Anda di halaman 1dari 9

Khutbah Pertama:

Ibadallah,

Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Taati perintah Allah dan jauhilah segala
larangannya. Karena ketakwaan adalah sebaik-baik bekal untuk kehidupan yang abadi.

Kaum muslimin rahimakumullah,


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita bagaimana hendaknya seorang muslim
hidup di dunia ini. Beliau bersabda,

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam memegang kedua pundakku, lalu bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan
sebagai orang asing atau seorang musafir’ (dan persiapkan dirimu termasuk orang yang akan
menjadi penghuni kubur (pasti akan mati)).”

Dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah mengatakan, “Jika engkau berada di sore hari,
janganlah menunggu pagi hari. Dan jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu sore
hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. al-
Bukhari dan selainnya).

Ibadallah,
Hadits ini merupakan landasan agar manusia tidak memiliki angan-angan yang panjang di dunia.
Orang yang beriman tidak sepantasnya menganggap dunia ini sebagai tempat tinggalnya yang
abadi. Namun, Seyogyanya ia menganggap hidup di dunia ini seperti musafir yang sedang
menyiapkan bekal bepergian menempuh perjalanan yang teramat panjang.

Ini sesuai dengan wasiat para Nabi dan Rasul ‘alaihimush shalatu was salam dan para pengikut
mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceirtakan tentang keluarga Fir’aun yang
beriman yang mengatakan :
Wahai kaumku! Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan
sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal. (QS. Ghafir/al-Mukmin/40:39)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Apalah artinya dunia ini bagiku?! Apa urusanku dengan dunia?! Sesungguhnya perumpamaanku
dan perumpamaan dunia ini ialah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon, ia istirahat
(sesaat) kemudian meninggalkannya. (HR. Ahmad dan selainnya).

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata :

Sesungguhnya dunia akan pergi meninggalkan kita, sedangkan akhirat pasti akan datang.
Masing-masing dari dunia dan akhirat memiliki anak-anak, karenanya, hendaklah kalian menjadi
anak-anak akhirat dan jangan menjadi anak-anak dunia, karena hari ini adalah hari amal bukan
hisab, sedang kelak adalah hari hisab bukan amal. (HR. al-Bukhari).

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata dalam khutbahnya, “Sesungguhnya dunia bukan
negeri yang kekal bagi kalian karena Allah telah menetapkan kehancuran bagi dunia dan
memutuskan bahwa penghuninya akan pergi. Betapa banyak bangunan yang kokoh tidak lama
kemudian hancur atau roboh dan betapa banyak orang mukim yang sedang bergembira tidak
lama kemudian dia meninggalkan dunia. Karena itu, hendaklah kalian —semoga Allah
merahmati kalian— memperbaiki kepergian kalian darinya dengan kendaraan paling baik yang
ada pada kalian dan berbekallah, sesungguhnya bekal paling baik ialah takwa.”

Sabda Nabi :

Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir.

Jika dunia bukan negeri domisili dan tempat yang abadi bagi orang Mukmin, maka orang
Mukmin harus bersikap dengan salah satu dari dua sikap: Pertama, seperti orang asing yang
menetap di negeri asing dan obsesinya (tujuan dan cita-citanya) ialah mencari bekal untuk
pulang ke tanah airnya. Kedua, seperti orang musafir yang tidak menetap sama sekali, dia terus
melanjutkan perjalanannya siang dan malam menuju negeri abadi.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma agar ia di dunia ini berada di antara salah satu dari kedua sikap berikut:

Pertama, orang Mukmin menempatkan dirinya di dunia ini seperti


orang asing dan ia membayangkan bisa menetap, namun di negeri asing. Hatinya tidak terpikat
dengan negeri asing tersebut. Hatinya tetap bergantung dengan tanah airnya, tempat ia akan
kembali kepadanya. Ia bermukim di dunia untuk menyelesaikan tujuan persiapannya untuk
pulang ke tanah airnya (yaitu Surga).
Kedua, orang Mukmin menempatkan dirinya di dunia seperti musafir yang tidak pernah mukim
di satu tempat, namun tetap berjalan melintasi tempat-tempat perjalanan hingga perjalanannya
terhenti di tempat tujuan, yaitu kematian. Barangsiapa sikapnya seperti ini di dunia, berarti dia
menyadari tujuannya yaitu mencari bekal untuk perjalanan dan tidak disibukkan dengan
memperkaya diri dengan perhiasan dunia. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berwasiat kepada sejumlah Sahabatnya agar bekal mereka dari dunia seperti bekal
pengendara atau musafir.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya cukup bagi kalian di dunia ini seperti bekal orang yang dalam perjalanan (HR.
Abu Ya’la).

