Anda di halaman 1dari 28

wzTooltipfLayoutInCell1fAllowOverlap1fBehindDocument0fIsButton1fHidden0fLayoutInCel

l1

KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP P R M U N

E E P A

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK ANGEL

• Hotnida Rambe (10508680)


1
• Indah Fajar Sari (10508685) • Puji Dinda Sartika (10508681) • Riyan Abdullah
(10508643) • Sulastri (10508676) • Yusi Mirnawati (10508667) KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas berkat Rahmat-Nya
lah kelompok kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan” untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila pada
semester I. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat
dalam pembuatan makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya. Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari para pembaca.
Semoga makalah ini khususnya dapat berguna bagi teman – teman Mahasiswa dan umumnya
bagi para pembaca / masyrakat diseluruh Indonesia, apabila terdapat kesalahan
didalam penulisan makalah ini agar dapat dimaklumi karena kami masih dalam proses
belajar. Terima Kasih.

Penyusun,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar


Belakang………………………………………………………………………… 5 BAB II 2.1 Badan Independen
…………………………………………………………………….7 2.2 Legalitas………………………………………………………………………………..10 BAB
III 3.1 Visi dan Misi Dari Komnas Perempuan………………………………………………..13 3.1.1
Visi……………………………………………………………………………… 13 3.1.2 Misi………………………………………………………………………………13
3.2 Tanggung Jawab dari Komnas Perempuan…………………………………………… 14 3.3 Struktur
Organisasi dari Komnas Perempuan……………………………………….…15 3.4
Kemitraan……………………………………………………………………………...18 3.5 Contoh
Kasusu………………………………………………………………….……..20 Kesimpulan……………………………………………………………………………24
3
4.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………25

BAB I
PENDAHULUAN
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, atau disingkat ‘Komnas
Perempuan’, lahir dari sebuah tragedi kemanusiaan. Pada pertengahan bulan Mei 1998,
terjadi kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota lain. Di tengah penjarahan,
pembakaran serta pembunuhan, perempuan etnik Tionghoa dijadikan sasaran perkosaan
dalam penyerangan massal pada komunitas Tionghoa secara umum. Tim Relawan Untuk
Kemanusiaan, sebuah organisasi masyarakat yang memberi bantuan pada korban
kerusuhan, mencatat adanya 152 perempuan yang menjadi korban perkosaan, 20
diantaranya kemudian dibunuh. Tim Gabungan Pencari Fakta, yang didirikan pada tahun
yang sama oleh pemerintahan Habibie untuk melakukan investigasi terhadap kerusuhan
ini, menghasilkan verifikasi terhadap 76 kasus perkosaan dan 14 kasus pelecehan
seksual. Atas tuntutan para pejuang hak perempuan akan pertanggungjawaban negara
atas kejadian ini, tercapai kesepakatan dengan Presiden RI untuk mendirikan sebuah
komisi independen di tingkat nasional yang bertugas menciptakan kondisi yang
kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan
HAM perempuan di Indonesia. Inilah latar belakang pembentukan Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan yang didirikan berdasarkan keputusan Presiden Nomor
181 Tahun 1998.
1.1 LATAR BELAKANG
Perempuan merupakan tonggak dunia, dimana sebuah kesuksesan maupun kehancuran
terletak dalam sebuah genggaman seorang perempuan. Tetapi saat ini perempuan justru
banyak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, pekerja rumah tangga yang
bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai buruh migran, serta menjadi
korban kekerasan seksual. Dan akhirnya tepat pada tahun 1998 didirikanlah sebuah
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang dibentuk berdasarkan
keputusan Presiden Nomor 181, yang dilatarbelakangi oleh “Insiden 1998”. Dan selama
10 tahun ini, “Komnas Perempuan” telah mulai menampakkan hasil kerjanya, walaupun
masih belum sempurna. Komnas Perempuan mencatat tiga hal penting yang mendasari
belum maksimalnya penanganan kasus, antara lain, pertama, masih lemahnya perspektif
penegak hukum terhadap perempuan korban kekerasan. Akibatnya alih-alih mendapat
perlindungan dari pengayom masyarakat, para perempuan korban kekerasan justru
mengalami reviktimisasi atau kekerasan yang berulang. Kedua, proses penanganan
kasus belum mengakomodir pengalaman perempuan dan belum berperspektif gender.
Ketiga, perempuan korban masih sangat sulit mengakses keadilan lewat jalur formal
atau non formal. Namun diharapkan kedepannya akan dapoat lebih terarah sesuai visi
dan misinya dan tentunya hal ini tidak lepas dari kerja sama dengan berbagai pihak,
terutama Pemerintah. Adapun Latar Belakang kelompok kami mengangkat tema “Komnas
Perempuan” dalam bentuk makalah adalah untuk memberitahukan kepada segenap anggota
masyarakat Indonesia bahwa pentingnya didirikan sebuah Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan yang dapat mengangkat harkat dan martabat seluruh
perempuan di Indonesia, sehingga Perempuan Indonesia menjadi lebih dihargai oleh
berbagai pihak. Selain itu makalah ini diharapkan dapat memberikan
5
pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat atas hak-hak perempuan untuk memperoleh
keadilan dari tindak kekerasan. Perempuan harus menerima “keadilan” sebagai sebuah
bentuk terpenuhinya hak-hak dasar mereka, kepemilikan kesetaraan hak dengan suami
atau laki-laki, kemampuan menjerat dan menghukum pelaku kekerasan secara adil,
kepemilikan posisi yang setara dengan laki-laki, serta adanya kondisi saling
menghormati antara sesama manusia tanpa membedakan jenis kelamin dan status sosial.
Penjelasan diatas mendasari Penulis untuk tertarik meneliti, menulis dan membahas
tentang “Komnas Perempuan”. Semoga makalah ini dapat dijadikan rujukan untuk
penulisan selanjutnya dan menambah wawasan para pembaca akan pentingnya penghargaan
terhadap perempuanperempuan Indonesia.
BAB II
2.1 Badan Independen
Badan Independen, adalah lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat, namun bekerja
secara independen. Berikut adalah daftar beberapa Badan Independen:
• • • • • • • • • •

