Anda di halaman 1dari 11

BAB 10

EKOLOGI PERAIRAN PAYAU (ESTUARIA)


10.1. KARAKTERISTIK PERAIRAN ESTUARIA
Estuaria adalah suatu perairan semi tertutup yang berada pada bagian hilir sungai dan masih
berhubungan bebas dengan laut dan menerima masukan air tawar dari daratan sehingga
memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air asin.
Di perairan estuaria, arus pasang surut sangat dominan pengaruhnya dibandingkan dengan
arus yang ditimbulkan oleh angina tau gelombang sehingga perilaku estuaria sangat tergantung
pada aksi pasang surut dan aliran sungai yang merupakan perubah bebas.
Estuaria adalah badan air yang bergerak dinamis sebagai tempat bertemunya air tawar dari
sungai dan air asin dari laut. Adanya perbedaan karakteristik antara air tawar dan air asin maka
pencampuran yang terjadi dengan mudahnya, terkadang pencampuran dapat terjadi dengan
sempurna tetapi kadang pula akan terstratifikasi membentuk lapisan tersendiri.
Perairan estuaria sering dikaitkan dengan ekosistem pantai lainnya, seperti teluk, delta, hutan
rawa, dan hutan mangrove. Estuaria berfungsi sebagai sistem penyaringan serta kolam
pengendapan lumpur sungai dan menjadi contoh bagi adanya saling ketergantungan antara
sistem daratan dengan lautan.
Kombinasi pengaruh air asin dan air tawar pada perairan estuaria akan menghasilkan
komunitas yang khas, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi (Suptiharyono, 2017), antara
lain adalah sebagai berikut:
1. Tempat bertemunya arus air sungai dengan arus pasang surut yang berlawanan
menyebabkan suatu pengaruh kuat pada sedimentasi, percampuran air, dan ciri-ciri fisika
lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya.
2. Percampuran kedua massa air tersebut menghasilkan sifat fisik lingkungan yang tidak
sama dengan air sungai dan air laut.
3. Perubahan akibat pasang surut mengahruskan organisme menyesuaikan secara fisiologis
dengan lingkungannya.
4. Tingkat salinitas perairan estuaria tergantung pada pasang surut air laut, banyaknya aliran
air sungai dan topografi daerah tersebut sehingga sistem ekologi pada daerah estuaria
sangat berbeda dengan sungai dan laut.
10.2. PENGGOLONGAN PERAIRAN ESTUARIA
Berdasarkan karakteristik geomorfologinya, perairan estuaria dapat digolongkan menjadi
empat tipe (Tuwo, 2011), yaitu:
1) Estuaria dataran pesisir, paling umum dijumpai yang pembentukannya terjadi akibat
kenaikan permukaan air laut yang menggenangi sungai di bagian pantai yang landau.
2) Estuaria laguna atau teluk semi tertutup, terbentuk oleh adanya beting pasir yang terletak
sejajar dengan garis pantai sehingga menghalangi interaksi langsung dan terbuka dengan
periaran laut.
3) Estuaria fjords, merupakan estuaria yang dalam dan terbentuk oleh aktivitas gletser yang
mengakibatkan tergenangnya lembah es oleh air laut.
4) Estuaria tektonik, terbentuk oleh aktivitas tektonik (gempa bumi atau letusan gunung
berapi) yang mengakibatkan tutunnya permukaan tanah yang kemudian digenangis oleh
air laut saat pasang.
Secara horizontal, salinitas yang tertinggi berada pada daerah perbatasan anatar estuaria
dengan laut, sementara yang terendah pada daerah dimana air tawar masuk ke estuaria.
Sedangkan secara vertikal, salinitas pada lapisan atas kolam air umumnya lebih rendah daripada
salinitas air pada lapisan bawahnya. Hal ini disebabkan karena air tawar cenderung terapung di
atas air asin yang lebih besar berat jenisnya karena mengandung banyak garam-garam.
Berdasarkan pada pola sirkulasi dan stratifikasi air, estuaria digolongkan menjadi tipe
(Bengen, 2002; Goltenboth et al.,2012), yaitu:
1. Estuaria berstratifikasi sempurna (estuaria baji garam), yaitu tipe estuaria jelas antara air
tawar dan air asin. Estuaria tipe ini ditemukan di daerah dengan aliran air tawar dari
sungai yang besar lebih dominan daripada instrusi air asin dari laut yang dipengaruhi oleh
pasang surut. Tipe ini dijumpai pada sungai yang berarus lebih besar dari arus pasang
surut sehingga air tawar yang diabwa oleh sungai cenderung melimpasi air garam yang
lebih berat dari laut (Gambar 10.1).

