Anda di halaman 1dari 6

Pelepasan Keberangkatan Mapala Humendala dalam Ekspedisi Susur Sungai

Kampar

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau, Ervin Rizaldi lepas
keberangkatan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Humendala Fakultas Ekonomi dan Bisnis
(FEB) Universitas Riau (UNRI) dalam kegiatan Ekpedisi Susur Sungai Kampar pada Senin
(23/09).

Upacara pelepasan dilakukan di halaman Dekanat FEB UNRI pukul sepuluh pagi.
Menghadirkan dekan FEB, perwakilan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan
(Basarnas), World Wide Fund for Nature (WWF) dan pembina Mapala Humendala.

Tim berjumlah 23 orang. Mereka berangkat menggunakan bus dari Badan Pengendalian
Ekosistem Regional Sumatera. Sedangkan barang-barang diletakkan di dalam satu truk yang
disediakan Basarnas.

Ekspedisi ini merupakan kegiatan mengarungi Sungai Kampar yang dimulai dari Pangkalan
Koto Baru, Sumatera Barat hingga Buluh Cina, Kampar. Bertujuan untuk melakukan
observasi dan pendataan kondisi sosial ekonomi, budaya, dan potensi wisata Daerah Aliran
Sungai (DAS).

Selain itu, tim ekspedisi juga akan melakukan kegiatan pemetaan daerah-daerah rawan
bencana, adakan sosialisasi, edukasi dan pelatihan mitigasi bencana, serta advokasi dan
kampanye peduli lingkungan di sepanjang DAS Kampar.

Hal ini berangkat dari penebangan dan alih fungsi lahan yang terlihat masif disana.
Mengakibatkan daya resapan air semakin berkurang sehingga rawan terjadi banjir.

“Apalagi, sepanjang DAS Kampar memiliki potensi wisata yang masih belum
dikembangkan,” sebut Ezrin Rio Sariandy, ketua pelaksana.

Penyusuran sungai akan dilaksanakan selama seminggu, dari 23 hingga 29 September.


Dalam waktu tujuh hari itu ada banyak kegiatan yang dilakukan. Seperti memberi pelatihan
menggunakan perahu karet—sebagai alat trasportasi di sungai. Lalu melakukan observasi
potensi ekowisata desa dan kunjungan lokasi reboisasi Desa Tanjung Balik. Kemudian,
penyelamatan Sungai Kampar, Basarnas Goes To School di Air Tiris, Simulasi Penanggulangan
Bencana di Pulau Rambai, serta pembagian bibit dan sosialisasi lingkungan di Taratak Buluh.

Setiap malamnya tim akan berkemah di beberapa desa.


Sebagai pelaksana, Mapala Humandala bekerja sama dengan banyak pihak, yaitu WWF,
Jikalahari, Basarnas, BPBD, Dinas Sosial, Dinas Lingkungan hidup, Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata, Dinas Kesehatan, Federasi Arung Jeram Indo, Perkumpulan Elang sebagai bagian
dari Organisasi Non-Pemerintahan.

Ada juga, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Daerah Kuok, Pokdarwis Desa Tanjung,
Kelompok Siaga Bencana Pulau Rambai, Kelompok Siaga Bencana Pangkalan, Pondok
Belantara, dan para pecinta alam. Keseluruhanya memiliki perwakilan masing-masing untuk
ikut serta menjadi tim ekspedisi.

WWF banyak bergerak di beberapa lahan konservasi. Dalam upacara pelepasan, organisasi
ini diwakili oleh Ratna Dewi yang bertugas bagian Fresh Water Stakeholder in Judgement
Specialis di Central Sumatera.

Ia sampaikan bahwa ekspedisi ini berpotensi menyediakan baseline data penting soal
lingkungan, titik-titik rawan bencana, kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Data itu akan
berguna untuk menyusun program pemulihan DAS, terutama di daerah hulu Sungai Kampar.

