(SOP)
Prosedur Teknik
Sampling Iktioplankton
(Telur dan Larva Ikan)
Dirangkum oleh:
A. Pengantar
Tahap awal kehidupan ikan (early life history of fishes) merupakan suatu
tahapan yang cukup menarik untuk dipelajari, karena berhubungan dengan
stabilitas populasi ikan tersebut di perairan (Effendie, 2002). Tahap tersebut
umumnya terkait dengan stadia telur dan larva ikan. Studi mengenai early life
history bagi kelimpahan populasi dan produksi perikanan sangat terkait dengan
studi kelimpahan telur dan kelimpahan serta perilaku larva (Kelso & Rutherford,
1996).
Stadia larva dan telur ikan sering juga disebut dengan istilah iktioplankton
karena pada tahap tersebut, telur dan larva ikan umumnya masih bersifat
planktonik atau terapung di perairan. Tahapan iktioplankton hanya bersifat
sementara, karena jika larva ikan sudah tumbuh menjadi juvenil hingga ikan
dewasa yang mampu berenang melawan arus air, maka ikan sudah disebut
sebagai organisme nekton (Nontji, 2006). Iktioplankton sendiri merupakan
cabang ilmu iktiologi (ilmu tentang ikan) yang membahas tentang stadia telur dan
larva yang sifatnya sangat terkait dengan lingkungannya (Sulistiono et al., 2001).
Survei iktioplankton telah sedang dilakukan selama bertahun-tahun oleh
berbagai institusi di berbagai negara. Protokol sampling telah banyak
dikembangkan dan diadaptasi untuk studi penelitian yang lebih spesifik dan untuk
area tertentu (McCarter & Hay, 2003). Namun sayangnya, penelitian mengenai
telur dan larva ikan masih kurang diperhatikan di Indonesia, baik oleh akademisi
maupun peneliti di bidang perikanan, padahal tahapan tersebut mempunyai
peranan strategis dalam daur hdup ikan karena terkait dalam penentuan produksi
ikan (Sulistiono et al., 2001).
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan (BRPSI) berdasarkan SK
MENPAN tanggal 15 September 2009 memiliki mandat untuk melaksanakan riset
strategis di bidang pemacuan stok, rehabilitasi, dan konservasi sumberdaya ikan
di perairan umum dan laut. Penelitian tentang telur dan larva ikan menjadi sangat
penting mengingat dalam upaya pemacuan stok, rehabilitasi dan konservasi
sumberdaya ikan juga diperlukan informasi mengenai early life history ikan.
Keberadaan standar operasional pelaksanaan (SOP) untuk teknik sampling
Penelitian mengenai early life history, yang terkait dengan telur dan larva
ikan memiliki peranan yang cukup penting. Perhatian terhadap proses-proses
yang terdapat dalam perkembangan awal hidup ikan merupakan hal yang
menarik, karena berhubungan dengan stabilitas populasi ikan di suatu perairan
(Effendie, 2002). Pentingnya penelitian telur dan larva ikan dapat dideskripsikan
dengan beberapa referensi berikut (Bagenal & Braum, 1978; Kelso & Rutherford,
1996; Nontji, 2006):
1. Lokasi penemuan telur dan larva ikan merupakan petunjuk dimana dan
seberapa luas daerah pemijahan (spawning ground) jenis ikan tertentu,
sehingga dengan mengetahui daerah pemijahannya maka langkah-langkah
yang perlu diambil untuk pengelolaannya dapat dipertimbangkan dengan
lebih baik.
2. Pentingnya early life history bagi kelimpahan populasi dan produksi
perikanan telah mendorong beberapa studi terkait kelimpahan telur dan
kelimpahan serta perilaku larva. Koleksi telur dan larva ikan sendiri
digunakan untuk identifikasi daerah pemijahan dan pemeliharaan ikan
(spawning and nursery area), perbedaan spasial dan temporal pada populasi
ikan yang dimanfaatkan, informasi perubahan ontogeni dalam pola
pergerakannya, dan perilaku mencari makan ikan.
C. Terminologi
Early life history merupakan suatu istilah yang merujuk pada sejarah
hidup organisme yang berada pada tahap awal kehidupannya. Pada ikan, istilah
tersebut umumnya terkait dengan tahap perkembangan telur dan larva. Hoar &
Randall (1987) dalam Effendie (2002) telah menghimpun dan menyusun
terminologi perkembangan tahap awal daur hidup ikan berdasarkan batas-batas
kejadian suatu proses perkembangan mulai dari memijah sampai juvenil
mencapai proporsi tubuh yang dewasa (Gambar 1).
