Anda di halaman 1dari 27

Taman Nasional Way Kambas Sebuah Wildlife Tourism

Marisca Puspita Hapsari

1. Pembuka
Pariwisata tidak jarang menjadi sebuah kontroversi dalam hubungannya dengan konservasi. Dampak
positif negatif yang ditimbulkan pariwisata seringkali menimbulkan perdebatan antara para
pemerhati lingkungan dan pelaku industri pariwisata. Akan tetapi, terlepas dari kontroversi yang
kerap muncul atas pemanfaatan wilayah kontroversi sebagai daerah tujuan wisata, berjalan atau
tidaknya pariwisata diatas sebuah wilayah konservasi, sebuah wilayah lindung pada kenyataannya
tetap dihadapkan dengan masalah atas konflik lahan antara kehidupan liar dan manusia.

Peran pariwisata kembali muncul sebagai sebuah pemikiran atas pemanfaatan wilayah konservasi
agar tidak hanya semata berfungsi sebagai wilayah yang “mengawetkan” suatu ekosistem beserta
isinya (flora dan fauna). Namun, pariwisata memberi nilai lebih atas sebuah wilayah konservasi,
sebagai sebuah jembatan yang menghubungkan wilayah lindung sebagai sebuah area konservasi
sekaligus wilayah hidup dan beraktifitas manusia yang saling berkesimbungan.

Peran pariwisata sebagai penghubung wilayah lindung, sebagai area konservasi, sekaligus sebagai
wilayah hidup dan beraktifitas bagi manusia mampu menawarkan sebuah ruang edukasi dan
eksplorasi bagi manusia untuk menyadari keberadaan kawasan lindung dan memahaminya. Paham
bahwa kawasan lindung ini merupakan kawasan yang memiliki nilai. Tidak hanya nilai yang berarti
bagi area konservasi itu sendiri, namun juga memiliki nilai (baik budaya, ekonomi, sosial) yang tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan manusia, sebagai sebuah masyarakat yang merupakan bagian
daripada lingkungan hidup itu sendiri, dan nilai yang mampu memberikan kesejahteraan bagi
mereka tanpa mengesampingkan keberadaan kawasan tersebut sebagai sebuah area konservasi.

Salah satu studi kasus dimana pariwisata berfungsi sebagai pemberi nilai lebih atas sebuah wilayah
lindung yaitu pada Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas bersama dengan
enam daerah wisata lainnya; yaitu: Krakatau, Bandar Lampung, Kiluan, Bukit Barisan Selatan,
Tanjung Setia, dan Menara Siger; Taman Nasional Way Kambas merupakan daerah unggulan wisata
milik Lampung (Kadin Budpar Lampung, 2012). Memiliki basis pariwisata ekowisata yang
mengandung potensi menjanjikan baik bagi target market niche minat khusus untuk wisatawan local
dan mancanegara maupun bagi wisatawan local keluarga. Kawasan lindung ini juga memiliki tingkat
kunjungan wisatawan yang tinggi jika dibandingkan kawasan lindung lainnya di Indonesia.
2. Profil Taman Nasional Way Kambas

Sumber: Kementerian Kehutanan

Geografis
Secara geografis terletak di 4°37’ - 5°15’ LS, 106°32’ - 106°52’ BT. Dan secara administrative, Taman
Nasional seluas 130.000 ha ini masuk kedalam Kecamatan Way Jepara, Labuan Meringgai, Sukadana,
Purbolinggo, Rumbia dan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung. Dengan
kondisi temperatur udara rata-rata berkisar antara 28° - 37° C serta curah hujan 2500 - 3.000
mm/tahun.

Terletak di ujung selatan pulau Sumatera dan berjarak 110 km, atau 2 jam perjalanan dengan mobil,
dari Bandar Lampung.

Demografi
Terdata bahwa terdapat 36 desa yang terletak disekitar Taman Nasonal Way Kambas. Dengan
kuantitas penduduk wanita dewasa lebih besar daripada penduduk laki-laki dewasa. Sedangkan
pada usia anak-anak, rata-rata jumlah anak laki-laki lebih besar dibandingkan dengan anak
perempuan.

Tingkat kepadatan penduduk masih tergolong rendah, dengan nilai 200 orang/km 2., dengan tingkat
kepadatan penduduk yang cukup tinggi ditemukan di wilayah selatan dan tengah. Angka kelahiran
dan kematian penduduk sekitar Taman Nasional Way Kambas relatif kurang berkembang, sehingga
kurang banyak berpengaruh pada perubahan tingkat kepadatan penduduk yang ada.

Potensi Fauna dan Flora


Potensi Fauna:
Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Gajah Sumatera (Elephas maximus), Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrensis), Tapir (Tapirus indicus), Beruang madu (Helarctos malayanus), Anjing
hutan (Cuon alpinus), Rusa (Cervus unicolor), Ayam hutan (Gallus gallus), Rangkong (Buceros sp.),
Owa (Hylobates moloch), Lutung Merah (Presbytis rubicunda), Siamang (Hylobates syndactylus),
Bebek Hutan (Cairina scutulata), bangau sandang lawe (Ciconia episcopus stormi), bangau tong-tong
(Leptoptilos javanicus), sempidan biru (Lophura ignita), kuau (Argusianus argus argus), Burung
Pecuk Ular (Anhinga melanogaster) ; berbagai jenis reptilia, amfibia, ikan, dan insekta.

Potensi Flora:
Api-api (Avicenia marina), Pidada (Sonneratia sp.), Nipah (Nypa fructicans), gelam (Melaleuca
leucadendron), Salam (Eugenia polyantha), Rawang (Glocchidion boornensis), Ketapang (Terminalia
cattapa), Cemara Laut (Casuarina equisetifolia), Pandan (Pandanus sp.), Puspa (Schima walichii),
Meranti (Shorea sp.), Minyak (Diptorecapus gracilis), Merbau (Instsia sp.), Pulai (Alstonia
angustiloba), Bayur (Pterospermum javanicum), Keruing (Dipterocarpus sp.), Laban (Vitex pubescens)
dan lain-lain.
3. Taman Nasional Way Kambas sebagai Wilayah Konservasi
Memiliki fungsi utama sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, kawasan
pelestarian keanekaragaman jenis flora dan fauna, serta kawasan pemanfaatan secara lestari potensi
sumber daya alam hayati serta ekosistemnya. Terdapat beberapa prinsip pengelolaan Taman
Nasiona Way Kambas, meliputi pendayagunaan potensi taman nasional dalam berbagai aspek
kepentingan, termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan dan pendidikan, budaya, kepariwisataan alam
dan rekreasi.

Bersama dengan Elephant Training Center yang berada di dalamnya. Taman Nasional Way Kambas
merupakan salah satu konservasi tertua yang ada di Indonesia. Dengan cakupan wilayah konservasi
meliputi daerah Way Kambas, Way Kanan, Rawa Kali Biru, Rawa Gajah dan Kuala Kambas.

Kawasan ini merupakan daerah lahan basah dan dataran rendah hutan hujan Pulau Sumatera.
Ekosistem yang membentuk Taman Nasional Way Kambas terdiri dari hutan dataran rendah berupa:
hutan rawa air tawar, padang alang-alang/semak belukar, dan hutan payau/pantai di Sumatera.
Dinyatakan sebagai kawasan lindung untuk melestarikan daerah perairan yang dianggap penting
serta flora fauna di dataran rendah hutan hujan bagian Selatan Sumatera.

Bentuk Taman Nasional Way Kambas berupa sebuah ekosistem besar hutan hujan Sumatera.
Merupakan salah satu kawasan hutan hujan yang masih memiliki Si Lima Besar Mega Fauna Pulau
Sumatera yang dilindungi. Diperkirakan terdapat 30-40 harimau Sumatera, 20-30 badak Sumatera,
150-200 gajah Sumaetra , tapir Malay 30-40 dan sebanyak 100-120 beruang matahari (data Way
Kambas NP, 2010). Daerah ini juga merupakan rumah dari kucing liar Sumatera, termasuk
didalamnya jenis harimau awan, namun jumlahnya masih belum dapat diprediksi. Kurang lebih
terdapat total 50 spesies mamalia yang ditemukan di wilayah konservasi ini.

