Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM BIOKIMIA
ACARA I
EKSTRAKSI KARAGENAN DARI RUMPUT LAUT

Oleh :
Farid Gunawan
26040118130151
IK D/ Kelompok 7

Asisten :
Sidiq Sakti Prawira
26020116120051

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
LEMBAR PENILAIAN DAN PENGESAHAN

No. Materi Nilai


1 Pendahuluan
2 Tinjauan Pustaka
3 Materi dan Metode
4 Hasil
5 Pembahasan
6 Penutup
7 Daftar Pustaka
8 Lampiran
TOTAL

Semarang, 15 April 2019

Asisten Praktikum Praktikan

Sidiq Sakti Prawira Farid Gunawan


NIM : 26020116120051 NIM : 26040118130151

Mengetahui,
Koordinator Asisten

Nursiana Suci Wulandari


NIM. 26020115120008
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia terkenal sebagai negara maritim yang kaya akan sumber daya
alamnya, terutama hasil lautnya. Indonesia termasuk dalam salah satu negara
dengan panjang garis pantai terpanjang dengan berbagai jenis pulau. Laut
Indonesia memiliki keanekaragaman biota, flora maupun fauna. Keanekaragaman
ini menjadi potensial bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Selain ekonomi,
peran penting biota dalam keberlangsungan eksistem laut.

Spesies rumput laut terbesar saat ini pada marga Euchema.. Spesies ini
memiliki kandungan karagenan yang besar. Karagenan pada rumput laut dapat
diambil dengan cara ekstrasi dengan air atau larutan alkali. Karagenan sendiri
umum dimanfaatkan pada industri makanan, obat-obatan, kosmetika, dan tekstil.
Karagenan berbentuk polisakarida linear dengan kandungan sulfat di dalamnya.

Praktikum kali ini melakukan ekstrasi dan mengisolasi karagenan dari


rumput laut. Jenis rumput laut yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah
Euchema cottonii. Rumpu laut ini termasuk ke dalam divisi Rhodophyta atau alga
merah. Karagenan yang diekstrasi dari rumput laut dilakukan dengan metode
alkali, yaitu dengan larutan KOH. Mengisolasi karagenan hasil ekstrasi dibantu
dengan larutan KCl.

1.2. Tujuan

1. Menentukan jumlah rendemen yang yang dihasilkan dari proses ekstraksi


rumput laut Eucheuma cottonii
2. Mengetahui ekstraksi rumput laut Eucheuma cottonii metode panas
1.3. Manfaat

1. Mengetahui metode ekstrasi karagenan dari rumput laut.


2. Mengetahui cara mengisolasi karagenan dari rumput laut.
3. Mengetahui jenis rumput laut yang memiliki kandungan karagenan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Makroalgae

Menurut Ira et al. (2018), alga dibagi menjadi 2 jenis, yaitu mikrolaga dan
makroalga. Macam pada mikroalga adalah plankton, sedangakn yang termasuk dalam
mekroalga adalah rumput laut. Makrolaga merupakan jenis alga yang berukuran besar
dan dapat dilihat tanpa bantuan alat. Mikroalga adalah alga berukuran kecil, dimana
untuk melihatnya perlu menggunakan bantuan alat, seperti mikroskop. Ukuran
makroalga dalam ukuran centimeter hingga bermeter-meter.

Menurut Nurmiyati (2013), makroalga atau rumput laut berada di daerah


pasang surut. Daerah dengan paparan cahaya matahari mempengaruhi keberadaan
rumput laut. Keanekaragaman rumput laut yang besar akibat dari faktor alam,
seperti kondisi lingkungan dan substratnya. Daerah pasang surut yang dekat
dengan masyarakat pesisir menjadikan rumput laut untuk budidaya. Hal ini mudah
dilakukan karena mereka membudidayakan rumut laut dihabitatnya.

Menurut Firmandana et al. (2014), rumput laut menjadi tumbuhan yang


banyak dijumpai. Rumput laut termasuk ke dalam tumbuhan tingkat rendah atau
talus. Keberadaan rumput laut menjadi terkendali populasinya akibat dari
keberadaan bulu babi. Rumput laut membutuhkan matahari sebagai sumber sinar
matahari untuk fotosintesis. Hal ini menyebabkan persaingan antara rumput laut
dengan hewan karang lainnya untuk memperbutkan sumber daya ruang berupa
sinar matahari.

2.1.1. Persebaran Makroalgae

Menurut Nurmiyati (2013), persebaran rumput laut bergantung pada


kondisi lingkungan dan substrat. Daerah pasang surut tempat rumput laut biasanya
berada membutuhkan cahaya matahari yang banyak untuk keberlangsungan
proses fotosintesis. Selain itu terdapat juga makroalga yang persebarannya di
daerah yang minim cahaya matahari. Hal ini mempengaruhi pigmentasi pada
makroalga akibat gelombang cahaya yang tertangkap. Kondisi substrat tempat
holdfast melekat juga mempengaruhi persebaran jenis makroalga.
Menurut Firmandana et al. (2014), persebaran makroalga juga dapat
disebabkan oleh keberadaan biota lainnya. Bulu babi menjadi salah satu faktor
pengendali akan populasi makroalga. Hal ini dikarenakan makroalga yang
membutuhkan sumber daya matahari yang banyak untuk melakukan fotosintesis.
Hewan karang menjadi pesaing dengan makroalga dalam memperoleh sumber
cahaya. Perkembangan makroalga pun menjadi sulit untuk berada di substrat
tersebut.

Menurut Ira et al. (2018), distribusi persebaran makroalga dipengaruhi


oleh kedalam perairan. Daerah dengan intensitas cahaya yang memadahi untuk
makroalga berfotosintesis masih dapat mendukung kehidupan makroalga.
Kejernihan air juga dapat mempengaruhi kepadatan makroalga yang tumbuh. Air
yang jernih hingga kedalam 150 meter masih terdapat banyak makroalga, hal ini
karena cahaya masih dapat mencapai kedalaman tersebut. Jika kondisi air yang
keruh, hingga kedalaman 20-30 meter hanya sedikit makroalga yang dapat hidup.

2.1.2. Sifat Fisik-Kimia Pengaruh Distribusi Makroalgae

Menurut Radiarta et al. (2014), makroalga merupakan tanaman tingakt


rendah yang membutuhkan nitrogen sebagai rumber penunjang kehidupan yang
paling penting. Sumber nitrogen bagi makroalga adalah ammonium (NH4+) dan
nitrat (NO3-). Namun jika nitrat yang ada di lingkungan terlalu banyak dapat
menyebabkan ledakan populasi alga. Hal ini berdampak negatife pada kehidupan
organisme disekitarnya. Kandungan nitrat dalam tumbuhan atau pun hewan yang
terlalu banyak jika dikonsumsi manusia dapat memberik dampak buruk bagi
kesehatan.

Menurut Ira et al. (2018), kecepatan arus dalam pertumbuhan makroalga


mempengaruhi persebaran spora. Kecepatan arus yang tinggi dapat membawa
sopra makrolaga hingga menyebar. Berbeda dengan kecepatan arus yang lemah,
spora yang terbawa arus hanya berpusat di satu daerah. Namun jika pada
kecepatan arus tinggi holdfast tidak meerkat dengan baik. Jika di keceaptan lemah
holdfast dapat meerkat dengan bauk sehingga baik untuk pertumbuhan makroalga.
Menurut Ayhan et al. (2017), pertumbuhan dan perkembangan makroalga
dipengaruhi oleh distribusi partikel sedimen. Hal ini dapat memperngaruhi
pertukaran air pori pada bagian holdfast dengan kolom air di atasnya. Pertukaran
air ini mempengaruhi arus nutrient yang akan sampai pada makroalga. Perbedaan
makroalga merekat pada substrat menetukan pertumbuhan makroalga.
Pengaruhnya terhadap makroalga adalah kuat tidaknya meerkat pada substrat dan
holdfast menyesuaikan dimana ia akan melekat.

