Anda di halaman 1dari 7

PERAN ISTRI AYUB

DALAM PENDAMPINGAN BAGI PENDERITAAN SUAMINYA


Melihat Secara Positif Akan Peran Istri Ayub
oleh Agus Santoso

1. Problematika

Peran istri Ayub di dalam kitab Ayub sangat sedikit dibicarakan, dan sepertinya
agak negatif: Berita mengenai istri Ayub dapat dijumpai pertama kali pada Ayub 2:9
“Maka berkatalah isterinya kepadanya: Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? 1
Kutukilah Allahmu dan matilah!” (LAI). Ayat ini ditempatkan pada bagian kedua
penderitaan Ayub: Bagian pertama penderitaan Ayub terletak pada Ayub 1:6-22
yang diawali dengan kalimat “Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap
TUHAN dan di antara mereka datanglah juga Iblis.” pada Ayub 1:6; dan bagian kedua
penderitaan Ayub terletak pada Ayub 2:1-13 yang juga diawali dengan kalimat “Pada
suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di antara mereka datang juga
Iblis untuk menghadap TUHAN.” pada Ayub 2:1. Jika pada penderitaan pertama Ayub
telah kehilangan seluruh harta-benda serta anak-anaknya, pada penderitaan kedua,
Ayub menderita penyakit kulit yang sangat ganas. Hal ini menandakan kelengkapan
penderitaan Ayub. Dan pada bagian kedua dari penderitaannya ini diberitakan,
bahwa “Ayub mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya, sambil duduk
di tengah-tengah abu.” Di tengah-tengah suasana berkabung yang mengerikan dan
memilukan ini, istri Ayub datang di hadapan suaminya, mengajak untuk mengutuki
TUHAN-nya, karena penderitaan yang dialaminya tersebut, dan bahkan mengajak
Ayub untuk membunuh dirinya sendiri (“matilah”). Berita mengenai istri Ayub
dapat dibaca pada Ayub 19:17 "Nafasku menimbulkan rasa jijik kepada isteriku, …"
Ketika pada akhirnya, pada bagian pemulihan, Ayub mendapatkan anak-anak lagi
(Ayub 42:13), di sini tidak diberitakan peran istri Ayub. Hal ini menyebabkan
munculnya tradisi, bahwa istri Ayub mendapatkan hukuman dari Tuhan dan
dimusnahkan untuk selama-lamanya. Sedangkan anak-anak Ayub yang didapatkan
dari Tuhan (Ayub 42:9st), merupakan anak-anak yang dilahirkan dari istri yang lain
(istri kedua).

Oleh karena berita yang sangat sedikit dan kelihatan agak negatif ini menimbulkan
tiga macam penafsiran yang saling bertentangan antara satu sama lainnya.
(1) Posisi istri Ayub dalam pandangan kelompok pertama dari penafsir dan
penerjemah Alkitab seringkali mendapatkan image yang buruk. Di dalam Alkitab
LAI yang berdasarkan kitab Ibrani, peran istri Ayub ditonjolkan pada Ayub 2:9 yang
berbunyi:
Maka berkatalah isterinya kepadanya: “Masih bertekunkah engkau dalam
kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!”
Dalam hal ini Alkitab LAI memandang dari sisi negatif peran istri Ayub. Hal yang
sama dapat juga dijumpai dalam terjemahan-terjemahan berbahasa Inggris, misalnya
English Standard Version, King James Version, New American Bible, New International

