adanya hubungan yang signifikan
untuk tidak melakukan pelayanan antara pengetahuan dengan kepatuhan bidan
antenatal yang berkualitas. desa dalam pelayanan ANC (p-value =
0.00). Sebaliknya variabel yang lain
Hubungan Persepsi dengan Tingkat (pelatihan, supervisi, utilitas fasilitas,
Kepatuhan Bidan Desa Dalam persepsi dan motivasi) tidak memiliki
Pelayanan ANC hubungan dengan kepatuhan bidan desa di
Puskesmas Indrajaya dan Puskesmas
Hasil analisis menunjukkan bahwa Peukan Baro Kabupaten Pidie dalam
tidak terdapat hubungan antara persepsi pelayanan ANC karena p-value >0.05.
dengan kepatuhan bidan desa di Diharapkan bagi puskesmas untuk meninjau
Puskesmas Indrajaya, kabupaten Pidie ulang penempatan bidan desa agar tersebar
dalam pelayanan ANC (OR = 0.98; 95% secara merata ke seluruh pelosok desa dan

Kesehatan Reproduksi 108


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
menghindarkan dari kejenuhan bekerja di
tempat yang sama dan kepada dinas
kesehatan agar memperbaiki sistem
pelatihan dengan metode berkelayakan dan
berkelanjutan, yang sesuai bagi kondisi
bidan desa.

DAFTAR PUSTAKA

1. BPS, 2008
2. Bappenas., Peraturan Presiden No 5
Tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional, Jakarta:
Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional; 2014.
3. Depkes, 2008
4. UNICEF, Taking Stock of Maternal:
Newborn,and child Survival; 2010.
5. WHO, 2013.
6. Dinkes Pidie, 2015.
7. Puskesmas Indrajaya dan Peukan Baro,
2015.
8. Luo Y., He. dan G.P, Zhouw, J.W.,
Factors Impacting compliace with
standard precaution, Journal,
Department of Clinical Nursing,
Hunan: Province, China; 2010.
9. Yuliana, Faktor yang Berhubungan
Dengan Kepatuhan Petugas
Terhadap Standar Antenatal Care
(ANC) di 6 Puskesmas Pelaksana
QA di Kabupaten Bekasi Jawa
Barat [Tesis], Program Pasca Sarjana
FKM-UI: Depok; 2000.
10. Bukhari, S.Z. dan Hussain, W.M.,
Hand Hygene Compliace Rate
Among Healthcare Professionals,
Saudi Med Journal, Makkah:
Kingdom of Saudi Arabia; 2011.
11. Nazvia, 2014.
12. Guspianto., Determinan Kepatuhan
Bidan di Desa terhadap Standar
Ante Natal Care Muaro Jambi,
2012.

Kesehatan Reproduksi 109


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

ANALISIS FAKTOR RISIKO ABORTUS DI RUMAH SAKIT IBU DAN


ANAK PEMERINTAH ACEH

Analysis of Risk Factors of Abortion in the Mother and Children's Hospital Aceh

Masni¹, Asnawi Abdullah2, dan Melania Hidayat³


1,2,3
Magister Kesehatan Masyarakat, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh, Aceh 23245
Masni.irni@gmail.com1, asnawi.abdullalah@yahoo.com2, Mela.Hidayat@gmail.com3

ABSTRAK

Latar belakang: Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi, sebelum kehamilan 20 minggu berat badan
kurang dari 500 gram. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi faktor risiko kejadian abortus di Rumah Sakit Ibu dan
Anak. Metode penelitian: Deskriptif analitik dengan rancangan penelitian case-control. Kelompok kasus adalah
ibu hamil yang kurang dari 20 minggu yang mengalami abortus. Sedangkan kelompok kontrol yaitu ibu hamil yang
kurang dari 20 minggu yang tidak mengalami abortus. Hasil penelitian: Secara bevariat, faktor yang signifikan
yang ditemukan untuk abortus adalah variabel berikut: usia ibu kurang 20 tahun dan lebih 35 tahun (OR = 3.5;
95% CI: 1.2-10.2), paritas ibu lebih dari 4 orang (OR = 5.0; 95% CI: 2.1-12.0), jarak kehamilan kurang dari 2
tahun (OR = 3.9; 95% CI: 1.5-10.5), penggunaan kontrasepsi (OR = 2.3; 95% CI: 1.1-4.8), kehamilan yang tidak di
inginkan (OR = 3.2; 95% CI: 1.5-6.6), riwayat keguguran (OR = 3.7; 95% CI 1.2-1.0), pendidikan (OR = 3.0; 95%
CI: 1.4-6.5), pekerjaan (OR = 3.1; 95% CI 1.5-6.5), dan penggunaan obat-obatan (OR = 3.1; 95% CI 1.5-6.5). Pada
multivariat faktor yang signifikan adalah paritas ibu (OR = 7.7; 95% CI: 1.3-45.6). Kesimpulan: Penelitian ini
menunjukkan faktor risiko terjadinya abortus yaitu usia ibu, paritas, jarak kehamilan, penggunaan kontrasepsi,
kehamilan yang tidak di inginkan, riwayat abortus yang lalu, pendidikan, pekerjaan, dan ibu yang menggunakan
obat-obatan. Perlu dilakukan promosi pendidikan kesehatan dengan memberi penyuluhan dan pelayanan
kebidanan yang optimal.

Kata kunci: Abortus, Paritas, Jarak Kehamilan, dan Penggunaan Kontrasepsi

ABSTRACT

Background: Abortion is an expense the products of conception, fertilization before 20 weeks gestation
weighing less than 500 grams. The objective is to identify risk factors of abortion in the Mother and Children's
Hospital. Methods: Descriptive analytic case-control study design. The case group was pregnant women less
than 20 weeks experienced abortion. The control group was pregnant women less than 20 weeks does not
undergo abortion. Results: Based on bivariate analysis, significant factors found to abortion are the following
variables: maternal age less than 20 years old and over 35 years (OR = 3.5; 95% CI: 1.2-10.2), maternal parity
over 4 people (OR = 5.0; 95% CI: 2.1-12.0), spacing pregnancies less than 2 years (OR = 3.9; 95% CI: 1.5-
10.5), the use of contraceptives (OR = 2.3; 95% CI: 1.1-4.8), unwanted pregnancy (OR = 3.2; 95% CI: 1.5-6.6),
a history of miscarriage (OR = 3.7 95% CI: 1.2-1.0), education (OR = 3.0, 95% CI: 1.4-6.5), work (OR 3.1,
95% CI: 1.5-6.5), the use of drugs (OR 3.1, 95% CI: 1.5 - 6.5). In multivariate the significant factor is the parity
of mothers (OR = 7.7, 95% CI: 1.3-45.6). Conclusions: This study showed that the risk factors of abortion are:
maternal age, parity, spacing pregnancies, contraception, unwanted pregnancy, abortion past history,
education, employment, and women who use drug. It is recommended to promote health education by providing
counseling and to optimize midwifery services.

Keywords: Abortion, Parity, Distance Pregnancy, and Contraception

Kesehatan Reproduksi 110


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
PENDAHULUAN hamil yang mengalami abortus (355 jiwa)
pada tahun 2015 jumlah ibu hamil 2251
Keguguran atau abortus adalah jiwa yang mengalami abortus (332 jiwa).
terhentinya proses kehamilan yang sedang Pada tahun 2015 yang mengalami abortus
berlangsung sebelum mencapai umur 20 dengan jumlah abortus inkomplite 47%,
minggu atau berat janin sekitar 500 gram. abortus imminens 31%, abortus incipien
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut 9%, dan abortus kompletus 13%2.
Survei Demografi Kesehatan Indonesia
masih 228/100.000 kelahiran hidup. METODE PENELITIAN
Kematian ibu disebabkan oleh 25%
perdarahan, 20% penyebab tidak langsung, Penelitian ini merupakan penelitian
15% infeksi, 13% aborsi yang tidak aman kuantitatif menggunakan studi case control
12% eklampsi, 8% penyulit persalinan, 7% (kasus control) digunakan untuk melihat
penyulit lainnya. faktor risiko kejadian abortus dengan
Beberapa faktor yang menyebabkan perbandingan 1:1. Sampel dalam
terjadinya abortus adalah umur ibu, usia penelitian faktor risiko abortus adalah 148
kehamilan, jumlah paritas, tingkat orang yang terdiri dari 74 orang kasus
pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, yaitu ibu yang mengalami abortus dan 74
status perkawinan, kehamilan yang tidak orang ibu yang tidak mengalami abortus.
di inginkan, kegagalan kontrasepsi dan Analisis data untuk mengetahui faktor
riwayat abortus sebelumnya. Penyebab risiko kejadian abortus, dilakukan secara
abortus lain ada karena faktor maternal univariat, bivariat, dan multivariat.
bisa karena faktor janin dimana. Terjadi
gangguan pertumbuhan zigot, embrio atau HASIL DAN PEMBAHASAN
(faktor ibu) terjadi karena infeksi, virus,
bakteri, pada awal semester satu dan dua RSIA Pemerintah Aceh terletak di
dan ada juga karena faktor eksternal yaitu jalan Prof. A. Majid Ibrahim 1 No 3 Banda
yang di sebabkan oleh radiasi, obat-obatan Aceh, kelurahan Punge Jurong, kecamatan
dan bahan kimia perdarahan pada Meraxa, kota Banda Aceh. RSIA memiliki
kehamilan muda disebut keguguran atau luas wilayah 9307 Ha dengan kapasitas
abortus1. rawat jalan dan rawat jalan.
Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA)
adalah rumah sakit pemerintah Aceh yang Analisis Univariat dan Bivariat
menerima rujukan. Utilisasi di RSIA
masih tinggi, yaitu pada tahun 2013 dari Hasil analisa univariat dan bivariat
2350 ibu hamil yang mengalami abortus dapat dilihat pada Tabel 1.
(451 jiwa), tahun 2014 dari 2300 jiwa ibu

Tabel 1. Usia Ibu Hamil di Rumah Sakit di Rumah Sakit Ibu dan Anak

Abortus
Odd Ratio
Usia Ya Tidak Total p-value
(95 % CI)
F % F %
20-35 tahun 59 80 69 93 128 1
< 20 dan > 35 tahun 15 20 5 7 20 3.5 (1.2-10.2) 0.022
Jumlah 74 100 74 100 148
Sumber data primer tahun 2015

Kesehatan Reproduksi 111


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Analisis menunjukkan bahwa ada besar risiko untuk mengalami kejadian
hubungan faktor risiko usia dengan abortus dibandingkan dengan responden
kejadian abortus di mana nilai p = 0.022 yang berusia 20–35 tahun.
<0.05. Odd ratio (OR) = 3.5 (CI: 1.2-10.2) Hasil analisis bivariat dari hubungan
dengan p-value 0.022 yang menunjukkan faktor resiko dengan kejadian abortus
bahwa responden yang berusia <20 dan dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah
>35 tahun memiliki risiko 3.5 kali lebih ini.

Tabel 2. Hubungan Faktor Paritas, Jarak kehamilan, Penggunaan Kontrasepsi,


Kehamilan Tidak Diinginkan, Menikah, Pendapatan, Penggunaan Obat-obatan dengan
Kejadian Abortus

Abortus
Odd Ratio
Faktor Resiko Ya Tidak Total p-value
F % F % (95 % CI)
Paritas:
2-4 orang 46 38 66 89 112 1
> 4 orang 28 62 8 11 36 5.0 (2.1-0.00) 0.001
Jumlah 74 100 74 100 148
Jarak kehamilan:
> 2 tahun 55 74 68 92 123 1
< 2 tahun 19 26 6 8 25 3.9 (1.5-10.5) 0.007
Jumlah 74 100 74 100 148
Penggunaan kontrasepsi:
Ya 45 61 58 78 103 1
Tidak 29 39 16 22 45 2.3 ( 1.1-4.8) 0.022
Jumlah 74 100 74 100 148
Kehamilan tidak
diinginkan:
Ya 41 55 59 80 100 1
Tidak 33 45 15 20 48 3.2 (1.5-6.6) 0.002
Jumlah 74 100 74 100 148
Menikah:
Menikah 68 92 69 93 137 1
Tidak Menikah 6 8 5 7 11 1.2 (0.4-4.2) 0.754
Jumlah 74 100 74 100 148
Pendapatan:
> Rp. 3.000.000 40 54 42 57 82 1
< Rp. 3.000.000 34 46 32 43 66 1.1 (0.6- 2.1) 0.741
Jumlah 74 100 74 100 148
Penggunaan obat-obatan:
Tidak 56 76 69 93 125 1
Ya 18 24 5 7 23 4.43(1.5-12.7) 0.005
Jumlah 74 100 74 100 148
Sumber data primer tahun 2015

Dari Tabel 2 dapat dilihat ada mengalami kejadian abortus dibandingkan


hubungan faktor risiko paritas dengan dengan responden yang paritas 2-4 orang.
kejadian abortus dimana nilai p = 0.001 Hasil ini sesuai dengan teori yang
<0.05, OR = 5.0 (CI: 2.1-12.0) dengan p- dikemukakan oleh Cuningham3 bahwa
value 0.001 yang menunjukkan bahwa risiko abortus semakin meningkat dengan
responden yang paritas >4 orang memiliki bertambahnya paritas. Pada kehamilan
risiko 5.0 kali lebih besar berisiko untuk rahim ibu akan teregang oleh adanya janin

Kesehatan Reproduksi 112


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
dan apabila terlalu sering melahirkan menginginkan kehamilan memiliki risiko
rahim akan semakin lemah sehingga 3.2 kali lebih besar risiko untuk
rentan dan berisiko untuk terjadinya mengalami kejadian abortus dibandingkan
keguguran. Ada hubungan faktor risiko dengan responden kehamilan yang di
jarak kehamilan dengan kejadian abortus inginkan. Ada hubungan faktor risiko
di mana nilai p = 0.007 <0.05, OR = 3.9 pekerjaan dengan kejadian abortus dimana
(CI: 1.5-10.5) dengan p-value 0.007 yang nilai p = 0.003 < 0.05, OR = 3.1 (CI: 1.5–
menunjukkan bahwa responden yang jarak 6.5) dengan p-value 0.003 yang
kehamilan >2 tahun memiliki risiko 3.9 menunjukkan bahwa responden yang
kali lebih besar kejadian abortus bekerja memiliki risiko 3.1 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang berisiko mengalami kejadian abortus
jarak kehamilan >2 tahun. Ada hubungan dibandingkan dengan responden yang
faktor risiko penggunaan kontrasepsi tidak bekerja. Tidak ada hubungan faktor
dengan kejadian abortus dimana nilai p = risiko pendapatan dengan kejadian abortus
0.007 <0.05, OR = 2.3 (CI: 1.1-4.8) dimana nilai p = 0.741 >0.05, tidak ada
dengan p-value 0.022 yang menunjukkan hubungan faktor risiko pengunaan obat
bahwa responden yang tidak menggunakan obatan dengan kejadian abortus dimana
kontrasepsi memiliki risiko 2.3 kali lebih nilai p = 0.005 >0.05, OR = 1.1 (CI: 0.6-
besar risiko untuk mengalami kejadian 2.1) dengan p-value 0.741 yang
abortus dibandingkan dengan responden menunjukkan bahwa responden yang
yang menggunakan kontrasepsi. pendapatan <Rp. 3.000.000 tidak ada
Sesuai dengan teori Manuaba1 yang perbedaan risiko abortus antara responden
mengatakan ada pengaruh penggunaan yang pendapatan >Rp. 3.000.000 dengan
kontrasepsi dengan kejadian abortus. Ada responden yang berpendapatan <Rp.
hubungan faktor risiko kehamilan yang 3.000.000.
tidak diinginkan dengan kejadian abortus Hasil analisis univariat dan bivariat
di mana nilai p = 0.002 <0.05, OR = 3.2 dari hubungan faktor resiko dengan
(CI: 1.5-6.6) dengan p-value 0.002 yang kejadian abortus dapat dilihat pada Tabel
menunjukkan bahwa responden yang tidak 3 di bawah ini.

Tabel 3. Hubungan Faktor Riwayat Abortus yang Lalu, serta Faktor Pendidikan
dengan Kejadian Abortus

Abortus
Ya Tidak OR
Faktor Resiko Total p-value
( 95 % CI )
F % F %
Riwayat Abortus:
Tidak pernah 61 82 70 95 131 1
Pernah 13 17 4 5 17 3.7 (1.2-12.0) 0.028
Jumlah 74 100 74 100 148
Pendidikan:
Tinggi 29 39 13 18 42
Rendah 45 61 61 82 106 3.3 (1.4 -6.5) 0.004
Jumlah 74 100 74 100 148
Sumber data primer tahun 2015

Kesehatan Reproduksi 113


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Dari Tabel 3 dapat dilihat ada kejadian abortus menunjukkan
hubungan faktor risiko abortus yang lalu hubungan risiko yang bermakna
dengan kejadian abortus dimana nilai p = dengan nilai p = 0.028 dengan
0.028 <0.05, OR = 3.7 (CI: 1.2-12.0) signifikansi 0.05;
dengan p-value 0.028 yang menunjukkan 8. Faktor pendidikan dengan kejadian
bahwa responden yang pernah mengalami abortus menunjukkan hubungan
riwayat abortus memiliki risiko 3.7 kali risiko yang bermakna dengan nilai P
lebih besar berisiko mengalami kejadian = 0.028 dan signifikan 0.05 abortus
abortus dibandingkan dengan responden dibandingkan dengan responden
yang yang tidak pernah mengalami abortus. yang berpendidikan tinggi;
Ada hubungan faktor risiko pendidikan 9. Faktor pekerjaan dengan kejadian
dengan kejadian abortus dimana nilai p abortus menunjukkan hubungan
= 0.004 <0.05, OR = 3.32 (CI: 1.4-6.5) bermakna dengan nilai p = 0.003 dan
dengan p-value 0.004 yang menunjukkan signifikan 0.05;
responden yang berpendidikan rendah 10. Faktor pendapatan tidak mempunyai
memiliki risiko 3.3 kali mengalami hubungan yang bermakna dengan
kejadian. nilai p = 741 responden pendapatan
tidak ada perbedaan risiko abortus
KESIMPULAN DAN SARAN antara pendapatan tinggi dengan
pendapatan rendah; dan
Kesimpulan 11. Penggunaan obat-obatan
menunjukkan hubungan yang
1. Faktor usia ibu dengan kejadian bermakna dengan nilai p = 0.005 dan
abortus menunjukkan hubungan signifikansi 0.05.
risiko yang bermakna dengan nilai p
= 0.022 dan signifikansi 0.05; Saran
2. Faktor paritas dengan kejadian
abortus menunjukkan hubungan Diharapkan pihak rumah sakit dan
risiko yang bermakna dengan nilai p petugas kesehatan harus melakukan
= 0.001 dan signifikansi 0.05; promosi kesehatan dan pendidikan
3. Faktor jarak kehamilan dengan kesehatan untuk segera memberi
kejadian abortus menunjukkan ada penyuluhan dan informasi kebidanan yang
hubungan risiko dengan nilai p = optimal agar ibu siap dalam menghadapi
0.007 dan signifikansi 0.05; kehamilannya dan memprioritas pada
4. Faktor penggunaan kontrasepsi pemeriksaan ANC, melalui konseling.
dengan kejadian abortus Seementara kepada masyarakat agar dapat
menunjukkan ada hubungan risiko memahami informasi dan pengetahuan
dengan nilai p = 0.022 dengan serta gambaran kehamilan yang berisiko
signifikansi 0.05; terhadap kejadian abortus yang baru di
5. Faktor kehamilan yang tidak dapat, baik informasi itu dari mulut-
diinginkan dengan kejadian abortus kemulut dan media sosial, dan sebaiknya
menunjukkan hubungan risiko masyarakat jangan gampang percaya
dengan nilai p = 0.002 dan terhadap informasi yang gampang di
signifikansi 0; peroleh sebelum tanyakan kebenaran
6. Faktor menikah dengan kejadian informasi tersebut pada petugas kesehatan
abortus menunjukkan tidak ada yang lebih mengerti tentang kehamilan.
hubungan dengan nilai p = 0.754
tidak ada perbedaan antara responden DAFTAR PUSTAKA
menikah dan tidak menikah;
7. Faktor riwayat abortus dengan 1. Manuaba, Operasi Kebidanan

