Anda di halaman 1dari 16

Belut merupakan binatang air yang digolongkan dalam kelompok ikan.

Berbeda dengan kebanyakan jenis ikan lainnya, belut bisa hidup


dalam lumpur dengan sedikit air. Binatang ini mempunyai dua sistem
pernapasan yang bisa membuatnya bertahan dalam kondisi tersebut.
Jenis belut yang paling banyak dikenal di Indonesia adalah belut
sawah (Monopterus albus). Di beberapa tempat dikenal juga belut
rawa (Synbranchus bengalensis). Perbedaan belut sawah dan belut
rawa yang paling mencolok adalah postur tubuhnya. Belut sawah
tubuhnya pendek dan gemuk, sedangkan belut rawa lebih panjang
dan ramping.
Terdapat dua segmen usaha budidaya belut yaitu pembibitan dan
pembesaran. Pembibitan bertujuan untuk menghasilkan anakan.
Sedangkan pembesaran bertujuan untuk menghasilkan belut hingga
ukuran siap konsumsi.
Kali ini alamtani akan menguraikan tentang budidaya pembesaran
belut di kolam tembok. Mulai dari pemilihan bibit hingga pemanenan.
Semoga bermanfaat.
Memilih bibit belut
Bibit untuk budidaya belut bisa didapatkan dari hasil tangkapan atau
hasil budidaya. Keduanya memiliki kekurangan dan keunggulan
masing-masing.
Bibit hasil tangkapan memiliki beberapa kekurangan, seperti ukuran
yang tidak seragam dan adanya kemungkinan trauma karena metode
penangkapan. Kelebihan bibit hasil tangkapan adalah rasanya lebih
gurih sehingga harga jualnya lebih baik.
Kekurangan bibit hasil budidaya harga jualnya biasanya lebih rendah
dari belut tangkapan. Sedangkan kelebihannya ukuran bibit lebih
seragam, bisa tersedia dalam jumlah banyak, dan kontinuitasnya
terjamin. Selain itu, bibit hasil budidaya memiliki daya tumbuh yang
relatif sama karena biasanya berasal dari induk yang seragam.
Bibit belut hasil budidaya diperoleh dengan cara memijahkan belut
jantan dengan betina secara alami. Sejauh ini di Indonesia belum ada
pemijahan buatan (seperti suntik hormon) untuk belut. Untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai pembibitan, silahkan baca kiat
sukses pembibitan belut.
Bibit yang baik untuk budidaya belut hendaknya memiliki kriteria
berikut:
 Ukurannya seragam. Ukuran bibit yang seragam dimaksudkan untuk
memudahkan pemeliharaan dan menekan risiko kanibalisme atau
saling memangsa.
 Gerakannya aktif dan lincah, tidak loyo.
 Tidak cacat atau luka secara fisik.
 Bebas dari penyakit.
Budidaya belut untuk segmen pembesaran biasanya menggunakan
bibit belut berukuran panjang 10-12 cm. Bibit sebesar ini memerlukan
waktu pemeliharaan sekitar 3-4 bulan, hingga siap konsumsi. Untuk
pasar ekspor yang menghendaki ukuran lebih besar, waktu
pemeliharaan bisa mencapai 6 bulan.
Menyiapkan kolam budidaya belut
Budidaya belut bisa dilakukan dalam kolam permanen maupun semi
permanen. Kolam permanen yang sering dipakai antara lain kolam
tanah, sawah, dan kolam tembok. Sedangkan kolam semi permanen
antara lain kolam terpal, drum, tong, kontainer plastik dan jaring.
Kali ini kita akan membahas budidya belut di kola tembok. Kolam
tembok relatif lebih kuat, umur ekonomisnya bisa bertahan hingga 5
tahun.
Bentuk dan luas kolam tembok bisa dibuat berbagai macam,
disesuaikan dengan keadaan ruang dan kebutuhan. Ketinggian kolam
berkisar 1-1,25 meter. Lubang pengeluaran dibuat dengan pipa yang
agak besar untuk memudahkan penggantian media tumbuh.
Untuk kolam tembok yang masih baru, sebaiknya dikeringkan terlebih
dahulu selama beberapa minggu. Kemudian direndam dengan air dan
tambahkan daun pisang, sabut kelapa, atau pelepah pisang. Lakukan
pencucian minimal tiga kali atau sampai bau semennya hilang.
Media tumbuh untuk budidaya belut
Di alam bebas belut sering dijumpai dalam perairan berlumpur.
Lumpur merupakan tempat perlindungan bagi belut. Dalam kolam
budidaya pun, belut membutuhkan media tumbuh berupa lumpur.
Beberapa material yang bisa dijadikan bahan membuat lumpur/media
tumbuh antara lain, lumpur sawah, kompos, humus, pupuk kandang,
sekam padi, jerami padi, pelepah pisang, dedak, tanaman air, dan
mikroba dekomposer.
Komposisi material organik dalam media tumbuh budidaya belut tidak
ada patokannya. Sangat tergantung dengan kebiasaan dan
pengalaman. Pembudidaya bisa meramu sendiri media tumbuh dari
bahan-bahan yang mudah didapatkan.
Berikut ini salah satu alternatif langkah-langkah membuat media
tumbuh untuk budididaya belut:
 Bersihkan dan keringkan kolam. Kemudian letakkan jerami padi yang
telah dirajang pada dasar kolam setebal kurang lebih 20 cm.
 Letakkan pelepah pisang yang telah dirajang setebal 6 cm, di atas
lapisan jerami.
 Tambahkan campuran pupuk kandang (kotoran kerbau atau sapi),
kompos atau tanah humus setebal 20-25 cm, di atas pelepah pisang.
Pupuk organik berguna untuk memicu pertumbuhan biota yang bisa
menjadi penyedia makanan alami bagi belut.
 Siram lapisan media tumbuh tersebut dengan cairan bioaktivator atau
mikroba dekomposer, misalnya larutan EM4.
 Timbun dengan lumpur sawah atau rawa setebal 10-15 cm. Biarkan
media tumbuh selama 1-2 minggu agar terfermentasi sempurna.
 Alirkan air bersih selama 3-4 hari pada media tumbuh yang telah
terfermentasi tersebut untuk membersihkan racun. Setel besar debit
air, jangan terlalu deras agar tidak erosi.
 Langkah terakhir, genangi media tumbuh tersebut dengan air bersih.
Kedalaman air 5 cm dari permukaan. Pada kolam tersebut bisa
diberikan tanaman air seperti eceng gondok. Jangan terlalu padat.
 Dari proses di atas didapatkan lapisan media tumbuh/lumpur setebal
kurang lebih 60 cm. Setelah semuanya selesai, bibit belut siap untuk
ditebar.
Catatan: Dengan metode lain, budidaya belut bisa dipelihara dalam
air bersih tanpa menggunakan lumpur.
Penebaran bibit dan pengaturan air
Belut merupakan hewan yang bisa dibudidayakan dengan kepadatan
tinggi. Kepadatan tebar untuk bibit belut berukuran panjang 10-12 cm
berkisar 50-100 ekor/m2.
Lakukan penebaran bibit pada pagi atau sore hari, agar belut tidak
stres. Bibit yang berasal dari tangkapan alam sebaiknya dikarantina
terlebih dahulu selama 1-2 hari. Proses karantina dilakukan dengan
meletakkan bibit dalam air bersih yang mengalir. Berikan pakan
berupa kocokan telur selama dalam proses karantina.
Aturlah sirkulasi air dengan seksama. Jangan terlalu deras (air seperti
genangan sawah) yang penting terjadi sirkulasi air. Atur juga
kedalaman air, hal ini berpengaruh pada postur tubuh belut. Air yang
terlalu dalam akan membuat belut banyak bergerak untuk mengambil
oksigen dari permukaan, sehingga belut akan lebih kurus.
Pemberian pakan
Belut merupakan hewan yang rakus. Keterlambatan dalam
memberikan pakan bisa berakibat fatal. Terutama pada belut yang
baru ditebar.
Takaran pakan harus disesuaikan dengan berat populasi belut.
Secara umum belut membutuhkan jumlah pakan sebanyak 5-20% dari
bobot tubuhnya setiap hari.
Berikut kebutuhan pakan harian untuk bobot populasi belut 10 kg:
 Umur 0-1 bulan: 0,5 kg
 Umur 1-2 bulan: 1 kg
 Umur 2-3 bulan: 1,5 kg
 Umur 3-4 bulan: 2 kg
Pakan budidaya belut bisa berupa pakan hidup atau pakan mati.
Pakan hidup bagi belut yang masih kecil (larva) antara lain
zooplankton, cacing, kutu air (daphnia/moina), cacing, kecebong,
larva ikan, dan larva serangga. Sedangkan belut yang telah dewasa
bisa diberi makanan berupa ikan, katak, serangga, kepiting yuyu,
bekicot, belatung, dan keong. Frekuensi pemberian pakan hidup
dapat dilakukan 3 hari sekali.
Untuk pakan mati bisa diberikan bangkai ayam, cincangan bekicot,
ikan rucah, cincangan kepiting yuyu, atau pelet. Pakan mati untuk
budidaya belut sebaiknya diberikan setelah direbus terlebih dahulu.
Frekuensi pemberian pakan mati bisa 1-2 kali setiap hari.
Karena belut binatang nokturnal, pemberian pakan akan lebih efektif
pada sore atau malam hari. Kecuali pada tempat budidaya yang
ternaungi, pemberian pakan bisa dilakukan sepanjang hari.
Pemanenan
Tidak ada patokan seberapa besar ukuran belut dikatakan siap
konsumsi. Tapi secara umum pasar domestik biasanya menghendaki
belut berukuran lebih kecil, sedangkan pasar ekspor menghendaki
ukuran yang lebih besar. Untuk pasar domestik, lama pemeliharaan
pembesaran berkisar 3-4 bulan, sedangkan untuk pasar ekspor 3-6
bulan, bahkan bisa lebih, terhitung sejak bibit ditebar.
Terdapat dua cara memanen budidaya belut, panen sebagian dan
panen total. Panen sebagian dilakukan dengan cara memanen semua
populasi belut, kemudian belut yang masih kecil dipisahkan untuk
dipelihara kembali.
Sedangkan pemanenan total biasanya dilakukan pada budidaya belut
intensif, dimana pemberian pakan dan metode budidaya dilakukan
secara cermat. Sehingga belut yang dihasilkan memiliki ukuran yang
lebih seragam.