Dikalangan para pemerhati burung, Way Kambas dikenal dengan ragam variasi burungnya. Populasi
Winged Wood Duck terbesar dunia dapat ditemukan di tempat ini, data Dr. Nancy Drilling (seorang
peneliti Amerika) memperkirakan bahwa terdapat 75 individu dari jenis unggas ini, dari total 800
individu yang terdapat di dunia (IUCN, 2010).

Selain Elephant Training Centre, terdapat pula Sumatra Rhino Sanctuary (SRS) di dalam daerah
konservasi ini. SRS merupakan satu-satunya lokasi pegembangbiakan badak Sumatera di alam liarnya
di Indonesia, dan satu-satunya pengembangbiakan semi-natural badak Sumatera di Asia. Taman
Nasional Way Kambas juga dikenal sebagai satu-satunya sekolah gajah di Indonesia. Gajah yang
dilatih dan dijinakkan adalah gajah Sumatera asli.
4. Taman Nasional Way Kambas sebagai Sebuah Potensi Wisata
Berikut profil Taman Nasional Way Kambas sebagai sebuah destinasi wisata:
Daerah tujuan wisata di Taman Nasional Way Kambas dan sekitar
1. Pusat Latihan Gajah (PLG) Karangsari
Terletak 9 Km dari pintu gerbang Plang Ijo didirikan pada tahun 1985. Merupakan tempat
pelatihan gajah-gajah liar, dan sejauh ini telah menghasilkan kurang lebih sekitar 290 ekor
gajah terlatih. Gajah-gajah latih tersebut kemudian dijadikan sebagai gajah tunggang,
atraksi, angkutan kayu dan bajak sawah. Di PLG Karangsari ini, pengunjung dapat
menyaksikan para pelatih mendidik dan melatih gajah liar, juga menyaksikan atraksi gajah
seperti main bola, menari, berjabat tangan, hormat, mengalungkan bunga, tarik tambang,
berenang dan masih banyak lainnya, jungle trekking diatas punggung gajah, memandikan
gajah didikan juga melakukan aktifitas sebagai mahout selama satu hari penuh.
2. Way Kambas
Banyak digunakan untuk kegiatan berkemah sebagai tempat pengamatan para peniliti baik
dari dalam maupun luar negeri dan kebutuhan pendidikan (contoh: mahasiswa
kehutanan);
3. Way Kanan
Merupakan tempat dilakukan kegiatan penelitian dan penangkaran badak Sumatera. Di
Way Kanan tersedia fasilitas laboratorium alam dan wisma peneliti. Sungai yang terdapat
di Way Kanan juga merupakan area pengamatan satwa (seperti: bebek hutan, kuntul, rusa,
burung migran), juga terdapat padang rumput dan hutan mangrove;
4. Rawa Kali Biru, Rawa Gajah, dan Kuala Kambas.

Aksesibilitas TN Way Kambas


Akses menuju Taman Nasional Way Kambas dapat ditempuh dari Jakarta kemudian menyeberangi
Selat Sunda menggunakan kapal ferry menuju Pelabuhan Bakauheni, kemudian dilanjutkan
dengan perjalanan darat selama kuran lebih 3 jam dengan mobil menuju Way Jepara. Dari Way
Jepara dibuthkan kurang lebih 1 jam untuk sampai du Way Kanan.

Selain dengan kendaraan pribadi, terdapat pula alternatif transportasi menggunakan angkutan
umum. Dan untuk mencapai pusat area Taman Nasional Way Kambas terdapat pula jasa ojek.

Terdapat pula cara pencapaian lokasi melalui beberapa alternatif akses:


1. Jakarta – Labuan Meringgai
45 menit dengan menggunakan kapal motor;
2. Bandar Lampung – Metro – Way Jepara
2 jam perjalanan dengan mobil;
3. Branti – Metri – Way Jepara
3 jam perjalanan dengan mobil;
4. Bakauheni – Panjang – Sribawono – Way Jepara
3 jam perjalanan dengan mobil;
5. Bakauheni – Labuan Meringai – Way Kambas
kurang lebih 2 jam perjalanan dengan mobil.

Posisi Way Kambas dari Kota Bandar Lampung

Peta Taman Nasional Way Kambas


Untuk memasuki wilayah Taman Nasional Way Kambas, diperlukan izin masuk. Izin dapat
diperoleh di gerbang masuk, atau dapat juga diperoleh di Bandar Lampung melalui Balai
Konservasi dan Sumber Daya Alam.

Jenis wisatawan
Berkisar dari pasar niche para peneliti dan kalangan cendikia dibidang terkait dengan lingkungan
hidup yang berasal dari dalam dan luar negeri. Taman Nasional Way Kambas juga banyak
dikunjungi oleh wisatawan local sebagau sebuah tujuan wisata keluarga dan pendidikan (tur
sekolah).

Musim kunjungan terbaik


Bulan Juli s/d September setiap tahunnya.

Pilihan ketersediaan akomodasi


1.Gajah Ecolodge, sebuah penginapan yang bernuansa serba alami yang dikelola oleh swasta.
Merupakan penginapan milik swasta yang terdekat dengan wilayah Taman Nasional Way
Kambas;
2.Way Kanan Resort, berjarak kurang lebih 13 km dari pintu masuk Plang Ijo. Biasanya akomodasi
ini dipilih oleh para peneliti baik dari dalam dan luar negeri, dimana dapat melakukan touring
dengan menggunakan kapal boat yang didampingi oleh polisi hutan;
3.Pusat Pelatihan Gajah, disediakan penginapan di sekitar kolam pemandian gajah dan kandang
gajah;
4.Perkemahan, merupakan penyediaan lokasi kemah. Pilihan akomodasi ini biasanya dipilih oleh
para peneliti atau bagi kegiatan pramuka, wanabakti dan acara kemah dari berbagai daerah.

Atraksi dan daerah tujuan wisata lainnya


1. Monumen Sigar, Kabupaten Lampung Selatan;
2. Wisata Bahari Teluk Kiluan, Kabupaten Tanggamus;
3. Taman Wisata Bumi Kedaton, Kelurahan Batu Putuk Kec. Teluk Betung Utara;
4. Wisata Alam Taman Nasional, Kabupaten Lampung Barat;
5. Gunung Krakatau;
6. Festival Krakatau pada bulan Juli di Bandar Lampung.
5. Kerangka Teori dan Konsep
Teori dan konsep yang digunakan dalam melakukan kritik
1. Pariwisata Konservasi
Pariwisata
Pariwisata didefinisikan sebagai sebuah rangkuman fenomena dan hubungan yang muncul
sebagai akibat dari timbulnya interaksi wisata, pemasok bisnis, pemerintah penyelenggara serta
komunitas penyelenggaran yang berada dalam proses menarik minat dan menyelenggarakan bagi
wisatawan dan pengunjung lainnya (Charles R. Goeldner, 1994). Di dalamnya terdiri dari elemen-
elemen yang harus meliputi keberadaan: wisatawan, kalangan bisnis, pemerintah sebagai
pemangku wilayah, politisi dan masyarakat setempat.

Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan
wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah.