Kesehatan Reproduksi 114


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Kandungan dan Keluarga Bencana Abortus dengan Usia Ibu Hamil di
Untuk Dokter Umum, Jakarta: EGC; RSUD Dr. Moewardi Surakarta',
2008. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran
2. RSIA, Profil Kesehatan RSIA, Universitas Sebelas Maret Surakarta:
Pemerintah Aceh; 2015. Surakarta; 2009.
3. Cunningham., Abortus dalam Obstetri 17. Rafida, 'Faktor-Faktor yang
Williams, vol. 2, Jakarta: EGC; 2006 Berhubungan dengan Pernikahan
4. Herdiana, Abortus, Tersedia dari: Usia Dini di Kabupaten Purworejo'.
<hhtp://google.co.id.2007>.
Jurnal Kedokteran Masyarakat; 2009.
5. Baba S N.H. & Nakayama M., Risk
Factor of Early Spontaneous Abortion
18. Ruhmiatie A.N., Hubungan Usia Ibu
Among Japanese: A Matched Case dengan Kejadian Abortus di
Control Study; 2010. Rumah Sakit Roemani
6. Gary, Abortion, Williams Obstetrics: Muhammadiyah Semarang; 2009.
Newyork; 2000. 19. Wadud M., Faktor-Faktor yang
7. Guttmacher, Into a New World Young Berhubungan dengan Kejadian
Women’s Sexual and Reproductive Abortus Imminens di Instalansi
Lives; 2005. Rawat Inap Kebidanan Rumah
8. Vandoyo, 'Abortus Imminens'; 2008. Sakit Muhammadiyah Palembang;
9. Achmadi U.F., Manajemen Penyakit 2012.
Berbasis Wilayah, Jakarta: UI-Press; 20. Wahyuni, 'Faktor-Faktor Risiko
2010. yang Berhubungan dengan
10. Anggraini, Pelayanan Keluarga Kejadian Abortus di Wilayah
Berencana, Yogyakarta Rohima Press; Puskesmas Sungai Kakap
2011. Kabupaten Kubu Raya Kalimantan
11. Ariyanti, Analisis Kualitas Pelayanan Barat Tahun 2011' [Skripsi].
Ante Natal oleh Bidan di Puskesmas Fakultas Kesehatan Masyarakat
Kabupaten Purbalingga; 2011.
Universitas Indonesia; 2012.
12. Halim, Karakteristik Penderita
Abortus Inkompletus di RSUD Dr.
21. Widyastuti, Faktor-Faktor yang
Pirngadi Kota Medan tahun 2010, Berhubungan dengan Abortus di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Instalasi Rawat Inap Kebidanan
Universitas Sumatera Utara; 2011. RSU Dr. Moh. Hoesin Palembang;
13. Lukitasari, Kejadian Abortus 2008.
Inkompletus yang Berkaitan dengan 22. Abbaasi-Shavazi., Kehamilan Tidak
Faktor Risiko Pada Ibu Hamil di RSU Diinginkan, Iran; 2004.
H. M. Ryacude Kotabumi Kabupaten 23. Arikunto, Prinsip Penelitian Suatu
Lampung Utara, [Skripsi] Fakultas Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka
Kesehatan Masyarakat; 2010. Cipta; 2006.
14. Lestari A., Hubungan Paritas 24. Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi
dengan kejadian Abortus di Ruang Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara;
Bersalin RSUD Dr. H. Moch. 2013.
Ansari Saleh Banjar Mesin; 2013. 25. BKKBN, Kesehatan Reproduksi
15. Lukitasari, 'Kejadian Abortus Remaja, Jawa Tengah; 2012.
Inkompletus yang Berkaitan
dengan Faktor Risiko pada Ibu
Hamil di RSU H. M. Ryacude
Kotabumi Kabupaten Lampung
Utara' [Skripsi]. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Masyarakat;
2010.
16. Raden, 'Hubungan Antara kejadian

Kesehatan Reproduksi 115


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

KUALITAS HIDUP PENDERITA KANKER PAYUDARA DI RUMAH


SAKIT IBU DAN ANAK PEMERINTAH ACEH

Quality of life of Breast Cancer Patients in the Mother and Children's Hospital Aceh

Meilia Hidayah1, Aulina Adamy2, dan Teuku Tahlil3


1,2
Magister Kesehatan Masyarakat, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh, Aceh 23245
3
Fakultas Keperawatan, Universitas Syiah Kuala, Kopelma Darussalam, Banda Aceh 23111
mei.lia936@gmail.com1 dan aulinaadamy@gmail.com2

ABSTRAK

Latar Belakang: Jumlah kunjungan utilisasi penderita kanker payudara di Aceh terus meningkat tahun 2013
berjumlah 1.500 jiwa, tahun 2014 berjumlah 1.680 jiwa dan untuk Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) pada
tahun 2015 kunjungan dengan utilisasi tercatat mencapai 1.800 jiwa penderita kanker payudara. Tujuan
penelitian untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup penderita kanker payudara stadium dini dan stadium
lanjut. Metode: Desain penelitian kuantitatif dengan kuesioner yang diadopsi penuh dari WHOQOL-Bref
dengan accidental sampling mendapat 100 responden. Hasil: Hanya aspek fisik dengan p-value 0.001 yang
menunjukkan ada perbedaan kualitas hidup penderita kanker payudara stadium dini dan lanjut. Sedang aspek
lainnya: psikologis dengan (p-value 0.675), sosial (p-value 0.020), dan lingkungan (p-value 0.013) menunjukkan
tidak ada perbedaan antara kualitas hidup penderita kanker payudara stadium dini dan lanjut. Saran: Hendaknya
penderita kanker payudara yang datang berobat ke RSIA dapat didampingi oleh suami atau keluarga terdekat
sebagai tanda dukungan moril saat melakukan kunjungan berobat.

Kata Kunci: Kualitas Hidup dan Kanker Payudara

ABSTRACT

Background: The number of visits of breast cancer patients in Aceh continued to increase in 2013 amounted to
1.500 people, in 2014 amounted to 1.680 people and in the Mother and Children's Hospital Aceh (RSIA) the
total visit carrying up to 1800 lives of breast cancer patients in 2015only. The aim of this research is to
determine the differences of life quality between early breast cancer and advanced stage. Methods: This study
used a quantitative research design by using fully adaptation questionaires from WHOQOL-Bref and through
accidental sampling method collected total of 100 respondents. Results: Only the physical aspects with p-value
of 0.001 showed differences in the quality of life of patients from early breast cancer and advanced stage. While
other aspects: psychological (p-value 0.675), social (p-value 0.020), and environmental (p-value 0.013) showed
no difference between the quality of life of patients with early breast cancer and advanced. Recommendation:
Breast cancer patients who come for treatment to RSIA should be accompanied by their husband as a support
while facing cancer treatment.

Keywords: Quality of Life and Breast Cancer.

Kesehatan Reproduksi 116


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
PENDAHULUAN dimensi kesehatan fisik - meliputi kegiatan
sehari-hari, ketergantungan pada zat obat
Kanker adalah penyakit neoplasma dan bantuan medis, energi dan kelelahan,
ganas yang mempunyai spektrum sangat mobilitas, rasa sakit, dan ketidak
luas dan komplek1. Penyakit kanker ini nyamanan tidur atau istirahat dan bekerja;
juga merupakan penyakit yang paling dimensi kesehatan psikologis - termasuk
ditakuti masyarakat karena sering gambar tubuh dan penampilan, perasaan
menyebabkan kematian dan negatif, perasaan positif, harga diri,
2
mempengaruhi kualitas hidup . Kanker spiritualitas, agama, keyakinan pribadi,
payudara merupakan penyakit ganas yang berpikir, belajar, memori, dan konsentrasi;
paling umum terjadi pada populasi wanita dimensi hubungan sosial - meliputi
di seluruh dunia3. hubungan pribadi, dukungan sosial, dan
Data Globacan, International Agency kegiatan seksual, dan yang terakhir
for Research on Cancer (IARC) tahun dimensi lingkungan - menilai keuangan
2012 menempatkan kanker payudara sumberdaya, kebebasan, keamanan fisik
sebagai urutan pertama dari seluruh kanker dan kesehatan dan perawatan sosial
pada perempuan (insidens rate 38 per (aksesibilitas dan kualitas), lingkungan
100.000 perempuan), jumlah kasus baru rumah, kesempatan untuk mendapatkan
sebesar (2.7%) dan jumlah kematian 14% informasi baru dan keterampilan,
per tahun di dunia4. Data yang diperoleh partisipasi dalam dan kesempatan untuk
dari Dinas Kesehatan Pemerintah Aceh kegiatan rekreasi dan liburan, fisik
menyatakan jumlah penderita dari semua lingkungan (polusi, kebisingan, lalu lintas,
kasus kanker sebanyak 113.348 jiwa dan dan iklim), dan transportasi.
kasus terbanyak yang menderita kanker Asumsi awal penelitian bahwa terdapat
payudara. Pada studi pendahuluan yang perpedaan kualitas hidup antara penderita
dilakukan di Rumah Sakit Ibu dan Anak kanker stadium awal (stadium I dan II)
Pemerintah Aceh (RSIA) pada tahun 2015 dengan stadium lanjut (stadium III dan IV)
ditemukan bahwa data penderita kanker dari empat aspek tersebut di atas.
payudara yang berkunjung ke poli bedah
dan onkologi pada tahun 2013 sebanyak METODE PENELITIAN
1.500 jiwa, tahun 2014 jumlah penderita
kanker payudara 1.680 jiwa, dan pada Penelitian ini menggunakan
tahun 2015 berjumlah 1800 jiwa6. pendekatan kuantitatif. Pengumpulan data
Pengaruh penyakit dan pengobatan untuk menilai kualitas hidup penderita
terhadap kualitas hidup pasien merupakan kanker payudara stadium dini dan lanjut
topik yang saat ini banyak diteliti dan dengan pendekatan kuantitatif
diminati dalam praktek dan penelitian menggunakan kuesioner yang diadopsi
klinis7. Menurut Watson8 untuk menilai penuh dari WHOQOL-Bref. Pemilihan
kualitas hidup pasien kanker tidak cukup sampel diambil secara accidental sampling,
hanya dengan pengukuran subjektivitas yaitu berjumlah l00 responden.
yaitu kualitas hidup hanya ditentukan dari
sudut pandang penderita seperti status HASIL
penampilan karena terbukti tidak cukup
sensitif untuk mendeteksi perubahan kecil Berdasarkan penelitian yang telah
dalam peningkatan kualitas hidup pasien dilakukan dari tanggal 15 Februari – 25
dan ini hanya diketahui dengan bertanya Maret di RSIA Pemerintah Aceh tahun
langsung kepada penderita. 2016 yang dilakukan di ruang Poli Bedah
World Health Organization/WHO dan Ongkologi maka diperoleh hasil
(2011) mengungkapkan bahwa kualitas sebagai berikut:
hidup dipengaruhi oleh 4 dimensi:

Kesehatan Reproduksi 117


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Kualitas Hidup Wanita Penderita Ranks 2.522 sedangkan nilai Mean Ranks
Kanker Payudara Stadium Dini dan untuk kualitas hidup penderita kanker
Stadium Lanjut payudara stadium lanjut adalah 49.56
dengan Sum of Ranks 2.528. Artinya ada
Hasil run test dan nilai rank yang perbedaan kualitas hidup antara penderita
dilihat dari beberapa aspek kualitas hidup kanker payudara stadium dini dan stadium
penderita kanker dapat dilihat pada Tabel lanjut. Dinilai dari aspek kesehatan fisik,
1 dan Tabel 2. yaitu p-value sebesar 0.001 maka aspek
Dari aspek fisik, Mean Ranks untuk fisik memiliki hubungan dengan kualitas
kualitas hidup penderita kanker payudara hidup penderita kanker.
stadium dini adalah 51.48 dengan Sum of

Tabel 1. Distribusi Run Tes Penderita Kanker Payudara Stadium Dini dan Stadium
Lanjut dari Aspek Fisik, Psikologis, Sosial, dan Lingkungan

Tes Fisik Psikologis Sosial Lingkungan


Test Value 20.00 15.00 5.00 18.00
Cases<test 44 40 45 46
Cases>test 56 60 55 54
Total cases 100 100 100 100
Number of Runs 66 51 62 63
Z 3.207 .419 2.335 2.493
Asymp. Sig.(2-tailed) .001 .675 .020 .013

Dari aspek psikologis, Mean Ranks penderita kanker payudara stadium dini
untuk kualitas hidup penderita kanker dan stadium lanjut dinilai dari aspek
payudara stadium dini adalah 50.87 kesehatan psikologis, yaitu: p-value
dengan Sum of Ranks 2.492 sedangkan sebesar .675 maka maka aspek psikologis
Mean Ranks untuk stadium lanjut adalah tidak memiliki hubungan dengan kualitas
50.15 dengan Sum of Ranks 2.557. Artinya hidup penderita kanker.
tidak ada perbedaan kualitas hidup antara

Tabel 2. Distribusi Nilai Rank untuk Melihat Perbedaan Kualitas Hidup Penderita
Kanker Payudara Stadium Dini dan Lanjut

Aspek Stadium N Mean Rank Sum of Rank


50 51.48 2522
Fisik Dini Lanjut
50 49.56 2528
50 50.88 2492
Psikologis Dini Lanjut
50 50.14 2557
50 56.60 2773
Sosial Dini Lanjut
50 44.64 2277
50 50.46 2472
Lingkungan Dini Lanjut
50 50.54 2578

Dari aspek hubungan sosial, Mean 50.55 dan Sum of Ranks 2.578. Artinya
Ranks untuk kualitas hidup penderita tidak ada perbedaan kualitas hidup antara
kanker payudara stadium dini adalah 50.45 penderita kanker payudara stadium dini
dan Sum of Ranks 2.472. sedangkan Mean dan stadium lanjut dinilai dari aspek
Ranks untuk kualitas hidup penderita hubungan sosial, yaitu: p-value kategori
kanker payudara stadium lanjut adalah aspek sosial sebesar 0.020 maka aspek

Kesehatan Reproduksi 118


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
sosial tidak memiliki hubungan dengan dini dan stadium lanjut yaitu dengan Mean
kualitas hidup penderita kanker. Ranks untuk kualitas hidup penderita
Dari aspek lingkungan, Mean Ranks kanker payudara stadium dini adalah 51.48
untuk kualitas hidup penderita kanker dengan Sum of Ranks 2.522 sedangkan
payudara stadium dini adalah 50.45 dan nilai Mean Ranks untuk kualitas hidup
Sum of Ranks 2.472 sedangkan Mean penderita kanker payudara stadium lanjut
Ranks untuk kualitas hidup penderita adalah 49.56 dengan Sum of Ranks 2.528
kanker payudara stadium lanjut adalah Maka dari hasil uji statistik didapatkan p-
50.55 dan Sum of Ranks 2.578. Artinya value = 0.001 artinya kualitas hidup
tidak ada perbedaan kualitas hidup antara penderita kanker stadium dini positif dan
penderita kanker payudara stadium dini stadium lanjut berada dalam kategori
dan stadium lanjut dinilai dari aspek negatif. Hasil penelitian menunjukkan
lingkungan, yaitu: p-value kategori aspek tidak ada perbedaan kualitas hidup
lingkungan sebesar 0.13 maka aspek kesehatan psikologis antara penderita
lingkungan tidak memiliki hubungan kanker payudara stadium dini dan stadium
dengan kualitas hidup penderita kanker. lanjut dengan Mean Ranks untuk kualitas
Dengan Mean Ranks untuk kualitas hidup penderita kanker payudara stadium
hidup penderita kanker payudara stadium dini adalah 50.87 dengan Sum of Ranks
dini adalah 50.45 dan Sum of Ranks 2472 2492.50 sedangkan Mean Ranks untuk
sedangkan nilai Mean Ranks untuk stadium lanjut adalah 50.15 dengan Sum of
kualitas hidup penderita kanker payudara Ranks 2557.50. Maka dari hasil uji
stadium lanjut adalah 50.55 dan Sum of statistik didapat p-value = 0.675 artinya
Ranks 2578 dari hasil uji statistik didapat kualitas hidup stadium dini dan stadium
nilai p-value = 0.020 artinya kualitas lanjut positif.
hidup stadium dini dan lanjut positif. Hasil
penelitian ini tidak sesuai dengan KESIMPULAN DAN SARAN
penelitian Rahmawati13 yang mengatakan
bahwa kualitas hidup penderita kanker Kesimpulan
payudara untuk aspek sosial lebih banyak
berada pada kategori positif yaitu dari 75 Kualitas hidup penderita kanker
orang responden untuk aspek social payudara dipengaruhi oleh beberapa aspek
relationship berjumlah 34 orang (45%). yaitu aspek fisik, aspek psikologis, aspek
Menurut hasil penelitian Rahmawati13, hubungan sosial dan aspek lingkungan.
ini dikarenakan mereka mendapatkan Menurut hasil penelitian dari keempat
dukungan sosial dari keluarga dan teman aspek hanya aspek fisik yang
dekat. Mean Ranks untuk kualitas hidup menunjukkan bahwa ada perbedaan
penderita kanker payudara stadium dini kualitas hidup penderita kanker payudara
adalah 50.45 dan Sum of Ranks 2472.00 stadium dini dan stadium lanjut.
sedangkan Mean Ranks untuk kualitas Kesadaran akan pentingnya pelayanan
hidup penderita kanker payudara stadium kesehatan medis yang berkesinambungan
lanjut adalah 50.55 dan Sum of Ranks dalam mencegah dan menanggulangi
2578 maka dari hasil uji statistik didapat p- penyakit kanker yang diderita dapat
value = 0.013 artinya adalah kualitas hidup mencegah keparahan stadium dari
penderita kanker payudara stadium dini penyakit tersebut. Pengobatan medis yang
dan lanjut positif. tepat dapat menentukan tingkat keparahan
dengan cepat untuk memaksimalkan
PEMBAHASAN pengobatan demi kesembuhan penyakit
kanker payudara yang dialaminya.
Hasil penelitian menunjukkan ada
perbedaan kualitas hidup kesehatan fisik
antara penderita kanker payudara stadium
Kesehatan Reproduksi 119
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Saran Lymphoma’. Marmara Medical
Journal; 2007.
Bagi RSIA, hendaknya penderita 8. Preedy W., Handbook of Desease
kanker yang datang berobat ke RSIA dapat Burdens and Quality of Life
didampingi oleh suami atau keluarga Measure; 2010.
terdekat sebagai tanda dukungan moril 9. Azwar, Sikap Manusia Teori dan
dalam melakukan kunjungan untuk Pengukurannya Edisi 2, Jakarta:
berobat baik dalam menjalani pengobatan Graha Ilmu; 2010.
rawat jalan atau menjalani pengobatan 10. Brehm S.K., Saul, Understanding
rawat inap demi kesembuhan pasien. Human Interaction. Boston: Allyn
Diharapkan penderita kanker payudara and Bacon; 2005.
dapat meningkatkan pengetahuannya 11. Notoatmodjo, Promosi Kesehatan
terhadap faktor predisposisi penyakit dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
kanker, juga dapat mengenal dengan baik Cipta; 2007.
tanda dan gejala serta bagaimana bersikap 12. Sarafino, Health Psychology:
dan mengambil keputusan saat tahu Biopsychosocial Interaction, USA:
adanya gejala kanker agar pola pencarian John Wiley dan Sons Inc; 2011.
pengobatan yang dilakukan adalah tepat 13. Rahmawati A., ‘Gambaran Kualitas
dan cepat. Hidup Pada Wanita Dewasa Awal
Bagi peneliti lain, diharapkan agar Penderita Kanker Payudara’; 2014.
dapat melanjutkan penelitian ini dengan 14. Karoly Pe., Measurement Strategis
variabel yang berbeda atau dapat juga in Health Psychology, Canada: John
melanjutkan penelitian ini dengan melihat Wiley dan Sons, Inc;
sejauh mana konstribusi peran serta 2003.
keluarga terhadap pola pencarian
pengobatan dalam meningkatkan kualitas
hidup penderita kanker payudara.

DAFTAR PUSTAKA

1. Herlin M., Nyeri Kanker, Surabaya:


Media IDI; 2004.
2. Rasjidi I., Deteksi Dini Dan
Pencegahan Kanker Pada Wanita,
Jakarta: Sagung Seto; 2009.
3. Andrews G., Buku Ajar Kesehatan
Reproduksi Wanita, Jakarta: EGC;
2009.
4. IARC/WHO/GLOBOCAN IafRoC.
‘Estimated Cancer Incidence,
Mortality, and Prevalence
Worldwide in 2012’.
5. Dinas Kesehatan Aceh, Profil Dinas
Kesehatan Pemerintah Aceh:
Pemerintah Aceh; 2014.
6. RSIA, Profil Kesehatan Rumah
Sakit Ibu dan Anak Pemerintah
Aceh; 2015.
7. Saatci, ‘Effect of Chemotherapy on
the Quality of Life in Patients with

Kesehatan Reproduksi 120


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

ANALISIS FAKTOR RISIKO PENYEBAB STROKE PADA USIA


PRODUKTIF DI RUMAH SAKIT UMUM DR. ZAINOEL ABIDIN

Analysis of Causes of Stroke Risk Factors in Productive Age in the


General Hospital dr. Zainoel Abidin

Sartika Maulida Putri1, Hajjul Kamil2, dan Teuku Tahlil3


1
Magister Kesehatan Masyarakat, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh, Aceh 23245
2,3
Fakultas Keperawatan, Universitas Syiah Kuala, Kopelma Darussalam, Banda Aceh 23111
sartika.maulidaputri@yahoo.com1, hajjul.kamil@unsyiah.ac.id2, ttahlil@fulbrightmail.org3

ABSTRAK

Latar Belakang: Stroke merupakan masalah kesehatan masyarakat utama saat ini dan semakin menjadi
masalah serius yang dihadapi hampir di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan serangan stroke yang mendadak
dapat mengakibatkan kematian, kecacatan fisik dan mental. Ditambah lagi saat ini stroke cenderung merambah
usia produktif. Metode: Rancangan penelitian ini menggunakan studi epidemiologi analitik observasiona
dengan desain case-control 1:1 untuk mencari faktor risiko stroke pada usia produktif. Jumlah sampel untuk faktor
risiko stroke adalah 116 responden terdiri dari 58 kasus dan 58 kontrol. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan
terdapat 5 variabel yang berhubungan secara bermakna: Pola Makan (OR = 6.33; 95% CI: 2.82-14.19; p =
0.0001), Merokok (OR = 3.11; 95% CI: 1.45-6.63; p = 0.003), Olahraga (OR = 4.69; 95% CI: 2.12-10.35; p =
0.0001), Jenis kelamin (OR = 2.93; 95% CI: 1.37-6.28; p = 0.006), dan Diabetes Mellitus (OR = 4.56; 95% CI:
2.09-9.96; p = 0.0001). Hasil analisis multivariat diperoleh variabel yang paling berhubungan adalah Pola
Makan (OR = 18.17; 95% CI: 4.81-68.55; p = 0.0001), Merokok (OR = 7.65; 95% CI: 2.23-26.22; p = 0.001),
Olahraga (OR = 7.79; 95% CI: 2.41–25.21; p = 0.001), dan Diabetes Mellitus (OR = 13.30; 95% CI: 3.60-49.16;
p = 0.0001). Saran: Diharapkan dengan menjaga pola makan yang sehat, rutin melakukan olahraga, tidak
merokok, dan menjaga kadar gula darah dapat membantu mencegah terjadinya stroke pada usia produktif.