1. Telur
Struktur telur secara umum terdiri atas membran luar (chorion), rongga
perivitteline, membran internal (ada pada beberapa ikan), kuning telur (yolk),
tetes minyak dan blastoderm (Gambar 2).
Berbagai tipe telur ditemukan di perairan tawar dan laut dengan rerata
diameter telur ikan: 1 mm. Telur ikan umumnya transparan, namun bisa saja
berwarna gelap, dapat bersifat pelagis atau demersal, adhesif atau nonadhesif,
dan beberapa memiliki modifikasi untuk membantu menempel atau mengapung.
Telur ikan ada yang berbentuk menyerupai bola, oval, atau tidak beraturan. Telur
ikan ada yang memiliki tetes minyak dan dapat berbeda dalam jumlah, ukuran,
warna, pigmentasi dan sirkulasinya. Chorion dapat berbeda dalam tekstur,
ornamen, ketebalan, mantel, dan ukuran mikrofil (Kelso & Rutherford, 1996).
Fase larva ikan dimulai pada saat setelah menetas dan merupakan tahap
yang paling penting dalam early life history (Bagenal & Braum, 1978). Ketika
menetas, larva ikan umumnya transparan dan belum bisa mencari makan, mulut
dan saluran pencernaannya belum berkembang. Struktur larva ikan secara
umum dapat diilustrasikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur larva ikan teleostei (diadaptasi dari Mansueti & Hardy, 1967
oleh Kelso & Rutherford, 1996)
Gambar 5. Perubahan bentuk dari fase larva hingga juvenil pada (a) ikan sidat
(Anguilla anguilla) dan (b) ikan sebelah (Pseudopleuronectes
herzensteini) (Balon, 1985).
D. Pertimbangan Sampling
Pelaksanaan sampling telur dan larva ikan (meliputi dimana, kapan dan
bagaimana sampling) sangat terkait dengan tujuan penelitian dan harus
mempertimbangkan beberapa faktor seperti keterbatasan dana, tenaga,
peralatan dan waktu, faktor fisikokimiawi dan ekologi perairan, serta
pertimbangan statistik. Pengetahuan tentang reproduksi ikan, sejarah hidup,
perilaku larva dan ekologi merupakan faktor penting dalam memilih metode
pengumpulan, tipe alat tangkap, periode sampling dan habitat sampling (Bagenal
& Braum, 1978; Kelso & Rutherford, 1996; Snyder, 1985).
a. Sistem laut
Distribusi acak vertikal dan horisontal bagi telur dan larva ikan yang
terjadi karena aggregasi aktif dan pasif di laut berpengaruh bagi
pendugaan kelimpahan.
Distribusi vertikal tergantung pada: daya apung telur dan larva,
perilaku larva, dan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti
suhu, pola arus, pasang surut salinitas, cahaya, dan distribusi serta
pergerakan prey dan predator.
Volume sampel air tawar umumnya 100 m3, sedangkan volume sampel
air laut berkisar antara 250 – 1500 m3.
3. Pertimbangan statistik
Studi iktioplankton meliputi dugaan kelimpahan telur dan larva dan
analisis distribusi panjang larva, sehingga ketelitian pengamatan
diperlukan agar data akurat dan presisi.
Berbagai metode sampling berpotensi menghasilkan data yang bias.
Terdapat variabilitas yang tinggi dan rendahnya presisi pada sampel telur
dan larva sehingga perlu dilakukan ulangan pada tempat dan waktu
tertentu secara acak dan independen.
Banyak studi iktioplankton didasarkan pada dua atau tiga ulangan pada
setiap lokasi.
d. Jaring neuston
Beberapa jaring dengan modifikasi pelampung pada kedua sisi
mulutnya digunakan untuk sampling organisme neuston.
Jaring neuston ”Boothbay” dengan panjang jaring 4,9 m (mesh size
947 μm) dan bingkai pipa berukuran 2 m x 1 m yang ditarik pada
kecepatan sekitar 1 – 3 m/s di permukaan air cukup mudah dalam
penanganannya dan tidak menyebabkan kerusakan sampel yang
berarti (Gambar 11).
The Gulf 1-A high speed sampler” (Diameter tabung 12 cm, 4 cm saat
terbuka)
“Gulf III net” menggabungkan jaring 0,5 m pada rigid sampler housing
untuk sampling dengan volume air yang lebih besar dari Gulf 1-A.