Penduan Lengkap Cara Memijahkan atau Pemijahan Belut Bagi Pemula


Agar Sukses – Belut merupakan binatang air yang digolongkan dalam kelompok
ikan. Tapi berbeda dengan jenis ikan lain, belut dapat hidup dalam lumpur
dengan sedikit air karena belut memiliki dua sistem pernapasan.

Jenis belut yang paling banyak dikenal di Indonesia adalah belut sawah atau
Monopterus albus dan juga belut rawa atau Synbranchus bengalensis.
Perbedaan belut sawah antara belut rawa yang paling mencolok adalah belut
sawah memiliki tubuh yang pendek dan gemuk, sedangkan belut rawa memiliki
tubuh yang lebih panjang dan ramping.

Terdapat 2 segmen dalam usaha budidaya belut yaitu pembibitan dan


pembesaran. Pembibitan memiliki tujuan untuk menghasilkan anakan,
sedangkan pembesaran memiliki tujuan untuk menghasilkan belut ukuran siap
konsumsi. Nah, kali ini kita akan membahas tentang cara memijahkan belut,
berikut selengkapnya:

Daftar Isi
 Cara Memijahkan Belut
o Pemilihan Indukan Belut
o Persiapan Kolam Pembenihan Belut
o Cara Pemijahan Belut
o Pemeliharaan Larva Belut
o Related posts:

Cara Memijahkan Belut


Pemijahan belut bisa dilakukan di kolam buatan, namun tetap dengan cara alami
yaitu mengondisikan kolam seperti habitat aslinya.

Pemilihan Indukan Belut

Indukan yang digunakan untuk pemijahan sebaiknya memiliki kualitas yang baik.
Ciri-ciri indukan belut yang baik yaitu:

 Berumur 3-5 bulan


 Lincah dan gesit
 Kulit mulus tidak ada luka
 Berpostur keras

Cara membedakan belut jantan dan betina dapat dilihat dari ciri-ciri mereka. Ciri-
ciri belut jantan dan betina, yaitu:
Belut betina memiliki kepala runcing, panjang tubuh kurang dari 30 cm, ekor
lancip dan umur tidak sampai 7 bulan. Selain itu, ukuran tubuhnya agak gempal
dibanding dengan belut jantan.

Sedangkan, belut jantan memiliki kepala tumpul, panjang tubuhnya lebih dari 30
cm, ekor kurang lancip dan umur lebih dari 7 bulan serta bentuk tubuhnya lebih
ramping dibanding dengan betina.

Persiapan Kolam Pembenihan Belut

a. Kolam Pemijahan
Kolam ini dibuat mirip dengan habitat alaminya yaitu terdapat lumpur sebagai
tempat belut memijah dengan luas 1 m². Kolam yang digunakan dapat berupa
kolam tembok.

Pada bagian dasar kolam diberi jerami setebal 20 cm, lalu cacahan gedebok
pisang setebal 6 cm dan juga pupuk kompos setebal 20-25 cm. Selanjutnya
tambahkan lumpur sawah atau lumpur rawa setebal 10-15 cm. Kemudian beri air
sedalam 5 cm dan tambahkan eceng gondok.

b. Kolam Pendederan
Kolam ini digunakan untuk memelihara larva belut hasil pemijahan. Kolam ini
dapat berupa kolam tembok dan air mengalir dengan kedalaman air cukup 5 cm.

c. Kolam Pembesaran
Kolam pembesaran dibuat sama dengan kolam indukan, pemijahan dan juga
pendederan. Hanya saja padat tebarnya berbeda. Padat tebar belut disetiap
kolam yaitu:

 Indukan 6 ekor/m²
 Pemijahan 3 ekor/m²
 Pendederan 500 ekor/m²
 Pembesaran 50-100 ekor/m²

Cara Pemijahan Belut

Proses pemijahan dilakukan dalam kolam seluas 1 m². Dalam kolam diisi 2 belut
betina dan 1 belut jantan. Berikut cara selengkapnya:

Masukkan indukan ke dalam kolam, lalu jaga kualitas air dan ketersediaan
pakan. Jangan lupa, berikan kakaban di permukaan kolam. Belut tidak diketahui
kapan kawin, jika pemijahan telah dilakukan maka ada tanda berupa busa putih
di permukaan air.

Apabila sampai 1 minggu tidak ada busa putih, ganti pasangan indukan. Setelah
muncul busa putih, maka dalam kurun waktu 5 hari telur akan menetas menjadi
larva. Segera Ambil larva dan masukkan ke dalam kolam pendederan.

Pemeliharaan Larva Belut

Pemeliharaan larva belut dilakukan pada kolam pendederan. Larva belut masih
sangat kanibal dan berbahaya jika asupan pakan tidak terpenuhi. Maka,
pemberian pakan tepat waktu. Pemberian pakan tersebut sedikit tapi dalam
frekuensi lebih banyak yaitu sekitar 5-7 kali sehari.

Pakan yang diberikan untuk larva berumur 1-3 hari yaitu kuning telur yang telah
direbus. Sedangkan pakan yang diberikan untuk larva yang berumur 4-30 haru
yaitu cacing sutra dan setelah berumur 1 bulan keatas dipindahkan ke kolam
pembesaran diberi pakan berupa cacing tanah.

Demikian artikel tentang”Penduan Lengkap Cara Memijahkan atau Pemijahan


Belut Bagi Pemula Agar Sukses“, semoga bermanfaat dan jangan lupa ikuti
postingan kami berikutnya. Sampai jumpa

UPAYA PEMIJAHAN IKAN BELUT SAWAH (Monopterus albus) AHMAD FATTAYA SKRIPSI sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan
Manajemen Perikanan Budidaya Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU
KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

6 SKRIPSI Judul : Upaya Pemijahan Ikan Belut Sawah (Monopterus albus) Nama Mahasiswa : Ahmad
Fattaya Nomor Pokok : C Disetujui Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc Ir.Dadang
Shafruddin, M.Si NIP NIP Diketahui Ketua Departemen Budidaya Perairan Dr. Ir. Sukenda, M.Sc NIP
Tanggal Lulus :...