Kata Kunci: Stroke dan Usia Produktif

ABSTRACT

Background: Stroke is a major public health problem today and increasingly becoming a serious problem faced
by nearly the whole world. This is because the sudden stroke can result in death, physical and mental disability.
Especially now, stroke is tend to reach reproductive age. Methods: The design of this study used epidemiologic
observational analytic study with case control design 1:1 to look for risk factors for stroke in productive age.
Number of sample for stroke risk factors is 116 respondents consisted of 58 cases and 58 controls. Results: The
results showed 5 variables have significantly related with stroke: Diet (OR = 6.33; 95% CI: 2.82-14.19; p =
0.0001), Smoking (OR = 3.11; 95% CI: 1.45-6.63; p = 0.003), Exercise (OR = 4.69; 95% CI: 2.12-10.35; p =
0.0001), Gender (OR = 2.93; 95% CI: 1.37-6.28; p = 0.006), and Diabetes Mellitus (OR = 4.56; 95% CI: 2.09-
9.96; p = 0.0001). Furthermore, obtained from multivariate analysis shows that the most variables related with
stroke: Diet (OR = 18.17; 95% CI: 4.81-68.55; p = 0.0001), Smoking (OR = 7.65; 95% CI: 2.23-26.22; p =
0.001), Exercise (OR = 7.79; 95% CI: 2.41-25.21; p = 0.001), and Diabetes Mellitus (OR = 13.30; 95% CI:
3.60-49.16; p = 0.0001). Recommendations: Hopefully by maintaining a healthy diet, regular exercise, not
smoking, and keeping blood sugar levels can help prevent the occurrence of stroke in productive age.

Keywords: Stroke and Productive Age

Epidemiologi 121
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
PENDAHULUAN yang tidak sedikit untuk perawatannya5.
Menurut Riset Kesehatan Dasar6,
Stroke atau cerebrovascular accident angka kejadian stroke di Aceh pada tahun
merupakan masalah kesehatan yang utama 2013 yaitu 10.5 per 1000 penduduk.
bagi masyarakat modern saat ini. Dewasa Angka kejadian stroke ini masih tinggi dan
ini, stroke semakin menjadi masalah serius sangat dikhawatirkan apabila sebagian di
yang dihadapi hampir diseluruh dunia. Hal antaranya diderita oleh masyarakat yang
tersebut dikarenakan serangan stroke yang masih berusia produktif, hal ini dapat
mendadak dapat mengakibatkan kematian, meningkatkan angka kemiskinan dan
kecacatan fisik dan mental baik pada usia menurunnya produktivitas.
produktif maupun usia lanjut1. Berdasarkan data yang peneliti peroleh
Indonesia menduduki urutan tertinggi di rekam medik Rumah Sakit Umun dr.
di dunia dengan angka kejadian stroke. Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh,
Dilaporkan bahwa angka yang terkena didapatkan bahwa penambahan kasus baru
stroke semakin meningkat dan merambah pasien dengan penyakit stroke di
ke yang lebih muda dari pada sebelumnya. Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum dr.
Stroke juga merupakan penyebab utama Zainoel Abidin sebanyak 5.202 orang
kematian penduduk Indonesia pada semua dan 3.707 orang di antaranya dialami oleh
golongan umur, jumlahnya mencapai yang berusia produktif (15-64 tahun).
15.4% dari seluruh kematian penduduk2. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, sejak
Dilaporkan 8.3 per 1000 penduduk tahun 2011 sampai 2015: 724 orang pasien
Indonesia telah terkena stroke pada tahun stroke kasus baru pada tahun 2011, 739
2007 dan meningkat menjadi 12.1 per orang pada tahun 2012, 694 orang pada
1000 penduduk pada tahun 2013, tahun 2013, 982 orang pada tahun 2014
sedangkan angka kejadian stroke pada usia dan 568 orang pada tahun 2015. Angka
produktif (15-64 tahun) yang telah kejadian stroke kasus baru ini memang
didiagnosa medis dan gejala sebesar tidak menunjukkan peningkatan secara
62.6%3. signifikan per tahunnya, akan tetapi dapat
Menurut Laporan Nasional Riset kita lihat bahwa jumlah kasus baru dengan
Kesehatan Dasar4, proporsi penyebab penyakit stroke pada usia produktif cukup
kematian stroke pada usia produktif banyak dalam 5 tahun terakhir, belum lagi
menurut tipe daerah perkotaan dan dengan pasien lama menderita stroke yang
pedesaan pada usia (15-44 tahun) terus berobat ulang, maka jumlah pasien
merupakan penyebab kematian urutan stroke di Poliklinik Saraf RSUZA Banda
ketujuh di perkotaan yaitu (4,2%) dan Aceh terus bertambah.
urutan kedelapan di pedesaan (3.7%).
Sedangkan pada usia (45-54 tahun) METODE PENELITIAN
merupakan penyebab kematian pertama di
perkotaan (15.9%) dan penyebab kematian Penelitian ini dilaksanakan di
kedua di pedesaan (11.5%). Pada rentang Poliklinik Saraf RSUZA, Banda Aceh.
usia (55-64 tahun) merupakan penyebab Pengumpulan data dilakukan mulai
pertama kematian di perkotaan maupun di tanggal 5 Agustus-19 Agustus 2016.
pedesaan, sebanyak (26.8%) dan (17.4%). Rancangan penelitian yang digunakan
Berbagai penyakit yang menyerang adalah studi epidemiologik Analitik
usia produktif dapat mempengaruhi Observasional dengan desain case control
sumber daya manusia Indonesia. Apabila study yang bertujuan untuk mengetahui
di usia produktif telah terserang penyakit hubungan stroke dengan faktor risiko
berbahaya seperti stroke, maka secara penyebab stroke pada usia produktif,
langsung akan mempengaruhi aktivitas dengan perbandingan 1:1. Penyetaraan
kerja, waktu kerja yang terbuang dan biaya (matching) dengan kasus dilakukan pada

Epidemiologi 122
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
saat pemilihan kelompok kontrol dalam responden. Analisis data yang dilakukan
hal ini karakteristik umur. secara univariat, bivariat, dan multivariat.
Besar sampel didasarkan pada hasil
perhitungan sampel yang diperkenalkan HASIL
oleh Lameshow. Berdasarkan hasil
perhitungan, maka didapatkan besar Hasil analisis multivariat diperoleh
sampel sebesar 116 responden, terdiri dari variabel yang paling berhubungan dengan
58 kasus usia produktif dan 58 kontrol usia kejadian stroke pada usia produktif adalah
produktif. Unit analisis dalam penelitian Pola Makan (OR = 18.17; 95% CI: 4.81-
ini adalah semua variabel independen yang 68.55; p = 0.0001), Merokok (OR = 7.65;
merupakan faktor risiko kejadian stroke 95% CI: 2.23-26.22; p = 0.001),
serta variabel dependen yaitu stroke pada Olahraga (OR = 7.79; 95% CI: 2.41-25.21;
usia produktif. Pengumpulan data p = 0.001), dan Diabetes Mellitus (OR =
menggunakan kuesioner dengan 13.30; 95% CI: 3.60-49.16; p = 0.0001).
wawancara serta pemeriksaan fisik berupa Hasil analisa dapat dilihat pada Tabel 1
pengukuran tinggi badan dan berat badan berikut:

Tabel 1. Analisis Bivariat dan Multivariat Faktor Risiko Kejadian Stroke pada Usia
Produktif

Variabel dan Indikator OR (95% CI) p-value


Analisis Bivariat
Pola Makan 6.33 (2.82-14.19) 0.0001
Merokok 3.11 (1.45-6.63) 0.003
Olahraga 4.69 (2.12-10.35) 0.0001
Jenis Kelamin 2.93 (1.37-6.28) 0.006
Obesitas 2.10 (0.77-5.74 0.146
Diabetes Mellitus 4.56 (2.09-9.96) 0.0001
Analisis Multivariat
Model 1
Pekerjaan 1.02 (0.59-1.75) 0.935
Pendidikan 1.50 (0.55-4.05) 0.418
Pola Makan 18.17 (4.81-8.55) 0.0001
Merokok 7.65 (2.23-26.22) 0.001
Olahraga 7.79 (2.41-25.21) 0.001
Obesitas 2.68 (0.56-12.67) 0.214
Diabetes Mellitus 13.31 (3.60-49.16) 0.0001
Model 2
Pola Makan 20.10 (5.38-75.14) 0.0001
Merokok 9.65 (0.27-338.2) 0.211
Olahraga 7.64 (2.44-23.91) 0.0001
Jenis Kelamin 0.55 (0.01-18.65) 0.741
Diabetes Mellitus 13.19 (3.64-47.71) 0.0001

Epidemiologi 123
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
PEMBAHASAN produktif dengan nilai p = 0.001 dan OR =
7.65. Sehingga merokok merupakan
Faktor Risiko Pola Makan dengan determinan penting terhadap kejadian
Kejadian Stroke pada Usia Produktif stroke pada usia produktif.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
Hasil uji statistik diperoleh nilai Burhanuddin7, menunjukkan bahwa pasien
probabilitas (p-value 0.0001), yang berarti yang memiliki perilaku atau kebiasaan
ada hubungan yang signifikan antara pola merokok berisiko 2.68 kali mengalami
makan dengan kejadian stroke pada usia stroke pada dewasa awal (18 - 40 tahun)
produktif, dengan OR sebesar 6.33, artinya dibandingkan dengan pasien yang tidak
responden yang memiliki pola makan memiliki perilaku atau kebiasaan merokok.
kurang baik berisiko 6.33 kali mengalami Dengan nilai LL dan UL (95% CI: 1.475–
stroke pada usia produktif dibandingkan 4.895) dan bermakna secara statistik.
dengan responden yang memiliki pola
makan yang baik. Dari analisis multivariat Faktor Risiko Olahraga dengan
menunjukkan bahwa pola makan Kejadian Stroke pada Usia Produktif
merupakan variabel yang paling dominan
terhadap kejadian stroke pada usia Hasil uji statistik diperoleh nilai
produktif dengan nilai p = 0.0001 dan OR probabilitas (p-value 0.0001) yang berarti
= 18.17. ada hubungan yang signifikan antara
Penelitian ini sejalan dengan penelitian olahraga dengan kejadian stroke pada usia
sebelumnya yang dilakukan oleh produktif, dengan OR sebesar 4.69, artinya
Purwaningtiyas ,1
yang mengatakan responden yang tidak berolahraga berisiko
terdapat hubungan yang bermakna antara 4.69 kali mengalami stroke pada usia
konsumsi makanan tinggi lemak dan produktif dibandingkan dengan responden
kolesterol sebanyak (p = 0.000, OR = yang berolahraga. Analisis multivariat
6.655 dan LL-UL 2.925-15.139) yang menunjukkan bahwa tidak berolahraga
artinya seseorang yang selalu secara konsisten menunjukkan adanya
mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan risiko terhadap kejadian stroke pada usia
kolesterol mempunyai risiko sebesar 6.655 produktif dengan nilai p = 0.001 dan OR =
kali terhadap kejadian stroke usia dewasa 7.79.
muda dibandingkan dengan seseorang Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang jarang mengkonsumsi makanan Purwaningtyias1, dalam penelitiannya
tinggi lemak dan kolesterol. dengan judul hubungan gaya hidup dengan
kejadian stroke usia dewasa muda (19 - 40
Faktor Risiko Merokok dengan tahun) mengatakan terdapat hubungan yang
Kejadian Stroke pada Usia Produktif bermakna antara aktivitas olahraga
sebanyak (p = 0.000; OR = 15.476 dan
Hasil uji statistik diperoleh nilai LL-UL 5.877-40.754) dengan kejadian
probabilitas (p-value 0.003) yang berarti stroke usia dewasa muda. Pudiastuti8
ada hubungan yang signifikan antara mengungkapkan bahwa faktor risiko
merokok dengan kejadian stroke pada usia perilaku yang dapat menyebabkan stroke
produktif, dengan OR sebesar 3.11, artinya adalah kurangnya berolahraga, merokok
responden yang memiliki perilaku (aktif dan pasif), mengkonsumsi makanan
merokok berisiko 3.11 kali mengalami tidak sehat, kontrasepsi oral, mendengkur,
stroke pada usia produktif dibandingkan narkoba, obesitas, dan stres.
dengan responden yang tidak merokok.
Pada analisis multivariat merokok juga
memberikan risiko yang konsisten
terhadap kejadian stroke pada usia

Epidemiologi 124
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Faktor Risiko Jenis Kelamin dengan diabetes mellitus berisiko 4.56 kali
Kejadian Stroke pada Usia Produktif mengalami stroke pada usia produktif
dibandingkan dengan responden yang tidak
Hasil uji statistik diperoleh nilai mengalami diabetes mellitus. Analisis
probabilitas (p-value 0.006) yang berarti multivariat yaitu uji regresi logistik
ada hubungan yang signifikan antara jenis menunjukkan bahwa mengalami penyakit
kelamin dengan kejadian stroke pada usia diabetes mellitus secara konsisten
produktif, dengan OR sebesar 2.93, artinya menunjukkan adanya risiko terhadap
responden yang memiliki jenis kelamin kejadian stroke pada usia produktif dengan
laki-laki berisiko 2.93 kali mengalami nilai p = 0.0001 dan OR = 13.30.
stroke pada usia produktif dibandingkan Junaidi1 mengatakan pentingnya
dengan responden yang berjenis kelamin menghindari faktor risiko stroke agar
wanita. Wiwit9 mengatakan penelitian terhindar dari stroke, seperti mendeteksi
menunjukkan bahwa pria lebih banyak kadar gula secara dini, apabila terdapat
terkena stroke daripada wanita, yaitu riwayat kencing manis dalam keluarga
mencapai 1.25 lebih tinggi. Namun justru ataupun ternyata telah mengidap kencing
lebih banyak wanita yang meninggal dunia manis agar segera melakukan pengobatan
karena stroke. Hal ini disebabkan pria secara teratur. Diabetes mellitus
umumnya terkena serangan stroke pada menyebabkan kadar lemak darah meningkat
usia muda. Sedangkan wanita sebaliknya, karena konversi lemak tubuh yang
terkena stroke yaitu saat usianya sudah tua. terganggu. Bagi penderita diabetes
peningkatan kadar lemak darah sangat
Faktor Risiko Obesitas dengan meningkatkan risiko penyakit jantung dan
Kejadian Stroke pada Usia Produktif stroke.

Hasil uji statistik diperoleh nilai KESIMPULAN DAN SARAN


probabilitas (p-value 0.146) yang berarti
tidak ada hubungan yang signifikan antara Kesimpulan
obesitas dengan kejadian stroke pada usia
produktif, dengan OR sebesar 2.10 (0.77- Berdasarkan hasil analisis data
5.74), artinya responden yang mengalami penelitian yang peneliti lakukan pada
obesitas tidak memberikan risiko secara tanggal 5 Agustus-19 Agustus 2016. Untuk
signifikan terhadap kejadian stroke pada menganalisis faktor risiko kejadian stroke
usia produktif. Analisis multivariat pada usia produktif di Poliklinik Saraf
obesitas tidak memberikan risiko yang RSUZA Banda Aceh. Akhirnya dapat
konsisten terhadap kejadian stroke pada ditarik kesimpulan bahwa faktor resiko
usia produktif dengan nilai p = 0.214 dan yang paling mempengaruhi kejadian stroke
OR = 2.68. Sehingga obesitas bukan pada usia produktif di Poliklinik Saraf
merupakan determinan penting terhadap RSUZA adalah pola makan, merokok,
kejadian stroke pada usia produktif. olahraga, dan riwayat diabetes mellitus.
Sementara itu faktor risiko yang paling
Faktor Risiko Diabetes Mellitus dengan dominan mempengaruhi kejadian stroke
Kejadian Stroke pada Usia Produktif pada usia produktif adalah pola makan.
Besar OR variabel pola makan paling tinggi
Hasil uji statistik diperoleh nilai dibandingkan dengan variabel lainnya.
probabilitas (p-value 0.0001) yang berarti Untuk memperkuat hasil analisis dalam
ada hubungan yang signifikan antara penelitian telah dilakukan tes interaction
diabetes mellitus dengan kejadian stroke dengan semua variabel lain dan hasilnya
pada usia produktif, dengan OR sebesar variabel pola makan merupakan variabel
4.56, artinya responden yang memiliki yang paling dominan mempengaruhi

Epidemiologi 125
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
kejadian stroke. 2016].
2. Kementrian Kesehatan, R.I. ‘Buletin
Saran jendela data dan informasi
kesehatan penyakit tidak menular’.
Bagi pemerintah, sangat penting untuk Jakarta: Kementrian Kesehatan RI;
mempertimbangkan determinan- 2012. Tersedia dari:
determinan penting terkait dengan <http://webcache.googleusercontent.com/s
kejadian stroke pada usia produktif dalam earch?q=cache:ZopwlEwbYckJ:www.d
menyusun rencana dalam menurunkan epkes.go.id/download.php%3Ffile%3D
angka kematian dan kecacatan masyarakat download/pusdatin/buletin/buletin-
Indonesia. ptm.pdf+&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=i
Bagi keluarga pasien stroke, d> [3 April 2016].
diharapkan untuk dapat menambah 3. Adrian, J., Goldszmidt, M.D., Lous, R.,
wawasan serta pengetahuan tentang faktor dan Caplan, M.D., Esensial Stroke,
risiko kejadian stroke pada usia produktif Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran:
sehingga lebih memperbaiki prognosis EGC; 2011.
penyakit yang dialami oleh pasien stroke. 4. Departemen Kesehatan, R.I., Laporan
Diharapkan ini dapat bermanfaat bagi Nasional Riset Kesehatan Dasar
peningkatan kesembuhan pasien stroke ke (Riskesdas) 2007, Jakarta: Badan
depan, sehingga pasien stroke Penelitian dan Pengembangan
dapat kembali menjalani kehidupan Kesehatan Depkes RI; 2007.
bermasyarakat secara sehat dan produktif. 5. Dourman, K., Waspadai Stroke Usia
Bagi perawat di Poliklinik Saraf, Muda, Jakarta: Cerdas Sehat; 2013.
diharapkan agar dalam memberikan 6. Departemen Kesehatan, R.I., Riset
perawatan di rumah sakit bagi pasien Kesehatan Dasar, Jakarta:
stroke, selain memberikan asuhan Badan Penelitian dan Pengembangan
keperawatan guna mempertahankan Kesehatan Departemen Kesehatan
keseimbangan fisiologis pada pasien yang Republik Indonesia; 2013.
berobat, perawat juga memberikan 7. Burhanuddin, M., ‘Faktor Risiko
penyuluhan dan pengetahuan tentang Kejadian Stroke pada Dewasa Awal
faktor risiko penyebab stroke kepada (18 – 40 Tahun) di Kota Makassar
keluarga pasien serta pasien lainnya yang Tahun 2010-2012; 2013. Tersedia dari:
belum terkena stroke, diharapkan akan <http://repository.unhas.ac.id/bitstream
meningkatkan pengetahuan pengunjung /handle/123456789/5426/MUTMAINN
poli saraf tentang faktor risiko stroke A%20B_FAKTOR%20RISIKO%20K
sehingga menjadi motivasi dan bekal EJADI AN_140613.pdf?sequence=1>
pengetahuan agar dapat menghindari [3 Januari 2016].
terserangnya penyakit stroke. 8. Pudiastuti, R.D., Penyakit Pemicu
Stroke, Yogyakarta: Nuha Medika;
DAFTAR PUSTAKA: 2011.
9. Wiwit, S., Stroke dan
1. Purwaningtiyas, P., Kusumawati, Y., penanganannya: Memahami,
dan Nugroho, F.S., ‘Hubungan Mencegah dan Mengobati,
Antara Gaya Hidup dengan Yogyakarta: Kata hati; 2013.
Kejadian Stroke Usia Dewasa Muda 10. Azwar, S., Metode Penelitian,
di RSUD dr. Moewardi Surakarta’. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2010.
Universitas Muhammadiyah Surakarta; 11. Bhat, V.M., Cole, J.W., Sorkin, J.D.,
2014. Tersedia dari: Wozniak, M.A., Malarcher, A.M.,
<eprints.ums.ac.id/32390/16/NASKA Giles, W.H., dan Kittner, S.J. ‘Dose-
H%20PUBLIKASI.pdf> [8 Januari Response Relationship between

