TENTANG
MEMUTUSKAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
2
4. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut sebagai Pemerintah, adalah
Perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari
Presiden beserta para Menteri.
14. Daerah Perencanaan (DP) adalah luas lahan yang dimiliki, dikurangi
luas lahan untuk rencana jalan, saluran dan/atau luas lahan dengan
peruntukan lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan tidak dapat digabung.
15. Garis Sempadan Jalan yang selanjutnya disingkat GSJ adalah garis
rencana jalan yang ditetapkan dalam rencana kota;
3
17. Garis sempadan besmen adalah batas dinding basemen terhadap
batas lahan yang ditetapkan dalam rencana kota.
18. Jarak bebas adalah jarak minimal yang diperkenankan dari bidang
terluar bangunan sampai batas samping dan belakang tanah
perpetakan yang sesuai dengan rencana kota.
19. Jarak bebas bangunan adalah jarak minimal yang diperkenankan dari
bidang terluar bangunan suatu massa bangunan ke GSJ, antar massa
bangunan lain, batas lahan yang dikuasai, dan atau rencana saluran,
jaringan tegangan tinggi listrik, jaringan pipa gas, dan sebagainya.
20. Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang
menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya
berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi
sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian
atau tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial,
budaya maupun kegiatan khusus.
21. Massa bangunan adalah satu kesatuan bangunan gedung tunggal baik
yang berdiri sendiri maupun yang disatukan dengan penghubung
berupa podium atau besmen.
22. Ruang luar bangunan adalah sebuah ruang yang terbentuk oleh batas
horizontal bawah (bentang alam) dan batas vertikal (massa bangunan
atau vegetasi)
23. Besmen adalah ruang yang sebagian atau seluruhnya berada di bawah
tanah.
27. Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disingkat dengan KDH adalah
angka persentase perbandingan antara luas ruang terbuka di luar
bangunan yang diperuntukkan bagi pertamanan/ penghijauan dengan
luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang sesuai dengan
rencana kota.
4
28. Koefisien Tapak Basemen yang selanjutnya disingkat dengan KTB
adalah perbandingan luas tapak basemen terbesar dengan luas tanah
perpetakan/daerah perencanaan yang sesuai dengan rencana kota.
39. Sertifikat Laik Fungsi yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat
yang diberikan oleh Pemerintah Daerah terhadap bangunan gedung
yang telah selesai dibangun dan telah memenuhi persyaratan kelaikan
fungsi berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung
sebagai syarat untuk dapat dimanfaatkan.
5
Bagian Kedua
Maksud, Tujuan dan Ruang Lingkup
Pasal 2
Pasal 3
BAB II
FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diklasifikasikan berdasarkan pemenuhan tingkat administrasi dan
persyaratan teknisnya.
Pasal 5
6
(2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
terdiri dari fungsi utama dan fungsi penunjang bangunan gedung.
Pasal 6
(2) Fungsi utama bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam dokumen rencana teknis arsitektur yang terdiri dari :
a. Gambar rancangan/ rencana;
b. Gambar rencana tata ruang dalam.
(4) Gambar rencana tata ruang dalam sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b sekurang-kurangnya memuat gambar :
a. Detail penggunaan ruang;
b. Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
Bagian Kedua
Fungsi Bangunan Gedung
Pasal 7
Pasal 8
7
(2) Bangunan gedung fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf b, mempunyai fungsi utama sebagai tempat
melakukan ibadah yang meliputi :
a. bangunan masjid termasuk mushola;
b. bangunan gereja termasuk kapel;
c. bangunan pura;
d. bangunan vihara; dan
e. bangunan kelenteng.
8
Pasal 9
(1) Fungsi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf e,
mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan yang
mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi tingkat nasional atau yang
penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat di sekitarnya
dan/atau mempunyai risiko bahaya tinggi yang meliputi:
a. bangunan gedung untuk reaktor nuklir; dan
b. instalasi pertahanan dan keamanan.
Pasal 10
(1) Pada satu massa bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu
fungsi utama bangunan sesuai dengan peruntukan lokasi yang
ditetapkan.
(2) Massa bangunan gedung yang memiliki lebih dari satu fungsi utama
dikategorikan sebagai fungsi bangunan campuran.
(3) Massa bangunan gedung dengan lebih dari satu fungsi yang berbeda
harus tetap memenuhi persyaratan teknis bangunan gedung sesuai
dengan fungsi masing masing
Bagian Ketiga
Klasifikasi Bangunan Gedung
Pasal 11
9
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
(1) Klasifikasi bangunan gedung dengan kompleksitas khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c diperuntukkan bagi
bangunan dengan kriteria antara lain sebagai berikut :
a. bangunan gedung yang memiliki penggunaan dan persyaratan
khusus, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya memerlukan
penyelesaian dan/atau teknologi khusus; atau
b. bangunan gedung yang memiliki tingkat kompleksitas perencanaan
yang sangat kompleks yang dalam perencanaan dan
pelaksanaanya memerlukan banyak tenaga ahli yang terdiri dari
berbagai bidang keahlian.
10
(2) Bangunan gedung yang termasuk dalam klasifikasi kompleksitas
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain:
a. istana negara atau rumah jabatan presiden/wakil presiden;
b. bangunan gedung instalasi nuklir;
c. bangunan gedung laboratorium;
d. bangunan gedung terminal udara/laut/darat;
e. stasiun kereta api;
f. stadion olah raga;
g. rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan (lapas);
h. gudang penyimpan bahan berbahaya;
i. bangunan gedung monumental;
j. bangunan gedung fungsi pertahanan dan keamanan; atau
k. bangunan dengan jumlah lantai lebih dari 30 (tiga puluh) lantai
dan/atau dengan ketinggian bangunan lebih dari 100 m (seratus
meter) dari permukaan tanah.
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Klasifikasi berdasarkan tingkat risiko kebakaran sebagaimana dimaksud
pasal 11 huruf c meliputi bangunan gedung :
a. tingkat risiko kebakaran tinggi;
b. tingkat risiko kebakaran sedang; dan
c. tingkat risiko kebakaran rendah.
11
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
12
Pasal 22
Pasal 23
Wilayah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan peta zonasi gempa yang diter-
bitkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum ditentukan termasuk zona gempa
III/sedang.
Pasal 24
Klasifikasi berdasarkan kepadatan lokasi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 11 huruf e meliputi :
a. Lokasi padat;
b. Lokasi sedang; dan
c. Lokasi renggang.
Pasal 25
Pasal 26
Klasifikasi berdasarkan ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 11 huruf f meliputi :
a. bangunan gedung bertingkat tinggi;
b. bangunan gedung bertingkat sedang; dan
c. bangunan gedung bertingkat rendah.
13
Pasal 27
Pasal 28
Klasifikasi berdasarkan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam pasal
11 huruf g meliputi bangunan gedung milik :
a. negara/yayasan;
b. badan usaha; dan
c. perorangan.
Pasal 29
Bagian Keempat
Perubahan Fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung
Pasal 30
14
BAB III
PERSYARATAN TATA BANGUNAN GEDUNG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 31
Pasal 32
Bagian Kedua
Peruntukan Bangunan Gedung
Pasal 33
(1) Setiap fungsi bangunan gedung yang akan didirikan harus sesuai
dengan peruntukan yang telah ditetapkan dalam Keterangan Rencana
Kota dan/atau Rencana Tata Letak Bangunan.
(2) Perubahan fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau perubahan penggunaan ruang dapat diizinkan,
apabila masih memenuhi ketentuan persyaratan peruntukan yang telah
ditetapkan.