2.2. Rhodophyta

Menurut Oryza et al.(2017), makroalga pada divisi Rhodophyta adalah jenis


makroalga dengan pigmentasi warna merah. Namun tidak semua ejnis Rhodophyta
berwarna merah, bergantung pada tingkat kedalam. Rhodophyta mengandung pigmen
fikobilin berupa allofikosianin, fikoeritrin dan fikosianin. Pigmen yang dimiliki oleh
Rhodophyta ini menutupi pigem hijau yang dimilikinya, sehingga yang timbu a warna
hijau. Rhodophyta memiliki jenis yang banyak ditemukan di laut, namun ada pula
Rhodophyta yang ditemukan di air tawar.

Menurut Amarangggana dan Wathoni (2017), alga merah merupakan


makrolaga degna kegiatan biologis yang paling banyak. Contoh dari aktivitas
biologis adalah aktivitas antibakteri. Rhodophyta umumnya ditemukan di daerah
tropis maupun subtropics dengan berbagai macam senyawa yang dimiliki.
Rumput laut merah dikenal dengan penghasil agarose, karagenan dan metabolit
sekunder lainnya. sehingga alga merah sering dimanfaatkan untuk membantu
kehidupan manusia.

Menurut Annisaqois et al. (2018), rumput laut merah memiliki jumlah hingga
452 jenis yang telah ditemukan di Indonesia. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang
sangat banyak. Hal ini dikarenakan posisi geografis dari negara Indonesia. Indonesia
memiliki laut yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan rumput alga. Salah
satu faktornya adalah garis pantai yang panjang..

2.2.1. Morfologi dan Fisiologi Rhodophyta

Menurut Oryza et al. (2017), alga merah menyimpang makanannya dalam


bentuk pati. Alga merah tidak memiliki flagela seperti alga hijau. Alga merah
dapat tumbuh menjadi ukuran besar pada suhu rendah. Berbeda dengan alga
merah yang tumbuh di daerah tropis memiliki ukuran yang kecil. Pigmen yang
dimiliki setiap alga mempengaruhi kedalam laut tempat tumbuhnya. Alga merah
hidup pada kedalaman mencapai 200 meter.

Menurut Ghazali et al. (2018), alga merah sering ditemukan melekat pada
organisme lainnya. Alga merah juga dapat ditemukan menempel pada akar
tumbuhan mangrove. Talus berbentuk silindris dan bentuk yang menyerupai
daunnya berbentuk (blade). Jenis percabangan dikotom dan selnya tersusun atas
polysiophonous. Holdfast yang menempel pada tumbuhan mangrove berebentuk cakram
dan serabut.

Menrurut Supriatno et al. (2016), morfologi dari alga merah memiliki


bentuk talus yang silindris. Alga merah ada yang berukuran sedang hingga kecil.
Talus alga merah memiliki kemampuan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan
laga hijau atau alga coklat. Alga merah meupakan talus denga bagian filoid yang
menyerupai daun, kaloid menyerupai batand dan holdfasti sebagai alat perekat
yang menyerupai akar. Alga merah memiliki senyawa pigmen yang biasa disebut
degan fikoeritrin

2.2.2. Habitat Rhodophyta

Menurut Ghazali et al. (2018), alga merah umunya menepel pada hewan
karang. Hal ini menyebabkam timbulnya persaingan dalam mengambil sumber
cahaya matahri untuk fotosintesis. Daerah subtidal hingga daerah pasang surut
sering ditemukan alga merah. Holdfast dari alga merah dapat menempel pada akar
tumbuhan mangrove. Bentuk dari holdfast alga merah adalah serabut.

Menurut Oryza et al. (2017), alga merah dapat tumbuh dan hidup
diperairan tawar, laut, darat dan dapat bersimbiosis dengan organisme lainnya.
Alga merah dapat ditemukan hingga kedlam 268 meter. Namun ada pula alga
merah yang tumbuh dan hiudp di kedalam yang rendah. Kedalam tempat alga
merah hidup berpengaruh pada pigmentasi alga. Alga merah juga sering
ditemukan di daerah pasang surut ataudaerah mangrove.

Menurut Suprianto et al. (2016), alga merah pada umumnya berhabitat di


laut. Alga merah di Indonesia sering ditemukan di sepanjang garis pantai dengan
kondisi tertentu. Namun sebagian kecil alga merah juga ada yang tumbuh di air
tawar. Alga merah yang hidup di air tawar biasanya memilik aliran yang deras dan
banyak mengandung oksige. Jenis alga merah seperti Gelidium dan Gracilaria
banyak ditemukan di laut dalam. Namun untuk jenis Euchema sp. sering
ditemukan di laut dangkal.

2.2.3. Ciri Khusus Alga Jenis Rhodophyta

Menurut Oryza et al. (2017), Rhodophyta merupakan makroalga dengan


warna dominan merah. Merah yang dimiliki dari warna merah muda hingga
merah pekat. Namun ada pula jenis alga merah yang tidak berwarna merah, tapi
coklat kekuninga. Hal ini dikarekan kedalam diup alga merah tersebut tumbuh.
Contohnya adalah Acanthophora spicifera dan Euchema cottonii.

Menurut Amaranggana dan Wathoni (2017), Rhodophyta memiliki


kandugnan pigmen phycoerythrine, phycocyanin, phycobilins, klorofil a, β-
karoten dan zanthophyl. Warna merah sebagai ciri khas Rhodophyta berasal dari
pigmen fikoeritrin yang jumalahnya banyak jika dibandingkan dengan pigemn
klorofil, karoten, dan xantofil. Rhodophyta umumnya bersel banyak dan
makroskopis. Rhodophyta tidak memiliki flagela seperti Chlorophyta.

Menurut Supriatno et al. (2016), Rhodophyta merupakan jenis alga yang


haibtatnya kebanyak hidup di air. Rhodophyta disebut juga sebagai rumpur laut,
karena bentuknya lembaran menyerupai rumput. Teriri dari sel yang banyak
sehingga pertumbuhannya di laut mendominasi di sepanjang daerah. Rhodophyta
mengandung karagenan yang didapat dengan cara esktrasi. Karagenan ini
bermanfaat dalam bidang industri.

2.2.4. Kandungan Senyawa Rhodophyta

Menurut Amaranggana dan Wathoni (2017), senyawa kimia dalam


Rhodophyta didominasi dari famili Rhodomelaceace. Rhodophyta merupakan
penyusun utama senyawa halogenated compunds, yaitu laurenterol, halomon,
callicladol dan senyawa kimia lainnya. Senyawa tersebut berfungsi sebagai
antibakteria, antifungsi, antiinflamansi, iktiotoksik, sitotoksik dan insektisidal.
Rhodophyta juga mnegasdung beberapa asam amino, sikimat, dan derival asam
nikleat serta asestat.

Menurut Sari et al. (2013), Rhodophyta dikenal sebagai rumput laut


dengan kandungan senyawa kimia yang banyak. Rhodophyta pada spesie
Euchema cottonii diketahui memiliki kandungan senyawa fenolik. Senyawa
tersebut pada rumput laut berfungsi sebagai antioksidan. E. cottonii juga memiliki
kandungan senyawa flavonoid, yaitu catechin, flavonlos, flavonol glycosides,
caffeic acid, hesperidin, myricetin. Senyawa yang berperan sebagai antioksidan
dapat menunda atau memperlambat hungga mencegah prose oksidasi lipid.

Menurut Afif et al. (2015), Rhodophyta yang diekstrasi menjadi methanol


alga merah memiliki metabolit sekunder, yaitu flavonoid, steroid dan alkoloid.
Kandangan metanol pada Rhodophyta berfungsi sebagai antibakteria. Hal ini
dimanfaatkan manusia dalam perkembangan industri kesehatan. Rhodophyta
mengandung senyawa organik yang sifatnya bioaktif. Pembenbentukan senyawa
yang unik pada Rhodophyta dibandingkan dengan organisme lainnya.