1 LAI menerjemahkannya dengan bentuk pertanyaan.


Version, New Jerusalem Bible, dll. yang menerjemahkannya dengan “Curse God and
die!”. Yang menarik untuk disimak adalah terjemahan dari Lutherbibel edisi 1912
dan 1984 yang menerjemahkan dengan negatif: „Sage Gott ab und stirb“ (kutukilah
Allah dan matilah). Hal ini justru bertentangan dengan penerjemahan oleh Luther
edisi 1545 yang (agak) positif: „Ja, Segene Gott vnd stirb“ [Ya! berkatilah Allah dan
matilah]. Hal ini merupakan wujud demonisasi2 istri Ayub dengan kalimat
pertanyaan yang sinis: “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu?” Dalam fungsi
yang sama dengan setan pada Ayub 2:5 (adiuvatrix diaboli), istri Ayub mencobai
suaminya dengan tujuan supaya Ayub meninggalkan imannya kepada Tuhan. Dan
hal ini diperkeras dengan ajakan untuk “mengutuki” Allah serta ajakan untuk bunuh
diri: “matilah!” Dan hal ini dikuatkan dengan jawaban Ayub: “Engkau berbicara seperti
perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima
yang buruk?” (LAI). Penerjemahan ini sangat ‘kasar’ dan mendudukkan posisi istri
Ayub yang sangat negatif. Ayub berkata dengan sangat ‘kasar’ kepada istrinya
sebagai “perempuan gila”, yang telah memposisikan diri sebagai lawan Ayub, yaitu
dalam fungsinya yang sama seperti setan yang mencobai Ayub.
Dalam Apokalipse Paulus, iblis berbicara dengan perkataan yang sama dengan apa
yang dikatakan istri Ayub pada 2:9. Ambrosius berpikir, bahwa istri Ayub
merupakan salah satu penguji iman Ayub, sama halnya dengan fungsi setan. Hal
yang sama, Augustinus menyebut istri Ayub sebagai adiuvatrix diaboli. Pada sebuah
lukisan yang berasal dari abad ke-15 dilukiskan, ketika setan memukul Ayub, istri
Ayub berdiri di sampingnya sambil berkacak-pinggang. Teks yang menyertai
lukisan ini berbunyi: “Setan memukulnya [Ayub] dengan tongkat dan istri Ayub
memukulnya dengan kata-kata”.
Salah satu contoh ahli yang berpendapat secara negatif memandang istri Ayub
adalah Strauß. Dia berpendapat, bahwa kata $rb seharusnya diterjemahkan dengan
“kutukilah”. Kalaupun jika harus diterjemahkan secara harfiah “pujilah Allah”, maka
hal ini harus dimengerti sebagai satir.3 Pandangan yang hampir sama dengan Strauß
adalah pandangan Han yang menganggap, bahwa kata “berkatilah” di sini
mengandung makna eufimisme yang sangat radikal4 dan pandangan Pezzoli-Olgiati
yang memandang saran istri Ayub sangat negatif, yang merupakan usaha jalan
keluar yang pragmatis dan sangat immanen.5
(2) Pandangan yang lain adalah pandangan yang ambigu. Dalam manuskrip Yunani
dari akhir abad ke-11 diceritakan: Ayub duduk di atas kotoran hewan, istrinya
berdiri sangat jauh darinya dengan menutupi hidungnya dengan kerudungnya. Istri
Ayub memberikan minuman kepadanya dengan gayung yang mempunyai
pegangan yang panjang. Meskipun demikian, gayung itu tidak sampai ke suaminya,
karena terlalu jauhnya dia berdiri. Istri Ayub merupakan satu-satunya pendamping
Ayub, namun meskipun demikian, dia berada di tempat yang sangat jauh dari si
penderita.