Pasal 34
(1) Terhadap bangunan gedung yang sudah berdiri dan telah memiliki IMB
namun terjadi perubahan peruntukan pada lokasi tersebut, dapat
diajukan perubahan dan/atau perbaikan selama tidak dilakukan
penambahan luas bangunan dengan fungsi tetap mengacu pada IMB
yang telah diterbitkan.
15
(3) Terhadap bangunan yang sudah berdiri dan belum memiliki IMB harus
melakukan penyesuaian paling lama 5 (lima) tahun, kecuali untuk
rumah tinggal tunggal paling lama 10 (sepuluh) tahun, sejak
pemberitahuan penetapan RTRW kepada pemilik bangunan gedung.
Pasal 35
(2) Terhadap perpetakan yang tidak dapat dipenuhi atau tidak ditetapkan,
maka perhitungan KDB dan KLB berdasarkan luas tanah di belakang
GSJ yang dimiliki.
(3) Terhadap perpetakan yang tidak dapat dipenuhi atau tidak ditetapkan,
maka dimungkinkan dilakukan penggabungan atau pemecahan
perpetakan dengan ketentuan KDB dan KLB tidak dilampaui, dan
dengan memperhitungkan keadaan lapangan, keserasian dan
keamanan lingkungan serta memenuhi persyaratan teknis.
Pasal 36
Pasal 37
Bagian Ketiga
Intensitas Bangunan Gedung
Pasal 38
16
Pasal 39
Paragraf 1
Persyaratan Kepadatan Bangunan Gedung
Pasal 40
Pasal 41
Pasal 42
18
Pasal 43
Pasal 44
Pasal 45
19
Pasal 46
Paragraf 2
Ketinggian Bangunan Gedung
Pasal 47
Pasal 48
20
Paragraf 3
Jarak Bebas Bangunan Gedung
Pasal 49
(1) Persyaratan jarak bebas bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam pasal 38 huruf c yaitu harus mempunyai jarak bebas yang tidak
dibangun pada kedua sisi samping kiri, kanan dan bagian belakang
yang ditetapkan dalam RTRW, RDTR, peraturan zonasi, dan/atau
panduan rancang kota.
Pasal 50
(1) Jarak bebas dari dinding terluar besmen dengan batas daerah
perencanaan minimal 3 (tiga) meter ke arah Garis Sempadan Jalan
(GSJ), pengaman saluran dan/atau batas sisi lain daerah perencanaan
(kaveling) atau batas sisi kepemilikan tanah;
(2) Terhadap bangunan gedung ketinggian paling tinggi 4 (empat) lantai,
ditetapkan jarak bebas dinding terluar basemen sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1) paling kurang 3 m (tiga meter) dari GSJ atau
pengaman saluran, sekurang-kurangnya 1 m (satu meter) dari batas
sisi lain daerah perencanaan (kaveling), dan tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap kaveling sekitar.
Pasal 51
Letak bangunan gedung di daerah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi
(SUTET) minimal 10 (sepuluh) meter dari proyeksi titik terluar SUTET atau
tidak boleh melampaui garis sudut 45° (empat puluh lima derajat) yang
diukur dari proyeksi titik terluar SUTET.
Pasal 52
(1) Pada bangunan industri dan gudang dengan tinggi dinding maksimal 6
m (enam meter), ditetapkan jarak bebas samping sepanjang sisi
samping kiri dan kanan pekarangan minimal 3 m (tiga meter), serta
jarak bebas belakang sepanjang sisi belakang pekarangan minimal 5 m
(lima meter) dengan memperhatikan KDB dan KLB yang ditetapkan
dalam rencana kota.
(2) Tinggi dinding bangunan industri dan gudang yang lebih tinggi dari 6 m
(enam meter), ditetapkan jarak bebasnya 4 m (empat meter) pada lantai
dasar.
21
Pasal 53
Untuk bangunan dengan fungsi khusus untuk menggunakan, menyimpan
atau memproduksi bahan peledak atau bahan-bahan lain yang sifatnya
mudah meledak, bahan radio aktif, racun, mudah terbakar atau bahan-
bahan lain yang berbahaya, diatur sebagai berikut :
a. lokasi bangunan gedung terletak di luar lingkungan perumahan atau
jarak minimal 50 m (lima puluh meter) dari jalan umum, jalan kereta api,
dan bangunan gedung lain di sekitarnya;
b. lokasi bangunan gedung dikelilingi pagar pengaman dengan tinggi
minimal 2,5 m (dua koma lima meter) dan ruang terbuka pada pintu de-
pan harus ditutup dengan pintu yang kuat dengan diberi peringatan
DILARANG MASUK;
c. bangunan gedung yang didirikan tersebut di atas harus terletak pada
jarak minimal 10 m (sepuluh meter) dari batas-batas pekarangan dan
10 m (sepuluh meter) dari bangunan gedung lainnya;
d. bagian dinding yang terlemah dari bangunan tersebut diarahkan ke
daerah yang aman.
BAB IV
PERSYARATAN TEKNIS ARSITEKTUR BANGUNAN GEDUNG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 54
Bagian kedua
Persyaratan Penampilan Bangunan Gedung
Pasal 55
Pasal 57
(1) Untuk bangunan gedung fungsi hunian dengan atap datar, batas tinggi
bangunan maksimal 15 (lima belas) meter, dihitung dari peil lantai dasar
hingga puncak tertinggi bangunan.
(2) Untuk bangunan gedung fungsi hunian dengan atap limasan, batas
tinggi bangunan maksimal 20 (dua puluh) meter, dihitung dari peil lantai
dasar hingga puncak tertinggi bangunan.
Pasal 58
(3) Bangunan gedung yang didirikan sampai pada batas samping persil,
tampak bangunannya harus berkesinambungan secara serasi dengan
tampak bangunan atau dinding yang telah ada di sebelahnya.
Pasal 59
(1) Arkade merupakan ruang publik yang terbentuk oleh struktur bangunan
(atap, dinding dan kolom) yang digunakan sebagai jalur sirkulasi
pejalan kaki untuk membentuk karakteristik arsitektur lingkungan.
23
(3) Arkade yang dimaksud pada ayat (2) hanya dapat berfungsi sebagai
jalur sirkulasi pejalan kaki yang memiliki akses menerus antara persil.
(4) Ruang yang berada di atas arkade yang dimaksud pada ayat (2) harus
digunakan sebagai ruang kegiatan.
Bagian ketiga
Persyaratan Tata Ruang Dalam Bangunan Gedung
Pasal 60
Paragraf 1
Lantai Besmen
Pasal 61
(1) Tata ruang besmen dapat digunakan untuk ruang kegiatan selain
hunian dengan memenuhi persyaratan keselamatan, kesehatan,
sirkulasi udara dan penerangan, serta kenyamanan.
(2) Jumlah lantai besmen pada bangunan gedung fungsi rumah tinggal
hanya 1 (satu) lantai.
Pasal 62
24
Pasal 63
(4) Besmen dengan beban penghuni lebih dari 50 orang per lantai dan
jarak tempuh terjauh menuju tangga kebakaran lebih dari 25 m (dua
puluh lima meter) harus dilengkapi dengan minimal 2 buah tangga
kebakaran.
(5) Besmen pada bangunan gedung bukan fungsi hunian, salah satu
tangga kebakarannya harus langsung berhubungan dengan jalan,
pekarangan atau lapangan terbuka.
(7) Apabila tangga kebakaran dari lantai basemen dan tangga kebakaran
dari lantai tingkat bertemu pada suatu sarana jalan keluar yang sama,
maka harus diberikan pemisah dan tanda petunjuk jalan ke luar yang
jelas.