2.3. Euchema cottonii

Menurut Djakatara et al. (2018), rumput laut di Indonesia memiliki


potensial yang besar karena jumlahnya yang meilpah dan mudah ditemui. Rumput
laut yang saat ini memiliki nilai potensial yang besar adalah Euchema sp..
Euchema cottonii yang menjadi salah satu spesinya banyak dijumpai di laut
Indonesia. Sepsies ini banyak dibudayakan karena mengandung karagenan yang
dapat dimanfaatkan oleh manusia. Karagenan hanya terkandung dalam rumpu laut
merah atau Rhodophyta.

Menurut Balqis et al. (2017), spesies E. cottonii memiliki hasil ekstrasi


berupa karagenan. Persentase karagenan terbesar adalah pada jenis kappa
karagenan. Sisanya mengasilnya iota karagenan dengan persentase kurang dari
10%. Sedangkan iota kragenan banyak dihasilkan oleeh spesies E. denticulatum
dan lamda karagenan oleh Gigartina pistillata. Karegenan dimanfaakan dalam
bidang industri makanan maupun kosmetik.
Menurut Shanti et al. (2014), E. cottonii besar dimanfaatkan dalam dunia
oabat-obatan, makanan, kosmetik dan industri farmasi serta lainnya. E. cottonii
saat ini muncul sebagai bahan sumber langsung yang berpotensial sebagai
bioenergi. Jumlah mereka yang sangat banyak masih kurang diperhatikan padahal
potensi pemanfaatannya masih luas. E. cottonii memiliki kandungan enzim yang
dapat memcah biomassa lignoselulosa dari komunitas mikroba. Penelitian saat ini
sangat dikembangkan dalam pemanfaatan rumput laut.

. 2.3.1. Taksnomi E. cottonii

Menurut Afif et al. (2015), berdasarkan taksonomis E. cottonii disebut


juga sebagai Kappaphycus alvarezzi (doty). Kandungan kappa kargenan yang
tinggi menjadi sebab E. cottonii memiliki sinonnim tersebut. E. cottonii juga
mengandung karagenan yang lain tapi hanya sedikit, sehingga hampir keseluruhan
karagennannya kappa. Hasil dari taksonomi menenjukkan bahwa E. cottonii
memiliki talus silindris dengan permukaan yang licin.

Menurut Peranginangin et al. (2013), menurut taksonomis E. cottonii


adalah salah spesies dari Rhodophyta. Secara taksonomis, E. cottonii diseut
sebagai Kappaphycus alvarezzi. Karaginan yang dihasilhkan oleh E. cottonii
termasuk dalam fraksi kappa-karagenan. E. cottonii merupakan bentuk atau nama
dalam dunia perdagangan secara nasional maupun internasional.

Menurut Novianto (2013), secara taksonomis E. cottonii termasuk dalam


fraksi kappa-karagenan, sehingga disebut sebagai Kappaphycus alvarezzi. E.
cottonii termasuk dalam jenis rumput laut merah atau divisi Rhodophyta.
Karaginan yang dihasilkan E. cottonii sebgai besar adalah kappa-karagenan dan
sediti dihasilkan iota-karagenan.
2.3.2. Morfologi E. cottonii
Menurut Peranginangin et al. (2013), Kappaphycus alvarezzi memiliki
permukaan kulit yang agak kasar. Hal ini dikarenakan terdapat gerigi dan bintik
kasar pada permukaannya. Kappaphycus alvarezzi memiliki warna permukaan
cokelat tua, hijau cokelat, hijau kuning, atau merah ungu dengan permukaannya
licin. Kappaphycus alvarezzi merupakan talun dengan tinggi yang dapat mencapai
30 cm. Alat perekat pada Kappaphycus alvarezzi disebut sebagai holdfast dengan
bentuk seperti cakram.

Menurut Kasim (2016), morfologi dari E. cottonii bergantung pada kondisi


lingkungannya. Contohnya pada intensitas cahaya memperngaruhi pigmen warna
pada talus. Selain itu, ketersediaan nutrien mempengaruhi pertumbuhan pada rmput
laut. Talus utama pada E. cottonii terdapat tonjolan kecil yang menjadi tempat
keluarnya gamet jantan dan betina. E. cottonii akan mengalami perubahanbentuk
morfologi yaitu terdapatnya tonjolan selama masa pelepasa gamet.

Menurut Cokrowati et al. (2019), E. cottonii memiliki keranka tubu berbentuk


bulat silindris atau gepeng. E. cottonii memiliki warna merah namun ada pula yang
memiliki warna kecoklatan. Panjang talus dapat mencapai panjang 35 cm hingga 74
cm. Terkstur E. cottonii seperti tulang rawan dengan bercabangan yang konsisten
muali dari panjang 7 hingga 9 cm. Holdfast yang dimiliki E. cottonii umumnya
berbentuk serabut karena harus menempel kuat pada suatu substrat.

2.3.3. Faktor Fisiologi E. cottonii

Menurut Cokrowati et al. (2019), E. cottonii tumuh di daerah yang


berbeda memiliki morfologi yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan mengalami
adaptasi morfologi terhadap lingkukan dimana rumput laut tumbuh. E. cottonii di
perairan Teluk Ekas memiliki morfologi tekstur talus yang keras. Adaptasi yang
dilakukan akibat tempat dia tumbuh memiliki gerakan air yang keras. Berbeda E.
cottonii yang dibudidayakan memiliki lingkungan dengan gerakan air lemah,
sehingga terkstur talusnya lebih kenyal.

Menurut Peranginangin et al. (2013), E. cottonii memiliki bentuk holdfast


seperti cakram. Hal ini merupakan adaptasinya terhadap lingkungan dengan
gerakan air yang kuat dan agar stabil. Warna yang ada pada E. cottonii bervariasi
karena faktor kedalaman ia tumbuh. E. cottonii yang tumbuh di kedalman yang
dangkal lebih kuat pada pigem klorofilnya karena mampu menyerap gelombang
caya yang kuat untuk proses fotosisntesis. E. cottonii yang hidup di kedalam yang
dalam memili warna lebih gelap karena adaptasinya menyerap gelombang cahaya
yang lemah.

Menurut Djakatara et al. (2018), karakteristik morfologi pada E. cottonii


dipengaruhi oleh gerakan air, cahaya matahari, suhu, salinitas, dan derajat keasamaan.
Faktor genetika juga mempengaruhi morfologi E. cottonii yang berpengaruh pada
kualitas dan karakteristik yang baik pada rumput laut. Untuk mengetahui karakteristik
genetika perlu dilalukan analisis terhadap molekuler DNA. Berbeda dengan
karakteristik fisiknya yang dapat dianalisis secara langsung.

2.3.4. Senyawa Metabolit Sekunder E.cottonii


Menurut Peranginangin et al. (2013), E. cottonii tumbuh baik di daerah
pantai dengan banyak terumbu karang. E. cottonii memiliki habitat di laut yang
mimiliki aliran air yang tetap. Suhu hariang yang kecil menjadi lingkungan yang
sesuai untuk E. cottonii tumbuh dan berkembang. E. cottonii merekat dengan
holdfast pada karang mati atau substrat berupa batu. E. cottonii tumbuh pada
lingkungan yang memiliki sinar matahari yang banyak.

Menurut Cokrowati et al. (2019), E. cottonii hidup di dasar peraian yang


memiliki gerakan air yang tetap. E. cottonii hidup pada kedalaman 0,5 meter
hingga 1,5, meter. Kedalam tersebut berpengaruh pada kandungan pigmen pada E.
cottonii. E. cottonii melekat pada substar karang mati atau batu. E. cottonii yang
di manfaatkan dan dibudidayakan umumnya dibiarkan melayang dalam air tanpa
melekat pada substrat. Namun E. cottonii masih tetap bisa berkembangbiak
dengan baik.

Menurut Rima et al. (2016), habitat yang paling sesuai dengan


pertumbuhan E. cottonii adalah di karang. Tiper substrat yang paling sesuai
dengan laju pertumbuhan E. cottonii yang baik adalah campuran antara pasir
karang dengan potongan ataupecahan karang. Hal ini dikarenakan perairan yang
substratnya seperti itu biasa dilalui oleh arus yang sesuai dengan pertumbuhan
rumput laut. Habitat E. cottonii pada pecahan karang menunjukkan arus atau
gerakan air yang baik dan tenang menjadi habitat karang. Habitat karang menjadi
habitat juga bagi E. cottonii.