2 Bandingkan dengan Gitay, dalam Beck, 1995: 516-526.


3 Lihat Strauß, 2001: 563.
4 Han, 2006:4st.
5 Pezzoli-Olgiati, 2005:1.
(3) Pandangan ketiga adalah pandangan yang memandang peran positif istri Ayub.
Septuaginta menerjemahkan Ayub 2:9 lebih panjang (bukan hanya satu ayat saja):
2:9 Setelah waktu lama berlalu, berkatalah istrinya kepadanya (kepada Ayub): “Berapa lama
lagi engkau tetap bertahan? dan berkata: [1] ‘Lihat, aku ingin menunggu sedikit waktu lagi
untuk bertahan dalam pengharapan pada Penyelamatku’. [2] Lihatlah, milikmu hilang dari
muka bumi: anak-anak laki-laki dan perempuan, yang aku lahirkan dengan susah-payah dan
kesakitan. [3] Tetapi engkau duduk di tengah malam di alam terbuka seperti cacing. [4] Tetapi
aku seorang pengembara dan seorang perempuan yang dari satu tempat ke tempat lain
berpindah-pindah, dari satu rumah ke rumah lain, yang berharap, bahwa matahari akan
tenggelam, sehingga aku dapat beristirahat dari kesusahan dan kesakitan yang aku alami saat
ini. [5] Berkatalah kepada Tuhan hanya satu kata dan berakhirlah (hidupmu)!”
Dalam hal ini Septuaginta menempatkan istri Ayub bukan dalam kedudukan yang
negatif, melainkan dalam posisi yang positif. Istri Ayub memahami penderitaan
Ayub yang tentunya sangat sedih ketika menghadapi semua anak-anaknya mati.
Dan tentunya keadaan yang teramat sedih dialami juga oleh istri Ayub sendiri yang
telah melahirkan anak-anaknya tersebut dengan penuh kesakitan dan penderitaan.
Dalam hal ini istri Ayub turut ber-‘empati’ atau turut merasakan penderitaan
suaminya yang tercinta, apalagi penderitaannya tentunya jauh lebih berat, karena
anak-anak Ayub tersebut telah dilahirkannya dengan susah dan sakit. Dia berduka
akan kematian anak-anaknya yang dikasihinya.
Dengan berdasarkan terjemahan Septuaginta, tradisi kekristenan mula-mula lebih
tegas lagi, menempatkan istri Ayub sebagai “Pelayan Diakoni” yang sangat baik,
yang bernama Sitidos. Hal ini dapat dijumpai dalam kitab “Testamen Ayub”.6
Mungkin dapat digambarkan sebagai seorang istri yang sedang duduk menghadapi
suaminya yang sedang sakit, yang sangat parah di rumah sakit, yang mana secara
kasat mata terlihat hampir mati. Dalam keadaan ini, istri Ayub berperan sebagai
pendamping yang baik. Dia dengan setia merawat suaminya yang sedang sakit
parah. Kesimpulan: Gereja mula-mula memahami posisi istri Ayub sebagai pelayan
diakoni yang mendampingi suaminya yang sakit parah. Oleh karena itu, dengan
semangat diakonis yang dimiliki istri Ayub, pelayanan diakoni menjadi titik sentral
dalam kehidupan gereja mula-mula.
Sebuah lukisan dari abad pertengahan yang berada di katedral di Chartre
digambarkan, bahwa istri Ayub merupakan satu-satunya orang yang dengan setia
mendampingi Ayub. Kepadanya Ayub memberikan segala keluhannya, dan istrinya
dengan setia mendengarkannya. Dalam lukisan Albrecht Dürer dari awal abad ke-
16, istri Ayub nampak seperti seorang perawat di rumah sakit, yang merawat
pasiennya.

Ketiga pandangan ini muncul disebabkan oleh problem penerjemahan.7


Yang menjadi pertanyaan yang perlu didiskusikan di sini adalah:
1. Apakah kalimat pertama pada Ayub 2:9 tepat diterjemahkan dengan kalimat
pertanyaan? Atau apakah kalimat tersebut justru merupakan kalimat
pernyataan atau penegasan (biasanya ditandai dengan tanda seru “!”)?

6Lihat Schaller, 1980:377-406.


7Lihat misalnya Cheney, 1994: 76; Maier & Schroer, dalam Schottroff & Wacker (Ed.), 1998:192-207,
khususnya hlm. 201-203.
2. Apakah kata Ibrani $rb di sini seharusnya tepat diterjemahkan dengan
“berkat” (arti harfiah) atau dengan “kutuk” (arti eufimisme)?8
3. Apakah benar bahwa istri Ayub mengajak suaminya untuk bunuh diri?
4. Apakah benar, bahwa posisi istri Ayub adalah adiuvatrix diaboli (demonisasi
dalam posisi istri Ayub – pemaknaan ad malem partem)? Atau sebaliknya, yaitu
istri Ayub memiliki posisi yang positif, sebagai pendamping yang baik bagi
Ayub (pemaknaan ad bonam partem)?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dicoba untuk didiskusikan dalam makalah
singkat ini.

2. Peran Positif Istri Ayub Sebagai Pendamping Ayub

Makalah ini mencoba untuk berangkat dengan analisa sintaksis bagi kalimat pertama
pada Ayub 2:9, bahwa partikel pertanyaan tidak harus diterjemahkan secara harfiah
dengan bentuk pertanyaan, melainkan juga dapat diterjemahkan dengan bentuk
pernyataan atau penegasan. Kasus ini banyak dijumpai pada kitab Mazmur.

