Hivhiv
Hivhiv
HIV/AIDS
DISUSUN OLEH:
Ribka Theodora
(11-2011-196)
PEMBIMBING:
1
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut UNAIDS di tahun 2009 jumlah odha mencapai 33,3 juta, dengan
kasus baru sebanyak 2,6 juta,dan per hari lebih dari 7000 orang telah terinfeksi HIV,
97 % dari Negara berpenghasilan rendah dan menengah. Penderitanya sebagian
besar adalah wanita sekitar 51 %, usia produktif 41% ( 15-24 th) dan anak-anak (
WHO, 2010). HIV dan AIDS menyebabkan krisis secara bersamaan,
2
menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi,
pendidikan , dan juga krisis kemanusiaan. (Djoerban Z dkk, 2006).
Di Indonesia sendiri, jumlah odha terus meningkat. Data terakhir pada tahun
2008 menunjukkan bahwa jumlah odha di Indonesia telah mencapai 22.664 orang.
(Depkes RI, 2008). Menurut UNAIDS, Indonesia merupakan Negara dengan
pertunbuhan epidemic tercepat di Asia. Pada tahun 2007 menempati urutan ke-99
di dunia, namun karena pemahaman dari gejala penyakit dan stigmata social
masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan dilakukan pengobatan.(UNAIDS,
2010)
3
BAB II
HIV - AIDS
2.1 DEFINISI
2.2 EPIDEMIOLOGI
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual.
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan
tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat
penularan melalui narkotika suntik. (Djoerban Z dkk, 2006)
4
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat
di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-
populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika
suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di beberapa propinsi
seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur telah tergolong sebagai
daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic).
Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic). ( Mustikawati DE dkk, 2009)
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember
2008, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan
cara penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna
narkotika suntik; 3,8% pada homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal
ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke
kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun
hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi
dilaporkan pada kelompok usia 20–29 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 30–
39 tahun. (Depkes RI, 2008)
5
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir
Desember 2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah
penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi
kasus yang dilaporkan meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi oportunistik
terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus, diare kronis 4.542
kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata 1.146 kasus,
dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus. (Depkes RI,2008)
2.3 E TIOLOGI
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis
yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun
atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120
yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi
terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau
makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk
oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase
reverse (reverse transcriptase enzyme). ( Merati TP dkk,2006)
6
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV
global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa
negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat. (Merati TP dkk,2006)
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui
jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang
terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan
adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.
Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan cairan
darah sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat
tusukan jarum atau luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar
0,3% sedangkan risiko penularan akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV
pada mukosa sebesar 0,09%. (Djauzi S dkk, 2002)
7
2.5 PATOGENESIS
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga
bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun
yang progresif. (Djoerban Z dkk, 2006)
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara
in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik,
folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia,
astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal. (Merati TP dkk,
2006)
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama
HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui
kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal
sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing
nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan
ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor penting lainnya untuk
HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan dengan CD4
serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi antigen gp41
virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV akan
terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim
transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA
pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut
sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi
dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya
mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur sampai terbentuk protein.
mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik RNA dan protein virus
ini akan membentuk partikel virus yang nantinya akan menempel pada bagian luar
sel. Melalui proses budding pada
8
permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan
matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
9
Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat
defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio
CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus
HIV dibentuk terhada berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul
virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah
infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan
bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk
antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut
tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.
Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T
sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel
T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV.
(Djoerban Z dkk, 2006)
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang
menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang
yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai
dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk,
2006)
10
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan
menunjukkan gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan
berlangsung selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini
akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z dkk, 2006)
11
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV
akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti
telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh
akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis
menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan hilangnya
kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar limfe
Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah kerusakan
mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas ke jaringan
limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian replikasi
HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (Djoerban Z
dkk, 2006)
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul
HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit
CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban Z dkk, 2006)
12
limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. (Djoerban
Z dkk, 2006)
sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi
hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi
oportunistik.
13
2.7 DIAGNOSIS
2.7.1. Anamnesis
Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan,
daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).
14
Table 4: Daftar tilik riwayat pasien
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat
dilihat pada tabel 6
15
Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik
Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau
kanker yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan
karsinoma serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan
16
kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 6. Di RS Dr. Cipto Mangkusumo
(RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering ditemukan pada odha umumnya berupa
demam lama, batuk, adanya penurunan berat badan, sariawan, dan diare, seperti
pada tabel 5 .
Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005
17
Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin,
urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG,
dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko
penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi
terapi (AIII);
Sumber : Yayasan Spiritia 2006.
Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya
dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman
atau penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka
dengan infeksi menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala
dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada akhirnya
akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan. Jadi,
pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C yakni confidential
(rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan hanya dilakukan dengan
informed consent. (Djoerban Z dkk,2006)
18
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan
secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari
pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB sebagai
konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali positif
pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama
missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau
apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini
disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat
pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat pajanan
atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-
reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).
