Anda di halaman 1dari 10

KONSTRUKTIVISME

Makalah
Untuk memenuhi tugas matakuliah Belajar dan Pembelajaran
Yang dibimbing oleh Oktavia Sulistina, S.Pd., M. Pd.

Oleh:
Ajeng Fadhillah 170341615005
Itsnaniyah 180331616067
Syahrul Mihtah M. 180311612533
Verona Tri N. J. 180341617541

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
Agustus 2019
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konstruktivisme: Asumsi dan Perspektif
Konstruktivisme adalah perspektif psikologis dan filosofis yang
berpendapat bahwa individu membentuk atau membangun dari apa yang
mereka pelajari dan pahami (Bruning et al., 2004 dalam Schunk, 2012).
Konstruktivisme bukanlah teori tetapi epistemologi, atau penjelasan filosofis
tentang sifat pembelajaran (Hyslop-Margison & Strobel, 2008; Simpson, 2002
dalam Schunk, 2012). Konstruktivis menolak gagasan bahwa ada kebenaran
ilmiah. Maksudnya ialah konstruktivis menganggap bahwa tidak benar bahwa
kebenaran ilmiah itu mutlak dan pembelajar hanya menunggu suatu penemuan
untuk kemudian di verifikasi.
Pernyataan apapun, ilmu pengetahuan, harus dipandang dengan keraguan
bukan hanya dianggap benar. Dunia dapat dibangun secara mental dengan
berbagai cara, jadi tidak ada teori yang mengunci kebenaran. Ada banyak
variasi dan tidak ada satu versi yang harus dianggap lebih benar daripada yang
lain (Derry, 1996; Simpson, 2002 dalam Schunk, 2012). Alih-alih memandang
pengetahuan sebagai kebenaran, konstruktivis menafsirkannya sebagai
hipotesis yang berfungsi. Pengetahuan tidak dipaksakan dari orang luar tetapi
dibentuk di dalam diri mereka. Konstruksi seseorang benar untuk orang itu
tetapi tidak harus untuk orang lain. Ini adalah karena orang menghasilkan
pengetahuan berdasarkan keyakinan dan pengalaman mereka dalam situasi
(Cobb & Bowers, 1999), yang berbeda dari orang ke orang.
Asumsi
Asumsi kunci konstruktivisme adalah bahwa orang adalah pembelajar
aktif dan mengembangkan pengetahuan untuk diri mereka sendiri (Geary, 1995
dalam Schunk, 2012). Untuk memahami materi dengan baik, peserta didik
harus menemukan prinsip-prinsip dasar yang dibangun sendiri. Meskipun
konstruktivisme tampaknya baru di kancah pembelajaran, premis dasarnya
adalah bahwa peserta didik membangun pemahaman yang mendasari banyak
prinsip pembelajaran. Ini adalah aspek epistemologis dari konstruktivisme.
Konstruktivisme juga telah mempengaruhi pemikiran pendidikan tentang
kurikulum dan pengajaran. Ini mendasari penekanan pada kurikulum
terintegrasi di mana siswa mempelajari topik dari berbagai perspektif. Sebagai
contoh, dalam mempelajari balon udara, siswa dapat membaca tentang mereka,
menulis tentang mereka, mempelajari kata-kata kosa kata baru, mengunjungi
satu (pengalaman handson), mempelajari prinsip-prinsip ilmiah yang terlibat,
menggambar gambar mereka, dan belajar lagu tentang mereka. Gagasan
konstruktivis juga ditemukan dalam banyak standar profesional dan
memengaruhi desain kurikulum dan pengajaran (Schunk, 2012).
Asumsi konstruktivis lainnya adalah bahwa guru tidak boleh mengajar
(dalam arti tradisional) menyampaikan instruksi kepada sekelompok siswa.