Contoh kasus: Secara harfiah kalimat pada Mazmur 8:2 diterjemahkan dengan “Ya TUHAN,
Tuhan kami, Apakah nama-Mu mulia di seluruh bumi?” karena kalimat ini dalam bahasa
Ibraninya mengandung partikel pertanyaan “apakah”. Dalam kasus ini kata “apakah” tidak
selalu harus diterjemahkan dengan “apakah”. Dengan tepat LAI menerjemahkannya dengan
“Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” Partikel “apakah”
diterjemahkan oleh LAI dengan “betapa” lalu kalimatnya diakhiri dengan tanda seru.

Dalam kasus yang hampir sama dengan Mzm. 8:2, sebaiknya kalimat pertama pada
Ayub 2:9 juga tidak harus diterjemahkan dengan bentuk pertanyaan, melainkan
dalam bentuk pernyataan: “(Betapa) engkau masih bertekun dalam kesalehanmu!”
Oeming dengan tepat memparafrasekan Ayub 2:9

“Aku kagum dengan engkau, Ayub, karena engkau dalam mengalami semua pencobaan yang
terlalu amat sulit ini, tetapi engkau masih memegang teguh imanmu kepada Tuhanmu. Tetapi
sekarang aku akan menasihati engkau: Berdamailah selalu dengan Tuhanmu!, tetaplah teguh
imanmu, karena kematianmu telah dekat.”9

Dalam hal ini Oeming memposisikan istri Ayub dalam kedudukan bukan sebagai
adiuvatrix diaboli, melainkan sebagai pendamping10 Ayub yang baik dan setia; kata
$rb di sini tidak diterjemahkan negatif sebagai “kutuk”, melainkan “berkat / damai”;
dan juga di sini istri Ayub tidak mengajak suaminya untuk bunuh diri.
Penerjemahan yang sama dengan pendapat Oeming adalah Young’s Literal
Translation yang menerjemahkan “Still thou art keeping hold on thine integrity: bless God
and die.” Nada yang sama didapati juga dalam Vulgata “benedic Deo et morere”

8 Lihat O'Connor, 1996:48-65; Oeming & Schmid, 2001:42-43.


9 Oeming & Schmid, 2001:43.
10 Bandingkan dengan Simundson, 1986:38 yang berkata “She is so desperately moved by his

suffering that she hopes that he will die and not suffer any more. Many husbands or wives
or sons or daughters have stood over the bed of their tormented loved ones and had similar
thoughts”
(“berkatilah Allah kemudian matilah”). Hal ini punya maksud, “pertama, pujilah11
Allahmu, kemudian engkau dapat menjumpai kematianmu dengan damai.” Oleh karena itu,
sekali-kali istri Ayub tidak mengajak suaminya untuk membunuh dirinya sendiri.
Berangkat dari parahnya sakit suaminya, dia tidak tega melihatnya, dan juga
dipertambah dengan kesedihannya yang mendalam setelah matinya semua anaknya
(lih. Septuaginta), maka dalam situasi ini sarannya cuma satu di dalam menghadapi
suaminya yang sangat parah, yaitu selalu memuji Tuhan di dalam menjalani
penderitaan yang demikian parah ini, sebelum menghadapi kematian yang mungkin
sudah diambang pintu. Istri Ayub turut ber-empati, dia tetap dengan setia merawat
suaminya yang sakit parah seperti halnya pelayan diakoni (lih. Testamen Ayub).
Sebagai pendamping yang baik, dia tidak pernah menganjurkan suaminya untuk
bunuh diri. Oeming berkata, “Istri Ayub membuat dirinya menjadi ‘pendengar’
keluhan suaminya dan menjadi pendamping yang solider.” 12

