Anda di halaman 1dari 55

PERATURAN KEPALA DINAS PENGAWASAN DAN PENERTIBAN BANGUNAN

PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

NOMOR 3 TAHUN 2014

TENTANG

PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG DI BIDANG ARSITEKTUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


KEPALA DINAS PENGAWASAN DAN PENERTIBAN BANGUNAN

Menimbang : a. bahwa dalam rangka memudahkan pengawasan perencanaan


kegiatan pembangunan yang efektif guna mewujudkan
penyelenggaraan bangunan gedung yang terjamin keandalan
teknisnya, diperlukan pengaturan mengenai persyaratan teknis
bangunan gedung;

b. bahwa untuk mempercepat pelayanan perizinan bangunan perlu


dilakukan pengaturan persyaratan teknis bangunan gedung secara
bertahap di bidang arsitektur, struktur dan instalasi;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam


huruf a dan b serta untuk melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah
Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung, perlu menetapkan
Peraturan Kepala Dinas tentang Persyaratan Teknis Bangunan
Gedung di Bidang Arsitektur.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;


2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008;
3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Peraturan Perundangan-undangan;
5. Peraturan Pemerintah Pekerjaan Umum Nomor 36/PRT/M/2005 Tahun
2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung;
6. Peraturan Pemerintah Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2008 Tahun
2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada
Bangunan Gedung dan Lingkungan;
7. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi
Perangkat Daerah;
8. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8
tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya
Kebakaran;
9. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7
tahun 2010 tentang Bangunan Gedung;
10. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1
tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan
Zonasi;
11. Peraturan Gubernur Nomor 122 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Air
Limbah Domestik Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
12. Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan
Penyandang Disabilitas;
13. Peraturan Gubernur Nomor 123 Tahun 2009 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan;
14. Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan
Gedung Hijau;
15. Peraturan Gubernur Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sumur Resapan.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN KEPALA DINAS PENGAWASAN DAN PENERTIBAN


BANGUNAN PROVINSI DKI JAKARTA TENTANG PERSYARATAN
TEKNIS BANGUNAN GEDUNG DI BIDANG ARSITEKTUR

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian

Pasal 1

Dalam Peraturan Kepala Dinas ini yang dimaksud dengan :

1. Daerah adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai


unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

3. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota


Jakarta.

2
4. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut sebagai Pemerintah, adalah
Perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari
Presiden beserta para Menteri.

5. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Khusus


Ibukota Jakarta.

6. Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan yang selanjutnya disebut


Dinas adalah Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

7. Rencana kota adalah rencana yang disusun dalam rangka pengaturan


pemanfaatan ruang kota.

8. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW adalah


hasil perencanaan tata ruang wilayah yang telah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.

9. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah


penjabaran dari RTRW ke dalam rencana detail kawasan.

10. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan


pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya serta disusun
untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam
rencana rinci tata ruang.

11. Zonasi gempa adalah pembagian wilayah Indonesia berdasarkan


potensi bahaya gempa yang direpresentasikan dalam bentuk peta zona
gempa.

12. Panduan rancang kota (Urban Design Guide Lines/UDGL) atau


Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) adalah panduan
rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan pemanfaatan
ruang yang memuat rencana program bangunan dan lingkungan,
rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan
pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan.

13. Perpetakan adalah bidang tanah yang ditetapkan batas-batasnya


sebagai satuan-satuan yang sesuai dengan rencana kota.

14. Daerah Perencanaan (DP) adalah luas lahan yang dimiliki, dikurangi
luas lahan untuk rencana jalan, saluran dan/atau luas lahan dengan
peruntukan lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan tidak dapat digabung.

15. Garis Sempadan Jalan yang selanjutnya disingkat GSJ adalah garis
rencana jalan yang ditetapkan dalam rencana kota;

16. Garis Sempadan Bangunan yang selanjutnya disingkat GSB adalah


garis yang tidak boleh dilampaui oleh denah bangunan ke batas yang
ditetapkan dalam rencana kota.

3
17. Garis sempadan besmen adalah batas dinding basemen terhadap
batas lahan yang ditetapkan dalam rencana kota.

18. Jarak bebas adalah jarak minimal yang diperkenankan dari bidang
terluar bangunan sampai batas samping dan belakang tanah
perpetakan yang sesuai dengan rencana kota.

19. Jarak bebas bangunan adalah jarak minimal yang diperkenankan dari
bidang terluar bangunan suatu massa bangunan ke GSJ, antar massa
bangunan lain, batas lahan yang dikuasai, dan atau rencana saluran,
jaringan tegangan tinggi listrik, jaringan pipa gas, dan sebagainya.

20. Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang
menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya
berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi
sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian
atau tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial,
budaya maupun kegiatan khusus.

21. Massa bangunan adalah satu kesatuan bangunan gedung tunggal baik
yang berdiri sendiri maupun yang disatukan dengan penghubung
berupa podium atau besmen.

22. Ruang luar bangunan adalah sebuah ruang yang terbentuk oleh batas
horizontal bawah (bentang alam) dan batas vertikal (massa bangunan
atau vegetasi)

23. Besmen adalah ruang yang sebagian atau seluruhnya berada di bawah
tanah.

24. Intensitas bangunan gedung adalah luas bangunan untuk fungsi


tertentu yang ditentukan berdasarkan pengaturan Koefisien Dasar
Bangunan, Koefisian Lantai Bangunan, Koefisien Daerah Hijau,
Koefisien Tapak Besmen, dan Ketinggian Bangunan dalam suatu
daerah perencanaan.

25. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB adalah


perbandingan jumlah luas lantai dasar terhadap luas tanah perpetakan
yang sesuai dengan rencana kota;

26. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan KLB


adalah perbandingan jumlah luas seluruh lantai terhadap luas tanah
perpetakan yang sesuai dengan rencana kota;

27. Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disingkat dengan KDH adalah
angka persentase perbandingan antara luas ruang terbuka di luar
bangunan yang diperuntukkan bagi pertamanan/ penghijauan dengan
luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang sesuai dengan
rencana kota.

4
28. Koefisien Tapak Basemen yang selanjutnya disingkat dengan KTB
adalah perbandingan luas tapak basemen terbesar dengan luas tanah
perpetakan/daerah perencanaan yang sesuai dengan rencana kota.

29. Ketinggian Bangunan adalah jumlah lantai penuh dalam suatu


bangunan dihitung mulai dari lantai dasar sampai dengan lantai
tertinggi.

30. Bangunan rendah adalah bangunan yang mempunyai ketinggian dari


permukaan tanah atau lantai dasar sampai dengan 4 lantai.

31. Bangunan sedang adalah bangunan yang mempunyai ketinggian


antara 5 sampai dengan 8 lantai.

32. Bangunan tinggi adalah bangunan yang mempunyai ketinggian antara


9 sampai dengan 40 lantai.

33. Bangunan sangat tinggi adalah bangunan yang mempunyai ketinggian


lebih dari 40 lantai dan atau di atas 200 m (dua ratus meter).

34. Bangunan tunggal adalah bangunan dengan tampak yang menghadap


ke jalan mempunyai jarak bebas samping terhadap batas pekarangan;

35. Bangunan deret adalah bangunan dengan tampak yang menghadap ke


jalan tidak mempunyai jarak bebas samping.

36. Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah


standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan
berlaku secara nasional.

37. Sumur Resapan adalah sistem resapan buatan yang dapat


menampung air hujan akibat dari adanya penutupan tanah oleh
bangunan baik dari lantai bangunan maupun dari halaman yang
diplester atau diaspal yang dialurkan melalui atap, pipa talang maupun
saluran, dapat berbentuk sumur, kolam dengan resapan, saluran
poreus dan sejenisnya.

38. Izin Mendirikan Bangunan gedung yang selanjutnya disingkat IMB


adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada pemilik
bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas
dan/atau mengurangi bangunan gedung sesuai dengan persyaratan
administratif dan teknis yang berlaku.

39. Sertifikat Laik Fungsi yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat
yang diberikan oleh Pemerintah Daerah terhadap bangunan gedung
yang telah selesai dibangun dan telah memenuhi persyaratan kelaikan
fungsi berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung
sebagai syarat untuk dapat dimanfaatkan.

5
Bagian Kedua
Maksud, Tujuan dan Ruang Lingkup

Pasal 2

(1) Penyusunan Peraturan Kepala Dinas ini dimaksudkan sebagai


pedoman bagi penyelenggara bangunan gedung dan pengawas
pelaksanaannya dalam pemenuhan persyaratan teknis bangunan
gedung berkualitas.

(2) Penyusunan Peraturan Kepala Dinas ini bertujuan untuk mewujudkan


penyelenggaraan bangunan gedung yang memenuhi aspek
keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bagi penghuni
dan/atau pengguna bangunan gedung di bidang arsitektur sesuai
dengan fungsi, andal, serasi, selaras dengan lingkungannya.

Pasal 3

Ruang Lingkup Peraturan Kepala Dinas tentang Persyaratan Teknis


Bangunan Gedung ini meliputi :
a. Ketentuan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung;
b. Persyaratan teknis bangunan gedung yang meliputi persyaratan
peruntukan dan intensitas dan tata bangunan gedung di bidang
arsitektur bangunan gedung yang memenuhi aspek keandalan
bangunan gedung.

BAB II
FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4

(1) Setiap penyelenggaraan bangunan gedung harus memenuhi


persyaratan tata lingkungan yaitu sesuai ketetapan fungsi bangunan
gedung.

(2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diklasifikasikan berdasarkan pemenuhan tingkat administrasi dan
persyaratan teknisnya.

Pasal 5

(1) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat


(1) ditentukan untuk setiap unit bangunan gedung atau blok massa
bangunan gedung, bukan berdasarkan kesatuan kavling atau persil
atau daerah perencanaan.

6
(2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
terdiri dari fungsi utama dan fungsi penunjang bangunan gedung.

Pasal 6

(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan fungsi utama


bangunan.

(2) Fungsi utama bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam dokumen rencana teknis arsitektur yang terdiri dari :
a. Gambar rancangan/ rencana;
b. Gambar rencana tata ruang dalam.

(3) Gambar rancangan/ rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


huruf a sekurang-kurangnya memuat gambar :
a. Rencana tapak;
b. Rencana denah;
c. Rencana tampak;
d. Rencana potongan.

(4) Gambar rencana tata ruang dalam sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b sekurang-kurangnya memuat gambar :
a. Detail penggunaan ruang;
b. Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.

Bagian Kedua
Fungsi Bangunan Gedung

Pasal 7

(1) Fungsi utama bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6


ayat (1) meliputi:
a. fungsi hunian;
b. fungsi keagamaan;
c. fungsi usaha;
d. fungsi sosial dan budaya; dan
e. fungsi khusus.

(2) Fungsi penunjang adalah bentuk kegiatan manusia yang menunjang


fungsi utama bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8

(1) Bangunan gedung fungsi hunian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7


ayat (1) huruf a, mempunyai fungsi utama sebagai tempat tinggal
manusia yang meliputi :
a. hunian sederhana berupa rumah tinggal tunggal atau deret;
b. hunian berupa rumah tinggal tunggal atau deret.

7
(2) Bangunan gedung fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf b, mempunyai fungsi utama sebagai tempat
melakukan ibadah yang meliputi :
a. bangunan masjid termasuk mushola;
b. bangunan gereja termasuk kapel;
c. bangunan pura;
d. bangunan vihara; dan
e. bangunan kelenteng.

(3) Bangunan gedung fungsi usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 7


ayat (1) huruf c, mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan
kegiatan usaha yang meliputi :
a. bangunan gedung perkantoran antara lain kantor niaga, kantor
pemerintah, rumah kantor, tempat kursus, gedung diklat;
b. bangunan gedung perdagangan dan jasa antara lain pasar,
pertokoan, rumah toko, laboratorium klinik, apotek, gedung
pertemuan/serba guna;
c. bangunan gedung perindustrian antara lain pabrik;
d. bangunan gedung perhotelan antara lain hotel, motel, hostel,
penginapan;
e. bangunan gedung wisata dan rekreasi antara lain bioskop, restoran,
bangunan yang berada dilokasi wisata dan rekreasi;
f. bangunan gedung terminal antara lain stasiun kereta, teminal bis,
terminal udara, pelabuhan laut, halte bus;
g. bangunan gedung tempat penyimpanan antara lain gudang, gedung
parkir.

(4) Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud


dalam pasal 7 ayat (1) huruf d, mempunyai fungsi utama sebagai
tempat melakukan kegiatan sosial dan budaya yang meliputi bangunan
gedung:
a. pelayanan pendidikan antara lain sekolah taman kanak-kanak,
sekolah dasar, sekolah lanjutan, sekolah tinggi, universitas, sekolah
luar biasa;
b. pelayanan kesehatan antara lain klinik, balai pengobatan, poliklinik,
puskesmas, rumah sakit;
c. kebudayaan antara lain museum, gedung kesenian, perpustakaan;
d. laboratorium penunjang pendidikan antara lain laboratorium fisika,
laboratorium kimia, laboratorium biologi, laboratorium kebakaran;
dan
e. pelayanan umum antara lain stadion/hall olahraga, balai warga.