Untuk layak dinyatakan sebagai sebuah tempat wisata, terdapat sebagai komponen pariwisata
yang harus dimiliki, meliputi:
1. Atraksi, baik berasal dari alam mapun hasil ciptaan manusia atau tata cara hidup masyarakat.
Menurut Marioti dalam Yoeti (1996: 172) definisi atraksi wisata adalah segala sesuatu yang
terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang inin berkunjung ke
suatu tempat daerah tujuan wisata;
2. Aksesibilitas, berhubungan dengan sarana dan prasarana untuk menuju daerah tujuan wisata
oleh wisatawan., seperti: akses jalan raya, srana transportasi, rambu pennjuk jalan, etc.
Menurut Soekadijo (2000: 196) definisi sarana dan prasaran pariwisata adalah:
Prasarana (infrastructure); semua hasil konstruksi fisik, baik yang ada diatas mupun dibawah
tanah, diperlukan sebagai prasyarat untuk pembangunan.
Sarana (suprastruture); segala sesuatu yang dibangun dengan memanfaatkan prasarana.
3. Amenitas, fasilitas pendukung sebagai pemenuh kebutuhan wisatawan selama berada di
daerah wisata, seperti: sarana akomodasi, restoran, toilet umum, tempat parkir, tempat
ibadah, etc.
4. Ancillary, berkaitan dengan ketersediaan sebuah organisasi atau sekelompok orang yang
mengurus daerah wisata tersebut.

Untuk dapat terus bertahan dan berkembang, pariwisata perlu mengorganisasikan masa depan
untuk meraih tujuan tertentu melalui perencanaan pariwisata yang terkontrol dengan tujuan Pro
Growth, Pro Poor dan Pro Job (Inskeep dan Gunn). Pendekatan komprehensif digunakan dengan
mengusung paradigma bahwa seluruh aspek dalam perencanaan pariwisata saling terhubungan
juga dengan lingkungan alamiah dan area sosial. Cara pandang Inskeep memandang alam dan
komunitas bukan sebagai objek oksplorasi dan eksploitasi, namun sebagai subjek, sehingga
menurut Inskeep dan Gunn (1994) sebuah kawasan wisata baru dapat dikatakan baik dan
berhasil secara optimal didasarkan dari empat aspek sebagai berikut:
1. Mampu mempertahankan kelestarian lingkungannya;
2. Meningkatkan kesejahteran masyaakat di kawasan tersebut;
3. Menjamin kepuasan pengunjung;
4. Meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di sekita kawasan atau zona
pengembangannya.
Maka pelaksanaan pariwisata tidak hanya mengenai hal membangun dan mengembangkan
destinasi wisata di suatu daerah sebagai penggerak roda ekonomi namun juga mampu menjaga
kelestarian lingkungan hidup da meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitanya melalui
keterlibatan masyarakat sekitar secara langsung dalam pembangunan dan pengembangan
pariwisata.

Konservasi
Konservasi merupakan sebuah konsep ide atas upaya pemeliharaan apa yang dimiliki secara
bijaksana. Konsep konservasi ini pertama kali dicetuskan oleh Theodore Roosevelt. Konservasi
dalam pengertian sekarang sering diterjemahkan sebagai sebuah pemanfaatan sumberdaya alam
secara bijaksana (Utami, 2008).

Secara harfiah dengan keterkaitannya pada sumber daya alam, konservasi dimaknai sebagai: “the
preservation, management, ancare of natural and cultural resources” yakni pelestarian
pengelolaan, dan perawatan sumber-sumber daya alam dan cultural (Ian Campbell, 1972). Ia lalu
melanjutkan bahwa terdapat 3 definisi makna dari konservasi berupa: pertama, preservasi
(preservation) atau pelestarian sumber daya alam, kedua, pemanfaatan sumber daya alam
dengan penggunaan secara nalar (intellect utilization), dan ketiga, penggunaan sumberdaya alam
secara bijak (wise use).

Dalam pelaksanaan kegiatan konservasi lingkungan tidak dapat dipisahkan dari pembangunan
berkelanjutan, dan prinsip-prinsip serta alat perencana pembangunan berkelanjutan tersebut
tertuang dalam UU No. 4 tahun 1982 dan PP No. 51 tahun 1993 tentang AMDAL. Pembangunan
berkelanjutan yang dimaksud adalah bentuk pembangunan yang memahami kebutuhan dan
aspirasi generasi saat ini tanpa mengorbankan kepentingan generasi-generasi yang akan datang.
Pembangunan berkelanjutan di Indonesia dilakukan dengan prinsip-prinsip:
1. Menempatkan aspek lingkungan sedini mungkin pada saat ada pembangunan;
2. Pada setiap tahap pembangunan ligkungan menjadi pertimbangan utama;
3. Menerapkan konsep efisiensi dan konservasi dalam penggunaan sumber daya alam.
(Neolaka, 2008)

Taman nasional adalah salah satu bentuk dari usaha konservasi lingkungan. Taman nasional
sendiri didefinisikn sebagai perlindungan yang diberikan kepada suatu daerah yng luas yang
meliputi saran dan prasaraa pariwisata di dalamnya.
Pariwisata Konservasi
Pariwisata bagaikan pisau bermata dua bagi kelangsungan sebuah kawasan konservasi. Menurut
Buckley (2010), dalam prosesnya menjalankan sebuah manajemen yang berkesinambungan
antara pariwisata dan konservasi bukanlah perkara yang mudah. Dalam catatan James Catlin et al,
untuk secara tepat menyasarkan pada keterpenuhan kebutuhan dan konflik kepentingan yang
seringkali muncul dalam sebuah area lingkungan hayati, dibutuhkan sebuah pemahaman yang
menyeluruh atas dinamitas yang terjadi di dalam area tersebut (2010).

Telah terjadi proses reevaluasi atas area lindung menurut World Conservation Union et al.
(Pricing Policy for Tourism in Protected Areas: Lessons from Komodo National Park, Indonesia).
Masalah yang muncul adalah nilai yang harus dibayar dan dipertentangkan antara kepentingan
preservasi yang harus dihadapkan dengan kebutuhan publik , seperti yang dikutip Pricing Policy
for Tourism in Protected Areas Lessons from Komodo National Park, Indonesia dari Inamdar et
al.1999, dimana terjadinya tekanan dari peningkatan atas kebutuhan wilayah dan sumber daya
terhadap pemerintah, tertama di Negara berkembang, yang berakibat munculnya eksploitasi area
melalui kebijakan yag ditetapkan pemerintah. Hal ini menimbulkan berdampak pada
terganggunya sektor ekonomi area lindung sebagai efek dari kebijakan pemerintah dan kritik
sosial terkait kebutuhan are lindug vs kebutuhan masyarakat setempat )seperti yang dikutip oleh
Pricing Policy for Tourism in Protected Areas:Lessons from Komodo National Park, Indonesiad dari
Goodwin et al.1997).

Gangguan sektor ekonomi area lindung berdampak pada perkembangan area lindung. Selain
munculnya anggapan bahwa area lindung tidak hanya munculnya benturan kepentingan antara
area lindung vs kesejahteraan masyarakat, dari segi ekonomi area lindung tidak hanya dianggap
tidak memberikan nilai ekonomi lebih namun juga menjadi sebuah beban ekonomi.

Dalam tulisannya, Elizabeth J. Macfie et al, pariwisata sering diajukan sebagai:


1. Strategi untuk mendanai upaya konservasi untuk melindungi kera besar (terkait dengan
tulisannya) atau potensi hayati utama dari area lindung terkait;
2. Sebagai cara bagi masyarakat local untuk berpartisipasi;
3. Sebagai kegiatan usaha.
walaupun memang bahwa pariwisata berbasis konservasi belum tentu dapat diaplikasikan di
seluruh lokasi area lindung, karena (kembali) perlunya evaluasi bahwa terdapat resiko besar yang
mampu ditimbulkan oleh kegiatan wisata dan menuntut pendekatan yang sangat hati-hati demi
mencegah eksploitasi are lindung sebagai tujuan ekonomi semata.

