Anda di halaman 1dari 15

PEMANFAATAN LIMBAH BIJI SALAK DAN DAUN KELOR

SEBAGAI PENJERNIH AIR DAN ADSORBEN LOGAM Cu PADA AIR


SUNGAI

Karya Tulis Ilmiah


Disusun untuk Mengikuti Lomba Penelitian Indonesian Science Project Olympiad
(ISPO) 2022

Oleh :

Ketua Tim Peneliti

Nama : Lili Dwi Safitri

Kelas : XII IPA 1

NISN : 0049510795

Anggota 1

Nama : Nyayu Maulidya Al Mardaniah

Kelas : XII IPA 3

NISN : 0058061090

Pembimbing 1

Nama : Fadly Ardiano, S. Si

Jabatan : Asisten Laboratorium

SMA NEGERI SUMATERA SELATAN


2022
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara dengan perairan yang luas. Menurut Badan Kesatuan
bangsa dan Politik Kabupaten Kulon Progo (2022), wilayah Indonesia adalah 70% lautan dan
30% daratan, memiliki lebih dari 17.000 pulau, dengan garis pantai lebih dari 99.000 km.
Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) yang terdiri dari ribuan pulau besar
kecil, dengan luas laut sekitar 3.100.000 km², yakni perairan laut Nusantara 2.800.000 km²
dan perairan laut teritorial seluas 300.000 km² ditambah dengan perairan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, maka secara keseluruhan luas perairan laut menjadi 5.200.000 km² dan
mempunyai pantai terpanjang seluas 81.000 km. Perairan laut yang luas tersebut kaya akan
jenis jenis maupun potensi perikanan. Potensi perikanan umum diperkirakan sebesar 305.660
ton 2/tahun serta potensi kelautan kurang lebih 4 miliar USD/tahun. Oleh karena itu, jumlah
air di Indonesia sangat melimpah. Namun, dengan kondisi perairan yang luas, hal ini juga
menimbulkan berbagai permasalahan terkait pengolahan dan pemanfaatannya. Menurut Z
Idrus (2019), masalah yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air
meliputi kualitas air yang tercemar, banjir, kekeringan dan pendangkalan. Salah satu
permasalahan yang cukup serius yaitu pencemaran.
Pencemaran adalah masuknya benda asing pada media udara, air, dan tanah yang
melampaui standar baku lingkungan. Pencemaran air merupakan suatu kondisi dimana air
dicemari oleh benda asing yang melampaui standar baku lingkungan. Berdasarkan PP No.
20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, pencemaran air didefinisikan sebagai :
“pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya”.
Menurut Dadan Rukandar, Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat
penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia. Danau,
sungai, lautan dan air tanah adalah bagian penting dalam siklus kehidupan manusia dan
merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi. Berdasarkan pengertian tersebut penyebab
terbesar dari pencemaran air yaitu karena adanya aktivitas manusia seperti, pembuangan
sampah sembarangan, limbah dari rumah tangga, pembuangan limbah industri, pertanian dan
proses penangkapan ikan yang menggunakan racun.
Limbah industri merupakan salah satu faktor penyumbang pencemaran lingkungan di
Indonesia yang sangat banyak, pasalnya Indonesia merupakan negara yang memiliki industri
yang sangat besar. Menurut Direktori Industri Manufaktur Badan Pusat Statistik (2021), di
tahun 2021, jumlah perusahaan industri manufaktur skala menengah dan besar mencapai
sekitar 29 ribu usaha atau perusahaan. Secara umum kandungan limbah yang dihasilkan dari
pembuangan industri yaitu berupa logam berat, yang mana logam berat ini sangat
berpengaruh buruk terhadap ekosistem, baik tumbuhan air maupun hewan air. Selain itu,
logam berat juga sangat berbahaya terhadap kesehatan manusia apabila dikonsumsi. Logam
berat adalah salah satu polutan beracun yang dapat menyebabkan kematian (lethal), dan non-
kematian (subletal) seperti gangguan pertumbuhan, perilaku dan karakteristik morfologi
berbagai organisme akuatik (Effendi et al, 2012). Menurut Sastrawijaya (1991), Logam
dinyatakan polutan atau pencemar yang sangat toksik karena logam bersifat tidak dapat
terurai, banyak bahan pencemar logam yang digunakan oleh industri seperti raksa (Hg),
kromium heksavalen (Cr(VI)), arsen (As), kadmium (Cd), tembaga (Cu), Timbal (Pb), Seng
(Zn) dan Nikel (Ni).
Tembaga Cu merupakan salah satu jenis logam berat yang sangat berbahaya dan beracun
apabila dikonsumsi oleh tubuh. Oleh karena itu, perlu adanya penanganan yang tepat
sehingga dapat meminimalisir pencemaran air dengan cara mengurangi kandungan logam
berat Cu. Salah satu upaya pengurangan logam berat Cu yaitu dengan menggunakan arang
aktif.
Untuk mengurangi logam Cu di dalam air bisa dilakukan dengan cara pemberian Arang
Aktif. Ada banyak sekali bahan yang bisa digunakan untuk membuat arang aktif Maka dari
itu, peneliti berinisiatif membuat arang aktif dari biji salak yang mana biji salak merupakan
bagian buah yang jarang sekali dimanfaatkan kembali dan hanya akan menjadi limbah.
Selain itu, untuk menjernihkan kembali air yang sudah tercemar peneliti menggunakan
serbuk daun kelor, karena daun kelor merupakan tumbuhan yang banyak ditemui
dilingkungan sekitar.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara pembuatan arang aktif dari bahan biji salak ?
2. Bagaimana efektivitas arang aktif biji salak terhadap logam cu dalam air ?
3. Bagaimana perbandingan efektivitas arang aktif biji salak dan daun kelor dalam
proses penjernihan air ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui cara pembuatan arang aktif dari biji salak
2. Mengetahui bagaimana efektifitas biji salak terhadap logam cu dalam air
3. Mengetahui perbandingan keefektifan arang aktif biji salak dan daun kelor dalam
proses penjernihan air