Badan Nasional Sertifikasi Profesi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Komisi
Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Komisi Ombudsman Nasional (KON) Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI)

DIVISI REFORMASI HUKUM DAN KEBIJAKAN


7
Periode 2002 s/d 2008 Komnas Perempuan sebagai sebuah komisi nasional satu-satunya
di Indonesia memiliki mandat yang khusus di dalam menjalankan perannya untuk
menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu misinya yang terkait
dengan pembaruan hukum dan kebijakan, adalah mandat untuk mendorong penyempurnaan
peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang kondusif serta membangun sinergi
dengan lembaga pemerintah dan lembaga publik lain yang mempunyai wilayah kerja atau
juridiksi yang sejenis untuk pemenuhan tanggung jawab negara dalam penghapusan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan mendukung upaya-upaya pencegahan
dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Secara khusus KP
lewat divisi pembaruan hukum dan kebijakan bekerja untuk mendorong lahirnya
kerangka undang-undang dan kebijakan bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Bersama-sama dengan lembaga-lembaga penegak hukum, seperti: kepolisian, kejaksaan,
kehakiman dan asosiasi advokat dan organisasi perempuan. Terkait dengan ini maka
juga dilakukan penguatan kapasitas dari para aparat penegak hukum, yaitu dalam
rangka mewujudkan sistem peradilan yang terpadu dan peka gender dalam penyelesaian
kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Program Kerja Divisi Reformasi Hukum dan
Kebijakan Mandat utama dari Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (disingkat Divisi
RHK) adalah untuk mendorong lahirnya kerangka undang-undang dan kebijakan bagi
penghapusan kekerasan terhadap perempuan. bersama-sama dengan lembaga-lembaga
penegak hukum, yang terdiri dari: Kepolisian (UPPA), Kejaksaan Agung (GFP,
JAMPidum, JAMBin), Kehakiman (Mahkamah Agung: Tim Pembaruan Peradilan, Diklat, dan
Badilag), dan Asosiasi Advokat beserta dengan organisasi perempuan dan kelompok
akademisi (spt: LBH Apik Jakarta, DERAP Warapsari, dan Pusat Kajian Wanita
Universitas Indonesia). Pada dasarnya Divisi RHK memiliki dua fungsi pokok yang
terkait dengan mandat dari Komnas Perempuan beserta dengan program kerjanya masing-
masing, sebagai berikut:
1. Advokasi Kebijakan yang Pro-PerempuanUntuk kegiatan yang terkait dengan proses

advokasi terhadap perundang-undangan, sejak tahun 2002 Komnas Perempuan bersama-


sama dengan teman-teman dari beberapa kelompok atau organisasi perempuan, dan juga
dengan salah satu organisasi yang ada di DPR RI, Forum Parlemen Indonesia untuk
Kependudukan dan Pembangunan (IFPPD), yaitu untuk mendesak agar diundangkannya
sebuah kebijakan tentang
Kekerasan dalam rumah Tangga (KDRT), yang kemudian pada tahun 2004 disahkannya
sebuah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Selain itu ada juga undang-
undang yang lainnya, seperti: UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dimana
dalam mengadvokasikannya Komnas Perempuan melakukan kerjasama dengan teman-teman
dari Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban (spt: ELSAM, ICW, YLBHI, LBH Jakarta,
KONTRAS, JATAM, dll), yang kemudian disahkannya menjadi sebuah UU No. 23 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban; Komnas Perempuan juga mengadvokasi Revisi
atau Amandemen terhadap KUHAP, khususnya untuk beberapa pasal yang terkait dengan
proses penanganan oleh para penegak hukum dan pembuktian terhadap kasus-kasus
kekerasan terhadap perempuan.Komnas Perempuan juga ikut terlibat di dalam proses
advokasi dari UU Pornografi, dan Amandemen terhadap UU Kesehatan. Semua proses
advokasi ini dilakukan secara bersama-sama dengan organisasi peremuan dan juga
dengan pihak Pemerintah yang terkait dengan isu atau tema dari undang-undang
tersebut.
2. Penguatan Kapasitas Penegak HukumMengenai penguatan kapasitas dari masing-masing