Ayub di dalam menjawab istrinya juga tidak sekasar seperti terjemahan LAI.
Jawaban Ayub lebih kepada diskusi Ayub dengan istrinya yang telah dengan setia
mendampinginya. Dia berkata, “Mengapa engkau seperti perempuan bodoh. [LAI:
perempuan gila] Sebaiknyalah kita menerima yang buruk juga, bukan hanya mau menerima
yang baik-baik saja.” Dalam diskusi ini, Ayub sama sekali tidak menyudutkan istrinya
yang telah dengan setia mendampinginya dengan kata-kata kasar (perempuan gila).
Ayub hanya tidak setuju dengan pendapat istrinya yang mengajak untuk pasrah
kepada Tuhan dan menanti kematian, karena kematian adalah jalan yang terbaik
bagi orang yang sudah terlalu parah sakitnya (band. dengan Simundson dalam
catatan kaki 10). Ketidak-tegaan istrinya terhadap suami ini menurut Ayub adalah
tindakan yang bodoh. Oleh karena itu Ayub berkata, “Sebaiknyalah kita menerima yang
buruk juga, bukan hanya mau menerima yang baik-baik saja.”

3. Catatan Akhir

Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa istri Ayub memiliki peran yang sangat positif
pada pendampingan pastoral bagi suaminya. Posisi yang sama juga diperlihatkan
oleh teman-teman Ayub (Elifas, Bildad dan Sofar; Elihu; tetangga-tetangga Ayub),
Allah dan Ayub sendiri (sebagai konselor bagi dirinya sendiri, terutama pada Ayub
3 yang merupakan wujud konseling bagi diri sendiri. Dia menempatkan diri sendiri
sebagai sub specie dei) dalam menghadapi penderitaannya. Mereka semua memiliki
posisi yang positif. Mereka semua berperan dalam pendampingan pastoral.

Singkat kata, kitab Ayub merupakan “traktat pastoral”.13 Hal ini berkenaan dengan
kata kerja ~xn = menghibur (= parakale,w), yang meskipun hanya dijumpai enam kali
dalam kitab Ayub, namun menduduki tempat yang sangat penting:

11 Kata "barakh" selain dapat diterjemahkan dengan "berkat", tapi juga dapat diterjemahkan dengan
"puji". Dalam kitab Mazmur banyak dijumpai kata ini diterjemahkan dengan "puji", misalnya "Pujilah
Tuhan!"
12 Oeming, 2001:45.
13 Lihat Oeming, 2001:35 sebagai “Lehrstücke der Poimenik”. Lihat juga pada Oeming & Drechsel,

2005:1st.
a. Ayub 2:11 – teman-teman Ayub datang untuk menjadi visitor dan
konselor/penghibur (~xn) – Am*x]n:l.W¥ Alß-dWn*l' (LAI: “untuk mengucapkan
belasungkawa kepadanya dan menghibur dia” / Vulgata: visitare et consolare). Dialog
mereka mempunyai tujuan untuk mem-visitasi serta mengkonseling Ayub.
b. Dalam depresinya, Ayub berkata: yfi_r>[; ynImåEx]n:T. (“Tempat tidurku akan memberi
penghiburan”) Ayub 7:13. Ungkapan depresif ini menandakan, bahwa Ayub justru
membutuhkan “penghiburan” atau konseling atau pendampingan pastoral (~xn).
c. Oleh karena ketertekanan yang disebabkan oleh lamanya pencarian jalan keluar
dari masalahnya, Ayub menyebut teman-temannya sebagai ~k,(L.Ku lm'ä[' ymeÞx]n:m.
(“Penghibur sialan kamu semua”) Ayub 16:2,
d. dia berkata kepada teman-temannya ~k,(ytem)oWxïn>T; tazO÷©-yhit.W yti_Lm ' i [:Amv'â W[åm.vi
(“Dengarkanlah baik-baik perkataanku dan biarlah itu menjadi penghiburanmu”) Ayub
21:2; dan
e. dia mengeluh: lb,h'_ ynIWmåx]n:T. %yaewâ> (“Alangkah hampanya penghiburanmu bagiku”)
Ayub 21:34.
f. Namun pada akhirnya, Ayub sendiri mengungkapkan isi hatinya dan berkata:
rp,ae(w" rp"ï['-l[; (nifal) yTim.x;_nIw> sa;mä .a, !Keâ-l[; (“Untuk itu aku merasa diri hina dan
mengkonseling [menghibur] diriku sendiri dengan debu dan abu”) Ayub 42:6.14
Perasaan yang dicurahkan dalam kedukaan dan penyesalan (pasal 3) merupakan
wujud ‘konseling’ bagi diri sendiri.
Tradisi kebijaksanaan Israel pada masa akhir Perjanjian Lama mempresentasikan
pelayanan pendampingan pastoral yang berguna bagi masyarakat dalam
konteksnya. Semua argumentasi-argumentasi teologis, pengalaman-pengalaman
sejarah kehidupan dan meditasi-meditasi mempunyai fungsinya dalam kegunaan
kehidupan praksis.15