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini yaitu dapat dijadikan sebagai alternatif penangan pencemaran
lingkungan khususnya pada air dengan menggunakan arang aktif berbahan biji salak dan
daun kelor yang ramah lingkungan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Salak dan Kandungan Biji Salak


Salak adalah sejenis palma dengan buah yang biasa dimakan. Ia dikenal juga sebagai
sala. Dalam bahasa Inggris disebut salak atau snake fruit, sementara nama ilmiahnya adalah
Salacca zalacca. Buah ini disebut snake fruit karena kulitnya mirip dengan sisik ular.
Tanaman salak merupakan tanaman yang tumbuh baik di dataran rendah hingga ketinggian
500 m diatas permukaan laut, dengan tipe iklim tropis maupun subtropis. Pada kondisi
lingkungan yang sesuai, pohon salak akan berbuah pada umur 3 tahun. Tanaman salak muda/
tunas muda salak lebih senang tumbuh di tempat yang teduh. Umumnya, salak muda atau
bibit salak ditanam di bawah tempat yang banyak pohon rindang di atasnya.

Gambar 2.1 Tanaman Salak

(Republika.co.id)

Salak merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang menyebar ke Filipina,
Malaysia, Brunei, dan Thailand melalui para pedagang. Di beberapa daerah, tanaman ini
berkembang sesuai dengan spesifikasi lokasi, sehingga secara umum komoditas ini
dikelompokkan sebagai berikut: salak Jawa (Salacca zalacca (Gaertner) Voss) dengan biji 2-
3 butir dan daging buah berwarna putih tulang kekuningan, salak Bali (Salacca amboinensis
(Becc) Mogea) dengan biji 1–2 butir dan daging buah berwarna putih tulang kekuningan, dan
salak Padang Sidempuan (Salacca sumatrana (Becc)) yang berdaging agak kemerahan
(Nixon, 2009).
Secara umum klasifikasi ilmiah salak adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Ordo : Liliopsida
Famili : Arecaceae
Genus : Salacca
Spesies : S. zalacca
Buah salak tersusun atas 3 bagian utama, yaitu kulit, daging, buah dan bagian biji.
Bagian kulit tersusun atas sisik–sisik yang tersusun seperti genting dan kulit ari yang
langsung menyelimuti daging buah. Kulit ari berwarna putih transparan. Warna sisik buah
salak ada yang berwarna coklat kehitaman, coklat kemerahan, dan coklat keputihan
tergantung kultivarnya (Suter, 1988). Salak merupakan komoditas yang kaya dengan
kandungan gizi berupa kalori, protein, karbohidrat, mineral dan vitamin. Komposisi kimia
daging buah salak berubah dengan semakin meningkatnya umur buah dan bervariasi menurut
varietasnya. Salak mempunyai kandungan kimiawi yang relatif konstan pada umur 5 bulan
sesudah bunga mekar. Pada umur tersebut kadar gulanya mencapai nilai tertinggi, sedangkan
kadar asamnya dan taninnya terendah. Hal ini yang menyebabkan umur 5 bulan setelah bunga
mekar adalah umur panen terbaik untuk konsumsi karena rasanya manis dan rasa asam
hampir tidak ada (Putra, 2011).
Menurut Karta (2015) biji salak selama ini belum dimanfaatkan oleh masyarakat,
padahal biji salak dapat diolah menjadi produk pangan lokal yang bernilai ekonomis yaitu
kopi biji salak. Saputra (2008) menyatakan bahwa biji salak mengandung antioksidan, uji
fitokimia senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada biji salak yakni senyawa flavonoid,
tanin dan sedikit alkaloid. Efek farmakologi senyawa flavonoid di dalam ekstrak biji salak
mampu menurunkan kadar glukosa dalam darah. Pondoh. Biji salak juga banyak diteliti
memiliki antioksidan. Hasil uji fitokimia menunjukkan biji buah salak mengandung senyawa
flavonoid dan tanin serta sedikit alkaloid. Kandungan flavonoid di dalam ekstrak kulit salak