penegak hukum, maka Divisi RHK dalam menjalankan fungsi atau peran ini memiliki
sebuah program kerja untuk Penguatan Penegak Hukum (disingkat PPH), dimana tujuan
dari program kerja ini adalah untuk mewujudkan sistem peradilan yang terpadu dan
peka gender di dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Untuk
melaksanakan program kerja ini Komnas Perempuan melakukan kerjasama dengan beberapa
organisasi, seperti: LBH Apik Jakarta, DERAP Warapsari dan PKWJ UI.Program PPH ini
telah dilaksanakan sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2009 (sampai bulan April
2009). Beberapa kegiatan dari program PPH ini, seperti: melakukan lobby dengan
masing-masing pimpinan dari institusi Penegak Hukum, seperti: lobby dengan Ketua
dan Wakil Ketua MA RI, khususnya tentang SEMA Pendamping; lobby dengan ketua dari
GFP di Kejagung tentang peningkatan kapasitas dan peran dari GFP di wilayah
Kejagung khususnya dalam penanganan kasus-kasus KTP; lobby dengan para petinggi di
institusi Kepolisian untuk mendesak agar RPK dimasukkan kedalam struktur organisasi
Kepolisian. Selain melakukan lobby dengan para pimpinan di masingmasing institusi
penegak hukum, para mitra PPH juga melakukan sosialisasi dan pelatihan bagi masing-
masing penegak hukum dan juga melakukan pemantauan terhadap proses penanganan untuk
kasus-kasus KTP (KDRT, Perkosaan, Pelecehan Seksual). Sejak tahun 2007 sampai tahun
2008, Komnas Perempuan banyak melakukan kerjasama dengan
9
para Hakim, baik para Hakim yang ada di wilayah Peradilan Agama ataupun di wilayah
Peradilan Umum. Bentuk kerjasamanya, khusus dengan para hakim dari Peradilan Agama
dan juga dengan pihak Badilag, yaitu Komnas perempuan telah menyusun sebuah Buku
Referensi bagi para Hakim Peradilan Agama tentang KDRT, dimana Buku Referensi ini
sebagai salah satu rekomendasi dari hasil Lokakarya yang dilakukan oleh Komnas
Perempuan dengan para Hakim Peradilan Agama dari wilayah Jabodecitabek, dan buku
ini telah dipublikasikan pada bulan Juli 2008. Pada bulan Oktober 2008, Komnas
Perempuan kembali melakukan kerjasama dengan para Hakim Peradilan Agama, yaitu
mengadakan Sosialisasi tentang Buku Referensi bagi para Hakim Peradilan Agama
tentang KDRT, dimana peserta dari sosialisasi ini adalah para Hakim PA dari 8
Provinsi di Indonesia, spt: DKI Jakarta, Jabar, Jatim, Jateng, Sumsel, Sumut,
Sumbar, DIY, Kep. Riau dan Sulsel. Total peserta dari kegiatan sosialisasi ini
adalah sebanyak 20 orang Hakim PA, baik yang ada di tingkat I (Pengadilan Agama)
dan di tingkat II (Pengadilan Tinggi Agama)/Hakim Tinggi. Untuk kerjasama dengan
para hakim dari Peradilan Umum, Komnas Perempuan sudah mulai melakukan lobby dengan
Ketua Tim Pembaharuan Peradilan MA. RI., yaitu akan melakukan Pelatihan untuk
Peningkatan Sensitivitas Gender di kalangan para Hakim Peradilan Umum dalam
Mengimplementasikan UU PKDRT (Desember 2008).

2.2 LEGALITAS
Dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 (UU No.7/1984), Konvensi Tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) disahkan. Menurut
aturan hukum internasional dikenal dengan istilah pacta sunt servanda, perjanjian
internasional yang telah disahkan wajib dilaksanakan. Negara negara dunia tidak
boleh dikecualikan dari kewajiban itu bersandarkan ketentuan hukum nasional mereka.
Melainkan, jika hukum nasional mengurangi pelaksanaan sesuatu perjanjian
internasional, hukum nasional itu wajib diubah. Kewajiban tersebut ditambah dengan
pasal CEDAW yang menyatakan Negara Negara Peserta CEDAW wajib mengubah hukum
nasional agar menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita.
Adapun Dasar Pembentukan dari Convetion on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women ( CEDAW ), yaitu : • UU No.7/1984 Tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
(Convention on the Elimination of All Forms of Discirmination Against Women). •
Pasal 26 yo. Pasal 27 Konvensi Wina Terhadap Perjanjian Internasional (Vienna
Convention on the Law of Treaties 1969); Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, SH, Hukum
Internasional (1998), hal.65; Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum
Bangsa Bangsa (1989), hal.81. Sebagaimana demikian, lihat Bagian III, butir 2 yo.
butir 3 Penjelesan Atas UU No.5/1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan Dan
Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan
Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment) maupun Bagian I Angka 2 Penjelesan Atas UU No.29/1999
Tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of
Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) dll. Bandingkan Bagian I Penjelesan Atas UU
No.7/1984. • • Pasal 2 butir a s/d butir c serta butir f yo. butir g, Pasal 3,
Pasal 6 dan Pasal 24 CEDAW. Sumpah Presiden Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf
Habibie Tanggal 21 Mei 1999 berlandaskan Pasal 8 Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yo.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR) Nomor
VII/MPR/1973 Tentang Keadaan Presiden Dan / Atau Wakil Presiden Republik Indonesia
Berhalangan, UU No.3/1999 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu); Pasal 1 TAP MPR
No.VII/MPR/1999 Tentang Pengankatan Presiden Republik Indonesia; Pasal 1 TAP MPR
No.VIII/MPR/1999 Tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republic Indonesia. • TAP MPR
Nomor III/MPR/1978 Tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi
Negara Dengan / Atau Antar Lembaga Lembaga Tinggi Negara, KepPres No.181/1998
Tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekarasan Terhadap Perempuan. Lihat juga
hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional di Indonesia, Bab III,
Bagian 2.1, infra. • UU No.14/1970 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No.35/1999 Tentang Perubahan Atas
Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman; TAP MPR Nomor
11
III/MPR/1978 Tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara
Dengan / Atau Antar Lembaga Lembaga Tinggi Negara; UU No.14/1985 Tentang Mahkamah
Agung, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1/1993, UU No.5/1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara beserta peraturan pelaksananya. • • KepPres No.50/1993 Tentang
Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagaimana telah diganti dengan UU
No.39/1999. Keputusan Presiden (KepPres) No.129/1998 Tentang Rencana Aksi Nasional
Hak Hak Asasi Manusia, KepPres No.181/1998 Tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti
Kekarasan Terhadap Perempuan; Pasal 104 UU No.39/1999. • Sebagaimana diucapkan
dalam Pertemuan dengan Drs. Ellya Totok Sujiyanto, Anggota Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY), Tanggal 29 Nopember, 1999; Pertemuan dengan Drs. John S.
Keban, Ketua Komisi Pemilu Partai Golkar, DIY, Tanggal 30 Nopember, 1999; Surat
Jawaban H. Abdurrachman, SH, Ketua Fraksi Persatuan, DPRD Propinsi DIY, Tanggal 10
December, 1999; Surat Jawaban Para Anggota Fraksi PKB DPRD Propinsi DIY, Tanggal 11
December, 1999; Dr. Lance Castles (Pengantar), Tujuh Mesin Pendulang Suara,
Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999 (1999), Bab.I; Dr. Lance Castles, "The
Program of the Partai Amanat Nasional" (unpublished, 1999). • • Sejarah kedudukan
hukum Islam di Indonesia, Bab IV Bagian 2 dan 3, infra. Buku II Kompilasi Hukum
Islam (KHI) sebagaimana dikeluarkan dengan Instruksi Presiden (InPres) No.1/1991
beserta Keputusan Menteri Agama No.154/1991 maupun berbagai buku buku tentang hukum
Islam. • UUD 1945 dan sebagai contoh UU No.1/1974 Tentang Perkawinan; PP No.9/1975
Tentang Pelaksanaan UU No.1/1974 Tentang Perkawinan beserta UU No.7/1989 Tentang
Peradilan Agama. • • UU No.7/1984, KepPres No.129/1998, UU No.5/1998, UU
No.39/1998, UU No.29/1999. Surat Jawaban Ibu Nursyahbani Kayjasungkana, LBH APIK,
Tanggal 24 Nopember, 1999; Pertemuan dengan Drs. Haji Suharto M., Hakim Tinggi
Agama, Pengadilan Tinggi Agama DIY, Tanggal 9 December, 1999; Diskusi dengan Drs.
Sudjana, SH, Tanggal 11 December, 1999.
BAB III
3.1