Gambar 10.1 Tipe estuaria berstratifikasi sempurna (Bengen, 2002)


2. Estuaria berstratifikasi sedang, yaitu tipe yang terjadi akibat adanya gerakan pasang surut
yang menyebabkan terjadinya pengaduan pada kolom air hingga terjadi pertukaran air
secara vertikal. Pada permukaan air cenderung mengalir keluar sedangkan air laut
merayap masuk dari bawah. Arus pasang dan arus sungai memiliki kekuatan yang
simbang sehingga salinitas akan secara gradual meningkat seiring kedalaman air (Gambar
10.2).

Gambar 10.2 Tipe estuaria berstratifikasi sedang (Woodward, 2008)


3. Estuaria homogen vertikal (campuran sempurna), bila gerakan pasang surut sangat
dominan sehingga air cenderung bercampur dengan baik darinatas sampai kebawah,
menyebabkan salinitas status pasang surutnya karena berada dibawah kendali pasang
surut maka slainitas di semua titik dapat berubah drastic bergantung pada kedudukan
pasang surut, artinya saat terjadi surut air laut maka salinitas didominasi oleh air tawar
yang dating dari sungai, sedangkan pada saat pasang masukan air lautlah yang
menentukan besaran salinitas. Hal ini biasanya terjadi di muara yang kecil (Gambar
10.3).
Gambar 10.3 Estuaria homogen vertikal atau campuran sempurna (Bengen, 2002)
Berdasrakan distribusi salinitas, periaran estuaria dikelompokkan atas tiga tipe (McLusky
and Elliot, 2004; Supriharyono, 2007), yaitu:
1. Positive estuary (estuaria positif), di mana proses penguapan dari permukaan air kurang
dari volume air tawar dari run-off dan air hujan yang berlangsung masuk ke estuaria. Air
tawae keluar dari atas air asin yang masuk dari laut, dan air bercampur perlahan-lahan
secara vertikal dari dasar ke permukaan (Gambar 10.4). Umumnya tipe estuaria ini
ditemukan pada daerah temperate.

Gambar 10.4 Possitive estuary (estuaria positif) (McLusky and Elliot, 2004)
2. Negative estuary (estuaria negatif). Di mana terjadi kondisi yang berlawanan denga tipe
posstive estuary, yang penguapan dari permukaan air melebihiair tawar dari run-off dan
hujan yang masuk ke estuaria (Gambar 10.5). tipe estuaria ini banyak dijumpai di daerah
tropis, terutama pada daerah di mana pemasukan air tawar sangat terbatas. Penguapan
menyebabkan salinitas permukaan naik menyebabkan massa air bagian permukaan lebih
berat daripada yang ada dibawah. Setelah terjadi penguapan dan percampuran massa air
tersebut keluar melalui dasar perairan.

Gambar 10.5 Negative estuary (estuaria negatif) (McLusky an Elliot, 2004)