mampu menurunkan kadar glukosa dalam darah (Sahputra, 2008). Ekstrak etanol kulit buah
salak mengandung metabolit sekunder alkaloid, polifenolat, flavonoid, tanin, kuinon,
monoterpen dan seskuiterpen. Ekstrak etanol biji buah salak memiliki aktivitas antioksidan
dengan nilai IC50 sebesar 229,27 ± 6,35 (μg/mL) (Fitrianingsih dkk., 2014).
Gambar 2.1.1 Biji Salak
(Terasmaluku.com)

Selama ini tanaman salak telah dimanfaatkan dalam pembuatan makanan atau
minuman sedangkan biji dengan kualifikasi tertentu digunakan sebagai benih. Selebihnya biji
salak hanya dibuang begitu saja. Biji salak mengandung air 54,84%;lemak 0,48%; protein
4,22%; dan karbohidrat 38,9% (Ariel, 2012). Biji salak terkenal memiliki tekstur yang sangat
keras. Tekstur biji yang keras disebabkan oleh tumpukan hemiselulosa dalam dinding sel
yang sangat tebal yang merupakan cadangan makanan utama bagi embrio biji tersebut
(Demura dkk, 2013). Biji salak memiliki kandungan aktivitas antioksidan yang tinggi
(Werdyani et al, 2017). Kandungan biji salak lainnya yaitu mengandung senyawa tanin dan
flavonoid dan sedikit alkaloid, dan juga memiliki antioksidan (Karta et al, 2015).

2.2 Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)


Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) merupakan suatu alat yang digunakan pada
metode analisis untuk penentuan unsur-unsur logam dan metaloid yang berdasarkan pada
penyerapan absorbsi radiasi oleh atom bebas. Penyerapan absorbs menyebabkan
tereksitasinya elektron dalam kulit atom ke tingkat tenaga yang lebih tinggi (exited state).
Pengurangan intensitas radiasi yang diberikan sebanding dengan jumlah atom pada tingkat
tenaga dasar yang menyerap energi radiasi tersebut. Intensitas radiasi yang diteruskan
(transmitansi) atau mengukur intensitas radiasi yang diserap (absorbansi), dapat diukur
sehingga konsentrasi unsur di dalam cuplikan dapat ditentukan (Gunandjar, 1985).
Spektrofotometer serapan atom adalah teknik analisis kuantitatif dari unsur-unsur yang
pemakaiannya sangat luas di berbagai bidang karena prosedurnya selektif, spesifik, biaya
analisisnya relatif murah, sensitivitasnya tinggi (ppm-ppb), dapat dengan mudah membuat
matriks yang sesuai dengan standar, waktu analisis sangat cepat dan mudah dilakukan
(Gandjar dan Rohman, 2007). Menurut Dian Farkhatus Solikha (2019), Spektroskopi Serapan
Atom (SSA) adalah suatu teknik analisis yang digunakan untuk menentukan kadar suatu
logam dalam suatu senyawa dengan mengatomisasinya terlebih dahulu. Atomisasi dapat
dilakukan dengan nyala. Metode SSA berprinsip pada absorbsi cahaya oleh atom, yang
berakibat suatu atom pada keadaan dasarnya, dinaikkan ke tingkat energi eksitasi.
Metode Spektrofotometri Serapan Atom (AAS = Atomic Absorption
Spectrophotometric) sering digunakan untuk menentukan unsur-unsur di dalam suatu bahan
dengan kepekaan, ketelitian serta selektifitas yang tinggi. Proses atomisasi pada SSA dapat
dilakukan tanpa nyala (Flameless Atomization), yaitu dengan cara menggunakan energi
listrik pada batang karbon (CRA = Carbon Rod Atomizer) atau hanya dengan penguapan,
misalnya pada analisis Hg (Gunandjar, 1985). Cara analisis SSA, baik atomisasi dengan
nyala yang menggunakan berbagai bahan bakar, maupun dengan tanpa nyala mampu
menentukan secara kualitatif dan kuantitatif hampir semua unsur logam. Kepekaannya mulai
dari beberapa ppm sampai ppb, kecuali beberapa unsur berat seperti U dan Zr yang baru
dapat ditentukan pada konsentrasi yang relatif tinggi di atas 100 ppm (Gunandjar, 1985).