2.3.5.Pengaruh Pencahayan terhadap Kandungan Pigmen E. conttonii

Menurut Balqis et al. (2017), E. cottonii mempunyai pigmen karotenoid.


Pigmen ini sering kali tertutupi oleh klorofil dan tesembunyi. Pigmen karotenoid
hanya dapat terlihat jika klorofil terdegradasi. E. cottonii yang tumbuh di kedalam
yang rendah mempuyai warna kecoklatan. Berbeda dengan spesies Rhodophyta
lainnya yang tumbuh di kedalama yang dalam memiliki warna merah. Pigmen
pada rumput laut dapat luntur jika mengalami pemanasan.

Menurut Dolorosa et al. (2017), E. cottonii mempunyai kandungan pigmen


yang mendominasi warnanya. Pigmen teesebut antara lain, klorofil, xantofil dan
karoten. Warna pigmen klorofil yaitu hijau, karoten memiliki warna keemasan. E.
cottonii juga mengandung pigmen fikoeritrin yaitu pigmen berwana merah. Sering
kali pigmen fikoeritrin tertutupi oleh klorofil, sehingga warnanya yang muncul
adalah kecoklatan bukan merah. Hal ini disebabkan karena E. cottonii terhadap
lingkungannya.

Menurut Zakaria et al. (2017), pigmen utama yang tekandung dalam E.


cottonii adalah phycoerithin. Phycoerithin adalah pigmen yang terbentuk secara
alami. Phycoerithin terdapat di alga merah karena phycoerithin merupakan
pembentuk kuning-oranye seperti coklat pada E. cottonii. Selain phycoerithin,
Rhodophyta juga mengandung klorofil a, b fikosianin, α β-caroten. Warna yang
timbul pada E. cottonii bukanlah merah karena E. cottonii melakukan adaptasi
kromatik tehadap kualitas dan imtemsitas pencahayaan.

2.3.6. Faktor yang Mempegaruhi Kandungan Pigmen E. cottonii

Menurut Dolorosa et al. (2017), kandungan pigmen pada E. cottonii


begantung pada kandunga senyawa kimia. Selain itu faktor lingkungan dan
genetika berpengaruh pada jensi pigmen yang ada. Pigmen berfungsi sebagai
bentuk adaptasi E. cottonii terhadap lingkungannya. Pigmen tersebut terkadang
tetutupi oleh klorofil sehingga tidak muncul dan klorofil yang mendominasi.
Menurut Failu et al. (2016), kandungan pigmen pada E. cottonii
dipengaruhi oleh instensitas pencahayaan yang sampai pada talus. Fikoeritrin
yang terkandung dalam E. cottonii adalah protein yang berfungsi debagai pigmen.
Fikoeritrin berfungsi dalam membantu klorofil-a untuk menyerap cahaya guna
keberlangsungan proses fotosintesis. Namun dalam E. cottonii, proses
pembentukan klorofil-a terhambat maka rumput laut akan melakukan adaptasi.
Adaptasi yang dilakukan dengan membentuk pigmen fikoeritrin sebagai bentuk
respon terhadap pencahayaan.

Menurut Amaluddin et al. (2017), perubahan warna yang terjadi di


beberapa jenis rumput laut dikarenakan adaptasi kromatik. Perubahan warna yang
terjadi dikarenakan faktor lingkungan. Adaptasi kromatik merupakan adaptasi
pigmen dalam menyesuaikan proposisi pigmen pada alga terhadap kualitas
pencahayaan. E. cottonii tidak berwarna merah seperti pada penggolonggan di
Rhodophyta karena warnannya yang dominan pada coklat muda. Hal ini
dikarenakan E. cottonii melakukan adaptasi kromatik.

2.4. Karagenan

Menurut Djakarta et al. (2018), karagenan merupakan bentuk campuran


kompleks dari beberapa polisakarida. Karagenan di dapat dari ekstrasi rumput laut
merah dengan metode air atau alkali. Karagenan merupakan nama yang diberikan
untuk kelurga polisakarida linear. Karagenan dimanfaatkan sebagai bahan
tambahan untuk pangan maupun non-pangan.

Menurut Novianto (2013), karagenan tersusun dari perulangan unit galaktosa


dan 3,6-anhido galakstosa (3,6-AG). Keduanya berikadatan dengan sulfat mapun
tidak dibubungkan dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan β-1,4 secara bergilir.
Karagenan merupakan bentuk dari polisakarida linear dengan berat molekul lebih
dari 100 kDa. Menurut Fathmawati et al. (2014), karagenan adalah bentuk dari
senyawa polisakarida galaktosa. Selain itu karagenan juga dapat diartikan sebagai
senyawa hidroloid yang terdiri dari ester kalium, natrium, magnesium dan kalium
sulfat. Karagenan memiliki sususan galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa kopolimer.
Senyawa polisakarida dalam karagenan mudah tehidrolisi dalam suatu larutan
yang sifatnya asam dan stabil jika dalam suasana basa. Karagenan memiliki
bentuk polisakarida linear yang memiliki berat molekul berkisar 100-800 ribu Da.

2.4.1. Macam-Macam Karagenan

Menurut Balqis et al. (2017), karagenan mrupakan bentuk dari getah


rumput laut yang diekstrasi dari alga merah. Karagenan dibedakan berdasarkan
dari kandungan sulfatnya. Terdapat tiga macam karagenan, yaitu iota karagenan,
kappa-karagenan, dan lambda-karagenan. Tipe karagenan yang didapat untuk
ekstrasi berbeda pada setiap jenis bahan yang diesktrasi. Misalnya pada Euchema
cottonii menghasilkan kappa-karagenan dengan campuran iota-karagenan yang
sangat sedikit.

Menurut Fathmawati et al. (2014), karagenan dapat dihasilkan dari


Euchema cottoni dan Euchema spinosum. Hal ini dikarenakan kedua jenis rumput
laut tersebut memiliki kandungan karagenan yang tinggi sehingga dimanfaatkan
sebagai tepung karagenan. Euchema cottonii merupakan salah satu jenis penghasil
jenis kapp-karagenan terbesar sehingga namanya diubah menjadi Kappaphycus
alvarezii. Sedangkan pada Euchema spinosum menghasilkan jenis iota-karagenan.
Namun dalam karagenan juga tercampur juga jenis karagenan lain tapi tidak
dominan.

Menurut Putra et al. (2015), terdapat tiga jenis karagenan yang komersial,
yaitu karagenan iota, kappa dan lamda. Ketiga jenis karagenan ini banyak
digunakan dalam bidang industri. Karagenan mu merupakan presekutor dari
karagenan kappa sedangkan karagenan nu adalah presekutor dari karegenan iota.
Karagenan jenis iota dan kappa secara alami didapatkan dari proses enzimatis dari
presekutornya. Sedangkan secara komersil karagenan tersebut didapatkan dengan
cara pengekstrasian dengan bantuan alkali.

2.4.2. Metode Pembuatan Karagenan Secara Alkali

Menurut Novianto (2013), ekstrasi karagenan pada Euchema sp. dapat


dilakukan dengan metode penjedalan dengan KCl atau pengendapan dengan
alkohol. KCl berfungsi untuk merusak dinding sel dan karagenan keluar dari
dalam rumput laut. Hasil akhir dari ekstrasi ini berbentuk gel. Karagenan dalam
bentuk gel ini dimanfaaatkan dalam bidang industri. Karaginan merupakan getah
rumput laut yang diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut merah dengan
menggunakan air panas atau larutan alkali pada temperatur tinggi .

Menurut Fathmawati et al. (2014), metode ektrasi karagenan dapat


dilakukan dengan proses rendemen basa. Rendemen basa rumput laut
menggunakan larutan KOH. KOH merupakan salah satu basa kuat dan barsifat
alkali. maka dengan penambahan larutan alkali pada sampel ini ada dua fungsi
yaitu membantu ekstraksi polisakarida menjadi lebih sempurna dan mempercepat
eliminasi 6 sulfat dari unit monomer menjadi 3,6-anhidro-D-galaktosa sehingga
dapat meningkatkan kekuatan gel dan reaktifitas produk terhadap protein.