(8) Ruang pompa kecuali pompa kebakaran yang berada pada lantai
besmen harus dilengkapi dengan akses pemeliharaan, ventilasi udara,
dan dinding penahan banjir.
Paragraf 2
Lantai dasar
Pasal 64
(2) Apabila tinggi tanah pekarangan berada dibawah titik ketinggian (peil)
bebas banjir atau terdapat kemiringan yang curam atau perbedaan
tinggi yang besar pada tanah asli suatu perpetakan maka peil lantai
dasar bangunan gedung yang digunakan berdasarkan peil banjir.
25
(3) Ketinggian ruang pada lantai dasar bangunan gedung disesuaikan
dengan fungsi ruang dan arsitektur bangunannya, maksimum 5 meter.
(4) Pada lantai dasar harus disediakan pintu keluar darurat yang langsung
ke ruang luar bangunan gedung.
(5) Lantai dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bangunan gedung
selain fungsi rumah tinggal harus menyediakan :
a. pintu keluar darurat dari tangga exit ke pintu keluar tangga yang
melalui lobi dengan jarak jangkauan paling jauh 15 meter;
b. ruang kontrol kebakaran (pusat pengendali kebakaran);
c. aksesibilitas untuk penyandang cacat dan orang lanjut usia.
(6) Aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) huruf c antara lain
berupa:
a. Toilet;
b. Ram;
c. Jalur pemandu pada lantai sebagai penunjuk arah;
d. Lif harus bisa diakses oleh penyandang cacat dan/ atau lif tangga.
Paragraf 3
Lantai atas
Pasal 65
(1) Setiap lantai bangunan yang berada di atas lantai dasar dinyatakan
sebagai lantai atas termasuk mezanin dan rongga atap.
(2) Lantai mezanin dapat berada diantara lantai dasar dan/atau lantai atas
dengan lantai di atasnya kecuali rongga atap.
(3) Mezanin harus bersifat terbuka, atau bila berdinding maksimum tinggi
dinding adalah 1,2 (satu koma dua) meter.
(4) Luas lantai mezanin maksimum 50% dari luas lantai dibawahnya dan
tidak diperhitungkan sebagai jumlah lantai.
(5) Apabila luas lantai mezanin lebih dari 50% dari luas lantai dibawahnya
maka diperhitungkan sebagai jumlah lantai.
(6) Apabila terdapat bukaan jendela pada mezanin, maka tampak muka
bangunan harus berkesan tetap sesuai ketentuan batasan ketinggian
bangunan.
Pasal 66
(1) Ketinggian ruang pada lantai dasar disesuaikan dengan fungsi ruang
dan arsitektur bangunan gedungnya.
(2) Jarak vertikal atau tinggi antara lantai pada lantai dasar sampai dengan
lantai di atasnya maksimum 5 (lima) meter untuk bangunan gedung.
26
(3) Dalam hal perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari
lantai penuh ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 m, maka ketinggian
bangunan dianggap sebagai dua lantai.
(4) Ketinggian ruang pada lantai dasar bangunan gedung bukan rumah
tinggal yang dimanfaatkan bagi terselenggaranya kontak sosial
masyarakat dengan tetap memperhatikan aspek keserasian lingkungan,
maka tinggi lantai bangunan gedung diperkenankan maksimal 10
(sepuluh) meter dan tidak diperhitungkan sebagai dua lantai.
(5) Terhadap bangunan gedung tempat ibadah, gedung pertemuan,
gedung pertunjukan, gedung sekolah, bangunan monumental, gedung
olahraga, bangunan gedung serba guna dan bangunan gedung sejenis
tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pasal ini.
Paragraf 4
Rongga Atap atau Lantai Atap
Pasal 67
(1) Rongga atap pada bangunan gedung fungsi rumah tinggal hanya dapat
diizinkan untuk penggunaan sesuai dengan kegiatan utama tidak
diperkenankan untuk ruang yang mengandung bahaya api.
(2) Luas lantai rongga atap paling besar 50% dari luas lantai di bawahnya.
(3) Ruang rongga atap untuk bangunan gedung fungsi rumah tinggal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai penghawaan
dan pencahayaan alami yang memadai.
(4) Ketinggian dinding terluar ruang rongga atap minimum 1,8 m (satu
koma delapan meter).
(5) Setiap bukaan pada rongga atap tidak diperkenankan mengubah sifat
dan karakter arsitektur bangunan.
Pasal 68
(1) Ruang utilitas di atas atap (penthouse) pada bangunan gedung, hanya
dapat dibangun apabila digunakan sebagai ruangan untuk melindungi
alat-alat, mekanikal, elektrikal, tangki air, cerobong (shaft) dan fungsi
lain sebagai ruang pelengkap bangunan, dengan ketinggian ruangan
tidak boleh melebihi 2,4 m (dua koma empat meter) diukur secara
vertikal dari pelat atap bangunan.
(2) Tinggi ruang mesin lif dapat diperkenankan lebih dari 2,4 m (dua koma
empat meter) sesuai dengan keperluan.
27
(3) Apabila luas lantai sebagaimana dimakusd pada ayat (1) melebihi 50%
dari luas lantai dibawahnya maka ruang utilitas tersebut diperhitungkan
sebagai penambahan lantai.
Pasal 69
Paragraf 5
Kebutuhan minimum ruang
Pasal 70
Pasal 71
28
(2) Bangunan gedung fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilengkapi dengan fasilitas penunjang antara lain :
a. Kantor pengelola;
b. Kantin;
c. Gudang;
d. Ruang jaga.
Pasal 73
Pasal 74
29
Pasal 75
(1) Dalam pemanfaatan bangunan gedung untuk kepentingan umum, perlu
disediakan fasilitas prasarana dan sarana yang mudah, aman dan
nyaman meliputi ruang ibadah/ mushola, ruang ganti, ruangan bayi,
toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan
informasi.
(2) Penempatan mushola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang be-
rada di bangunan gedung yang berlantai banyak atau yang mempunyai
tipikal lantai yang sangat luas dapat disebar menurut jumlah lantai atau
dengan cakupan area sesuai kebutuhan.
Pasal 76
(1) Bangunan gedung harus menggunakan bahan yang aman bagi
kesehatan pengguna bangunan gedung dan tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan.
(2) Bahan bangunan yang digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak boleh mengandung bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan
(beracun) dan aman bagi pengguna bangunan gedung.
Pasal 77
Pasal 78
30
Bagian keempat
Persyaratan Tata Ruang Luar Bangunan Gedung
Pasal 79
(1) Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan mempertimbangkan
terciptanya ruang luar bangunan yang nyaman dan serasi terhadap
lingkungannya.
(2) Ruangan terbuka luar bangunan di antara GSJ dan GSB harus
digunakan sebagai unsur penghijauan dan/atau daerah peresapan air
hujan serta kepentingan umum lainnya.
(3) Setiap perencanaan bangunan gedung harus memperhatikan potensi
unsur-unsur alami yang ada dalam tapak seperti danau, sungai, pohon-
pohon menahun, tanah dan permukaan tanah.
Pasal 80
Pasal 81
(1) Posisi pagar harus terletak pada GSJ atau antara GSJ dengan GSB.
(3) Tinggi pagar pada bangunan gedung fungsi rumah tinggal maksimal 2
m (dua meter) di atas permukaan tanah dengan bagian bawahnya
dapat tidak tembus pandang maksimal setinggi 1 m (satu meter) di atas
permukaan tanah pekarangan.