“Miller high-speed net” digunakan luas pada sampling di air tawar.
Gambar 13. Model alat Gulf III (kiri) dan Miller high-speed sampler (kanan)
b. Electrofishing
Electrofishing tidak begitu banyak digunakan dalam sampling telur
dan larva ikan.
Prinsip kerja: menggunakan aliran listrik untuk menangkap ikan.
Unit electrofishing secara umum terdiri atas baterai atau generator
arus searah (DC) dengan daya sekitar 200 V/400 Hz dan gradien
voltase berkisar antara 3,6 – 0,13 V/cm yang terhubung elektroda
(diameter 10 cm) dan jaring yang mengerucut sejauh 1,2 m.
c. Emergence traps
Digunakan untuk sampling larva ikan dimana telur diletakkan di
sarang bebatuan di bawah substrat dan saat telur menetas, larva
tampak seperti muncul dari sarang (larvae emerge).
Gambar 18. Perangkap cahaya berbentuk balok dengan pintu masuk horisontal
dan vertikal (kiri) dan perangkap cahaya “the Quatrefoil trap” yang
berbentuk tabung (kanan).
Gambar 19. Pengaturan plankton net untuk sampling telur semi terapung
di perairan mengalir.
Jaring Bongo (bongo net) merupakan alat sampling telur dan larva ikan
yang cukup banyak dikenal dan direkomendasikan dalam penelitian iktioplankton.
Bongo net memiliki variasi yang kecil dalam bias oleh penyaringan per unit
kedalaman yang tidak seimbang, kemampuan penghindaran target terhadap
jaring (net aviodance), dan hilang atau rusaknya organisme target yang terjaring.
Alat tersebut dapat meningkatkan efisiensi dan juga sebagai ulangan sampling
karena bongo net dapat menyaring sampel dalam jumlah yang relatif sama
antara kedua jaring yang berpasangan dalam sekali tarikan. Ulangan tersebut
diperlukan untuk menentukan variabilitas sampel (Smith & Richardson, 1977).
Bongo net terdiri atas dua jaring bermulut bundar yang digabung
berdampingan. Alat tersebut ditarik bersamaan dengan tarikan horisontal atau
miring dari bawah permukaan air ke atas dengan kecepatan tertentu. Bingkai
mulut jaring berbentuk bundar yang terbuat dari aluminium dengan diameter
sekitar 60 – 70 cm. Terdapat sebuah pemberat (depressor) yang terpasang di
bawah jaring untuk menstabilkan sudut tarikan jaring. Badan jaring terbuat dari
bahan Nitex atau monofilamen sejenis dengan mesh size tergantung keperluan
(umumnya berkisar antara 0,333 – 0,505 mm). Pada bagian ujung jaring
dipasang semacam tabung pengumpul (cod end) untuk kemudahan penanganan
Keuntungan bongo net adalah tidak adanya tali kekang atau gangguan
lainnya di depan mulut jaring saat penarikan sehingga aliran air yang tersaring
berjalan dengan baik. Biaya sampling dengan bongo net juga relatif tidak terlalu
mahal. Namun, efisiensi alat tersebut sangat tergantung kepada turbulensi
hidrodinamik yang akan meningkatkan net avoidance (Kelso & Rutherford, 1996).
Alat dan bahan yang diperlukan dalam sampling dengan bongo net
Jaring bongo dengan pemberat Jaring kecil untuk memindahkan
Inclinometer (hanging tipe) plankton ke botol sampel
Flowmeter Botol sampel
Depth-meter Label
Termometer Larutan formalin (pengawet)
Derek (winch) dengan diameter tali Tabung pengumpul (bucket)
> 4 mm dan tenaga yang baik Sikat jaring
Lembar data dan lain-lain
Hay, 1982 dalam Robinson et al., 1996 menyatakan beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pengoperasian bongo net sebagai berikut:
T = 1000 t / V
dimana :
T = jumlah telur dan larva ikan dalam sampel per 1000 m3 volume air tersaring
t = jumlah telur dan larva ikan dalam sampel (hasil cacah individu)
V = volume air yang tersaring melalui jaring (m3)
V = n × N1 × a atau V = a × n / N
dimana :
n = jumlah putaran dari flowmeter selama tarikan
a = luasan mulut jaring dalam satuan m2 (a = π r2)
N = faktor kalibrasi jumlah putaran dari flowmeter per 1 meter
N1 = faktor kalibrasi dalam meter per putaran flowmeter
(N atau N1 berasal dari flowmeter yang sudah dikalibrasi pada sebelum dan
sesudah sampling lapangan)
Jika flowmeter tidak ada, maka untuk mengetahui volume air yang
tersaring dapat menggunakan perkalian luas mulut jaring berupa lingkaran
dengan jarak tarikan jaring (Gambar 21).