Sebaliknya, mereka harus menyusun situasi sedemikian rupa sehingga peserta
didik menjadi aktif terlibat dalam pembelajaran melalui manipulasi bahan dan
interaksi sosial. Kegiatannya meliputi mengamati fenomena, mengumpulkan
data, membuat dan menguji hipotesis, dan bekerja secara kolaboratif dengan
orang lain. Melakukan kunjungan keluar kelas juga penting untuk dilakukan.
Siswa diajarkan untuk mengatur diri sendiri dan mengambil peran aktif dalam
pembelajaran mereka dengan menetapkan tujuan, memantau dan mengevaluasi
kemajuan, dan melampaui persyaratan dasar dengan mengeksplorasi minat
(Bruning et al., 2004; Geary, 1995 dalam Schunk, 2012).
Perspektif
Terdapat banyak perspektif terhadap konstruktivisme, antara lain
eksogenus, endogenus, dan dialektikal. Dasar pikiran perspektif tersebut
disajikan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perspektif tentang Konstruktivisme (Schunk, 2012)
Perspektif Dasar Pemikiran
Eksogenus Penguasaan pengetahuan mempresentasikan sebuah kontruksi ulang
dari dunia luar. Dunia memengaruhi keyakinan-keyakinan melalui
pengalaman-pengalaman, pengamatan terhadap model-model, dan
pengajaran. Pengetahuan dipandang akurat jika ia mencerminkan
realitas eksternal.
Endogenus Pengetahuan diperoleh dari pengetahuan yang telah dipelajari
sebelumnya tidak secara langsung dari interaksi-interaksi lingkungan.
Pengetahuan bukanlah sebuah cermin dari dunia luar; pengetahuan itu
berkembang melalui abstraksi kognitif.
Dialektikal Pengetahuan diperoleh dari interaksi-interaksi antara orang-orang dan
lingkungan-lingkungan mereka. Kontruksi-kontruksi atau interpretasi-
interpretasi tidak selalu terikat dengan dunia luar ataupun keseluruhan
kegiatan pikiran. Pengetahuan mencerminkan hasil-hasil dan
kontradiksi-kontradiksi mental yang ditimbulkan dari interaksi-
interaksi seseorang dengan lingkungan.

Masing-masing dari perspektif-perspektif di atas memiliki keunggulan dan


potensi manfaat bagi penelitian dan pengajaran:
1. Perspektif eksogenus sesuai bagi kita ketika tertarik untuk mengetahui
seberapa akurat siswa memahami struktur pengetahuan di dalam
sebuah bidang studi.
2. Prespektif endogenus relevan bagi kita jika kita ingin meneliti
bagaimana siswa berkembang dari seorang pemula ke level-level
kompetensi yang lebih tinggi.
3. Perspektif dialektikal akan bermanfaat bagi kita ketika kita ingin
merencanakan intervensi-intervensi untuk mendorong pemikiran
anak-anak dan untuk mengarahkan penelitian untuk menemukan
efektivitas dari pengaruh-pengaruh sosial seperti paparan terhadap
model-model dan kerja sama dengan teman sebaya.
Inti pemikiran dari kontruktivisme adalah bahwa proses-proses kognitif
(termasuk berpikir dan belajar) terletak dalam situasi-situasi atau konteks-
konteks fisik dan sosial (Anderson, Reder, & Simon, 1996; Cobb & Bowers;
Greenoo et al., 1998 dalam Schunk, 2012). Kognisi berkonteks atau
pembelajaran dalam situasi tertentu merupakan hubungan-hubungan antara
seseorang dengan sebuah situasi tertentu; proses-proses kognitif tidak hanya
berada dalam benak seseorang (Greeno, 1989 dalam Schunk, 2012).
Kognisi berkonteks memerhatikan pandangan intuitif yang mengatakan
bahwa banyak proses salng berinteraksi untuk menghasilkan pembelajaran.