(4) Tinggi pagar pada bangunan gedung fungsi bukan rumah tinggal
termasuk untuk bangunan industri maksimal 2,5 (dua koma lima) meter
di atas permukaan tanah pekarangan.
Pasal 82
(1) Pintu pagar pekarangan dalam keadaan terbuka tidak boleh melebihi
GSJ.
31
(2) Letak pintu pekarangan untuk kendaraan bermotor roda empat pada
persil sudut, minimal 8 m (delapan meter) untuk bangunan gedung
fungsi rumah tinggal dan 20 m (dua puluh meter) untuk bangunan
gedung fungsi bukan rumah tinggal dihitung dari titik belok tikungan.
(3) Terhadap persil kecil yang tidak memenuhi ketentuan pada ayat (2),
letak pintu pagar kendaraan bermotor roda empat adalah pada salah
satu ujung batas pekarangan.
Pasal 83
(1) Salah satu sisi pekarangan harus berbatasan dengan jalan umum yang
telah ditetapkan dengan lebar minimal 3 m (tiga meter).
(2) Letak pintu masuk utama bangunan gedung harus berorientasi ke jalan
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 84
Pasal 85
32
(2) Detail atau unsur bangunan akibat dari rencana perhitungan struktur
sebagaimana dimaksud pada Pasal 84 ayat (2) huruf b antara lain
pondasi dan kolom dapat melewati GSB selama dinding terluar tetap
berada di GSB.
(3) Detail atau unsur bangunan akibat dari rencana instalasi bangunan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 84 ayat (2) huruf b diatur sebagai
berikut :
a. Cerobong udara masuk dan udara keluar;
b. Tinggi dan bukaan cerobong udara tidak mengganggu dan/atau
tidak membahayakan penghuni dan lingkungan.
(4) Unsur bangunan yang diperlukan sebagai sarana sirkulasi yang bukan
merupakan bagian dari sirkulasi utama bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada Pasal 84 ayat (2) huruf c berupa :
a. Jalur pejalan kaki;
b. Tangga kebakaran yang bersifat terbuka;
c. Bukaan tangga kebakaran dari basement;
d. Sirkulasi untuk pemeliharaan AC.
Bagian kelima
Persyaratan Keseimbangan, Keserasian,
dan Keselarasan Bangunan Gedung
Pasal 86
Paragraf 1
Persyaratan Daerah Resapan
Pasal 87
33
(2) Persyaratan daerah resapan pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan :
a. tidak ditutup oleh perkerasan yang dapat menghambat peresapan
air;
b. meresapkan air ke dalam tanah minimal 1,5 meter;
c. sebagai sumur resapan dan kolam resapan.
Pasal 88
(1) Sumur resapan dan kolam resapan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 87 harus dipenuhi oleh setiap Pemilik bangunan gedung yang
akan melakukan kegiatan pembangunan.
(2) Kewajiban pembuatan sumur resapan ditujukan kepada penyelenggara
bangunan gedung yang menutup permukaan tanah dan/atau
menggunakan air tanah.
(3) Selain kewajiban pembuatan sumur resapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), terhadap penyelenggara bangunan gedung yang akan
membangun di atas lahan 5.000 m2 (lima ribu meter persegi) atau
lebih, diwajibkan menyiapkan 1,0% (satu persen) dari lahan yang akan
digunakan untuk bangunan kolam resapan di luar perhitungan sumur
resapan.
(4) Terhadap kewajiban pembuatan sumur resapan bagi setiap pemilik
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), apabila
lokasi dan/atau struktur dan tekstur tanah tidak dapat memenuhi
persyaratan, maka wajb mengganti dengan teknologi lain yang
ditetapkan oleh Dinas Teknis dengan mekanisme dan pemanfaatan
yang mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 89
(1) Pemilik bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 87
wajib mengelola air limbah domestik sebelum dibuang ke saluran
umum/drainase kota.
(2) Perencanaan instalasi air limbah domestik sebagaimana dimaksud pa-
da ayat (1) yang merupakan utilitas lingkungan atau bangunan
mengacu ke Rencana Induk Sanitasi Lingkungan dan harus disediakan
sebelum melaksanakan kegiatan pembangunan.
Paragraf 2
Akses Penyelamatan
Pasal 90
34
Pasal 91
(1) Perkerasan pada jalur keluar dan masuk lahan harus dapat langsung di
akses pemadam kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 90
ayat (2) pada bangunan gedung kecuali :
a. Rumah tinggal;
b. Hunian yang tidak lebih dari 300 m2 (tiga ratus meter perrsegi);
c. Hunian yang digunakan untuk umum antara lain rumah asrama,
rumah tamu, losmen, dan panti (orang berumur, cacat, atau anak-
anak).
c. Radius terluar dari belokan pada jalur masuk tidak boleh kurang dari
10,5 m (sepuluh koma lima meter) dan radius putaran tidak boleh
kurang dari 9,5 m (Sembilan koma lima meter);
35
d. tinggi ruang bebas di atas lapis perkerasan atau jalur masuk mobil
pemadam, minimum 5 m (lima meter) untuk dapat dilalui peralatan
pemadam tersebut;
e. Jalan di dalam lingkungan bangunan boleh digunakan sebagai
perkerasan asalkan lokasi jalan tersebut sesuai dengan persyaratan
jarak dari bukaan akses pemadam kebakaran.
f. Perkerasan untuk fasilitas pemadam kebakaran harus selalu dalam
keadaan bebas rintangan dari bagian lain bangunan, pepohonan,
tanaman atau lain-lain,
g. Perkerasan untuk fasilitas pemadam kebakaran tidak boleh meng-
hambat jalur antara perkerasan dengan bukaan akses pemadam
kebakaran.
Pasal 92
36
Paragraf 3
Sirkulasi Kendaraan dan Manusia
Pasal 93
(2) Sirkulasi kendaraan dan manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus terpisah dengan memperhatikan kenyamanan dan keselamatan
penggunanya.
Paragraf 4
Prasarana di Luar Bangunan Gedung
Pasal 94
(3) Luas maksimal untuk bangunan pos jaga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a yaitu berukuran 2 x 2 meter persegi, dengan jumlah
maksimal 2 (dua) unit.
Pasal 95
Pasal 96
37
(2) Bangunan gedung dan/atauprasarana dan sarana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain :
a. bangunan gedung dengan ketinggian tertentu yang berada pada
daerah jalur lintasan pesawat;
b. bangunan gedung yang berada di luar jalur lintasan pesawat
dengan ketinggian lebih dari 25 (dua puluh lima) lapis atau lebih dari
100 m (seratus meter);
c. menara antena telekomunikasi atau sejenisnya yang berdiri sendiri
atau berada di atas bangunan gedung yang secara keseluruhan
memiliki ketinggian lebih dari 100 m (seratus meter) ;dan
d. mercusuar.
Pasal 97
Bangunan gedung yang akan dibangun di atas sarana dan prasarana kota
harus mendapat izin Gubernur dan harus memenuhi persyaratan:
a. sesuai dengan keterangan rencana kota;
b. tidak mengganggu fungsi prasarana dan sarana kota yang berada di
bawahnya dan/atau di sekitarnya;
c. tetap memperhatikan keserasian bangunan gedung terhadap
lingkungannya; dan
d. memenuhi persyaratan keselamatan kesehatan sesuai fungsi bangunan
gedung.