3. Neutral estuary (estuaria netral), yaitu tipe estuaria yang suplai air tawar ke estuaria
seimbang dengan menguap, dan kondisi ini menciptakan nilai salinitas yang statis
(Gambar 10.6).
Gambar 10.6 Neutral estuary (estuaria negatif) (McLusky an Elliot, 2004)
10.3 FAKTOR LINGKUNGAN PEMBATAS PADA PERAIRAN ESTUARIA
Faktor yang mempengaruhi percampuran air di perairan estuaria adalah sebagai berikut:
1. Pasang surut, yang memberikan pengaruh yang signifikan karena dapat menyebabkan
terjadinya turbulensi dan pencampuran dalam skala besar di periaran estuary.
2. Aliran air sungai, yang mengalir di permukaan pada satu waktu tertentu akan mengalami
pencampuran dengan air asin yang mengalir di bagian dasar dari perairan estuaria
3. Angin dan gelombang, yang memengaruhi percampuran massa air. Kedua hal ini
mempunyai pengaruh yang kecil di estuary, kecuali pada saat pengaruh pasang surut itu
kecil. Angin juga akan mengakibatkan bervariasinya gelombang yang terjadi di
permukaan dan dalam perairan yang berdampak pada proses pencampuran di estuaria.
Adapun faktor pembatas pada ekositem estuaria, diantarnya adalah sebagai berikut:
1. Pasang surut. Pada daerah yang memiliki perbedaan pasang surut besar, pasang naik akan
mendorong air laut masuk jauh kea rah hulu estuaria sehingga menggeser isohaline kea
rah hulu. Kondisi surut sebaliknya menggeser isohaline ke arah hilir. Arus pasang surut
berperan sebagai pengangkut zat hara dan plankton, juga berperan mengencerkan dan
menggelontorkan limbah dari perairan estuaria.
2. Suhu. Variasi suhu air pada perairan estuaria terjadi karena masukan air tawar. Ketika air
twar masuk ke estuaria dan bercampur dengan air laut, terjadi perubahan suhu.
Akibatnya, suhu periaran estuaria lebih rendah di musim dingin dan lebih tinggi di musim
panas dari suhu air laut di dekatnya.
3. Arus. Arus di estuaria terutama disebabkan oleh ritme pasang surut dan aliran sungai.
Selang waktu yang dibutuhkan sejumlah massa air tawar untuk dikeluarkan dari estuaria
disebut disebut penggelontoran.selang waktu ini dapat menjadi tolok ukur keseimbangan
suatu sistem estuaria. Selang waktu mengalirnya air dari sungai ke dalam estuaria dan
masuknya air laut melalui arus pasang surut menciptakan suatu gerakan dan transport air
yang bermanafaat bagi biota estuaria, khususnya plankton yang hidup tersuspensi dalam
air.
4. Kekeruhan. Kekeruhan tertinggi terjadi saat aliran sungai maksimum. Kekeruhan
minimum dekat mulut estuaria karena sepenuhnya berupa air laut dan makin meningkat
menjauh kea rah hulu sungai.
5. Salinitas. Fluktuasi salinitas umum terjadi di perairan estuaria. Pola gradien salinitas
bervariasi, bergantung pada musim, topografi estuaria, pasang surut dan jumlah air tawar.
6. Oksigen. Masuknya iar tawar dan air laut ke dalam estuaria, Bersama kedangkalan,
pengadukan dan percampurannya menyebabkan cukupnya persediaan oksigen terlarut
pada kolom air karena kelauratan oksigen dalam air berkurang dengan naiknya suhu dan
salinitas.
7. Unsur hara (nutrient). Perairan estuaria termasuk perairan yang subur karena menjadi
tempat penampungan nutrient dari daratan. Menurut Nyabakken (1992), perairan pantai
termasuk estuaria menerima sejumlah besar nutrient penting seperti fosfat dan nitrat
melalui aliran dari daratan sehingga aktivitas di daratan memberikan sumbangan nutrient
yang tinggi.
8. Sedimen. Kebanyakan estuaria didominasi substrat berlumpur berasal dari sedimen yang
dibawa air laut maupun air tawar. Sungai mengankur partikel lumpur tersuspensi, ketika
mencapai dan bercampur dengan air laut di estuaria, kehadiran berbagai ion yang berasal
dari air laut menyebabkan berat serta mengendap membentuk dasar lumpur. Air laut juga
mengangkut materi tersuspensi ketika masuk ke estuaria, kondisi terlindung mengurangi
gerakan air yang mempertahankan berbagai partikel dalam suspense. Akibatnya partikel
mengendap dan berperan dalam membentuk susbstrat berlumpur atau pasir. Sebagaian
besar partikel lumpur di perairan estuaria bersifat organik (kaya bahan organik) yang
merupakan bahan makanan penting bagi organisme heterotrof.
10.4. SIKLUS NUTRIEN
Adanya pola arus pasang surut atau percampuran arus air laut dan air sungai di perairan
estuaria memungkinkan terperangkapnya nutrient (nutrient trapped) di daerah tersebut dan
menyebabkan suburnya perairan di Kawasan perairan estuaria.
Terdapat tiga faktor yang mendukung terperangkapnya nutrient diperairan estuaria
(Supriharyono, 2007), yaitu:
1. Sifat sedimen di daerah estuaria yang mempunyai kapasitas adsorbs yang tinggi sehingga
sedimen ini mengandung banyak nutrient.
2. Adanya proses biodiposisi berupa “pseudofeces”,
yang mampu mengubah sedimen menjadi “faecal
pellets” atau “pseudofeces”. Dengan cara ini
nutrient disimpan dalam organisme-organisme
atau pada sedimen.
3. Adanya sistem sirkulasi air yang berupa
kombinasi antara arus horizontal akibat pasang
surut dan gerakan vertikal massa air karena
perbedaan salinitas, yang mengakibatkan
kecenderungan tersebarnya nutrient di perairan
estuaria.
Berdasarkan siklus fosfor di perairan estuaria,
keberadaan berbagai bentuk fosfat dikendalikan oleh
proses biologi dan fisika. Pemanfaatan fosfat oleh
fitoplankton terjadi selama proses fotosintesis. Ketika
fitoplankton mati, fosfor organic dengan cepat berubaha
menjadi fosfat. Proses dekomposisi fitoplankton yang
Gambar 10.7. Siklus fosfor di perairan
estuaria (Day et al., 1989)
mati juga berperan dengan bantuan bakteri untuk menghasilkan fosfor anorganik. Bentuk
polifosfat di daerah pantai dan sungai banyak yang berasal dari detergen dan jika mengalami
degradasi akan menghasilkan ortofosfat (Gambar 10.7).