VISI dan MISI dari KOMNAS PEREMPUAN.


Fokus kerja Komnas Perempuan didasari pada penilaian bahwa persoalan mutakhir
tentang

kekerasan terhadap perempuan dipengaruhi oleh beberapa kecenderungan besar pada


tahun-tahun yang akan datang, yaitu: semakin meningkatnya feminisasi kemiskinan,
berkembangnya semangat fundamentalisme dan primordialisme yang didukung oleh
militerisme, serta masih langgengnya impunitas para pelaku pelanggaran HAM berat,
termasuk yang mengakibatkan korban perempuan. 3.1.1 VISI Terciptanya tatanan,
relasi sosial dan pola perilaku yang kondusif untuk mewujudkan kehidupan yang
menghargai keberagaman dan bebas dari rasa takut, tindakan atau ancaman dan
diskriminasi sehingga kaum perempuan dapat menikmati hak asasinya sebagai manusia.
3.1.2 MISI Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan mendorong pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan
pemulihan dalam berbagai dimensi, termasuk hak ekonomi, sosial, politik, budaya
yang berpijak pada prinsip hak atas integritas diri : • Meningkatkan kesadaran
publik bahwa hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia dan kekerasan terhadap
perempuan adalah pelanggaran hak asasi
13
manusia. • Mendorong penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
kondusif serta membangun sinergi dengan lembaga pemerintah dan lembaga publik lain
yang mempunyai wilayah kerja atau juridiksi yang sejenis untuk pemenuhan
tanggungjawab negara dalam penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
• Mengembangkan sistem pemantauan, pendokumentasian dan evaluasi atas fakta
kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi perempuan atas kinerja
lembaga-lembaga negara serta masyarakat dalam upaya pemenuhan hak perempuan,
khususnya korban kekerasan; • Memelopori dan mendorong kajian-kajian yang mendukung
terpenuhinya mandat Komnas Perempuan; • Memperkuat jaringan dan solidaritas antar
komunitas korban, pejuang hak-hak asasi manusia, khususnya di tingkat lokal,
nasional dan internasional; • Menguatkan kelembagaan Komnas Perempuan sebagai
komisi nasional yang independen, demokratis, efektif, efisien, akuntabel dan
responsif terhadap penegakan hak asasi perempuan.