8
Pasal 9

(1) Fungsi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf e,
mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan yang
mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi tingkat nasional atau yang
penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat di sekitarnya
dan/atau mempunyai risiko bahaya tinggi yang meliputi:
a. bangunan gedung untuk reaktor nuklir; dan
b. instalasi pertahanan dan keamanan.

(2) Fungsi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1)


ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 10

(1) Pada satu massa bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu
fungsi utama bangunan sesuai dengan peruntukan lokasi yang
ditetapkan.

(2) Massa bangunan gedung yang memiliki lebih dari satu fungsi utama
dikategorikan sebagai fungsi bangunan campuran.

(3) Massa bangunan gedung dengan lebih dari satu fungsi yang berbeda
harus tetap memenuhi persyaratan teknis bangunan gedung sesuai
dengan fungsi masing masing

(4) Fungsi bangunan campuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


antara lain bangunan pertokoan dan apartemen, bangunan rumah sakit
dan apartemen, bangunan pertokoan dan mesjid.

Bagian Ketiga
Klasifikasi Bangunan Gedung

Pasal 11

Setiap fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 4


diklasifikasi sesuai peruntukan yang telah diatur dalam RTRW, RDTR,
Peraturan zonasi dan/atau panduan rancang kota, berdasarkan :
a. Tingkat kompleksitas;
b. Tingkat permanensi;
c. Tingkat resiko kebakaran;
d. Zonasi gempa;
e. Kepadatan lokasi;
f. Ketinggian; dan
g. Kepemilikan.

9
Pasal 12

Klasifikasi berdasarkan tingkat kompleksitas sebagaimana dimaksud dalam


pasal 11 huruf a meliputi bangunan gedung :
a. kompleksitas sederhana;
b. kompleksitas tidak sederhana; dan
c. kompleksitas khusus.

Pasal 13

(1) Klasifikasi bangunan gedung dengan kompleksitas sederhana


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a adalah bangunan
gedung dengan karakter sederhana dan memiliki kompleksitas dan
teknologi sederhana dan/atau bangunan atau bangunan gedung yang
memiliki tingkat kompleksitas perencanaan yang sangat sederhana dan
tidak memerlukan tenaga ahli, lebih cenderung pada tenaga terampil
tukang.

(2) Klasifikasi bangunan gedung dengan kompleksitas sederhana


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperuntukkan untuk bangunan
gedung yang memiliki jumlah lantainya sampai dengan 2 (dua) lantai
dengan luas sampai dengan 500 m2 (lima ratus meter persegi).

Pasal 14

(1) Klasifikasi bangunan gedung dengan kompleksitas tidak sederhana


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b adalah bangunan
gedung dengan karakter tidak sederhana dan memiliki kompleksitas
dan teknologi tidak sederhana atau bangunan gedung yang dalam
perencanaan dan pelaksanaannya memerlukan lebih dari 1 (satu)
tenaga ahli dengan beberapa bidang keahlian.

(2) Klasifikasi bangunan gedung dengan kompleksitas tidak sederhana


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperuntukkan untuk bangunan
gedung yang jumlah lantainya di atas 2 (dua) lantai dengan luas
bangunan lebih dari 500 m2(lima ratus meter persegi).

Pasal 15
(1) Klasifikasi bangunan gedung dengan kompleksitas khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c diperuntukkan bagi
bangunan dengan kriteria antara lain sebagai berikut :
a. bangunan gedung yang memiliki penggunaan dan persyaratan
khusus, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya memerlukan
penyelesaian dan/atau teknologi khusus; atau
b. bangunan gedung yang memiliki tingkat kompleksitas perencanaan
yang sangat kompleks yang dalam perencanaan dan
pelaksanaanya memerlukan banyak tenaga ahli yang terdiri dari
berbagai bidang keahlian.
10
(2) Bangunan gedung yang termasuk dalam klasifikasi kompleksitas
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain:
a. istana negara atau rumah jabatan presiden/wakil presiden;
b. bangunan gedung instalasi nuklir;
c. bangunan gedung laboratorium;
d. bangunan gedung terminal udara/laut/darat;
e. stasiun kereta api;
f. stadion olah raga;
g. rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan (lapas);
h. gudang penyimpan bahan berbahaya;
i. bangunan gedung monumental;
j. bangunan gedung fungsi pertahanan dan keamanan; atau
k. bangunan dengan jumlah lantai lebih dari 30 (tiga puluh) lantai
dan/atau dengan ketinggian bangunan lebih dari 100 m (seratus
meter) dari permukaan tanah.

Pasal 16

Klasifikasi berdasarkan tingkat permanensi sebagaimana dimaksud dalam


pasal 11 huruf b meliputi :
a. bangunan gedung permanen;
b. bangunan gedung semi permanen; dan
c. bangunan gedung darurat atau sementara.

Pasal 17

(1) Klasifikasi bangunan gedung permanen sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 16 huruf a diperuntukkan untuk bangunan gedung yang dibangun
dengan menggunakan bahan atau material yang bersifat
permanen/tahan lama.

(2) Klasifikasi bangunan gedung semi permanen sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 16 huruf b diperuntukkan untuk bangunan gedung yang
dibangun dengan sebagian bangunan menggunakan bahan atau
material yang bersifat tidak permanen/tidak tahan lama seperti bilik
bambu, penutup dinding papan atau seng dan sejenisnya.
(3) Klasifikasi bangunan gedung darurat atau sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 huruf c adalah bangunan gedung yang
dibangun dengan material yang sifatnya tidak permanen atau bangunan
yang dibangun dengan rancangan bongkar pasang (knock down) sep-
erti bangunan untuk pengungsian, mock up, tenda untuk pameran, dan
sejenisnya.

Pasal 18
Klasifikasi berdasarkan tingkat risiko kebakaran sebagaimana dimaksud
pasal 11 huruf c meliputi bangunan gedung :
a. tingkat risiko kebakaran tinggi;
b. tingkat risiko kebakaran sedang; dan
c. tingkat risiko kebakaran rendah.
11
Pasal 19

(1) Klasifikasi bangunan tingkat risiko kebakaran tinggi sebagaimana


dimaksud dalam pasal 18 huruf a meliputi bangunan gedung yang
dibangun dengan menggunakan material yang mudah terbakar
dan/atau bangunan yang dalam aktifitas atau kegiatannya berpotensi
besar menimbulkan kebakaran.
(2) Klasifikasi bangunan tingkat risiko kebakaran tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain :
a. rumah makan/restoran;
b. bengkel las;
c. bengkel kendaraan;
d. SPBU;
e. bangunan dari kayu/papan; dan
f. bangunan industri dan sejenisnya.

Pasal 20

(1) Klasifikasi bangunan tingkat risiko kebakaran sedang, sebagaimana


dimaksud dalam pasal 18 huruf b meliputi bangunan gedung yang
dibangun dengan menggunakan material yang tidak mudah terbakar
dan/atau bangunan yang dalam aktifitas atau kegiatannya memiliki
potensi menimbulkan kebakaran
(2) Klasifikasi bangunan tingkat risiko kebakaran sedang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain:
a. pusat perdagangan/perbelanjaan pada umumnya;
b. rumah tinggal;
c. apartemen;
d. hotel; dan
e. bangunan gudang/penyimpanan dan sejenisnya.

Pasal 21

(1) Klasifikasi bangunan tingkat risiko kebakaran rendah sebagaimana


dimaksud dalam pasal 18 huruf c meliputi bangunan gedung yang
dibangun dengan menggunakan material yang tidak mudah terbakar
dan/atau bangunan yang dalam aktifitas atau kegiatannya tidak
berpotensi menimbulkan kebakaran.
(2) Klasifikasi bangunan tingkat risiko kebakaran rendah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain bangunan:
a. perkantoran pada umumnya;
b. sarana olah raga;
c. sarana pendidikan; dan
d. bangunan ibadah, dan sejenisnya.

12
Pasal 22

Klasifikasi berdasarkan zonasi gempa sebagaimana dimaksud dalam pasal


11 huruf d meliputi :
a. Zona I /minor;
b. Zona II /minor;
c. Zona III /sedang;
d. Zona IV /sedang;
e. Zona V /kuat; dan
f. Zona VI /kuat.

Pasal 23

Wilayah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan peta zonasi gempa yang diter-
bitkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum ditentukan termasuk zona gempa
III/sedang.

Pasal 24
Klasifikasi berdasarkan kepadatan lokasi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 11 huruf e meliputi :
a. Lokasi padat;
b. Lokasi sedang; dan
c. Lokasi renggang.

Pasal 25

(1) Klasifikasi lokasi padat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a


diperuntukan bagi bangunan yang dibangun pada lokasi dengan bata-
san intensitas KLB yang ditentukan diatas 3,5.
(2) Klasifikasi lokasi sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf
b diperuntukan bagi bangunan yang dibangun pada lokasi dengan ba-
tasan intensitas KLB yang ditentukan lebih dari 1,5 sampai dengan 3,5.
(3) Klasifikasi lokasi renggang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 hu-
ruf c diperuntukan bagi bangunan yang dibangun pada lokasi dengan
batasan intensitas KLB yang ditentukan sampai dengan 1,5.

Pasal 26
Klasifikasi berdasarkan ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 11 huruf f meliputi :
a. bangunan gedung bertingkat tinggi;
b. bangunan gedung bertingkat sedang; dan
c. bangunan gedung bertingkat rendah.

13
Pasal 27

(1) Klasifikasi bangunan gedung bertingkat tinggi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 26 huruf a diperuntukkan bagi bangunan gedung yang
memiliki ketinggian lebih dari 8 (delapan) lantai.
(2) Klasifikasi bangunan gedung bertingkat sedang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 huruf b diperuntukkan bagi bangunan gedung yang
memiliki ketinggian 5 (lima) lantai sampai dengan 8 (delapan) lantai.
(3) Klasifikasi bangunan gedung bertingkat rendah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 huruf c diperuntukkan bagi bangunan gedung yang
memiliki ketinggian sampai dengan 4 (empat) lantai.
(4) Ketinggian lantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3)
berada pada lantai normal dan tidak termasuk lantai basement.

Pasal 28
Klasifikasi berdasarkan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam pasal
11 huruf g meliputi bangunan gedung milik :
a. negara/yayasan;
b. badan usaha; dan
c. perorangan.
Pasal 29

(1) Klasifikasi bangunan gedung milik negara sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 28 huruf a diperuntukkan bagi bangunan gedung yang
dimiliki oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, termasuk
bangunan gedung milik yayasan.
(2) Klasifikasi bangunan gedung milik badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 huruf b diperuntukkan bagi bangunan gedung
yang dimiliki oleh badan usaha milik pemerintah pusat atau pemerintah
daerah atau milik badan usaha swasta.
(3) Klasifikasi bangunan gedung milik perorangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 huruf c diperuntukkan bagi bangunan gedung yang
dimiliki oleh perseorangan termasuk bangunan gedung kedutaan besar
negara asing dan bangunan gedung diplomatik lainnya.

Bagian Keempat
Perubahan Fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung

Pasal 30

(1) Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung harus diikuti


dengan pemenuhan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis
bangunan gedung yang ditetapkan dalam IMB.
(2) Perubahan fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan fasilitas penunjang bangunan yang
baru.

14
BAB III
PERSYARATAN TATA BANGUNAN GEDUNG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 31

(1) Setiap penyelenggaraan bangunan gedung harus memenuhi


persyaratan tata bangunan gedung dan memenuhi keandalan
bangunan gedung.

(2) Persyaratan tata bangunan gedung antara lain meliputi :


a. persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung;
b. persyaratan teknis arsitektur bangunan gedung.

(3) Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) yaitu aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan
kemudahan.

Pasal 32

Persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a yang ditetapkan dalam RTRW,
RDTR, peraturan zonasi dan/atau panduan rancang kota.

Bagian Kedua
Peruntukan Bangunan Gedung

Pasal 33

(1) Setiap fungsi bangunan gedung yang akan didirikan harus sesuai
dengan peruntukan yang telah ditetapkan dalam Keterangan Rencana
Kota dan/atau Rencana Tata Letak Bangunan.
(2) Perubahan fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau perubahan penggunaan ruang dapat diizinkan,
apabila masih memenuhi ketentuan persyaratan peruntukan yang telah
ditetapkan.

Pasal 34

(1) Terhadap bangunan gedung yang sudah berdiri dan telah memiliki IMB
namun terjadi perubahan peruntukan pada lokasi tersebut, dapat
diajukan perubahan dan/atau perbaikan selama tidak dilakukan
penambahan luas bangunan dengan fungsi tetap mengacu pada IMB
yang telah diterbitkan.

(2) Apabila ingin mengajukan perubahan fungsi dan/atau penambahan


pada bangunan yang sudah berdiri sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib diajukan IMB sesuai peruntukan yang baru.

15
(3) Terhadap bangunan yang sudah berdiri dan belum memiliki IMB harus
melakukan penyesuaian paling lama 5 (lima) tahun, kecuali untuk
rumah tinggal tunggal paling lama 10 (sepuluh) tahun, sejak
pemberitahuan penetapan RTRW kepada pemilik bangunan gedung.

Pasal 35

(1) Setiap bangunan yang didirikan harus berada di dalam rencana


perpetakan yang dikuasai yang diatur dalam RTRW, RDTR, peraturan
zonasi, dan/atau panduan rancang kota.

(2) Terhadap perpetakan yang tidak dapat dipenuhi atau tidak ditetapkan,
maka perhitungan KDB dan KLB berdasarkan luas tanah di belakang
GSJ yang dimiliki.

