Anda di halaman 1dari 7

Nama : Dealita Aulia

Kelas : XI-MIA 2
Absen : 07

KEMATIAN ORANG BERIMAN

Kematian adalah suatu kata yang tidak asing ditelinga kita, akan tetapi dapat
menggetarkan hati setiap insan yang bernyawa, Mengapa ? Karna kematian
merupakan suatu keniscayaan yang akan dialami oleh setiap makhluk yang bernyawa.
Entah dia seorang yang kaya atau seorang yang miskin entah dia seorang yang muda
atau yang tua entah dia seorang pejabat tinggi maupun rakyat biasa. Semua itu pasti
akan mengalami kematian.

Berkenaan dengan ini Allah SWT berfirman dalam Al-Qur an surat Al-Imran
ayat 185 yang artinya : "Sesungguhnya setiap yang bernyawa pasti akan mengalami
kematian dan sesungguhnya semua amalan akan disempurnakan diakhirat nanti"
Berkenaan dengan ayat diatas tadi jelas sekali bahwa setiap yang bernyawa pasti akan
mengalami kematian.

Ada suatu riwayat, ketika Rasul SAW ditanya oleh salah seorang sahabat "Ya
Rasulullah ketika engkau telah tiada maka kepada siapa lagi hamba meminta
nasihat” kemudian Rasul SAW menjawab “Wahai sahabat sesungguhnya aku telah
meninggalkan 2 nasihat kepada kamu. Nasehat yang pertama adalah nasehat yang
berbicara dan nasehat yang kedua adalah nasehat yang diam” Lalu sahabat
kemudian bertanya lagi kepada Rasul Saw “Ya.. Rasulullah apakah nasehat
Berbicara itu ya Rasul dan apakah nasehat yang diam itu wahai Rasulullah”
Rasulullah kemudian menjawab “Wahai sahabat sahabatku nasehat yang berbicara
itu ialah Al-Quran dan yang diam itu adalah kematian”

Rasulullah SAW pernah ditanya oleh salah seorang sahabat “Ya Rasulullah
siapakah orang yang paling berakal dan siapakah orang yang paling bijaksana?”
kemudian Rasulullah SAW menjawab “Orang yang paling berakal adalah orang
yang paling banyak mengingat kematian. Sementara orang yang paling bijaksana
adalah orang yang paling baik persiapannya. Dia akan mendapat kemuliaan di dunia
dan akhirat”

Wahai teman-temanku sekalian kematian merupakan universitas terbaik dalam


kehidupan kita. Mengapa demikian? Karna seperti kita ketahui bersama bahwa kita
sering diperhadap dengan suatu kejadian yang berkaitan dengan kematian. Ketika kita
sama-sama memandinkan jenazah, mengkafani jenazah, menyolati jenazah, dan
mengantarkan jenazah sampai ke tempat peristiraharan terakhirnya. Dan kita tidak
pernah mengetahui kapan giliran kita selanjutnya akan dipanggil. mungkin saja tahun
ini, bulan ini, dan bahkan besok pun kita tidak pernah akan mengetahui kapan giliran
kita selanjutnya akan dipanggil.
Keyakinan orang beriman akan adanya kehidupan sesudah kematian
menyebabkan dirinya selalu berada dalam mode standby menghadapi kematian. Ia
memandang kematian sebagai suatu keniscayaan. Tidak seperti orang kafir yang
selalu saja berusaha untuk menghindari kematian. Orang beriman sangat dipengaruhi
oleh pesan Rasulullah SAW yang bersabda “Banyak-banyaklah mengingat penghapus
kenikmatan, yakni kematian” (HR Tirmidzi 2229)

Sedangkan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pernah berkata “Bila
manusia meninggal dunia, maka pada saat itulah ia bangun dari tidurnya”
Subhanallah berarti beliau ingin mengatakan bahwa manusia yang menemui ajalnya
adalah manusia yang justru baru mulai menjalani kehidupan sebenarnya. Sedangkan
kita yang masih hidup di dunia ini justru masih “belum bangun”. Sungguh, ucapan ini
sangat sejalan dengan firman Allah SWT yang artinya “Dan tiadalah kehidupan
dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah
yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” (QS Al-Ankabut 64).

Pantas bilamana Ali radhiyallahu’anhu pula yang berkata “Dunia pergi menjauh
dan akhirat datang mendekat. Karena itu, jadilah kalian anak-anak akhirat, jangan
menjadi budak-budak dunia. Sekarang waktunya beramal, dan tidak ada
penghisaban. Sedangkan besok waktunya penghisaban, tidak ada amal.” Lalu,
bagaimanakah kematian orang beriman? Dalam sebuah hadits Rasulillah SAW sallam
bersabda “Orang beriman meninggal dengan kening penuh keringat” (HR Ahmad
21886)

Penulis produktif Aidh Al-Qarni menulis ”Saya menyeru setiap orang tua agar
mengingat kematian. Sadar bahwa dirinya sudah mendekat maut serta tidak mungkin
bisa lari darinya. Jadi, siapkan diri untuk menemui Allah. Karena itu, sudah
sepantasnya ia menjauhi akhir kehidupan yang jelek dan memperbanyak amal
kebaikan sehingga dapat berjumpa dengan Allah ta’aala dalam keadaan diridhai”

Ambillah keteladanan dari kematian Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu


’anhu. Ia ditikam oleh Abu Lu’luah saat sedang mengimami sholat subuh. Umarpun
jatuh tersungkur bersimbah darah. Dalam keadaan seperti itu ia tidak ingat isteri, anak,
harta, keluarga, sanak saudara atau kekuasaannya. Yang ia ingat hanyalah “Laa ilaha
illallah Muhammad rasulullah, hasbiyallah wa ni’mal wakil” Setelah itu ia bertanya
kepada sahabatnya ”Siapakah yang telah menikamku?” kemudian sahabatnya
menjawab “Kau ditikam oleh Abu Lu’luah Al-Majusi” Umar radhiyallahu’anhu
kemudian berkata “Segala puji bagi Allah SWT yang membuatku terbunuh di tangan
orang yang tidak pernah bersujud kepada-Nya walau hanya sekali” kemudian Umar-
pun mati syahid.