Kita tahu bahwa motivasi dan pengajaran saling terkait di mana pengajaran
yang baik dapat meningkatkan motivasi untuk belajar dan pembelajaran siswa
yang termotivasi mencari lingkungan-lingkungan pengajaran yang efektif
(Schunk,1995 dalam Schunk, 2012).
Manfaat perspektif kognisi berkonteks adalah bahwa perspektif ini
mengarahkan para peneliti untuk mengeksplorasi kognisi dalam konteks-
konteks pembelajaran autentik seperti sekolah, tempat kerja, dan rumah di
mana banyak di antaranya yang melibatkan mentoring atau praktik-praktik
magang.
Kontribusi dan Aplikasi
Bereiter (1994) dalam Schunk (2012) mengatakan bahwa pernyataan
“siswa membangun pengetahuan mereka sendiri” bukan pernyataan yang salah,
tapi benar bagi seluruh teori pembelajaran kognitif. Teori-teori kognitif
memandang pikiran sebagai sebuah wadah keyakinan-keyakinan, nilai-nilai,
harapan-harapan, skemata, dan sebagainya sehingga semua penjelasan yang
mungkin tentang bagaimana pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan tersebut
terbentuk di dalam sana. Kekurangan dari banyak bentuk kontruktivisme
adalah penekanan terhadap relativisme (Phillips, 1995 dalam Schunk, 2012)
yaitu pandangan bahwa semua bentuk pengetahuan dapat dibenarkan karena
dibangun oleh para siswa terutama jika pengetahuan-pengetahuan tersebut
mencerminkan konsensus masyarakat. Kontruktivisme juga menggaris bawahi
fokus perhatian saat ini terhadap pengajaran reflektif.
2.2 Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Proses Perkembangan
Menurut Piaget, perkembangan kognitif tergantung pada empat faktor:
kematangan biologis, pengalaman dengan lingkungan fisik, pengalaman
dengan lingkungan sosial, dan ekuilibrium (keseimbangan) (Schunk, 2012).
Ekuilibrium adalah berupa keadaan seimbang antara struktur kognitif dan
pengalamannya di lingkungan (Schunk, 2012; Khadijah, 2016). Sebelum
mencapai ekuilibrium ada komponen lain yang dilewati antara lain skemata,
asimilasi, dan akomodasi.
Piaget mengemukakan bahwa seorang individu dalam hidupnya akan
selalu berinteraksi dengan lingkungan, dimana dalam interaksi ini akan
memperoleh: skemata yaitu skema yang berupa kategori pengetahuan yang
membantu dalam mengintrepretasi dan memahami dunia (Jahja, 2013).
Contohnya seorang anak memiliki skema tentang binatang yaitu burung.
Kemudian ia melihat burung kenari dan dapat memberi label “burung”
merupakan contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak.
Asimilasi yaitu proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang
telah ada, proses ini bersifat subjektif karena seseorang akan cenderung
memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar dapat masuk
ke dalam skema yang telah ada sebelumnya (Khadijah, 2016).
Apabila pengalaman awal ia melihat burung kenari, anak kemungkinan
beranggapan bahwa semua burung berukuran kecil dan berwarna kuning
seperti kenari. Suatu saat, ia melihat burung unta. Anak akan mengubah skema
tentang burung, proses ini dinamakan akomodasi yaitu bentuk penyesuaian lain
yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi
baru yang tidak sesuai dengan skema yang telah ada (Khadijah, 2016). Hingga
akhirnya tercapai ekuilibirum. Jadi, kognitif berkembang bukan karena
menerima pengetahuan dari luar secara pasif tetapi juga secara aktif
mengkonstruksi pengetahuannya.
Piaget menyimpulkan dari penelitiannya bahwa perkembangan kognitif
anak-anak melewati urutan yang pasti. Piaget dan teori-teori lainnya berasumsi:
 Setiap tahapan berbeda secara kualitatif dan terpisah.