Epidemiologi 126
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Cigarette Smoking and Risk of Penelitian Kesehatan, (G. M. U. Press
Ischemic Stroke in Young Women’, Ed. Cetakan Pertama ed. Vol. Cetakan
Stroke; 2008. vol. 39, no. 9, p.p. 2439- Pertama), Yogyakarta: University of
2443; . Tersedia dari: Massachusetts; 1990.
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme 19. Mansjoer, A., Wardani, W.I., dan
d/18 703815>. [2 Februari 2016]. Setiowulan, W., Kapita Selekta
12. Budiarto, E. dan Anggraeni, D., Kedokteran, Cetakan Ketiga, Jakarta:
Pengantar Epidemiologi (Vol. Media Aesculapius; 2000
Cetakan 1), Jakarta: Penerbit buku 20. Mulyadi, E., '74.070 Warga Aceh
kedokteran EGC; 2003. Terserang Stroke', Serambi Indonesia;
13. Bunna, O.R.T., 'Analisis Faktor 6 Desember 2015.
Risiko Kejadian Stroke pada Usia 21. Notoatmodjo, S., Metodologi
Dewasa Produktif di Rumah Sakit Penelitian Kesehatan, Cetakan ketiga,
Umum Pusat dr. Wahidin Jakarta: Rineka Cipta; 2005.
Sudirohusodo Kota Makassar tahun 22. Nursalam, Pendekatan Praktis
2012' [Tesis]. Makassar: Program Metodologi Riset Keperawatan,
Pascasarjana Universitas Hasanuddin; Jakarta: Info Medika; 2001.
2012. Tersedia dari: 23. Prishardoyo, B., Trimarwanto, A., dan
<https://repository.usd.ac.id/1390/2/1 Shodiqin, Ekonomi, Jakarta: Grasindo;
12114127_full.pdf>. [4 April 2016]. 2005
14. Bustan, M.N., Pengantar
Epidemiologi, Cetakan Kedua,
Jakarta: Rineka Cipta; 2006.
15. Ginsberg, L., Lecture Notes:
Neurologi (Vol. Edisi kedelapan),
Jakarta: Erlangga; 2008.
16. Jusman, R. dan Koto, F., ‘Faktor
Risiko Kejadian Stroke di RSUD
Undata Palu tahun 2011, EJurnal
Preventif FKIK; 2014. vol.1, no. 1,
Tersedia dari:
<http://webcache.googleusercontent.c
om/search?q=cache:qIiLHhiUAEAJ:j
urnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/EPr
ev/article/vi
ew/2700/1817+&cd=1&hl=id&ct=cln
k& gl=id> [2 Maret 2016].
17. Kabi, G.Y., Tumewah, R., dan
Kembuan, M.A., ‘Gambaran Faktor
Risiko pada Penderita Stroke
Iskemik yang Dirawat Inap
Neurologi RSUP Prof. Dr. Rd
Kandou Manado Periode Juli 2012 -
Juni 2013’, e-CliniC; 2015. vol. 3, no.
1. Tersedia dari:
<http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php
/eclinic/article/download/7404/6947>.
[November 2015].
18. Lameshow, S., Jr, D.W.H., dan
Janeileklar, Besar Sampel dalam

Epidemiologi 127
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

ANALISIS KUESIONER WHOQOL-BREF:


MENGUKUR KUALITAS HIDUP PASIEN YANG MENJALANKAN
TERAPI HEMODIALISIS DI RSUDZA BANDA ACEH

Analysis Questionnaire WHOQOL-BREF:


To Measure the Quality of Life of Hemodialysis Patients in RSUDZA Banda Aceh

Muzafarsyah1, Aulina Adamy2, dan Nasrul Zaman3


1,2
Magister Kesehatan Masyarakat, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh #23245
1
muzafarsyahadnan@yahoo.co.id, 2aulinaadamy@gmail.com, 3nasrulzaman@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang: Para penderita gagal ginjal harus menjalani terapi dan salah satu alternatif pengobatan adalah
melalu terapi Hemodialisa (HD). Terjadi peningkatan signifikan pada jumlah pasien yang menjalan terapi HD di
Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) di Banda Aceh. Tercatat pada tahun 2013 sebanyak 192 pasien,
2014 sebanyak 335 pasien dan 2015 meningkat menjadi 462 pasien. Pasien penyakit ginjal seringkali dihadapi
berbagai komplikasi yang berakibat semakin menurunnya kualitas hidup pasien tersebut. Tujuan penelitian ini
menganalisis kuesioner “Quality of Life” (WHOQOL-BREF) dari WHO untuk mengukur kualitas hidup pasien
HD di RSUZA. Metode: Desain penelitian adalah Statistical Equal Modeling (SEM) dengan data analisis
menggunakan AMOS 22. Populasi adalah pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi HD di RSUZA pada
tahun 2015 (n= 462) dan total sampel sejumlah150 pasien dengan teknik pengambilan sampel secara simple
random sampling. Data dikumpulkan dengan membagikan kuesioner langsung kepada responden. Hasil: Hasil
penelitian menunjukkan bahwa setiap indikator pada variabel dimensi fisik, dimensi psikologis, dimensi sosial,
dan dimensi lingkungan memenuhi kriteria yaitu nilai CR di atas 1.96 dengan p- value lebih kecil dari pada 0.05.
Terkecuali pada indikator “rasa sakit” dan “kebutuhan terapi” yang tidak memenuhi kriteria sehingga perlu
dihilangkan. Saran: Perlu menyosialisasikan kepada para pasien terapi HD pentingnya menjaga kulitas hidup
melalui kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial pasien dan kesehatan lingkungan sehingga kualitas hidup
pasien yang menjalankan terapi HD dapat menjadi positif.

Kata kunci: Dimensi, Kualitas Hidup, Gagal ginjal, dan Terapi Hemodialisa.

ABSTRACT

Background: The people with kidney failure must undergo therapy and one alternative treatment is through
therapy Hemodialysis (HD). There is a significant increasing number of patients who are running the HD
treatment in the General Hospital Zainoel Abidin (RSUZA) in Banda Aceh. In 2013 as many as 192 patients, as
many as 335 patients in 2014 and 2015 amounted to 462 patients. Kidney disease patients are often encountered
various complications that resulted in the declining their quality of life. The purpose of this study is to analysis
the questionnaire "Quality of Life" (WHOQOL-BREF) from WHO to measure the quality of life of patients with
HD treatment in RSUDZA. Methods: The study design is Statistical Equal Modeling (SEM) with data analysis
using AMOS 22. The population is patients with chronic renal failure undergoing HD treatment in RSUZA in
2015 (n = 462) which total sample are 150 patients through simple random sampling technique. Data were
collected by distributing questionnaires directly to respondents. Results: The results showed that each indicator
in variable physical dimension, psychological dimension, social dimension, and environmental dimensions meet
the criteria of value CR above 1.96 with a p-value less than 0:05. With the exception, "pain" and "therapeutic
needs" indicators does not meet the criteria therefore need to be deleted. Recommendations: Need to socialize
to patients of HD therapies the importance of maintaining quality of life through physical, psychological, social
relations and environmental health so that the quality of life of patients can turn into positive.

Keywords: Dimension, Quality of Life, Kidney Failure, and Therapy Hemodialysis.

Epidemiologi 128
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
PENDAHULUAN menganalisis kuesioner WHOQOL-BREF
untuk digunakan dalam mengukur kualitas
Ginjal adalah organ tubuh yang sangat hidup pasien gagal ginjal yang sedang
penting. Namun, banyak orang yang tidak menjalankan terapi HD di Rumah Sakit
sadar untuk menjaganya sehingga ginjal Umum dr. Zainoel Abidin (RSUZA) di
menjadi tidak sehat dan bahkan terjadi kota Banda Aceh.
gagal ginjal1. Sebuah penelitian di
Indonesia mengungkapkan bahwa METODE PENELITIAN
sebanyak 6.2% dari populasi penduduk
Indonesia menderita gagal ginjal2. Para Penelitian ini adalah penelitian
penderita itu harus menjalani terapi dan deskriptif analitik dengan pendekatan
pengobatan yang memerlukan biaya besar3. kuantitatif, dimana variabel independen
Dari angka 6.2% tersebut, banyak dan variabel dependen dikumpulkan pada
penderita yang mengalami gagal ginjal saat bersamaan. Metode yang digunakan
kronik tahap lima4. dalam penelitian kuantitatif ini adalah
Ada beberapa terapi pengganti ginjal survei dengan menyebarkan kuesioner
yang dapat dijadikan sebagai alternatif langusng kepada responden. Kuesioner
pengobatan pasien yang mengalami gagal diadopsi penuh dari WHOQOL-BREF.
ginjal antara lain Hemodialisa (HD), Populasi pada penelitian ini adalah
Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
(CAPD) transplanstasi ginjal1. terapi HD di RSUDZA selama tahun 2015
Transplantasi ginjal dan peritonial dialisis yaitu sebanyak 462 pasien8. Sedangkan
merupakan pilihan terapi pengganti ginjal total sampel sejumlah 150 pasien (atau
yang dapat dijadikan alternatif pengobatan. lebih dari 30% dari populasi). Teknik
Pasien penyakit ginjal seringkali pengambilan sampel secara simple random
dihadapi dengan berbagai komplikasi yang sampling. Menurut8 bahwa ukuran sampel
berakibat semakin menurunnya kualitas yang layak dalam penelitian antara 30-500
hidup orang tersebut 5. Kualitas hidup bisa responden.
dipandang dari segi subjektif dan obyektif. Desain analisis penelitian adalah
Dari segi subyektif merupakan perasaan Statistical Equal Modeling (SEM) dengan
senang dan puas atas segala sesuatu secara menggunakan AMOS 22. Untuk
umum, sedangkan secara obyektif adalah menganalisis kuesioner WHOQOL-BREF
perubahan psikiologis, pemenuhan pada kasus pasien gagal ginjal di RSUZA
tuntutan ekonomi, status sosial, dan di kota Banda Aceh maka penelitian ini
kesempurnaan fisik secara sosial atau menggunakan formula statistik Analisis
budaya6. Faktor Konfirmatori (Confirmatory Factor
Analysis/CFA).
WHO7 mengungkapkan bahwa kualitas
hidup dipengaruhi oleh 4 (empat) dimensi:
HASIL PENELITIAN
dimensi kesehatan fisik, dimensi kesehatan
psikologis, dimensi hubungan sosial, dan
Hasil Uji CFA: Model Awal
dimensi lingkungan. WHO telah membuat
kuesioner WHO Quality of Life-BREF
Pada Gambar 1 terlihat hasil uji CFA
(WHOQOL-BREF) untuk mengukur
yang menjelaskan hubungan indikator–
kualitas hidup masyarakat sejak tahun
indikator pada setiap dimensi pada model
19917. Kuesioner WHOQOL-BREF
awal. Dengan SEM dapat dilihat hubungan
mewakili empat dimensi tersebut dengan
indikator dan unobserved variabel
26 indikator.
(variabel laten) dalam Measurement Model.
Tujuan penelitian ini adalah

Epidemiologi 129
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

Gambar 1

Loading factor yang digunakan untuk (loading factor 0.92). Dengan begitu,
mengukur konstribusi masing-masing semua indikator diikutsertakan pada proses
indikator bila nilainya di atas 0.3 maka analisa data selanjutnya.
dikatakan indikator itu representatif. Hasil
model pada Gambar 1 di atas Hasil Uji CFA: Model Akhir
menunjukkan bahwa dimensi fisik
(loading factor 0.65), dimensi psikologis Indikator dari variabel dimensi fisik
(loading factor -0.76), dimensi sosial yang mempunyai skor tertinggi adalah
(loading factor -0.29), dan dimensi “vitalitas yang cukup” sebesar 0.694.
lingkungan (loading factor 0.14). Artinya, indikator ini memberi kontribusi
Sedangkan kovarian dimensi fisik sebesar 69.4% terhadap dimensi fisik. Bila
dengan dimensi psikologis saling pasien gagal ginjal yang menjalani terapi
mempengaruhi (loading factor 1.00), HD ingin meningkatkan kualitas fisiknya,
kovarian dimensi psikologis dengan sosial maka indikator “vitalitas” harus mendapat
saling mempengaruhi (loading factor 0.72), prioritas utama dibandingkan indikator
kovarian dimensi sosial dengan dimensi lainnya.
lingkungan saling mempengaruhi (loading Indikator dari variabel dimensi
factor 0.60), kovarian dimensi sosial psikologis yang mempunyai skor tertinggi
dengan dimensi fisik saling mempengaruhi adalah “kebutuhan terapi” yaitu sebesar
(estimate loading factor 0.88), kovarian 0.859. Berarti indikator ini memberi
dimensi fisik dengan dimensi lingkugan kontribusi sebesar 85.9% terhadap dimensi
saling mempengaruhi (loading factor 1.02), psikologis. Pasien gagal ginjal yang
dan kovarian dimenesi psikologi dengan menjalani terapi HD bila ingin
dimensi lingkungan saling mempengaruhi
Epidemiologi 130
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
meningkatkan kualitas dimensi psikologis, prioritas utama dibandingkan indikator
maka “kebutuhan terapi” harus mendapat lainnya.

Gambar 2

Indikator dari variabel dimensi sosial HD di RSUDZA Banda Aceh adalah


yang mempunyai skor tertinggi adalah “merasa hidup berarti”.
“dukungan dari teman” sebesar 0.933. Berdasarkan hasil uji goodness of fit,
Artinya indikator ini memberi kontribusi maka dapat disimpulkan model
sebesar 93.3% terhadap dimensi sosial. measurement yang ada telah memenuhi
Pasien gagal ginjal yang menjalani terapi kriteria fit. Sehingga output yang keluar
HD di RSUZA di Banda Aceh bila ingin dari model ini dapat dijadikan temuan
meningkatkan kualitas dimensi sosial, penelitian yang terkait dengan hubungan
maka “dukungan dari teman” menjadi antara indikator dengan konstruknya
indikator terkuat yang harus terpenuhi. masing-masing.
Indikator dari variabel dimensi
lingkungan yang memiliki skor tertinggi PEMBAHASAN
adalah “fasilitas transfortasi” sebesar aitu
0.700. Indikator ini memberi kontribusi Pengujian model dalam SEM
sebesar 70% terhadap kualitas dimensi dilakukan dengan dua pengujian: uji
lingkungan. Pasien gagal ginjal yang kesesuaian model dan uji signifikansi
menjalani terapi HD di RSUZA di Banda kausalitas. Berdasarkan Tabel 1 terlihat
Aceh bila ingin meningkatkan kualitas bahwa bahwa indikator-indikator
dimensi lingkungannya, maka “fasilitas membentuk secara signifikan variabel
transfortasi” berperan paling penting. dimensi fisik, dimensi psikologis,
Sedangkan indikator dari variabel dimensi sosial, dimensi lingkungan dan
dependen kualitas hidup yang mempunyai variabel kualitas hidup. Dengan demikian,
skor tertinggi adalah “merasa hidup model yang dipakai dalam penelitian ini
berarti” sebesar 1.232. Artinya indikator dapat diterima.
utama untuk mengukur kualitas hidup
pasien gagal ginjal yang menjalani terapi

Epidemiologi 131
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

Tabel 1. Krieteria Goodness of Fit Measurement Models

Evaluasi
Kriteria Indeks Ukuran Cut-off Value Hasil Analisis
Model
Default model di antara
saturated dan
CMIN 1.985 Baik
independence
Di atas 0,5 untuk NFI,
Baseline Comparisons Mendekati 1 Relatif Baik
IFI, TLI dan CFI
Pration, PNFI, PDCFI
Parsymony Adjusted Measures 0-1 Baik
berada di antara 0 – 1

Berdasarkan hasil regresi weight di menunjukkan hasil yang memenuhi


Tabel 2 di bawah terlihat bahwa setiap kriteria yaitu nilai CR di atas 1.96
indikator pembentuk variabel dimensi fisik, terkecuali pada indikator “rasa sakit”dan
dimensi psikologis, dimensi sosial, “kebutuhan terapi” pada variabel dimensi
dimensi lingkungan dan kualitas hidup lingkungan.

Tabel 2. Krieteria Goodness of Fit Measurement Models

Kriteria Indeks Ukuran Cut-off Value Hasil Analisis Evaluasi Model


RMSEA > 0.05 0.128 Baik
Default Model di antara
Saturated dan
AIC 697.844 Baik
Independence
Default Model di antara
Saturated dan
ECVI 11.631 Baik
Independence

Hasil tersebut dapat dikatakan bahwa Berdasarkan hasil analisis data


indikator indikator pembentuk variabel menampilkan bahwa kovarian fisik
variabel dimensi fisik, dimensi psikologis, dengan psikologis saling mempengaruhi,
dimensi sosial, dimensi lingkungan dan Demikian juga kovarian dimensi psikologs
kualitas hidup tersebut secara signifikan dengan dimensi sosial saling
merupakan indikator dari faktor-faktor mempengaruhi. Kovarian dimensi sosial
dimensi fisik, dimensi psikologis, dimensi dengan dimensi lingkungan saling
sosial, dan dimensi lingkungan yang mempengaruhi.
dibentuk. Dengan demikian, model yang Hasil uji CFA bahwa semua indikator
dipakai dalam penelitian ini dapat diterima berpengaruh terhadap setiap variabel
masing-masing dimensi.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari informasi ini maka kita dapat
menyarankan kepada para pasien yang
Hasil uji model kualitas hidup pasien menjalani terapi HD di RSUZA di kota
gagal ginjal yang menjalani terapi HD Banda Aceh bahwa perlu memperhatikan
menampilkan bahwa dimensi psikologis, kesehatan fisik dikarenakan dapat
dimensi sosial, dan dimensi lingkungan mempengaruhi kualitas hidup pasien.
tidak mempengaruhi kualitas hidup. Dalam menjaga fisik ada beberapa
Sedangkan dimensi fisik mempengaruhi indikator yang harus diperhatikan yaitu
kualitas hidup. ketergantungan pada zat obat dan bantuan

Epidemiologi 132
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
medis, energi dan kelelahan, mobilitas,
rasa sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan
istirahat agar kualitas hidup pasien
semakin baik.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Suwitra I.K., Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam, Edisi IV, Jilid I.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
2. Mardyaningsih, Kualitas Hidup pada
Pasien Gagal Ginjal Kronik yang
Menjalani Terapi Hemodialisis di
RSU dr. Soediran Mangun Sumarso
Kabupaten Wonogiri, Jurnal
Kesehatan Masyarakat; 2014.
3. Nurmawati D., Studi Fenomenologi
Pengalaman Pasien Gagal Ginjal
Kronik yang Menjalani
Hemodialisis Dalam Mencapai
Kualitas Hidup, Diponegoro
University; 2011.
4. Suhardjono D., Gagal Ginjal Kronik.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid II, Edisi Ketiga, FK UI: Jakarta;
2001.
5. Aisyah J., Karakteristik Penderita
Gagal Ginjal Rawat Inap di R.S.
Haji Medan tahun 2009, 2011.
6. Leung D.K., Psychosocial Aspects in
Renal Patients, Peritoneal Dialysis
International, 2003; 23 (Supplement
2), S90-S4.
7. WHO, Quality of Life (WHOQOL)-
BREF, 2012.
8. Sugiyono, Statistik untuk Penelitian,
PT Rineke Cipta: Jakarta; 2005.

Epidemiologi 133
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

PERILAKU KLIEN SUSPEK HIV/AIDS TERHADAP KESEDIAAN


MELAKUKAN VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING
DI RUMAH SAKIT UMUM TGK. CHIK DITIRO SIGLI

Suspected HIV/AIDS Behavior against the Willingness of Doing Voluntary Counseling


and Testing at Tgk. Chik Ditiro General Hospital Sigli

Annas1, Aulina Adamy2, dan Nasrul Zaman3


1,2,3
Magister Kesehatan Masyarakat, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh, Aceh 23245
1
s.kep_annas@yahoo.com, 2aulinaadamy@gmail.com, 3nasrulzaman@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang: Jumlah suspek HIV/AIDS yang melakukan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di
RSUD Tgk. Chik Ditiro Sigli mengalami penurunan, yaitu 31 orang dari 72 kasus (43.05%) pada tahun 2013
dan menurun pada tahun 2014 menjadi 57 orang dari 150 (31.33%) serta pada tahun 2015 hanya sebanyak 49
orang dari 193 kasus (25.39%). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku klien suspek HIV/AIDS
terhadap kesediaan (Intensi) melakukan VCT di RSUD Tgk. Chik Ditiro berdasarkan Teori Perencanaan
Perilaku. Metode: Metode quantitative research, menggunakan desain korelasional dengan pendekatan cross
sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah klien suspek HIV/AIDS yang melakukan VCT sebanyak 49
klien. Instrumen pengumpulan data menggunakan kuesioner. Hasil pengumpulan data dianalisa dengan
menggunakan SEM dengan aplikasi AMOS. Hasil: pengujian model menampilkan bahwa Sikap berhubungan
dengan Intensi di mana terbukti dari loading factor >0.3 dengan nilai 0.46. Persepsi kontrol prilaku (PBC)
berhubungan dengan Intensi di mana terbukti dari loading factor >0.3 dengan nilai 0.66. Norma tidak
berhubungan Intensi di mana terbukti dari loading factor <0.3 dengan nilai -0.10. Kovarian Sikap dengan
Norma (loading factor >0.3 dengan nilai 0.33), kovarian Sikap dengan Persepsi (loading factor >0.3 dengan
nilai 0.67), kovarian Norma Subjektif dengan Persepsi (loading factor <0.3 dengan nilai 0.06). Kesimpulan:
Dari hasil analisis yang telah dilakukan terhadap pengukuran model lengkap empat konstruk laten sekaligus
yaitu Sikap, Norma Subjektif, PBC, dan Intensi maka dapat disimpulkan model dapat diterima.