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

Dan persiapkan dirimu termasuk orang yang akan menjadi penghuni kubur (pasti akan mati))

Kematian adalah akhir yang pasti akan dialami oleh seluruh makhluk. Kematian adalah pemisah
antara kehidupan dunia dan alam barzakh. Jika seseorang di dalam hatinya sering mengingat
kematian dan bersemangat dalam urusan akhirat, maka dia akan masuk ke dalamorang-orang
yang berlomba dalam kebaikan dan amalan shalih. Sebaliknya, jika hati seseorang lalai dari
mengingat kematian dan lupa kalau dirinya pasti akan meninggalkan dunia ini, maka dia akan
menjadi keras hatinya dan malas melakukan ketaatan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Perbanyaklah oleh kalian mengingat pemutus kelezatan (yaitu kematian) (HR. Ahmad).

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ,“Aku sedang bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian datang seorang laki-laki dari kalangan
Anshar, lalu ia mengucapkansalam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya:

Wahai Rasulullah! Siapa orang Mukmin yang paling utama?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Orang yang paling baik akhlaknya.’ Orang itu bertanya lagi, ‘Lalu siapa
orang Mukmin yang paling cerdas?’Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Orang yang
paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik persiapannya untuk menghadapi apa
yang terjadi setelahnya. Mereka itulah orang yang paling cerdas.’” (HR. Ibnu Majah dan ath-
Thabrani).

Orang mukmin yang pintar adalah orang yangselalu ingat kepada kematian dan paling baik
mempersiapkan diri untuk akhirat, karena seorang Mukmin itu yakin dengan seyakin-yakinnya
bahwa dia pasti akan mati dan pasti akan kembali kepada Allah Azza wa Jalla . Oleh karena itu,
dia selalu mempersiapkan bekal dengan takwa kepada Allah dan melakukan amal shalih sebaik-
baiknya dengan ikhlas dan mengikuti contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta
menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Dia bersungguh-sungguh memanfaatkan
waktu untuk berbuat kebaikan dan ketaatan kepada Allah sebanyak-banyaknya.
Salah seorang ulama Salaf menulis surat kepada saudaranya. Di suratnya ia berkata, “Saudaraku,
bayanganmu adalah engkau bermukim padahal engkau terus-menerus berjalan. Engkau dituntun
dengan penuntunan yang cepat, kematian diarahkan kepadamu, dan dunia dilipat dari
belakangmu. Usiamu yang telah berlalu tidak akan kembali lagi kepadamu hingga hari
ditampakkannya seluruh kesalahan (hari Kiamat) dikembalikan kepadamu.”

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata kepada seseorang, “Berapa usiamu?” ia menjawab,
“Enam puluh tahun.” Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Kalau begitu, sejak enam
puluh tahun silam, engkau berjalan kepada Rabbmu dan tidak lama lagi engkau tiba kepada-
Nya.” Ia berkata, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.” Al-Fudhail berkata, “Tahukah engkau
penafsiran ucapanmu tadi? Penafsirannya, aku adalah hamba Allah dan aku kembali kepada-
Nya. Barangsiapa mengetahui bahwa ia hamba Allah dan ia akan kembali kepada-Nya,
hendaklah ia mengetahui bahwa dirinya akan dihisab (pada hari kiamat). Barangsiapa
mengetahui bahwa dirinya akan dihisab (pada hari kiamat), hendaklah ia mengetahui bahwa ia
akan ditanya. Barangsiapa mengetahui bahwa dirinya akan ditanya, hendaklah ia menyiapkan
jawaban pertanyaannya.” Ia berkata, “Bagaimana caranya?” Al-Fudhail berkata, “Sederhana
sekali.” Ia berkata, “Apa itu?” Al-Fudhail berkata, “Engkau memperbaiki umur yang masih ada,
niscaya dosa-dosamu yang telah lalu diampuni, karena jika engkau berbuat salah di sisa usia
maka engkau disiksa karena dosa-dosa yang lalu dan dosa-dosa sekarang.”

