Anda di halaman 1dari 6

APPENDICITIS

a. Definisi Appendicitis

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada appendix vermiformis atau umbai
cacing (Muttaqin dan Sari, 2011).
Istilah sakit usus buntu yang digunakan sehari-hari, sebenarnya suatu istilah yang
kurang tepat. Penyakit ini merujuk pada infeksi dan peradangan pada appendix yang nama
lainnya umbai cacing, bukan pada caecum yang merupakan usus buntu itu.

b. Anatomi Fisiologi Appendix


Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada caecum (bagian
awal dari colon). Secara anatomi appendix sering disebut juga dengan appendix vermiformis
atau umbai cacing
 Posisi appendix

Appendix vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex caecum,
tetapi seiring pertumbuhan dan distensi caecum. Posisi appendix terletak posteromedial
caecum. Appendix terletak pada kuadran kanan bawah rongga abdomen atau pada region
iliac dextra dan hipogastrium. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia libera, taenia
omentalis dan taenia mesocolica. Secara klinik appendix terletak pada daerah Mc. Burney
yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat.
 Ukuran dan isi appendix
Panjang appendix rata-rata 6 – 9 cm. Lebar 0,3 – 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan bersifat
basa mengandung amilase dan musin. Appendix menghasilkan lender 1-2 ml per hari. Lendir
itu normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan
aliran lender di muara appendix tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendix ialah IgA. Imunoglobulin itu
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendix
tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.

c. Etiologi Appendicitis

1. Faktor sumbatan

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang


diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid
sub mukosa, 35% karena stasis fekal (fekalith), 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1%
diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.

2. Faktor Bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.


Adanya fekalith dalam lumen appendix yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat
infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen appendix, pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli.
3. Kecenderungan familiar

Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari organ,
appendix yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi
apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama
dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi
lumen.

4. Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit
putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari Negara yang
pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih
telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang
yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko
apendisitis yang lebih tinggi.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi makanan


rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit apendisitis. Tinja yang
keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan
meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendix
dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis.

d. Patofisiologi Appendicitis

Appendicitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh


hiperplasia folikel, limfoid, fekalit ( suatu masa seperti batu yang berbentuk feses ). Obstruksi
tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan sehingga
makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan tekanan intra lumen. Tekanan yang meningkat tersebut
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi
mukosa. Pada saat inilah terjadi appendicitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.

Bila sekresi mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium setempat sehingga menimbulkan
nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan Apendicitis supuratif akut.

Kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang diikuti
dengan kematian jaringan sehingga terjadi gangren. Stadium ini disebut dengan appendicitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu dipecah, akan terjadi appendicitis perforasi.
Jika semua proses diatas berjalan lambat, momentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu masa local yang disebut infiltrat
appendikularis yang merupakan usaha pertahanan untuk membatasi peradangan. Peradangan
appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.

e. Gejala Appendicitis
1. Rasa nyeri umbilikus ( nyeri tumpul )

Beberapa jam kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dan mungkin
terdapat nyeri tekan disekitar titik Mc Burney. Rasa sakit semakin meningkat, sehingga pada
saat berjalan pun penderita akan merasakan sakit yang mengakibatkan badan akan
mengambil sikap membungkuk pada saat berjalan. Nyeri yang dirasakan tergantung juga
pada letak appendix, apakah di rongga panggul atau menempel di kandung kemih sehingga
frekuensi kencing menjadi meningkat. Nyeri perut juga akan dirasakan bertambah oleh
penderita bila bergerak, bernapas dalam, berjalan, batuk, dan mengejan. Nyeri saat batuk
dapat terjadi karena peningkatan tekanan intra-abdomen.

2. Muntah, mual, dan tidak ada nafsu makan.

Secara umum setiap radang yang terjadi pada sistem saluran cerna akan menyebabkan
perasaan mual sampai muntah. Meskipun pada kasus apendisitis ini, tidak ditemukan
mekanisme pasti mengapa dapat merangsang timbulnya muntah.

3. Demam ringan ( 37,5° C – 38,5° C ) dan terasa sangat lelah

Proses peradangan yang terjadi akan menyebabkan timbulnya demam, terutama jika
kausanya adalah bakteri. Inflamasi yang terjadi mengenai seluruh lapisan dinding appendix.
Demam ini muncul jika radang tidak segera mendapat pengobatan yang tepat.

4. Diare atau konstipasi


Peradangan pada appendix dapat merangsang peningkatan peristaltik dari usus
sehingga dapat menyebabkan diare. Infeksi dari bakteri akan dianggap sebagai benda asing
oleh mukosa usus sehingga secara otomatis usus akan berusaha mengeluarkan bakteri
tersebut melalui peningkatan peristaltik. Selain itu, apendisitis dapat juga terjadi karena
adanya feses yang keras ( fekolit ). Pada keadaan ini justru dapat terjadi konstipasi.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga dapat menyebabkan
terjadinya komplikasi yang lebih parah.

f. Pencegahan dan Penanganan Appendicitis

1. Konsumsi makanan yang kaya akan serat, seperti buah-buahan dan sayuran.
2. Minum air putih minimal 1,5 sampai 2 liter air (kira-kira 8 gelas) sehari dan cairan
lainnya setiap hari.
3. Olahraga, seperti jalan kaki (jogging) bisa dilakukan. Minimal 10-15 menit untuk
olahraga ringan, dan minimal 2 jam untuk olahraga yang lebih berat. Jogging
merupakan salah satu olahraga yang dapat meredakan dan mencegah sembelit.
4. Biasakan buang air besar secara teratur dan jangan suka menahan buang air besar.
Tidak perlu memaksa untuk buang air besar setiap hari bila tidak ada rangsangan
karena siklus pencernaan tiap orang berbeda-beda.
5. Tidur yang cukup minimal 4 jam sehari.

Penanganan dan pengobatan

Pada apendisitis akut dapat dilakukan tindakan Operasi Apendiktomi, pemotongan


apendiks. Jika apendiks mengalami perforasi, maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis
dan antibiotika. Bila terjadi abses apendiks maka terlebih dahulu diobati dengan antibiotika
IV, massanya mungkin mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka
waktu beberapa hari.
DAFTAR PUSTAKA

Gibson, John. 2002. Fisiologi dan Anatomi Modern Keperawatan. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 201 1. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta : Salemba

Medika

Wibowo, Daniel S. 2001. Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta : Grasindo

http://debbynp08.blogspot.co.id/2011/11/patofisiologi-apendisitis.html (Diakses pada

September 2015 pukul 14.00 WIB)

Anda mungkin juga menyukai