Kata kunci: Perilaku, Klien Suspek HIV/AIDS, dan VCT

ABSTRACT

Background: The number of people who allegedly (suspek) HIV/AIDS who are willing to do Voluntary
Counseling and Testing (VCT) at Tgk. Chik Ditiro General Hospital Sigli has decreased, from 31clients of 72
cases (43.05%) in 2013 and decline in 2014 into 57clients from 150 cases (31. 33%) as well as by 2015 only 49
clients from 193 cases (25.39%). This study aim is to know the behavior of suspected HIV/AIDS towards their
willingness (Intention) to do VCT in Tgk. Chik Ditiro General Hospital based on the Theory of Planned
Behavior. Methods: This study is categorized as quantitative research through correlation design with cross
sectional study. The population in this research is suspected HIV/AIDS that going through VCT as much as 49
clients. The instrument for data was collected by distributing questionnaires. The data were analyzed by using
SEM and AMOS applications. Results: Model test results showing that “Attitude” associated with “Intention”
with loading factor >0.3 and value of 0.46. Perception of control behavior (PBC) is associated with “Intention”
with loading factor >0.3 and value of 0.66. Norm is unrelated with “Intention” with loading factor <0.3 and
value of -0.10. The kovarian of Attitude is interconnected with Norm (loading factor > 0.3 with value of 0.33),
the kovarian of Attitude with Perception (loading factornya >0.3 with value of 0.67), and kovarian Subjective
Norm with Perceptions (loading factor 0.3< with value of 0.06). Conclusion: From the analysis that has been
done to measure the full model of four latents constructs: Attitude, Subjective Norms, PBC and Intention can
concluded that the model is acceptable.

Keywords: Behavior, Suspected HIV/AIDS, and VCT

Epidemiologi 134
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
PENDAHULUAN Sigli.
Menurut KPA kabupaten Pidie2, salah
Human Immunodeficiency Virus (HIV) satu faktor yang menyebabkan suspek
adalah virus penyebab Acquired Immune HIV/AIDS tidak melakukan VCT adalah
Deficiency Syndrom1. Sedangkan stigma dan dikriminasi dari masyarakat.
pengertian Acquired Immune Deficiency Kondisi ini menyebabkan suspek
Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan HIV/AIDS yang ada di kabupaten Pidie
gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul merasa tertekan, malu dengan kondisi
karena rusaknya sistem kekebalan tubuh penyakitnya dan kurang informasi tentang
manusia akibat infeksi virus HIV (CDC, penanganan HIV/AIDS.
2013). Tahun 2013 sebanyak 37.2 juta Berdasarkan peningkatan jumlah
penduduk dunia terinfeksi HIV. Angka suspek HIV/AIDS di kabupaten Pidie
kematian akibat HIV/AIDS pada tahun setiap tahun dan terjadinya penurunan
2013 adalah 1.7 juta jiwa1. Data dari jumlah suspek HIV/AIDS yang melakukan
Ditjend menyatakan bahwa di provinsi VCT di RSUD Tgk. Chik Ditiro Sigli,
Aceh jumlah kasus HIV pada tahun 2014 maka peneliti tertarik untuk mengetahui
sebanyak 131 kasus dan meningkat pada perilaku klien suspek HIV/AIDS terhadap
tahun 2015 menjadi 162 kasus. Sedangkan kesediaannya melakukan VCT.
jumlah penderita AIDS pada tahun 2014
adalah 165 orang dan meningkat pada METODE PENELITIAN
tahun 2015 menjadi 193 orang.
Kabupaten di provinsi Aceh yang Penelitian ini menggunakan metode
mengalami kenaikan jumlah kasus quantitative research. Desain yang
HIV/AIDS adalah kabupaten Pidie. digunakan adalah cross sectional study,
Jumlah penderita HIV/AIDS di kabupaten yaitu mempelajari hubungan atau kolerasi
Pidie pada tahun 2013 adalah 12 kasus dan antara faktor-faktor risiko dengan dampak
meningkat pada tahun 2014 menjadi 14 atau efeknya. Faktor resiko dan dampak
kasus serta tahun 2015 sebanyak 20 kasus2. atau efeknya diobsevasi pada saat yang
Fenomena tentang HIV/AID yang terjadi sama3. Desain ini dipilih dalam penelitian
di kabupaten Pidie saat ini adalah dari 193 tentang perilaku klien suspek HIV/AIDS
orang suspek HIV/AIDS yang terdata di terhadap kesediaan melakukan VCT di
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA, RSUD Tgk. Chik Ditiro Sigli karena
2015) kabupaten Pidie, hanya 49 orang penelitian ini bertujuan untuk melihat
(25.39%) yang rutin memanfaatkan pengaruh antara variabel-variabel dalam
Voluntary Counseling and Testing (VCT). Teori Perencanaan Perilaku (Theory of
Pengertian VCT menurut Centers for Planned Behaviour) terhadap kesediaan
Disease Control and Prevention (CDC) klien suspek HIV/AIDS melakukan VCT.
adalah kegiatan konseling yang Populasi dalam penelitian ini adalah
menyediakan dukungan psikologis, seluruh orang yang diduga (suspek)
informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, HIV/AIDS di kabupaten Pidie yang
mencegah penularan HIV, sedang melaksanakan VCT di RSUD Tgk.
mempromosikan perubahan perilaku yang Chik Ditiro di tahun 2015. Jumlah
bertanggung jawab, pengobatan populasi sebanyak 49 suspek5. Sementara
antiretroviral (ARV) dan memastikan itu, jumlah sampel sebanyak 46 orang dari
pemecahan berbagai masalah terkait total populasi 49 orang. Analisis data
dengan HIV/AIDS yang bertujuan untuk menggunakan program SEM (Structural
perubahan perilaku ke arah perilaku lebih Equation Modeling) dengan aplikasi
sehat dan lebih aman. Klinik VCT di program statistik AMOS.
kabupaten Pidie hanya terdapat di Rumah
Sakit Umum (RSUD) Tgk. Chik Ditiro

Epidemiologi 135
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
HASIL DAN PEMBAHASAN variabel Sikap (Attitude) adalah 0.24 >0.05,
Norma Subjektif (Subjective Norms) 0.09
Uji Normalitas >0.05, Persepsi kontrol prilaku/PBC
(Perception of control behavior) adalah
Hasil uji normalitas data dapat dilihat 0.08 >0.05, dan Intens (Intention) adalah
pada Tabel 1. Hasil uji normalitas data 0.47 >0.05, sehingga data seluruh variabel
menggunakan Shapiro-Wilk W Test untuk berdistribusi normal.

Tabel 1. Shapiro-Wilk W Test for Normal Data

Variabel Obs W V Z Prob>z


Sikap 46 0.96851 1.387 0.695 0.24367
Norma 46 0.95744 1.875 1.334 0.09115
PBC 46 0.95630 1.925 1.390 0.08230
Intensi 46 0.97672 1.025 0.053 0.47877
Sumber: Data Primer (diolah Maret, 2016)

Uji Confirmatory Factor Analysis (CFA) itu, pada uji model selanjutnya indikator
x12 disisihkan.
Hasil uji CFA pada variabel Sikap
dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 3. Uji CFA pada Variabel Norma
Tabel 2, maka diketahui bahwa indikator Subjektif dan PBC
x1, x3, x4, x5 menunjukkan representatif
untuk mengukur variabel Sikap dengan Indikator Variabel Loading Factor
nilai loading factor >0.3. Indikator x2 x6 Norma 0.42
tidak representatif untuk mengukur x7 Subjektif
Norma 0.44
variabel Sikap karena memperoleh nilai x8 Subjektif
Norma 0.56
0.28 <03. Pada uji model selanjutnya x9 Subjektif
Norma 0.90
indikator x2 disisihkan dari pengukuran Subjektif
Norma
x10 0.70
model. Subjektif
x11 Norma 0.49
x12 Subjektif
Norma 0.29
Tabel 2. Uji CFA pada Variabel Sikap
x13 Subjektif
Norma 0.75
x14 Subjektif
Norma 0.90
Indikator Variabel Loading Factor
x15 Subjektif
Norma 0.89
x1 Sikap 0.48
x16 Subjektif
Norma 0.94
x2 Sikap 0.28
x17 Subjektif
Norma 0.77
x3 Sikap 0.96
x18 Subjektif
Norma 0.79
x4 Sikap 0.50
x19 Subjektif
PBC 0.73
x5 Sikap 0.52
Sumber: Data Primer (diolah Maret, 2016) x20 PBC 0.45
x21 PBC 0.64
Hasil uji CFA pada variabel Norma x22 PBC 0.74
dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan x23 PBC 0.70
Tabel 3, maka diketahui bahwa indikator x24 PBC -0.11
x6, x7, x8, x9, x10, x11, x13, x14, x15, Sumber: Data Primer (diolah Maret, 2016)
x16, x17, x18 representatif untuk
mengukur variabel Norma dengan loading Berdasarkan Tabel 3, maka diketahui
factor lebih besar 0.3. Sementara indikator bahwa indikator x19, x20, x21, x22, x23
x12 tidak representatif karena memperoleh representatif untuk mengukur variabel
nilai loading factor 0.29 <03. Oleh karena PBC. Hal tersebut terbukti dari nilai

Epidemiologi 136
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
loading factor lebih besar 0.3. Indikator selanjutnya.
x24 tidak representatif karena memperoleh
nilai -0.11 <03. Pada uji model selanjutnya Hasil Uji Model: Model Awal
indikator x24 disisihkan dari pengukuran
model. Pengujian model menggunakan SEM
AMOS. Dari pengujian model didapatkan
Tabel 4. Uji CFA Variabel Intensi hasil CMIN/ DF sebesar 1.825. Nilai yang
direkomendasikan untuk menerima
Indikator Variabel Loading Factor kesesuaian sebuah model adalah
y1 Intensi 1.00 CMIN/DF ≤ 2.00.
y2 Intensi 6.86 Nilai RSMEA menunjukkan goodness
y3 Intensi 3.34 of fit yang diharapkan. Nilai ≤0.08
Sumber: Data Primer (diolah Maret, 2016) merupakan indeks agar model dapat
diterima. Dari model pada Gambar 1
Berdasarkan Tabel 4, maka diketahui menghasilkan nilai RSMEA sebesar 0.135
seluruh indikator y1, y2, dan y3 sehingga dapat disimpulkan fit model di
representatif untuk mengukur variabel atas tidak cukup baik. Oleh sebab itu perlu
Intensi dengan nilai estimate loading dilakukan pengujian model yang lebih
factor >0.3. Oleh karena itu, untuk baik dengan mengikuti saran modifikasi
variabel dependen Intensi, tidak ada (respesifikasi) model yang diberikan oleh
indikator yang disisihkan pada uji model AMOS dengan menggunakan folder
modification Indices I Covariances4.

Gambar 1. Hasil Pengukuran Model Awal

Hasil Uji Model: Model Akhir berhubungan dengan Intensi di mana


terbukti dari nilai loading factor >0.3
Pada model akhir ini telah dilakukan dengan nilai 0.45. PBC berhubungan
crossloading antar indikator antara lain dengan Intensi di mana terbukti dari nilai
indikator x8 dengan x10, x10 dengan x11, loading factor >0.3 dengan nilai 0.66.
x11 dengan x18, x12 dengan x13, x12 Hasil model menampilkan bahwa Norma
dengan x17, x15 dengan x19, x17 dengan tidak berhubungan Intensi di mana nilai
x20, x19 dengan x20, dan modifikasi relasi loading factor <0.3 dengan nilai -0.10.
antara variable Sikap dengan indikator x6 Pada kovarian Sikap dengan Norma saling
seperti ditampilkan pada Gambar 2. berhubungan di mana nilai loading factor
Hasil pengujian model seperti pada >0.3 dengan nilai 0.33. Kovarian Sikap
Gambar 2, menampilkan bahwa Sikap dengan PBC saling mempengaruhi di

Epidemiologi 137
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
mana nilai loading factor >0.3 dengan saling berhubungan di mana nilai estimate
nilai 0.67. Hasil model menampilkan loading factor <0.3 dengan nilai 0.06.
bahwa kovarian Norma dengan PBC tidak

Gambar 2. Hasil Pengukuran Model Akhir

Test Goodnest of Fit uji statistik tunggal untuk mengukur atau


menguji hipotesis mengenai model.
Untuk menguji model dapat Berikut ini adalah beberapa tabel untuk
menggunakan analisis SEM tidak ada alat melihat tingkat Fit model.

Tabel 5. CMIN

Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF


Default model 84 308.490 215 .000 1.435
Saturated model 299 .000 0
Independent model 46 872.184 253 .000 3.447

Hasil pengujian model Tabel 5 CMIN/DF yaitu ≤2.00, model di atas


didapatkan hasil CMIN/ DF sebesar 1.435. menghasilkan nilai CMIN/DF sebesar
Pada model ini nilai yang 1.435, maka dapat di simpulkan bahwa
direkomendasikan untuk menerima model ini dapat diterima.
kesesuaian sebuah model adalah

Tabel 6. RMR dan GFI

Model RMR GFI AGFI PGFI


Default model 4.206 .704 .622 .551
Saturated model .000 1.000
Independent model 15.182 .313 .250 .287

Pada Tabel 6 didapatkan hasil GFI kesesuaian sebuah model adalah GFI ≤1.0.
sebesar 0.704. Nilai yang Dapat disimpulkan bahwa model ini dapat
direkomendasikan untuk menerima diterima.

Epidemiologi 138
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Table 7. Baseline Comparisons

NFI RFI IFI TLI


Model CFI
Delta1 rho1 Delta2 rho2
Default model 0.646 0.584 0.858 0.822 0.903
Saturated model 1.000 1.000 1.000
Independence 000 0.000 0.000 0.000 0.000
model
Pada Tabel 7 didapatkan hasil kesesuaian sebuah model apabila CFI
Baseline Comparisons nilai CFI sebesar yaitu ≥0.90. Oleh karena itu model di atas
0.903. Pada model ini nilai yang dapat diterima karena nilai GFI sebesar
direkomendasikan untuk menerima 0.903.

Tabel 8. RMSEA

Model RMSEA LO 90 HI 90 PCLOSE


Default model 0.098 0.072 0.122 0.003
Independence model 0.233 0.216 0.250 0.000

Nilai RSMEA yang diharapkan yaitu suspek HIV/AIDS yang melakukan


≤0.10 merupakan indeks untuk dapat VCT di RSUD Tgk. Chik Ditiro Sigli;
diterima model. Dari model pada Tabel 8 4. Terdapat pengaruh antara Sikap
menghasilkan niai RSMEA sebesar 0.098. terhadap Intensi klien suspek
Dari hasil analisis yang telah dilakukan HIV/AIDS yang melakukan VCT di
terhadap pengukuran model lengkap yang RSUD Tgk. Chik Ditiro Sigli;
melibatkan empat konstruk laten sekaligus 5. Tidak terdapat pengaruh antara Norma
yaitu Sikap, Norma Subjektif, PBC, dan Subjektif terhadap Intensi Klien
Intensi maka dapat disimpulkan model di Suspek HIV/AIDS melakukan VCT di
atas dapat diterima (fit). Menurut Dachlan4 RSUD Tgk. Chik Ditiro Sigli; dan
model ini sebenarnya masih perlu 6. Terdapat pengaruh antara PCB
dilakukan perbaikan untuk menjamin terhadap Intensi klien Suspek
terpenuhinya unidimensionalita. Namun HIV/AIDS yang melakukan VCT di
demikian secara umum dapat dikatakan RSUD Tgk. Chik Ditiro Sigli.
bahwa model pengukuran ini cukup baik
dan dapat digunakan. Saran

KESIMPULAN DAN SARAN Suspek HIV/AIDS diharapkan untuk


memiliki sikap yang positif dengan tetap
Kesimpulan memperhatikan norma sosial dan
kemampuan kontrol perilaku sehingga
1. Terdapat pengaruh timbal balik antara menimbulkan motivasi untuk
Sikap dan Norma Subjektif pada melaksanakan VCT. Petugas kesehatan di
suspek HIV/AIDS yang melakukan klinik VCT di RSUD Tgk. Chik Ditiro
VCT di RSUD Tgk. Chik Ditiro Sigli; Sigli agar memperhatikan prinsip-prinsip
2. Terdapat pengaruh timbal balik antara dalam memberikan layanan VCT kepada
Sikap dan PBC pada suspek suspek HIV/AIDS terutama dalam
HIV/AIDS yang melakukan VCT di menjaga kerahasiaan. Sementara
RSUD Tgk. Chik Ditiro Sigli; manajemen rumah sakit agar
3. Tidak terdapat pengaruh timbal balik meningkatkan fasilitas sehingga
antara Norma Subjektif dan PBC pada memberikan rasa aman dan nyaman bagi

Epidemiologi 139
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
suspek HIV/AIDS dalam menjalani 10. Babbie E., The Basics of Social
konseling dan tes. Juga diperlukan Research, Cengage Learning; 2013.
peningkatan kemampuan petugas 11. CDC, Guideline for the Prevention
kesehatan dalam melakukan VCT melalui and Treatment of Oportunistic
pelatihan. Peneliti lainnya yang tertarik Infections in HIV-Infected Adults
melakukan penelitian tentang VCT pada and Adolescents, Tersedia dari:
suspek HIV/AIDS disarankan agar <www.cdc.gov2013> [Maret 2015].
memfokuskan pada kegiatan konseling dan 12. Conner M., Lawton R., Parker D.,
tes yang dilakukan. Chorlton K., Manstead A.S. dan
Stradling S., Application of the
DAFTAR PUSTAKA Theory of Planned Behavior to the
Prediction of Objectively Assessed
1. WHO, Scaling-up HIV Testing and Breaking of Posted Speed Limits,
Counseling Services: a Toolkit for British, Journal of Psychology; 2007.
Program Managers, Switzerland: vol. 98, no. 3, p.p. 429-453.
WHO Library Cataloguing-in- 13. Ditjen P. dan RI P.D., Laporan
Publication Data; 2005 Triwulan Situasi Perkembangan
2. KPA, Laporan Kasus HIV/AIDS, HIV/AIDS di Indonesia s/d 31
Provinsi Aceh: Komisi Desember 2009: Jakarta; 2015.
Penanggulangan AIDS; 2015. 14. Dyk A.V., HIV/AIDS; care and
3. Muijs D., Doing Quantitative counselling, South Africa: Pearson
Research in Education, 2nd ed, Education Ltd; 2008.
London: SAGE Publications; 2010 15. Febriana, Determinan keikutsertaan
4. Dachlan U., Panduan Lengkap Pelanggan Wanita Pekerja Seks
Structural Eqution Modeling, (WPS) dalam Program Voluntary
Semarang: Lentera Ilmu; 2014 Conseling and Testing (VCT),
5. Klinik VCT., Laporan Jumlah Kesehatan Masyarakat, No 8, Jurusan
Kunjungan VCT, Pidie: RSUD Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
Tgk.Chik Ditiro Sigli; 2015 Ilmu Keolahragaan: Universitas
6. Abamecha. F dan Godesso. A. (eds), Negeri Semarang; 2013.
Predicting Intention to Use 16. Ferdinand A., Metode Penelitian
Voluntary HIV Counseling and Manajemen: Pedoman Penelitian
Testing Services among Health untuk Penulisan Skripsi, Tesis, dan
Professionals in Jimma, Ethiopia, Disertasi Ilmu Manajemen,
Using the Theory of Planned Semarang: Badan Penerbit Universitas
Behavior, Journal Multidisciplinary Diponegoro; 2006.
Health; 2013. vol. 6, p.p 399-407. 17. Green L.W., Manual for Scoring
7. Achmat Z., Theory of Planned Socioeconomic Status for Research
Behavior, Masihkah Relevan?, on Health Behavior, Public Health
Tersedia dari: Reports; 1970. vol. 85, no. 9, p.p. 815.
<http://zakarija.staff.umm.ac.id/files/2 18. KPA, HIV dan AIDS Sekilas
0, 2010;10:12> Pandang, 2nd ed, Jakarta: Komisi
8. Arikunto S., Pendekatan, Prosedur Penanggulangan AIDS; 2007.
Penelitian Suatu Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta; 2010.
9. Armitage C.J. dan Conner M.,
Efficacy of the Theory of Planned
Behaviour: A Meta‐analytic Review,
British Journal of Social Psychology;
2011. vol. 40, no. 4, p.p. 471-499.