 Perkembangan struktur kognitif tergantung pada perkembangan
sebelumnya.
 Meskipun urutan perkembangan struktur tidak berubah, usia di mana
seseorang mungkin berada pada tahap tertentu akan bervariasi.
Tahapan perkembangan kognitif Piaget dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
1. Tahap sensorimotor
Berlangsung pada usia 0-2 tahun, menurut Piaget, anak dilahirkan dengan
beberapa skemata sensorimotor, yang memberi kerangka bagi interaksi awal
anak dengan lingkungannya. Pengalaman awal si anak akan ditentukan oleh
skemata sensorimotor ini (Ibda, 2015). Pada tahap ini bayi bersifat spontan,
bayi menyusun pemahaman dunia dengan mengoordinasikan pengalaman
indera (sensory) seperti melihat dan mendengar, dengan gerakan motorik (otot)
misalnya menggapai, menyentuh, sehingga diistilahkan sebagai sensorimotor
(Khadijah, 2016). Pada akhir periode sensorimotor, telah mencapai
perkembangan kognitif yang cukup untuk berkembang ke karakteristik
pemikiran konseptual simbolik tahap pra operasional (Wadsworth, 1996 dalam
Schunk, 2012).
2. Tahap pra operasional
Tahap ini berlangung kurang lebih pada usia 2-7 tahun. Tahap
pemikirannya lebih simbolis, secara mental mulai bisa merepresentasikan
objek yang tak hadir, penggunaan bahasa yang mulai berkembang. Misalnya
anak kecil mulai mencoret-coret gambar orang, rumah, mobil, awan dan
banyak benda lain sesuai imajinasi mereka. Mereka juga tidak dapat berpikir
dalam lebih dari satu dimensi sekaligus; jadi, jika mereka fokus pada panjang,
mereka cenderung berpikir objek yang lebih panjang (ukuran) lebih besar dari
yang lebih pendek (batu bata) meskipun yang lebih pendek lebih lebar dan
lebih dalam (Schunk, 2012).
3. Tahap operasional konkret
Tahap operasional yang konkret muncul pada usia 7-12 tahun, ditandai
dengan pertumbuhan kognitif yang luar biasa dan merupakan tahap formatif di
sekolah, karena pada saat itulah kemampuan bahasa dan keterampilan dasar
anak-anak meningkat secara drastis misalnya dapat melakukan pengurutan,
klasifikasi, dan memecahkan masalah sederhana. Anak-anak mulai
menunjukkan pemikiran abstrak, meskipun biasanya ditentukan oleh tindakan
misalnya kejujuran adalah mengembalikan uang kepada orang yang
kehilangannya (Schunk, 2012). Pemikiran yang kurang egosentris (melihat
sesuatu dari sudut pandang orang lain), dan bahasa semakin menjadi sosial.
4. Tahap operasional formal
Tahap operasional formal dialami anak usia 11 tahun sampai dewasa,
tahap ini memperluas pemikiran operasional konkret. Karakteristik tahap ini
ialah diperolehnya kemampuan untuk berfikir secara abstrak, menalar secara
logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahap ini,
seseorang dapat memahami seperti hal-hal tentang cinta, bukti logis, dan nilai
(Khadijah, 2016). Kemampuan penalaran meningkat dan sering menunjukkan
pemikiran idealis.
Mekanisme Pembelajaran
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, disimpulkan bahwa ekuilibrium
adalah proses internal yang terjadi pada suatu individu. Dengan demikian,
perkembangan kognitif hanya dapat terjadi ketika disequilibrium atau konflik
kognitif terjadi (Schunk, 2012). Kondisi ketika kepercayaan anak tidak sesuai
dengan kenyataan yang diamati menyebabkan kognitifnya berkembang, yaitu
melalui asimilasi dan akomodasi. Piaget merasa bahwa perkembangan akan
berlangsung secara alami melalui interaksi reguler dengan lingkungan fisik dan
sosial.