Bagian keenam
Prasarana dan Sarana Keselamatan Jiwa
Pasal 98
Pasal 99
(2) Pada sarana jalan keluar yang melayani lantai atas dan lantai bawah
yang bergabung pada 1 (satu) lantai, maka kapasitasnya harus sesuai
dengan jumlah orang dari ke dua lantai tersebut.
(3) Apabila diperlukan lebih dari satu jalan keluar untuk 1 (satu) tingkat,
maka letak dari masing-masing jalan keluar harus berjauhan dan harus
diatur atau dibuat sehingga mengurangi kemungkinan terhalangnya
penggunaan jalan keluar tersebut oleh api atau kondisi darurat lainnya.
Pasal 100
(1) Bahan atau perlengkapan lift, tangga, ventilasi dan bukaan tegak
lainnya harus dibuat dengan konstruksi tahan api.
(2) Jendela kaca dengan kerangka metal yang dipasang pada bukaan luar
harus memenuhi persyaratan:
a. Kaca harus tahan panas;
b. Kaca untuk evakuasi darurat harus diberi tanda yang dapat terlihat
jelas;
c. Kerangka metal harus dengan tingkat ketahanan api sekurang-
kurangnya 1 (satu) jam;
(3) Setiap bukaan luar di atap harus dilindungi oleh pagar pelindung
dengan tinggi minimum 90 cm (sembilan puluh sentimeter) dan dibuat
dari bahan yang kuat dan tahan api.
Paragraf 1
Tangga Kebakaran
Pasal 101
(1) Setiap bangunan gedung 5 lantai atau dengan ketinggian 20 m (dua
puluh meter) atau lebih harus memiliki tangga kebakaran yang dapat
melayani setiap lantai bangunan, dan berhubungan langsung dengan
jalan, pekarangan atau tempat terbuka.
39
(2) Bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki
1 (satu) tangga kebakaran apabila beban penghuni tidak lebih dari 50
(lima puluh) orang dan jarak tempuh terjauh dari bagian bangunan
menuju tangga kebakaran tidak lebih dari 25 m (dua puluh lima meter)
di setiap lantai.
(3) Apabila beban penghuni dan jarak tempuh terjauh lebih dari persyara-
tan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan luas lantai maksimal
900 m2 (sembilan ratus meter persegi) harus memiliki sekurang-
kurangnya 2 (dua) tangga kebakaran.
(4) Pelepasan (exit discharge) atau pintu keluar tangga umum yang
digunakan sebagai sarana evakuasi harus menuju ke luar bangunan
dan brandgang (lorong diantara bangunan)
(5) Diperbolehkan menambah tangga diluar bangunan selama tidak
melebihi intensitas bangunan yang ditetapkan
Pasal 102
(1) Tangga melingkar (tangga spiral) tidak boleh digunakan sebagai tangga
kebakaran.
(2) Tangga kebakaran harus menggunakan bordes dengan lebar minimal
1,20 m (satu koma dua puluh meter) dan tidak boleh menjepit ke arah
bawah.
(3) Tangga kebakaran harus dilengkapi pegangan (hand rail) yang kuat
setinggi 1,10 m (satu koma sepuluh meter) dan mempunyai lebar
injakan anak tangga minimal 28 cm (dua puluh delapan sentimeter) dan
tinggi maksimal anak tangga 18 cm (delapan belas sentimeter).
(4) Lebar maksimum tangga kebakaran harus tidak lebih dari 2 (dua)
meter, jika lebar tangga melebihi 2 (dua) meter, dapat digunakan
langkan/pegangan tangga (handrail) yang membagi lebar tangga
masing-masing tidak kurang dari 1 m (satu meter) atau tidak lebih dari 2
m (dua meter).
(5) Lebar bebas minimum pintu tangga kebakaran tidak boleh kurang dari
90 cm (sembilan puluh sentimeter).
(6) Lebar daun pintu tangga kebakaran minimal 60 cm (enam puluh senti-
meter).
Pasal 103
(2) Jarak pencapaian ke tangga kebakaran dari setiap titik dalam ruang
efektif, maksimal 25 m (dua puluh lima meter) apabila tidak dilengkapi
dengan springkler dan maksimal 40 m (empat puluh meter) apabila
dilengkapi dengan springkler.
40
(3) Jarak pencapaian dari ujung lorong buntu (dead end) menuju pintu
tangga kebakaran tidak boleh lebih dari 15 m (lima belas meter).
Pasal 104
(1) Saf tangga kebakaran harus menerus dari lantai teratas hingga lantai
dasar.
(2) Untuk saf tangga kebakaran yang tidak menerus atau berbeda letak,
harus memiliki koridor kedap asap dan tahan api minimal 2 (dua) jam
sebagai penghubung dengan lebar minimal 3 m (tiga meter).
(3) Untuk saf tangga kebakaran pada lantai dasar bangunan yang tidak
memiliki bukaan langsung menuju ruang luar bangunan, harus memiliki
bukaan dengan jarak pencapaian terjauh 15 m (lima belas meter)
menuju pintu ke luar bangunan.
Pasal 105
(1) Setiap tangga kebakaran yang berada di luar bangunan, harus dapat
dicapai melalui ruang tunggu, balkon atau teras terbuka dengan luas
minimal 10 m2 (sepuluh meter persegi) dan harus dilengkapi dengan
dinding pengaman pada setiap sisi dengan tinggi minimal 1,2 m (satu
koma dua meter).
(2) Setiap tangga kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mempunyai lobi dengan luas permukaan lantai lobi minimal 50% dari
luas penampang melintang tangga.
Paragraf 2
Pintu Tangga Kebakaran
Pasal 106
41
g. Jalan keluar dari lantai atas maupun lantai bawah tidak boleh berakhir
pada lantai daerah kebakaran terbuka kecuali dipisah dengan dinding
tahan api minimum 2 (dua) jam.
Pasal 107
Paragraf 3
Lif kebakaran
Pasal 108
(1) Kereta lif kebakaran harus mempunyai area/ruang bebas tidak kurang
dari 1,7 m (dalam) x 1,5 m (lebar).
(2) Area/ruang bebas (tidak dihalangi oleh pintu ayun) dari lobi pemadam
kebakaran harus tidak kurang dari 6 m2(enam meter persegi).
(3) Sistem komunikasi dua arah harus disediakan pada lobi lif pemadam
kebakaran (fire fighting lobby) yang melayani lantai tempat berlindung.
Paragraf 4
Ram
Pasal 109
(1) Ram pada bangunan gedung harus memenuhi persyaratan sesuai
penggunaan untuk manusia dan jalur kendaraan.
(2) Ram untuk manusia terdiri dari ram sirkulasi umum dan ram disabilitas.
(3) Ram untuk jalur kendaraan terdiri dari ram lurus dan ram melingkar
yang dilengkapi dinding pengaman (parapet) beton bertulang dengan
ketinggian minimal 120 cm (seratus dua puluh centimeter).
Pasal 110
Ram untuk sirkulasi umum sebagaimana dimaksud pada pasal 109 ayat (2)
diatur sebagai berikut :
a. Persyaratan lebar ram ditetapkan sesuai dengan lebar bersih tangga
110 cm (seratus sepuluh centimeter).
b. Kemiringan ram untuk sarana jalan keluar tidak boleh kurang dari 1
berbanding 12.
c. Apabila lebar bersih ram lebih besar dari 110 cm (seratus sepuluh
centimeter), harus menyediakan rel pegangan tangan pada kedua sisi
ram.
d. Apabila panjang ram melebihi 15 (lima belas) meter, harus disediakan
satu buah landasan (bordes) dengan panjang 3 m (tiga meter) pada
setiap jarak maksimal 15 m (lima belas meter).
e. Permukaan lantai ram harus diberi lapisan kasar atau bahan anti slip.