Epidemiologi 140
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72– 153

FAKTOR RISIKO FILARIASIS DI KABUPATEN ACEH JAYA

Filariasis Risk Factors in Aceh Jaya District

Mutia Ulfa Rahmad1, Aulina Adamy2, dan Asnawi Abdullah3


1,2,3
Magister Kesehatan Masyarakat, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh,
Aceh 23245
mutiaulfarahmad@gmail.com1, aulinaadamy@gmail.com2, asnawi.abdullalah@yahoo.com3

ABSTRAK

Latar Belakang: Filariasis merupakan salah satu penyakit menular yang meskipun tidak mematikan tetapi dapat
menyebabkan kecacatan permanen sehingga menurunkan produktivitas. Terdapat peningkatan kasus filariasis di
Aceh. Aceh Jaya merupakan salah satu kabupaten dengan kasus filariasis terbanyak. Tujuan penelitian ini untuk
menganalisis faktor risiko kejadian filariasis di Aceh Jaya. Metode: Penelitian ini menggunakan desain matched
case control 1:1. Kelompok kasus adalah semua pasien dengan filariasis, sementara kontrol adalah semua orang
yang tidak menderita filariasis. Sampel sebanyak 118 orang responden terdiri dari 59 kasus dan 59 kontrol. Hasil:
Analisis bivariat menunjukkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis adalah
“Lingkungan Fisik” yaitu Pemakaian Kawat Kasa OR = 4.13 (95% CI: 1.76-9.68), Konstruksi Dinding Rumah OR
= 3.94 (95% CI: 1.71-9.04), Konstruksi Plafon OR = 2.33 (95% CI:1.10-4.92), Genangan Air OR = 2.17 (95% CI:
1.03-4.59), dan Keberadaan Semak-semak OR = 4.97 (95% CI: 2.19-11.24), dan “Prilaku” yaitu Kebiasaan
Menggunakan Obat Nyamuk OR = 2.59 (95% 1.20-5.60). Dari analisis multivariat, faktor risiko yang paling
dominan adalah Konstruksi Dinding Rumah dengan OR= 3.69 (95% CI: 1.52-8, p-value 0.004) dan Keberadaan
Semak-semak dengan OR = 4.72; (95% CI: 2.01-11.06, p-value 0.000). Saran: Perlu dilakukan penelitian
selanjutnya mengenai faktor risiko filariasis mulai dari pemeriksaan vektor sampai dengan pemeriksaan darah
tepi pada malam hari sehingga dapat diidentifikasi jenis bddmikrofilaria yang terdapat di kabupaten Aceh Jaya.

Kata Kunci: Filariasis, Faktor Risiko, dan Aceh Jaya.

ABSTRACT

Background: Filariasis is one of the infectious diseases that although not deadly but can cause permanent
disability resulting in lower productivity. There is an increase in cases of filariasis in Aceh and Aceh Jaya is
one of the districts with the most cases of filariasis. The purpose of this study was to analyze the risk factors of
filariasis in Aceh Jaya. Methods: This study design used a matched case control 1:1. The case group was all
patients with filariasis, while the controls are all people who do not suffer from filariasis. Total sample is 118
respondents consisting of 59 cases and 59 controls. Results: Bivariate analysis showed that the risk factors
associated with the incidence of filariasis are “Physical Environment” variable measured by the Use of Wire
Netting OR = 4.13 (95% CI: 1.76-9.68), House Wall Construction OR = 3.94 (95% CI: 1.71-9.04), Ceiling
Construction OR= 2.33 (95% CI: 1.10-4.92), Puddle Near House OR = 2.17 (95% CI: 1.03-4.59), Existence of
Bushes OR = 4.97 (95% CI: 2:19-11:24), and “Behavior” variable measured by the Using of Insect Repellent
OR = 2.59 (95% CI: 1.20-5.60). Results from multivariate analysis showed the most dominant risk factor are
House Wall Construction with OR = 3.69 (95% CI: 1.52-8, p-value 0.004) and Existence of Bushes with OR =
4.72 (95% CI: 2.01-11:06, p-value 0.000). Recommendations: Further research need to be done starting from
filariasis vectors inspection to peripheral blood examination so type of microfilariae in the district of Aceh
Jaya can be identified.

Keywords: Filariasis, Risk Factors, and Aceh Jaya.

Epidemiologi 141
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72– 153
PENDAHULUAN Jaya pada tahun 2014 dari 62 orang
penderita hanya 77% yang mendapat
Filariasis atau penyakit kaki gajah pengobatan dari pelayanan kesehatan5.
adalah penyakit menular menahun yang Dengan semakin meningkatnya
disebabkan oleh cacing filaria yang dapat masyarakat yang menderita filariasis di
ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk Aceh Jaya penting untuk mengetahui
antara lain nyamuk Mansonia, Anopheles, faktor-faktor risiko penyebab
Aedes, Culex, Armigeres1. Penyakit ini meningkatnya penyakit tersebut.
dapat merusak system limfe, menimbulkan
pembengkakan pada tangan, kaki, glandula METODE PENELITIAN
mammae, dan scrotum. Dapat juga
menimbulkan cacat seumur hidup serta Penelitian ini merupakan penelitian
stigma sosial bagi penderita dan kuantitatif menggunakan studi mached
keluarganya. Hasil penelitian Departemen case control (kasus control) digunakan
Kesehatan Masyarakat, Universitas untuk melihat faktor risiko kejadian
Indonesia tahun 1998 menunjukkan bahwa filariasis dengan perbandingan 1:1.
biaya perawatan yang diperlukan seorang Matched dilakukan pada umur dan jenis
penderita filariasis per tahun sekitar 17,8% kelamin. Sampel dalam penelitian faktor
dari seluruh pengeluaran keluarga atau risiko filariasis adalah 118 orang yang
32.3% dari biaya makan keluarga2. terdiri dari 59 orang kasus yaitu penderita
Filariasis tersebar luas hampir di filariasis dan 59 orang sebagai kontrol
seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan yaitu bukan penderita filariasis. Data
data jumlah kasus klinis filariasis yang diambil dengan dengan wawancara dan
dilaporkan dari tahun ke tahun observasi. Analisis data untuk mengetahui
menunjukkan adanya peningkatan. Dalam faktor risiko dilakukan melalui statistik
10 tahun terakhir dari tahun 2.000 jumlah univariate, bivariate, dan multivariate
kasus yang dilaporkan sebanyak 6.233 dengan regresi logistik.
kasus, meningkat pada tahun 2009
sebanyak 11.914 kasus. Tiga provinsi HASIL
dengan kasus terbanyak berturut-turut
adalah pemerintah Aceh sebanyak 2.359 Dari hasil penelitian pada Tabel 1,
orang, Nusa Tenggara Timur 1.730 orang, menunjukkan variabel yang berhubungan
dan Papua sebanyak 1.158 orang. Di dengan kejadian filariasis adalah
Indonesia penyakit tersebut lebih banyak Pemakaian Kawat Kasa (p-value 0.001),
ditemukan di pedesaan3. Konstruksi Dinding Rumah (p-value
Kasus filariasis di Aceh cukup banyak 0.001), Konstruksi Plafon (p-value 0.027),
dan tersebar pada 23 kabupaten/kota. Pada Genangan Air (p-value 0.041), Semak-
tahun 2014 terdapat 457 penderita semak (p-value 0.000), dan kebiasaan
filariasis, kemudian pada tahun 2015 Menggunakan Obat Nyamuk (p-value
sampai bulan Juni terdapat 443 kasus 0.015).
dengan 23 diantaranya merupakan kasus Variabel-variabel yang memiliki nilai
baru4. Kabupaten Aceh Jaya merupakan p-value ≤0.25 atau secara substansi
salah satu kabupaten dengan kasus dianggap perlu dimasukkan sebagai faktor
filariasis terbanyak selain dari Aceh Besar risiko kemudian dilanjutkan ke analisis
dan Lhokseumawe dengan jumlah multivariate. Hasil analisis multivariate
penderita filariasis pada tahun 2013 adalah menunjukkan kondisi Konstruksi Dinding
59 orang, meningkat menjadi 62 orang Rumah kurang p-value 0.004 dan OR =
pada tahun 2014, sedangkan pada tahun 3.69 (95% CI 1.52-8.95), adanya Semak-
2015 adalah 59 orang5. Cakupan semak di sekitar rumah p-value 0.000 dan
pengobatan filariasis di kabupaten Aceh OR = 4.72 (95% CI 2.01-11.06)

Epidemiologi 142
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72– 153
merupakan faktor yang dominan dengan kejadian filariasis.

Tabel 1. Analisis Bivariat Faktor Risiko Filariasis di Kabupaten Aceh Jaya

Variabel dan Indikator Odd Ratio (95% CI) p-value


Lingkungan Fisik
Pemakaian kawat kasa 4.13 (1.76-9.68) 0.001
Konstruksi dinding rumah 3.94 (1.71-9.04) 0.001
Konstruksi plafon 2.33 (1.10-4.92) 0.027
Genangan air 2.17 (1.03-4.59) 0.041
Semak-semak 4.97 (2.19-11.24) 0.000
Keberadaan rawa-rawa 1.35 (0.63-.91) 0.437
Lingkungan Biologi
Tanaman air 1 (0.38-2,61) 1.00
Ikan predator 3.80 (0.99-14) 0.051
Lingkungan Sosial
Pekerjaan 1.57 (0.73-3.40) 0.245
Pekerjaan 1.98 (0.95-4.12) 0.067
Perilaku
Kebiasaan Keluar Malam 1.50 (0.72-3.12) 0.268
Kebiasaan Menggunakan Obat Nyamuk 2.59 (1.20-5.60) 0.015
Kebiasaan Menggunakan Pakaian 1.98 (0.95-4.12) 0.067
pelindung Menggunakan Kelambu
Kebiasaan 0.65 (0.10-4.06) 0.650

PEMBAHASAN dengan nyamuk penular filariasis,


sehingga meningkatkan risiko terjadinya
Lingkungan Fisik penularan filariasis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan rumah yang
Berdasarkan nilai OR = 4.13 dapat ventilasinya terpasang kawat kasa.
disimpulkan orang yang ventilasi Hasil analisis bivariat diperoleh
rumahnya tidak terpasang kawat kasa akan OR = 3.94 dan p-value 0.001, hal ini dapat
lebih berisiko menderita filariasis 4.13 kali disimpulkan bahwa orang yang dinding
lebih besar dibanding dengan orang yang rumahnya kurang rapat memiliki risiko
ventilasi rumahnya terpasang kawat kasa menderita filariasis 3.9 kali lebih besar
dan dengan p-value 0.001 maka secara dibandingkan dengan responden yang
statistik variabel ini bermakna. Hal ini dinding rumahnya baik.
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hasil analisis bivariat diperoleh nilai
oleh Ardias6 yang menemukan ada OR = 2.23 dan p-value 0.027 yang
hubungan yang bermakna antara menunjukkan bahwa orang yang rumahnya
pemasangan kawat kasa pada ventilasi tidak terpasang plafon memiliki risiko
dengan kejadian filariasis (p-value 0.013 menderita filariasis 2.33 lebih besar
dan OR = 27.2). Penelitian lainnya oleh dibandingkan dengan orang yang
Juriastuti7 juga menunjukkan ada rumahnya terpasang palfon. Penelitian ini
hubungan antara pemakaian kawat kasa sejalan dengan penelitian sebelumnya8
dengan kejadian filariasis (p-value 0.005 yang menunjukkan ada hubungan
dan OR = 7.2). konstruksi plafon rumah dengan kejadian
Dengan tidak adanya kasa nyamuk filariasis (p-value 0.005; OR = 7.2).
pada ventilasi rumah maka memudahkan Dengan tidak adanya plafon pada rumah
nyamuk masuk ke dalam rumah pada maka memudahkan masuknya nyamuk ke
malam hari. Hal ini memudahkan dalam rumah. Hasil analisis bivariat
terjadinya kontak antara penghuni rumah diperoleh OR = 2.17; p-value 0.041 dapat

Epidemiologi 143
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72– 153
disimpulkan bahwa orang yang di penelitian ikan predator (OR = 3.8; p-value
sekeliling rumahnya terdapat genangan air 0.051). Lingkungan biologi dapat menjadi
lebih berisiko menderita filariasis 2.17 kali rantai penularan filariasis, contoh
lebih besar dibandingkan dengan orang lingkungan biologi adalah adanya tanaman
yang disekeliling rumahnya tidak ada air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk
genangan air. Hasil penelitian ini Mansonia spp2. Tidak adanya hubungan
mendukung penelitian yang dilakukan antara keberadaan tanaman air dengan
penelitian Paiting9 yang menyatakan ada kejadian filariasis dalam penelitian ini
hubungan antara genangan air dengan disebabkan keberadaan tanaman air pada
filariasis (p-value 0.045; OR = 6). kasus dan kontrol menunjukkan proporsi
Faktor lingkungan memegang peranan yang sama.
penting terhadap kejadian filariasis.
Genangan air seperti selokan atau air Sosial Budaya
limbah rumah tangga yang tergenang di
sekitar rumah dapat menjadi tempat Hasil analisis bivariat menunjukkan
perindukan vektor Mansonia sebagai salah bahwa tidak ada hubungan antara
satu penular filariasis. Hasil analisis lingkungan sosial dengan kejadian
bivariat menunjukkan p-value 0.000 dan filariasis. Hal ini dapat dilihat dari faktor
OR = 4.9 sehingga dapat disimpulkan jenis pekerjaan dengan nilai p-value 0.245.
bahwa risiko menderita filariasis pada Di kabupaten Aceh Jaya pada umumnya
orang yang di sekeliling rumahnya memiliki pekerjaan yang berisiko sehingga
terdapat semak-semak 4.97 kali lebih besar peluang terjadinya kontak dengan nyamuk
bila dibandingkan dengan orang yang baik pada kasus dan pada kontrol memiliki
disekeliling rumahnya tidak ada semak- proporsi yang hampir sama. Faktor
semak. Hasil penelitian ini memperkuat pengetahuan juga tidak berhubungan
penelitian Windiastuti10 menyatakan ada dengan kejadian filariasis (p-value 0.067).
hubungan keberadaan semak-semak Hasil penelitian ini sejalan dengan
dengan kejadian filariasisi (p-value 0.025 penelitian Ardias7 yang menyatakan tidak
dan OR = 2.70). ada hubungan antara pengetahuan dengan
Hasil analisis bivariat diperoleh nilai p- kejadian filariasis (p-value 0.07; OR =
value 0.43 dan OR = 1.3 menunjukkan 0.33). Dalam penelitian ini proporsi
tidak terbukti secara statistik berhubungan responden yang memiliki pengetahuan
dengan kejadian filariasis. Penelitian ini baik pada penderita filariasis (57.5%) lebih
tidak sejalan dengan penelitian yang tinggi bila dibandingkan dengan bukan
dilakukan oleh Uloli and Sumarni12 yang penderita filariasis (40.7%), hal ini dapat
menemukan adanya hubungan antara disebabkan karena penderita filariasis telah
rawa-rawa dengan kejadian filariasis (p- mendapat informasi tentang penyakit
value 0.049; OR = 2.2). filariasis sehingga tidak menunjukkan
hubungan yang signifikan antara
Lingkungan Biologi pengetahuan dengan filariasis.

Hasil analsis bivariat menunjukkan Perilaku


tidak ada hubungan antara lingkungan
biologi meliputi tanaman air (OR = 1; p- Hasil analisis bivariat diperoleh nilai
value 1) dan dapat disimpulkan risiko OR = 2.59 dan p-value 0.015, sehingga
menderita filariasis pada yang tidak Ardias7, menemukan ada hubungan antara
menggunakan obat nyamuk memiliki kebiasaan menggunakan obat nyamuk
risiko menderita filariasis 2.59 kali lebih dengan kejadian filariasis (p-value 0.001
besar dibandingkan dengan responden dan OR = 11.6). Penelitian yang sama
yang menggunakan obat nyamuk dan yang dilakukan oleh Febrianto11 diketahui
secara statistik bermakna. Sama dengan bahwa kebiasaan tidak menggunakan
Epidemiologi 144
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72– 153
obat anti nyamuk malam hari ada Seseorang yang tinggal di dalam
hubungan dengan kejadian filariasis (p- rumah dengan kondisi dinding rumah
value 0.03 dan OR = 6.3). Pemakaian obat kurang rapat berisiko menderita filariasis
nyamuk merupakan salah satu bentuk 3.69 kali lebih besar dibandingkan dengan
upaya pencegahan filariasis yaitu dengan orang yang tinggal di dalam rumah dengan
melakukan kegiatan penyemprotan dengan kondisi dinding baik dan seseorang yang
insektisida dan penggunaan obat nyamuk disekitar rumahnya terdapat semak-semak
bakar. lebih berisiko menderita filariasis 4.72 kali
Berdasarkan analisis bivariat diperoleh lebih besar bila dibandingkan rumah yang
nilai OR = 1.50 dan p-value 0.268, dapat tidak ada semak-semak.
disimpulkan orang yang memiliki Agar penyakit filariasis dapat
kebiasaan keluar rumah pada malam hari dikurangi maka Dinas Kesehatan dan
bukan lah risiko untuk menderita filariasis. Puskesmas perlu melakukan koordinasi
Penelitian ini sejalan dengan penelitian dengan lintas sektor dalam pembangunan
Santoso15 yang menyatakan tidak ada rumah dhuafa bagi masyarakat miskin
hubungan antara kebiasaan keluar rumah serta memberi bantuan memperbaiki
dengan kejadian filariasis. kondisi fisik rumah yang tidak sehat.
Kebiasaan menggunakan pakaian
pelindung juga tidak memiliki hubungan DAFTAR PUSTAKA:
dengan kejadian filariasis (p-value 0.067).
Analisis bivariat juga menunjukkan tidak 1. Chin, J., Manual Pemberantasan
ada hubungan antara pemakaian kelambu Penyakit Menular, 17 Cetakan II ed.
dengan kejadian filariasis (p-value 0.650 Kandun IN, editor, Jakarta: CV. Info
dan OR = 0.65) sehingga dapat Medika; 2006.
disimpulkan penggunaan kelambu 2. Kemenkes, Peraturan Menteri
merupakan faktor protektif atau mencegah Kesehatan Republik Indonesita No
filariasis. Penelitian ini sejalan dengan 94 Tahun 2014 tentang
penelitian Syuhada11 yang menyatakan Penanggulangan Filariasis, Jakarta:
tidak ada hubungan antara pemakaian Kementrian Kesehatan Republik
kelambu dengan kejadian filariasis. Indonesia; 2015.
3. Kemenkes, Mengenal Filariasis
KESIMPULAN DAN SARAN (Kaki Gajah), Jakarta: Direktorat
Pengendalian Penyakit Bersumber
Berdasarkan hasil analisis regresi Binatang, Dirjen P2PL; 2010.
logistik dimulai dari pemilihan variabel 4. Dinkes Aceh, Data Penderita
terpilih ke analisis multivariat sampai ke Filariasis; 2015.
model akhir, maka diketahui faktor risiko 5. Dinkes Aceh Jaya, Profil Kesehatan
kejadian filariasis yaitu pemakaian kawat Aceh Jaya, Calang: Dinkes
kasa, konstruksi dinding rumah, semak- Kabupaten Aceh Jaya; 2015.
semak, ikan predator, pekerjaan, 6. Ardias, A., Setiani, O., dan Darundiati,
pengetahuan, kebiasaan menggunakan Y.H, 'Faktor Lingkungan dan
obat nyamuk, dan kebiasaan menggunakan Perilaku Masyarakat yang
pakaian pelindung. Setelah diuji, dari 8 Berhubungan dengan Kejadian
faktor yang berhubungan tersebut maka Filariasis di Kabupaten Sambas',
yang paling dominan kemungkinan Jurnal Kesehatan Lingkungan
berperan terhadap kejadian filariasis Indonesia; 2013. vol. 11, no. 2, p.p.
adalah konstruksi dinding rumah dengan 199-207.
p-value 0.004 dan OR = 3.69 (95% CI: 7. Juriastuti, P., Kartika, M., Djaja, I.M.
1.52-8.95) dan keberadaan semak-semak dan Susanna, D., Faktor risiko
dengan p-value 0.000 dan OR = 4.72 kejadian filariasis di Kelurahan Jati
(95% CI: 2.01-11.06).
Epidemiologi 145
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72– 153
Sampurna, Makara Kesehatan; 2010.
vol. 14, no. 1, p.p. 31-6.
8. Paiting, Y.S., Setiani, O., dan
Sulistiyani, S., 'Faktor Risiko
Lingkungan dan Kebiasaan
Penduduk Berhubungan Dengan
Kejadian Filariasis di Distrik
Windesi Kabupaten Kepulauan
Yapen Provinsi Papua', Jurnal
Kesehatan Indonesia; 2012. vol. 11,
no. 1, p.p. 76-81.
9. Windiastuti, I.A., Suhartono, S. dan
Nurjazuli, N., 'Hubungan Kondisi
Lingkungan Rumah, Sosial
Ekonomi, dan Perilaku Masyarakat
dengan Kejadian Filariasis di
Kecamatan Pekalongan Selatan
Kota Pekalongan', Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia; 2013. vol. 12,
no. 1, p.p. 51-7.
10. Masrizal, M., 'Penyakit Filariasis',
Jurnal Kesehatan Masyarakat,
Andalas; 2012. vol. 7, no. 1.
11. Febrianto, B. dan Widiarti, W.,
'Faktor Risiko Filariasis di Desa
Samborejo, Kecamatan Tirto,
Kabupaten Pekalongan Jawa
Tengah, Buletin Penelitian Kesehatan;
2008. 36 (2 Jun).
12. Santoso, S., Sitorus, H. dan Oktarina
R., 'Faktor Risiko Filariasis di
Kabupaten Muaro Jambi', Buletin
Penelitian Kesehatan; 2013. vol. 41,
(3 Sep), p.p. 152-62.