Siklus nitrogen pada wilayah estuaria terutama dijumpai dalam bentuk amonifikasi
(mineralisasi dan denitrifikasi) dan nitrifikais, dan keduanya terjadi secara terus-menerus yang
lajunya bergantung pada faktor-faktor abiotik (suhu, lingkungan, Ph dan oksigen terlarut) dan
faktor mikrobiologis (Gambar 10.8).
Nitroogen dalam perairan berupa nitrogen organikdan anorganik. Nitrogen anorganik terdiri
atas amonia (NH3), amonium (NH4+) , nitrit
(NO2-), nitrat (NO3-), dan molekul nitrogen
(N2) dalam bentuk gas. Nitrogen sangat
mudah larut dalam air dan bersifat stabil,
dihasilkan dari proses oksidasi sempurna
nitrogen di perairan. Sumber utama nitrat
berasal dari erosi tanah, limpasan dari daratan
termasuk pupuk dan buangan limbah. Selain
itu, nitrat berasal dari permukaan air selama
produktivitas primer, ketika tumbuhan mati,
terdekomposisi kemudian nitrat teregenerasi
ke kolom air.
Konsentrasi nitrat di suatu perairan diatur
dalam proses oksidasi senyawa kimia dalam
kondisi anaerob oleh bakteri autotrof yang
melalui proses mikrobiologi menjadi nitrat.
Proses nitrifikasi terdiri dari dua tahap yaitu
mengubah amonia (NH3) menjadi nitrit (NO2-
) dan mengubah nitrit (NO2-) menjadi nitrat
(NO3-). Jenis bakteri yang berperan dalam
taham pertama adalah bakteri Nitrosomonas
sedangkan pada tahap kedua adalah bakteri
Nitrobacter (Gambar 10.8).
Gambar 10.8. Transformasi siklus nitrogen di
peprairan estuari (Day et al., 1989)