Karena merupakan sebuah traktat pastoral, kitab ini juga berguna bagi pelayanan
pastoral gereja masa kini. Kitab ini layak digumuli dalam situasi gereja Indonesia
saat ini, layak digunakan dalam pendampingan pastoral di rumah sakit, dalam
pelayanan kepada jemaat yang menghadapi kesulitan hidup, dll.

Kepustakaan
Cheney, M. 1994. Dust, Wind and Agony. Character, Speech and Genre in Job. CB 39;
Stockholm: Almquist & Wilsell.
Gitay, Z. 1995. “The Portrayal of Job’s Wife and her Representation in the Visual
Arts“. Fortunate the Eyes That See, A.B. Beck (Ed.); Grand Rapids: William B.
Eerdmans Press.
Han, J.H. 2006. “Hiob und sein Schmerz – Wie wenig wir wissen”. Artikel yang
disampaikan pada 4 Mei 2006 dalam Alttestamentliche Sozietät Universitas
Heidelberg.

14 Penerjemahan kepada ayat ini sangat kontroversial dan di kalangan para ahli sangat diperdebatkan.
15 Oeming & Drechsel, 2005:3.
Maier C. & Schroer, S. 1998. “Das Buch Ijob”. Kompendium feministischer
Bibelauslegung. L. Schottroff & M.-T. Wacker (Ed.). Gütersloh: Gütersloher
Verlagshaus Gerd Mohn.
O'Connor, D. “’Bless God and Die’ (Job 2:9): Euphemism or Irony?” PIBA 19
(1996):48-65.
Oeming, M. & Schmid, K. 2001. Hiobs Weg. Stationen von Menschen im Leid. BThSt 45;
Neukirchen-Vluyn: Neukirchener Verlag.
Oeming, M. & Drechsel, W. 2005. ”Der bittere Geschmack Gottes: Das Hiobbuch in
exegetischer und poimenischer Perspektive“. Artikel yang belum diterbitkan,
yang disampaikan pada Simposium Internasional ”Das Buch Hiob und seine
Interpretationen” di Monte Verità, Ascona, Swiss, 14-19 Agustus 2005.
Pezzoli-Olgiati, D. 2005. ”Leben – Tod, Unterwelt – Welt: Strategien der
Kontingenzbewältigung in Hiob 3“. Artikel yang belum diterbitkan, yang
disampaikan pada Simposium Internasional ”Das Buch Hiob und seine
Interpretationen” di Monte Verità, Ascona, Swiss, 14-19 Agustus 2005.
Schaller, B. ”Das Testament Hiobs und die Septuaginta des Buches Hiob“. Bib 61
(1980):377-406.
Simundson, D.J. 2001. The Message of Job: A Theological Commentary. AOTS; Lima:
Academic Renewal Press.
Strauß, H. “Theologische, form- und traditionsgeschichtliche Bemerkungen zur
Literargeschichte des (vorderen) Hiobrahmens. Hiob 1-2“. ZAW 113 (2001): 553-
565.

Agus Santoso, sejak 1994 dosen Perjanjian Lama Sekolah Tinggi Teologi Abdiel di
Ungaran. Studi S1 (S.Th.) pada STT Abdiel (1989-1994) dan studi Doktoral (April
2003 – Pebruari 2007) pada Universitas Heidelberg di bawah bimbingan Prof. Dr.
Manfred Oeming. Publikasi: Die Apokalyptik als jüdische Denkbewegung. Eine
literarkritische Untersuchung zum Buch Daniel, Marburg: Tectum Verlag, 2007.

Anda mungkin juga menyukai