Gambar 2.2 Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)


(bisakimia.com)

Cara kerja alat ini berdasarkan penguapan larutan sampel, kemudian logam yang
dikandung di dalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengabsorbsi radiasi dari
sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda yang mengandung unsur yang akan
ditentukan. Banyaknya radiasi yang diserap kemudian diukur pada panjang gelombang
tertentu menurut jenis logamnya (Darmono, 1995). Keberhasilan dari analisis SSA tergantung
pada proses eksitasi dan cara memperoleh garis resonansi yang tepat. Temperatur nyala harus
tinggi, pengendalian temperatur nyala penting sekali. Hal ini membutuhkan kontrol tertutup
dari temperatur yang digunakan untuk eksitasi kenaikan temperatur efisiensi atomisasi
(Khopkar, 1990).
2.3 Daun Kelor (Moringea oleifera L.)
Kelor merupakan jenis tanaman multiguna, hampir semua bagian dari tanaman kelor
dapat dijadikan bahan antimikroba. Bagian-bagian tanaman kelor yang telah terbukti sebagai
bahan antimikroba di antaranya daun, biji, minyak, bunga, akar, dan kulit kayu tumbuhan
kelor (Bukar et al., 2010). Fungsi tanaman kelor sebagai tumbuhan berkhasiat obat, sudah
lama dikenal oleh masyarakat di lingkungan pedesaan. Seperti akarnya, campuran bersama
kulit akar pepaya kemudian digiling dan dihancurkan, banyak digunakan untuk obat luar
(balur) penyakit beri-beri dan sejenisnya. Daunnya ditambah dengan kapur sirih, juga
merupakan obat kulit seperti kurap dengan cara digosokkan (Rahmat, 2009).

Gambar 2.3 Daun Kelor


(Halodoc.com)