Ketika Rasulullah SAW menghadapi sakaratul maut beliau mengambil secarik


kain dan menaruhnya di wajah beliau karena parahnya kondisi yang beliau hadapi.
Lalu beliau berdoa “Laa ilaha illallah… Laa ilaha illallah… Laa ilaha illallah.
Sungguh kematian itu sangat pedih. Ya Allah, bantulah aku menghadapi sakratul
maut. Ya Allah, ringankanlah sakratul maut itu buatku” (HR Bukhary-Muslim)
Aisyah radhiyallahu’anha menuturkan “Demi Allah, beliau mencelupkan kain itu ke
air lalu meletakkannya di atas wajah beliau seraya berdoa “Ya Allah, bantulah aku
menghadapi sakratul maut””.
Teman-temanku sekalian marilah kita mempersiapkan diri untuk menghadapi
kematian yang bisa datang kapan saja. Kematian yang sungguh mengandung
kepedihan bagi setiap manusia yang mengalaminya. Hingga kekasih Allah SWT saja,
yakni Rasulullah SAW berdoa agar Allah SWT merringankan bagi dirinya sakaratul
maut. Tidak ada seorangpun yang tidak bakal merasakan kepedihan sakratul maut.
Seperti dalam QS. Ali Imran ayat 185 yang artinya “Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati”

Marilah teman-temanku kita mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan


segera bertaubat memohon ampunan dan rahmat Allah SWT sebelum terlambat.
Sebab begitulah kematian orang kafir. Suatu bentuk kematian yang diwarnai
penyesalan yang sungguh terlambat. Maksud dari demikianlah keadaan orang-orang
kafir itu yaitu apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, kemudian
mereka berkata, "Ya Tuhanku kembalikanlah aku ke dunia, agar aku berbuat amal
yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak” Sesungguhnya itu
adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh
(dinding) sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS Al-Mu’minun 99-100)

Kematian itu milik semua makhluk Allah, baik manusia, hewan, tumbuhan
termasuk bangsa malaikat dan setan semuanya akan merasakan apa yang namanya
kematian. Kematian adalah sebuah tahapan dari kehidupan yang kejadiannya bersifat
pasti. Ia akan datang menjemput tanpa dapat dihindari. Kehadirannya sering
menimbulkan ketakutan pada awalnya dan senantiasa melahirkan kesedihan pada
akhirnya. Bahkan, kesedihan yang berkepanjangan dan berlarut-larut. Kematianlah
yang membuat seluruh kenikmatan dan kebahagiaan terputuskan yang kemudian
diganti oleh penderitaan dalam kehidupan dunia.

Kematian pula yang membuat hubungan antara orang-orang yang dicintai dan
yang mencintai terpisahkan. Karena kematian, seseorang harus meninggalkan harta
benda yang begitu dicintai, begitu dibanggakan dan begitu diagungkan dan sejumlah
harta benda yang diklaim adalah miliknya sendiri. Seperti dalam QS. At-Takatsur ayat
1-2 yang berbunyi “Alhaakumut takaatsuru hattaa zurtumul maqabir” yang artinya
“Bermegah-megahan telah melalaikan kalian hingga kalian sampai di alam kubur”

Ingat teman-temanku kematian itu begitu dekat dan sangatlah dekat. Maka dari
itu saya mengingatkan kepada seluruh teman-temankuagar kita jadikan kematian
sebagai guru terbaik kita agar kelak datang waktunya kita dipanggil kita telah siap
untuk menghadapnya.

Tak ada satu untuk seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa
berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah
waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di
mana kematian akan menjemputnya. Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu
pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak
ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt
mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1 yang artinya “Telah dekat kepada
manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam
kelalaian lagi berpaling (daripadanya).”

Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-
tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, “Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja.
Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan” Tapi sayang,
permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada
perundingan. Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44 yang artinya “Dan
berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang
azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim “Ya Tuhan kami, beri
tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi
seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul”

Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa. Kalau kehidupan dunia


bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala
peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara
mengatakan ‘habis’, usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang
sebenarnya. Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras
akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal,
sandiwara sudah berakhir. Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan
pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang
kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita.
Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir.
Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan
kedalam laci-laci peran. Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin
bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu,
teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua
berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.

Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa. Fikih Islam


menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat
kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata
Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan
itu. Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma
tubuh kecil yang telanjang. Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan
diri ketika kita meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta
dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi
pun bersama sesuatu yang tak berharga. Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik
sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah.
Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-
apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun
berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.

Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara Kejayaan dan kesuksesan


kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup
selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak
satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini. Ketika
sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian
berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan
berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus:
awal, berkembang, dan kemudian berakhir.

Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga Seorang hamba Allah


yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga.
Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan
memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan
sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus
dikembalikan. Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan
surah Al-Qashash ayat 77, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) dunia…" dengan menyebut, "Ad-Dun-ya mazra’atul
akhirah." (Dunia adalah ladang buat akhirat).

Anda mungkin juga menyukai