Faktor lingkungan bersifat ekstrinsik, mereka dapat memengaruhi
perkembangan tetapi tidak mengarahkannya. Poin ini memiliki implikasi
mendalam bagi pendidikan karena ini menunjukkan bahwa mengajar mungkin
memiliki dampak yang kecil terhadap perkembangan. Guru dapat mengatur
lingkungan untuk menyebabkan konflik, tetapi bagaimana anak menyelesaikan
konflik tidak dapat diprediksi (Schunk, 2012).
Teori Piaget adalah konstruktivis karena mengasumsikan bahwa anak-
anak memaksakan konsep mereka pada dunia untuk memahaminya (Byrnes,
1996 dalam Schunk, 2012). Informasi dari lingkungan (termasuk orang) tidak
secara otomatis diterima tetapi diproses sesuai dengan struktur mental anak.
Anak-anak memahami lingkungan mereka dan membangun realitas
berdasarkan kemampuan mereka pada saat ini. Pada gilirannya, konsep-konsep
dasar ini berkembang menjadi pandangan yang lebih canggih sesuai
pengalaman.
Implikasi Teori Piaget
Implikasi teori Piaget dalam pembelajaran (instruksi) ialah:
1. Mengerti perkembangan kognitif
Guru diharapkan untuk dapat memahami pada tahap apa siswa mereka
berkembang, sehingga pengajaran disesuaikan dengan tahapan perkembangan
siswa.
2. Jadikan siswa aktif
Pembelajaran di kelas harus menjadikan siswa aktif, karena anak-anak
membutuhkan lingkungan yang kaya, yang memungkinkan eksplorasi aktif,
dan kegiatan langsung.
3. Buat keganjilan
Perkembangan terjadi ketika input lingkungan tidak cocok dengan struktur
kognitif siswa, keganjilan dapat diciptakan dengan memungkinkan siswa untuk
memecahkan masalah dan sampai pada jawaban yang salah. Tidak ada dalam
teori Piaget yang mengatakan bahwa anak-anak harus selalu berhasil, umpan
balik guru yang menunjukkan jawaban yang salah dapat meningkatkan
ketidakseimbangan.
4. Berikan interaksi sosial
Meskipun teori Piaget berpendapat bahwa perkembangan dapat berlanjut
tanpa interaksi sosial, lingkungan sosial tetap merupakan sumber untuk
perkembangan kognitif. Kegiatan yang menyediakan interaksi sosial
bermanfaat. Mempelajari bahwa orang lain memiliki sudut pandang yang
berbeda dapat membantu anak menjadi kurang egosentris (Schunk, 2012).
Simpulan
1. Asumsi kunci konstruktivisme adalah bahwa setiap orang adalah
pembelajar aktif dan mengembangkan pengetahuan untuk diri mereka
sendiri. Terdapat tiga perspektif terhadap konstruktivisme yaitu
eksogenus, endogenus, dan dialektikal yang masing-masing memiliki
dasar pemikiran dan potensi manfaat yang berbeda.
2. Tahapan perkembangan kognitif Piaget dibagi menjadi empat tahap, yaitu
tahap sensorimotor, tahap pra operasional, tahap operasional konkret,
tahap operasional formal. Perkembangan kognitif tergantung pada empat
faktor: kematangan biologis, pengalaman dengan lingkungan fisik,
pengalaman dengan lingkungan sosial, dan ekuilibrium (keseimbangan).

DAFTAR RUJUKAN
Ibda, F. 2015. Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Intelektualita, 3(1): 27-
38.
Jahja, Y. 2013. Psikologi Perkembangan Edisi Pertama. Jakarta: Kencana.
Khadijah. 2016. Pengembangan Kognitif Anak Usia Dini. Medan: Perdana
Publishing.
Schunk, D. H. 2012. Learning Theories: An Educational Perspective Sixth
Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Anda mungkin juga menyukai