Kelor (Moringa oleifera L.) merupakan tanaman yang tumbuh pada dataran rendah
maupun dataran tinggi hingga ketinggian ± 1000 dpl. Daun kelor di Indonesia dikonsumsi
sebagai sayuran dengan rasa tidak sedap selain itu dapat digunakan sebagai pakan ternak
karena dapat meningkatkan perkembangbiakan ternak khususnya unggas serta daun kelor
juga dapat dijadikan obat-obatan dan penjernih air (Kurniasih, 2014).
Salah satu bagian dari tanaman kelor yang telah banyak diteliti kandungan gizi dan
kegunaannya baik untuk bidang pangan dan kesehatan adalah bagian daun. Di bagian tersebut
terdapat ragam nutrisi, di antaranya kalsium, besi, protein, vitamin A, vitamin B dan vitamin
C (Misra & Misra, 2014; Oluduro, 2012).
Kelor merupakan tanaman yang berumur panjang dan berbunga sepanjang tahun.
Bunga kelor ada yang berwarna putih, putih kekuning kuningan (krem) atau merah,
tergantung jenis atau spesiesnya. Tudung pelepah bunganya berwarna hijau dan
mengeluarkan aroma bau semerbak (Palupi et al., 2007). Bunga kelor ada yang berwarna
putih, putih kekuning kuningan (krem) atau merah, tergantung jenis atau spesiesnya. Tudung
pelepah bunganya berwarna hijau dan mengeluarkan aroma bau semerbak (Palupi et al.,
2007).
Menurut Integrated Taxonomic Information System (2017), klasifikasi tanaman kelor sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Klas : Dicotyledoneae
Ordo : Brassicales
Familia : Moringaceae
Genus : Moringa
Spesies : Moringa oleifera Lamk
Daun kelor berbentuk bulat telur dengan tepi daun rata dan ukurannya kecilkecil
bersusun majemuk dalam satu tangkai (Tilong, 2012). Daun kelor kaya akan kandungan
nutrisi, mineral dan vitamin. Kandungan zat besi pada daun kelor 17,2 mg/100 g. Daun kelor
juga mengandung berbagai asam amino antara lain asam aspartat, asam glutamat, alanin,
valin, leusin, isoleusin, histidin, lisin, arginin, venilalanin, triftopan, sistin dan methionin.
Daun kelor mengandung fenol dalam jumlah banyak dikenal sebagai penangkal senyawa
radikal bebas. Kandungan fenol dalam daun kelor segar sebesar 3,4%, sedangkan pada daun
kelor yang telah diekstrak sebesar 1,6%. Manfaat daun kelor lainnya selain kaya nutrisi
adalah sebagai anti mikroba dan antijamur, hal ini dikarenakan adanya kandungan asam
askorbat, flavonoid, phenolic dan katenoid.
Kandungan zat gizi daun kelor lebih tinggi jika dibandingkan dengan sayuran
lainnya yaitu berada pada kisaran angka 17.2 mg/100 g (Yameogo et al.,2011). Selain itu, di
dalam daun kelor juga terdapat kandungan berbagai macam asam amino, antara lain asam
amino yang berbentuk asam aspartat, asam glutamat, alanin, valin, leusin, isoleusin, histidin,
lisin, arginin, venilalanin, triftopan, sistein dan methionin (Simbolan et al., 2007). Kandungan
fenol dalam daun kelor segar sebesar 3.4% sedangkan pada daun kelor yang telah diekstrak
sebesar 1.6% (Foild et al., 2007). Penelitian lebih lanjut menyebutkan bahwa daun kelor
mengandung antioksidan tinggi dan antimikrobia (Das et al., 2012). Hal ini disebabkan oleh
adanya kandungan asam askorbat, flavonoid, phenolic, dan karatenoid (Anwar et al., 2007b).
Kandungan nilai gizi yang tinggi, khasiat dan manfaatnya menyebabkan kelor
mendapat julukan sebagai Mother’s Best sendiri pemanfaatan kelor masih belum banyak
diketahui, umumnya hanya dikenal sebagai salah satu menu sayuran. Selain dikonsumsi
langsung dalam bentuk segar, kelor juga dapat diolah menjadi bentuk tepung atau powder
yang dapat digunakan sebagai pada berbagai produk pangan, seperti pada olahan puding,
cake, nugget, biscuit, cracker serta olahan lainnya. Menurut Prajapati et al (2003) tepung
daun kelor dapat ditambahkan untuk setiap jenis makanan sebagai suplemen gizi. Selain itu
tanaman ini juga bermanfaat dalam memperbaiki lingkungan, terutama berfungsi untuk
memperbaiki kualitas air. Penelitian lain menyatakan bahwa menunjukkan bahwa daun kelor
mengandung vitamin C setara vitamin C dalam 7 jeruk, vitamin A setara vitamin A pada 4
wortel, kalsium setara dengan kalsium dalam 4 gelas susu, potassium setara dengan yang
terkandung dalam 3 pisang, dan protein setara dengan protein dalam 2 yoghurt (Mahmood,
2011).
Daun kelor mengandung antioksidan tinggi dan antimikroba (Das et al., 2012). Hal ini
disebabkan oleh adanya kandungan asam (Anwar et al., 2007b; Makkar & Becker, 1997;
Moyo et al., 2012; Dahot, 1998).Selain untuk kebutuhan konsumsi, pengobatan alternatif,
daun kelor juga dapat berfungsi sebagai bahan pengawet alami. Hasil penelitian Shah et al,.
(2015) menunjukkan bahwa ekstrak daun kelor atau yang dikenal dengan istilah Moringa
Leaf Extract (MLE) dapat mempertahankan warna daging segar dalam kemasan MAP selama
12 hari penyimpanan pada suhu dingin. Hal ini disebabkan oleh karena daun kelor sebagai
sumber senyawa phenolik yang baik yang mampu mencegah terjadinya oksidasi lemak pada
daging segar selama penyimpanan. Oleh karena itu penelitian tentang peran daun kelor
sebagai pengawet alami mulai banyak dilakukan yang bertujuan untuk memperpanjang umur
simpan produk pangan segar selain berkontribusi terhadap rasa dan aroma pada produk
olahan. Komponen bioaktif yang cukup tinggi, seperti asam askorbat, carotenoid dan
senyawa phenolik sangat berperan dalam memperpanjang masa simpan produk (Muthukumar
et al., 2012). Pemanfaatan daun kelor sebagai penjernih air adalah salah satu cara cukup
efektif dan efisien karena bahan baku dan teknik penjernihannya tidak rumit, sederhana dan
murah.