Menurut Harun et al. (2013), dalam pembuatan karagenan tahap ekstrasi


berdasarkan metode SN103-70-1990. Tahap ekstrasi ini ditambahkan dengan
NaOH 1%. Setelah penambahan larutan KOH, pH sampel diatur hingga berkisar
9-9,6. Metode yang dilakukan dengan memanaskan sampel selama 3 jam di suhu
70-90oC. Karagenan yang dihasilkan dengan metode ini mampu menghasilkan
kekuatan gel yang tinggi.

2.4.3. Metode Pembuatan Karagenan secara Pre-Treatment Alkali

Menurut Novianto (2013), ekstrasi karagenan pada Euchema sp. dapat


dilakukan dengan metode penjedalan dengan KCl atau pengendapan dengan
alkohol. KCl berfungsi untuk merusak dinding sel dan karagenan keluar dari
dalam rumput laut. Hasil akhir dari ekstrasi ini berbentuk gel. Karagenan dalam
bentuk gel ini dimanfaaatkan dalam bidang industri. Karaginan merupakan getah
rumput laut yang diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut merah dengan
menggunakan air panas atau larutan alkali pada temperatur tinggi .

Menurut Fathmawati et al. (2014), metode ektrasi karagenan dapat


dilakukan dengan proses rendemen basa. Karaginan jenis ini juga mengandung D-
galaktosa-6-sulfat ester dan 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat ester. Adanya
gugusan 6-sulfat, dapat menurunkan daya gelasi dari karaginan, tetapi dengan
pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugusan 6-sulfat,
yang menghasilkan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat
keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah

Menurut Harun et al. (2013), dalam pembuatan karagenan tahap ekstrasi


berdasarkan metode SN103-70-1990. Tahap ekstrasi ini ditambahkan dengan
NaOH 1%. Setelah penambahan larutan NaOH 1%, pH sampel diatur hingga
berkisar 8,5-9. Metode yang dilakukan dengan memanaskan sampel selama 3 jam

di suhu 70-90oC. Karagenan yang dihasilkan dengan metode ini mampu

menghasilkan kekuatan gel yang tinggi.

2.4.4. Proses Esktrasi Karagenan

Menurut Novianto (2013), esktrasi dengan metode penjedalan dengan KCl


dilakukan dengan merendam rumput laut hingga garamnya hilang. Hal ini berguna
agar garam tidak ikut bereaksi dengan karagenan. Kemudian rumput laut dicuci
dengan larutan HCl dan direndam dengan larutan KOH. Hasil rendaman dicuci
dan dipansakan dalam aquades bersuhu 75o-85oC dalam waktu 3 jam. Hasil
ekstrasi disaring dan filtratnya diendapkan dengan larutan KCl. Gel yang didapat
kemudian dikeringkan dan dihaluskan serta dilakukan uji mutu karagenan.

Menurut Fathmawati et al. (2014), ekstrasi dilakukan dengan pemanasan


dalam aquades pada suhu tertentu untuk mengeluarkan karagenan. Suhu pada saat
pemanasan mempengaruhi kualitas dari karagenan yang terbentuk. Namun suhu
yang terlalu tinggi dapat merusak rumput laut itu sendiri. Setelah selesai pada
proses pemanasan ditambahkan larutan NaOH dengan konsntrasi sesuai dengan
banyak sampel. NaOH berfungsi untuk megikat karagenan hasil ekstrasi.

Menurut Harun et al. (2013), sampel rumput laut yang didapat dicuci
dengan air bersih. Setelah dicuci sampel dikeringkan dengan bantuan garam.
Sampel yang sudah kering dicuci hingga garam dan epifit yang ada hilang. Hal ini
maksudkan agar tidak ikut tercampur dengan karagenan. Sampel dipotong halus
dan ditambahkan dengan larutan NaOH dan diatur pH-nya. Kemudian dipanaskan

dalam suhu 70-90oC selama 3 jam. Hasil pemanasan disaring dengan filtering

flash dan hasil saringan dipanaskan dalam oven pada suh 60oC selama 24 jam.
Setelah dingin ditimbang.
2.4.5. Pengaruh Penggunaan Karagenan

Menurut Novianto (2013), karagenan merupakan getah ahsil ekstrasi


rumput laut merah. Karagenan banyak dimanfaatkan dalam bentuk gel, pengental,
sernuk dan bahan penstabil. Karagenan di bidang industri digunakan untuk
tambahan dalam pangan, farmasi, kosmetik, percetakan dan tekstil. Karagenan
yang digunakan perlu distandarkan mutunya sesuai dengan penggunaan
selanjutnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas dari hasil produksi yang
menggunakan karagenan.

Menurut Sidi et al. (2014), karagenan yang dihasilkan dari jenis kappa
umumnya digunakan sebagai gelling agent. Gelling agent digunakan untuk
memperbaiki tesktur fruit leather dalam meningkatkan kadar seratnya.
Penggunaan gelling agent dimaksudkan untuk meningkatkan mutu karagenan
produk, menambah nutrisi dan menambahkan umur simpan hasil produk.

Menurut Fathmawati et al. (2014), karagenan besar fungsinya sebagai


penstabil, bahan pengental, pembentuk gel, dan pengemulsi. Hal ini menyebabkan
karagenan sering digunakaan dalam bidang industri pangan, seperti makanan dan
minuman. Pembuatan agar-agar atau jely pada jenis makanan juga melibatkan
karagenan. Selain industri pangan juga digunakan dalam pembuatan cat dan pata
gigi. Bentuk dari karagenan umumnya seperti tepung apabila dicampurkan dengan
bahan lainnya.

2.4.6. Standar Baku Mutu Karagenan

Menurut Novianto (2013), mutu karagenan menjadi persyaratan yang harus


dipenuhi bagi suatu industri yang memprosduksi maupun menggunakan karagenan
pada produknya. Mutu yang diukur antara lain kualitas dan kuantitas hasil dari
ekstrasi rumput laut. Berdasarkan spesifikasi yang telah ditentukan oleh Refineed
Carrageenan (RC) menruut FAO, ECC dan FCC yaitu rendemen, kadar sulfat,
kekuatan gel, kadar abu, viskositas dan kadar air.

Menurut Harun et al. (2013), nilai rendemen pada tepung karaginan


memiliki standar baku mutu sebesar 25%. Standar tersebut ditetapkan oleh
Departemen Perdangan (1989). Kadar air karagenan yang ditentukan oleh FAO
maksimum 12%. Sedangkan kadar abu yang sesuai standar baku mutu FAO
berkisar 15-40%. Standar baku mutu viskositas untuk karagenan adalah minimal 5
cP.

Menurut Failu et al. (2016), mutu karagenan yang baik sesuai dengan
standar baku mutu yang telah ditetapkan. Kondisi mutu karagenan diukur dengan
parameter rendemen, kekuatan gel, viskositas dan kadar air maupun kadar abu.
Setiap hasil dari karagenan haru disesuaikan dengan standar agar mutu dan
kualitas dari karagenan dapat dimanfaatkan dengan aman. Kadar air yang teralalu
tinggi dapat meningkatakn kecepatan pembusukan karagenan. Kadar abu yang
terlalu tinggu juga tidak baik jika diolah menjadi bahan pangan.

2.4.7. Kandungan Senyawa dalam Karagenan

Menurut Fathmawati et al. (2014), karagenan terdiri dari senyawa


polisakarida galaktosa. Senyawa tersebut memiliki sifat asam dan dapat
mempertahankan kestabilannya dalam suasana basa. Setiap jenis karagenan memiliki
kandungan galaktosa yang berbeda. Selain itu karagenan juga mengandung senyawa
ester kalium, natrium, magnesium dan kalium sulfat.