“Support kita selain sebagai pembiaya terbesar, kami juga sediakan spot-spot dan wilayah
konservasi yang menjadi desa tujuan ekspedisi kawan-kawan,” ucap Ratna.
Pelatihan Menggunakan Perahu Karet Untuk Arung Jeram

Pelatihan Menggunakan Perahu Karet menjadi agenda hari kedua Ekspedisi Susur Sungai
Kampar oleh Humendala Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Riau di Pangkalan Koto
Baru, Selasa (24/09). Heru Mega, Senior Paska di Mapala Universitas Andalas yang menjadi
instrukturnya.

Kegiatan dimulai pukul setengah sembilan di Sungai Mahat atau Batang Maek daerah
Pangkalan Koto Baru Sumatera Barat. Sungai ini bersebelahan dengan Masjid Raya
Pangkalan. Dari sini nantinya tim akan berangkat ke Tanjung Balik sebagai lokasi ekspedisi di
hari berikutnya.

Sebelum keberangkatan, tim dibagi menjadi dua jalur; air dan darat. Jalur darat
menggunakan satu bus berisi barang dan sebuah mobil jenis off road, milik Indonesia Off-
Road Federation.

Sedangkan jalur air memakai dua perahu karet. Perahu karet yang digunakan tim ekspedisi
berjenis River Boat yang diisi oleh enam orang dan Ransom Boat berjumlah dua dan
dikendarai tujuh hingga delapan orang.

River Boat yaitu perahu karet untuk arung jeram. Sedangkan, Ransom Boat adalah perahu
karet bermotor/mesin yang terletak di bagian belakang perahu.

Dalam Pelatihan Menggunakan Perahu Karet, Heru sampaikan bahwa perahu karet
mempunyai empat sekat ruang angin. “Fungsinya kalau bocor satu ruang, masih ada ruang
angin lain, jadi masih bisa safety,” jelas Heru.

Selain itu, ia juga jelaskan tentang alat kelengkapan lain, seperti paddle atau dayung. Dayung
memiliki beberapa bagian, yaitu tegrip atau bagian atas dayung yang berbentuk huruf T.
Kemudian ada blade atau mata dayung.

Agar mata dayung tidak mengenai batu, teknik memegang tegripnya harus benar. Dayung
sengaja dibuat dari bahan ringan, seperti aluminium agar tidak tenggelam.

Sedangkan untuk aba-aba pendayungan terdiri atas “maju” “mundur”. Ada pula “Kanan
maju kiri mundur” biasa digunakan bila Skepper, sebutan orang yang duduk paling belakang,
tak sanggup mengendalikan perahu sendiri.

Perahu karet biasa dipakai untuk rescue atau penyelamatan, bisa juga untuk tamu-tamu
arung jeram.
Tak hanya itu, Heru juga sampaikan bagian lainnya, seperti bagian pelampung. Ia katakan
bahwa daya apung pelampung bisa mencapai 100 kilogram dan yang paling kuat berada di
bagian depan pelampung.

Maka itu, ketika seseorang hanyut di arus deras ia dilarang terlungkup. Melainkan, harus
berada di posisi terlentang. Hal ini guna meminimalisir resiko seperti cedera kepala atau
terhirup air yang dapat menghilangkan nyawa.

Memasang pelampung pun harus benar, seluruh kancing harus terpasang dan ketat. Tapi
pastikan masih tetap bisa bernafas dengan nyaman.

Kelengkapan wajib lain adalah helm sebagai pelindung kepala.

Perahu yang digunakan untuk pengarungan kali ini berukuran 38, artinya 3 meter lebih 80
sentimeter. Di dalamnya terdapat line boat atau tali pinggir perahu yang terletak
mengelilingi perahu untuk pegangan di arus kencang. Lalu, tiga buah bantalan yang berada
di badan perahu berguna untuk menyelipkan kaki dan tempat duduk.

Ada lagi namanya throw bag atau tali lempar. Panjangnya sekitar 25 meter, digunakan untuk
penyelamatan korban yang jatuh ke air. Sebelum melempar tali ini pastikan untuk
membunyikan peluit hingga terdengar oleh orang yang ditolong, setelah itu tali boleh
dilempar.

Sambil pengarahan, tim pengarungan sungai turut melakukan simulasi dan latihan fisik di air.