Menurut Buckley (e.g. Buckle, 2004), pariwisata konservasi didefinikasan secara lebih sempit dan
terfokus atas definisi ekowisata. Conservation tourism (Gossling, Stefan – Tourism Management,
Vol. 33 (1) Elsevier – Feb 1. 2012). Pariwisata konservasi mampu menawarkan potensi dalam
berkontribusi dalam melestarikan keanekaragaman hayati , dengan diiringi oleh pemahaman dari
segi keilmuan mengenai manajemen atas keanekaragaman hayati termasuk didalamnya
perubahan iklim, pemanfaatan lahan dan produksi bahan bakar hayati. Sehingga Buckley
menyatakan bahwa konsep ini tidak hanya sekedar menjadi sebuah kedok lain dari bentuk bisnis
berbasis pariwisata kebanyakan yang berpayungkan “gerakan hijau”.

Prinsip – prinsip panduan wisata berbasis konservasi yang pernah disusun adalah sebuah bentuk
panduan wisata kera besar milik Elizabeth J. Macfie et al. Setelah mempelajari bahwa usunan
prinsip tersebut tidak secara khusus terumuskan atas dasar kebutuhan kera besar, namun berdiri
diatas dasar-dasar yang umum atas kepentingan hal-hal yang berkaitan dengan area lindung dan
sektor-sektor terkait dan kebutuhnya, maka prinsip ini dapat dijadikan sebuah model panduan
wisata di area lindung yang memiliki potensi hayati utama berupa flora atau fauna. Berikut adalah
prinsip panduan wisata dimaksud, dengan telah mengalami penyesuaian terhadap objek
konservasi berupa potensi hayati utama berupa flora atau fauna dari suatu area lindung:
 Pariwisata bukanlah obat mujarab (panacea) untuk potensi hayati utama berupa
flora atau fauna dari suatau kawasan konservasi atau mendatangkan penghasilan;
 Pariwisata dapat meningkatkan dukungan jangka panjang terhadap potensi hayati
utama berupa flora atau fauna dari suatau kawasan konservasi dan habitat mereka;
 Konservasi harus diutamakan—dijadikan sebagai tujuan utama dI semua
lokasi wisata potensi hayati utama berupa flora atau fauna dari suatu kawasan
konservasi dan wisata dapat dijadikan alat untuk membantu pendanaannya;
 Wisata potensi hayati utama berupa flora atau fauna dari suatau kawasan konservasi
dapat dikembangkan hanya bila manfaat konservasi yang diharapkan,
berdasarkan hasil studi dampak, jauh melebihi resiko yang dihadapi;
 Investasi dan kegiatan konservasi yang telah ditingkatkan di lokasi
wisata kera besar harus berkelanjutan;
 Pengelolaan wisata potensi hayati utama berupa flora atau fauna dari suatau
kawasan konservasi harus didasarkan pada ilmu pengetahuan yang ada dan
objektif;
 Manfaat dan keuntungan bagi masyarakat di sekitar kawasan habitat
potensi hayati utama berupa flora atau fauna dari suatau kawasan konservasi perlu
diperhatikan semaksimal mungkin;
 Laba untuk para mitra dari sektor swasta dan pihak lain yang memperoleh
penghasilan terkait dengan wisata juga penting, namun ini tidak boleH dijadikan kekuatan
pendorong bagi pengembangan atau perluasan wisata potensi hayati utama berupa
flora atau fauna dari suatau kawasan konservasi;
 Pengembangan kegiatan wisata harus diarahkan oleh pemahaman yang menyeluruh
tentang potensi dampak yang terjadi; dampak positif dari kegiatan wisata harus
dimaksimalkan; dampak negatif harus dihindari atau, bila takterelakkan, dipahami
secara lebih baik dan dikurangi.

2. Wildlife Tourism sebuah bentuk Ekowisata


Pemahaman ekowisata menurut Boo (1990) adalah sebuah perjalanan dengan dampak minimal ke
kawasan alam yang relatif-utuh dengan tujuan nyata untuk mengamati secara langsung kawasan ini
dan satwa liar yang berada di dalamnya. Sedangkan menurut TIES (2005), pengertian ekowisata
perlu mencakup dampak yang diberikan sektor wisata terhadap masyarakat local, yang secara utuh
didefinisikan sebagai perjalanan bertanggung jawab ke kawasan alam yang melestarikan lingkungan
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Untuk dapat dinyatakan sebagai sebuah bentuk ekowisata murni, terdapat prinsip-prinsip ekowisata
yang perlu diperhatikan. Mengambil prinsip ekowisata yang dinyatakan oleh Epler Wood (1996)
bahwa sebuah ekowisata perlu:
1. Menghindari terjadinya kerusakan pada integritas atau sifat dari lingkungan alam atau
budaya yang dikunjungi;
2. Mendidik pengunjung tentang pentingnya konservasi;
3. Mendatangkan penghasilan untuk mendanai upaya konservasi kawasan alam dan
pengelolaan kawasan yang dilindungi
4. Membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat local di kawasan tersebut.

Mengambil contoh kasus dari sebuah kawasan konservasi yang juga merupakan daerah tujuan
wisata, berupa wisata kera besar di area konservasinya (Elizabeth J. Macfie et al) pada kenyataannya
kebanyakan proyek wisata ekowisata tidak mampu memenuhi ke-empat kriteria tersebut. Mengutip
Russon (Susilo dan Russel 2004), Elizabeth menulis:
“Makin banyak pengunjung yang berlaku seperti wisatawan dan bukan seperti ekowisatawan
dan pada akhirnya merusak apa yang mereka kunjungi”

Wildlife Tourism
Menurut penelitian yang dilakukan P.C. Reynolds et al (2001) pariwisata yang berbasis kehidupan liar
sudah menjadi penghasil yang menjanjikan dan utama di beberapa Negara, Fillion, Foley dan
Jaquent (1992) beserta The Ecotourism Society (1998) lebih lanjut lagi menambahkan bahwa wildlife
tourism memiliki daya tarik yang luar biasa dari pasar ini. Sebanyak 40-60 % wisatawan dunia
merupakan nature tourust dan 20-40% nya adalah wisatawan yang memiliki minat yang
berhubungan dengan alam liar. Dalam tulisannya, P.C. Reynols juga menyatakan bahwa di tahun
1994 terdapat sebesar 106 - 211 juta wisatawan yang memiliki minat yang berhubungan dengan
alam liar dan jumlah ini terus mengalami peningkatan.

Pariwisata berbasis lingkungan liar digambar sebagai sebuah area yang mampu menyentuh ruang-
ruang pariwirisata berbasis alam (nature based tourism), ekowisata, pemanfaatan alam liar secara
konsumtif, rural tourism serta hubungan antara manusia dan hewan. Sehingga bicara mengenai
pariwisata alam liar akan juga berbicara mengenai pemahaman aspek ekologi, psikologi, fisiologi,
etika dan segala aspek ilmu sosial dan sudah tentu termasuk di dalamnya mengenai kepariwisataan.

P.C. Reynolds dan D. Brithwaite (2001)

Kemampuan berkembang dan pertumbuhan pariwisata berbasis lingkungan alam liar (wildlife
tourism) dipengaruhi oleh perkembangan hubungan antara kegiatan rekreasi dan lingkungan liar
yang dibangun diatas beberapa isu yang terus berkembang (Duffus dan Dearden, 1993) sebagai
berikut:
1. Re-evaluasi atas kehidupan lingkungan liar dan alam yang terus terjadi yang oleh lingkungan
sosial;
2. Dampak re-evaluasi lingkungan sosial tersebut terhadap tren pertumbuhan pariwisata
pariwisata berbasis alam dan lingkungan liar;
3. Perubahan sikap lingkungan sosial yang terus terjadi terhadap spesies tertentu mengingat
pendidikan terkait lingkungan liar menjadi kian mudah diakses dan semakin menghibur.

Namun keberhasilan wildlife tourism membutuhkan pemahaman yang kompleks atas bagaimana
pariwisata mampu menciptakan dan mengembangkan situasi yang berkesimbangunan di alam liar
sebagai sebuah destinasi yang menarik juga sebagai alat konservasi.