3.2TANGGUNG JAWAB dari KOMNAS PEREMPUAN


Dalam menjalankan tugasnya Komnas Perempuan memiliki beberapa tanggung jawab yang
harus dijalanankannya, anatara lain : • Menjadi resource center tentang hak asasi
perempuan sebagai hak asasi manusia dan kekerasan terhadap perempuan sebagai
pelanggaran HAM • Menjadi negosiator dan mediator ( penengah )antara pemerintah
dengan komunitas korban dan komunitas pejuang hak asasi perempuan, dengan
menitikberatkan pada kepentingan korban
• •

Menjadi inisiator perubahan serta perumusan kebijakan Menjadi pemantau dan pelapor
tentang pelanggaran Ham dan pemenuhan hak korban

Menjadi fasilitator pengembangan dan penguatan jaringan di tingkat lokal, nasional


dan internasional untuk kepentingan pencegahan, peningkatan kapasitas penanganan
dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

3.3 STRUKTUR ORGANISASI KOMNAS PEREMPUAN


Periode 2007 – 2009 Dalam menjalankan program kerjanya, Komnas Perempuan
bekerjasama dengan lebih 180 organisasi, baik dari lingkungan masyarakat maupun
pemerintah, dari tingkat nasional hingga lokal dan internasional, maupun dari
komunitas gerakan perempuan maupun gerakan sosial lainnya. Susunan organisasi
Komnas Perempuan terdiri dari Komisi Paripurna dan Badan Pekerja. Anggota komisi
Paripurna berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, profesi, agama dan suku
yang memiliki integritas, kemampuan, pengetahuan, wawasan kemanusiaan dan
kebangsaan serta tanggungjawab yang tinggi untuk mengupayakan tercapainya tujuan
Komnas Perempuan. Ketua Kamala Chandrakirana
15
Wakil Ketua I Ninik Rahayu Wakil Ketua II Sylvana Maria Apituley Ketua Sub Komisi
Reformasi Hukum & Kebijakan Deliana S Ismudjoko Ketua Sub Komisi Litbang dan
Pendidikan Neng Dara Affiah Ketua Sub Komisi Pemantauan Arimbi Heroepoetri Ketua
Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan Azriana Ketua Sub Pusat Informasi dan
Dokumentasi Sjamsiah Achmad Ketua Dewan Kelembagaan Vien Soeseno ANGGOTA Abd A’la
K.H.Husein Muhammad Pengasihan Gaut Sri Wiyanti Eddyono

SEKRETARIS JENDERAL Pinky R.M. Tatontos DAFTAR BADAN PEKERJA KOMISI NASIONAL ANTI
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN PERIODE 2007-2009 Sekretaris Jenderal Sekretaris
Pimpinan Asisten Pimpinan Bidang Hubungan Internasional Divisi Reformasi Hukum
Pinky Tatontos Dinette A. Chairie, Koordinator Syafyuniar Lubis Noli K Patricia
Yocie Daniella Samsoeri, Koordinator Yuliyanti
Asmau’l Kusnaini Divisi Pendidikan dan Litbang Yenny Widjaja, Koordinator Saherman
Yuni Nurhamida Edi Hayat Dwi Ayu, Koordinator Betty Sitanggang Selviana Yolanda
Atiyatun Homisah Siti Nurjanah Sawitri, Pjs. Koordinator Soraya Ramli Siti
Maesaroh, Pjs.Koordinator Theresia Yuliwati Nunung Qomariyah Alip Firmansyah Ita
Fitriah Yoseph Himawan Bidang Umum dan Penguatan SDM Sondang Friskha Simanjutak
Detty Artsanti Diana Lusi Cahyandari Triana Suli Wardani Berta Ida Ali Mudin Imam
Soepardi Taufik ismail Mahcdalene Kalola

Divisi Pemantauan Unit Pengaduan untuk Rujukan

Divisi Pengembangan Sistem Pemulihan bagi Korban Divisi Pusat Informasi dan
Dokumentasi

Bidang Keuangan

Aswin, Pjs. Koordinator Rini Widyastuti Retniawati Eri Kristanti Cut Nya Din Rita
Srimurweni Nuryanti Sere Ngura ABA, Koordinator Ismail Hasani
17

Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi Perempuan dalam Konstitusi & Hukum


Nasional Pelapor Khusus Mei 1998

Virlian Nurkristi Andy Yentriyani, Asst I Pelapor Khusus Kekerasan Seksual Mei 1998
Sri Wiyanti Eddyono (Ketua) Tim Pengarah Kamala Chandrakirana Sjamsiah Achmad
Arimbi Heroepoetri Tim Pendukung Patricia Yocie Yenny Widjaja Henny Selviana
Yolanda

Gugus Kerja Pekerja Migran

3.4 Kemitraan
Bekerja bersama dan membangun jaringan dengan mitra meruoakan strategi kerja yang
dikembangkan Komnas Perempuan sejak berdiir sampai dengan saat ini. Selama periode
2002-2006, terjadi pertumbuhan mitra Komnas Perempuan yang terus meningkat. Hal ini
menunjukkan kesungguhan Komnas Perempuan dalam mengajak pihak semua pihak untuk
berjuang bersama me;awan kkeerasam terhadap perempuan. Berikut daftar mitra
setrategis Komnas Perempuan. Data di bawah ini adalah mitra Komnas Perempuan untuk
kegiatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
1. Cahaya Perempuan, Jl. Indragiri I No. 3 Padang Harapan Bengkulu 38225Telp. 0736-
348186 2. WCC. Jombang, Jl. Ir Juanda No 85 JombangTelp. 0321-874320 3. Forum
Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka)Wilayah Jawa Barat 4. Forum Ham
Perempuan Kota Batam
5. Pelaksana INSTITUT PEREMPUAN. Jln. Dago Pojok No. 85 Coblong ,Bandung Telp/fax :

022-2516378 E-mail : institut_perempuam@yahoo.co 6. Komisi Wanita/ Kaum Ibu Sinode


GMIM, Jl. Kampus Talete II Tomohon Tengah Tomohon Sulut.
7. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI),Jl. Siaga I No.2B RT/RW.003/05 Pejaten Barat,

Pasar Tel./Fax.:

Minggu 021-7918-3221

Jakarta /

Selatan 7918-3444/

12510 91000-76.