42
Pasal 111
Ram lurus untuk kendaraan sebagaimana dimaksud pada pasal 109 ayat
(3) diatur sebagai berikut :
a. Kemiringan ram lurus pada bangunan parkir maksimal 1 berbanding 7.
b. Apabila lantai parkir mempunyai sudut kemiringan, maka sudut
kemiringan tersebut maksimal 1 berbanding 20.
c. Pada ram lurus jalan satu arah pada bangunan parkir, lebar jalan
minimal 3 m (tiga meter) dengan ruang bebas struktur di kanan kiri
minimal 60 cm (enam puluh sentimeter) untuk sirkulasi manusia.
d. Ram kendaraan menuju besmen atau tempat parkir harus memiliki
ruang datar minimal sebesar 3 m (tiga meter) dari GSJ.
Pasal 112
c. Pada ram melingkar jalan satu arah lebar jalan minimal 3,65 m (tiga
koma enam puluh lima meter), apabila jalan dua arah lebar jalan
minimal 7 m (tujuh meter) dengan pembatasan jalan lebar 50 cm (lima
puluh sentimeter) dan tinggi minimal 10 cm (delapan puluh sentimeter).
d. Jari-jari tengah ram melingkar minimal 9 m (sembilan meter) dihitung
dari as jalan terdekat.
e. Setiap jalan pada ram melingkar harus mempunyai ruang bebas 60 cm
(enam puluh sentimeter) terhadap struktur bangunan.
Paragraf 5
Koridor
Pasal 113
(1) Lebar koridor bangunan bukan tempat tinggal minimal 1,20 m (satu
koma dua puluh meter) diukur dari dinding bagian dalam.
(2) Ketinggian bebas pada koridor minimal 2,20 m (dua koma dua puluh
meter) diukur dari langit-langit ke lantai.
(3) Koridor harus dilengkapi tanda petunjuk yang jelas ke arah sarana jalan
keluar.
(4) Lebar koridor yang berfungsi sebagai sarana jalan keluar minimal 1,80
m (satu koma delapan puluh meter) diukur dari dinding bagian dalam.
Pasal 114
43
a. Koridor yang berada di lantai atas dan di lantai bawah permukaan tanah
harus mempunyai jalan keluar yang menuju ke tangga kebakaran.
b. Koridor pada lantai dasar harus mengarah ke halaman atau tempat
terbuka yang berhubungan langsung dengan jalan umum.
Paragraf 6
Akses Eksit ke Koridor
Pasal 115
Koridor yang digunakan sebagai akses eksit dan melayani suatu daerah
yang memiliki suatu beban hunian lebih dari 30 m (tiga puluh meter) harus
dipisahkan dari bagian lain bangunan gedung dengan dinding yang
mempunyai tingkat ketahanan api 1 (satu) jam dan sesuai ketentuan
tentang “penghalang kebakaran”, kecuali cara lain yang diizinkan sebagai
berikut :
a. Persyaratan ini tidak diterapkan untuk bangunan gedung yang sudah
ada, asalkan klasifikasi huniannya tidak berubah.
b. Persyaratan ini tidak diterapkan pada seluruh klasifikasi hunian bangunan ge-
dung bila bangunan gedung tersebut sudah mempunyai persyaratan sendiri
Paragraf 7
Komponen eksit pelepasan
Pasal 116
(1) Komponen eksit pelepasan bangunan gedung terdiri yang terdiri dari :
Pintu, tangga, ram, koridor, jalan terusan, jembatan, balkon, eskalator,
travelator, dan komponen lain dari eksit pelepasan.
(2) Komponen eksit pelepasan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan.
44
Paragraf 8
Tempat Berhimpun Sementara
Pasal 117
(1) Setiap bangunan gedung tinggi (24 lantai atau lebih) harus memiliki
tempat berhimpun sementara untuk kondisi darurat yang terdiri dari
tempat berhimpun sementara di dalam bangunan dan di luar bangunan.
Pasal 118
(1) Tempat berhimpun sementara sebagaimana dimaksud pada Pasal 117
ayat 3 huruf a dan b merupakan ruang tertutup kedap asap.
(2) Ruang tertutup kedap asap sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat
berupa lobi penahan asap (smoke-stop lobby) atau lobi untuk
pemadaman kebakaran (fire-fighting lobby).
(3) Jalan masuk ke tangga kebakaran pada setiap lantai bangunan gedung
tidak diperbolehkan langsung, tetapi harus melalui ruang tertutup kedap
asap, kecuali pada lantai dasar bangunan yang berhubungan langsung
dengan ruang luar bangunan.
(4) Lobi kedap asap (smoke-stop lobby) harus memiliki luas minimal 3 m2
(tiga meter persegi) dan terhubung dengan tangga kebakaran.
(6) Bangunan yang memiliki besmen sampai dengan 2 (dua) lantai, harus
memiliki tangga kebakaran yang melalui lobi kedap asap (smoke-stop
lobby).
(7) Bangunan yang memiliki besmen lebih dari 2 (dua) lantai, harus
memiliki tangga kebakaran yang melalui lobi untuk pemadaman
kebakaran (fire-fighting lobby).
45
Pasal 119
(1) Tempat berhimpun sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 117
ayat (3) huruf c merupakan lantai tempat berlindung sementara atau ru-
ang evakuasi bencana (refuge floor), harus terdapat pada bangunan
gedung dengan ketinggian lebih dari 24 (dua puluh empat) lantai di atas
lantai dasar dan tidak dimanfaatkan untuk kegiatan lain kecuali untuk
fire service water tank and installation plant room;
(4) Lantai tempat berlindung sementara (refuge floor) harus memiliki lantai
yang dirancang sebagai area berhimpun (holding area) dengan luas
bersih tidak kurang dari 50% (lima puluh persen) dari total luas lantai
tempat berlindung sementara dan tinggi bersih ruangan tidak kurang
dari 2,25 m (dua koma dua puluh lima meter);
(5) Area berhimpun (holding area) sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus berventilasi alami (cross ventilation) dengan bukaan permanen
pada sekurang-kurangnya 2 sisi dinding luar, ketinggian bukaan harus
tidak kurang dari 1200 mm (seribu dua ratus millimeter) tinggi dan area
total dari bukaan ventilasi harus tidak kurang dari 25% (dua puluh lima
persen) area lantai dari area berhimpun;
(6) Lantai tempat berlindung sementara (refuge floor) harus memiliki jarak
tempuh yang berdekatan dengan tangga kebakaran diukur dari pintu
jalan keluar koridor menuju tempat berkumpul sementara;
(7) Area berhimpun (holding area) sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat digunakan sebagai ruang untuk senam atau taman terbuka atau
jalur setapak (joging track) dan harus bukan merupakan area komersial.
Paragraf 9
Saf Pemadam Kebakaran
Pasal 120
(1) Setiap bangunan gedung dengan ketinggian lebih dari 20 m (dua puluh
meter) di atas permukaan tanah atau yang besmennya lebih dari 10 m
(sepuluh meter) di bawah permukaan tanah harus memiliki saf untuk
pemadaman kebakaran.
(2) Saf pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di
dalamnya harus terdapat lif untuk pemadaman kebakaran sesuai ke-
tentuan yang berlaku.