(3) Terhadap perpetakan yang tidak dapat dipenuhi atau tidak ditetapkan,
maka dimungkinkan dilakukan penggabungan atau pemecahan
perpetakan dengan ketentuan KDB dan KLB tidak dilampaui, dan
dengan memperhitungkan keadaan lapangan, keserasian dan
keamanan lingkungan serta memenuhi persyaratan teknis.

Pasal 36

Penggabungan perpetakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 35 ayat (3)


harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. penggabungan perpetakan dilakukan paling banyak dari 2 (dua)
perpetakan;
b. bentuk bangunan di atas penggabungan perpetakan diarahkan harus
tetap serasi dengan lingkungan.

Pasal 37

Pemecahan perpetakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 35 ayat (3)


harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. hanya untuk perpetakan pada lingkungan yang belum teratur;
b. pemecahan perpetakan dilakukan paling banyak menjadi 2 (dua)
perpetakan.

Bagian Ketiga
Intensitas Bangunan Gedung

Pasal 38

Persyaratan intensitas bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam


pasal 31 ayat (2) huruf a. meliputi :
a. kepadatan bangunan gedung;
b. ketinggian bangunan gedung;
c. jarak bebas bangunan.

16
Pasal 39

(1) Perhitungan Intensitas bangunan gedung sebagaimana dimaksud


dalam pasal 38 ditentukan berdasarkan luas daerah perencanaan
(LDP).

(2) Perhitungan Luas Daerah Perencanaan (LDP) sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) berdasarkan :
a. luas lahan yang dikuasai dikurangi luas lahan untuk rencana
pengembangan kota (jalan, drainase, penghijauan, dan
sebagainya); dan/atau
b. luas lahan dengan peruntukan yang berbeda sesuai ketentuan
rencana kota, tidak dapat digabung.

Paragraf 1
Persyaratan Kepadatan Bangunan Gedung

Pasal 40

(1) Persyaratan kepadatan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


38 huruf a meliputi :
a. Koefisien Dasar Bangunan (KDB);
b. Koefisien Lantai Bangunan (KLB);
c. Koefisien Tapak Besmen (KTB); dan
d. Koefisien Daerah Hijau (KDH).
(2) Kepadatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan luas ruang efektif bangunan gedung.
(3) Ruang efektif bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah ruang yang digunakan secara efektif untuk kegiatan manusia.

Pasal 41

Perhitungan KDB sebagaimana dimaksud pada Pasal 40 ayat (1) huruf a,


ditentukan sebagai berikut :
a. Luas lantai dasar bangunan gedung dihitung berdasarkan garis sumbu
(as) dinding;
b. Luas lantai dasar ruangan beratap yang bersifat terbuka dan
mempunyai dinding tidak lebih dari 1,20 m (satu koma dua meter) di
atas lantai ruang tersebut, diperhitungkan dalam KDB sebesar 50%
(lima puluh persen);
c. Luas bangunan penghubung antar bangunan gedung berbentuk
selasar, beratap, dan tidak berdinding dengan lebar paling kurang 3 m
(tiga meter) tidak diperhitungkan sebagai KDB;
d. Lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan PKL pada bangunan gedung
tidak permanen dan tidak berdinding, tidak diperhitungkan sebagai
KDB;
e. Dalam perhitungan KDB, luas lantai yang diperhitungkan adalah luasan
yang berada di belakang GSJ;
17
f. KDB dihitung berdasarkan perbandingan luas lantai dasar efektif
bangunan terhadap Luas Daerah Perencanaan (LDP), atau dengan
rumusan :

KDB = Luas Lantai Dasar Bangunan x 100 %


LDP

Pasal 42

Perhitungan KLB sebagaimana dimaksud pada Pasal 40 ayat (1) huruf b,


ditentukan sebagai berikut:
a. Luas seluruh lantai bangunan gedung dihitung berdasarkan garis
sumbu (as) dinding;
b. Dalam perhitungan KLB, luas lantai dibawah tanah diperhitungkan
seperti luas lantai di atas tanah;
c. Luas lantai bangunan gedung yang digunakan untuk parkir tidak
diperhitungkan dalam KLB jika luas lantai tidak melebihi 50% dari KLB
yang ditetapkan, dan jika luas lantai melebihi 50% dari KLB yang
ditetapkan maka luas lantai tersebut diperhitungkan dalam KLB sebesar
100%;
d. bangunan gedung khusus parkir yang fungsinya bukan bangunan
pelengkap dari bangunan gedung utama diperbolehkan luas lantai
mencapai 150% (seratus lima puluh persen) dari KLB yang ditetapkan;
e. Luas lantai ruangan beratap yang bersifat terbuka atau mempunyai
dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas lantai ruang, diperhitungkan
dalam KLB sebesar 50%;
f. Luas lantai bangunan gedung yang digunakan sebagai prasarana dan
sarana berupa ruang tidak diperhitungkan dalam KLB apabila luas
lantai prasarana dan sarana tersebut kurang dari 20% (dua puluh per
seratus) dari KLB yang ditetapkan, selebihnya diperhitungkan dalam
KLB sebesar 100%.
g. penggunaan basemen yang dimanfaatkan untuk kegiatan lain kecuali
parkir dan fasilitasnya tetap diperhitungkan dalam KLB;
h. KLB dihitung berdasarkan perbandingan luas seluruh lantai efektif
bangunan terhadap Luas Daerah Perencanaan (LDP), atau dengan
rumusan :

KLB = Luas Seluruh Lantai Bangunan x 100 %


LDP

18
Pasal 43

Kriteria lantai bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 42


huruf f, digunakan sebagai :
a. Ruang panel;
b. Ruang genset;
c. Ruang lif;
d. Ruang AHU;
e. Ruang fan;
f. Ruang saf;
g. Ruang tangga kebakaran;
h. Ruang mushola termasuk tempat wudhu;
i. Ruang tunggu pengemudi; dan
j. Ruang untuk pedagang kaki lima (PKL).

Pasal 44

Kriteria lantai bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 42


huruf e berupa ruang yang tidak diperhitungkan dalam KLB, antara lain
digunakan sebagai :
a. WTP/STP;
b. Lubang saf;
c. Lubang lif;
d. Ruang kontrol kebakaran;
e. Tangga kebakaran;
f. Overstek; dan
g. Tempat berlindung sementara (refuge floor)

Pasal 45

Perhitungan KTB sebagaimana dimaksud pada Pasal 40 ayat (1) huruf c,


ditentukan sebagai berikut:
a. Dalam perhitungan KTB yang telah ditetapkan sesuai rencana kota,
dihitung berdasarkan garis sumbu (as) dinding terluar besmen;
b. Dalam perhitungan KTB pada bangunan gedung yang ditetapkan sama
dengan KDB maka harus tetap sama sesuai rencana kota yang telah
ditetapkan;
c. KTB dihitung berdasarkan perbandingan luas tapak besmen terluas
bangunan terhadap luas daerah perencanaan, atau dengan rumusan :

KTB = Luas Tapak Besmen Terluas x 100 %


LDP

19
Pasal 46

Perhitungan KDH sebagaimana dimaksud pada Pasal 40 ayat (1) huruf d,


ditentukan sebagai berikut:
a. Dalam perencanaan tapak bangunan harus memperhitungkan KDH
sesuai ketentuan yang telah ditetapkan dalam rencana kota;
b. KDH ditentukan berdasarkan luas ruang terbuka hijau yang
diperuntukkan bagi taman atau penghijauan;
c. Pekarangan pada daerah hijau (KDH) yang dibawahnya terdapat
besmen, maka kedalaman besmen minimum 3 (tiga) meter dari muka
permukaan tanah pekarangan yang dimanfaatkan sebagai resapan air
dan tanaman pelindung;
d. Jalan dan pekarangan yang digunakan untuk parkir dengan bahan yang
tidak menyerap air, tidak diperhitungkan dalam KDH;
e. Jalan dan pekarangan yang digunakan untuk parkir dengan bahan yang
menyerap air, diperhitungkan dalam KDH;
f. KDH dihitung berdasarkan perbandingan luas ruang terbuka hijau
terhadap Luas Daerah Perencanaan (LDP), atau dengan rumusan :

KDH = Luas Ruang Terbuka Hijau x 100 %


LDP

Paragraf 2
Ketinggian Bangunan Gedung

Pasal 47

(1) Ketinggian bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38


huruf b yang dapat dibangun, ditentukan berdasarkan jumlah lantai
maksimal sesuai dengan batasan yang ditetapkan dalam RTRW,
RDTR, peraturan zonasi, dan/atau panduan rancang kota.

(2) Apabila ketinggian bangunan gedung maksimal yang ditetapkan


melebihi batasan yang ditetapkan oleh ketentuan Kawasan
Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP), maka ketinggian
bangunan gedung maksimal harus mengikuti persyaratan ketinggian
pada KKOP.

Pasal 48

Penambahan luas lantai dan/atau jumlah lantai pada suatu bangunan


gedung yang sudah berdiri diperkenankan apabila masih memenuhi
batasan yang ditetapkan rencana kota meliputi :
a. KDB;
b. KLB;
c. jumlah lantai bangunan gedung; dan
d. ketentuan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP).

20
Paragraf 3
Jarak Bebas Bangunan Gedung

Pasal 49
(1) Persyaratan jarak bebas bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam pasal 38 huruf c yaitu harus mempunyai jarak bebas yang tidak
dibangun pada kedua sisi samping kiri, kanan dan bagian belakang
yang ditetapkan dalam RTRW, RDTR, peraturan zonasi, dan/atau
panduan rancang kota.

(2) Apabila tidak ditetapkan dalam RTRW, RDTR, peraturan zonasi,


dan/atau panduan rancang kota, maka jarak bebas bangunan gedung
ditetapkan dalam IMB dengan mempertimbangkan aspek keselamatan,
kesehatan, kenyamanan dan kemudahan.

Pasal 50
(1) Jarak bebas dari dinding terluar besmen dengan batas daerah
perencanaan minimal 3 (tiga) meter ke arah Garis Sempadan Jalan
(GSJ), pengaman saluran dan/atau batas sisi lain daerah perencanaan
(kaveling) atau batas sisi kepemilikan tanah;
(2) Terhadap bangunan gedung ketinggian paling tinggi 4 (empat) lantai,
ditetapkan jarak bebas dinding terluar basemen sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1) paling kurang 3 m (tiga meter) dari GSJ atau
pengaman saluran, sekurang-kurangnya 1 m (satu meter) dari batas
sisi lain daerah perencanaan (kaveling), dan tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap kaveling sekitar.

Pasal 51
Letak bangunan gedung di daerah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi
(SUTET) minimal 10 (sepuluh) meter dari proyeksi titik terluar SUTET atau
tidak boleh melampaui garis sudut 45° (empat puluh lima derajat) yang
diukur dari proyeksi titik terluar SUTET.

Pasal 52
(1) Pada bangunan industri dan gudang dengan tinggi dinding maksimal 6
m (enam meter), ditetapkan jarak bebas samping sepanjang sisi
samping kiri dan kanan pekarangan minimal 3 m (tiga meter), serta
jarak bebas belakang sepanjang sisi belakang pekarangan minimal 5 m
(lima meter) dengan memperhatikan KDB dan KLB yang ditetapkan
dalam rencana kota.
(2) Tinggi dinding bangunan industri dan gudang yang lebih tinggi dari 6 m
(enam meter), ditetapkan jarak bebasnya 4 m (empat meter) pada lantai
dasar.

21
Pasal 53
Untuk bangunan dengan fungsi khusus untuk menggunakan, menyimpan
atau memproduksi bahan peledak atau bahan-bahan lain yang sifatnya
mudah meledak, bahan radio aktif, racun, mudah terbakar atau bahan-
bahan lain yang berbahaya, diatur sebagai berikut :
a. lokasi bangunan gedung terletak di luar lingkungan perumahan atau
jarak minimal 50 m (lima puluh meter) dari jalan umum, jalan kereta api,
dan bangunan gedung lain di sekitarnya;
b. lokasi bangunan gedung dikelilingi pagar pengaman dengan tinggi
minimal 2,5 m (dua koma lima meter) dan ruang terbuka pada pintu de-
pan harus ditutup dengan pintu yang kuat dengan diberi peringatan
DILARANG MASUK;
c. bangunan gedung yang didirikan tersebut di atas harus terletak pada
jarak minimal 10 m (sepuluh meter) dari batas-batas pekarangan dan
10 m (sepuluh meter) dari bangunan gedung lainnya;
d. bagian dinding yang terlemah dari bangunan tersebut diarahkan ke
daerah yang aman.

BAB IV
PERSYARATAN TEKNIS ARSITEKTUR BANGUNAN GEDUNG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 54

Persyaratan teknis arsitektur bangunan gedung sebagaimana dimaksud


pada Pasal 31 ayat (2) huruf b meliputi :
a. penampilan bangunan gedung;
b. tata ruang dalam bangunan gedung;
c. tata ruang luar bangunan gedung;
d. keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan
lingkungannya;
e. prasarana dan sarana keselamatan jiwa;
f. prasarana aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lansia.