7 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas
selesainya skripsi ini yang berjudul Upaya Pemijahan Ikan Belut Sawah (Monopterus albus) berhasil
diselesaikan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari - Juli 2012 bertempat di Kolam Percobaan
Babakan dan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor serta di RT 02/05, Desa
Cibanteng Proyek. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak,
penulisan skripsi ini tidak akan berjalan baik dan dapat diselesaikan maka dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc dan Ir. Dadang Shafruddin, M.Si selaku
dosen pembimbing skripsi atas ilmu yang telah diberikan, saran, bimbingan, dan nasihatnya serta terima
kasih kepada Yuni Puji H, S.Pi, M.Si sebagai dosen penguji dan Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Sc sebagai
perwakilan dari Ketua Program Studi yang telah memberikan saran dan bimbingannya. Terima kasih
diucapkan pula kepada kedua orang tua, Kamiludin Atori dan Entin Surtini serta abang Reka Pratama
atas dukungan, doa, kasih sayang, dukungan moril maupun materil selama ini. Tidak lupa juga terima
kasih kepada orang yang saya sayangi atas dukungan serta doanya, seluruh dosen serta staf
Departemen Budidaya Perairan atas ilmu yang telah diberikan, bimbingan, dukungan serta bantuannya
selama saya kuliah, rekan-rekan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik dan
mahasiswa S2/S3 Ilmu Akuakultur serta teman-teman BDP 45 (2008) atas bantuan selama penelitian
berlangsung, dukungan dan persahabatan selama ini, serta semua pihak yang telah membantu ataupun
mendukung baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penulisan ini. Semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan
oleh banyak pihak, berguna bagi kesejahteraan masyarakat dan sesuai dengan yang diharapkan serta
mendapatkan ridho Allah SWT. Bogor, Oktober 2012 Ahmad Fattaya

8 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Ahmad Fattaya, dilahirkan di Jakarta pada 2 Mei
1990, merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Kamiludin Atori dan Entin Surtini.
Pendidikan penulis diawali di TK Kicau Bintaro Jaya ( ), dilanjutkan di SD Negeri 04 Bintaro ( ), SMP
Negeri 177 Jakarta ( ). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 90 Jakarta ( ). Pada
tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor program studi Teknologi dan
Manajemen Perikanan Budidaya melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI). Selama kuliah penulis
pernah menjadi Ketua Panitia Masa Perkenalan Departemen (MPD) Budidaya Perairan pada tahun 2010,
anggota divisi Publikasi, Dokumentasi, dan Dekorasi di Himpunan Mahasiswa Akuakultur periode
2010/2011. Penulis pernah lolos dan menjadi tim PKM tahun 2011 serta mendapatkan Pinjaman Dana
Wirausaha Mandiri tahun 2011 serta Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) tahun Selain itu penulis
menerima Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) selama periode Penulis juga pernah menjadi
asisten praktikum Dasar-Dasar Genetika Ikan pada tahun 2011, Industri Perbenihan Organisme Akuatik
2012, dan Fisiologi Reproduksi Organisme Akuatik Penulis pernah mendapatkan kesempatan untuk
menghadiri dan mengikuti konferensi mengenai perikanan di Inggris pada Mei 2012 dengan judul
kegiatan Aquaculture UK 2012 serta menghadiri dan mengikuti konferensi mengenai pengemasan bahan
pangan di Thailand pada Juni 2012 dengan judul kegiatan PROPAK ASIA Penulis pernah melaksanakan
praktik kerja lapangan di Mahameru Cahaya Internasional (MCI) Fish Farm pada bulan Juli - Agustus
2011 dengan judul Pembesaran Ikan Diskus (Symphysodon sp.). Tugas akhir sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Budidaya Perairan, FPIK IPB, penulis
melakukan penelitian yang berjudul Upaya Pemijahan Ikan Belut Sawah (Monopterus albus).

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...ix DAFTAR GAMBAR....x DAFTAR LAMPIRAN xi I.


PENDAHULUAN...1 II. METODOLOGI Prosedur Pelaksaan Penentuan Betina dan Jantan Identifikasi
Kematangan Gonad Upaya Pemijahan Alami Upaya Pemijahan dengan Perangsangan Hormon
Parameter Pengamatan...7 III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Jenis Kelamin Belut Kematangan
Gonad Pemijahan Alami Pemijahan dengan Perangsangan Hormon Pembahasan...11 IV.
KESIMPULAN...17 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN...20 viii

10 DAFTAR TABEL Halaman 1. Ciri-ciri tingkat kematangan gonad belut betina dan ikan jantan secara
umum Kondisi bak pemijahan alami belut Identifikasi jenis kelamin belut berdasarkan rentang ukuran
panjang Sebaran tingkat kematangan gonad belut Jumlah lubang belut dan kisaran suhu serta ph selama
pemeliharaan pada bak pemijahan alami Hasil pemanenan belut pada seluruh bak pemijahan alami Hasil
penyuntikan induk belut betina matang gonad menggunakan ovaprim...11 ix

11 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tata letak bak pemijahan alami belut Penampang melintang bak
pemijahan alami belut Kondisi bak pemijahan alami belut Gonad belut secara mikroskopis Gonad belut
secara makroskopis Lubang persembunyian belut selama pemeliharaan di bak pemijahan alami
Perbandingan beberapa induk belut betina dengan seluruh benih hasil pemanenan pada bak ke x

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Tahapan pemeriksaan gonad metode asetokarmin Data hasil
identifikasi gonad belut sawah (Monopterus albus) Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak
Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak
Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak Benih belut hasil pemanenan pada bak Dokumentasi
kegiatan penelitian belut sawah (Monopterus albus)...26 xi

13 I. PENDAHULUAN Terdapat tiga jenis belut di dunia, yaitu belut rawa (Synbranchus bengalensis),
belut sawah (Monopterus albus) dan belut kali/laut (Macrotema caligans Cant). Namun, jenis belut yang
sering dijumpai di pasar Indonesia adalah jenis belut sawah (Prihatman 2000). Belut sawah adalah ikan
asli wilayah Asia yang tersebar luas di berbagai negara seperti India, China, Jepang, Malaysia,
Indonesia, Bangladesh (Guan et al. 1996) Thailand dan Vietnam (Khanh dan Ngan 2010). Penyebaran
belut sawah di Indonesia meliputi daerah Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, NTT, dan NTB. Belut
sawah memiliki bentuk tubuh silinder dengan badan tanpa sisik dengan bagian kulitnya yang licin. Hidung
belut tumpul membundar dengan bentuk mulut bagian atas melebihi bagian bawah dan sirip dada serta
perut tereduksi menjadi lipatan kulit yang bersatu dengan sirip punggung, ekor, dan anal (Kottelat et al.
1993). Belut sawah adalah komoditas air tawar yang permintaannya terus meningkat untuk ukuran
konsumsi dengan size untuk pasar lokal dan size 10-5 untuk diekspor. Pasar dalam negeri seperti
Jakarta membutuhkan 20 ton belut per hari sedangkan Yogyakarta 30 ton belut per hari, Pekalongan 100
kg belut per hari serta wilayah Pati membutuhkan 50 kg belut per hari dan menurut Data Departemen
Kelautan dan Perikanan tahun 2007 ekspor belut mencapai ton dalam bentuk beku, segar, dan hidup.
Volume ekspor meningkat menjadi ton pada tahun 2008 dan periode Januari - Juni 2009 jumlah belut
yang diekspor mencapai ton. Negara tujuan ekspor komoditas belut di antaranya adalah Hongkong,
China, Jepang, Taiwan, Singapura, Korea dan Thailand. Total permintaan dunia terhadap belut beku atau
dingin yaitu sebesar 230 ribu ton per tahun dan Indonesia hanya mampu memasok 2,2% sedangkan
untuk belut hidup sekitar 7,1% (Warta Pasar Ikan 2010). Kegiatan budidaya semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya permintaan akan kebutuhan belut. Pembudidaya belut di Indonesia selama ini
hanya mengandalkan benih hasil dari tangkapan alam untuk dibesarkan sehingga belut untuk ukuran
konsumsi secara kuantitas dan kualitasnya tidak mencukupi serta kontinyuitasnya tidak terjamin. Solusi
yang dapat dilakukan yaitu 1