46
(3) Jumlah minimum saf pemadam kebakaran untuk bangunan gedung
yang memiliki sprinkler otomatis
Luas lantai maksimum Jumlah minimum
(m2) saf pemadam kebakaran
Kurang dari 900 1
900 – 2.000 2
Lebih dari 2.000 2 ditambah 1 untuk tiap
penambahan 1.500 m2
Bagian ketujuh
Prasarana Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Lansia
Pasal 121
(1) Setiap bangunan gedung di Provinsi DKI Jakarta wajib disediakan fasili-
tas dan prasarana aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lansia.
(2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
yang digunakan untuk kepentingan umum.
(3) Persyaratan teknis fasilitas dan prasarana aksesibilitas pada bangunan
gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pintu;
b. Ram;
c. Tangga;
d. Lif;
e. Lif tangga ( stairway )
f. Toilet;
g. Jalur Pemandu;
h. Tempat parkir.
47
Paragraf 1
Pintu
Pasal 122
(1) Pintu keluar/masuk utama harus memiliki lebar manfaat bukaan minimal
90 cm (sembilan puluh sentimeter);
(2) Pintu yang bukan utama harus memiliki lebar manfaat bukaan minimal
80 cm (delapan puluh sentimeter), kecuali untuk rumah sakit harus
berukuran minimal 90 cm (sembilan puluh sentimeter).
(3) Pada daerah sekitar pintu keluar/masuk tidak dibolehkan adanya ram
atau perbedaan ketinggian lantai.
(4) Jenis pintu yang penggunaannya tidak dianjurkan:
a. Pintu geser;
b. Pintu yang berat, dan sulit untuk dibuka/ditutup;
c. Pintu dengan dua daun pintu yang berukuran kecil;
d. Pintu yang terbuka ke dua arah ( "dorong" dan "tarik");
e. Pintu dengan bentuk pegangan yang sulit dioperasikan terutama
bagi tunanetra.
(5) Penggunaan pintu otomatis diutamakan yang peka terhadap bahaya
kebakaran.
(6) Pintu otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak boleh mem-
buka sepenuhnya dalam waktu lebih cepat dari 5 (lima) detik dan mu-
dah untuk menutup kembali.
(7) Alat-alat penutup pintu otomatis perlu dipasang agar pintu dapat me-
nutup dengan sempurna, karena pintu yang terbuka sebagian dapat
membahayakan penyandang cacat.
(8) Penggunan bahan lantai di sekitar pintu agar menghindari yang licin.
(9) Plat tendang yang diletakkan di bagian bawah pintu diperlukan bagi
pengguna kursi roda dan tongkat tuna netra.
Paragraf 2
Ram aksesbilitas
Pasal 123
(1) Ram sebagai prasarana penyandang cacat adalah alternatif jalur sir-
kulasi bagi yang tidak dapat menggunakan tangga dan memiliki bidang
dengan kemiringan tertentu.
(2) Kemiringan ram di dalam bangunan tidak boleh melebihi 7° (tujuh dera-
jat), dengan perbandingan antara tinggi dan kelandaian 1:8.
(3) Kemiringan ram yang ada di luar bangunan maksimum 6° (enam dera-
jat), dengan perbandingan antara tinggi dan kelandaian 1:10.
(4) Perhitungan kemiringan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3)
tidak termasuk awalan atau akhiran ram (curb rams/landing).
48
(5) Panjang mendatar dari satu ram dengan perbandingan antara tinggi
dan kelandaian 1:8 tidak boleh lebih dari 900 cm (sembilan ratus senti-
meter).
(6) Apabila kemiringan ram sebagaimana dimaksud pada ayat (5) lebih
rendah maka panjang dapat dibangun lebih panjang.
(7) Lebar minimum dari ram adalah 95 cm (sembilan puluh lima sentimeter)
tanpa tepi pengaman, dan 120 cm (serratus dua puluh sentimeter)
dengan tepi pengaman.
(8) Apabila ram sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga digunakan un-
tuk pejalan kaki dan pelayanan angkutan barang harus dipertim-
bangkan lebarnya, sehingga dapat dipakai untuk kedua fungsi tersebut.
(9) Muka datar/bordes pada awalan atau akhiran dari suatu ram harus
bebas dan datar sehingga memungkinkan sekurang-kurangnya untuk
memutar kursi roda dengan ukuran minimum 160 cm (seratus enam
puluh sentimeter).
(10) Permukaan datar awalan atau akhiran suatu ram harus memiliki
tekstur sehingga tidak licin bila terdapat hujan.
(11) Pengaman ram/ kanstin/ low curb untuk menghalangi roda kursi roda
agar tidak terperosok atau keluar dari jalur ram apabila berbatasan
langsung dengan lalu-lintas jalan umum atau persimpangan dengan
lebar tepi 10 cm (sepuluh sentimeter) dan tidak mengganggu jalan
umum.
(12) Ram sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diterangi dengan
pencahayaan cukup pada bagian-bagian ram yang memiliki keting-
gian terhadap muka tanah sekitarnya dan bagian-bagian yang mem-
bahayakan.
(13) Ram sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan
pegangan rambatan (handrail) yang dijamin kekuatannya dan harus
mudah dipegang dengan ketinggian 65-80 cm (enam puluh lima
sampai dengan delapan puluh sentimeter).
Paragraf 3
Tangga aksesbilitas
Pasal 124
(1) Tangga sebagai fasilitas pergerakan vertikal bagi penyandang cacat
harus dirancang dengan ukuran dan kemiringan pijakan dan tanjakan
dengan lebar yang memadai.
(2) Persyaratan tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu
a. harus memiliki dimensi pijakan dan tanjakan yang berukuran
seragam;
b. kemiringan tangga kurang dari 60°.
c. dilengkapi dengan pegangan rambat (handrail) minimum pada salah
satu sisi tangga;
49
d. Pegangan rambat harus mudah dipegang dengan ketinggian 65 - 80
cm (enam puluh lima sampai dengan delapan puluh sentimeter) dari
lantai, bebas dari elemen konstruksi yang mengganggu, dan bagian
ujungnya harus bulat atau dibelokkan dengan baik ke arah lantai,
dinding atau tiang;
e. Pegangan rambat harus ditambah panjangnya pada bagian ujung-
ujungnya (puncak dan bagian bawah) dengan 30 cm (tiga puluh
sentimeter).
(3) Terhadap tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terletak di
luar bangunan, harus dirancang sehingga tidak ada air hujan yang
menggenang pada lantainya.
Paragraf 4
Lif
Pasal 125
(1) Lif alat mekanis elektris sebagai prasarana penyandang cacat untuk
membantu pergerakan vertikal di dalam bangunan
(2) Lif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai lif
barang.
(3) Untuk bangunan gedung lebih dari 5 lantai harus menyediakan minimal
1 (satu) buah lif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali untuk
rumah sakit dan kebutuhan khusus.
(4) Toleransi perbedaan muka lantai bangunan dengan muka lantai ruang
lift maksimum 1,25 cm (satu koma dua puluh lima sentimeter).
(5) Koridor/lobby lif yaitu ruang perantara yang digunakan untuk menunggu
kedatangan lif dan mewadahi penumpang yang baru keluar dari lif, per-
syaratan :
a. Lebar ruangan ini minimal 185 cm (seratus delapan puluh lima
sentimeter) dan/atau tergantung pada konfigurasi ruang yang ada;
b. Perletakan tombol dan layar tampilan yang mudah dilihat dan
dijangkau;
c. Panel luar yang berisikan tombol lif harus dipasang di tengah-tengah
ruang lobby atau hall lif dengan ketinggian 90-110 cm (sembilan
puluh sampai dengan seratus sepuluh sentimeter) dari muka lantai
bangunan;
d. Panel dalam dari tombol lif dipasang dengan ketinggian 90-120 cm
(sembilan puluh sampai dengan seratus dua puluh sentimeter) dari
muka lantai ruang lif;
e. Semua tombol pada panel harus dilengkapi dengan panel huruf
Braille, yang dipasang dengan tanpa mengganggu panel biasa;
f. Selain terdapat indikator suara, layar/ tampilan yang secara visual
menunjukkan posisi lif harus dipasang di atas panel kontrol dan di
atas pintu lif, baik di dalam maupun di luar lif (hall/koridor).