Teori wildlife tourism Duffus dan Dearden


Menurut Higginbottom (2004) wildlife tourism, secara luas, meliputi aktifitas wisata yang dilakukan
yang berhubungan dengan segala yang terkait dengan kehidupan di alam liar sebagai focus atraksi
utamanya ( James Catlin et al, 2011). Termasuk didalam wildlife tourism yaitu bentuk pariwisata
yang berbasis penangkaran maupun kehidupan liar yang bebas liar di suatu area lindung. Bentuk
kehidupan liar yang bebas liar di suatu area lindung menurut Dufus dan Dearden dimaksud adalah:
Hubungan sebuah bentuk aktifitas rekreasi manusia terhadap kehidupan liar dimana organisme
penting tidak mengalami pemindahan atau pun merasakan dampak yang permanen dari terciptanya
hubungan antara aktifitas rekreasi manusia terhadap kehidupan liar tersebut (Duffus dan Dearden,
1990, p.215).
Duffus dan Dearden (1990), merupakan yang pertama yang mampu merumuskan sebuah konsep
pemahaman atas kompleksitas yang dialami oleh hubungan antara konservasi dan pariwisata
melalui kerangka non-consumptive wildlife tourism (J. Catlin et al, 2011). Kerangka kerja tersebut
meliputi 3 dimensi interaksi wildlife tourism, berupa wisatawan dari wildlife tourism; spesies fokal
(spesies yang dianggap sebagai spesies utama dari suatu area kehidupan liar) dan habitatnya; dan
profil sejarah hubungan antara spesies fokal dan habitatnya.

J. Calin et al (2011) yang mengupas teori wildlife tourism milik Duffus dan Dearden memaparkan
kembali hasil deskripsi yang lebih mendalam atas komponen tersebut. Pertama, terdapat hubungan
popularitas suatu spesies yang memiliki nilai jual sebagai daya tarik wisata,ditentukan oleh sejarah
hubungan yang terbangun antara manusia dengan spesies tertentu dari area tersebut. Permintaan
atas penampakan fisik atau bentuk permintaan pengalaman atas suatu spesies tertentu di
habitatnya merupakan hasil dari sebuah dampak langsung atas hubungan manusia terhadap spesies
tersebut dan habitatnya. Hal tersebut menjadi faktor penarik wisatawan terhadap spesies tertentu
tersebut, yang merupakan spesies langka dan tidak lazim, yang seringkali merupakan imbas dari
tekanan negatif dari hubungan antropojenik di masa lalu dan masa kini, sementara terjadi hal
yang sebaliknya pada spesies (hewan) yang mudah ditemui dalam keseharinnya, seperti hewan
peliharaan dan hewan untuk pertanian. Persepsi budaya para wisatawan juga memiliki peran
tersendiri terhadap spesies hewan yang dianggap memiliki nilai lebih dimata mereka, dimana
spesies yang dianggap berbahaya bagi manusia cenderung lebih popular dibandingkan spesies yang
kurang/tidak berbahaya. (James Catlin et al, 2011).

Sementara itu komponen lain yang mendapat perhatian khusus adalah kehidupan liar itu sendiri
dimana wildlife tourism menggantungkan aktifitas pariwisata dari penampakan spesies yang
dibidik/popular dari suatu area lingkungan liar (baik yang dilindungi maupun tidak).
Dalam mendeskripsikan bentuk hubungan antar ketiga dimensi yang dicetuskan oleh Duffus dan
Dearden (1990), bahwa terlepas dari jenis interaksi, baik memiliki dioperasikan secara komersil
berskala besar maupun atas insiatif individu, wildlife tourism besifat dinamis dan tidak terlepas dari
perubahan baik pada yang memanfaatkannya maupun lapangan area terkait. Dimana tiap
perubahan yang terjadi di lapangan akan memberi dampak pada jenis pemanfaat lapangn yang
berbeda, dan begitu pula sebaliknya.

James Catlin et al (2011) juga memaparkan argumen Duffus dan Dearden lanjut tentang bagaimana
tingkat popularitas suatu area lingkungan liar yang pada awalnya hanya sebuah lapangan yang
menarik pada spesialis lingkungan alam liar; dengan karakter berpendidikan, terlatih, hanya
memerlukan infrastruktur yang minim dan berorientasi pada pencapaian kegiatan menikmati dan
memperoleh pengalaman dari interaksi di alam liar; mengalami pergeseran. Saat popularitas suatu
lingkungan alam liar meningkat, maka akan memperluas range jenis wisatawan yang mampu ditarik
sehingga tipe wisatawan dengan minat yang lebih umum (wisatawan kebanyakan) masuk ke dalam
populasi pengunjung wildlife tourism.

Berbeda dengan karakter wisatawan yang berasal dari golongan spesialis, yang menimbulkan
dampak minimal pada lingkungan dan spesis fokal, menurut Duffus dan Dearden (1990) wisatawan
kebanyakan akan menimbulkan tekanan bagi lingkungan alam liar serta keadaan sosialnya. Tekanan
ini muncul dikarenakan oleh jumlah wisatawan kebanyakan yang besar, terlebih lagi jika
dibandingkan oleh para spesialis yang biasanya melakukan kunjungan tidak dalam rombongan dan
hanya mengunjungi area-area tertentu yang sesuai dengan minat serta spesialisasinya.
6. Analisis
1. Gambaran Umum Taman Nasional Way Kambas
a.Sejarah Taman Nasional Way Kambas
Sejarah kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai pada tahun 1936 oleh Mr. Rookmaker,
Resident Lampung, yang kemudian ditetapkan oleh Surat Keputusan Gubernur Belanda pada
tangga 26 Janari 1937 Stbl 1937 Nomor 38. Taman Nasional Way Kambas pada awalnya berangkat
dari sebuah cagar alam yang berubah fungsi menjadi sebuah suaka margasatwa, yang kemudian
ditetapkan menjadi sebuah Taman Nasional berdasarkan SK No.14/Menhut-II/1989.

Status suaka margasatwa Way Kambas kemudian berubah menjadi Kawasan Pelestarian Alam
(KPA) oleh Menteri Pertanian melalui SK Menteri Pertanian Nomor 429/Kpts-7/1978 tanggal 10
Juli 1978 dan dikelola oleh Sub Balai Kawasan Pelestarian Alam (SBKPA).

Alasan perubahan status kawasan menjadi Kawasan Pelestarian Alam yaitu dalam rangka
melindungi kawasan yang kaya akan satwa liar yang dilindungi, termasuk diantaranya harimau
Sumatera, gajah Sumatera, tapir, beruang matahari, enam jenis primata, rusa sambar serta
kijang; badak Sumatera tidak masuk ke dalam daftar pertimbangan karena pada masa itu belum
dideteksi keberadaannya di wilayah tersebut.

Bentuk Kawasan Pelestarian Alam Way Kambas mengalami perubahan lagi menjadi Kawasan
Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) yang dikelola oleh SBKSDA dengan luas 130,000 ha yang
ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 177/Kpts-II/1985 tanggal 12
Oktober 1985. Pada 1 April 1989, bertepatan dengan Pekan Konservasi Nasional yang diadakan
di Kaliurang Yogyakarta, dinyatakan sebagai Kawasan Taman Nasional Way Kambas berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 444/Menhut-II/1989. Dan tahun 1991 atas dasar
Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 144/Kpts/II/1991 tanggal 13 Maret 1991 dinyatakan
sebagai Taman Nasional Way Kambas, pengelolaantaman nasional ini dilakukan oleh Sub Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Way Kambas yang bertanggungjawab langsung kepada Balai
Konsevasi Sumber Daya Alam II Tanjung Karang.

Pada periode 1968-1974 dalam perjalanannya sebagai Kawasan Pelestarian Alam, Way Kambas
sempat mengalami kerusakan habitat yang cukup berat, pada masa itu Hak Pengusahaan Hutan
dibuka dan berdampak pada pemanfaatan hutan beserta isinya (termasuk di dalamnya satwa).