14 mengupayakan pemijahan belut secara terkontrol atau menghasilkan benih hasil pemijahan bukan
dari alam. Namun, pemijahan belut belum dapat dilakukan karena masih adanya permasalahan yang
dihadapi, antara lain studi mengenai belut yang masih sedikit khususnya di Indonesia sehingga informasi
mengenai reproduksi dan seksualitasnya belum jelas. Selain itu, belut juga diidentifikasi sebagai hewan
air yang tergolong hermaprodit yaitu di dalam tubuhnya memiliki jaringan ovarium maupun jaringan testis
(Wahyuningsih dan Barus 2006). Oleh karena itu, penelitian mengenai upaya pemijahan belut sawah
secara terkontrol perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari cara memijahkan ikan belut
sawah (Monopterus albus) secara terkontrol. 2
15 II. METODOLOGI 2.1 Prosedur Pelaksanaan Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut
sawah (Monopterus albus) yang diperoleh dari pengumpul ikan di wilayah Dramaga. Kegiatan penelitian
terdiri atas penentuan betina dan jantan, identifikasi kematangan gonad, upaya pemijahan secara alami,
dan upaya pemijahan dengan perangsangan hormon. Data yang didapat dalam penelitian ini dibahas
secara deskriptif Penentuan Betina dan Jantan Penentuan betina dan jantan menggunakan 60 ekor belut
dengan 4 rentang ukuran panjang yang berbeda. Ukuran panjang 20,5-30 cm, 30,5-40 cm, 40,5-50 cm,
dan 50,5-60 cm yang masing-masing berjumlah 15 ekor untuk dibedah serta dilihat perbedaan jenis
kelamin betina atau jantan secara makroskopis dan mikroskopis (metode asetokarmin). Setiap individu
belut dengan rentang ukuran berbeda diambil dan dibius menggunakan es batu sebanyak 2 kg di dalam
styrofoam selama 5 menit. Setelah terbius, belut diberi penanda pada bagian tubuhnya dan
didokumentasikan. Setiap individu belut ditimbang bobot dan diukur lingkar perutnya lalu belut tersebut
dibedah dan diamati gonadnya secara makroskopis. Selanjutnya gonad tersebut diambil dan ditaruh di
atas slide glass, dicacah sampai halus, ditetesi larutan asetokarmin kemudian dilihat di bawah mikroskop.
Tahapan metode asetokarmin dapat dilihat pada Lampiran Identifikasi Kematangan Gonad Belut
diidentifikasi kematangan gonadnya untuk mengetahui belut yang siap memijah atau matang gonad saat
melakukan pemilihan induk yang digunakan dalam upaya pemijahan alami maupun dengan
perangsangan hormon. Setiap belut yang sudah diketahui jenis kelaminnya baik betina atau jantan
diklasifikasikan berdasarkan tingkat kematangan gonad ovari atau testisnya. Individu belut pada tingkat
kematangan gonad IV untuk jantan dan betina diamati ciri-ciri morfologinya terutama pada bagian ekor,
perut, dan kelamin (genital/urogenital). Penentuan tingkat kematangan gonad belut betina dan jantan
didasarkan pada Tabel 1 berikut ini. 3

16 Tabel 1 Ciri-ciri tingkat kematangan gonad belut betina dan ikan jantan secara umum. TKG Belut
betina * Ikan jantan secara umum ** I II III IV V Butiran telur tidak dapat dilihat secara visual, proporsi
telur lebih besar daripada proporsi jantan. Secara visual telur sudah terlihat. Telur yang terlihat berukuran
sangat kecil, proporsi telur sekitar % dari isi gonad. Telur terlihat sangat jelas, butiranbutiran telur
berukuran besar, antara butiran telur masih rekat sehingga sukar dipisahkan. Proporsi telur sekitar 95%
dari isi gonad. Telur terlihat sangat jelas, butiranbutiran telur berukuran besar, antara butiran telur sulit
terpisah. Gonad hampir seluruhnya berisi telur dengan proporsi sperma sangat sedikit. Testis seperti
benang lebih pendek dan terlihat ujungnya di rongga tubuh, serta berwarna jernih. Ukuran testis lebih
besar, pewarnaan putih seperti susu, bentuk lebih jelas dari tingkat I. Permukaan testis tampak bergerigi,
warna makin putih, testis makin besar, dalam keadaan diawetkan mudah putus. Seperti pada tingkat III
tetapi lebih jelas, testis pejal. - Testis bagian belakang kempis, dan di bagian belakang pelepasan masih
berisi. keterangan: * Bahri (2000), ** Effendie dan Sjafei (1977) dalam Bahri (2000) Upaya Pemijahan
Alami Upaya pemijahan alami menggunakan 4 buah bak yang terbuat dari terpal dan bambu. Air yang
digunakan adalah air sungai yang telah ditampung pada bak semen berukuran 1 x 1 x 0,5 m, selanjutnya
air disalurkan menggunakan pipa ke bak 1 dan bak ke 2 sejauh 20 m, dan disalurkan pula ke bak ke 3
dan ke 4 melalui bak penampungan air (Gambar 1). Bak 1 (2,7 x 2,7 x 0,8 m) 20 m 10 m Bak 2 (2,7 x 2,7
x 0,8 m) Bak 4 Bak (2,5 x 2,5 x 0,8 m) penampungan air (3 x 1,5 x 0,5 m) Bak 3 (2,5 x 2,5 x 0,8 m)
keterangan: inlet outlet Gambar 1 Tata letak bak pemijahan alami belut. 4

17 Seluruh bak diisi dengan lumpur setinggi 30 cm dari dasar bak dan dibuatkan pematang dengan
menambahkan lumpur setinggi 20 cm dari permukaan lumpur. Kemudian bak diisi air setinggi 5 cm dari
permukaan lumpur, diganti setelah 24 jam lalu diisi kembali dan didiamkan selama 1 minggu (Gambar 2).
5 cm 20 cm keterangan: inlet Lumpur 30 cm outlet pematang Gambar 2 Penampang melintang bak
pemijahan alami belut. Pada setiap bak pemijahan ditebar induk belut jantan dan betina yang matang
gonad dengan rasio berbeda, yaitu 1:2, 1:3, 1:4, dan 1:5 dengan kepadatan rata-rata 3 ekor/m 2. Pakan
yang diberikan selama pemeliharaan berupa pakan hidup ikan seribu (Lebistes sp.) secara ad libitum.
Kisaran panjang belut matang gonad yang ditebar pada bak untuk induk betina memiliki kisaran panjang
cm sedangkan induk jantan >50 cm. Pengecekan suhu, ph air, dan pengamatan permukaan air pada bak
pemijahan untuk mengganti belut yang mati dilakukan setiap hari selama pemeliharaan. Selain itu,
pengamatan lubang pada pematang untuk mengetahui adanya busa sebagai ciri-ciri belut memijah
dilakukan pula setiap harinya. Kondisi bak pemijahan alami belut dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar
3 di bawah ini. Tabel 2 Kondisi bak pemijahan alami belut. Parameter Bak Jumlah belut yang ditebar
(ekor) Kisaran ukuran panjang induk belut betina (cm) Kisaran ukuran panjang induk belut jantan (cm)
Rasio jantan:betina 1:2 1:3 1:4 1:5 Ukuran bak (m) 2,7 x 2,7 x 0,8 2,5 x 2,5 x 0,8 2,5 x 2,5 x 0,8 2,7 x 2,7
x 0,8 Pengisian lumpur dalam bak (m) 2,7 x 2,7 x 0,3 2,7 x 2,7 x 0,3 2,7 x 2,7 x 0,3 2,7 x 2,7 x 0,3
Kepadatan (ekor/m 2 )