Sumber : Depkes,2007
19
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi
penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang
berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait
dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan
terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang
sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi. (Djauzi S dkk,2002)
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi,
memang tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu
kemudian orang tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari
seperti flu dan diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4
penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai
timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di
mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan
tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal.
20
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS
belum diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan
pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah
AIDS. Menurunnya hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan
perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh
peningkatan B2 mikro globulin dan juga peningkatan I9A.
21
lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian
juga yang disebut AIDS-Related (ARC).
a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan
satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
22
2. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan dua
gejala minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor Limfadenopati
generalisata Kandidiasis
oro-faring Infeksi umum
yang berulang Batuk
parsisten Dermatitis
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status
imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam
memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau
respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan,
bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau menunda
pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV.
Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC) dapat
digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC
tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan
kegagalan terapi ARV. (Depkes RI, 2007)
23
Tabel 9. Stadium klinis HIV
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
2.8 PENATALAKSANAAN
24
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan
bahwa pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV
bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. .
(Djoerban Z dkk,2006)
25
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena
obat antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi
ARV meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan
pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence,
toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau
sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat
keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4
harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau
secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap
atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS
berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)
26
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai
belum dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila
pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan
dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA
asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik
(Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain
yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai
terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama.
Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4
< 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut.
Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4
kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV
pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan
jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis.
Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat
dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 <
350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja
didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu
maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi ARV.
Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai pemandu
keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi
oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya
diberikan sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi
M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB
dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk
mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes RI, 2007)
27
2.8.2 Panduan Kombinasi Obat ARV
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV
yang dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral
Therapy atau HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi
HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT
dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti
oleh resistensi. (Yunihastuti E, 2005)
28
Sumber : Depkes RI, 2007
Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT
+ 3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena
dapat menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa
digunakan adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin
(d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan
neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak
dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ
tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya
dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat.
Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 12.
29
Tabel 13 mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan kerugian
obat ARV golongan ini.
30
terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat ART
dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.
31
Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS
32
Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh
yang ditandai dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200 sel/ L
ataupun > 200 sel/ L. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati namun
apabila kekebalan tubuh tetap rendah maka infeksi oportunistik mudah kambuh
kembali atau juga dapat timbul oportunistik yang lain. Pada umumnya kematian
pada odha disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini perlu dikenal
dan diobati. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh
( CD4 ) dapat dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi.
Terdapat banyak penyakit yang digolongkan infeksi oportunistik seperti terlihat
pada table 15.
Tabel 15. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis
AIDS
Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah
bening CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV a
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau
esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau
ekstraparu Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau
ekstraparu Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c
a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
33
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab
lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan pemeriksaan
lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal 2
kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,
intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain (missal
kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.
Sumber :Yunihastuti E dkk, 2005
2.8.3.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada odha di
Indonesia.TB mempercepat progesivitas infeksi HIV dengan meningkatkan
replikasi HIV dan juga menjadi penyebab kematian tersering pada odha.
(Yunihastuti E dkk, 2002)
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada
infeksi HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/ L sedangkan TB
ekstraparu atau diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih
rendah. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu,
demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat
pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB ekstra paru
yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi pleura dan
osteomielitis. Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha seringkali tidak khas dan
sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih sulit. (Yunihastuti
E dkk, 2002)
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan
odha. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50%
dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran TB
paru pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan non – HIV
berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD
< 200 sel/µL, gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati
mediastinum dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis definitif TB pada odha
34
adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen
sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen
dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi OAT.
Yunihastuti E dkk, 2002)
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB
pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada tabel
16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB dengan
CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila tidak
tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha
dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama dengan ARV
dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan ketidakpatuhan
minum obat. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan
OAT adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara
terapi berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17. Untuk itu, perlu
dilakukan tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB. (Yunihastuti E dkk,
2002)
Tabel 17. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan
CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 – 8
mm3 segera setelah terapi TB dapat minggu setelah OAT
ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2
bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari).
35
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat
dilakukan dengan melakukan
pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat
Mulai terapi TB
CD4 200-350/ Setelah 8 minggu terapi
mm3 TB
CD4 >350/ Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai
mm3 kembali pada saat minggu
ke 8 terapi TB dan setelah
terapi TB lengkap
CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV
mungkin mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai
Sumber : Depkes RI, 2007
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena
infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat
dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi oportunistik harus
diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara ringkas
36
pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik. Beberapa upaya
profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi pneumokok,
hepatitis B dan hepatitis A. (Djauzi S dkk, 2002)
BAB III
KESIMPULAN
37
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang
terbebas dari HIV.
Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang,
dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta
penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. perkembangan
epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi
melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke
peredaran darah melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui
komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke
janin.
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis
yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat
menyebabkan gangguan imun yang progresif.
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama,
50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13
tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS,
dan kemudian meninggal
Diagnosis ditegakkan dengan Anamnesis yang lengkap termasuk risiko
pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling
perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana
kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya
data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,
38
memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
39
penyakit dalam . 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006
3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause
SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th
ed. The United States of America: McGraw-Hill
4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S,
Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI 2005.
6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
2006
10.Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8];
Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040
40