10.5. PRODUKTIVITAS DAN JARING MAKANAN


Produktivitas suatu perairan estuaria sangat dipengaruhi aliran pasang surut dan aliran
sungai karena keduanya menimbulkan pengadukan dan distribusi nutrien. Efeknya adalah
tingginya laju produktivitas primer dan sekunder. Sungai membawa nutrien dan mineral yang
menyediakan bahan yang dibutuhkan untuk menunjang produktivitas secara kontinu. Nutrien
diperoleh dari tiga sumber, yaitu masukan darisungai, masukan dari laut, dan sedimen dasar
perairan (Goltenboth et al., 2012).
Banyaknya nutrien perairan di perairan estuaria mengakibatkan tumbuh suburnya tumbuhan,
terutama makrofita dan fitoplankton. Menurut Manu (1973) dalam Supriharyono (2007),
produktivitas fitoplankton di perairan estuaria dapat mencapai 500 gr C/m2/thn atau lebih.
Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan perairan laut terbuka. Sementara produktivitas
makrofita dapat jauh lebih tinggi dibandingkan produktivitas fitoplankton.
Tingginya produktivitas primer oleh fitoplankton maupun mikroalga di perairan estuaria
memungkinkan tingginya produktivitas sekunder atau produktivitas perikanan. Beberapa
tumbuhan estuaria ada yang dimanfaatkan langsung oleh pemakan herbivor tetapi kebanyakan
dimanfaatkan dalam bentuk detritus.
Mann (1972) dalam Supriharyono (2007) menyatakan bahwa 90% produksi makroalga
masuk ke jaring makanan melalui detritus organik dan DOM (dissolve organik matter), hanya
10% yang dimakan langsung melalui grazing.
Menurut Day et al. (1989), alasan tingginya produktivitas primer pada ekosistem perairan
estuaria yang setara dengan hutan hujan tropis dan terumbu karang adalah karena beberapa hal
berikut ini :
1) Nutrien yang melimpah dapat terperangkap dan disiklus ulang dengan cepat pada perairan
estuaria.
2) Proses fotosintesis dapat berlangsung sepanjang tahun berkat adanya beragam jenis produsen,
baik tumbuhan mikrofita maupun makrofita.
3) Adanya masukan dari sungai dan laut berupa nutrien dan bahan makanan yang diperlukan oleh
berbagai jenis organisme estuaria, terutama hewan detrivor (pemakan detritus).
Produktivitas primer yang rendah pada kolom air, dan jenis herbivor yang tidak melimpah, serta
terdapatnya organisme pemakan detritus dalam jumlah besar, menunjukkan bahwa jaringan makanan
pada ekosistem estuaria berpusat pada rantai makanan detritus.
Detritus merupakan substrat yang disukai alga yang kemudian menjadi bahan makanan penting bagi
organisme suspensivora dan detrivora. Kedua kelompok fauna estuaria tersebut terkait dengan jenis fauna
lainya, seperti ikan dan kepiting melalui jaring makanan yang kompleks (Gambar 10.9).
Jaring makanan pada ekosistem perairan estuaria cenderung bersifat terbuka karena organisme
penguninya kebanyakan jenis fauna yang sifatnya sementara hidup pada perairan estuaria. Jaring
makanan berawal dari serpihan bahan organik atau detritus dan berakhir pada ikan atau burung yang
membawa energi keluar dar ekosistem perairan estuaria (Gambar 10.9).

Gambar 10.9. Model jaring makanan di lingkungan perairan estuaria


(McLusky and Elliot, 2004)
10.6. ORGANISME PENGHUNI PERAIRAN ESTUARIA
Organisme pada perairain estuaria dapat dikelompokkan ke dalam lima pengelompokkan
berikut :
1. Oligostenohaline, kebanyakan merupakan organisme air tawar. Umumnya fauna yang
hidup di sungai dan perairan air tawar tidak tahan pada salinitas 0,1‰ tetapi beberapa
spesies oligohaline ada yang dapat hidup pada salinitas di atas 5‰.
2. Organisme estuaria, umumnya adalah organisme laut yang hidup di pusat estuaria yang
dapat hidup di perairan laut, ditemukan di estuaria karena kompetisi dengan hewan
lainnya.
3. Euryhaline, umumnya organisme laut yang hidupnya di daerah estuaria dengan distribusi
dari laut sampai ke pusat estuaria yang tidak tahan pada salinitas sekitar 18‰.
4. Polystenohaline, adalah organisme laut yang hidup di mulut estuaria pada salintas sampai
25‰.
5. Organisme peruaya, kebanyakan berupa ikan dan kepiting yang tinggal di estuaria hanya
sebagian dari siklus hidupnya, misalnya ikan salmon (Salmosalar) dan sidat (Anguilla
anguilla) yang menggunakan estuaria sebagai rute ruaya menuju sungai atau laut.
Secara umum, keanekaragaman organisme bentik pada perairan estuaria menurun progresif
dari perairan laut yang bersalinitas tinggi ke perairan tawar yang bersalinitas rendah.
Keanekaragaman terkecil biasanya dijumpai pada zona perairan bersalinitas 4-6‰. Meskipun
jumlah jenis organisme yang hidup pada daerah estuaria rendah tetapi kepadatan organisme jauh
lebih tinggi dibandingkan daerah perairan sungai dan perairan laut (Day et al., 1989).