Email : sekretariat@koalisiperempuan.or.id 8. FPMP Sulsel 9. LBH APIK Makassar 10.


Solidaritas Perempuan AM 11. KPI Wilayah Sulsel 12. LBH-APIK NTB, Jl.
Swaramahardika No 26,Mataram-NTB Telp/Fax : 0370-634111 - 632741 13. Sair (LPAP-MS)
Jl. Pramuka No.45 Depan Asrama Polisi remu Sorong - Kota Sorong Telp: 0951 326811,
Email : msok_sair@yahoo.com 14. Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP Bone), Jl.
A.Malla.BTN Soddang’e (rumah Hijau) Kelurahan Biru, Kecamatan Tanate Riattang,
Kabupaten Bone Sulawesi Selatan, Telp : 048122583
15. LEGAL RESOURCES CENTER UNTUK KEADILAN GENDER DAN HAK ASASI

MANUSIA (LRC-KJHAM). Jl. Panda Barat III No. 1 Semaran, Telp./Fax. (024)
6723083.email ; lrc_kjham2004@yahoo.com
19
16. Sahabat Perempuan, Dsn. Dangean Rt 04, Gulon, Salam 56484, Magelang,Jawa
Tengah, Telp: (0293) 585281, 585573 17. Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRuK-
F) Maumere
18. Women’s Crisis Center (WCC) Palembang, Jln. Angkatan 45 No. 4/3197 Rt. 16/04
Kel.

Demang Lebar Daun Kec. Ilir Timur I Palembang, Sumatera Selatan 30137, Telp: 0711
321063, Fax: (0711) 366440 Hotline: 0711-7083880, Email : wcc_plg@hotmail.com 19.
YAYASAN AMNAUF BIFE “KUAN” (YABIKU), Jl. A. Yani Kefamenanu Timor Tengah Utara NTT
85613, Telp./Fax.: 0388-31691, Fax.: 0388-3179, Email: yabiku_kefa@telkom.net 20.
Rumah Perempuan, Jl. Rote No.15 Oiba Kupang, NTT
3.5 Contoh Kasus :
Kaum Perempuan Ahmadiyah Mengalami Diskriminasi Berlapis Pada perempuan dan anak
Ahmadiyah ditemukan fakta diskriminasi berlapis dalam berbagai bentuk dan
contonhya. Pertama : Hak perempuan untuk bebas dari kekerasan berbasis jender. Pada
saat penyerangan terjadi ancaman dan bahkan perlakuan kekerasan seksual dialami
oleh banyak perempuan komunitas Ahmadiyah, sebagaimana terjadi di Desa Sukadan,
Cianjur-Jawa Barat, Desa Gegerung-Lombok Barat dan Desa Prapen-Lombok Tengah. Kedua
: Hak perempuan untuk berkeluarga dan melanjutkan ketururunan. Di Lombok Tengah,
pasangan suami istri dianggap berzina ketika melakukan hubungan seksual lantaran
perempuan yang dinikahi seorang Ahmadiyah, dan anak yang dilahirkan dicap sebagai
anak haram. Ketiga : Hak perempuan atas kehidupan yang layak juga tidak terpenuhi.
Banyak perempuan Ahmadiyah terpaksa berhenti berjualan karena warga melarang non
Ahmadiyah berbelanja barang pada orang Ahmadiyah. Keempat; Hak perempuan atas
kesehatan reproduksi. Beberapa perempuan Ahmadiyah harus rela kehilangan calon
bayinya (keguguran) karena berlari menyelamatkan diri saat terjadi penyerangan.
Lebih dari itu, tidak adanya layanan khusus untuk kebutuhan kesehatan reproduksi,
termasuk dalam melahirkan dan pengobatan gangguan fungsi reproduksi akibat tekanan
konflik yang mereka alami menambah daftar panjang kekerasan yang mereka alami.
Padahal Pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional yang telah dijamin oleh
Undang Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat 1. Atas dasar fakta-fakta di atas, Komnas
Perempuan mendesak agar Pemerintah memberikan penegasan yang efektif tentang hak
atas kebebasan beragama bagi setiap anggota komunitas Ahmadiyah, termasuk kaum
perempuan dan anak-anak Ahmadiyah, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 bagi seluruh
warga negara Indonesia, dan mengambil langkah nyata untuk mencabut semua produk
kebijakan negara terkait komunitas Ahmadiyah yang bertentangan dengan UU 1945.

21
Kekerasan Didalam Pacaran Kekerasan Dalam Pacaran? 24 November 2008 Dear Komnas
Perempuan………. Nama saya Mawar, seorang mahasiswi di perguruan tinggi swasta di
Jakarta. Saya sudah berpacaran selama 2,5 tahun dengan senior saya. Saat dalam
proses pendekatan, dia sangat baik sekali. Saya berpikiran bahwa dia akan menjadi
pacar saya yang terakhir. Dia seorang cowok yang sangat populer dan calon pemimpin
yang baik. Tapi setelah satu tahun berpacaran, entah kenapa dia menjadi seorang
cowok yang kasar, posesif, pencemburu dan temperamental. Dia selalu menuntut saya
untuk melakukan semua hal yang dia inginkan. Apabila saya tidak menurutinya, pasti
kami akan bertengkar dan akhirnya dia pun memukul saya, sehingga terjadi perang
fisik. Sebenarnya saya sudah tidak tahan dengan keadaan ini dan beberapa kali
memutuskan hubungan, tapi dia selalu menolaknya. Katanya saya adalah perempuan yang
baik dan sangat berarti baginya. Tapi dia tidak pernah berubah, masih saja kasar
dan temperamental. Saya ingin memutuskan hubungan lagi, tapi dia selalu mengancam
bahwa kalau saya memutuskan dirinya, maka dia akan selalu membuat hidup saya tidak
tenang. Pernah suatu kali, seorang teman cowok menegur saya sambil menggoda, dan
dia pun langsung memukuli teman cowok saya itu. Padahal saya tidak pernah
meladeninya. Apa yang harus saya lakukan? Saya sudah tidak tahan lagi dan ingin
lepas darinya.

