Jurnal Eritroderma
Jurnal Eritroderma
Abstrak
Eritroderma adalah penyakit inflamasi kulit dengan karakteristik eritema dan sisik
pada hampir seluruh bagian tubuh. Eritroderma disebabkan oleh banyak etiologi seperti
penyakit kulit yang meluas, alergi terhadap obat, penyakit sistemik dan idiopatik. Kira-kira 5-
40% eritroderma disebabkan oleh alergi obat. Tanpa memperhitungkan penyakit yang
mendasari, pasien eritroderma harus dirawat inap. Eritroderma yg disebabkan alergi obat
mempunyai prognosis yg baik, sekiranya obat penyebab dapat dikenal pasti dan dihentikan
pengambilannya. Kami melaporkan kasus eritroderma yang disebabkan erupsi obat pada
wanita 56 tahun. Manajemen pada pasien ini adalah menghentikan konsumsi obat penyebab,
pemberian deksametason secara intravena. Kortikosteroid topikal seperti salep deksametason
0.025% dan krim hidrokortison 2.5%, menunjukkan hasil yang memuaskan.
Kata kunci: eritroderma, alergi obat, deksametason iv, krim hidrokortison 2.5%, salep
deksosimetason 0.025%.
Pendahuluan
Insidens eritroderma bervariasi, berkisar dari 0.9 sehingga 71 kasus setiap 100,000
orang. Dari data yg didapatkan dari penelitian tahun 1981 hingga 2000, didapatkan laki-laki
lebih sering menderita dibanting wanita dengan rasio 2,2 :1. Umur rata-rata pasien yang
menderita penyakit ini adalah 41-61 tahun, di mana anak-anak adalah termasuk kriteria
ekslusi pada penelitan sebelumnya.
Kehadiran sitokin pada infiltrasi dermis boleh bervariasi, tergantung pada dasar
penyakit eritroderma. Eritroderma yang ringan menunjukkan kehadiran sitokin T helper-1,
sedangkan sindroma Sezary menunjukkan sitokin T helper-2 melalui mekanisme
patofisiologi yang berbeda. Interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8 molekul adhesi selular (ICAM)-1,
faktor nekrosis tumor dan gamma interferon adalah sitokin yang berperan pada eritroderma.
Peningkatan ekspresi molekul perekat meningkatkan proliferasi epidermis dan produksi
mediator inflamasi.
Laporan kasus
Dari hasil laboratorium menunjukkan leukositosis (28.700/µl), dan hasil lab lain
dalam batas normal. Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan epidermis dengan
hiperplasia psoriasis, hiperkeratosis, parakeratosis, banyak akumulasi neutrofil pada area ini,
hipogranulasi fokal, spongiosis, pelebaran pembuluh darah papilari dermis, termasuk
eritrosit. Dermis bagian atas mengandung penumpukan infiltrat dari limfosit yang meradang,
eosinofil, neutrofil perivaskuler. Pada kesimpulannya: dermatitis kronis spongiosa akibat
erupsi obat.
Pasien didiagnosa dengan eritodema akibat erupsi obat, eritroderma akibat psoriasis
vulgaris. Berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan histopatologik, didapatkan
diagnosis eritroderma et causa erupsi obat. Penanganan yang diberikan adalah menghentikan
konsumsi obat penyebab, infus Ringer laktat (20 tetes/menit), injeksi 1 ampul (5mg/ml)
deksametason secara iv setiap 12 jam, ranitidin 1 ampul setiap 12 jam, mebhidrolin
naphadisilate 50 mg dua kali sehari. Penanganan topikal adalah salep deksosimetason
0.025%, dan krim hidrokortison 2.5% pada area wajah. Penanganan post-biopsi adalah
eritromisin 500 mg tiga kali sehari, dan tablet natrium diklofenak 3x1.
Pada hari kedua perawatan, pasien dikonsul ke spesialis mata dengan diagnosa mata
kering dan diberi tetes mata cendo teen, pasien juga dikonsul ke spesialis penyakit dalam
karena keluhan nyeri dada.
Pada hari keempat perawatan, didapatkan keluhan gatal, sedangkan eritema dan
skuama berkurang, rawatan dilanjutkan.