Epidemiologi 146
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

ANALISIS PEMBIAYAAN/BELANJA TERHADAP PENDERITA


CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) YANG DIRAWAT INAP DI
RUMAH SAKIT dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

Cost Analysis for Hospitalized Chronic Kidney Disease Patients in dr. Zainoel Abidin
Hospital Banda Aceh

Syarkawi1, Taufiq A. Rahim2, dan Irwan Saputra3


1,2
Magister Kesehatan Masyarakat, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh, Aceh 23245
1
cekwie@yahoo.com, 2guhamierah@gmail.co, 3iwan.bulba@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang: Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) merupakan
penyakit yang sangat serius di antara beberapa penyakit lain di dunia saat ini. Hal tersebut dapat berimplikasi
terhadap peningkatan biaya kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pembiayaan/belanja
terhadap penderita CKD yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin (RSUZA). Metode:
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan cross-sectional design. Populasi dalam penelitian ini semua
pasien CKD yang dirawat inap di RSUZA tahun 2016. Sampel diambil sebanyak 50 orang dari total populasi
461 orang dengan menggunakan teknik simple random sampling. Hasil: Dari hasil penelitian, total tarif ina-
CBGs Rp. 661.685.089.00, total biaya belanja pasien selama dirawat inap Rp. 49.535.000.00, dan tarif rumah
sakit Rp. 930.698.811.00, sedangkan total opportunity cost pendamping Rp. 26.205.000.00, dan total
opportunity cost pasien Rp. 112.420.000.00. Hasil uji statistik diperoleh tidak ada perbedaan biaya langsung dan
biaya tidak langsung dengan variabel-variabel yang diteliti nilai p-value >0.05. Kesimpulan: Total biaya Ina-
CBGs pada 50 pasien CKD yang dirawat inap di RSUZA adalah sebesar Rp. 661.685.089.00. Besarnya biaya
pengobatan pada pasien CKD dilihat berdasarkan Severity Level penyakit dan Length of Stay (LOS) pasien.

Kata Kunci: Cronic Kidney Disease (CKD), Tarif Ina-CBGs, Biaya Langsung, dan Biaya Tidak Langsung

ABSTRACT

Background: Chronic Kidney Disease (CKD) or End Stage Renal Disease (PGTA) is a very serious disease
among some other disease in the world today. This could have implications on the rising of health care costs.
The purpose of this study was to determine the funding/spending on patients with CKD who are hospitalized in
the Hospital dr. Zainoel Abidin (RSUZA). Methods: This study used a descriptive analytic cross-sectional
design. The population in this study was all patients with CKD who are hospitalized in RSUZA in the year of
2016. Samples taken as many as 50 people from a total population of 461 people by using simple random
sampling technique. Results: The research results shows that total of Ina-CBGs rates Rp. 661.685.089.00, total
hospital fare Rp. 930.698.811.00, total expenditures for hospitalized patients Rp. 49.535.000.00, total
companion opportunity cost Rp. 26.205.000.00, and total patients opportunity cost Rp. 112.420.000.00.
Statistical test results obtained that there is no difference in direct costs and indirect costs to the variables
studied with p-value >0.05. Conclusion: The total cost Ina-CBGs for 50 CKD patients who are hospitalized in
RSUZA were Rp. 661.685.089.00. The cost of treatment in CKD patients can be seen by Severity Level diseases
and Length of Stay (LOS) patients.

Keywords: Cronic Kidney Disease (CKD), Ina-CBGs Rates, Direct Cost, and Indirect Cost

Administrasi Kesehatan Masyarakat 147


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
PENDAHULUAN pelayanan kesehatan yang bermutu dengan
biaya yang terkendali. Dalam
Chronic Kidney Disease (CKD) implementasi JKN telah diatur pola
merupakan masalah kesehatan di dunia, pembayaran kepada fasilitas kesehatan
dilihat dari terjadinya peningkatan insiden, tingkat lanjutan dengan Indonesia Case
prevalensi, dan tingkat morbiditas, serta Base Groups (INA-CBGs).
tingginya biaya yang dikeluarkan dalam Di provinsi Aceh, berdasarkan
proses pengobatan sehingga menjadi informasi yang telah diperoleh di ruang
fenomena gunung es yang menutupi instalasi hemodialisis Rumah Sakit Umum
penyakit ini1. Menurut WHO, sebanyak 36 dr. Zainoel Abidin (RSUZA) diketahui
juta warga dunia meninggal akibat CKD jumlah penderita dengan Chronic Kidney
dari tahun 2009 sampai 2011, dan lebih Disease (CKD) yang memerlukan dialisis
dari 26 juta orang dewasa di Amerika atau sebanyak 156 pasien pada tahun 2012 dan
sekitar 17% dari populasi orang dewasa mengalami peningkatan menjadi 192
terkena CKD3. CKD dapat berimplikasi pasien pada tahun 2013. Selanjutnya dari
terhadap peningkatan biaya kesehatan tahun 2014 sampai dengan 2015
diperkirakan sebesar $14.000 sampai meningkat lagi dari 335 menjadi 462
$22.000 per pasien per tahun4. Pada pasien. Sementara kendala utama dalam
stadium akhir penyakit ginjal sangat mengobati penderita CKD adalah
membutuhkan dialisis atau transplantasi pengeluaran biaya yang cukup tinggi
ginjal yang mencapai lebih dari 1.4 juta dalam proses tindakan dialisis yang
dengan kejadian sekitar 8% per tahun di berlangsung lama. Pada dasarnya
seluruh dunia. Total pengeluaran untuk penanganan penderita CKD di RSUZA di
perawatan pasien dengan End Stage Renal tanggung oleh asuransi Jaminan Kesehatan
Disease (ESRD) dari tahun 2007 sampai Rakyat Aceh (JKRA) yang terintegrasi ke
dengan tahun 2009 berkisar 25 milyar dalam JKN.
dolar5.
Dari aspek pembiayaan makro METODE PENELITIAN
ekonomi diketahui bahwa semakin tinggi
tingkat pendapatan suatu negara maka Penelitian ini bersifat deskriptif
semakin besar negara itu mengeluarkan analitik mengetahui pembiayaan/belanja
biaya kesehatan. Negara yang termasuk terhadap pasien CKD selama dirawat inap
negara tingkat menengah dan negara maju di RSUZA tahun 2016. Populasi dalam
menanggung beban sekitar 60% belanja penelitian ini adalah seluruh pasien CKD
kesehatannya atau sekitar 5% Gross yang dirawat inap di RSUZA. Dengan
National Product (GNP), sedangkan di menggunakan rumus lameshow diperoleh
negara yang sedang berkembang sekitar sampel berjumlah 50 orang dari total
50% atau sekitar 2% GNP. Meskipun populasi 461 pasien CKD dan pemilihan
demikian, hasil dari setiap dolar yang sampel dilakukan dengan dengan teknik
dikeluarkan setiap negara tidak simple random sampling. Analisa data
memberikan dampak yang sama karena dilakukan dengan menggunakan metode
tingginya belanja kesehatan belum tentu deskriptif kuantitatif. Data dalam
memberi dampak pada status kesehatan penelitian ini dianalisis menggunakan Uji
yang tinggi pula6. Anova dan uji t-test independent dengan α
Dengan adanya era Jaminan Kesehatan = 0.05.
Nasional (JKN) di Indonesia yang
penerapannya melalui suatu mekanisme HASIL
asuransi sosial dengan prinsip kendali
biaya dan mutu, yakni integrasinya Hasil penelitian dapat dilihat pada
Tabel 1 di bawah ini:

Administrasi Kesehatan Masyarakat 148


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

Tabel 1. Total Pembiayaan Pasien CKD

Pembiayaan/Belanja Pada Pasien CKD Jumlah Biaya (Rp)


Total Biaya Langsung (biaya tarif Ina-CBGs + biaya belanja pasien) 710.281.089.00
Tarif Ina-CBGs 661.685.089.00
Biaya Belanja Pasien 49.535.000.00
Tarif Rumah Sakit 930.698.811.00
Total Biaya Tidak Langsung (Opportunity Cost pasien + Opportunity 138.625.000.00
Cost)
Opportunity Cost Pendamping 26.205.000.00
Opportunity Cost Pasien 112.420.000.00

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar Rp. 930.698.811.00. Untuk total


total biaya langsung yang terdiri dari (tarif opportunity cost pendamping Rp.
Ina-CBGs dan belanja pasien) pada pasien 26.205.000.00 dan opportunity cost pasien
CKD sebesar 710.281.089.00. Total tarif Rp. 112.420.000.00 pada 50 pasien CKD
Ina-CBGs Rp. 661.685.089.00 dan total yang dirawat inap di RSUZA pada tahun
belanja pasien Rp. 49.535.000.00. Total 2016.
tarif rumah sakit pada penelitian ini

Tabel 2. Total Tarif Ina-CBGs pada Pasien CKD Berdasarkan Severity Level

Saverity Level n % Biaya Ina-CBGs (Rp)


Saverity Level I 10 20 132.337.017.80
Saverity Level II 20 40 264.674.035.60
Saverity Level III 20 40 264.674.035.60
Jumlah 50 100 661.685.089.00

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tariff Ina-CBGs Rp. 264.674.035.60


jumlah pasien CKD yang dirawat inap di dibandingkan dengan severity level I
RSUZA tahun 2016 lebih banyak pada hanya 10 pasien (20%) dengan total tarif
severity level II dan III masing-masing INA-CBGs sebesar Rp. 132.337.017.80.
berjumlah 20 pasien (40%) dengan total

Tabel 3. Total Tarif Ina-CBGs pada Pasien CKD Berdasarkan Length of Stay (LOS)
dan Average Length of Stay (ALOS)

Severity Level n LOS ALOS Biaya Ina-CBGs (Rp)


Severity Level I 10 111 hari 5 hari 102.678.272.00
Severity Level II 20 160 hari 4 hari 189.250.017.00
Severity Level III 20 198 hari 5 hari 369.756.800.00
Total 661.685.089.00

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rp.369.756.800.00, dibandingkan severity


biaya tarif Ina-CBGs berdasarkan Length level II 160 hari dengan ALOS 4 hari
of Stay (LOS) tertinggi terdapat pada sebesar Rp.189.250.017.00.
pasien dengan tingkat severity level III
sebanyak 198 hari dengan Average Length
of Stay (ALOS) 5 hari sebesar

Administrasi Kesehatan Masyarakat 149


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Tabel 4. Tabel Distribusi Frekuensi pasien CKD lebih tinggi pada kelompok
pada Pasien CKD umur <55 tahun sebanyak 28 pasien (56%)
dibandingkan dengan kelompok umur >55
Variabel Frekuensi % tahun sebanyak 22 pasien (44%). Jumlah
Umur: laki-laki 30 pasien (60%) lebih tinggi dari
Kelompok Umur 22 56 pada perempuan yaitu 20 pasien (40%).
Kelompok Umur 28 44 Lebih banyak responden berpendidikan
Jenis Kelamin: menengah (52%), dan mayoritas berlatar
Laki-laki 30 60 belakang berkerja sebagai swasta (42%).
Perempuan 20 40 Berdasarkan waktu tempuh, mayoritas
Pendidikan: responden memerlukan waktu tempuh <60
Tinggi 10 20 menit (50%) dan >120 menit (42%).
Menengah 26 52 Berdasarkan hasil uji statistik rata-rata
Dasar 14 28 biaya langsung lebih tinggi pada pasien
Pekerjaan: dengan kelompok umur <55 tahun yaitu
PNS 12 24
Rp. 14.245.081.82, dan biaya tidak
Swasta 21 42
10
langsung Rp. 3.246.522. Dilihat
IRT 20
Petani 4 8 berdasarkan jenis kelamin lebih tinggi
Mahasiswa 3 6 pada pasien laki-laki dibandingkan dengan
Waktu Tempuh: pasien perempuan yaitu sebesar Rp.
<60 Menit 25 50 15.341.792.97, sama halnya dengan biaya
60-120 Menit 4 8 tidak langsung lebih tinggi pada pasien
<120 Menit 21 42 laki-laki sebesar Rp. 3.513.793.
Hasil penelitian perbedaan rata-rata
Berdasarkan Tabel 4 distribusi pembiayaan pasien CKD dapat dilihat
frekuensi dapat dilihat bahwa jumlah pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbedaan Rata-rata Pembiayaan Pasien CKD

Variabel Biaya Langsung (Rp) p-value Biaya Tidak Langsung (Rp) p-value
Umur
Umur <55 tahun 14.174.617,46 0,9808 3.246.522,00 0,4225
Umur >55 tahun 14.245.081,82 1.788.571,00
Jenis Kelamin
Laki-Laki 15.341.792.97 0.3371 3.513.793.00 0.1365
Perempuan 12.501.365.00 688.666,70
Pendidikan
Tinggi 10.566.420.00 0.3709 1.006.250.00 0.6784
Menengah 15.873.526.00 2.502.727.30
Dasar 13.707.516.00 3.373.571.40
Pekerjaan
PNS 12.993.067.00 0.7162 1.116.666.70 0.419
Swasta 16.351.100.00 4.372.857.10
IRT 3.217.582.00 703.000.00
Petani 8.473.000.00 450.000.00
Mahasiswa 13.392.937.00 80.000.00
Waktu Tempuh
<60 Menit 12.846.084.00 0.3495 899.545.45 0.1164
60-120 Menit 10.377.650.00 335.000.00
>120 Menit 16.553.257.00 4.733.888.90

Administrasi Kesehatan Masyarakat 150


JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
Rata-rata biaya langsung dan tidak Perbedaan Biaya Langsung dan Tidak
langsung lebih tinggi pada pasien dengan Langsung berdasarkan Umur Pasien
pendidikan menengah, berkerja sebagai CKD
swasta dengan waktu tempuh >120 menit
dari rumah pasien dengan rumah sakit. Berdasarkan hasil penelitian pasien
Berdasarkan hasil uji t-test independen dan umur <55 tahun sebanyak 28 pasien (56%)
uji Anova dari masing-masing variabel dengan rata-rata biaya langsung sebesar
diketahui bahwa nilai p-value >0.05. Maka Rp. 14.174.617.46 dan biaya tidak
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat langsung Rp. 3.246.522 dibandingkan
perbedaan antara biaya langsung dan biaya pasien dengan kelompok umur >55 tahun
tidak langsung dengan umur, jenis kelamin, hanya 22 pasien (44%) dengan rata-rata
pendidikan, pekerjaan, dan waktu tempuh biaya langsung Rp. 14.174.617.46. Hasil
pada pasien CKD yang di rawat inap di analisis yang dilakukan dengan uji t-test
RSUZA tahun 2016. menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
signifikan antara umur pasien dengan
PEMBAHASAN biaya langsung p-value 0.9808 (p >0.05)
dan biaya tidak langsung p-value 0.4225
Total biaya langsung yang terdiri dari (p >0.05).
tarif Ina-CBGs dan belanja pasien; makan, Dari penelitian biaya langsung dan
minum dan transportasi pasien dan biaya tidak langsung tidak terdapat
pendamping pasien selama di rawat inap di perbedaan dengan umur pasien karena
RSUZA adalah sebesar Rp. biaya langsung yang terdiri dari tarif Ina-
710.281.089.00, total tarif Ina-CBGs CBGs ini di hitung berdasarkan severity
sebesar Rp. 661.685.089.00 dan total biaya level dan Length of Stay (LOS) pada
belanja pasien selama di rawat inap pasien. Semakin tua atau muda umur
sebesar Rp. 49.535.000.00. Rata-rata biaya pasien tidak akan berpengaruh terhadap
tarif Ina-CBGs pada pasien CKD sebesar tarif Ina-CBGs yang di klaim oleh
Rp. 13.233.701 dan rata-rata belanja yang pemerintah terhadap pihak BPJS. Menurut
dikeluarkan pasien sebesar Rp. 979.200.00. hasil peneliti penyakit CKD lebih banyak
Biaya Ina-CBGs berdasarkan Severity menyerang umur <55 tahun hal ini
Level penyakit pada pasien CKD lebih disebabkan pola gaya hidup, pekerjaan,
tinggi pada Severity Level II dan III yaitu dan pola asupan tubuh.
sebesar Rp. 264.674.035.60 dan Rp.
132.337.017.80 pada Severity Level I. Pembiayaan Belanja Pasien CKD
Berdasarkan Length of Stay (LOS), Berdasarkan Jenis Kelamin
bahwa jumlah LOS tertinggi terdapat pada
pasien dengan tingkat Severity Level III Berdasarkan data yang diperoleh
sebanyak 198 hari dengan ALOS adalah 5 jumlah pasien CKD lebih tinggi pada jenis
hari, pada Severity Level II sebanyak 190 kelamin laki-laki yaitu 30 pasien (60%)
hari dengan ALOS 4 hari, dan pada pasien dengan rata-rata biaya langsung sebesar
severity level I sebanyak 111 hari dengan Rp. 15.341.792.97 dan rata-rata biaya
ALOS 5 hari. tidak langsung Rp. 3.51.793 dibandingkan
Tarif Ina-CBGs merupakan sebuah dengan jenis kelamin perempuan hanya 20
sistem untuk menentukan tarif standar yag pasien (40%) dengan rata-rata biaya
digunakan oleh rumah sakit sebagai langsung Rp. 12.501.365 dan biaya tidak
referensi biaya klaim ke pemerintah selaku langsung Rp. 688.666.7.
pihak BPJS atas biaya pasien BPJS. Hasil analisis yang dilakukan dengan
uji t-test menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan signifikan antara jenis kelamin
pasien dengan biaya langsung p-value
0.3371 (p >0.05) dan biaya tidak langsung
Administrasi Kesehatan Masyarakat 151
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153
p-value 0.1365 (p >0.05). Hal ini di biaya tidak langsung yang hilang dari
sebabkan karena biaya langsung yang pasien dan pendamping, karena besar
terdiri dari tarif Ina-CBGs dan biaya kecilnya pendapatan pasien dan
belanja pasien, jumlah biaya tarif Ina- pendamping yang hilang dilihat
CBGs dilihat berdasarkan severtity level berdasarkan jenis pekerjaan dan lamanya
penyakit pada pasien dan lama pasien di pasien dan pendamping tidak berkerja
rawat, jadi jenis kelamin pasien tidak selama pasien di rawat inap di rumah sakit
berpengaruh terhadap biaya Ina-CBGs karena menderita penyakit CKD.
yang dibiayai oleh pemerintah melalui
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Perbedaan Biaya Langsung dan Tidak
Langsung Berdasarkan Waktu Tempuh
Perbedaan Biaya Langsung dan Tidak dari Rumah Pasien dengan Rumah
Langsung Berdasarkan Pendidikan Sakit pada Pasien CKD
Pasien CKD
Berdasarkan uji statistik menggunakan
Berdasarkan hasil uji statistik rata-rata uji anova didapatkan nilai p-value 0.3496
biaya langsung sebagian besar lebih tinggi dan nilai p >0.05, maka tidak terdapat
pada pasien yang berpendidikan menengah perbedaan biaya langsung dengan waktu
sebesar Rp. 15.873.526 dibadingkan tempuh antara rumah pasien dengan rumah
dengan pendidikan tinggi dan dasar, serta sakit pada pasien CKD yang di rawat di
rata-rata biaya tidak langsung juga lebih RSUZA pada tahun 2016.
tinggi pada pasien dengan pendidikan Jarak rumah pasien yang jauh dari
menengah yaitu Rp. 2.502.727.3. Hasil uji rumah ke rumah sakit memerlukan biaya
anova nilai p-value biaya langsung 0.3709, yang lebih tinggi karena menyangkut
dan biaya tidak langsung p-value 0.6784, biaya transportasi, konsumsi dan
jadi tidak terdapat perbedaan antara biaya penginapan disamping itu pasien dan
langsung dan biaya tidak langsung dengan pendamping kehilangan waktu produktif
pendidikan pasien karena nilai p >0.05. selama pasien di rawat di rumah sakit.
Hal ini disebabkan karena tarif Ina-
CBGs dihitung berdasarkan severity level KESIMPULAN
dan lamanya perawatan yang dijalani oleh
pasien. Hal ini menunjukkan bahwa Total biaya INA-CBGs pada 50 pasien
pendidikan seseorang tidak mempengaruhi CKD yang dirawat inap di RSUZA adalah
seberapa besar biaya tidak langsung yang sebesar Rp. 661.685.089.00, besarnya
hilang dari pasien dan pendamping. biaya pengobatan pada pasien CKD dilihat
berdasarkan Severity Level penyakit dan
Perbedaan Biaya Langsung dan Tidak Length of Stay (LOS) pasien. Biaya yang
Langsung Berdasarkan Pekerjaan dikeluarkan lebih besar pada pasien
Pasien CKD severity level II dan III masing-masing
sebesar Rp. 264.674.035.60 dan Rp.
Rata-rata biaya langsung lebih tinggi 132.337.017.80 pada severity level I.
pada pasien yang berkerja sebagai swasta Berdasarkan LOS tertinggi terdapat pada
sebesar Rp. 16.351.100.00, hal ini pasien dengan lama di rawat 198 hari
disebabkan oleh proporsi swasta lebih sebesar Rp. 369.756.800.00, dibandingkan
tinggi dibandingkan dengan pekerjaan dengan LOS 160 hari sebesar Rp.
lainnya. Berdasarkan hasil uji statistik 189.250.017.00, dan LOS 111 hari sebesar
menggunakan uji Anova nilai p-value Rp. 102.678.272.00. Besarnya biaya yang
biaya langsung 0.7162 dan biaya tidak dikeluarkan untuk penderita CKD dapat
langsung p-value 0.419. menyebabkan masalah ekonomi bagi
Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan rumah sakit, penderita CKD, keluarga
seseorang mempengaruhi seberapa besar penderita CKD dan pemerintah.
Administrasi Kesehatan Masyarakat 152
JUKEMA
Vol. 2, No. 2, Oktober 2016: 72 – 153

DAFTAR PUSTAKA

1. Jafar, T., M. Islam dan N. Poulter.,


Chronic Kidney Disease in the
Developing World, Natural Engl
Journal Med; 2006. vol. 354, no. 10,
p.p. 998-999.
2. Stevens, L.A., et al., 'Prevalence of
CKD and Comorbid Illness In
Elderly Patients in the United States:
Results From the Kidney Early
Evaluation Program (KEEP)',
American Journal of Kidney Diseases;
2010. vol. 55, no. 3, p.p. S23-S33.
3. Indriani et. al., 'Drug Related
Problems Evaluation of Chronic
Kidney Disease Patients in Inpatient
Department of Fatmawati General
Hospital', Journal of Management
and Pharmacy Practice; 2013.
4. Indriani, L., A. Bahtiar, and R.
Andrajati, 'Drug Related Problems
Evaluation of Chronic Kidney
Disease Patients in Inpatient
Department of Fatmawati General
Hospital', Journal of Management
and Pharmacy Practice; 2013. vol. 3,
no. 1, p.p. 39-45.
5. Yuliana, P., A. Pristiana Dewi, danY.
Hasneli, Hubungan Karakteristik
Keluarga dan Jenis Penyakit
terhadap Pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan; 2013.