Meskipun penetapan Way Kambas sebagai sebuah Taman Nasional baru dinyatakan pada ahun
1989, namun Elephant Conservation centre (ECC) sudah berdiri semenjak 1980-an. ECC memiliki
program untuk menjinakan gajah – gajah liar yang kemudian digunakan untuk membantuk
pekerjaan yang berhubungan dengan beban berat di lingkungan sekitar, ekowisata, patroli gajah
serta untuk pengembangbiakan. Dalam salah satu atraksi di ECC, gajah-gajah yang dijinakkan pun
memiliki keahlian melukis. Pada tahap awal berdirinya pusat pelatihan gajah ini, dimulai dari
Operasi Ganesha yang melakukan penggiringan gajah-gajah liar yang berada di luar kawasan
untuk masuk ke dalam lokasi TNWK. ECC juga yang memprakarsi berdisinya Elephant Hospital
(Rumah Sakit Gajah) yang pertama di Indonesi dan terbesar di Asia. Rumah sakit ini akan berdiri
diatas tanah sebesar 5 ha dengan dana tidak kurang dari Rp. 10 triliun di tahun 2014 ( Surat
Keputusan Menteri Kehutanan nomor No. 670/Kpts-II/1999, August 26, 1999)

b. Sosial, Budaya dan Ekonomi


Sosial
Penduduk yang tinggal di daerah sekitar Taman Nasional Way Kambas terbagi berdasarkan sifat
keberadannya menjadi dua kelompok, yaitu kelompok penduduk asli dan kelompok pendatang.
Para penduduk asli bermukim di Kecamatan Sukadana dan Way Jepara dan para pendatang, yang
merupakan transmigran dari Jawa dan Bali, menyebar hampir di seluruh daerah sekitar Way
Kambas. Selain penduduk yang berasal dari Jawa dan Bali, terdapat pula para pendatang dari
Melayu, Bugis, Serang dan Batak yang sebagian besar bermukim di daerah pesisir.

Desa-desa penyangga ekonomi di daerah Way Kambas banyak dihuni oleh para pendatang,
terutama yang datang dari Pulau Jawa. Pendatang dari Pulau Jawa tersebut diawali dari program
kolonialisasi Pemerintah Hindia Belanda, dan sebagian lainnya berasal dari program transmigrasi
yang dicanangkan pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan.

Budaya
Dalam rangka mempromosikan kepariwisataan dan budaya Lampung yang beragam dilaksanakan
Festival Way Kambas. Kegiatan ini dilaksanaka setahun sekali dan biasanya diadakan setiap bulan
Desember dan bertempat di Taman Nasional Way Kambas. Rangkaian kegiatan pada Festival Way
Kambas meliputi pemilihan mulei mekhanai Lampun, kegiatan off road, rally sepeda ontel,
eksebisi kesenian, atraksi gajah, dan lainnya.

Ekonomi
1. Pola Penggunaan Lahan dan Struktur Perekonomian
Sebagian besar pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh penduduk, sebagai usaha/sumber
penghasilan, di sekitar Taman Nasional Way Kambas adalah sebagai lahan pertanian,
pemanfaatan ini dilakkan baik oleh masyarakat maupun perusahaan yang bergerak di bidang
pertanian/perkebunan.

Karakter lahan pertanian terbagi menjadi dua, dimana penduduk asli pada umumnya
menggunakan pola pertanian lahan kering (kebun lada, kelapa, durian, karet, kelapa sawit dan
singkong) sedangkan para penduduk pendatang bertani dengan menggunakan pola lahan basah
(pesawahan).
Pada daerah desa penyangga, pemanfaatan lahan kering terbagi menjadi dua kelompok besar:
singkong dan tanaman perkebunan seperti karet dan kelapa sawit. Dan di daerah-daerah yang
sering mengalami gangguan gajah, tanaman yang dipilih adalah dari jenis yang kurang/tidak
menarik minat gajah demi mengurangi kemungkinan gangguan gajah yang berulang.

Peranan sektor pertanian,yang diperoleh dari pemanfaatan lahan masyarakat, masih


mendominasi di area ini. Tidak banyak masyarakat sekitar yang memanfaatkan sektor industri
dan jasa sebagai penunjang hidup dan penggerak roda perekonomian di area tersebut. Beberapa
sektor perdagangan yang berjalan pun masih berkisar pada usaha perdagangan kelas kecil.

Sektor pertanian yang masih mendominasi diperoleh dari lahan marginal, sehingga produksi
pertanian yang dihasilkan pun rendah. Maka mesti pertanian merupakan jenis usaha yang
dilakukan oleh sebagian besar penduduk setempat,namun belum memberikan dampak yang
signifikan bagi tingkat kesejahteraan para penduduk.

Dalam menghadapi era keterbukaan, Taman Nasional Way Kambas memiliki pengembangan
fungsi strategis melalui pengelolaan taman nasional modern. Taman nasional ini berusaha
menyelenggarakan, mendukung dan melaksanakan program pendidikan konservasi yang luas,
melalui pengenalan sumber daya alam, termasuk di dalamnya flora dan fauna, yang ada kepada
masyarakat umum. Sehingga Taman Nasionak Way Kambas berusaha mewujudkannya melalui
suatu wadah yang memuat informasi kekayaan sumber daya alam yang ada lewat program
pembelajaran yang dilakukan dengan metode “Berekreasi sambil belajar”.

2. Investasi
Berdasarkan program prioritas pengembangan milik Kabupaten Lampung TImur, Taman Nasional
Way Kambas merupakan daerah pengembangan ekowisata dan dianggap memberikan peluang
investasi yang luas

2. Kajian terhadap Taman Nasional Way Kambas


a. Taman Nasional Way Kambas dari Perspektif Kajian Sosial dan Budaya
Penelitian milik S. Hedges (2005) menunjukkan bahwa seiring dengan meningkatnya pertumbuhan
populasi manusia di Sumatera, habitat satwa liar kian menurun. Masalah yang kemudian timbul
terkait dengan pertumbuhan populasi manusia terhadap Taman Nasional Way Kambas yaitu kerap
munculnya konflik antara manusia (penduduk sekitar taman nasional) dengan satwa liar (utamanya
merujuk pada gajah).

Habitat hidup gajah Sumatera liar terus terfragmentasi oleh lahan-lahan hidup manusia, sedangkan
ruang wilayah jelajah mereka yang besar mengakibatkan daerah jelajahnya tidak hanya berada di
dalam kawasan Taman Nasional Way Kambas. Habitat hidup yang kian mengecil ini memperbesar
resiko bagi para penduduk untuk mengalami serbuan gajah/kelompok gajah yang masuk ke dalam
lahan penduduk baik sebagai akibat dari kebutuhan pangan dan tempat hidup gajah yang kian
berkurang, lahan penduduk memasuki koridor jelajah gajah di habitatnya, atau hasil pertanian
penduduk yang ditanam menarik minat gajah atas kebutuhan pangannya.

Sementara ketergantungan penduduk sekitar Taman Nasional Way Kambas yang masih besar pada
sektor pertanian dan perkebunan ditambah pertumbuhan populasi akan terus menimbulkan
tekanan yang kian besar bagi habitat hidup gajah dan resiko lahan rusak akibat serangan atau
jarahan gajah liar.