Bagian kedua
Persyaratan Penampilan Bangunan Gedung

Pasal 55

Persyaratan penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada


pasal 54 huruf a meliputi :
a. bentuk arsitektur bangunan gedung;
b. karakteristik arsitektur lingkungan.
22
Pasal 56

(1) Bentuk arsitektur bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam


pasal 55 huruf a harus dirancang untuk meningkatkan dan memperbaiki
kualitas arsitektur dan lingkungannya.

(2) Bentuk arsitektur bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) harus dirancang dengan mempertimbangkan terciptanya ruang luar
bangunan yang nyaman dan serasi terhadap lingkungannya.

Pasal 57

(1) Untuk bangunan gedung fungsi hunian dengan atap datar, batas tinggi
bangunan maksimal 15 (lima belas) meter, dihitung dari peil lantai dasar
hingga puncak tertinggi bangunan.

(2) Untuk bangunan gedung fungsi hunian dengan atap limasan, batas
tinggi bangunan maksimal 20 (dua puluh) meter, dihitung dari peil lantai
dasar hingga puncak tertinggi bangunan.

Pasal 58

(1) Bangunan gedung yang direncanakan harus memasukan unsur


karakteristik arsitektur lingkungan setempat.

(2) Pada jalan-jalan tertentu, perlu ditetapkan penampang-penampang


(profil) bangunan untuk memperoleh pemandangan jalan yang
memenuhi syarat keindahan dan keserasian.

(3) Bangunan gedung yang didirikan sampai pada batas samping persil,
tampak bangunannya harus berkesinambungan secara serasi dengan
tampak bangunan atau dinding yang telah ada di sebelahnya.

(4) Setiap bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan


bangunan yang dilestarikan, harus serasi dengan bangunan yang
dilestarikan tersebut.

Pasal 59

(1) Arkade merupakan ruang publik yang terbentuk oleh struktur bangunan
(atap, dinding dan kolom) yang digunakan sebagai jalur sirkulasi
pejalan kaki untuk membentuk karakteristik arsitektur lingkungan.

(2) Setiap bangunan yang disyaratkan menyediakan arkade sesuai yang


tercantum dalam rencana kota, maka massa bangunan harus sejajar
dan berhimpit dengan GSB.

23
(3) Arkade yang dimaksud pada ayat (2) hanya dapat berfungsi sebagai
jalur sirkulasi pejalan kaki yang memiliki akses menerus antara persil.

(4) Ruang yang berada di atas arkade yang dimaksud pada ayat (2) harus
digunakan sebagai ruang kegiatan.

Bagian ketiga
Persyaratan Tata Ruang Dalam Bangunan Gedung

Pasal 60

Persyaratan tata ruang dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud


dalam pasal 54 huruf b meliputi:
a. Lantai besmen;
b. Lantai dasar;
c. Lantai atas;
d. Rongga atap atau lantai atap.

Paragraf 1
Lantai Besmen

Pasal 61

(1) Tata ruang besmen dapat digunakan untuk ruang kegiatan selain
hunian dengan memenuhi persyaratan keselamatan, kesehatan,
sirkulasi udara dan penerangan, serta kenyamanan.

(2) Jumlah lantai besmen pada bangunan gedung fungsi rumah tinggal
hanya 1 (satu) lantai.

Pasal 62

(1) Tata ruang lantai besmen sebagaimana dimaksud dalam pasal 61


harus memperhatikan ruang terbuka hijau pekarangan meliputi :
a. Luasan lantai besmen pertama tidak boleh melebihi tapak bangunan
lantai di atasnya;
b. Atap besmen kedua dan seterusnya yang di luar tapak bangunan
harus berkedalaman minimum 3 (tiga) meter dari permukaan tanah
untuk tempat penanaman pohon pelindung;
c. Posisi ram dari lantai dasar atau pekarangan yang menuju lantai
besmen pertama dapat berada di luar lantai besmen pertama.
(2) Tinggi bebas atau bersih (head clearance) pada besmen dengan
penggunaan parkir paling rendah 2,25 m (dua koma dua lima meter).
(3) Apabila jarak antara atap besmen dengan muka tanah rata-rata
halaman lebih dari 1,2 m (satu koma dua meter), maka lantai besmen
dinyatakan sebagai lantai dasar.
(4) Untuk mencegah banjir ke dalam besmen perlu dibuat penahan dan
saluran pembuangan air.

24
Pasal 63

(1) Besmen sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 ayat (1) harus


dilengkapi tangga kebakaran dan lobi kedap asap.

(2) Apabila besmen sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 ayat (1)


berkedalaman lebih dari 10 meter harus dilengkapi lif kebakaran yang
menjadi satu kesatuan dengan tangga kebakaran dan lobi kedap asap.

(3) Apabila luasan besmen sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 ayat


(1) lebih dari 5.000 m2 (lima ribu meter persegi) per lantai, maka
disyaratkan dengan sistem kompartemenisasi.

(4) Besmen dengan beban penghuni lebih dari 50 orang per lantai dan
jarak tempuh terjauh menuju tangga kebakaran lebih dari 25 m (dua
puluh lima meter) harus dilengkapi dengan minimal 2 buah tangga
kebakaran.

(5) Besmen pada bangunan gedung bukan fungsi hunian, salah satu
tangga kebakarannya harus langsung berhubungan dengan jalan,
pekarangan atau lapangan terbuka.

(6) Setiap tangga kebakaran yang berhubungan dengan pekarangan atau


lapangan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (5), harus
langsung menuju jalan umum atau jalan keluar.

(7) Apabila tangga kebakaran dari lantai basemen dan tangga kebakaran
dari lantai tingkat bertemu pada suatu sarana jalan keluar yang sama,
maka harus diberikan pemisah dan tanda petunjuk jalan ke luar yang
jelas.

(8) Ruang pompa kecuali pompa kebakaran yang berada pada lantai
besmen harus dilengkapi dengan akses pemeliharaan, ventilasi udara,
dan dinding penahan banjir.

Paragraf 2
Lantai dasar

Pasal 64

(1) Tinggi lantai dasar suatu bangunan gedung diperkenankan mencapai


maksimal 1,2 m (satu koma dua meter) diatas tinggi rata-rata tanah
pekarangan atau tinggi rata-rata jalan, dengan memperhatikan
keserasian lingkungan.

(2) Apabila tinggi tanah pekarangan berada dibawah titik ketinggian (peil)
bebas banjir atau terdapat kemiringan yang curam atau perbedaan
tinggi yang besar pada tanah asli suatu perpetakan maka peil lantai
dasar bangunan gedung yang digunakan berdasarkan peil banjir.

25
(3) Ketinggian ruang pada lantai dasar bangunan gedung disesuaikan
dengan fungsi ruang dan arsitektur bangunannya, maksimum 5 meter.

(4) Pada lantai dasar harus disediakan pintu keluar darurat yang langsung
ke ruang luar bangunan gedung.

(5) Lantai dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bangunan gedung
selain fungsi rumah tinggal harus menyediakan :
a. pintu keluar darurat dari tangga exit ke pintu keluar tangga yang
melalui lobi dengan jarak jangkauan paling jauh 15 meter;
b. ruang kontrol kebakaran (pusat pengendali kebakaran);
c. aksesibilitas untuk penyandang cacat dan orang lanjut usia.

(6) Aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) huruf c antara lain
berupa:
a. Toilet;
b. Ram;
c. Jalur pemandu pada lantai sebagai penunjuk arah;
d. Lif harus bisa diakses oleh penyandang cacat dan/ atau lif tangga.

Paragraf 3
Lantai atas

Pasal 65
(1) Setiap lantai bangunan yang berada di atas lantai dasar dinyatakan
sebagai lantai atas termasuk mezanin dan rongga atap.
(2) Lantai mezanin dapat berada diantara lantai dasar dan/atau lantai atas
dengan lantai di atasnya kecuali rongga atap.
(3) Mezanin harus bersifat terbuka, atau bila berdinding maksimum tinggi
dinding adalah 1,2 (satu koma dua) meter.
(4) Luas lantai mezanin maksimum 50% dari luas lantai dibawahnya dan
tidak diperhitungkan sebagai jumlah lantai.
(5) Apabila luas lantai mezanin lebih dari 50% dari luas lantai dibawahnya
maka diperhitungkan sebagai jumlah lantai.
(6) Apabila terdapat bukaan jendela pada mezanin, maka tampak muka
bangunan harus berkesan tetap sesuai ketentuan batasan ketinggian
bangunan.

Pasal 66

(1) Ketinggian ruang pada lantai dasar disesuaikan dengan fungsi ruang
dan arsitektur bangunan gedungnya.
(2) Jarak vertikal atau tinggi antara lantai pada lantai dasar sampai dengan
lantai di atasnya maksimum 5 (lima) meter untuk bangunan gedung.

26
(3) Dalam hal perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari
lantai penuh ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 m, maka ketinggian
bangunan dianggap sebagai dua lantai.
(4) Ketinggian ruang pada lantai dasar bangunan gedung bukan rumah
tinggal yang dimanfaatkan bagi terselenggaranya kontak sosial
masyarakat dengan tetap memperhatikan aspek keserasian lingkungan,
maka tinggi lantai bangunan gedung diperkenankan maksimal 10
(sepuluh) meter dan tidak diperhitungkan sebagai dua lantai.
(5) Terhadap bangunan gedung tempat ibadah, gedung pertemuan,
gedung pertunjukan, gedung sekolah, bangunan monumental, gedung
olahraga, bangunan gedung serba guna dan bangunan gedung sejenis
tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pasal ini.

Paragraf 4
Rongga Atap atau Lantai Atap

Pasal 67

(1) Rongga atap pada bangunan gedung fungsi rumah tinggal hanya dapat
diizinkan untuk penggunaan sesuai dengan kegiatan utama tidak
diperkenankan untuk ruang yang mengandung bahaya api.

(2) Luas lantai rongga atap paling besar 50% dari luas lantai di bawahnya.

(3) Ruang rongga atap untuk bangunan gedung fungsi rumah tinggal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai penghawaan
dan pencahayaan alami yang memadai.

(4) Ketinggian dinding terluar ruang rongga atap minimum 1,8 m (satu
koma delapan meter).

(5) Setiap bukaan pada rongga atap tidak diperkenankan mengubah sifat
dan karakter arsitektur bangunan.

Pasal 68

(1) Ruang utilitas di atas atap (penthouse) pada bangunan gedung, hanya
dapat dibangun apabila digunakan sebagai ruangan untuk melindungi
alat-alat, mekanikal, elektrikal, tangki air, cerobong (shaft) dan fungsi
lain sebagai ruang pelengkap bangunan, dengan ketinggian ruangan
tidak boleh melebihi 2,4 m (dua koma empat meter) diukur secara
vertikal dari pelat atap bangunan.

(2) Tinggi ruang mesin lif dapat diperkenankan lebih dari 2,4 m (dua koma
empat meter) sesuai dengan keperluan.

27
(3) Apabila luas lantai sebagaimana dimakusd pada ayat (1) melebihi 50%
dari luas lantai dibawahnya maka ruang utilitas tersebut diperhitungkan
sebagai penambahan lantai.

Pasal 69

(1) Pada bagian atap bangunan gedung diperkenankan untuk


menyediakan landasan helikopter (helipad) sesuai keperluan.
(2) Luas landasan helikopter (helipad) minimal 7 m (tujuh meter) x 7 (tujuh)
meter, dengan ruang bebas di sekeliling landasan minimal 5 m (lima
meter).
(3) Ruang diantara landasan helipad dan lantai atap bangunan tidak boleh
digunakan untuk fungsi dan kegiatan lain.
(4) Area helipad dan sarana jalan keluar harus bebas dari cairan yang
mudah terbakar.
(5) Helipad di atas atap dapat dicapai dengan tangga khusus dari lantai
dibawahnya.
(6) Perencanaan dan pemanfaatan helipad harus mendapat persetujuan
dari instansi yang berwenang.

Paragraf 5
Kebutuhan minimum ruang

Pasal 70

Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan minimal kebutuhan


ruang sesuai fungsi bangunan.

Pasal 71

(1) Bangunan gedung dengan fungsi hunian susun sekurang-kurangnya


harus dilengkapi dengan kamar tidur, kamar mandi, ruang bersama dan
dapur.

(2) Bangunan gedung dengan fungsi hunian susun sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan fasilitas penunjang berupa
fasilitas umum dan fasilitas sosial antara lain :
a. Kantor pengelola;
b. Toko/ Kantin;
c. Sekolah.
Pasal 72

(1) Bangunan gedung dengan fungsi keagamaan sekurang-kurangnya


harus dilengkapi ruang ibadah dan kamar mandi.

28
(2) Bangunan gedung fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilengkapi dengan fasilitas penunjang antara lain :
a. Kantor pengelola;
b. Kantin;
c. Gudang;
d. Ruang jaga.

Pasal 73

(1) Bangunan gedung dengan fungsi usaha sekurang-kurangnya harus


dilengkapi ruang usaha, kamar mandi dan fasilitas penunjang.

(2) Bangunan gedung dengan fungsi usaha sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dapat dilengkapi dengan fasilitas penunjang antara lain :
a. Kantor;
b. Ruang Ibadah;
c. Kantin;
d. Gudang;
e. Ruang jaga.
(3) Ruang Ibadah sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b agar
ditempatkan pada lokasi yang mudah dicapai dari fungsi utama
bangunan.
(4) Bangunan gedung fungsi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan penggunaan hotel dapat dilengkapi dengan fasilitas penunjang
berupa antara lain :
a. Kantor;
b. Dapur;
c. Gudang;
d. Ruang jaga.