Volume air yang tersaring = luas area bukaan jaring x jarak tarikan jaring
Jarak tarikan jaring = kecepatan tarikan x waktu
Biomassa larva ikan harus dicatat sebagai berat basah per m3. Berat basah
dapat ditentukan dengan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g.
Karena adanya variabilitas dalam pengukuran basah, maka biomassa larva
ikan juga dapat dicatat sebagai berat kering yang diduga dengan larva beku
(tanpa pengawet) yang kemudian dikeringkan pada suhu 80 – 100°C selama
24 – 48 jam atau hingga berat kering konstan diperoleh kemudian ditimbang
dengan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g.
Identifikasi larva ikan memerlukan pengetahuan dan pengalaman secara
teknis. Di laboratorium, larva ikan diidentifikasi menggunakan dissecting
microscope dan buku panduan.
Pengukuran panjang dan berat dapat dilakukan pada telur dan larva ikan.
Panjang larva diukur dengan ketelitian hingga 0,1 mm menggunakan lensa
okular mikrometer dengan dugaan penyusutan panjang sekitar 2 – 7% pada
penyimpanan dengan formalin dan penyangga (buffer) berupa boraks atau
buffer lainnya. Prosedur standar di laboratorium untuk larva ikan mengacu
pada Smith & Richardson (1977).
Buku log lapangan sangat penting agar berbagai informasi sewaktu survei
iktioplankton di lapangan dapat tercatat dengan baik (Romimohtarto & Juwana,
2004). Beberapa informasi yang sebaiknya dicatat dalam buku log lapangan
adalah sebagai berikut:
a. Nomor stasiun, termasuk nama kapal dan nomor pelayaran (jika contoh
diambil di atas kapal).
4. Label
Label harus terbuat dari kertas tahan air, tidak kaku, dan dapat ditulis
bolak-balik tanpa tembus. Label sebaiknya berisi catatan-catatan yang harus diisi
seperti nama lembaga, nomor stasiun, dan lain-lain yang tercetak pada kertas
label. Penulisan label sebaiknya menggunakan pensil atau tinta tahan air agar
tidak luntur (Romimohtarto & Juwana, 2004).
5. Botol Plankton
Penyimpanan sampel iktioplankton sebaiknya menggunakan botol
plankton dari tabung atau botol gelas yang tidak mudah pecah. Alternatifnya
menggunakan tabung plastik. Tabung gelas dilengkapi dengan tutup plastik/karet
yang kedap air. Bentuk tabung sebaiknya pendek dan kuat, mulut lebar dan tidak
berleher (Romimohtarto & Juwana, 2004).
Sampel telur dan larva ikan bersifat rapuh dan mudah rusak (Snyder,
1985), sehingga pemeliharaan terhadap keutuhan morfologinya melalui fiksasi
dan pengawetan penting bagi studi taksonomi dan ekologi (misal: frekuensi
panjang dan faktor kondisi). Bahan kimia yang digunakan untuk fiksasi dan
pengawetan harus dapat mencegah kerusakan sampel secara mikrobiologis dan
mengurangi autolisis dan kerusakan seluler karena perubahan tekanan osmosis.
Metode fiksasi dan pengawetan telur dan larva ikan cukup beragam.
Pemilihan teknik pengawetan yang tepat harus disesuaikan dengan tujuan
penelitian yang akan dilakukan. Pengawetan sampel umumnya disesuaikan
dengan kondisi sumberdaya penelitian dan mempertimbangkan hal-hal seperti:
ketersediaan bahan pengawet, peralatan pendukung, kemudahan pelaksanaan,
dana, dan kelebihan atau kelemahan metode pengawetan yang akan digunakan.
Sortasi merupakan kegiatan memisahkan sampel telur dan larva dari hal
yang tidak dibutuhkan. Waktu untuk sortasi tergantung pada kuantitas dan
ukuran telur, larva, dan seresah. Sortasi dilakukan dengan pencucian dahulu dan
dilakukan di area berventilasi baik menggunakan petridish bertanda grid di
bagian bawah atau sorting chamber, dan diamati di bawah mikroskop (Kelso &
Rutherford, 1996).