Perkataan Ibnu ‘Umar:

Jika engkau berada di sore hari, janganlah menunggu pagi hari. Dan jika engkau berada di pagi
hari, janganlah menunggu sore hari

Wasiat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dalam hadits ini berisi tentang pendeknya angan-angan
dan jika seseorang berada di sore hari maka tidak perlu menunggu pagi hari serta jika ia berada
di pagi hari maka tidak perlu menunggu sore hari. Ia membayangkan ajal kematian
menjemputnya sebelum itu.

Jika seseorang mampu melakukan ketaatan, atau melakukan suatu amal kebaikan, maka
hendaklah ia bersegera melakukannya. Jangan ditunda atau diakhirkan, misalnya dengan
mengatakan, “Saya akan melakukannya di waktu lain.” Atau mengatakan, “Saya akan
melakukan itu nanti saja.” Atau “Saya akan melakukannya besok.” Atau “Saya akan sedekah
besok.” Atau “Saya akan ngaji pekan depan.” Atau “Saya akan umrah tahun depan.” Kalau ada
waktu dan harta kenapa ditunda?! Dan semua perkataan-perkataan di atas merupakan pintu
masuk setan untuk memalingkan manusia dari berbuat kebaikan. Sehingga waktunya terbuang
sia-sia tanpa ada manfaatnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam menerangkan sifat orang-orang Mukmin:

Mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu
memperolehnya. (Al-Mu’minun/23:61)

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Umar radhiyallahu ‘anhu menulis kepada Abu Musa
al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu : Amma ba’du. Sesungguhnya kekuatan dalam amal yaitu engkau
tidak menunda pekerjaan hari ini ke hari esok. Karena jika engkau berbuat demikian, maka
pekerjaan-pekerjaan itu akan banyak dan menumpuk, lalu engkau tidak tahu mana yang harus
dikerjakan lebih dahulu, dan akhirnya hilanglah waktumu.”

Jangan sekali-kali menunda amal shalih yang dapat kita lakukan hari ini. Karena kita tidak tahu
apa yang akan terjadi esok hari.
Perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma :

Gunakan waktu sehatmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum matimu

Maksudnya, kerjakan amal-amal shalih dalam kehidupan ini sebelum engkau terhalangi oleh
sakit dan kerjakan amal-amal shalih dalam kehidupan ini sebelum engkau dipisahkan oleh
kematian.

Dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah :

Karena engkau, wahai Abdullah, tidak tahu apa namamu besok (HR. at-Turmudzi dan al-
Baghawi).

Maksudnya, barangkali besok engkau termasuk orang-orang yang meninggal dunia, bukan
orang-orang yang hidup. Engkau juga tidak tahu apakah termasuk orang yang celaka, atau orang
yang bahagia.

Wasiat yang sama diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma , dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

Dua nikmat yang banyak sekali manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu
luang. (HR. al-Bukhari dan selainnya).