18 Bak 1 Bak 2 Bak 3 Bak 4 Gambar 3 Kondisi bak pemijahan alami belut. Pematang dibongkar secara
perlahan setelah pemeliharaan 1,5 bulan untuk memeriksa dan mengamati kemungkinan adanya sarang
yang dibuat belut untuk menyimpan telur serta mengamati bentuk lubang yang dibuat oleh belut. Seluruh
bak dipanen setelah 2 bulan pemeliharaan untuk pengecekan ada atau tidaknya benih belut hasil
pemijahan. Induk betina dan jantan yang didapat dihitung jumlahnya lalu benih yang didapatkan diukur
panjang, bobot, dan lingkar perutnya serta dihitung jumlahnya, selanjutnya seluruh belut dipindahkan ke
akuarium Upaya Pemijahan dengan Perangsangan Hormon Pemijahan dengan perangsangan hormon
dilakukan dengan menggunakan 4 ekor induk betina yang matang gonad di antara induk-induk yang telah
digunakan pada pemijahan alami. Akuarium yang digunakan sebanyak 4 buah dengan ukuran 40 x 20 x
30 cm yang sebelumnya telah diberi aerasi dan diisi lumpur setinggi 15 cm serta diisi air setinggi 5 cm.
Belut kemudian dibius menggunakan minyak cengkeh sebanyak 1 ppt selama 10 menit dalam wadah
akuarium berukuran 30 x 20 x 30 cm. Selanjutnya masing-masing belut ditimbang bobotnya untuk
menentukan dosis ovaprim yang diperlukan. Dosis ovaprim yang digunakan adalah 0,5 ml/kg dan 0,7
ml/kg bobot induk sebanyak 2 kali ulangan. Setiap belut disuntik menggunakan ovaprim yang telah
diencerkan menggunakan 6

19 akuabides dengan perbandingan 1:2. Kemudian belut disuntik satu persatu pada bagian intramuscular
dan ditempatkan pada akuarium yang berbeda. Pengamatan keberhasilan ovulasi, penimbangan bobot
belut serta percobaan stripping dilakukan pada jam ke 8, 16, 20, dan 24 setelah penyuntikan. Selain itu,
dilakukan pula pengukuran suhu air pada jam tersebut. 2.2 Parameter Pengamatan Parameter yang
diamati pada penelitian ini yaitu jenis kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), keberhasilan pemijahan,
dan keberhasilan ovulasi. 7

20 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit
protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut
berada pada fase seksualitas betina karena pada gonadnya menghasilkan oosit. Belut dengan ukuran
panjang antara 40,5-50 cm sudah memasuki fase interseks karena ditemukan ovari dan testis di dalam
tubuhnya. Belut dengan ukuran panjang lebih dari 50,5 cm sudah masuk fase seksualitas jantan karena
pada gonadnya menghasilkan spermatosit. Data hasil identifikasi 60 sampel belut dari pembedahan yang
telah dilakukan dapat dilihat secara rinci pada Lampiran 2. Tabel 3 Identifikasi jenis kelamin belut
berdasarkan rentang ukuran panjang. Seksualitas Panjang (cm) 20, , , ,5-60 Betina Interseks Jantan
Pada Gambar 4 dan Gambar 5 berikut ini adalah hasil pengamatan gonad belut secara mikroskopis dan
makroskopis. Betina Interseks Jantan Gambar 4 Gonad belut secara mikroskopis. Betina Jantan Gambar
5 Gonad belut secara makroskopis Kematangan Gonad Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa belut memiliki
keragaman tingkat kematangan gonadnya. Morfologi belut yang matang gonad (TKG IV) memiliki 8

21 ciri-ciri umum yaitu pada betina memiliki genital berwarna merah, 1/3 perut bagian belakang ke arah
genital terlihat penuh terisi telur dan bagian perut berwarna kuning kemerahan sedangkan pada jantan
yaitu urogenital berwarna merah dan bagian perut berwarna coklat ke abu-abuan. Namun, ciri-ciri pada
belut jantan dan betina tidak lengkap ditemukan pada seluruh sampel belut yang memiliki TKG IV (12
sampel betina dan 3 sampel jantan). Rincian hasil penentuan tingkat kematangan gonad belut dapat
dilihat pada Lampiran 2. Tabel 4 Sebaran tingkat kematangan gonad belut. TKG Betina Seksualitas
Jantan Interseks TKG I TKG II TKG III TKG IV Interseks Pemijahan Alami Pengamatan lubang dilakukan
setelah 1,5 bulan pemeliharaan hasilnya yaitu lubang belut yang digunakan sebagai tempat perlindungan
dan pemijahan secara umum memiliki bentuk bulat seperti terowongan mengarah vertikal ke arah bawah
kemudian mendatar. Namun, sarang penyimpanan telur maupun ciri-ciri adanya pemijahan dengan
ditandai busa di sekeliling lubang tidak terlihat pada saat diamati. Gambar 6 berikut ini merupakan lubang
persembunyian belut yang ditemukan pada bak pemijahan alami. (a) (b) (c) keterangan: (a) lubang di
atas pematang, (b) lubang di dekat pematang, (c) lubang di antara pematang. Gambar 6 Lubang
persembunyian belut selama pemeliharaan di bak pemijahan alami. Suhu harian pada bak pemijahan
berkisar antara C sedangkan ph harian seluruh bak cenderung stabil pada nilai ph 6. Secara umum,
kualitas air antara setiap bak tidak memiliki perbedaan yang signifikan baik ph ataupun suhu. 9

22 Jumlah lubang pada setiap bak memiliki jumlah yang berbeda, yaitu pada bak 1 sebanyak 32 lubang,
bak 2 sebanyak 40 lubang, bak 3 sebanyak 32 lubang sedangkan bak 4 sebanyak 35 lubang (Tabel 5).
Tabel 5 Jumlah lubang belut dan kisaran suhu serta ph selama pemeliharaan pada bak pemijahan alami.
Parameter 1 2 Bak 3 4 Jumlah lubang belut Kisaran suhu harian ( o C) Kisaran ph harian Seluruh bak
dilakukan pemanenan setelah 2 bulan masa pemeliharaan, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah belut
yang dimasukan pada setiap bak berkurang. Rasio yang digunakan dalam pemijahan untuk bak 1, bak 4,
bak 3, dan bak 2 antara jantan:betina yaitu 1:2, 1:3, 1:4, dan 1:5. Namun, dari keempat rasio tersebut
hanya rasio 1:4 saja yang berhasil, yaitu pada bak 3 dengan jumlah induk belut sebanyak 20 ekor pada
kepadatan 3 ekor/m 2 dengan jumlah benih sebanyak 3 ekor (Tabel 6). Perbandingan induk betina dan
benih belut hasil pemanenan bak 3 dapat dilihat pada Gambar 7. Induk yang ditebar pada setiap bak
dapat dilihat pada Lampiran 3-6 dan benih yang dipanen dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 6 Hasil
pemanenan belut pada seluruh bak pemijahan alami. Bak Awal Penelitian (ekor) Akhir Penelitian (ekor)
Rasio jantan:betina Betina Jantan Betina Jantan Benih 1 1: : : : (a) (b) (c) (d) (e) (f) keterangan: Induk
belut betina: (a) 34,7 cm, (b) 30,2 cm, (c) 30 cm dan benih belut: (d) 25,4 cm, (e) 24,5 cm, dan (f) 17 cm.
Gambar 7 Perbandingan beberapa induk belut betina dengan seluruh benih hasil pemanenan pada bak
ke 3. 10