Pasal 74

(1) Bangunan gedung dengan fungsi sosial dan budaya sekurang-


kurangnya harus dilengkapi kamar mandi dan fasilitas penunjang.

(2) Bangunan gedung dengan fungsi sosial dan budaya sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi fasilitas penunjang antara
lain :
a. Kantor;
b. Ruang Ibadah;
c. Kantin;
d. Gudang;
e. Ruang jaga.

29
Pasal 75
(1) Dalam pemanfaatan bangunan gedung untuk kepentingan umum, perlu
disediakan fasilitas prasarana dan sarana yang mudah, aman dan
nyaman meliputi ruang ibadah/ mushola, ruang ganti, ruangan bayi,
toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan
informasi.
(2) Penempatan mushola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang be-
rada di bangunan gedung yang berlantai banyak atau yang mempunyai
tipikal lantai yang sangat luas dapat disebar menurut jumlah lantai atau
dengan cakupan area sesuai kebutuhan.

Pasal 76
(1) Bangunan gedung harus menggunakan bahan yang aman bagi
kesehatan pengguna bangunan gedung dan tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan.
(2) Bahan bangunan yang digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak boleh mengandung bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan
(beracun) dan aman bagi pengguna bangunan gedung.

Pasal 77

(1) Untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, setiap


penggunaan bahan bangunan harus:

a. menghindari timbulnya efek silau dan pantulan bagi pengguna


bangunan gedung lain, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya;
b. menghindari timbulnya efek peningkatan suhu lingkungan di
sekitarnya;
c. mempertimbangkan prinsip-prinsip konservasi energi; dan
d. mewujudkan bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan
lingkungannya.
(2) Pemanfaatan dan penggunaan bahan bangunan lokal harus sesuai
dengan kebutuhan dan memperhatikan kelestarian lingkungan.

Pasal 78

Pada bangunan gedung yang menggunakan bahan kaca pantul pada


tampak bangunan, sinar yang dipantulkan (reflektansi cahaya) tidak boleh
melebihi 24% dengan memperhatikan tata letak dan orientasi bangunan
gedung terhadap matahari agar tidak menimbulkan pantulan yang dapat
membahayakan keselamatan umum.

30
Bagian keempat
Persyaratan Tata Ruang Luar Bangunan Gedung

Pasal 79
(1) Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan mempertimbangkan
terciptanya ruang luar bangunan yang nyaman dan serasi terhadap
lingkungannya.
(2) Ruangan terbuka luar bangunan di antara GSJ dan GSB harus
digunakan sebagai unsur penghijauan dan/atau daerah peresapan air
hujan serta kepentingan umum lainnya.
(3) Setiap perencanaan bangunan gedung harus memperhatikan potensi
unsur-unsur alami yang ada dalam tapak seperti danau, sungai, pohon-
pohon menahun, tanah dan permukaan tanah.

Pasal 80

Ruang luar bangunan gedung harus memperhatikan tata letak massa


bangunan, akses menuju massa bangunan, sirkulasi, proporsi koefisien
daerah hijau dan koefisien dasar bangunan.

Pasal 81

(1) Posisi pagar harus terletak pada GSJ atau antara GSJ dengan GSB.

(2) Tinggi pagar batas pekarangan sepanjang pekarangan samping dan


belakang untuk bangunan gedung renggang maksimal 3 m di atas
permukaan tanah pekarangan dan apabila pagar tersebut merupakan
dinding bangunan gedung fungsi rumah tinggal bertingkat atau
berfungsi sebagai pembatas pandangan, maka tinggi tembok maksimal
7 m (tujuh meter) dari permukaan peil lantai dasar.

(3) Tinggi pagar pada bangunan gedung fungsi rumah tinggal maksimal 2
m (dua meter) di atas permukaan tanah dengan bagian bawahnya
dapat tidak tembus pandang maksimal setinggi 1 m (satu meter) di atas
permukaan tanah pekarangan.

(4) Tinggi pagar pada bangunan gedung fungsi bukan rumah tinggal
termasuk untuk bangunan industri maksimal 2,5 (dua koma lima) meter
di atas permukaan tanah pekarangan.

(5) Khusus untuk bagian bangunan gedung yang ditentukan sebagai


arkade tidak diperbolehkan menggunakan pagar.

Pasal 82

(1) Pintu pagar pekarangan dalam keadaan terbuka tidak boleh melebihi
GSJ.

31
(2) Letak pintu pekarangan untuk kendaraan bermotor roda empat pada
persil sudut, minimal 8 m (delapan meter) untuk bangunan gedung
fungsi rumah tinggal dan 20 m (dua puluh meter) untuk bangunan
gedung fungsi bukan rumah tinggal dihitung dari titik belok tikungan.

(3) Terhadap persil kecil yang tidak memenuhi ketentuan pada ayat (2),
letak pintu pagar kendaraan bermotor roda empat adalah pada salah
satu ujung batas pekarangan.

Pasal 83

(1) Salah satu sisi pekarangan harus berbatasan dengan jalan umum yang
telah ditetapkan dengan lebar minimal 3 m (tiga meter).

(2) Letak pintu masuk utama bangunan gedung harus berorientasi ke jalan
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 84

(1) Semua bagian atau unsur bangunan gedung tidak diperkenankan


berada di luar GSJ.
(2) Bagian atau unsur bangunan gedung yang dapat terletak di antara GSB
dan GSJ adalah:
a. detail atau unsur bangunan gedung akibat keragaman rancangan
arsitektur dan tidak digunakan sebagai ruang kegiatan;
b. detail atau unsur bangunan akibat dari rencana perhitungan struktur
dan atau instalasi bangunan;
c. unsur bangunan yang diperlukan sebagai sarana sirkulasi yang
bukan merupakan bagian dari sirkulasi utama bangunan gedung.

Pasal 85

(1) Detail atau unsur bangunan gedung akibat keragaman rancangan


arsitektur dan tidak digunakan sebagai ruang kegiatan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 84 ayat (2) huruf a diatur sebagai berikut:
a. Kanopi/overstek atap tanpa kolom penyangga dengan lebar
maksimal 2/3 jarak dari GSB dan GSJ dan tidak boleh lebih dari 3
(tiga) meter dari GSB.
b. Kanopi untuk tempat turun dari kendaraan (drop off) di pintu utama
bangunan dapat menggunakan kolom penyangga dengan lebar
maksimal 2/3 (dua per tiga) jarak dari GSB dan GSJ dan minimum 6
(enam) meter dari GSB.
c. Balkon tidak boleh lebih dari 1,5 m (satu koma lima meter) dari GSB.

32
(2) Detail atau unsur bangunan akibat dari rencana perhitungan struktur
sebagaimana dimaksud pada Pasal 84 ayat (2) huruf b antara lain
pondasi dan kolom dapat melewati GSB selama dinding terluar tetap
berada di GSB.
(3) Detail atau unsur bangunan akibat dari rencana instalasi bangunan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 84 ayat (2) huruf b diatur sebagai
berikut :
a. Cerobong udara masuk dan udara keluar;
b. Tinggi dan bukaan cerobong udara tidak mengganggu dan/atau
tidak membahayakan penghuni dan lingkungan.
(4) Unsur bangunan yang diperlukan sebagai sarana sirkulasi yang bukan
merupakan bagian dari sirkulasi utama bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada Pasal 84 ayat (2) huruf c berupa :
a. Jalur pejalan kaki;
b. Tangga kebakaran yang bersifat terbuka;
c. Bukaan tangga kebakaran dari basement;
d. Sirkulasi untuk pemeliharaan AC.

Bagian kelima
Persyaratan Keseimbangan, Keserasian,
dan Keselarasan Bangunan Gedung

Pasal 86

(1) Persyaratan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan


gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
huruf d harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan
gedung dan ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras
dengan lingkungannya.
(2) Pertimbangan terhadap terciptanya ruang luar bangunan gedung dan
ruang terbuka hijau dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam
pemenuhan :
a. persyaratan daerah resapan;
b. akses penyelamatan;
c. sirkulasi kendaraan dan manusia;
d. prasarana di luar bangunan gedung.

Paragraf 1
Persyaratan Daerah Resapan

Pasal 87

(1) Persyaratan daerah resapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86


ayat (2) huruf a merupakan daerah yang ditetapkan sesuai Koefisien
Daerah Hijau (KDH) dalam RTRW, RDTR, peraturan zonasi, dan/atau
panduan rancang kota.

33
(2) Persyaratan daerah resapan pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan :
a. tidak ditutup oleh perkerasan yang dapat menghambat peresapan
air;
b. meresapkan air ke dalam tanah minimal 1,5 meter;
c. sebagai sumur resapan dan kolam resapan.

Pasal 88
(1) Sumur resapan dan kolam resapan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 87 harus dipenuhi oleh setiap Pemilik bangunan gedung yang
akan melakukan kegiatan pembangunan.
(2) Kewajiban pembuatan sumur resapan ditujukan kepada penyelenggara
bangunan gedung yang menutup permukaan tanah dan/atau
menggunakan air tanah.
(3) Selain kewajiban pembuatan sumur resapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), terhadap penyelenggara bangunan gedung yang akan
membangun di atas lahan 5.000 m2 (lima ribu meter persegi) atau
lebih, diwajibkan menyiapkan 1,0% (satu persen) dari lahan yang akan
digunakan untuk bangunan kolam resapan di luar perhitungan sumur
resapan.
(4) Terhadap kewajiban pembuatan sumur resapan bagi setiap pemilik
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), apabila
lokasi dan/atau struktur dan tekstur tanah tidak dapat memenuhi
persyaratan, maka wajb mengganti dengan teknologi lain yang
ditetapkan oleh Dinas Teknis dengan mekanisme dan pemanfaatan
yang mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 89
(1) Pemilik bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 87
wajib mengelola air limbah domestik sebelum dibuang ke saluran
umum/drainase kota.
(2) Perencanaan instalasi air limbah domestik sebagaimana dimaksud pa-
da ayat (1) yang merupakan utilitas lingkungan atau bangunan
mengacu ke Rencana Induk Sanitasi Lingkungan dan harus disediakan
sebelum melaksanakan kegiatan pembangunan.

Paragraf 2
Akses Penyelamatan

Pasal 90

(1) Akses penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2)


huruf b meliputi akses penyelamatan terhadap kebakaran dan gempa.

(2) Akses penyelamatan terhadap kebakaran antara lain penyediaan


sarana akses pemadam kebakaran dari bangunan gedung ke
lingkungan.

34
Pasal 91

(1) Perkerasan pada jalur keluar dan masuk lahan harus dapat langsung di
akses pemadam kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 90
ayat (2) pada bangunan gedung kecuali :
a. Rumah tinggal;
b. Hunian yang tidak lebih dari 300 m2 (tiga ratus meter perrsegi);
c. Hunian yang digunakan untuk umum antara lain rumah asrama,
rumah tamu, losmen, dan panti (orang berumur, cacat, atau anak-
anak).

(2) Perkerasan sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dapat


mengakomodasi jalan masuk dan manuver mobil pemadam, snorkel,
mobil pompa, dan mobil tangga dan platform hidrolik, serta mempunyai
spesifikasi antara lain :
a. Jalur yang dilintasi pemadam kebakaran mampu menahan beban
berjalan mobil pemadam kebakaran;

b. Lebar minimum lapis perkerasan 6 m (enam meter) dan panjang


minimum 15 m (lima belas meter). Bagian-bagian lain dari jalur
masuk yang digunakan untuk lewat mobil pemadam kebakaran,
lebarnya tidak boleh kurang dari 4 m (empat meter);

c. Radius terluar dari belokan pada jalur masuk tidak boleh kurang dari
10,5 m (sepuluh koma lima meter) dan radius putaran tidak boleh
kurang dari 9,5 m (Sembilan koma lima meter);

35
d. tinggi ruang bebas di atas lapis perkerasan atau jalur masuk mobil
pemadam, minimum 5 m (lima meter) untuk dapat dilalui peralatan
pemadam tersebut;
e. Jalan di dalam lingkungan bangunan boleh digunakan sebagai
perkerasan asalkan lokasi jalan tersebut sesuai dengan persyaratan
jarak dari bukaan akses pemadam kebakaran.
f. Perkerasan untuk fasilitas pemadam kebakaran harus selalu dalam
keadaan bebas rintangan dari bagian lain bangunan, pepohonan,
tanaman atau lain-lain,
g. Perkerasan untuk fasilitas pemadam kebakaran tidak boleh meng-
hambat jalur antara perkerasan dengan bukaan akses pemadam
kebakaran.

Pasal 92

Ketentuan jalur masuk harus diperhitungkan berdasarkan volume kubikasi


bangunan gedung seperti ditunjukkan dalam tabel :

No Volume Bangunan Keterangan


3
1 < 7.100 m Minimal 1/6 keliling halaman.
3
2 > 7.100 m Minimal 1/6 keliling bangunan.
3
3 > 28.000 m Minimal ¼ keliling bangunan.
3
4 > 56.800 m Minimal ½ keliling bangunan.
3
5 > 85.200 m Minimal ¾ keliling bangunan.
3
6 > 113.600 m Harus sekeliling bangunan.