Ibnu Baththal berkata, “Makna hadits tersebut yaitu seseorang tidak disebut luang sampai ia
berkecukupan dan sehat badannya. Siapa yang memperoleh itu, maka hendaklah ia bersemangat
agar tidak tertipu dengan meninggalkan syukur kepada Allah atas nikmat yang Allah berikan
kepadanya. Dan mensyukurinya yaitu dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya
danmenjauhkan larangan-larangan-Nya. Siapa yang tidak berbuat demikian, maka dialah orang
yang tertipu. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “banyak manusia tertipu”
menunjukkan bahwa yang diberi taufik (untuk tidak tertipu dengan kedua nikmat tersebut-pent)
jumlah sedikit.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Seseorang bisa saja sehat tapi ia tidak memiliki waktu luang
karena sibuk dengan pekerjaannya. Atau ia memiliki waktu luang tapi tidak sehat. Jika keduanya
berkumpul, lalu ia bermalas-malasan untuk melakukan ketaatan, maka dialah orang yang tertipu.
Dunia adalah ladang akhirat, di dalamnya ada perniagaan yang sangat jelas keuntungannya di
akhirat, siapa yang menggunakan waktu luang dan sehatnya untuk taat kepada Allah Azza wa
Jalla , maka ia adalah orang yang sukses. Tapi, siapa yang menggunakannya dalam maksiat
kepada Allah Azza wa Jalla , maka ia adalah orang yang tertipu. Karena setelah waktu luang
akan datang kesibukan dan setelah sehat akan datang sakit.”

Ath-Thibi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perumpamaan


seorang pedagang yang memiliki modal, ia mengharapkan keuntungan dengan modal yang tetap
terjaga. Caranya yaitu dengan memilih orang yang bermu’amalah dengannya dan selalu jujur
serta pandai agar ia tidak tertipu. Kesehatan dan waktu luang adalah modal, dan sepatutnya
seseorang bermu’amalah dengan Allah Azza wa Jalla dengan iman, berjuang melawan hawa
nafsu dan musuh agama, agar ia beruntung di dunia dan akhirat.”

Ibadallah,

Seorang Muslim wajib segera bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan segera mengerjakan
amal-amal shalih sebelum ia tidak sanggup mengerjakannya atau ia terhalangi oleh sakit,
musibah, atau kematian, atau ia melihat salah satu tanda hari Kiamat, yang ketika itu taubat tidak
lagi diterima.

Jika seseorang telah dipisahkan dari amalnya, maka yang tersisa adalah kerugian dan ingin
kembali kepada kondisi yang memungkinkannya untuk beramal, tapi angan-angan ini tidak
bermanfaat baginya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab
kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong. Dan ikutilah sebaik-baik yang diturunkan
kepadamu (al-Qur-an) dari Rabbmu sebelum datang adzab kepadamu secara mendadak, sedang
kamu tidak menyadarinya, agar jangan ada orang yang mengatakan, ‘Alangkah besar
penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, dan sesungguhnya
aku termasuk orang-orang yang memperolok-olok (agama Allah),’ atau (agar jangan) ada yang
berkata ketika melihat adzab: ‘Sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku
termasuk orang-orang yang bertakwa,’ atau (agar jangan) ada yang berkata: ‘Sekiranya aku dapat
kembali (ke dunia) tentu aku termasuk orang-orang yang berbuat baik.’”(Az-Zumar/39:54-58)

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang
dari mereka, dia berkata, ‘Wahai Rabbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat
kebajikan yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak! Sungguh, itu adalah dalih yang
diucapkannya saja.Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai pada hari mereka dibangkitkan.
(Al-Mu’minun/23: 99-100)

Ibadallah,
Muhammad bin ‘Abdul Baqi rahimahullah (wafat th. 535 H) t mengatakan, “Aku tidak pernah
menyia-nyiakan waktuku yang pernah berlalu untuk bermain-main dan berbuat yang sia-sia.”
Ketahuilah, waktu itu terbagi menjadi beberapa bagian. al-Khalîl bin Ahmad (wafat tahun 160
H) t mengatakan, “Waktu itu ada tiga bagian : waktu yang telah berlalu darimu dan takkan
kembali, waktu yang sedang kau alami, dan lihatlah bagaimana ia akan berlalu darimu, dan
waktu yang engkau tunggu, bisa jadi engkau tidak akan mendapatkannya.”