Menurut Balqis et al. (2017), karagenan mengandung polimer α-(1-3)-


D-galatosa dan β-(1-4)-3,6-anhidro-D-galaktosa. Berdasarkan senyawa yang
tekandungnya tersebut karagenan menjadi terbagi 3 macam, yaitu kappa, iota,
dam lamda. Perbedaaan tersebut berdasarkan dari jumlah suflat. Karagenan jenis
kappa banyak dihasilkan dari ekstrasi rumput laut spesies E. cottonii karena
kandungan kappa yang tinggi.

Menurut Agustin et al. (2017), senyawa yang pada karagenan banyak


mengandung natrium, magnesium dan kalsium. Hal ini menjadikan karagean banyak
dimanfaatkan dalam pembuatan bahan makanan, farmasi dan kosmetik. Karagenan
dalam pemanfaatan tersebut sebagai pembuat gel, perenyahm pengental dan
penstabil. Senyawa yang terkandung jika dikonsumsi oleh manusia dapat
membantu proses metabolisme tubuh. Namun konsentrasi penggunaannya diatur
dalam standar baku mutu yang telah ditetapkan sesuai kegunaannya.
III. MATERI DAN METODE

3.1. Waktu Pelaksanaan

Hari, tanggal : Rabu, 10 April 2019

Waktu : 11.40 – 13.20 WIB

Tempat : Laboratorium Kimia, Gedung E Lantai 1, Fakultas Perikanan


dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat Praktikum

Tabel 1. Alat Praktikum

No. Nama alat Gambar Fungsi

1. Neraca Menimbang bahan


analitik

2. Pengaduk Untuk mengaduk


larutan

3. Kompor Untuk mamanaskan


aquadest
4. Kain mori Untuk menyaring atau
memisahkan sampel
dengan aquades

5. Gelas beker Wadah aquades dan


alat ukur larutan

6. Thermomete Untuk mengukur suhu


r

7. Saringan Untuk menyaring


ekstrak karagenan

8. Statif Tempat thermometer

9. Pisau Untuk memotong


rumput laut
10. Panci Wadah memanaskan
air dan rumput laut

11. Wadah Wadah menyimpan


karagenan

12. Stopwatch Untuk menghitung


waktu yang
dibutuhkan

13. Sendok Untuk mengambil


karagenan yang telah
dipanaskan

14. Lateks Untuk melindungi


tangan

15. Masker Untuk melindungi


hidung dan mulut

16. Alat tulis Untuk mencatat saat


praktikum
17. Kamera Alat dokumentasi

3.2.2. Bahan Praktikum

Tabel 2. Bahan praktikum

No. Nama Bahan Gambar Fungsi


1. Eucheuma Sampel penghasil
cottonii karagenan
30 gram

2. Larutan KCl Larutan KCl


3% berfungsi untuk
memisahkan
karagenan dengan
molekul serta
molekul lain yang
ada di rumput laut

3. Larutan KOH Larutan KOH


4% berfungsi untuk
merendam sampel

4. Aquadest Media untuk


ekstraksi dan
untuk
membersihkan
alat
5. Kertas pH Untuk
menentukan pH
rumput laut

6. Tissue Untuk
membersihkan
alat

3.3. Metode

3.3.1 Cara Kerja

3.3.1.1 Pembuatan KOH 4%

1. Alat dan bahan disiapkan


2. KOH 4% ditimbang di neraca seberat 80 gram kemudian dilarutkan ke dalam
2000 ml aquadest lalu dihomogenkan
3.3.1.2 Pembuatan KCl 3%

1. Alat dan bahan disiapkan


2. Larutan KCl 3% ditimbang seberat 30 gram kemudian dilarutkan ke dalam
1000 ml aquadest dan dihomogenkan
3.3.1.3 Preparasi Bahan
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Rumput laut Eucheuma cottonii 30 gram dibersihkan dan dimasukkan
kedalam wadah kemudian direndam larutan KOH 4% selama 24 jam
3.3.1.4 Ekstraksi Karagenan

1. Alat dan bahan disiapkan


2. Rumput laut dibesihkan dari rendaman KOH sebanyak kurang lebih 10 kali
hingga pH netral
3. Rumput laut dipotong hingga berukuran kecil
4. Aquadest 600 ml dipanaskan dengan panci dan kompor hingga 80˚C
5. Rumput laut yang telah bersih dimasukkan ke aquadest 80 ˚C kemudian
dipanaskan selama 40 menit
6. Sampel disaring dengan kain mori
7. Air saringan ditambah larutan KCl 3% dan diaduk kemudian didiamkan
selama 15 menit
8. Sampel ditiriskan dengan saringan
9. Sampel dicuci dengan aquadest dan ditiriskan lagi
10. Sampel dituang ke wadah dan dikeringkan di terik matahari
11. Sampel yang telah kering ditimbang dan ditumbuk hingga menjadi powder
3.3.2. Diagram Alir

3.3.2.1 Pembuatan KOH 4%

Mulai

Siapkan alat dan bahan

Timbang KOH 4% seberat 80 gram di neraca dan larutkan


dalam 2000 ml aquadest kemudian homogenkan

Selesai

Gambar 1. Diagram alir preparasi KOH


3.3.2.2 Pembuatan KCl 3%

Mulai

Siapkan alat dan bahan

Di neraca timbang KCl 3% seberat 30 gram kemudian


larutkan dalam 1000 ml aquadest lalu homogenkan

Selesai

Gambar 2. Diagram alir preparasi KCl


3.3.2.3 Preparasi bahan

Mulai

Siapkan alat dan bahan

Bersihkan rumput laut Eucheuma cottonii 30 gram kemudian


rendam di dalam larutan KOH selama 24 jam

Selesai

Gambar 3. Diagram alir preparasi bahan


3.3.2.4 Ekstraksi Karagenan

Mulai

Siapkan alat dan bahan

Bersihkan rumput laut hingga pH netral kemudian potong


hingga kecil

Panaskan aquadest 600 ml hingga suhu 80˚C kemudian


masukkan rumput laut dan panaskan selama 40 menit

Saring sampel dengan kain mori dan tambahkan dengan


larutan KCl 3% kemudian tunggu selama 15 menit

Saring sampel dengan saringan kemudian tiriskan dengan


aquadest

Masukkan sampel ke wadah tertutup dan keringkan dengan


sinar matahari selama 48 jam
Timbang hasil dan tumbuk hingga menjadi powder

Selesai

Gambar 4. Diagram alir ekstraksi rumput laut


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil

4.1.1. Gambar

Gambar 5. Sebelum Ekstraksi Gambar 6. Setelah Ekstraksi

4.1.2. Penghitungan Rendemen Karagenan

Berat karagenan kering(g)

Rendemen = Berat rumput laut kering (g) x 100%

Berat rumput laut kering (g)


3g

Rendemen = x 100%

30 g

= 10 %

4.1.3. Perbandingan Hasil Kelompok

4.1.3.1. Perbandingan
= 18,7 %Hasil Kelompok Secara Kuantitatif

Kelompok Berat karagenan kering Rendemen


3 2,72 gr 9,06%
7 3 10%
4.1.3.2. Perbandingan Hasil Kelompok Secara Kualitatif

Hasil karagenan yang didapatkan kelompok 7D dan 3D berbeda. Secara


kualitatiif, hasil dari kelompok 7D lebih mendekati standar baku rendemen
karagenan minimum yang sudah ditetapkan yaitu 25% walaupun dari kedua
kelompok tersebut tidak ada yang sesuai standar baku rendemen minimum yang
sudah ditetapkan

4.2. Pembahasan

Karagenan merupakan salah satu jenis polisakarida hasil ekstraksi dari


beberapa spesies rumput laut merah (Rhodophyceae). Karagenan adalah galaktan
tersulfatasi linear hidrofilik. Galaktan tersulfatasi ini diklasifikasi menurut adanya
unit 3,6-anhydro galactose (DA) dan posisi gugus sulfat. Terdapat tiga jenis
karagenan komersial yang paling penting yaitu iota, kappa dan lamda karagenan.
Hal tersebut sesuai dengan pernytaan Distantina et al.( 2010) yang menyatakan
bahwa tiga jenis karagenan adalah iota, kappa dan lamda karagenan.