Ketidakramaham terhadap Perempuan Hamil: Pengalaman di dalam Kereta


9 Desember 2008 Cerita ini saya kuak dari ‘karir berkeretaapi’ yang saya jalani
lebih dari setahun belakangan. Berbagai kejadian, fasilitas dan hal-hal lain yang
saya temui sering menganjal dan mengundang marah saya. Undak-undak yang tinggi di
stasiun-stasiun seperti di Cawang, Depok Baru, Tanah Abang yang tanpa eskalator
sangat tidak ramah perempuan, khususnya perempuan hamil. Mungkin secara nasional
tata ruang, kebijakan dan pembangunan bangunan di Indonesia belum ada “bau
perempuan”nya. Karena sebab khusus, kami beberapa waktu terakhir terpaksa kerja
lembur dan pulang larut. Kami pun bergegas meninggalkan kantor karena harus
mengejar kereta terakhir jam 19.25 Wib untuk rute Tanah Abang-Bogor. Kebetulan
rumah kami (saya dan Tia) searah. Tia pulang ke Bogor dan aku sendiri menuju Depok.
Ah, syukurlah sampai juga di stasiun yang kami tuju dan untunglah kereta yang akan
kami naiki belum lewat, masih ada waktu lima menit untuk bernafas sebelum akhirnya
kereta rute Tanah Abang- Bogor datang. Dari Staisun Tanah Abang kereta ini akan
berhenti dibeberapa stasiun yakni Sudirman, Depok Baru dan Depok Lama, Bojong Gede
dan berakhir di Bogor. Di Jakarta sudah menjadi rutinitas melihat para penumpang
kereta listrik berebut untuk mendapatkan tempat duduk, maklumlah untuk sampai di
Depok butuh waktu sekitar 25 menit dan satu jam untuk sampai di Bogor. Para
penumpang kereta listrik ini biasanya segera mencari tempat senyaman mugkin untuk
melepas lelah. Jika beruntung kita akan duduk di kursi yang empuk yang disediakan
kereta listrik ini, jikapun tidak biasanya mereka akan duduk dikursi lipat yang
mereka bawa masing-masing sebagai persiapan jika tidak berhasil berebut tempat
duduk, atau cukuplah dengan menggelar koran yang biasanya dibeli saat pagi hari.
Aku sendiri hampir jarang berebut tempat duduk, bagiku koran sudah cukup untuk
lesehan menikmati perjalanan Sudirman - Depok Lama yang hanya 25 menit. Namun malam
ini mau tidak mau kami harus berebut karena Tia sedang mengandung tujuh bulan,
sehingga kami atau minimal Tia harus mendapatkan tempat duduk. Sayang setelah
berhasil masuk di dalam kereta, semua tempat duduk sudah terisi. Memang jumlah
tempat duduk yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah penumpang, sehingga
berdiri dan berdesak-desakan sudah menjadi hal yang sangat wajar. Biasanya kereta
terdiri dari tujuh gerbong dan setiap gerbong terdiri dari empat deret tempat duduk
besar dan kecil yang saling berhadapan satu sama lain. Setiap deret bisa diisi
empat sampai delapan orang. Deret yang besar biasanya diisi oleh 7-8 orang dan
deret yang kecil biasanya diisi oleh empat orang. Anak kecilpun tahu
23
apalagi orang berpendidikan bahwa deret yang kecil sengaja diperuntukkan bagi orang
cacat, lansia dan perempuan hamil. Ada simbol perempuan hamil, lansia dan
penyandang cacat tertempel di kaca tempat duduk deret kecil tersebut. Dan saya
yakin setiap mata normal mampu untuk melihat simbol tersebut. Selama setahun lebih
saya menggunakan kereta listrik untuk transportasi mengais rizki di Jakarta, memang
hampir jarang orang peduli dengan aturan macam itu, aturan bahwa ada tempat khusus
bagi kategori yang saya sebutkan di atas. Terbukti malam ini walaupun melihat kawan
saya yang sedang berperut buncit, mereka toh cuek dan tidak bergeming melihat
keberadaan kami yang tengok kanan-kiri berharap masih ada sisa tempat duduk. Yang
terjadi mereka malah seolah tidak melihat dan pura-pira tidur. Huh, saya menjadi
kesal dan marah, tak urung keluar dari mulut saya ” Maaf ya, orang hamil boleh
duduk di sini kan?” Pengen tahu jawaban mereka? Salah satu dari mereka menggeser
tempat duduknya berharap kawan saya yang sedang hamil bisa ikut nyempil di tempat
duduk tersebut. Kawan saya mencoba untuk duduk, walaupun saya tahu duduk seperti
itu tidaklah nyaman. Bagaimana mungkin orang yang sedang hamil diberi tempat
sempit, bukankah orang hamil badannya melebar? Apalagi pantatnya!! Yah barangkali
mereka para perempuan itu tidak pernah merasakan bagaimana susahnya perempuan
hamil, yang laki-laki mungkin juga tidak pernah punya istri hamil, sehingga tidak
punya rasa empati sedikitpun? Walaupun aku sendiri juga belum pernah merasakan
hamil, tapi menurut orang tua perempuan hamil tidak boleh berdiri terlalu lama,
karena kaki bisa bengkak dan tidak baik buat kandungan. Dalam banyak hal perempuan
mampu bersaing dengan laki-laki, dalam kereta toh mereka bersaing untuk berebut
kursi tempat duduk, menuntut kesetaraan dan tidak ingin dibedakan berdasarkan seks
atau jenis kelamin. Namun justeru karena secara kodrati perempuan berbeda dengan
laki-laki, perempuan punya hal-hal yang tidak dimiliki laki-laki, begitupun
sebaliknya. Perempuan punya rahim, indung telur dan karenya mereka hamil. Itu
kodrat yang tidak bisa dipertukarkan dengan laki-laki. Jadi sangat wajar jika
perbedaan yang kodrati itu harus diimbangi dengan perlakuan yang berbeda pula. Saya
jadi teringat apa yang dikatakan oleh salah satu komisioner Komnas Perempuan ”
kesetaraan bukan berarti sama dalam semua hal, namun memperlakukan laki-laki dan
perempuan secara sama dimana mereka harus diperlakukan sama, dan memperlakukan
perempuan dan laki-laki secara berbeda dimana mereka seharusnya diperlakukan
berbeda” Saya justru terharu melihat karakter penumpang kereta listrik ekonomi.
Walaupun tentunya jauh tidak nyaman menggunakan kereta listrik ekonomi, karena di
KRL ekonomi siapapun
akan bersyukur bisa berdiri dengan dua kaki karena sesaknya. Namun di dalam KRL
ekonomi yang notabenya mereka adalah orang-orang yang miskin secara ekonomi, namun
jauh lebih beradab karena mereka-para penumpangnya tidak akan membiarkan seorang
perempuan, lansia dan orang cacat semakin tidak nyaman-mereka akan merelakan tempat
duduknya diberikan oleh orang yang memang diperlakukan secara lebih khusus.
Nampaknya saya menemukan keberadaban, perspektif ramah perempuan, kemanusiawian dsb
di wajah-wajah kuyu kumal nan susah penumpang kereta ekonomi . Kesimpulan : Dari
kasus yang kelompok kami bahas diatas, kelompok kami dapat menarik beberapa
kesimpulan bahwa sangat pentingnya keberadaan Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan pada saat ini. Dengan adanya Badan Independen ini para wanita
yang merasa tertindas atau hak nya dibatasi akan mampu mengatasi masalahanya /
sedikit bernafas lega, sehingga para wanita dapat menjalankan hidupnya bebas dari
rasa takut dan para wanita dapat menikmati hak asasinya sebagai manusia. Tetapi
menurut kenyataannya saat ini Komnas Perempuan masih belum maksimal dalam melakukan
tuganya sebagai Badan Independen yang bertugas untuk melindungi kaum perempuan.
Sebagai contoh kita dapat melihat kasus yang dialami oleh para kaum wanita di
Ahmadiyah hak-hak mereka sebagai wanita bahkan hak asasi mereka sebagai manusia
sangat dibatasi. Kasus mawar sebagai seorang wanita yang selalu mendapat kekerasan
fisik dari pacarnya. Dan terakhir kasus ibu hamil yang tidak mendapat empati dari
para penumpang dikreta. Contoh diatas merupakan suatu pembelajaran buat kita, bahwa
kita sebagai perempuan harus bisa bersatu, bersama-sama mengangkat derajat
perempuan agar tidak terulang lagi kejadian seperti itu.