1. Sampel dibersihkan dari pengotor (misal: pasir, seresah tumbuhan, dan lain-
lain) dengan cara mengalirkannya melalui hand net atau saringan (mesh size
berukuran 2 mm dan 600 mikron atau sama dengan mesh size jaring
plankton) dengan bantuan dua cawan.
2. Sampel dikembalikan ke dalam botol sampel.
3. Sampel dicuci menggunakan air tawar, kemudian disimpan juga dalam
cawan dengan air tawar.
4. Aduklah sampel dalam cawan secara perlahan menggunakan tangkai
pengaduk dari gelas.
5. Tuangkan sampel secara perlahan ke petri dish yang bertanda grid kuadrat di
bawahnya.
6. Sebuah spatula kecil atau stainless steel forceps mini dapat digunakan untuk
memisahkan atau mengencerkan sampel yang terlalu padat dalam petri dish
serta untuk mengambil sampel tersebut yang dilakukan di bawah dissecting
microscope pada pembesaran sekitar 10 kali dan berilah label. Kehatian-
hatian perlu dilakukan untuk mencegah kerusakan sampel saat pengambilan.
7. Penghitungan telur dan larva ikan dapat menggunakan counter (alat bantu
pencacah) saat memindahkan telur dan larva ikan tersebut dari sampel.
Selama sortasi, identifikasi awal terhadap spesimen dapat dilakukan,
kemudian menghitung dan mencatat jumlahnya.
8. Lakukan langkah-langkah tersebut sedikit demi sedikit hingga tidak banyak
sampel yang tersisa.
9. Simpan spesimen telur dan larva ikan dalam botol kecil berlabel secara
terpisah dalam cairan pengawet (70% etanol). Label pada masing-masing
botol kecil berisi informasi seperti waktu sampling, nomor stasiun, lokasi
sampling, metode sampling, jenis alat sampling yang digunakan. Gunakan
pensil atau tinta tahan air untuk menuliskan informasi label.
10. Jika sortasi tidak selesai dalam satu hari, masukkan kembali sampel yang
belum disortasi dalam larutan 5% buffered formalin untuk dilanjutkan pada
hari berikutnya.
11. Setelah sortasi, plankton yang tersisa dipindahkan kembali ke botol sampel
awal untuk proses selanjutnya.
12. Data tentang jumlah total dan jenis telur dan larva ikan yang telah disortasi
dicatat dalam lembar data.
H. Identifikasi Iktioplankton
Identifikasi telur ikan selalu dikaitkan dengn karakter telur ikan yang
berbeda, baik inter atau antarspesies. Beberapa karakter yang sering digunakan
dalam identifikasi telur ikan antara lain: bentuk, ukuran, tekstur chorion,
keberadaan tetes minyak (ukuran dan jumlah), ukuran rongga perivitelline, dan
karakter embrionik. Perbedaan dalam karakter telur ikan terkait dengan faktor
lingkungan seperti makanan atau hasil perbedaan genetik antarpopulasi.
Identifikasi telur seringkali menggunakan perbandingan sampel telur dengan
pembesaran telur secara buatan pada populasi yang digunakan (Bagenal &
Braum, 1978).
Kunci Identifikasi Telur Ikan Pelagis yang Terisolasi (Mito, 1979 dalam Konishi, ?)
1. Butir minyak tunggal
a. Membran telur tidak licin (Ilisha elongata, Myctophidae)
b. Membran telur licin
Rongga perivitelin lebar (Japanese sardine)
Rongga perivitelin sempit (Carangidae, Scombridae)
2. Tanpa butir minyak
a. Membran telur tidak licin (Synodontidae, Callionimidae)
b. Membran telur licin
Rongga perivitelin lebar (Anguiliformer)
Rongga perivitelin sempit (Engraulididae, Chanidae)
3. Butir minyak banyak
a. Membran telur tidak licin (Soleidae, Uranoscopidae)
b. Membran telur licin
Rongga perivitelin lebar (Anguiliformes)
Rongga perivitelin sempit (Cynoglossidae)
2. Myomere
Myomere merupakan karakter taksonomi yang penting karena relatif
konsisten selama periode larva. Penghitungan myomere mencakup semua
myomere anterior dibatasi oleh myoseptum, dan dibagi menjadi jumlah total
myomere, jumlah myomere pre-anal dan jumlah myomere post-anal (Gambar 4).
Myomere sebagai salah satu penentu karakter taksonomi larva ikan diilustrasikan
pada Gambar 28.