Pada hari keenam perawatan, pasien mengeluh kadang gatal. Eritema dan skuama
sebagian besar berkurang. Oleh karena lesi mulai membaik, deksametason diganti dengan
obat oral metilprednisolon 20 mg sehari.
Pada hari ketujuh perawatan, pasien dibenarkan pulang, dan hasil pemeriksaan
dermatologi menunjukkan sisik halus pada tubuh, dan hanya sedikit eritema pada daerah
vertebra, dan pasien direkomendasi untuk kontrol di rumah sakit Bhayangkara.
Diskusi
Pada kasus ini, eritroderma disebabkan reaksi alergi obat. Prevalensi eritroderma
disebabkan oleh berbagai obat di berbagai populasi. Pada penelitian yang diketuai oleh E.
Euch D et al, pada 127 kasus eritroderma di Tunisia, 13% adalah jelas. Sementara, dari
letratur yang berbeda, menjelaskan prevalensi eritroderma yang disebabkan obat adalah kira-
kira 5-40% dari semua kasus eritroderma.
Terdapat berbagai obat yang bisa menyebabkan eritroderma. Dari berbagai literatur
dijelaskan jenis obat yang sering menyebabkan eritroderma adalah calcium chanbel blocker,
antiepilepsi, anmikroba (sefalosporin, penicilin, sulfonamid, vankomisin), allupurinol, emas,
litium, quinidine, simetidin, NSAIDs dan dapsone. Obat yang paling dicurigai sebagai
penyebab pada pasien ini adalah sefadroksil, dan tidak dapat disingkirkan dengan obat yg
tidak diketahui namanya, parasetamol dan herbal. Walau bagaimanapun, untuk mendiagnosa
obat penyebab, perlu dilakukan patch test.
Pada eritroderma akibat erupsi obat, adalah penting untuk menghentikan segera
pemberian obat yang dicurigai sebagai penyebab eritroderma dan menghindari obat yang
tidak diperlukan.
Pada kasus ini, pasien diopname dan dihentikan pemberian obat-obatan yang
dicurigai. Pemantauan terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit. Untuk menghindari
infeksi setelah biopsi, diberi eritromisin 1500 mg sehari dibagi dalam 3 dosis.
Pada eritroderma akibat erupsi obat alergi, diperlukan kortikosteroid sistemik. Dosis
yang diberi adalah 1-2mg/kg per hari. Pada kasus ini, pasien diberi deksametason 1 ampul
setiap 12 jam secara intravena, dan pada hari keenam diganti dengan metilprednisolon 20 mg.
3. Habif TP. Exfoliative Er y throderma In: Habif TP. Dermat Clinical ology: AC olour
Guide to D iagnosis and T herapy. 4 th ed. Edinburg: Mosby; 2004. p. 491.
5. Arnold HR, Odam RB, James WD. Rosea, pityriasis rubra pilaris, and Other
Papulosquamous. In: James WD, Berger TG, Elston DM, editors. Andrews' Diseases
of the Skin Clinical Dermatology. tenth ed. Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 215-6.
8. Murphy FG. Non Infectious Diseases Vesicobullous and Vesiculopustular. In: Elder
ED, Elenitsas R, Johnson LB, Murphy FG, editors. Lever'sth histopathology of the
skin. 9 Philadelphia: Lipincott William & Wilkins; 2005. p. 251
9. Sterry W, Münche M, Erythroderma. In: Bolognia LJ, LJ Jorizzo, Rapini PR
editors. Dermatology. London: Mosby; 2003. P. 165 - 74.
12. White MG, Cox HN. Patterns of Drug eruptions. In: White MG, Cox HN
Philadelphia: Elsevier Inc; 2006. p. 18nd.editors. Diseases of the Skin. 2ed.
13. Sterry W, Muche M. Erythroderma. In: Bolognia LJ, LJ Jorizzo, Rapini PR,
editors. Dermatology. London: Mosby; 2003. p. 165-74
14. EL ownership. Drug eruptions. In: Moschella LS, Hurley JH, editors. 3rd
Saunders C; 1992. p.535-73.
15. Neil Crowson, Brown J T. Progress in the Understanding of the pathology and
pathogenesis of Cutaneous Drug Eruption, Implications for Management.Am J Clin
Dermatol 2003; 4 (6): 407-428.