Administrasi Kesehatan Masyarakat 153


JUKEMA
Vol. 0, No. 0, Februari 2000: 0 - 0

JUDUL DALAM BAHASA INDONESIA (ALL CAPS, 14 POINT FONT,


BOLD, CENTERED)
(kosong satu spasi tunggal,14 pt)
Judul dalam Bahasa Inggris, Title Case, (13 pt, Italic, Centered)
(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Penulis Pertama1, Penulis Kedua2 dan Penulis Ketiga3(12 pt, Centered, Bold)
1
Nama Jurusan/Fakultas, Nama Universitas/Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (Title Case,
10 pt, centered)
2
Nama Jurusan/Fakultas, Nama Universitas/Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (Title Case,
10 pt, centered)
3
Nama Jurusan/Fakultas, Nama Universitas/Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (Title Case,
10 pt, centered)
1
alamat@email, 2alamat@email, 3alamat@email
(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
ABSTRAK (12 pt, BOLD, CAPITAL)
(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Untuk naskah dalam bahasa Indonesia, abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan
jenis huruf Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal. Untuk naskah dalam bahasa Inggris, abstraknya
tidak perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Abstrak sebaiknya menyatakan Masalah Penelitian,
Tujuan Penelitian, Metode, Hasil, Saran dan jumlah kata tidak melebihi 250 kata.
(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Kata kunci: Maksimum 5 Kata Kunci, 10 pt, Title Case
(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
ABSTRACT (12 pt, BOLD, CAPITAL)
(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
For manuscript in Indonesian, abstract should be written in Indonesian and English using Times New
Roman font, size 10 pt, and single spacing, completed with English title written in bold at the beginning of
the English abstract. No need to translate the abstract of manuscript written in English into Indonesian. The
abstract should state Research Problem, Research Objectives, Methods, Results, Recommendation. The
abstract should be no more than 250 words.
(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Keywords: Maksimum 5 Kata Kunci, Dalam Bahasa Inggris, 10 pt, Italic,Title Case
(kosong dan lanjut ke lembar berikutnya)

Template JUKEMA Halaman


JUKEMA
Vol. 0, No. 0, Februari 2000: 0 - 0

PENDAHULUAN (12 pt, BOLD, Kapital kecuali kata sambung). Jarak antara
CAPITAL) paragraf adalah satu spasi tunggal.
(kosong satu spasi,12 pt) Penggunaan catatan kaki/footnote sebisa
Petunjuk penulisan ini dibuat untuk mungkin dihindari.
keseragaman format penulisan dan Notasi sebaiknya ringkas dan jelas serta
kemudahan untuk penulis dalam proses konsisten dengan cara penulisan yang baku.
penerbitan naskah di jurnal ini. Naskah Simbol/lambang ditulis dengan jelas dan
ditulis dengan Times New Roman ukuran 12 dapat dibedakan seperti penggunaan angka 1
pt, spasi tunggal, justified dan tidak ditulis dan huruf l (juga angka 0 dan huruf O) perlu
bolak-balik pada satu halaman. dibedakan dengan jelas. Singkatan
Naskah ditulis dalam bentuk dua kolom sebaiknya tidak digunakan dan harus
dengan jarak antara kolom 1 cm pada kertas dituliskan secara lengkap. Istilah asing
berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan ditulis dengan huruf Italic. Angka perlu
margin atas 2.54 cm, bawah 2.54 cm, kiri dituliskan dalam bentuk kata jika digunakan
dan kanan masing-masing 2.54 cm. Panjang pada awal kalimat.
naskah hendaknya tidak melebihi 10 Tabel ditulis dengan Times New Roman
halaman termasuk gambar, tabel dan berukuran 10-11 pt dan diletakkan berjarak
referensi, apabila jauh melebihi jumlah satu spasi tunggal di bawah judul tabel.
tersebut maka dianjurkan untuk dibuat Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran
dalam seri. 12 pt, Bold dan ditempatkan di atas tabel
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan format seperti terlihat pada contoh.
atau bahasa Inggris. Apabila ditulis dalam Penomoran tabel menggunakan angka Arab.
bahasa Inggris sebaiknya telah memenuhi Jarak tabel dengan paragraf adalah satu spasi
standar data bahasa Inggris baku. tunggal (12 pt).
Judul naskah hendaknya singkat dan Tabel diletakkan segera setelah
informatif serta diusahakan tidak melebihi 4 penunjukkannya dalam naskah. Kerangka
baris. Jika naskah bukan dalam bahasa tabel menggunakan garis setebal 1 pt (garis
Inggris maka naskah dilengkapi dengan horizontal saja). Apabila tabel memiliki lajur
abstrak dalam bahasa Inggris yang diawali yang cukup banyak, dapat digunakan format
dengan judul dalam bahasa Inggris seperti satu kolom pada setengah atau satu halaman
contoh di atas. penuh. Jika judul pada setiap lajur tabel
Keyword dalam bahasa Inggris cukup panjang dan rumit maka lajur diberi
dituliskan di bawah abstrak untuk nomor dan keterangannya diberikan di
mendeskripsikan isi dari naskah. bagian bawah tabel. Tabel diletakkan pada
Dianjurkan untuk menggunakan daftar posisi paling atas atau paling bawah dari
keyword yang biasa digunakan di jurnal setiap halaman dan jangan diapit oleh
atau jika sesuai dapat mengikuti klasifikasi kalimat.
berikut: metode teoritis, metode eksperimen, (satu spasi tunggal, 12 pt)
fenomena, obyek penelitian dan aplikasinya. Tabel 1. Jumlah Pengujian WFF Triple
Naskah disusun dalam 5 subjudul NA=15 atau NA=8
PENDAHULUAN, METODE (satu spasi tunggal, 12pt)
PENELITIAN, HASIL, PEMBAHASAN, NP
KESIMPULAN DAN SARAN. Subjudul NC 3 4 8 10
ditulis dengan huruf kapital. UCAPAN
TERIMA KASIH (apabila ada) diletakkan 3 1200 2000 2500 3000
setelah subjudul KESIMPULAN DAN 5 2000 2200 2700 3400
SARAN. 8 2500 2700 16000 22000
Sebaiknya penggunaan subsubjudul
10 3000 3400 22000 28000
dihindari, apabila diperlukan maka ditulis
dengan Title Case (huruf depan saja yang (satu spasi tunggal, 10 pt)

Template JUKEMA Halaman


JUKEMA
Vol. 0, No. 0, Februari 2000: 0 - 0
Gambar ditempatkan simetris dalam ujung kanan dalam tanda kurung. Apabila
kolom berjarak satu spasi tunggal dari penulisan persamaan lebih dari satu baris
paragraf. Gambar diletakkan pada posisi maka penulisan nomor diletakkan pada baris
paling atas atau paling bawah dari setiap terakhir. Penggunaan huruf sebagai simbol
naskah. Gambar diberi nomor dan diurut matematis dalam naskah ditulis dengan
dengan angka Arab. Keterangan gambar huruf miring (italic) seperti x
diletakkan di bawah gambar dan berjarak (kosong satu spasi,12 pt)
satu spasi tunggal dari gambar. Penulisan ∞
keterangan gambar menggunakan huruf ∑1 (di < t, N (di ) = n) (1)
µ(n, t ) = i =1
berukuran 9 pt, bold dan diletakkan seperti
pada contoh. Jarak keterangan gambar ∫σ =01 (N(σ ) = n) dσ
dengan paragraf adalah dua spasi tunggal. (kosong satu spasi,12 pt)
Gambar yang telah dipublikasikan oleh Persamaan (1) di atas diperoleh dengan
penulis lain harus mendapat izin tertulis format Style sebagai berikut: Variabel:
penulisnya dan penerbitnya. Times New Romans Italic dan LC Greek:
Gambar akan dicetak hitam-putih, Symbol Italic. Format ukuran: Full 10 pt,
kecuali jika memang perlu ditampilkan Subscript/Superscript 8 pt, Sub-
berwarna. Penulis dikenakan biaya subscript/Sub-superscript 6 pt, Symbol 11 pt
tambahan untuk cetak warna lebih dari satu dan Sub-symbol 9 pt.
halaman. Font yang digunakan dalam Referensi angka ditulis dengan format
pembuatan gambar atau grafik sebaiknya superscript tanpa tanda kurung seperti “…
yang umum dimiliki setiap pengolah kata Zhang et. al. ….”
(kosong satu spasi tunggal,12 pt)
dan sistem operasi seperti Symbol, Times
KESIMPULAN DAN SARAN
New Romans dan Arial dengan ukuran tidak (kosong satu spasi tunggal,12 pt)
kurang dari 9 pt. Kesimpulan. Tidak boleh ada referensi
(kosong satu spasi,12 pt)
pada sesi kesimpulan. Saran. Tidak boleh
ada referensi pada sesi saran.
(kosong satu spasi tunggal,12 pt)
DAFTAR PUSTAKA
(kosong satu spasi tunggal, 12pt)
Penulisan daftar acuan diurut sesuai
dengan urutan penunjukkannya dalam
naskah dengan menggunakan angka Arab
seperti terlihat pada contoh. Acuan harus
memuat inisial dan nama penulis, nama
(kosong satu spasi tunggal, 10pt) jurnal atau judul buku, volume, editor (jika
Gambar 1. Pelabelan Pohon T ada), penerbit dan kotanya, tahun penerbitan
Sesuai dengan Urutan Tampilan dan halaman. Nama penulis hanya
(kosong satu spasi,12 pt) disebutkan sampai penulis ke enam
Penurunan persamaan matematis atau kemudian diikuti dengan et. al. atau dkk.
formula tidak perlu dituliskan Penulisan nama diawali dengan nama
keseluruhannya secara detil, cukup keluarga diikuti inisial tanpa tanda titik (.)
diberikan bagian yang terpenting, metode maupun koma (,). Antara penulis satu
yang digunakan dan hasil akhirnya. Cara dengan yang lainnya dipisahkan dengan
penulisan acuan dalam naskah tanda koma (,). Nama jurnal ditulis dengan
menggunakan angka Arab dan diurut sesuai singkatan yang lazim digunakan. Hindari
dengan penunjukkannya dalam naskah. penggunaan abstrak sebagai bahan acuan.
Persamaan reaksi atau matematis Artikel yang belum diterbitkan tetapi dalam
diletakkan simetris pada kolom, diberi proses cetak dapat digunakan sebagai bahan
nomor secara berurutan yang diletakkan di acuan dengan mencantumkan keterangan “in

Template JUKEMA Halaman


JUKEMA
Vol. 0, No. 0, Februari 2000: 0 - 0
press”. Hindari mengacu pada personal cms?page=10220>. [8 Februari 2009].
communication. 10. Jones, MD n.d., Commentary on
(kosong satu spasi tunggal,12 pt) Indigenous Housing Initiatives.
Artikel dalam Jurnal Tersedia dari:
1. Zhang Z., Wu F., Zandvliet H.J.W., <http://www.architecture.com.au>. [6
Poelsema B., Metiu H., Lagally M.G., Juni 2009].
et. al., ‘Radical Styloid Impingement 11. National Gallery, Episode seventy one
after Triscaphe Arthrodesis’, (September 2012), The National
Journal Hand Surgery; 1989. vol. 14, Gallery Monthly Podcast, (podcast);
no. 2, p.p. 297-301. September 2012. Tersedia dari:
2. The Cardiac Society, ‘Exercise <http://www.nationalgallery.org.uk/po
T raining’, Journal Hand Surgery; dcast>. [26 Oktober 2012].
1988. vol. 13, no. 5, p.p. 50-53. Konfrensi dan Proseding
Tersedia dari: ProQuest. [23 Juni 12. Riley, D., 'Industrial Relations in
2016]. Australian Education',
3. Bustamante, C., ‘Health in Society’, in Contemporary Australasian
Journal of Health; 2015. vol. 19, no. 1, industrial relations: proceedings of the
p.p. 455-463. Tersedia dari: sixth AIRAANZ conference, ed. D.
<http://lj,libraryjournal.com/2015/09/h Blackmur, AIRAANZ, Sydney; 1992.
ealth/>. [2 Juli 2016] 13. Fan, W., Gordon, M.D. dan Pathak,
Buku dan Buku Elektronik R.,'Personalization of Search Engine
4. Olsen J.A., Principles in Health Services for Effective Retrieval and
Economics and Policy, Oxford: Knowledge Management'.
Oxford University Press; 2009. Proceedings of the twenty-first
5. Pauly M.V., McGuire T.G. and Barros international conference on
P.P., Handbook of Health information systems; 2000. Tersedia
Economics, Amsterdam: London: dari: ACM Portal: ACM Digital
North Holland; 2012. Library. [24 Juni 2004].
6. Jones, M.D. (ed.), Management in 14. Brown, S. dan Caste, V. 'Integrated
Australia, London: Academic Press; Obstacle Detection Framework'.
1998. Artikel dipresentasikan di IEEE
7. World Bank., World Development Intelligent Vehicles Symposium, IEEE,
Report 2015. Mind, Society, and Detroit, MI; 2004.
Behavior, Washington, D.C.: World Koran
Bank Group; 2015. 15. Meryment, E., 'Distaff Winemakers
8. Olsen J.r., Greene N., Saracci R. dan Raise A Glass of Their Own to Their
Trichopoulos D., Teaching Own', The Australian; 7 Oktober 2006.
Epidemiology: A Guide for Tersedia dari: Factiva. [2 February
Teachers in Epidemiology, Public 2007].
Health and Clinical Medicine. 16. Hilts, P.J., 'In Forcasting Their
Oxford: Oxford University Press; Emotions, Most People Flunk
2015. Tersedia dari: Out', The New York Times; 16
<http://ezproxy.lib.monash.edu.au/logi Februari 1999. Tersedia dari:
n?url=http://dx.doi.org/10.1093/acprof: <http://www.nytimes.com>. [19
oso/9780199685004.001.0001.> Februari 2000].
Internet/website Paten
9. Improve Indigenous Housing Now, 17. Cookson, A.H., Particle Trap for
Government Told; 2007. Tersedia Compressed Gas Insulated
dari: Transmission Systems, U.S. Patent
<http://www.architecture.com.au/i- 4554399; 1985.

Template JUKEMA Halaman


JUKEMA
Vol. 0, No. 0, Februari 2000: 0 - 0

Formulir Berlangganan
Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh
Aceh Public Health Journal
ISSN: 2008- 1592

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ..........................................................
Alamat : ..........................................................
..........................................................

Telepon : ..........................................................
E-mail : ..........................................................

Bersedia untuk menjadi pelanggan JUKEMA dengan biaya


Rp. 100.000,-/tahun/2 edisi (sudah termasuk ongkos kirim).

.........................., ..............

(........................................)

Pembayaran ditransfer ke:


FKM-UNMUHA
Bank Syariah Mandiri
No Rekening: 0 100 260 484

Bukti transfer berikut formulir ini dikembalikan ke:


Redaksi JUKEMA
PKPKM. Gedung Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Lantai II
Universitas Muhammadiyah Aceh (UNMUHA)
Jl. Muhammadiyah No. 93. Bathoh, Lueng Bata, Banda Aceh,
Indonesia, 23245
Telp: 0651-28422
e-mail: jukema@fkm.unmuha.ac.id
p-ISSN: 2088-1592 | e-ISSN: 2549-6425

Jurnal
Kesehatan
Masyarakat
Aceh
Aceh Public Health Journal
Volume 2, Nomor 2, Oktober 2016: 72-153

Editorial: Regulasi, Aplikasi Pemberian ASI Ekskluksif dan Status Gizi Balita Aceh
Basri Aramico
Prevalensi dan Determinan Stunting Anak Sekolah Dasar di Wilayah Tsunami di
Aceh Besar
Uswati, Nasrul Zaman, dan Aulina Adamy
Analisis Penggunaan Jenis MP-ASI dan Status Keluarga terhadap Status Gizi Anak
Usia 7-24 Bulan di Kecamatan Jaya Baru
Agus Hendra AL-Rahmad
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi pada Atlet Tarung Derajat Aceh
Nazalia, Basri Aramico, dan Fauzi Ali Amin
Peningkatan Ketepatan Kader Melalui Modul Pendamping KMS dalam
Menginterpretasikan Hasil Penimbangan Balita
Agus Hendra AL-Rahmad
Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kepatuhan Bidan Desa dalam
Standar Pelayanan Ante Natal Care
Suryani, Aulina Adamy, dan Nizam Ismail
Analisis Faktor Risiko Abortus di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pemerintah Aceh
Masni, Asnawi Abdullah, dan Melania Hidayat
Kualitas Hidup Penderita Kanker Payudara di Rumah Sakit Ibu dan Anak
Pemerintah Aceh
Meilia Hidayah, Aulina Adamy, dan Teuku Tahlil
Analisis Faktor Risiko Penyebab Stroke pada Usia Produktif di Rumah Sakit Umum
dr. Zainoel Abidin
Sartika Maulida Putri, Hajjul Kamil, dan Teuku Tahlil
Analisis Kuesioner WHOQOL-BREF: Mengukur Kualitas Hidup Pasien yang
Menjalankan Terapi Hemodialisis di RSUDZA Banda Aceh
Muzafarsyah, Aulina Adamy, dan Nasrul Zaman
Perilaku Klien Suspek HIV/AIDS terhadap Kesediaan Melakukan
Voluntary Counseling and Testing di Rumah Sakit Umum Tgk. Chik Ditiro Sigli
Annas, Aulina Adamy, dan Nasrul Zaman
Faktor Risiko Filariasis di Kabupaten Aceh Jaya
Mutia Ulfa Rahmad, Aulina Adamy, dan Asnawi Abdullah
Analisis Pembiayaan/Belanja Terhadap Penderita Chronic Kidney Disease (CKD)
Rawat Inap di Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Syarkawi, Taufiq A. Rahim, dan Irwan Saputra

Alamat PKPKM:
Gedung Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Aceh Lantai II
Jln. Muhammadiyah No.93 Bathoh-lueng Bata Banda Aceh, Indonesia (23245)
Telpon : 0651 - 28422
Fax : 0651 - 31053
Email : jukema@fkm.unmuha.ac.id
Website: http://pps-unmuha.ac.id/pusat-kajian-dan-penelitian-kesehatan-masyarakat/
Volume 02 | Nomor 02 | Oktober 2016 : 72 – 153 Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh | Aceh Public Health Journal PKPKM

Anda mungkin juga menyukai