2.4 Air
Menurut Suripin (2002), yang dimaksud air bersih yaitu air yang aman (sehat) dan
baik untuk diminum, tidak berwarna, tidak berbau, dengan rasa yang segar. Sedangkan
menurut Kodoatie (2003), mengatakan bahwa air bersih adalah air yang kita pakai sehari-hari
untuk keperluan mencuci, mandi, memasak dan dapat diminum setelah dimasak. Air yang
dihasilkan PDAM pun bukan merupakan air minum yang langsung dapat diminum seperti air
minum dari kemasan melainkan masih pada tingkat air bersih, karena air dari PDAM dapat
kita minum setelah dimasak terlebih dahulu. Menurut EG. Wagner dan J.N. Lanix dalam
bukunya Water Supply for Rural and Small Communication menyatakan bahwa air yang
sehat adalah air yang tidak merugikan bagi kesehatan pemakainya. Sedangkan menurut Fair
dan Geyer air yang sehat harus bebas dari pengotoran sehingga tidak sempat menyebabkan
kerugian bagi pemakainya, bebas dari bahan bahan beracun yang tidak mengandung mineral
dan bahan bahan organik berbahaya (EG. Wagner, JN. Lanix, 1959).
Kebutuhan air yang paling utama bagi manusia adalah air minum. Dalam menjalankan
fungsi kehidupan sehari-hari manusia sangat tergantung pada air, karena air dipergunakan
pula untuk mencuci, membersihkan peralatan, mandi, dan lain sebagainya. Menurut
perhitungan WHO (World Health Organization) di Negara-negara maju setiap orang
memerlukan air antara 60-120 liter per hari. Sedangkan di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia setiap orang memerlukan air antara 30-60 liter per hari (Notoatmodjo,
2007). Manfaat lain dari air berupa pembangkit tenaga (PLTA), irigasi, alat transportasi, dan
lain sebagainya. Semakin maju tingkat kebudayaan masyarakat maka penggunaan air juga
semakin meningkat. Air bersih dalam kehidupan manusia merupakan salah satu kebutuhan
paling esensial, sehingga kita perlu memenuhinya dalam jumlah dan kualitas yang memadai.
Selain untuk dikonsumsi air bersih juga dapat dijadikan sebagai salah satu sarana dalam
meningkatkan kesejahteraan hidup melalui upaya peningkatan derajat kesehatan (Sutrisno,
1991:1).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan pada tanggal 20 November 2022 sampai dengan 20 Februari 2023.
Bertempat di laboratorium IPA SMAN Sumatera Selatan dan Laboratorium Kimia UIN
Raden Fatah Palembang

3.2 Variabel Penelitian

3.2.1 Variabel terkontrol


Variabel terkontrol pada penelitian ini adalah

3.2.2 Variabel Bebas


Variabel bebas pada penelitian ini adalah
3.2.3 Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah

3.3 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian “Pemanfaatan limbah biji salak (Salacca
edulis reinw) sebagai adsorben logam (Cu) pada air sungai” adalah sebagai berikut :
● Gelas Ukur
● Gelas kimia
● Kaca arloji
● Timbangan digital
● Cawan krus
● Cawan evaporasi
● Mortar
● Pipet tetes
● Oven
● Spektrometri Serapan Atom (SSA)
● Biji salak
● “bahan”
● Air sungai yang mengandung logam Cu

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Persiapan Sampel biji salak


Sampel biji salak dipisahkan dari kulit dan daging buahnya. Setelah terpisah dari kulit
dan daging buah biji salak kemudian dijemur dibawah sinar matahari selama 2 hari. Setelah
dijemur biji salak dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil dan dijemur kembali selama 1
hari.