23 3.1.4 Pemijahan dengan Perangsangan Hormon Perangsangan ovulasi induk betina menggunakan
ovaprim yang dilakukan selama 24 jam menunjukkan hasil bahwa penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,5
ml/kg dan 0,7 ml/kg bobot induk memberikan peningkatan bobot setiap pengamatannya, namun
peningkatan tersebut kurang dari 10% bobot awal dan keberhasilan ovulasi tidak terjadi. Suhu yang
diamati pada jam ke 8, 16, 20, dan 24 berkisar antara C (Tabel 7). Tabel 7 Hasil penyuntikan induk belut
betina matang gonad menggunakan ovaprim. Parameter Induk 1 Induk 2 Induk 3 Induk 4 Jam ke- (0,5
ml/kg) (0,5 ml/kg) (0,7 ml/kg) (0,7 ml/kg) Dosis penyuntikan (ml) - 0,009 0,014 0,022 0,016 Bobot awal (g)
- 17,60 27,48 31,61 23,42 Bobot akhir (g) 8 18,51 28,15 31,98 23, ,60 28,45 32,03 24, ,72 28,56 32,15
24, ,76 28,68 33,38 24,50 ΔW (g) - 1,16 1,20 1,77 1,08 Suhu ( o C) , Keberhasilan ovulasi - tidak berhasil
tidak berhasil tidak berhasil tidak berhasil 3.2 Pembahasan Penelitian diawali dengan penentuan betina
dan jantan, identifikasi kematangan gonad, upaya pemijahan secara alami, dan upaya pemijahan dengan
perangsangan hormon. Penentuan betina dan jantan, berdasarkan Tabel 3 hasilnya adalah pada ukuran
panjang kurang dari 40 cm belut masih berada pada fase seksualitas betina karena pada gonadnya
berkembang sel telur atau menghasilkan oosit. Belut dengan ukuran panjang antara 40,5-50 cm sudah
memasuki fase interseks karena ditemukan ovari dan testis di dalam tubuhnya. Belut dengan ukuran
panjang lebih dari 50,5 cm sudah masuk fase seksualitas jantan. Chan dan Philip (1969) dalam Gong et
al (2011) menyatakan bahwa perubahan kelamin belut sawah biasanya terjadi setelah pemijahan atau
setelah belut mencapai ukuran panjang cm dan secara umum belut betina memiliki ukuran panjang total
kurang dari 40 cm. Khanh dan Ngan (2010) menambahkan bahwa belut jantan umumnya memiliki
panjang total di atas 50 cm. 11

24 Belut sawah dapat dikategorikan sebagai hermaprodit protogini karena mengalami perubahan kelamin
dari betina menjadi jantan dan mengalami fase perubahan kelamin yang disebut sebagai fase interseks.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Shi (2005), yaitu belut sawah merupakan hermaprodit protogini karena
mengalami perubahan kelamin secara alami, pada fase juvenil adalah betina selanjutnya memasuki fase
interseks dimana kedua organ kelamin betina dan jantan dengan spermatosit dan oosit berkembang,
kemudian pada fase akhir berubah menjadi jantan. Tang et al. (1974) menambahkan bahwa belut
mengalami perubahan kelamin atau bersifat hermaprodit protogini yang mengalami perubahan fungsional
dari betina, interseks, dan fase jantan fungsional selama siklus hidupnya. Belut pada tingkat kematangan
gonad (TKG) IV adalah kondisi yang diinginkan untuk dilakukan pemijahan karena gonad sudah
mencapai tingkat kematangan gonad akhir atau sudah matang gonad sehingga memiliki peluang
keberhasilan pemijahan yang lebih besar daripada tingkat kematangan gonad I, II ataupun III. Hasil
identifikasi kematangan gonad menunjukkan bahwa belut memiliki tingkat kematangan gonad yang
beragam (Tabel 4), dari 60 sampel yang diamati hanya 15 ekor yang mencapai TKG IV yaitu terdiri dari
12 ekor betina dan 3 ekor jantan. Bahri (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penentuan TKG
jantan sulit dilakukan secara visual ataupun menggunakan asetokarmin karena secara umum gonad
terdiri dari sperma dan telur yang ada di dalam tubuhnya dan tidak diketahui apakah sperma yang ada
mampu membuahi atau tidak. Morfologi belut yang matang gonad (TKG IV) memiliki ciri-ciri umum yaitu
pada betina memiliki genital berwarna merah, 1/3 perut bagian belakang ke arah genital terlihat penuh
terisi telur dan bagian perut berwarna kuning kemerahan sedangkan pada jantan yaitu urogenital
berwarna merah dan bagian perut berwarna coklat ke abu-abuan. Namun, dari 12 ekor belut betina dan 3
ekor belut jantan TKG IV tidak lengkap ditemukannya ciri-ciri umum pada sampel yang diamati. Selain itu,
bobot dan ukuran panjang belut tidak dapat dijadikan sebagai ciri-ciri dalam menentukan tingkat
kematangan gonad walaupun umumnya pada ikan akan terjadi perkembangan gonad dan mencapai
maksimal 12

25 sesaat akan memijah kemudian akan menurun cepat setelah selesainya pemijahan. Perubahan yang
terjadi dalam gonad secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan indeks kematangan gonad (IKG)
(Effendie 1979 dalam Bahri 2000). Namun, pada penelitian Elis (2003) menyatakan bahwa indeks
kematangan gonad belut tidak dipengaruhi oleh panjang dan berat tubuh. Oleh karena itu, belut betina
dan jantan TKG IV belum dapat dicirikan secara khusus baik berdasarkan ciri-ciri morfologi, bobot
ataupun ukuran. Upaya pemijahan alami dilakukan pada bak terpal yang telah dibuat seperti habitat alami
belut yaitu mengisi bak dengan lumpur setinggi 30 cm dan membuat pematang setinggi 20 cm. Hal ini
didasarkan pada pernyataan Gong et al. (2011) bahwa habitat alami belut adalah lingkungan seperti
sawah, kolam berlumpur, rawa, dan kanal. Belut memiliki kemampuan hidup di daerah berlumpur karena
mempunyai alat pernafasan tambahan berupa kulit tipis berlendir yang terdapat pada rongga mulut yang
berfungsi menyerap oksigen langsung dari udara (Sarwono 1999 dalam Bahri 2000). Liem (1980) dalam
Straight et al. (2005) menyatakan bahwa belut dapat diberikan pakan berupa ikan kecil, udang, siput,
larva, serangga-serangga, katak, telur katak, dan berudu. Oleh karena itu, pakan yang diberikan untuk
belut selama pengupayaan pemijahan adalah pakan hidup berupa ikan seribu yang diberikan secara ad
libitum. Suhu harian bak pemijahan berkisar antara C (Tabel 5). Suhu tersebut memiliki kisaran yang
berbeda dengan Sterba dan Habil (1962) dalam Elis (2003), suhu yang disukai belut berkisar antara C.
Nilai ph harian cenderung stabil pada ph 6 (Tabel 5), nilai ph ini masih dalam kisaran normal yang
dinyatakan oleh Asmawi (1983) dalam Bahri (2000), yaitu perairan yang baik untuk kehidupan ikan
adalah perairan dengan ph 6-8,7. Pemeriksaan dan pengamatan lubang pada pematang dilakukan
setelah 1,5 bulan masa pemeliharaan untuk mengetahui adanya sarang di dalam lubang yang diduga
sebagai tempat menyimpan telur serta mengetahui bentuk lubang yang dibuat oleh belut. Berdasarkan
Tabel 5, jumlah lubang belut pada setiap bak memiliki jumlah yang berbeda, yaitu pada bak 1 berjumlah
32 lubang, bak 2 berjumlah 40 lubang, bak 3 berjumlah 32 lubang, dan bak 4 berjumlah 35 lubang. 13

26 Lubang belut secara umum berbentuk bulat seperti terowongan mengarah vertikal ke arah bawah
kemudian mendatar. Hal ini sesuai dengan Handojo (1986) dalam Elis (2003), belut sawah hidup di tanah
lumpur sampai kedalaman lebih dari 10 cm dengan cara menggali lubang seperti sebuah terowongan
yang berliku-liku, arah lubang awalnya vertikal mengarah ke bawah kemudian mendatar. Pemanenan
belut dilakukan pada seluruh bak setelah 2 bulan masa pemeliharaan. Berdasarkan Tabel 6, hasilnya
menunjukkan bahwa jumlah belut yang dimasukan pada setiap bak berkurang setelah dilakukannya
pemanenan, baik untuk jumlah betina ataupun jantan. Hal ini diduga adanya kemungkinan belut yang
mati di dalam lubang dan belut yang saling memakan. Bak 3 menunjukkan bahwa pemijahan belut
secara alami berhasil terjadi walaupun hanya 3 ekor benih yang didapatkan. Rasio penebaran antara
jantan:betina pada bak 3 yaitu 1:4 dengan kepadatan 3 ekor/m 2. Jumlah benih yang sedikit (3 ekor)
diduga karena belut betina melakukan pemijahan sebagian-sebagian (partial spawner) karena dari hasil
identifikasi gonad yang telah dilakukan terlihat bahwa telur belut tidak seluruhnya memiliki diameter telur
yang sama besar. Penelitian Elis (2003) dan Bahri (2000) membenarkan bahwa belut betina dalam
memijah, telur dikeluarkan sebagian-sebagian atau bertahap (partial spawner). Selain itu, telur belut
memiliki ukuran yang lebih besar daripada ikan lainnya, secara umumnya ikan yang memiliki ukuran telur
besar memiliki fekunditas yang kecil dibandingkan dengan ikan yang memiliki ukuran telur kecil sehingga
menyebabkan benih yang dihasilkan hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sumantadinata
(1981) bahwa hubungan ukuran butir telur dengan fekunditas terdapat kecenderungan bahwa semakin
kecil ukuran butir telur maka fekunditasnya semakin tinggi. Bahri (2000) menambahkan bahwa fekunditas
belut berkisar antara butir dengan diameter telur berkisar antara 0,75-3,23 mm. Belut jantan juga memiliki
kematangan gonad yang tidak bersamaan dengan betina karena jarang ditemukannya gonad jantan yang
memiliki tingkat kematangan gonad IV saat pengidentifikasian kematangan gonad sehingga belut jantan
yang mampu membuahi belut betina untuk terjadinya pemijahan hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Tao et al (1993) bahwa faktor kendala dalam budidaya belut yaitu sulitnya ketersediaan
seksual jantan yang matang gonad. 14