Dalam pencegahan timbulnya konflik antara gajah dan manusia, P.J Nyhus et al. menyimpulkan
bahwa gajah dapat hidup berdampingan dengan penduduk setempat dapat hidup tanpa konflik
selama keduanya hidup dengan jarak yang memisahkan. Namun gajah dan penduduk setempat
merupakan bagian yang menyatu dengan lingkungan Taman Nasional Way Kambas (dan sekitarnya),
salah satu diantaranya tidak bisa diambil dan dibawa keluar dari lingkungan tersebut demi
terpeliharanya kesinambungan taman nasional ini. Dan pada suatu titik yang tidak terhindarkan
bahwa keduanya pada akhirnya akan saling bersinggungan.

b. Taman Nasional Way Kambas dari Perspektif Teori Wildlife Tourism sebagai Kawasan Pariwisata
Konservasi
Dari perspektif pariwisata, kendala yang dihadapi Taman Nasional Way Kambas menyebabkan
daerah tujuan wisata ini memiliki hambatan untuk berkembang yang menghalangi Taman Nasional
Way Kambas untuk menjadi sebuah contoh destinasi wisata alam liar yang sangat potensial di
Indonesia dan lebih lanjut lagi mampu berdiri sejajar sebagai destinasi tujuan wisata taman nasional
di kelas internasional. Sebagai sebuah daerah tujuan wisata, komponen-komponen pembangun
destinasi wisata yang dimiliki Taman Nasional Way Kambas tidak mampu dinyatakan memenuhi
standar. Berikut kondisi lapangan komponen-komponen pembangun destinasi wisata yang dimiliki
Taman Nasional Way Kambas:
 Atraksi
Atraksi di Taman Nasional Way Kambas terdiri atas dua:
a. Alam
Sebagai sebuah destinasi wildlife tourism di alamnya, Taman Nasional Way Kambas
sudah memenuhi kriteria sebagai tujuan wisata alam liar jika dinilai dengan parameter
kriteria alam, milik P.C. Reynolds dan D. Brithwaite (2001), dimana Taman Nasional Way
Kambas sudah memiliki karakteristik dimaksud:
1. Spesies:
a. lokasi dan tempat aktifitas yang dapat diprediksi;
b. mampu didekati;
c. dapat disaksikan dihabitatnya langsung;
d. memiliki toleransi terhadap kehadiran manusia (di waktu-waktu tertentu
dalam kurun waktu satu tahun);
e. memiliki elemen kelangkan atau jumlahnya sangat banyak secara local;
f. memiliki pola aktifitas kemunculan di siang hari (diurnal).
2. Habitat:
a. terdapat sejumlah spesies yang menarik yang dapat diamati;
b. terbuka dan memungkinkan penampakan atas suatu spesies dengan baik;
c. memiliki daerah/titik yang mampu memberi perlindungan bagi para
pemerhati sehingga mereka dapat berada dalam jarak yang cukup baik dari
spesies yang ditelitinya/yang ingin diamati;
d. memiliki tempat-tempat tertentu dan khas (features) yang merupakan daerah
konsentrasi dari satu jenis spesies dalam waktu tertentu.

Area Way Kambas, Way Kanan, Rawa Kali Biru, Rawa Gajah, dan Kuala Kambas yang diakui
oleh pengunjungnya, para wisatawan minat khusus dari kalangan peneliti, pemerhati
burung, spesialis, sangat kaya akan penampakan spesies lokalnya sudah memenuhi
krakteristik diatas sebagai sebuah wisata alam liar.

b. Buatan Manusia
Atraksi di Pusat Latihan Gajah menawarkan pengunjung untuk melakukan berbagai
macam aktifitas menyaksikan atraksi gajah bahkan beraktifitas bersama gajah-gajah yang
sudah dilatih. Pilihan atraksi yang dimiliki Taman Nasional Way Kambas mampu
memenuhi kebutuhan dari jenis wisatawan umum (seperti wisatawan dengan keluarga,
tur pendidikan). Merupakan salah satu potensi utama yang dimiliki oleh destinasi ini.

Berdasarkan informasi di lapangan (namun belum dapat terdokumentasikan), bahwa pada


libur dan musim liburan panjang jumlah pengunjung dengan keluarga dan rombongan
wisata (terutama dari sekolah) cukup besar. Sebagian datang ke Taman Nasional Way
Kambas untuk menyaksikan atraksi gajah (seperti bermain bola, berjabat tangan, dan
semacamnya) ataupun untuk sekedar berpiknik di dekat pelataran atraksi gajah atau dekat
pemandian gajah.

Namun umpan balik dari para pengunjung bahwa atraksi yang disajikan tidak memberikan kesan
yang memuaskan berdasarkan ekspektasi mereka. Tingkat kepuasan pengunjung ini selain juga
dipengaruhi oleh kekurangpuasan atas komponen penunjang pariwisata Taman Nasional Way
Kambas, juga karena kemasan atraksi yang dianggap biasa-biasa saja.
Informasi angka kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Way Kambas, di antara jenis wisata
serupa, di tahun 2010 – 2011 (Direktoral Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2011)
 Aksesibilitas
Akses menuju Taman Nasional Way Kambas cukup memiliki banyak pilihan, baik dapat
diakses melalui udara maupun melalui laut (dari kota besar atau utama menuju Bandar
Udara Domestik Radin Inten II). Untuk selanjutnya dapat dilanjutkan melalui jalur darat.
Jalur-jalur utama di darat pada umumnya cukup baik hingga mencapai kawasan Taman
Nasional Way Kambas, walaupun beberapa jalan alternatif lain kondisinya tidak terlalu
baik.

Untuk dapat melakukan pengamatan di alam liar dalam kawasan Taman Nasional Way
Kambas diperlukan pegurusan perizinan. Perizinan diperlukan untuk pendampingan
wisatawan di alam liar. Umpan balik daripada wisatawan, proses ini tidak memakan
waktu dan cukup mudah.

Namun akses jalan menuju pusat area wisata sulit. Kondisi jalan yang tidak terlalu baik,
dengan aspal jalan (hingga Juli 2012) kondisinya tidaklah mulus. Hal ini akan lebih
mengganggu lagi di musim hujan, akses jalan menjadi lebih sulit dilewati akibat lumpur
dan tidak jarang tergenang banjir sehingga akses hanya mampu dilewati dengan
menggunakan kendaraan four wheel drive. Tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan
pribadi di area liar Taman Nasional Way Kambas, kecuali ke Pusat Latihan Gajah
Karangsari.

 Amenitas
Akomodasi; tempat penginapan terdekat dari kawasan Taman Nasional Way Kambas
adalah Gajah Ecolodge. Tidak banyak pilihan penginapan lainnya, terkecuali wisatawan
bersedia menginap di lokasi berkemah jika memang tujuan kedatangan untuk melakukan
pengamatan di lapangan. Pilihan penginapan lainnya adalah sebuah resort di kawasan
Way Kanan.

Tidak terlalu banyak opsi yang ditawarkan atas pilihan penginapan yang dekat dengan
Taman Nasional Way Kambas. Penginapan lainnya berjarak cukup jauh, dan akan
memakan waktu untuk mencapai pusat rekreasi terlebih lagi di musim liburan karena
selain jarak tempuh yang cukup jauh juga arus kendaraan yang padat.

Area rekreasi: area rekreasi untuk menyaksikan atraksi gajah tidak terawat dengan baik.
Hal ini akan mengganggu kenyaman pengunjung terlebih lagi di siang hari karena terik
matahari. Pengunjung yang datang bersama keluarga, sering memilih untuk
menghabiskan waktu di area ini untuk piknik. Namun tidak adanya area khusus untuk
aktifitas piknik, yang biasanya dilakukan dengan duduk-duduk berkelompok disertai
makan dalam kurun waktu tertentu, mengakibatkan ketidaktertiban di area Taman
Nasional Way Kambas sehingga rentan mengganggu fungsi konservasi area ini.

Fasilitas kebersihan; terkait dengan kegiata piknik yang sering dilakukan di tempat ini,
fasilitas kebersihan yang kurang memadai (seperti tidak adanya pola pengaturan
penempatan tempat sampah) mengakibatkan kotor dan tercemarnya lingkungan Taman
Nasional Way Kambas.