3.4.2 Pembuatan Arang Biji Salak


Setelah biji salak dijemur, biji salak dimasukkan kedalam wadah kaleng dengan
penutup. Pada bagian penutup akan diberikan lubang sebagai ventilasi udara, setelah sampel
biji salak dimasukkan kedalam kaleng proses selanjutnya adalah memasukkan kaleng tersebut
kedalam api setelah terdapat asap kebiruan atau kekuningan pada ventilasi kaleng, kemudian
tutup ventilasi tersebut dan terus lakukan pemanasan selama 1 jam.
Setelah 1 jam matikan api kemudian dinginkan wadah kaleng yang terdapat biji salak
kemudian keluarkan biji salak yang sudah menjadi arang dan arang biji salak sudah siap
untuk diaktivasi. Proses aktivasi arang biji salak dilakukan dengan cara memansakan arang
biji salak kedalam oven dengan suhu 250oC selama 2 jam. Proses aktivasi ini bertujuan untuk
membuka pori-pori pada arang biji salak agar dapat menyerap logam cu yang tedapat dalam
sampel air sungai yang mengandung logam Cu.

3.4.3 Uji Kadar Air Arang Aktif Biji Salak


Timbang sebanyak 5 gram arang aktif biji salak menggunakan timbangan digital
kemudian masukkan kedalam cawan evaporasi. Timbang cawan evaporasi yang berisi sampel
arang aktif kemudian catat bobotnya. Panaskan cawan evaporasi beserta sampel arang aktif
biji salak kedalam oven selama 2 jam dngan suhu 100oC kemudian dinginkan sampai suhu
ruang. Setelah didingikan timbang kembali cawan beserta sampel catat bobotnya. Kemudian
tentukan kadar air menggunakan rumus :
Berat sampel awal (W 1)
%Kadar Air = Berat sampel akhir ( W 2 ) x 100%
¿
¿

3.4.4 Uji pH Air Sungai yang Mengandung Logam Cu


Siapkan Sampel air sungai sebanyak 200mL dalam gelas kimia kemudian ukur pH air
sungai tersebut menggunakan pH meter dan catat hasil pH dari air sungai tersebut. Sampel air
sungai tersebut alirkan melalui arang aktif yang sudah disiapkan, kemudian ukur kembali
menggunakan pH meter dan catat pH air sungai. Bandingkan pH air sungai yang sebelum dan
sesudah dialirkan melewati arang aktif biji salak.

3.4.5 Uji Kadar Logam Cu Menggunakan Spektrometri Serapan Atom (SSA)

3.4.5.1 Penentuan Kadar Logam Cu Pada Air Sungai


Konsentrasi logam Cu ditentukan dengan metode adisi standar dengan cara mem pipet
10 mL sampel kedalam masing-masing labu ukur 50mL. Selanjutnya pada masing-masing
labu ditambahkan larutan standar Cu 100 ppm dengan volume 0 mL, 10 mL dan 15 m, dan
diencerkan sampai tanda batas sehingga didapatkan campuran larutan standar dengan sampel
dengan konsentrasi 0, 20 dan 30 ppm. Selanjutnya larutan diukur absorbansinya
menggunakan spektrometri serapan atom (SSA).
3.4.5.2 Uji Penyerapan Logam Berat Cu Oleh Arang Aktif Biji Salak
Diambil arang aktif dengan variasi massa 2,3 dan 4 g diadsorpsi masing-masing kedalam 100
mL larutan sampel air sungai dengan konsentrasi 10 ppm. Campuran tersebut diaduk dengan
magnetic stirrer pada kecepatan selama 30 menit pada suhu 30oC. Setelah pengadukan
selesai, campuran didiamkan dan dibiarkan selama 60 menit sehingga dapat mengendap
dengan sempurna. Setelah itu larutan disaring menggunakan kertas saring. Filtrat dianalisis
menggunakan SSA.

Anda mungkin juga menyukai