Gambar 28. Myomere sebagai salah satu penentu karakter taksonomi larva ikan
Gambar 29. Usus sebagai salah satu penentu karakter taksonomi larva ikan
Gambar 30. Gelembung renang sebagai salah satu penentu karakter taksonomi
larva ikan
Gambar 32. Proses pembentukan sirip pada larva ikan Argentina sialis (kiri) dan
Caristius maderensis (kanan)
Gambar 33. Larva hipotetik yang memperlihatkan karakter pigmen utama pada
larva ikan (A. dilihat dari samping; B. dilihat dari bawah).
8. Mata
Kebanyakan larva ikan memiliki mata bulat atau hampir bulat. Sejumlah
besar memiliki mata berbentuk seperti kotak bulat atau empat persegi panjang
(persegi) atau dari yang sedikit memanjang (lebih panjang dari tinggi ikan). Larva
relatif memiliki mata yang jauh lebih kecil dibandingkan lateral secara vertikal.
Duri keras ditunjukkan dengan angka Romawi, dan jari-jari sirip (duri
lunak) dengan angka Arab. Tanda koma “,” digunakan untuk menunjukkan sirip
yang terpisah, dan tanda plus “+” menunjukkan pembagian sirip dengan
pengecualian pada sirip ekor dimana tanda “+” menunjukkan pemisahan antara
jari-jari utama sirip dorsal dan ventral. Terdapat tiga definisi dalam perhitungan
jari-jari sirip (meristik):
a. Jumlah jari-jari lunak yang bercabang ditambah dua (Hubbs & Lagler, 1964)
b. Jari-jari yang tersambung dengan tulang hypural (Miller & Jorgenson, 1973)
digunakan untuk menentukan jumlah.
c. Jari-jari yang didukung tulang hypural dan parahypural (Moser et al., 1977)
Seringkali tidak mungkin untuk menentukan rumus meristik yang
digunakan, sedangkan definisi (a) dan (c) sering memberikan jumlah yang sama
yang tidak selalu benar. Definisi (a) umumnya berguna bagi larva, karena adanya
percabangan jari-jari sirip pada akhir perkembangan ontogeninya. Penghitungan
jari-jari sirip memperhatikan hal-hal berikut:
Caudal (C): duri-duri lunak yang didukung tulang hypural dan parahypural
Dorsal (D) dan anal (A): masing-masing elemen dengan pembatas dasar
yang terpisah
Pectoral (P): semua elemen, biasanya tanpa memperhatikan segmentasi
atau percabangan.
Ventral (V): semua elemen
Vertebrae: semua elemen termasuk urostyle, dibagi jika mungkin ke
precaudal dan tulang ekor.
Contoh perhitungan rumus meristik pada larva ikan disajikan pada Gambar 34.
I. Daftar Pustaka
Bagenal, T.B. and E. Braum. 1978. Eggs and Early Life History. In Methods for
Assessment of Fish Production in Fresh Waters. Third Edition.
International. Biological Programme Handbooks No. 3. Blackwell Scientific
Publications, Oxford. 165 – 201p.
Bagenal, T.B. and W. Nellen. 1980. Sampling Eggs, Larvae and Juvenile Fish. In
Backiel, T. and R.L. Welcomme (eds), Guidelines for Sampling Fish in
Inland Waters. EIFAC Tech.Pap (33). 176 p.
Balon, E.K. 1985. The Theory of Saltatory Ontogeny and Life History Models
Revisited. In Early Life Histories of Fishes. Dr. W. Junk Publishers,
Dordrecht, Netherland.
McCarter, P.B. and D.E. Hay. 2003. Eulachon Embryonic Egg and Larval Outdrift
Sampling Manual for Ocean and River Surveys. Canadian Technical
Report of Fisheries and Aquatic Sciences 2451. 33p.
South East Asian Fisheries Development Center. 2007. Early Life History
Descriptions. In The Regional Training Workshop on Larval Fish
Identification and Fish Early Life History Science. Thailand. 16p.
Smith, P.E. and S.L. Richardson. 1977. Standar Techniques for Pelagic Fish Egg
and Larva Surveys. FAO Fisheries Technical Paper No. 175. Food and
Agriculture Organization of The United Nations, Rome. 100p.
Snyder, D.E. 1985. Fish Eggs and Larvae. In Fisheries Techniques First Edition,
Nielsen, L.A. and D.L. Johnson (eds.), American Fisheries Society,
Bethesda, Maryland, USA. 165 – 197p.