Gambar 10.10 Distribusi biota pada perairan estuaria (Bengen, 2002)

Organisme yang hidup di perairan estuaria sangat dipengaruhi oleh proses sedimentasi dan
variasi salinitas yang besar. Salinitas air pada perairan estuaria tergantung pada pasang surut air
laut, jumlah aliran air tawar dan arus, serta bentuk topografi wilayah. Variasi salinitas
mengharuskan organisme melakukan adaptasi atau penyesuaian secara fisiologis dengan
lingkungannya.
Secara umum terdapat tiga tipe adaptasi organisme pada perairan estuaria (Bengen, 2002),
yaitu :
1. Adaptasi morfologis, yang memiliki rambut-rambut halus (setae) untuk menghambat
penyumbatan permukaan ruang pernapasan oleh partikel lumpur.
2. Adapttasi fisiologis, yang berhubungan dengan mekanisme fisiologis untuk
mempertahankan keseimbangan ion cairan tubuh (osmoregulasi) dalam menghadapi
fluktuasi salinitas eksternal.
3. Adaptasi tingkah laku, pembuatan lubang ke dalam lumpur (substrat dasar perairan)
karena kurangnya kemampuan melakukan osmoregulasi dan untuk menghindari
pemangsaan.
Organisme yang dapat bertahan hidup di perairan estuaria yang selalu mengalami fluktuasi
harian salinitas yang dapat mempegaruhi fluktuasi parameter lingkungan lainnya adalah
organisme yang dapat melakukan strategi adaptasi. Dengan demikian, secara umum tingkat
keanekaragaman organisme penghuni estuaria lebih rendah dibandingkan perairan tawar dan
laut.
Dua alasan mendasar yang meyebabkan keanekaragaman organisme estuaria rendah, yaitu:
1. Ketidakmampuan organisme air tawar menoleransi kenaikan salinitas dan organisme air
laut menoleransi penurunan salinitas.
2. Hanya organisme tertentu yang mampu bertahan hidup di perairan estuaria karena
memiliki kemampuan/strategi untuk bertahan hidup pada lingkungan yang berfluktuatif.
Sedikitnya, jumlah spesies tersebut terutama disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan
sehingga hanya spesies yang memiliki kekhususan fisiologisyang mampu bertahan hidup di
estuaria. Selain miskin dalam jumlah spesies fauna, esuaria juga miskin akan flora.
Fauna pada perairan estuaria yang mampu terdistribusi dengan luas adalah ikan karena
mobilitas yang tinggi sehingga mampu berpindah untuk menyesuaikan dengan kondisi salinitas
yang selalu berfluktuasi setiap saat. Umumnya, 16 famili ikan tercatat pada perairan estuaria di
Indonesia (Whiten et al., 1988 dalam Goltenboth et al.,2012) (Tabel 10.1).
Tabel 10.1. Status ekologi beberapa spesies ikan yang hidup di perairan estuaria (Whiten et al.,
1988).