27 Seluruh belut yang telah dipijahkan secara alami selanjutnya dipindahkan ke wadah akuarium.
Pemijahan dengan perangsangan hormon dilakukan dengan menggunakan 4 ekor induk betina yang
matang gonad di antara induk-induk yang telah digunakan pada pemijahan alami. Induk belut betina
selanjutnya disuntik menggunakan ovaprim dengan tujuan untuk perangsangan ovulasi. Ovaprim
digunakan sebagai perangsangan ovulasi karena ovaprim merupakan campuran antara analog dari
salmon gonadotropin releasing hormon (sgnrh)-lhrh dan domperidone (Permana 2009), hormon sgnrh
berperan dalam pengeluaran gonadotropin pada ikan untuk proses ovulasi maupun vitelogenesis
sedangkan domperidone merupakan anti dopamin yang berperan untuk menghentikan peran dopamin
yaitu menghambat sekresi gonadotropin dan membantu peningkatan sekresi 2 gonadotropin. Kedua
bahan tersebut digunakan untuk membuat ikan cepat berovulasi (Nandeesha et al. 1990). Sumantri
(2006) menambahkan bahwa beberapa kegunaan ovaprim yaitu menekan musim pemijahan,
merangsang pematangan gonad sebelum musim pemijahan normal, memaksimalkan potensi reproduksi,
dan mempersingkat periode pemijahan. Permana (2009) dalam penelitiannya menggunakan ovaprim
dengan dosis 0,5 ml/kg bobot induk yang disuntikkan pada ikan Sumatra dengan keberhasilan mencapai
90%. Nandeesha et al. (1990) juga melaporkan bahwa ovaprim yang disuntikkan secara intramuscular
dengan dosis 0,5 ml/kg telah mampu menginduksi pembenihan pada Indian major carp. Syndel
Laboratories Ltd. (2012) menambahkan bahwa dosis ovaprim secara umum untuk ikan adalah 0,5 ml/kg
berat badan. Dosis ini dapat bervariasi di antara spesies dan lokasi. Berdasarkan hal tersebut maka dosis
0,5 ml/kg dan 0,7 ml/kg bobot induk digunakan sebagai dasar penentuan dosis untuk percobaan
penyuntikan belut menggunakan ovaprim secara intramuscular. Penentuan jam ke 8, 16, 20, dan 24
setelah penyuntikan untuk dilakukan pengamatan keberhasilan ovulasi atau percobaan stripping
didasarkan pada penelitian Permana (2009), stripping pertama dilakukan pada jam ke 8 setelah
penyuntikan. Jika rentang waktu belum mengalami ovulasi maka dilanjutkan pengamatan setiap 3 jam
selama 24 jam. Setelah rentang waktu tersebut ikan dianggap tidak memijah dan dimasukan ke dalam
akuarium pemulihan. 15

28 Penentuan waktu ditentukan secara lebih umum oleh Syndel Laboratories Ltd. (2012) bahwa ikan
golongan Carp dan Catfish umumnya memijah dalam rentang waktu 8-24 jam setelah penyuntikan.
Pengukuran suhu dilakukan untuk mengetahui suhu lingkungan saat terjadinya ovulasi, suhu yang diukur
berkisar antara C. Suhu tersebut masih dalam kondisi normal untuk pemijahan belut karena menurut
Sarwono (1999) dalam Bahri (2000) perkawinan belut umumnya terjadi pada malam hari yang panas
hingga suhu air naik menjadi 28 0 C lebih. Berdasarkan Tabel 7, penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,5
ml/kg dan 0,7 ml/kg memberikan peningkatan bobot kurang dari 10% bobot awal, artinya respons
perangsangan tidak berlangsung karena penyerapan air untuk final maturation tidak terjadi sehingga
tidak ada pengaruh untuk terjadinya ovulasi dan belut tidak dapat di stripping. Kenaikan bobot diduga
karena organ tubuh menyerap zat cair yang diterima akibat penyuntikan yang dilakukan tetapi tidak
memberikan pengaruh perangsangan ke otak untuk ovulasi, artinya pada penyuntikan terjadi proses
pematangan akhir yang hanya berlangsung secara alami tanpa adanya pengaruh dari ovaprim yang
disuntikkan. Menurut Woynarovich dan Hovart (1980) dalam Arfah et al. (2006), efek pertama dari
gonadotropin pada telur adalah pergerakan nukleus ke arah mikrofil yang diikuti oleh hidrasi yaitu telur
akan menyerap air dan disempurnakan selama tahap preovulasi. Hal ini terlihat dari pengukuran lebar
perut ikan sebelum dan sesudah penyuntikan pertama. Respon positif dari ikan terhadap penyuntikan
ditandai dengan bertambahnya lebar perut akibat pengaruh dari ovaprim yang disuntikkan. Selain
pengukuran lebar perut, untuk mengetahui adanya perkembangan telur dilakukan penimbangan bobot
ikan sebelum dan sesudah pemberian ovaprim akan tetapi perkembangan yang terjadi sangat kecil
sehingga tidak memberikan perbedaan yang berarti terhadap berat tubuh ikan artinya penyuntikan tidak
memberi pengaruh terhadap sampel yang disuntikan. Basuki (2007) menambahkan bahwa lambatnya
reaksi hormonal juga diduga menjadi penyebab tidak terjadinya ovulasi karena tidak sampainya
rangsangan menuju otak. Selain itu, menurut Mittelmark dan Kapuscinski (2008) bahwa faktor kesiapan
induk juga diduga sebagai penyebab tidak terjadinya ovulasi. 16

29 IV. KESIMPULAN Individu belut betina memiliki panjang total kurang dari 40 cm, sedangkan individu
jantan memiliki panjang total lebih besar dari 50,5 cm. Belut dengan panjang total antara 40,5-50 cm
berada pada fase peralihan dari jenis kelamin betina ke jantan atau interseks. Induk belut betina ataupun
jantan yang telah matang gonad dan siap dipijahkan belum dapat dicirikan morfologinya secara khusus.
Pemijahan secara alami telah berhasil terjadi dengan rasio jantan dan betina 1:4 pada kepadatan 3
ekor/m 2. Pemijahan dengan perangsangan induk belut betina melalui penyuntikan menggunakan
ovaprim dosis 0,5 ml/kg dan 0,7 ml/kg bobot induk tidak berhasil merangsang ovulasi. 17