25
4.1

KESIMPULAN
Dari materi yang kelompok kami bahas diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah sebuah Lembaga yang bertugas
untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan penegakan HAM perempuan di Indonesia. Selain itu Komnas
Perempuan juga mempunyai lima tujuan strategis untuk meningkatkan derajat kaum
perempuan, antara lain : Terjadinya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat yang
dapat mendorong pemahaman akan hak-hak sebagai korban, terungkapnya secara
sistematis dan berkala fakta-fakta tentang kekerasan terhadap perempuan,
terbangunnya konsep, perangkat hukum dan kebijakan negara yang menciptakan situasi
yang kondusif bagi penghentian impunitas bagi para pelaku segala bentuk kejahatan
terhadap perempuan, terbangunnya sistem pemulihan yang holistik bagi perempuan
korban kekerasan, yang didukung oleh kerangka kebijakan dan mekanisme kerja yang
memadai, dan melibatkan organisasi-organisasi masyarakat maupun pemerintah, di
daerah konflik bersenjata maupun di daerah non konflik, terciptanya kelembagaan
yang independen dan mempunyai struktur organisasi dan tata kepengurusan dan
kepemimpinan yang demokratis dan akuntabel, serta sistem manajemen yang efektif,
efisien dan responsif terhadap tuntutan publik. Jadi pada intinya fokus perhatian
Komnas Perempuan pada saat ini adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga, perempuan pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam negeri maupun di luar
negeri sebagai buruh migran, perempuan korban kekerasan seksual, perempuan yang
hidup di daerah konflik bersenjata, dan perempuan kepala keluarga yang hidup di
tengah kemiskinan di daerah pedesaan.
27

Anda mungkin juga menyukai