36
Paragraf 3
Sirkulasi Kendaraan dan Manusia

Pasal 93

(1) Sirkulasi kendaraan dan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal


86 ayat (2) huruf c meliputi
a. akses keluar masuk kendaraan pada bangunan gedung dari site dan
keluar;
b. akses keluar masuk manusia ke dalam dan keluar bangunan
gedung serta dari site dan keluar.

(2) Sirkulasi kendaraan dan manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus terpisah dengan memperhatikan kenyamanan dan keselamatan
penggunanya.

Paragraf 4
Prasarana di Luar Bangunan Gedung

Pasal 94

(1) Penempatan prasarana di luar bangunan gedung sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) huruf d tidak boleh mengganggu
ketertiban umum, lalu lintas, bentuk arsitektur bangunan gedung dan
lingkungan kota.

(2) Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :


a. Pos jaga;
b. Gardu PLN;
c. Tempat pemeriksaan kendaraan (security check);
d. Tempat penyimpanan bahan mudah terbakar.

(3) Luas maksimal untuk bangunan pos jaga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a yaitu berukuran 2 x 2 meter persegi, dengan jumlah
maksimal 2 (dua) unit.

Pasal 95

(1) Gerbang pemeriksaan (security check) sebagaimana dimaksud dalam


pasal 94 ayat (2) huruf c harus terletak di belakang GSB, dengan pan-
jang maksimum 5 m (lima meter) dan lebar 5 m (lima meter).
(2) Gerbang pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibangun beratap.

Pasal 96

(1) Bangunan gedung dan/atau prasarana dan sarana berdasarkan letak,


bentuk, ketinggian dan penggunaannya harus dilengkapi dengan
peralatan yang berfungsi sebagai pengaman terhadap lalu-lintas udara
atau lalu-lintas laut.

37
(2) Bangunan gedung dan/atauprasarana dan sarana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain :
a. bangunan gedung dengan ketinggian tertentu yang berada pada
daerah jalur lintasan pesawat;
b. bangunan gedung yang berada di luar jalur lintasan pesawat
dengan ketinggian lebih dari 25 (dua puluh lima) lapis atau lebih dari
100 m (seratus meter);
c. menara antena telekomunikasi atau sejenisnya yang berdiri sendiri
atau berada di atas bangunan gedung yang secara keseluruhan
memiliki ketinggian lebih dari 100 m (seratus meter) ;dan
d. mercusuar.

Pasal 97

Bangunan gedung yang akan dibangun di atas sarana dan prasarana kota
harus mendapat izin Gubernur dan harus memenuhi persyaratan:
a. sesuai dengan keterangan rencana kota;
b. tidak mengganggu fungsi prasarana dan sarana kota yang berada di
bawahnya dan/atau di sekitarnya;
c. tetap memperhatikan keserasian bangunan gedung terhadap
lingkungannya; dan
d. memenuhi persyaratan keselamatan kesehatan sesuai fungsi bangunan
gedung.

Bagian keenam
Prasarana dan Sarana Keselamatan Jiwa

Pasal 98

(1) Setiap bangunan gedung wajib dilengkapi dengan prasarana dan


sarana keselamatan jiwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 huruf
e.

(2) Komponen prasarana dan sarana keselamatan jiwa sebagaimana di-


maksud pada ayat (1) harus merupakan kesatuan yang tidak
terpisahkan dari bangunan gedung serta harus dibuat secara
permanen, dengan mengacu pada Peraturan Menteri PU Nomor
26/PRT/M/2008 atau yang terbaru.

(3) Apabila perencanaan prasarana dan sarana keselamatan jiwa berbeda


dari ketentuan dalam Peraturan Menteri PU Nomor 26/PRT/M/2008,
maka sekurang-kurangnya harus memenuhi persyaratan :
a. perencanaan teknis harus memenuhi ketentuan/ regulasi yang
diakui secara nasional atau internasional dengan menggunakan
asumsi/ referensi yang berlaku di Indonesia.
b. mendapat persetujuan dari tim ahli bangunan gedung bidang
arsitektur perkotaan dan/atau bidang mekanikal elektrikal.
c. menampilkan konsep perencanaan bangunan gedung yang
dilengkapi dengan simulasi pemanfaatan prasarana dan sarana
keselamatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) saat ter-
jadinya bencana/ kebakaran.
38
(4) Prasarana dan sarana keselamatan jiwa terdiri dari :
a. tangga kebakaran;
b. pintu tangga kebakaran;
c. lif kebakaran;
d. ram;
e. koridor;
f. tempat berhimpun sementara;
g. saf pemadam kebakaran.

Pasal 99

(1) Lebar suatu jalan keluar tidak diperkenankan mengalami penyempitan


mulai dari jalan keluar masing-masing lantai (storey exit) sampai ke
jalan keluar akhir (final exit).

(2) Pada sarana jalan keluar yang melayani lantai atas dan lantai bawah
yang bergabung pada 1 (satu) lantai, maka kapasitasnya harus sesuai
dengan jumlah orang dari ke dua lantai tersebut.

(3) Apabila diperlukan lebih dari satu jalan keluar untuk 1 (satu) tingkat,
maka letak dari masing-masing jalan keluar harus berjauhan dan harus
diatur atau dibuat sehingga mengurangi kemungkinan terhalangnya
penggunaan jalan keluar tersebut oleh api atau kondisi darurat lainnya.

Pasal 100

(1) Bahan atau perlengkapan lift, tangga, ventilasi dan bukaan tegak
lainnya harus dibuat dengan konstruksi tahan api.

(2) Jendela kaca dengan kerangka metal yang dipasang pada bukaan luar
harus memenuhi persyaratan:
a. Kaca harus tahan panas;
b. Kaca untuk evakuasi darurat harus diberi tanda yang dapat terlihat
jelas;
c. Kerangka metal harus dengan tingkat ketahanan api sekurang-
kurangnya 1 (satu) jam;

(3) Setiap bukaan luar di atap harus dilindungi oleh pagar pelindung
dengan tinggi minimum 90 cm (sembilan puluh sentimeter) dan dibuat
dari bahan yang kuat dan tahan api.

Paragraf 1
Tangga Kebakaran

Pasal 101
(1) Setiap bangunan gedung 5 lantai atau dengan ketinggian 20 m (dua
puluh meter) atau lebih harus memiliki tangga kebakaran yang dapat
melayani setiap lantai bangunan, dan berhubungan langsung dengan
jalan, pekarangan atau tempat terbuka.

39
(2) Bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki
1 (satu) tangga kebakaran apabila beban penghuni tidak lebih dari 50
(lima puluh) orang dan jarak tempuh terjauh dari bagian bangunan
menuju tangga kebakaran tidak lebih dari 25 m (dua puluh lima meter)
di setiap lantai.
(3) Apabila beban penghuni dan jarak tempuh terjauh lebih dari persyara-
tan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan luas lantai maksimal
900 m2 (sembilan ratus meter persegi) harus memiliki sekurang-
kurangnya 2 (dua) tangga kebakaran.
(4) Pelepasan (exit discharge) atau pintu keluar tangga umum yang
digunakan sebagai sarana evakuasi harus menuju ke luar bangunan
dan brandgang (lorong diantara bangunan)
(5) Diperbolehkan menambah tangga diluar bangunan selama tidak
melebihi intensitas bangunan yang ditetapkan

Pasal 102

(1) Tangga melingkar (tangga spiral) tidak boleh digunakan sebagai tangga
kebakaran.
(2) Tangga kebakaran harus menggunakan bordes dengan lebar minimal
1,20 m (satu koma dua puluh meter) dan tidak boleh menjepit ke arah
bawah.
(3) Tangga kebakaran harus dilengkapi pegangan (hand rail) yang kuat
setinggi 1,10 m (satu koma sepuluh meter) dan mempunyai lebar
injakan anak tangga minimal 28 cm (dua puluh delapan sentimeter) dan
tinggi maksimal anak tangga 18 cm (delapan belas sentimeter).
(4) Lebar maksimum tangga kebakaran harus tidak lebih dari 2 (dua)
meter, jika lebar tangga melebihi 2 (dua) meter, dapat digunakan
langkan/pegangan tangga (handrail) yang membagi lebar tangga
masing-masing tidak kurang dari 1 m (satu meter) atau tidak lebih dari 2
m (dua meter).
(5) Lebar bebas minimum pintu tangga kebakaran tidak boleh kurang dari
90 cm (sembilan puluh sentimeter).
(6) Lebar daun pintu tangga kebakaran minimal 60 cm (enam puluh senti-
meter).

Pasal 103

(1) Tangga kebakaran terbuka yang terletak diluar bangunan harus


berjarak minimal 3 m (tiga meter) dari bukaan dinding yang berdekatan
dengan tangga kebakaran tersebut.

(2) Jarak pencapaian ke tangga kebakaran dari setiap titik dalam ruang
efektif, maksimal 25 m (dua puluh lima meter) apabila tidak dilengkapi
dengan springkler dan maksimal 40 m (empat puluh meter) apabila
dilengkapi dengan springkler.
40
(3) Jarak pencapaian dari ujung lorong buntu (dead end) menuju pintu
tangga kebakaran tidak boleh lebih dari 15 m (lima belas meter).

Pasal 104
(1) Saf tangga kebakaran harus menerus dari lantai teratas hingga lantai
dasar.
(2) Untuk saf tangga kebakaran yang tidak menerus atau berbeda letak,
harus memiliki koridor kedap asap dan tahan api minimal 2 (dua) jam
sebagai penghubung dengan lebar minimal 3 m (tiga meter).
(3) Untuk saf tangga kebakaran pada lantai dasar bangunan yang tidak
memiliki bukaan langsung menuju ruang luar bangunan, harus memiliki
bukaan dengan jarak pencapaian terjauh 15 m (lima belas meter)
menuju pintu ke luar bangunan.

Pasal 105
(1) Setiap tangga kebakaran yang berada di luar bangunan, harus dapat
dicapai melalui ruang tunggu, balkon atau teras terbuka dengan luas
minimal 10 m2 (sepuluh meter persegi) dan harus dilengkapi dengan
dinding pengaman pada setiap sisi dengan tinggi minimal 1,2 m (satu
koma dua meter).
(2) Setiap tangga kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mempunyai lobi dengan luas permukaan lantai lobi minimal 50% dari
luas penampang melintang tangga.

Paragraf 2
Pintu Tangga Kebakaran

Pasal 106

Setiap bangunan yang dilengkapi tangga kebakaran harus dilengkapi pintu


dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Bukaan pintu untuk sarana jalan ke luar harus sedikitnya memiliki lebar
bersih 80 cm (delapan puluh sentimeter).
b. Bila digunakan pasangan daun pintu maka sedikitnya salah satu daun
pintu memiliki lebar bersih minimal 80 cm (delapan puluh sentimeter).
c. Setiap pintu kebakaran jalan keluar harus merupakan pintu yang dapat
menutup sendiri dan tahan api minimum 1 (satu) jam.
d. Semua bukaan dilengkapi dengan pintu tahan api yang memenuhi
ketentuan konstruksi tahan api minimum 50 % dari ketahanan api
dinding tempat bukaan tegak yang bersangkutan.
e. Setiap pintu tangga kebakaran harus tahan api minimal 2 (dua) jam.
f. Pintu tangga kebakaran di lantai dasar tidak boleh terkunci dengan
bukaan harus mengarah ke halaman atau tempat terbuka harus
berhubungan langsung menuju jalan umum.

41
g. Jalan keluar dari lantai atas maupun lantai bawah tidak boleh berakhir
pada lantai daerah kebakaran terbuka kecuali dipisah dengan dinding
tahan api minimum 2 (dua) jam.

Pasal 107

Sarana penyelamatan jiwa bagi suatu bangunan yang menggabungkan 2


(dua) atau lebih unit ruko dan rukan harus memiliki sekurang-kurangnya 2
(dua) jalan keluar.

Paragraf 3
Lif kebakaran

Pasal 108
(1) Kereta lif kebakaran harus mempunyai area/ruang bebas tidak kurang
dari 1,7 m (dalam) x 1,5 m (lebar).
(2) Area/ruang bebas (tidak dihalangi oleh pintu ayun) dari lobi pemadam
kebakaran harus tidak kurang dari 6 m2(enam meter persegi).
(3) Sistem komunikasi dua arah harus disediakan pada lobi lif pemadam
kebakaran (fire fighting lobby) yang melayani lantai tempat berlindung.

Paragraf 4
Ram

Pasal 109
(1) Ram pada bangunan gedung harus memenuhi persyaratan sesuai
penggunaan untuk manusia dan jalur kendaraan.
(2) Ram untuk manusia terdiri dari ram sirkulasi umum dan ram disabilitas.
(3) Ram untuk jalur kendaraan terdiri dari ram lurus dan ram melingkar
yang dilengkapi dinding pengaman (parapet) beton bertulang dengan
ketinggian minimal 120 cm (seratus dua puluh centimeter).