30 DAFTAR PUSTAKA Arfah H, Maftucha L, dan Odang C. Pemijahan Secara Buatan Pada Ikan
Gurame Osphronemus gourami Lac. Dengan Penyuntikan Ovaprim. Jurnal Akuakultur Indonesia, 5(2):
(2006). Bahri F Studi Mengenai Aspek Biologi Ikan Belut Sawah (Monopterus albus) Di Kecamatan
Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Basuki F Optimalisasi Pematangan Oosit
dan Ovulasi pada Ikan Mas Koki (Carassius auratus) Melalui Penggunaan Inhibitor Aromatase.
[Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Elis Hubungan Perubahan Jenis Kelamin dan
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Dengan Ukuran Tubuh Ikan Belut Sawah (Monopterus albus) Di Desa
Kahuripan, Kecamatan Tawang, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Gong S, Zhang
G, Zhang L, Yuan Y, dan Yuan H Effect of Estradiol Valerate on Steroid Hormones and Sex Reversal of
Female Rice Field Eel, Monopterus albus (Zuiew). Journal of The Aquaculture Society, 42: Guan RZ,
Zhou LH, Cui GH dan Feng XH Studies on The Artificial Propagation of Monopterus albus (Zuiew).
Aquaculture Research, 27: Khanh NH dan Ngan HTB Current Practices of Rice Field Eel Monopterus
albus (Zuiew 1793) Culture in Viet Nam. Volume XV No.3 July - September Research Institute for
Aquaculture,15: Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, dan Wirjoatmojo S Freshwater Fishes of Western
Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions Limited. Mittelmark J dan Kapuscinski A Induced Reproduction
in Fish. [24 Juli 2012]. Nandeesha MC, Rao KG, Jayanna RN, Parker NC, Varghese TJ, Keshavanath P,
dan Shetty HPC Induced Spawning of Indian Major Carps Through Single Application of Ovaprim-C. The
Second Asian Fisheries Forum. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines. Permana D Efektivitas
Aromatase Inhibitor Dalam Pematangan Gonad dan Stimulasi Ovulasi Pada Ikan Sumatra Puntius
tetrazona. [Skripsi]. 18

31 Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Prihatman Budidaya Ikan Belut (Synbranchus). Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan,
BAPPENAS. Shi Q Melatonin is Involved in Sex Change of The Rice-field Eel, Monopterus albus Zuiew.
Reviews in Fish Biology and Fisheries, 15: Straight CA, Reinert TR, Freeman BJ, dan Shelton J The
Swamp Eel, Monopterus sp. CF M. albus, in The Chattahoochee River System, Fulton County, Georgia.
Institut of Ecology, University of Georgia. Sumantadinata K Pengembangbiakan Ikan-Ikan di Indonesia.
Fakultas Perikanan. Bogor. 117 hal. Sumantri D Efektifitas Ovaprim dan Aromatase Inhibitor Dalam
Mempercepat Pemijahan pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Syndel Laboratories Ltd Ovaprim. [24
Juli 2012]. Tang F, Chan STH, dan Lofts B Effect of Steroid Hormones on The Process of Natural Sex
Reversal of The Ricefield Eel, Monopterus albus (Zuiew). General and Comparative Endocrinology, 24:
Tao YX, Lin HR, Kraak GVD, dan Peter RE Hormonal Induction of Precocious Sex Reversal in The
Ricefield Eel, Monopterus albus. Aquaculture, 188: Wahyuningsih dan Barus Ikhtiologi. [E-Learning]
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Warta Pasar Ikan Belut
dan Sidat Permintaannya Semakin Meningkat. [20 September 2012]. 19

32 LAMPIRAN 20

33 Lampiran 1 Tahapan pemeriksaan gonad metode asetokarmin. Pembuatan larutan asetokarmin Asam
asetat 4,5 ml + Akuades 5,5 ml (larutan asam asetat 45%) Preparasi gonad Belut dibius, diberi penanda
lalu dibedah Larutan asam asetat 45% dididihkan menggunakan microwave selama 2-4 menit, lalu
didinginkan dan ditambahkan bubuk karmin sebanyak 0.06 g kemudian disaring dengan kertas saring
Gonad belut dipisahkan lalu diambil sebagian dan ditaruh di atas slide glass Gonad ikan ditetesi dengan
larutan asetokarmin sebanyak 2-4 tetes lalu didiamkan selama 2 menit, ditutup menggunakan cover
glass, lalu ditekan sehingga gonad yang diamati tidak terlalu tebal (memudahkan saat diamati) Preparat
diamati di bawah mikroskop 21

34 Lampiran 2 Data hasil identifikasi gonad belut sawah (Monopterus albus). No. Panjang perut (cm)
TKG Jantan Betina 1 24,5 11,26 2 III ,89 2,5 I ,12 2,3 II 4 26,5 12,42 2,3 III ,61 2,5 IV ,72 2,3 IV 7 27,5
13,56 2 II 8 27,5 13,74 2,1 IV ,45 2,4 IV ,50 2,7 III 11 28,5 19,90 2,5 IV ,01 3 II 13 29,5 19,87 2,7 IV ,18
2,5 II ,12 3 III 16 30,5 22,01 2,7 IV 17 30,5 21,67 2,9 II ,86 2,5 IV ,34 3,7 II 20 32,5 22,89 3,4 IV ,02 3,3 IV
22 33,5 30,21 3 IV ,88 3,5 IV 24 36,5 43,40 4 III ,35 4,5 III 26 37,5 47,94 3,4 III ,73 3, ,82 4 II 29 39,5
49,43 4 III ,21 4, ,5 62, ,5 61, ,36 3,8 I 34 41,5 68,95 4,1 III 35 41,5 68,25 4, ,63 4, ,5 75,

35 Lampiran 2 (lanjutan) Data hasil identifikasi gonad belut sawah (Monopterus albus). No. Panjang perut
(cm) TKG Jantan Betina 38 44,5 75,57 4,9 I ,54 4, ,11 4, ,5 83,16 5 I , ,77 5 I ,39 5 II , ,75 5,8 I 47 51,5
123,89 6,5 II 48 51,5 125,32 6,5 II 49 52,5 145,89 6 II ,56 6 IV ,87 6 I ,33 6 II 53 55,5 146,84 6 I 54 55,5
151,63 6 IV 55 55,5 148, ,5 150,66 6,5 I ,46 5,7 III ,13 5,6 IV ,59 6,9 III ,61 6,5 II 23

36 Lampiran 3 Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 1. Betina Jantan No. Panjang (cm)
Bobot (g) Lingkar perut (cm) Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm) ,42 2, ,58 6, ,13 2,7 53,5 150,36
5, ,22 2, ,42 5, ,97 3, ,23 6, ,64 3, ,72 5, ,14 2,6 52,5 144, ,5 21,32 3, , ,67 3, ,66 6, ,19 3, ,5 22,53 2, ,12
4, ,15 3, ,5 33,64 3, ,5 42,97 3, ,5 29,84 2, ,74 3,8 Lampiran 4 Ukuran induk belut sawah yang ditebar
pada bak 2. Betina Jantan No. Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm) Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar
perut (cm) ,42 2, ,36 5,6 2 30,5 21,68 2, ,86 6, ,65 2, ,65 5,7 4 33,5 31,25 3, ,20 5, ,39 3, ,71 3, ,19 3, ,56
3, ,41 3, ,5 22, ,5 19,11 2, ,5 33,93 3, ,5 18,67 2, ,17 3, ,55 4, ,5 19,59 2, ,86 3, ,5 46,23 3, ,5 23,21 3, ,49
3,7 24

37 Lampiran 5 Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 3. Betina Jantan No. Panjang (cm)
Bobot (g) Lingkar perut (cm) Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm) 1 29,5 19,95 2, , ,98 2, ,34 6, ,65
3,7 57,5 170,11 5, ,90 3, , ,38 2, ,79 3,6 7 35,5 42,51 3, ,25 3,2 9 36,5 44,23 2, ,97 3, ,5 22,77 3, ,12 3,
,21 2, ,59 2, ,5 20,34 2, ,62 3,4 Lampiran 6 Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 4. Betina
Jantan No. Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm) Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm) ,23 3,
,45 5,9 2 34,5 35,86 3, ,36 6, ,56 3, , , ,42 5,9 5 29,5 20,42 2,8 53,5 141, ,5 21, ,5 47,54 3, ,24 3, , ,64 3,
,53 3, ,65 2, ,5 13,96 2, ,76 3, ,97 2,7 25

38 Lampiran 7 Benih belut hasil pemanenan pada bak 3. No. Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm)
,14 1,1 2 25,4 12,29 2, ,19 1,9 Lampiran 8 Dokumentasi kegiatan penelitian belut sawah (Monopterus
albus). Kegiatan penyuntikan belut Kegiatan pengambilan media tanah Kegiatan persiapan pembedahan
belut 26

Anda mungkin juga menyukai