50
(6) Ukuran bersih ruang lif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal
140 cm x 140 cm dan harus dapat memuat pengguna kursi roda, mulai
dari masuk melewati pintu lif, gerakan memutar, menjangkau panel
tombol dan keluar melewati pintu lif, dengan persyaratan :
a. dilengkapi dengan pegangan rambat (handrail) menerus pada ketiga
sisinya;
b. dilengkapi dengan sarana informasi dan komunikasi, dengan mem-
perhatikan perkembangan teknologi informasi yang ada;
c. dilengkapi dengan permukaan dinding yang berseberangan dengan
pintu lif yang dapat memantulkan bayangan (berfungsi sebagai cer-
min) guna memudahkan bagi pemakai kursi roda melihat langsung
pintu lif pada saat membuka atau menutup.
(7) Waktu minimum bagi pintu lif untuk tetap terbuka guna memberikan
waktu yang cukup untuk masuk dan keluar dengan mudah adalah 3 (ti-
ga) detik dan harus dilengkapi dengan sensor photo-electric dengan
ketinggian yang sesuai.
Paragraf 5
Lif tangga (stairway)
Pasal 126
(1) Lif tangga adalah alat mekanis elektrik untuk membantu pergerakan
vertikal dalam bangunan, sebagai prasarana penyandang cacat secara
individu.
(2) Untuk bangunan gedung dengan jumlah lantai minimal 3 (tiga) dan
perbedaan ketinggian lantai minimal 4 (empat) meter, harus memiliki lift
tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 1 (satu) buah,
yang terdapat pada jalur tangga di salah satu sisi pada dinding dan
memenuhi standar teknis yang berlaku.
(3) Toleransi perbedaan muka lantai bangunan dengan tempat duduk lift
tangga maksimum 60 cm (enam puluh sentimeter).
(4) Tempat duduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi
persyaratan :
a. lebar tempat duduk minimal 40 cm (empat puluh sentimeter) dan
tergantung pada kondisi lebar tubuh penyandang cacat;
b. perletakan tombol yang mudah dilihat dan dijangkau;
c. tombol diletakkan pada salah satu sandaran tangan, dilengkapi
dengan panel huruf Braille, dan dipasang tanpa mengganggu panel
biasa;
d. dimensi lif tangga disesuaikan dengan spesifikasi teknis yang berla-
ku.
(5) Kemiringan rel penggantung lift tangga mengikuti kemiringan tangga
dan harus kuat dan memenuhi persyaratan teknis yang berlaku antara
lain jalur lift tangga mengikuti jalur tangga dengan arah lurus (straight),
belok (curved) dan melengkung (spiral).
51
Paragraf 6
Toilet
Pasal 127
(1) Toilet atau kamar kecil umum sebagai prasarana fasilitas sanitasi pen-
yandang cacat dan lansia pada bangunan gedung harus dilengkapi
dengan tampilan rambu/simbol dengan sistem cetak timbul "Penyan-
dang Cacat" pada bagian luarnya.
(2) Persyaratan toilet atau kamar kecil umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yaitu
a. harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk masuk dan keluar
pengguna kursi roda.
b. Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian
pengguna kursi roda sekitar 45-50 cm (empat puluh lima sampai
dengan lima puluh sentimeter).
c. harus dilengkapi dengan pegangan rambat/handrail yang memiliki
posisi dan ketinggian disesuaikan dengan pengguna kursi roda dan
penyandang cacat yang lain.
d. Pegangan sebagaimana dimaksud pada pasal 122 ayat (2) huruf c
disarankan memiliki bentuk siku-siku mengarah ke atas untuk mem-
bantu pergerakan pengguna kursi roda.
e. Letak kertas tissu, air, kran air atau pancuran/shower dan per-
lengkapan seperti tempat sabun dan pengering tangan harus mudah
digunakan oleh orang yang memiliki keterbatasan fisik dan bisa di-
jangkau pengguna kursi roda.
f. Semua kran sebaiknya dengan menggunakan sistem pengungkit
dipasang pada wastafel.
g. Bahan dan penyelesaian lantai toilet atau kamar kecil harus tidak
licin.
h. Pintu harus mudah dibuka dan ditutup untuk memudahkan
pengguna kursi roda.
i. Kunci-kunci toilet atau grendel harus bisa dibuka dari luar jika terjadi
kondisi darurat.
j. Agar menyediakan tombol bunyi darurat (emergency sound button)
pada tempat-tempat yang mudah dicapai seperti pada daerah pintu
masuk, bila sewaktu-waktu terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
k. Bilik pancuran (shower cubicles) harus memiliki tempat duduk yang
lebar dengan ketinggian disesuaikan dengan cara-cara perilaku
memindahkan badan pengguna kursi roda dengan pegangan ram-
bat (handrail) pada posisi yang memudahkan pengguna kursi roda
bertumpu.
l. Bilik pancuran dilengkapi dengan tombol alarm atau alat pemberi
tanda lain yang bias dijangkau pada waktu keadaan darurat.
52
m. Kunci bilik pancuran dirancang dengan menggunakan tipe yang bisa
dibuka dari luar pada kondisi darurat (emergency).
n. Pintu bilik pancuran sebaiknya menggunakan pintu bukaan keluar.
o. Pegangan rambat sebagaimana dimaksud pada pasal 122 ayat (2)
huruf k dan setiap permukaan atau dinding yang berdekatan
dengannya harus bebas dari elemen-elemen yang runcing atau
membahayakan.
p. Menggunakan kran dengan sistem pengungkit.
q. Wastafel harus dipasang dengan tinggi permukaan dan lebar depan
dapat dimanfaatkan oleh pengguna kursi roda dengan baik.
r. harus disediakan ruang gerak bebas yang cukup di depan wastafel
dan ruang gerak dibawahnya yang tidak menghalangi lutut dan kaki
pengguna kursi roda.
s. Pemasangan ketinggian cermin diperhitungkan terhadap pengguna
kursi roda.
Paragraf 7
Jalur Pemandu
Pasal 128
53
c. Di pintu masuk/keluar pada terminal transportasi umum atau area
penumpang atau pada pedestrian yang menghubungkan antara
jalan dan bangunan; dan
d. Pada pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi
umum terdekat.
Pasal 129
(1) Tempat parkir kendaraan bagi penyandang cacat adalah fasilitas pada
luar bangunan gedung secara individu.
(2) Persyaratan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu
a. Berada di dekat dengan pintu masuk
b. Memiliki kemudahan akses ke dalam bangunan berupa ram
c. Memiliki kemudahan keluar masuk kendaraan
d. Terdapat tanda khusus disabilitas antara lain symbol gambar
e. Jarak maksimal ke bangunan gedung yaitu 60 m (enam puluh
meter)
f. Memiliki dimensi lebar 370 cm (tiga ratus tujuh puluh sentimeter)
dan panjang 450 cm (empat ratus lima puluh sentimeter)
g. Kemiringan lantai maksimal 2 (dua) derajat
Bagian kedelapan
Sarana dan Prasarana Bangunan Gedung
Pasal 130
54