Praktikum kali ini menggunakan Rhodophyta atau rumput laut merah


karena akan menghasilkan karagenan. Jika sampel yang digunakan adalah rumput
laut coklat maka yang dihasilkan adalah alginat, seperti peryataan Subaryono
(2010). Karaginofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama
polisakarida karagin, agarofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama
polisakarida agar-agar keduanya merupakan rumput laut merah (Rhodophyceae).
Alginofit adalah rumput laut coklat (Phaeophyceae) yang mengandung bahan
utama polisakarida alginat.

E. cottonii merupakan rumput laut merah. Namun warna pada E. cottonii


tidaklah berwarna merah sesaui dengan klasifikasi pigmennya. Hal ini
dikarenakan E. cottonii melakukan adaptasi kromatik terhadap intensitas cahaya.
adaptasi kromatik adalah kemampuan untuk memodifikasi pigmen terhadap
intensitas cahaya sehingga memaksimumkan penyerapannya. Warna dari E.
cottonii adalah cokelat bukan merah karena gelombang cahaya yang didapatkan di
permukaan agar tdapat memaksmalkan proses fotosintesis. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Afandi et al. (2014), yang menyatakan bahwa E. cottonii
mempunyai varietas warna masing-masing yang mempunyai perbedaan dalam
mengabsorbsi cahaya untuk melakukan fotosintesis

Penggunakan KOH pada ekstraksi karagenan dapat membuat dinding sel


pada E.cottonii rusak. Hal tersebut karena KOH merupakan larutan jenis alkali
yang dapat memecah dinding sel dan mengeluarkan kandungan karagen dalam
E.cottonii dan mempercepat ekstraksi seperti yang dinyatakan oleh Panggabean et
al (2018). KOH dapat diganti dengan NaOH atau jenis alkali lain karena keduanya
termasuk ke dalam golongan alkali. KCl digunakan dalam ekstraksi karagenan
untuk mengendapkan karagenan. Penggunaan KCl juga dapat digantian dengan
menggunakan alkohol yang fungsinya juga sama. Penggunaan aquadest pada
ekstraksi karagenan untuk menetralkan hasil rendemen karagenan dari KCl.
Aquadest dapat digantikan oleh air tawar.

Konsentrasi larutan KOH dalam proses ekstraksi karagenan berpengaruh


dalam proses. Konsentrasi KOH yang digunakan berpengaruh pada kadar air yang
dihasilkan . Jika konsentrasi larutan KOH ditingkatkan maka jumlah rendemen
tepung karagenan akan mengalangi peningkatan dan kadar air akan menurun hasil
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Panggabean et al. (2018). Begitu
pula pada tingkat konsentrasi penggunaan KCl. Semakin besar konsentrasi yang
digunakan maka, tingkat hasil karagenan akan semakin tinggi dan kadar air akan
semakin rendah. Hal tersebut karena KCl berfungsi untuk mengikat dan
mengendapkan karagenan.

Larutan yang digunakan dalam proses pengekstasian karagenan dapat


mempengaruhi kualitas karagenan yang dihasilkan. Seperti pada variasi
konsentrasi larutan KOH yang ditambahkan dapat mempengaruhi jumlah kadar air
dan hasil karagenan seperti pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Panggabean
et al. (2018). Jika pada ekstraksi karagenan tidak menggunakan larutan sama
sekali, maka hasil yang didaapatkan tidak maksimal. Dinding sel pada rumput laut
E.cottonii. tidak akan rusak dan kandungan karagen dalam dinding sel tidak dapat
keluar.

Praktikum kali ini hasil rendemen yang didapat oleh kelompok 7D


didapatkan 10%. Jika dibandingkan dengan kelompok 3D didapatkan hasil 9,06%.
Hasil pengeringan karagenan dari kelompok 3D lebih basah dibandingkan dengan
kelompok 7D. Hal ini dapat dipengaruhi oleh cara pengeringan dan lama
pengeringan. Hasil dari proses pengeringan kedua kelompok sama-sama
membentuk seperti lapisan kulit kering.

Kualitas pengeringan tepi hasil yang didapat kelompok 7D memiliki nilai


10%. Jika dibandingkan dengan standar baku mutu minimum rendemen adalah
25% oleh Departemen Perdagangan, hasil tersebut memiliki selisih 15%. Hasil
dari kelompok 7D tidak sesuai dengan standar baku tersebut sehingga tidak dapat
digunakan. Karagenan yang dihasilkann dapat dipengaruhi oleh jenis larutan yang
digunakan. Larutan yang sesuai dapat mengingkatan hasil rendemen dan mutu
karaginan, hal tersebut juga diungkapkan oleh Ega et al. (2016). yang menyatakan
bahwa larutan yang sesuai dapat meningkatkan mutu hasil dari rendemen
karaginan.

Penggunaan oven pada ekstraksi karagenan dapat dilakukan karena suhunya


yang dapat diatur. Kelemahan jika menggunakan oven adalah jika tidak
diperhatikan pada proses pengeringannya, sampel dapat sangat kering dan dapat
gosong. Hal tersebut akan mempengaruhi hasil karagenan. Sedangkan
pengeringan menggunakan panas matahari dapat dikontrol tingkat kekeringannya.
Namun proses pengeringan dapat berjalan lama karena tergantung cuaca.
Karagenan yang didapat memiliki mutu yang baik.

Hasil karagenan dipangaruhi oleh faktor suhu, pH dan larutan pencampur.


Salah satu faktornya pada tingkat suhu yang dapat mempengaruhi kadar air hasil
karagenan. Suhu ekstrasi 90oC menghasilkan karagenan yang tinggi. Sedangkan
pada suhu 50oC karagenan yang dihasilkan rendah. Perbedaan suhu tersebut
mempengaruhi kadar air di hasil karagenan, hal ini juga diungkapkan oleh Ega et
al. (2016). bahwa suhu dapat mempengaruhi kadar air pada hasil karagenan.

Penelitian ekstraksi karagenan selain dengan metode alkali adalah dengan


metode depolimerisasi seperti pada peneliatian Uju et al.(2018). Penelitian tentang
pengembangan metode depolimerisasi karaginan telah banyak dilakukan. Salah
satunya metode depolimerisasi menggunakan asam klorida. H2O2 dapat efektif
untuk depolimerisasi polisakarida karaginan. Prinsip depolimerisasi polisakarida
dengan H2O2 adalah berdasarkan pada pembentukan radikal hidroksil reaktif.

Hasil karagenan dapat berbeda dikarenakan kesalahan yang terjadi ketika


proses ekstrasi. Kesalahan dapat terjadi ketika pencucian sampel yang kurang
bersih. Hal ini karena garam dan epifit dapat berpengaruh pada hasil karagenan.
Selain itu kesalahan pada jumlah larutan yang ditambahkan dapat mempengaruhi
warna dan kualitas karagenan.
V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

1. Hasil ekstraksi rumput laut Eucheuma cottonii memiliki berat 3 gram,


nilai rendemen 10%, berwarna putih kecoklatan.
2. Ekstraksi merupakan pengambilan substansi dari suatu sampel. Ekstraksi
dibagi menjadi dua macam yakni ekstraksi panas dan ekstraksi dingin.
Perbedaan jenis ektraksi ini jika ekstraksi panas menggunakan suhu
tinggi, sedangkan pada ekstraksi dingin hanya penyaringan dengan alat.
Metode panas yang digunakan menggunakan metode panas oven.

5.2. Saran
1. Alat dan bahan yang digunakan diperbanyak agar kegiatan praktikum
dapat berjalan dengan baik.
2. Mengambil sampel menggunakan lateks agar tidak meninggalkan bau
pada tangan.
3. Setelah menggunakan alat harus dicuci dan dirapikan agar
kebersihannya terjaga.
DAFTAR PUSTAKA

Afif, S., G.Fasya dan R.Ningsih. 2016. Extraction, Toxicity Assay and
Identification of Active Compouns of Red Alage (Ecuhema cottonii)
from Sumenep Madura. Journal of Chemistry, 4(2):101-106.