Pasal 110

Ram untuk sirkulasi umum sebagaimana dimaksud pada pasal 109 ayat (2)
diatur sebagai berikut :
a. Persyaratan lebar ram ditetapkan sesuai dengan lebar bersih tangga
110 cm (seratus sepuluh centimeter).
b. Kemiringan ram untuk sarana jalan keluar tidak boleh kurang dari 1
berbanding 12.
c. Apabila lebar bersih ram lebih besar dari 110 cm (seratus sepuluh
centimeter), harus menyediakan rel pegangan tangan pada kedua sisi
ram.
d. Apabila panjang ram melebihi 15 (lima belas) meter, harus disediakan
satu buah landasan (bordes) dengan panjang 3 m (tiga meter) pada
setiap jarak maksimal 15 m (lima belas meter).
e. Permukaan lantai ram harus diberi lapisan kasar atau bahan anti slip.
42
Pasal 111

Ram lurus untuk kendaraan sebagaimana dimaksud pada pasal 109 ayat
(3) diatur sebagai berikut :
a. Kemiringan ram lurus pada bangunan parkir maksimal 1 berbanding 7.
b. Apabila lantai parkir mempunyai sudut kemiringan, maka sudut
kemiringan tersebut maksimal 1 berbanding 20.
c. Pada ram lurus jalan satu arah pada bangunan parkir, lebar jalan
minimal 3 m (tiga meter) dengan ruang bebas struktur di kanan kiri
minimal 60 cm (enam puluh sentimeter) untuk sirkulasi manusia.
d. Ram kendaraan menuju besmen atau tempat parkir harus memiliki
ruang datar minimal sebesar 3 m (tiga meter) dari GSJ.

Pasal 112

Ram melingkar untuk kendaraan sebagaimana dimaksud pada pasal 109


ayat (3) diatur sebagai berikut :
a. Bangunan parkir diperkenankan menggunakan ram melingkar maksimal
5 (lima) lantai secara menerus.
b. Apabila ram melingkar lebih dari 5 (lima) lantai, jalur sirkulasi kendaraan
harus melalui lantai transisi.

c. Pada ram melingkar jalan satu arah lebar jalan minimal 3,65 m (tiga
koma enam puluh lima meter), apabila jalan dua arah lebar jalan
minimal 7 m (tujuh meter) dengan pembatasan jalan lebar 50 cm (lima
puluh sentimeter) dan tinggi minimal 10 cm (delapan puluh sentimeter).
d. Jari-jari tengah ram melingkar minimal 9 m (sembilan meter) dihitung
dari as jalan terdekat.
e. Setiap jalan pada ram melingkar harus mempunyai ruang bebas 60 cm
(enam puluh sentimeter) terhadap struktur bangunan.

Paragraf 5
Koridor

Pasal 113
(1) Lebar koridor bangunan bukan tempat tinggal minimal 1,20 m (satu
koma dua puluh meter) diukur dari dinding bagian dalam.
(2) Ketinggian bebas pada koridor minimal 2,20 m (dua koma dua puluh
meter) diukur dari langit-langit ke lantai.
(3) Koridor harus dilengkapi tanda petunjuk yang jelas ke arah sarana jalan
keluar.
(4) Lebar koridor yang berfungsi sebagai sarana jalan keluar minimal 1,80
m (satu koma delapan puluh meter) diukur dari dinding bagian dalam.

Pasal 114

Setiap koridor yang berfungsi sebagai jalan keluar harus memenuhi


ketentuan sebagai berikut :

43
a. Koridor yang berada di lantai atas dan di lantai bawah permukaan tanah
harus mempunyai jalan keluar yang menuju ke tangga kebakaran.
b. Koridor pada lantai dasar harus mengarah ke halaman atau tempat
terbuka yang berhubungan langsung dengan jalan umum.

Paragraf 6
Akses Eksit ke Koridor

Pasal 115

Koridor yang digunakan sebagai akses eksit dan melayani suatu daerah
yang memiliki suatu beban hunian lebih dari 30 m (tiga puluh meter) harus
dipisahkan dari bagian lain bangunan gedung dengan dinding yang
mempunyai tingkat ketahanan api 1 (satu) jam dan sesuai ketentuan
tentang “penghalang kebakaran”, kecuali cara lain yang diizinkan sebagai
berikut :
a. Persyaratan ini tidak diterapkan untuk bangunan gedung yang sudah
ada, asalkan klasifikasi huniannya tidak berubah.
b. Persyaratan ini tidak diterapkan pada seluruh klasifikasi hunian bangunan ge-
dung bila bangunan gedung tersebut sudah mempunyai persyaratan sendiri

Contoh TKA pada Akses Koridor

Paragraf 7
Komponen eksit pelepasan

Pasal 116

(1) Komponen eksit pelepasan bangunan gedung terdiri yang terdiri dari :
Pintu, tangga, ram, koridor, jalan terusan, jembatan, balkon, eskalator,
travelator, dan komponen lain dari eksit pelepasan.
(2) Komponen eksit pelepasan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan.

44
Paragraf 8
Tempat Berhimpun Sementara

Pasal 117

(1) Setiap bangunan gedung tinggi (24 lantai atau lebih) harus memiliki
tempat berhimpun sementara untuk kondisi darurat yang terdiri dari
tempat berhimpun sementara di dalam bangunan dan di luar bangunan.

(2) Tempat berhimpun sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di


luar bangunan dapat berupa:
a. Ruang terbuka hijau;
b. Plasa;
c. Lapangan olahraga terbuka.

(3) Tempat berhimpun sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di


dalam bangunan dapat berupa:
a. lobi penahan asap (smoke-stop lobby);
b. lobi untuk pemadaman kebakaran (fire-fighting lobby);
c. lantai tempat berlindung sementara atau ruang evakuasi bencana
(refuge floor).

Pasal 118
(1) Tempat berhimpun sementara sebagaimana dimaksud pada Pasal 117
ayat 3 huruf a dan b merupakan ruang tertutup kedap asap.

(2) Ruang tertutup kedap asap sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat
berupa lobi penahan asap (smoke-stop lobby) atau lobi untuk
pemadaman kebakaran (fire-fighting lobby).

(3) Jalan masuk ke tangga kebakaran pada setiap lantai bangunan gedung
tidak diperbolehkan langsung, tetapi harus melalui ruang tertutup kedap
asap, kecuali pada lantai dasar bangunan yang berhubungan langsung
dengan ruang luar bangunan.

(4) Lobi kedap asap (smoke-stop lobby) harus memiliki luas minimal 3 m2
(tiga meter persegi) dan terhubung dengan tangga kebakaran.

(5) Lobi untuk pemadaman kebakaran (fire-fighting lobby) harus memiliki


luas minimal 6 m2 (enam meter persegi) dan lebar ruang minimal 2 m
(dua meter), serta terhubung dengan tangga kebakaran dan lif
kebakaran.

(6) Bangunan yang memiliki besmen sampai dengan 2 (dua) lantai, harus
memiliki tangga kebakaran yang melalui lobi kedap asap (smoke-stop
lobby).

(7) Bangunan yang memiliki besmen lebih dari 2 (dua) lantai, harus
memiliki tangga kebakaran yang melalui lobi untuk pemadaman
kebakaran (fire-fighting lobby).

45
Pasal 119
(1) Tempat berhimpun sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 117
ayat (3) huruf c merupakan lantai tempat berlindung sementara atau ru-
ang evakuasi bencana (refuge floor), harus terdapat pada bangunan
gedung dengan ketinggian lebih dari 24 (dua puluh empat) lantai di atas
lantai dasar dan tidak dimanfaatkan untuk kegiatan lain kecuali untuk
fire service water tank and installation plant room;

(2) Bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus


menyediakan tempat berlindung sementara 1 (satu) lantai atau lebih
pada interval tidak lebih dari 20 (dua puluh) lantai;

(3) Lantai tempat berlindung sementara (refuge floor) harus mempunyai


konstruksi dinding dengan tingkat ketahanan api tidak kurang dari 2
(dua) jam;

(4) Lantai tempat berlindung sementara (refuge floor) harus memiliki lantai
yang dirancang sebagai area berhimpun (holding area) dengan luas
bersih tidak kurang dari 50% (lima puluh persen) dari total luas lantai
tempat berlindung sementara dan tinggi bersih ruangan tidak kurang
dari 2,25 m (dua koma dua puluh lima meter);

(5) Area berhimpun (holding area) sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus berventilasi alami (cross ventilation) dengan bukaan permanen
pada sekurang-kurangnya 2 sisi dinding luar, ketinggian bukaan harus
tidak kurang dari 1200 mm (seribu dua ratus millimeter) tinggi dan area
total dari bukaan ventilasi harus tidak kurang dari 25% (dua puluh lima
persen) area lantai dari area berhimpun;

(6) Lantai tempat berlindung sementara (refuge floor) harus memiliki jarak
tempuh yang berdekatan dengan tangga kebakaran diukur dari pintu
jalan keluar koridor menuju tempat berkumpul sementara;

(7) Area berhimpun (holding area) sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat digunakan sebagai ruang untuk senam atau taman terbuka atau
jalur setapak (joging track) dan harus bukan merupakan area komersial.

Paragraf 9
Saf Pemadam Kebakaran

Pasal 120

(1) Setiap bangunan gedung dengan ketinggian lebih dari 20 m (dua puluh
meter) di atas permukaan tanah atau yang besmennya lebih dari 10 m
(sepuluh meter) di bawah permukaan tanah harus memiliki saf untuk
pemadaman kebakaran.
(2) Saf pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di
dalamnya harus terdapat lif untuk pemadaman kebakaran sesuai ke-
tentuan yang berlaku.

46
(3) Jumlah minimum saf pemadam kebakaran untuk bangunan gedung
yang memiliki sprinkler otomatis
Luas lantai maksimum Jumlah minimum
(m2) saf pemadam kebakaran
Kurang dari 900 1
900 – 2.000 2
Lebih dari 2.000 2 ditambah 1 untuk tiap
penambahan 1.500 m2

(4) Jumlah minimum saf pemadam kebakaran untuk bangunan gedung


yang tidak memiliki sprinkler otomatis adalah sekurang-kurangnya 1
(satu) saf pemadam kebakaran untuk setiap 900 m2 luas lantai dari
lantai terbesar.
(5) Saf untuk pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dirancang, dikonstruksi dan dipasang sesuai ketentuan yang
berlaku.

Gambar : Komponen-komponen saf pemadam kebakaran

Bagian ketujuh
Prasarana Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Lansia

Pasal 121
(1) Setiap bangunan gedung di Provinsi DKI Jakarta wajib disediakan fasili-
tas dan prasarana aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lansia.
(2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
yang digunakan untuk kepentingan umum.
(3) Persyaratan teknis fasilitas dan prasarana aksesibilitas pada bangunan
gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pintu;
b. Ram;
c. Tangga;
d. Lif;
e. Lif tangga ( stairway )
f. Toilet;
g. Jalur Pemandu;
h. Tempat parkir.
47
Paragraf 1
Pintu

Pasal 122

(1) Pintu keluar/masuk utama harus memiliki lebar manfaat bukaan minimal
90 cm (sembilan puluh sentimeter);
(2) Pintu yang bukan utama harus memiliki lebar manfaat bukaan minimal
80 cm (delapan puluh sentimeter), kecuali untuk rumah sakit harus
berukuran minimal 90 cm (sembilan puluh sentimeter).
(3) Pada daerah sekitar pintu keluar/masuk tidak dibolehkan adanya ram
atau perbedaan ketinggian lantai.
(4) Jenis pintu yang penggunaannya tidak dianjurkan:
a. Pintu geser;
b. Pintu yang berat, dan sulit untuk dibuka/ditutup;
c. Pintu dengan dua daun pintu yang berukuran kecil;
d. Pintu yang terbuka ke dua arah ( "dorong" dan "tarik");
e. Pintu dengan bentuk pegangan yang sulit dioperasikan terutama
bagi tunanetra.
(5) Penggunaan pintu otomatis diutamakan yang peka terhadap bahaya
kebakaran.
(6) Pintu otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak boleh mem-
buka sepenuhnya dalam waktu lebih cepat dari 5 (lima) detik dan mu-
dah untuk menutup kembali.
(7) Alat-alat penutup pintu otomatis perlu dipasang agar pintu dapat me-
nutup dengan sempurna, karena pintu yang terbuka sebagian dapat
membahayakan penyandang cacat.
(8) Penggunan bahan lantai di sekitar pintu agar menghindari yang licin.
(9) Plat tendang yang diletakkan di bagian bawah pintu diperlukan bagi
pengguna kursi roda dan tongkat tuna netra.

Paragraf 2
Ram aksesbilitas

Pasal 123
(1) Ram sebagai prasarana penyandang cacat adalah alternatif jalur sir-
kulasi bagi yang tidak dapat menggunakan tangga dan memiliki bidang
dengan kemiringan tertentu.
(2) Kemiringan ram di dalam bangunan tidak boleh melebihi 7° (tujuh dera-
jat), dengan perbandingan antara tinggi dan kelandaian 1:8.
(3) Kemiringan ram yang ada di luar bangunan maksimum 6° (enam dera-
jat), dengan perbandingan antara tinggi dan kelandaian 1:10.
(4) Perhitungan kemiringan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3)
tidak termasuk awalan atau akhiran ram (curb rams/landing).