Provinsi Riau belum punya atlet arung jeram. Heru berharap, setelah pelatihan singkat ini
ada latihan lanjutan sehingga ada bibit atlet baru untuk bawa nama Riau.

Selanjutnya di tempat yang sama, upacara pelepasan tim pengarungan dilepas langsung
oleh Kepala BPBD Kabupaten Lima Puluh Kota, M. Jhoni Amir.

“Kami membutuhkan data dan informasi setelah berlangsungnya ekspedisi ini, agar program
kerja khusus penanggulangan banjir bisa lebih diefektifkan lagi,” ujar Jhoni Amir.
Usaha Perawatan Hutan dan Sungai di Desa Tanjung
Ekspedisi Susur Sungai Kampar yang dilakukan Mapala Humendala Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Riau memasuki hari ketiga. Kali ini, tim ekspedisi mengarungi sungai
hingga ke Desa Tanjung.

Di Desa Tanjung, Kecamatan Kampar Hulu, terdapat lahan konservasi World Wildlife Fund
(WWF) seluas 82 hektare. Lahan itu milik warga dan tanah adat yang dulunya masih ditanami
gambir. WWF lalu membentuk program reboisasi lahan dan pemeliharaan sungai.

Pada Oktober 2017, WWF bersama perangkat Desa Tanjung dan lembaga swadaya
masyarakat adakan survei guna menentukan tanaman yang cocok dengan kondisi tanah.
“Setelah itu, lahan ini disahkan untuk program penghijauan pada awal 2018,” kata Sutomi,
Kepala Desa Tanjung.

Setelah sah, setahun kemudian barulah lahan tersebut diolah. Lahan baru dibuka menjelang
akhir tahun 2018, sehingga rerata tanaman yang tumbuh di lahan reboisasi WWF masih
terbilang muda.

Muharlis, Ketua Kelompok Tani Kampung Sawah memiliki 2,5 hektar lahan di wilayah binaan
WWF. Lahan itu ia tanami bibit durian, umur tanamannya masih 6 bulan. Di dekat lahan itu
pula ia punya kebun pribadi seluas 1 hektar dan ditanami bibit jeruk yang kini berumur 2
tahun.

Bibit pemberian WWF yang disediakan untuk lahan binaan 82 hektar masih belum ditanami
semua. Sebagian bibit itu ada yang ditanam petani ke lahan pribadi. Namun Muharlis
mengatakan bahwa nanti petani tetap akan mengganti bibit tersebut untuk ditanami di
lahan konservasi. Tak hanya bibit, WWF juga menyediakan pupuk.

Muhammad Iqbal, perwakilan dari local community organizer atau putra daerah bertugas
mengelola sekaligus memantau petani di wilayah binaan WWF. Petani sekitar dibantu
pembiayaan Rp500 ribu per hektar untuk upah buka jalur atau pembersihan, serta Rp250
ribu untuk biaya penanaman.

Ada 54 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Kampung Sawah yang kini dibina WWF
Indonesia, “Tujuannya selain menjaga lingkungan juga untuk mengajarkan masyarakat
berwirausaha,” jelas Iqbal.

Selain reboisasi, WWF Indonesia juga fokus untuk pemeliharaan sungai kampar. Hal ini
karena Sungai Kampar rentan tercemar oleh aktivitas manusia. Selama tim ekspedisi
menyusuri sungai, beberapa tambang pasir dan batu sungai masih dijumpai, baik yang sudah
ditutup maupun yang masih aktif.
Berdasarkan aturan adat dan tradisi, Tengku Said Hidayat, Camat Koto Kampar Hulu
mengaku telah membuat aturan tak tertulis tentang larangan menangkap ikan dan
melakukan pertambangan di beberapa wilayah sungai. Beberapa kawasan sungai yang
sudah mulai tutup pertambangannya adalah sungai di kawasan Desa Sibiruang dan di Bandur
Picak.

“Peraturan ini hanya sekedar himbauan pada masyarakat bahwa ini sudah tradisi, adat, dan
dari niniak mamak terdahulu, alasannya agar ikan dan lingkungannya tetap terjaga dengan
baik.” ujar Tengku Said.

Anda mungkin juga menyukai