Afandi, A., K. Nirmala, dan T. Budiarti. 2014. Produksi, Rendemen Dan Kekuatan
Gel Tiga Varietas Rumput Laut Kappaphycus Alvarezii Yang
Dibudidaya Dengan Metode Long Line. Jurnal Kelautan Nasional.,
10(1): 43-53.

Agustin, A., A.I.Saputri dan Harianingsih. 2017. Optimasi Pembuatan Karagenan


dari Rumput Laut Aplikasinya untuk Perenyah Biskuit. Inovasi Teknik
Kimia, 2(2):42-47.

Amaluddin, Damhuri dan Safilu. 2017. Pengaruh Asal Talus Tehadap


Produktivitas Euchema cottonii dan Euchema spinosium di Perairan Desa
Sombanokaledupa Kebupaten Wakatobi. J.AMPIBI, 2(1):28-33.

Amaranggana, L. dan N.Wathoni. 2017. Manfaat Alga Merah (Rhodophyta) Sebagai


Sumber Obat dari Bahan Alam. Majalah Farmasetiak, 2(1):16-19.

Annisaqois, M., M.S.Gerung, S.Wullur, D.A.Sumilat, B.T.Wagey dan


S.V.Mandagi. 2018. Analisis Molekuler DNA Alga Merah (Rhodophyta)
Kappaphycus sp.. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, 1(1):107-112.

Ayhuan, H.V., N.V.Zamani dan D.Soedharma. 2017. Analisis Struktur Komunitas


Makroalga Ekonomis Penting di Perairan Intertidal Manokwari, Papua
Barat. Jurnla Teknologi Perikanan dan Kelautan, 8(1):19-38.

Balqis, A.M.I., M.A.R.N.Khaizura, A.R.Ruzzly and Z.A.N.Hanani. 2017. Effects


of Plasticizers on the Physicochemical Properties of Kappa-Carageenan
Films Extracted from Euchema cottonii. International Journal of
Biological Macromolecules, 96(103):721-732.
Cokrowati, N., N.Diniarti, D.N.Styowati, S.Waspodo dan M.Marzuki. 2019.
Eksplorasi dan Penangkaran Bibit Rumput Laut (Euchema cottonii) di
PerairanTeluk Ekas Lombok Timur. Jurnal Biologi Tropis, 19(1):51-53.

Djakatara, P.D., G.S.Gerung, E.L.Ginting, C.F.A.Sondak, N.D.C.Rumampuk dan


D.M.H.Mantiri. 2018. Amplifikasi DNA Alga Merah (Rhodophyta)
Euchema sp.. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, 2(1):28-30.

Dolarosa, M.T., Nuerjanah, S.Purwaningsih, E.Anwar, dan T.Hidayat. 2017.


Kandungan Senyawa Bioaktif Bubut Rumput Laut Sargassum
plagyophyllum dan Euchema cottonii Sebagai Bahan Baku Krim
Pencerah Kulit. JPHPI, 20(3):633-644.

Ega, L., C.G.Cristina dan F.Meysaa. 2016. Kajian Mutu Karaginan Rumput Laut
Euchema cottonii Berdasarkan Sifat Fisiko-Kimia pada Tingkat
Konsetrasi Kalian Hidroksida (KOH) yang Berbeda. Jurnal Aplikasi
Teknologi Pangan, 5(2):38-44.

Erjanan, S., V.Dotulong dan R.Montolalu. 2017. Mutu Karaginan dan Kekuatan
Gel dari Rumput Laut Merah Kappaphycus alvarezii. Jurnal Media
Teknologi Hail Perikanan, 5(2):130-133.

Failu, I., E..Supriyono dan S.H.Suseno. 2016. Peningkatan Kualitas Karagenan


Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dengan Metode Budidaya
Keranjang Jaring. Jurnal Akuakultur Indonesia, 15(2):124-131.

Fathmawati, D., M.R.P.Abidin dan A.Roesyadi. 2014. Studi Kinetika Pembuatan


Karaginan dari Rumput Laut. Jurnal Teknik Pomits, 3(1):27-32.

Firmandana, T.C., Suyanti dan Ruswahyuni. 2014. Kelimpahan Bulu Babi (Sea
Urchin) pada Ekosistem Karang dan Lamun Di Perairan Pantai Sundak,
Yogyakarta. Diponegoro Journal of Maquares, 3(4):41-50.
Ghazali, M. H.Husna dan Sukiman. 2018. Diversitas dan Karakteristik Alga
Merah (Rhodophyta) pada Akar Mngrove di Teluk Serewe Kabupaten
Lombok Timur. Jurnal Biologi Tropis, 18(1):80-90.

Harun, M., R.I.Montolalu dan I.K.Suwetja. 2013. Karakteristik Fisika Kimia


Karaginan Rumput Laut Jenis Kappaphycus alvarezii pada Umur Panen
yang Berbeda di Perairan Desa Thengo Kabupaten Gorontalo Utara.
Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan, 1(1):7-12.

Ira, Rahmadani dan N.Irawati. 2018. Komposisi Jenis Makroalga di Perairan


Pulau Hari Sulawesi Tenggara (Spesies Composition of Makroalga in
Hari Island, South East Sulawesi). Jurnal Biologi Tropis, 18(2):141-158.

Novianto, Y.Dinarianasari dan A.Prasetyaningrum. 2013. Pemanfaatan Membran

Mikrofiltrasi Untuk Pembuatan Refined Carrageenan dari Rumput Laut


Jenis Euchema cottonii. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, 2(3):109-
114.

Nurmiyati. 2013. Keragaman, Distribusi dan Nilai Penting Makro Alga di Pantai
Sepanjang Gunung Kidul. BIOEDUKASI, 6(1):12-21.

Oryza, D., S.Mahanal dan M.S.Sari. 2017. Identifikasi Rhodophyta Sebagai


Bahan Ajar di Perguruan Tinggi. Jurnal Pendidikan, 2(3):309-314.

Panggabean, J.E ., V. Dotulong, dan R.I. Montolalu. 2018. Ekstraksi Karaginan


Rumput Laut Merah (Kappaphycus Alvarezii) Dengan Perlakuan
Perendaman Dalam Larutan Basa. Jurnal Media Teknologi hasil
Perikanan., 6(3): 258-263.

Radiarta, I.N., Erlania dan K.Sugama. 2014. Budidaya Rumput Laut,


Kappaphycus alverezii Secara Terintegrasi dengan Ikan Kerapu di Teluk
Gerupuk Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. J. Riz.
Akuakultur, 9(1):125-134.
Sari, D.N., D.H.Wardhani dan A.Prasetyaningrum. 2013. Kajian Isolasi Senyawa
Fenolik Rumput Laut Euchema cottonii Berbantu Gelombang Micro
dengan Variasi Suhu dan Waktu. Jurnal Teknik Kimia, 3(9):38-43.

Shanti, V.S., A.K.Bhagat, S.Saranya, G.Govindarajan dan S.R.D.Jebakumar.


2014. Seaweed (Euchema cottonii) Associated Microorganisms, a
Versatile Enzyme Source for The Lignocellulosic Biomass Processing.
International Biodeterioration & Biodegradation, 144-151.

Sidi, N.C., E.Widowati dan A.Nursiwi. 2014. Pengaruh Penambahan Karagenan


pada Karakteristik Fisikokimia dan Sensori Fruit Leather Nanas (Ananas
Cosmous L.Merr) dan Wortel (Daucus Carota). Jurnal Aplikasi
Teknologi Pangan, 3(4):122-1267

Subaryono. 2010. Modifikasi Alginat dan Pemanfaatan Produknya. Jakarta:

Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Supriatno, M.Kasim dan N.Irawati. 2016. Keanekargaman Jenis dan Kepadatan


Makroepifit pada (Euchema cottonii) dalam Rakit Jaring Apung di
Perairan Desa Tanjung Tiram Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal
Manajemen Sumber Daya Perairan, 1(3):225-236.
DOKUMENTASI

Gambar 7. Memotong rumput laut Gambar 8. Menyaring karagenan

Gambar 9. Pencucian karagenan Gambar 10. Menyaring Karagenan

Gambar 8. Penambahan Aquades Gambar 9. Pemanasan rumput

Anda mungkin juga menyukai