Ada riwayat yang sangat mengagumkan, yang menunjukkan kesungguhan para Ulama salaf
dalam menggunakan waktu. Yaitu riwayat yang disebutkan Imam adz-
Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A’lamin Nubala‘ tentang Dawud bin Abi Hindun (wafat th.
139 H) rahimahullah. Dawud berkata, “Ketika kecil aku berkeliling pasar. Ketika pulang,
kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla hingga tempat tertentu. Jika telah
sampai tempat itu, kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga
tempat selanjutnya… hingga sampai di rumah.” Tujuannya adalah menggunakan waktu dari
umurnya.
Berusahalah dengan sungguh-sungguh, setelah mengikhlaskan niat karena Allah Azza wa Jalla ,
untuk menggunakan waktu dengan hal-hal yang bermanfaat seperti beribadah kepada Allah,
berdzikir, mengaji, membaca al-Qur`an dan tafsirnya, membaca buku-buku yang bermanfaat,
menuntut ilmu syar’i, berbuat baik kepada kedua orang tua, membantu orang yang susah, fakir
miskin, dan banyak lagi hal bermanfaat lainnya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Diantara indikasi baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat
baginya. (HR. at-Turmudzi dan selainnya).

Khutbah Kedua:

Ibadallah,

Janganlah menyia-nyiakan waktu pada sesuatu yang membahayakan atau hal-hal yang tidak
bermanfaat. Sebab, hari-hari itu adalah kehidupan kita. Apabila satu hari berlalu, hilanglah
sebagian dari kehidupan kita. Bersungguh-sungguhlah dalam mengatur waktu dan
menggunakannya pada yang bermanfaat. Di antara bentuk pemanfaatan waktu adalah :

Bergegas menuntut ilmu di masa muda. Karena masa ini adalah masa yang penuh kekuatan,
semangat dan tekad yang kuat. Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah mengatakan, “Hendaknya
seorang penuntut ilmu bersegera memanfaatkan masa mudanya dan seluruh umurnya untuk
memperoleh ilmu. Janganlah ia tertipu dengan angan-angan hampa dan menunda-nunda, karena
setiap jam dari umurnya akan berlalu, tidak akan pernah kembali dan tidak dapat diganti.”

Mengatur waktu dalam menuntut berbagai ilmu, dan mengaturnya untuk mendapatkan apa yang
bermanfaat baginya. Imam Ibnu Jama’ah t mengatakan tentang adab penuntut ilmu yang kelima
terhadap dirinya, “Hendaklah ia membagi waktu malam dan siangnya, dan memanfaatkan sisa
umurnya karena umur yang tersisa tidak ada bandingannya.”
Tidak berlebihan dalam bergaul atau jalan-jalan ke pasar atau tempat lainnya untuk sesuatu yang
tidak penting dan tidak bermanfaat. Karena perbuatan seperti ini resiko buruknya lebih besar
daripada manfaatnya. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati. Resiko yang paling kecil adalah
menyia-nyiakan waktu dengan teman gaulnya dan tidak ada manfaat yang mereka raih dari
pergaulan itu karena banyak canda, basa-basi dan membicarakan sesuatu yang tidak
bermanfaatnya.

Tidak terlalu banyak tidur. Tidurlah sesuai dengan kebutuhan. Imam Ibnu
Jama’ah rahimahullah mengatakan, “Hendaklah menyedikitkan tidur selama tidak
mendatangkan bahaya pada badan dan otaknya. Janganlah menambah waktu tidur melebihi
delapan jam, yaitu sepertiga waktunya (dari 24 jam). Jika memungkinkan untuk tidur kurang dari
waktu tersebut, maka lakukanlah !”

Tidak terlalu banyak makan, minum dan jima’ (bersetubuh). Karena itu menghabiskan waktu,
baik dalam memperolehnya maupun mempersiapkan berbagai sarananya.

Seorang Mukmin wajib menggunakan waktunya pada berbagai perkara yang bermanfaat, karena
umur (waktu) akan dimintakan pertanggung-jawabannya oleh Allah Azza wa Jalla , digunakan
untuk apa? Begitu pula ilmu, apa yang telah diamalkan darinya, dan selainnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang
umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan, tentang hartanya
dari mana ia peroleh dan ke mana ia habiskan, dan tentang tubuhnya—capek dan letihnya—
untuk apa ia gunakan. (HR. at-Turmudzi).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk
kesabaran. (Al-‘Ashr/103:1-3).

Anda mungkin juga menyukai