48
(5) Panjang mendatar dari satu ram dengan perbandingan antara tinggi
dan kelandaian 1:8 tidak boleh lebih dari 900 cm (sembilan ratus senti-
meter).
(6) Apabila kemiringan ram sebagaimana dimaksud pada ayat (5) lebih
rendah maka panjang dapat dibangun lebih panjang.
(7) Lebar minimum dari ram adalah 95 cm (sembilan puluh lima sentimeter)
tanpa tepi pengaman, dan 120 cm (serratus dua puluh sentimeter)
dengan tepi pengaman.
(8) Apabila ram sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga digunakan un-
tuk pejalan kaki dan pelayanan angkutan barang harus dipertim-
bangkan lebarnya, sehingga dapat dipakai untuk kedua fungsi tersebut.
(9) Muka datar/bordes pada awalan atau akhiran dari suatu ram harus
bebas dan datar sehingga memungkinkan sekurang-kurangnya untuk
memutar kursi roda dengan ukuran minimum 160 cm (seratus enam
puluh sentimeter).
(10) Permukaan datar awalan atau akhiran suatu ram harus memiliki
tekstur sehingga tidak licin bila terdapat hujan.
(11) Pengaman ram/ kanstin/ low curb untuk menghalangi roda kursi roda
agar tidak terperosok atau keluar dari jalur ram apabila berbatasan
langsung dengan lalu-lintas jalan umum atau persimpangan dengan
lebar tepi 10 cm (sepuluh sentimeter) dan tidak mengganggu jalan
umum.
(12) Ram sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diterangi dengan
pencahayaan cukup pada bagian-bagian ram yang memiliki keting-
gian terhadap muka tanah sekitarnya dan bagian-bagian yang mem-
bahayakan.
(13) Ram sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan
pegangan rambatan (handrail) yang dijamin kekuatannya dan harus
mudah dipegang dengan ketinggian 65-80 cm (enam puluh lima
sampai dengan delapan puluh sentimeter).

Paragraf 3
Tangga aksesbilitas

Pasal 124
(1) Tangga sebagai fasilitas pergerakan vertikal bagi penyandang cacat
harus dirancang dengan ukuran dan kemiringan pijakan dan tanjakan
dengan lebar yang memadai.
(2) Persyaratan tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu
a. harus memiliki dimensi pijakan dan tanjakan yang berukuran
seragam;
b. kemiringan tangga kurang dari 60°.
c. dilengkapi dengan pegangan rambat (handrail) minimum pada salah
satu sisi tangga;

49
d. Pegangan rambat harus mudah dipegang dengan ketinggian 65 - 80
cm (enam puluh lima sampai dengan delapan puluh sentimeter) dari
lantai, bebas dari elemen konstruksi yang mengganggu, dan bagian
ujungnya harus bulat atau dibelokkan dengan baik ke arah lantai,
dinding atau tiang;
e. Pegangan rambat harus ditambah panjangnya pada bagian ujung-
ujungnya (puncak dan bagian bawah) dengan 30 cm (tiga puluh
sentimeter).
(3) Terhadap tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terletak di
luar bangunan, harus dirancang sehingga tidak ada air hujan yang
menggenang pada lantainya.

Paragraf 4
Lif

Pasal 125
(1) Lif alat mekanis elektris sebagai prasarana penyandang cacat untuk
membantu pergerakan vertikal di dalam bangunan
(2) Lif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai lif
barang.
(3) Untuk bangunan gedung lebih dari 5 lantai harus menyediakan minimal
1 (satu) buah lif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali untuk
rumah sakit dan kebutuhan khusus.
(4) Toleransi perbedaan muka lantai bangunan dengan muka lantai ruang
lift maksimum 1,25 cm (satu koma dua puluh lima sentimeter).
(5) Koridor/lobby lif yaitu ruang perantara yang digunakan untuk menunggu
kedatangan lif dan mewadahi penumpang yang baru keluar dari lif, per-
syaratan :
a. Lebar ruangan ini minimal 185 cm (seratus delapan puluh lima
sentimeter) dan/atau tergantung pada konfigurasi ruang yang ada;
b. Perletakan tombol dan layar tampilan yang mudah dilihat dan
dijangkau;
c. Panel luar yang berisikan tombol lif harus dipasang di tengah-tengah
ruang lobby atau hall lif dengan ketinggian 90-110 cm (sembilan
puluh sampai dengan seratus sepuluh sentimeter) dari muka lantai
bangunan;
d. Panel dalam dari tombol lif dipasang dengan ketinggian 90-120 cm
(sembilan puluh sampai dengan seratus dua puluh sentimeter) dari
muka lantai ruang lif;
e. Semua tombol pada panel harus dilengkapi dengan panel huruf
Braille, yang dipasang dengan tanpa mengganggu panel biasa;
f. Selain terdapat indikator suara, layar/ tampilan yang secara visual
menunjukkan posisi lif harus dipasang di atas panel kontrol dan di
atas pintu lif, baik di dalam maupun di luar lif (hall/koridor).

50
(6) Ukuran bersih ruang lif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal
140 cm x 140 cm dan harus dapat memuat pengguna kursi roda, mulai
dari masuk melewati pintu lif, gerakan memutar, menjangkau panel
tombol dan keluar melewati pintu lif, dengan persyaratan :
a. dilengkapi dengan pegangan rambat (handrail) menerus pada ketiga
sisinya;
b. dilengkapi dengan sarana informasi dan komunikasi, dengan mem-
perhatikan perkembangan teknologi informasi yang ada;
c. dilengkapi dengan permukaan dinding yang berseberangan dengan
pintu lif yang dapat memantulkan bayangan (berfungsi sebagai cer-
min) guna memudahkan bagi pemakai kursi roda melihat langsung
pintu lif pada saat membuka atau menutup.
(7) Waktu minimum bagi pintu lif untuk tetap terbuka guna memberikan
waktu yang cukup untuk masuk dan keluar dengan mudah adalah 3 (ti-
ga) detik dan harus dilengkapi dengan sensor photo-electric dengan
ketinggian yang sesuai.

Paragraf 5
Lif tangga (stairway)

Pasal 126
(1) Lif tangga adalah alat mekanis elektrik untuk membantu pergerakan
vertikal dalam bangunan, sebagai prasarana penyandang cacat secara
individu.
(2) Untuk bangunan gedung dengan jumlah lantai minimal 3 (tiga) dan
perbedaan ketinggian lantai minimal 4 (empat) meter, harus memiliki lift
tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 1 (satu) buah,
yang terdapat pada jalur tangga di salah satu sisi pada dinding dan
memenuhi standar teknis yang berlaku.
(3) Toleransi perbedaan muka lantai bangunan dengan tempat duduk lift
tangga maksimum 60 cm (enam puluh sentimeter).
(4) Tempat duduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi
persyaratan :
a. lebar tempat duduk minimal 40 cm (empat puluh sentimeter) dan
tergantung pada kondisi lebar tubuh penyandang cacat;
b. perletakan tombol yang mudah dilihat dan dijangkau;
c. tombol diletakkan pada salah satu sandaran tangan, dilengkapi
dengan panel huruf Braille, dan dipasang tanpa mengganggu panel
biasa;
d. dimensi lif tangga disesuaikan dengan spesifikasi teknis yang berla-
ku.
(5) Kemiringan rel penggantung lift tangga mengikuti kemiringan tangga
dan harus kuat dan memenuhi persyaratan teknis yang berlaku antara
lain jalur lift tangga mengikuti jalur tangga dengan arah lurus (straight),
belok (curved) dan melengkung (spiral).
51
Paragraf 6
Toilet

Pasal 127

(1) Toilet atau kamar kecil umum sebagai prasarana fasilitas sanitasi pen-
yandang cacat dan lansia pada bangunan gedung harus dilengkapi
dengan tampilan rambu/simbol dengan sistem cetak timbul "Penyan-
dang Cacat" pada bagian luarnya.
(2) Persyaratan toilet atau kamar kecil umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yaitu
a. harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk masuk dan keluar
pengguna kursi roda.
b. Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian
pengguna kursi roda sekitar 45-50 cm (empat puluh lima sampai
dengan lima puluh sentimeter).
c. harus dilengkapi dengan pegangan rambat/handrail yang memiliki
posisi dan ketinggian disesuaikan dengan pengguna kursi roda dan
penyandang cacat yang lain.
d. Pegangan sebagaimana dimaksud pada pasal 122 ayat (2) huruf c
disarankan memiliki bentuk siku-siku mengarah ke atas untuk mem-
bantu pergerakan pengguna kursi roda.
e. Letak kertas tissu, air, kran air atau pancuran/shower dan per-
lengkapan seperti tempat sabun dan pengering tangan harus mudah
digunakan oleh orang yang memiliki keterbatasan fisik dan bisa di-
jangkau pengguna kursi roda.
f. Semua kran sebaiknya dengan menggunakan sistem pengungkit
dipasang pada wastafel.
g. Bahan dan penyelesaian lantai toilet atau kamar kecil harus tidak
licin.
h. Pintu harus mudah dibuka dan ditutup untuk memudahkan
pengguna kursi roda.
i. Kunci-kunci toilet atau grendel harus bisa dibuka dari luar jika terjadi
kondisi darurat.
j. Agar menyediakan tombol bunyi darurat (emergency sound button)
pada tempat-tempat yang mudah dicapai seperti pada daerah pintu
masuk, bila sewaktu-waktu terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
k. Bilik pancuran (shower cubicles) harus memiliki tempat duduk yang
lebar dengan ketinggian disesuaikan dengan cara-cara perilaku
memindahkan badan pengguna kursi roda dengan pegangan ram-
bat (handrail) pada posisi yang memudahkan pengguna kursi roda
bertumpu.
l. Bilik pancuran dilengkapi dengan tombol alarm atau alat pemberi
tanda lain yang bias dijangkau pada waktu keadaan darurat.

52
m. Kunci bilik pancuran dirancang dengan menggunakan tipe yang bisa
dibuka dari luar pada kondisi darurat (emergency).
n. Pintu bilik pancuran sebaiknya menggunakan pintu bukaan keluar.
o. Pegangan rambat sebagaimana dimaksud pada pasal 122 ayat (2)
huruf k dan setiap permukaan atau dinding yang berdekatan
dengannya harus bebas dari elemen-elemen yang runcing atau
membahayakan.
p. Menggunakan kran dengan sistem pengungkit.
q. Wastafel harus dipasang dengan tinggi permukaan dan lebar depan
dapat dimanfaatkan oleh pengguna kursi roda dengan baik.
r. harus disediakan ruang gerak bebas yang cukup di depan wastafel
dan ruang gerak dibawahnya yang tidak menghalangi lutut dan kaki
pengguna kursi roda.
s. Pemasangan ketinggian cermin diperhitungkan terhadap pengguna
kursi roda.

Paragraf 7
Jalur Pemandu

Pasal 128

(1) Jalur pemandu sebagai prasarana yang memandu penyandang cacat


berjalan dengan memanfaatkan tekstur ubin pengarah dan ubin
peringatan.
(2) Jalur pemandu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan :
a. Tekstur ubin pengarah bermotif garis-garis menunjukkan arah per-
jalanan.
b. Tekstur ubin peringatan (bulat) memberi peringatan terhadap adan-
ya perubahan situasi di sekitarnya/warning.
c. Pemasangan ubin tekstur untuk jalur pemandu pada pedestrian
yang telah ada perlu memperhatikan tekstur dari ubin eksisting,
sedemikian sehingga tidak terjadi kebingungan dalam membedakan
tekstur ubin pengarah dan tekstur ubin peringatan.
d. Harus terdapat perbedaan warna antara ubin pemandu dengan ubin
lainnya yaitu warna kuning atau jingga.

(3) Daerah-daerah yang harus menggunakan ubin tekstur pemandu (guid-


ing blocks) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu :
a. Di depan jalur lalu-lintas kendaraan;
b. Di depan pintu masuk/keluar dari dan ke tangga atau fasilitas persi-
langan dengan perbedaan ketinggian lantai;

53
c. Di pintu masuk/keluar pada terminal transportasi umum atau area
penumpang atau pada pedestrian yang menghubungkan antara
jalan dan bangunan; dan
d. Pada pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi
umum terdekat.

Pasal 129

(1) Tempat parkir kendaraan bagi penyandang cacat adalah fasilitas pada
luar bangunan gedung secara individu.
(2) Persyaratan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu
a. Berada di dekat dengan pintu masuk
b. Memiliki kemudahan akses ke dalam bangunan berupa ram
c. Memiliki kemudahan keluar masuk kendaraan
d. Terdapat tanda khusus disabilitas antara lain symbol gambar
e. Jarak maksimal ke bangunan gedung yaitu 60 m (enam puluh
meter)
f. Memiliki dimensi lebar 370 cm (tiga ratus tujuh puluh sentimeter)
dan panjang 450 cm (empat ratus lima puluh sentimeter)
g. Kemiringan lantai maksimal 2 (dua) derajat

Bagian kedelapan
Sarana dan Prasarana Bangunan Gedung

Pasal 130

(1) Sarana dan prasarana bangunan gedung merupakan penunjang fungsi


utama bangunan gedung dan/atau penunjang kegiatan pelaksanaan
pembangunan yang dapat berada di depan GSB.
(2) Sarana dan prasarana yang merupakan penunjang fungsi utama
bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain
berupa :
a. Bangunan ruang genset/diesel;
b. Utilitas bangunan/cerobong asap;
c. Pos jaga;
d. Perkerasan;
e. Gapura;
f. Pagar pekarangan;
g. Ruang instalasi atau panel listrik;
h. Sarana pengolahan air kotor atau air bersih atau pengolahan
limbah, tangki penyimpanan.

54

Anda mungkin juga menyukai