Kelayakan fasilitas umum lainnya di Taman Nasional Way Kambas juga perlu ditingkatkan,
seperti area parkir yang kurang memadai karena tidak teratur dengan baik, tidak terlalu
banyak pilihan temoat makan; yang tersedia hanyalah kios-kios warung makan yang
untuk beberapa tipe pengunjung lainnya tidak meyakinkan; dan masalah kebersihan dan
kondisi toilet umum yang kurang baik. Secara garis besar, fasilitas di Taman Nasioal Way
Kambas kondisinya tidak terawat degan baik dan tidak terjaga kebersihannya.

 Ancillary
Taman Nasional Way Kambas dikenal dengan kunjungan wisatawan mancanegara yang
memang jumlahnya tidak banyak, namun intens. Pengelolaannya dilakukan dengan
professional oleh para ranger local dan jajaran pihak kehutanan terkait mengingat adanya
komunitas pengunjung yang datang dari kalangan spesialis dan peneliti.

Namun pemandu di kawasan liar di Taman Nasional Way Kambas masih kurang memiliki
keahlian dalam berbahasi Inggris, hal ini dianggap menyulitkan bagi pengunjung
mancanegara. Terlebih lagi regulasi yang mengharuskan pendampingan pemandu bagi
pengunjung yang ingin memasuki wilayah Taman Nasional Way Kambas demi
keselamatan pengunjung dari kemungkinan bertemu satwa liat yang agresif. Pemandu-
pemandu juga dianggap kurang memiliki kerahmahtamahan walaupun pengetahuan
mereka terkait dengan Taman Nasional Way Kambas dan isinya diakui sangap cakap.
6. Kesimpulan
Kawasan Taman Nasioanl Way Kambas kedepannya diharapkan mampu mendanai kelangsungan
hidupnya melalui pariwisata. Terdapat peluang besar melalui manfaat yang diambil dari potensi
Taman Nasional Way Kambas sebagai tujuan wisata ekowisata berbentuk wildlife tourism.

Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kritik dan saran terkait kondisi saat ini dari
Taman Nasional Way Kambas sebagai tujuan wisata ekowisata berbentuk wildlife tourism :
a. Kritik dan Saran dari Sudut Pandang Sosial Budaya
Dominasi sektor pertanian sebagai jenis usaha yang banyak dilakukan penduduk setempat
perlu dialihkan. Program pembelajaran milik Taman Nasional Way Kambas melalui metode
“Berekreasi sambil belajar” yang berbasis pada kegiatan konservasi lingkungannya, yakni
sekitar Taman Nasional Way Kambas, meliputi isinya perlu disosialisasikan segera,
sehingga penduduk mampu belajar dan memahami bahwa begitu banyak peluang yang
dapat dikembangkan diluar sektor pertanian, misalnya: melalui sektor pariwisata. Hal ini
dapat diwujudkannya melalui penyedian wadah yang memuat informasi kekayaan sumber
daya alam yang ada lewat program tersebut untuk membentuk pemahaman penduduk
tentang lingkungannya, beserta isinya, bahwa lingkungan tersebut berharga dan mampu
memberikan timbal balik secara ekonomis yang akan memberi dampak positif bagi
kesejahteraan sosial penduduk.

b. Kritik dari Sudut Pandang Pariwisata


1. Perbaikan akses jalan baik menuju Taman Nasional Way Kambas, maupun di dalam
areanya, sehingga arus lalu lintas tidak terhambat akibat akses jalan yang rusak dan
mengganggu terutama di musim hujan;
2. Papan informasi yang jelas dan tertib, terutama terkait dengan papan informasi dan
papan peringatan mengenai adanya kemungkinan satwa liar yang dapat melintasi jalan
pada saat menuju Taman Nasional Way Kambas;
3. Infrastruktur Taman Nasional Way Kambas perlu ditingkatkan agar menjadi lebih baik
lagi, perlu dibuatkan standar mengenai kelayakan infrastruktur yang terdapat di tempat
ini demi terciptanya kenyamanan wisatawan tanpa mengganggu tujuan konservasi;
4. Perawatan fasilitas umum perlu diperhatikan lebih lanjut terutama dari segi
kebersihan;
5. Penyediaan area khusus piknik;
6. Penyediaan lahan parkir yang memadai dan teratur. Dan untuk di area pelatihan gajah
pengaturan lahan parkir yang layak di dekat arena pertunjukan atraksi gajah untuk
wisatawan;
7. Penyediaan tempat sampah yang terpetakan dengan baik di titik tertentu;
8. Pelatihan kemampuan berbahasa Inggris serta pembekalan pengetahuan mengenai
tata cara menyambut dan bertindak sebagai pemandu yang baik kepada para pemandu
dan ranger;
9. Pemetaan toko-toko souvenir agar lebih direncanakan penempatannya agar sesuai
dengan alur masuk dan keluar wisatawan ke daerah wisata Taman Nasional Way
Kambas agar ditempatkan di posisi strategis dengan tertib;
10. Perlunya merangkul pihak lain (mis: pihak swasta, etc) untuk berpartisipasi dalam
komunitas bisnis untuk membuat produk yang mampu memenuhi kebutuhan
wisatawan atas variasi souvenir yang berkualitas dan iconic, mengingat Taman Nasional
Way Kambas memiliki icon fauna dan flora yang kuat;
11. Paket tur Taman Nasional Way Kambas dan sekitarnya, mengingat banyak terdapat
potensi wisata di Lampung yang dapat dikumpulkan ke dalam sebuah paket tur demi
meningkatkan lama tinggal wisatawan.
DAFTAR PUSTAKA
Catlin, James; Roy Jones; Tod Jones. 2011. Revisiting Duffus and Dearden’s Wildlife Tourism
Framework. Biological Conservation 144, 1537-1544. Elsevier.
Gajah. 2000. November Edition Journal of the Asian Elephant Specialist Group.
Hedges, Simon ; Martin J. Tyso; Arnold F. Sitompul; Margaret F. Kinnaird; Donny Gunaryadi; Aslan.
2005. Distribution, Status, and Conservation Needs of Asian Elephants (Elephas
maximus) in Lampung Province, Sumatra, Indonesia. Biological Conservation. Elsevier
Hidayat, Wahyu. 2011. Faktor-faktor yang Memperngaruhi Kunjungan Wisata di Taman NAsional
Way Kambas Propinsi Lampung. Jakarta: Universitas Indonesia.
Higham, J.E.S.; E.J. Shelton .2011. Tourism and Wildlife Habituation: Reduced Population Fitness or
Cessation of Impact. Vol. 32 Tourism Management. Elsevier.
Macfie, J. Elizabeth; Elizabeth A. Williamson, 2010. Panduan Wisata Kera Besar. No.38 IUCN Species
Survival Commision: Gland, Switzerland.
Nyhus, Philip; Ronald TIlson. 2004. Agroforestry, Elephants, and Tigers-balancing Conservation
Theory and Practice in Human-dominated Landscapes of Southeast Asia. Agriculture,
Ecosystems and Environment 104, 87-97. Elsevier.
Olah, Janos; Atila Simay.2007. Way Kambas National Park, Sumatra, Indonesia: The Best Asian Night-
Birding. Vol. 8 BirdingASIA: 39-44.
Reynolds, Paul; Dick Braithwaite. 2001. Towards a Conceptual Framework for Wildlife Tourism. Vol.
22 Tourism Management. Elsevier.
Sejarah Taman Nasional Way Kambas. Retrieved May 2013 from
http://way-kambas.blogspot.com/2012/05/sejarah-kawasan_21.html
Statistik Kehutanan Indonesia. Retrieved May 2013 from http://www.dephut.go.id/index.php?
q=id/node/8586
Walpole, Matthew J.; Harold J. Goodwin; Lari G. R. Ward. 2001. Pricing Policy for Tourism in
Protected Areas: Lessons from Komodo Ntional Park, Indonesia. Vol. 15 No.1 Conservation Biology.
Way Kambas National Park. Retrieved May 2013 from
http://www.save-travel.org/index.php?option=com_content&task=view&id=97&Itemid=170

Anda mungkin juga menyukai