Famili Ikan Spesies Informasi Ekologis


Apogonidae Apogon hyalosoma Ikan kecil, nokturnal, dan karnivor
Belonidae Stongylura urvili Berkelompok penjelajah permulaan,
perenang cepat, predator ikan kecil
Carangidae Selatorides leptolepis Berkelompok atau soliter,predator
terhadap fauna bentik dan plankton
Gerreidae Gerres nacracanthus Berkelompok di pantai berpasir,
pemakan plankton
Gobiidae Glosogobius celebius Karnivor bentik atau ikan omnivor
Etenogobius suluensis yang hidup berkelompok atau soliter
Eleotris macrolopis di habitat yang luas
Haemulidae Podadasys maculatus Predator nokturnal terhadap bentik
invertebrata pada pesisir berpasir
Hemiramphidae Zenarrchpterus buffonis Kelompok ikan payau, omnivor,
rahang bawah memanjang
Latidae Anbasis macracantus Ukuran sedang, ikan karnivor
Leiognathidae Leiognathus equula Berkelompok, ikan karnivor
Leiognathus spelendens terhadap hewan bentik kecil
Secutor ruconis
Lethrinidae Lethrinus ornatus Predator
Mugilidae Liza dussumeiri Berkelompok, pemakan diatom
Liza vaigiensis bentik dan alga
Silaginidae Silago sihama Hidup di pantai berpasir dan
estuaria, penggali dasar untuk
mencari cacing dan krustacea
Scatophagidae Scaptopheges argus Pemakan alga dan detritus dasar
Siganidae Siganus vermiculatus Berkelompok di perairan payau
berlumpur dan karang, herbivor
Terapontidae Therapon teraps Ukuran sedang, karnivor di perairan
Mesoprites argenetus payau
Texotidae Taxotes jaculator Berkelompok, karnivor, terkenal
sebagai penyemprot serangga

10.7 PERANAN EKOLOGI PERAIRAN ESTUARIA


Secara umum perairan estuaria mempunyai peran ekologis penting, yaitu :
1. Sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkat lewat sirkulasi pasang surut
dalam (tidal circulation).
2. Punya dia habitat bagi sejumlah spesies hewan (ikan dan udang) yang bergantung pada
estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground).
3. Sebagai tempat bereproduksi dan/atau tempat pembesaran (nursery ground) bagi
sejumlah spesies ikan dan udang.

Besarnya peranan Ekologi perairan estuaria menyebabkan kawasan ini kaya akan potensi
sumberdaya hayati perairan yang sangat bermanfaat dan mendukung kehidupan manusia tetapi
karena letaknya yang berada pada kawasan pesisir dengan aktivitas antropogenik yang tinggi
baik langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan degradasi ekosistem perairan estuaria,
dan pada akhirnya mengancam kelestarian sumber daya hayati perairan yang hidup berasosiasi
pada perairan estuaria. untuk itu diperlukan proses perencanaan pembangunan yang terintegratif
antara darat dan laut untuk dapat menyelamatkan ekosistem perairan estuaria dari aktivitas
antropogenik yang merusak.

10.8 HUTAN MANGROVE (EKOSISTEM SPESIFIK KAWASAN ESTUARIA)


Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi beberapa
spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai
berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang cukup
mendapatkan genangan air laut secara berkala dan aliran air tawar, dan terlindung dari
gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat sehingga banyak ditemukan pada perairan
pantai teluk yang dangkal, estuaria dan daerah pantai yang terlindung (Bengen 2000).
Komposisi dan struktur vegetasi hutan mangrove beragam, tergantung kondisi geofisik,
geografi, geologi, hidrologi, biogeografi, iklim, tanah dan kondisi lingkungan lainnya.
Tomnilson (1986) dalam Setyawan (2008) mengklasifikasikan vegetasi mangrove menjadi
mangrove mayor, mangrove minor, dan tumbuhan asosiasi.
Tumbuhan mangrove mayor (true mangrove) sepenuhnya berhabitat di kawasan pasang
surut, dan membentuk tegakan murni, beradaptasi terhadap salinitas melalui pneumatofora,
embrio vivivar, serta mekanisme filtrasi dan ekskresi garam, antara lain, Avicennia, Bruguiera,
Ceriops, Lumnitzera, Nypa fruticans, Rhizophora, dan Sonneratia (Gambar 10.11)

Gambar 10.11. Contoh vegetasi mangrove mayor (Avicennia, Rhizophora,


Bruguiera, Nypa) (dimodifikasi dari Noor et al., 2006)

Anda mungkin juga menyukai