Anda di halaman 1dari 16

ARABIS (ARANG AKTIF BIJI SALAK)

PEMANFAATAN LIMBAH BIJI SALAK (SALACCA EDULIS


REINW) SEBAGAI ADSORBEN LOGAM (Cu) PADA AIR
SUNGAI
Karya Tulis Ilmiah
Disusun untuk Mengikuti Lomba Penelitian Indonesian Science Project
Olympiad (ISPO) 2022

Oleh :

Ketua Tim Peneliti

Nama : Lili Dwi Safitri

Kelas : XII IPA 1

NISN : 0049510795
Anggota 1

Nama : Nyayu Maulidya Al Mardaniah

Kelas : XII IPA 3

NISN : 0058061090

Pembimbing 1

Nama : Fadly Ardiano, S. Si

Jabatan : Asisten Laboratorium

SMA NEGERI SUMATERA SELATAN


2022
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan perairan yang luas. Menurut Badan
Kesatuan bangsa dan Politik Kabupaten Kulon Progo (2022), wilayah Indonesia
adalah 70% lautan dan 30% daratan, memiliki lebih dari 17.000 pulau, dengan
garis pantai lebih dari 99.000 km. Indonesia sebagai negara kepulauan
(Archipelagic State) yang terdiri dari ribuan pulau besar kecil, dengan luas laut
sekitar 3.100.000 km², yakni perairan laut Nusantara 2.800.000 km² dan perairan
laut teritorial seluas 300.000 km² ditambah dengan perairan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, maka secara keseluruhan luas perairan laut menjadi
5.200.000 km² dan mempunyai pantai terpanjang seluas 81.000 km. Perairan laut
yang luas tersebut kaya akan jenis jenis maupun potensi perikanan. Potensi
perikanan umum diperkirakan sebesar 305.660 ton 2/tahun serta potensi kelautan
kurang lebih 4 miliar USD/tahun. Oleh karena itu, jumlah air di Indonesia sangat
melimpah. Namun, dengan kondisi perairan yang luas, hal ini juga menimbulkan
berbagai permasalahan terkait pengolahan dan pemanfaatannya. Menurut Z Idrus
(2019), masalah yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
air meliputi kualitas air yang tercemar, banjir, kekeringan dan pendangkalan.
Salah satu permasalahan yang cukup serius yaitu pencemaran.
Pencemaran adalah masuknya benda asing pada media udara, air, dan tanah
yang melampaui standar baku lingkungan. Pencemaran air merupakan suatu
kondisi dimana air dicemari oleh benda asing yang melampaui standar baku
lingkungan. Berdasarkan PP No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air,
pencemaran air didefinisikan sebagai : “pencemaran air adalah masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air
oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya”. Menurut
Dadan Rukandar, Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat
penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas
manusia. Danau, sungai, lautan dan air tanah adalah bagian penting dalam siklus
kehidupan manusia dan merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi.
Berdasarkan pengertian tersebut penyebab terbesar dari pencemaran air yaitu
karena adanya aktivitas manusia seperti, pembuangan sampah sembarangan,
limbah dari rumah tangga, pembuangan limbah industri, pertanian dan proses
penangkapan ikan yang menggunakan racun.
Limbah industri merupakan salah satu faktor penyumbang pencemaran
lingkungan di Indonesia yang sangat banyak, pasalnya Indonesia merupakan
negara yang memiliki industri yang sangat besar. Menurut Direktori Industri
Manufaktur Badan Pusat Statistik (2021), di tahun 2021, jumlah perusahaan
industri manufaktur skala menengah dan besar mencapai sekitar 29 ribu usaha
atau perusahaan. Secara umum kandungan limbah yang dihasilkan dari
pembuangan industri yaitu berupa logam berat, yang mana logam berat ini sangat
berpengaruh buruk terhadap ekosistem, baik tumbuhan air maupun hewan air.
Selain itu, logam berat juga sangat berbahaya terhadap kesehatan manusia apabila
dikonsumsi. Logam berat adalah salah satu polutan beracun yang dapat
menyebabkan kematian (lethal), dan non-kematian (subletal) seperti gangguan
pertumbuhan, perilaku dan karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik
(Effendi et al, 2012). Menurut Sastrawijaya (1991), Logam dinyatakan polutan
atau pencemar yang sangat toksik karena logam bersifat tidak dapat terurai,
banyak bahan pencemar logam yang digunakan oleh industri seperti raksa (Hg),
kromium heksavalen (Cr(VI)), arsen (As), kadmium (Cd), tembaga (Cu), Timbal
(Pb), Seng (Zn) dan Nikel (Ni).
Tembaga Cu merupakan salah satu jenis logam berat yang sangat berbahaya
dan beracun apabila dikonsumsi oleh tubuh. Oleh karena itu, perlu adanya
penanganan yang tepat sehingga dapat meminimalisir pencemaran air dengan cara
mengurangi kandungan logam berat Cu. Salah satu upaya pengurangan logam
berat Cu yaitu dengan menggunakan arang aktif.
Untuk mengurangi logam Cu di dalam air bisa dilakukan dengan cara
pemberian Arang Aktif. Ada banyak sekali bahan yang bisa digunakan untuk
membuat arang aktif Maka dari itu, peneliti berinisiatif membuat arang aktif dari
biji salak yang mana biji salak merupakan bagian buah yang jarang sekali
dimanfaatkan kembali dan hanya akan menjadi limbah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara pembuatan arang aktif dari bahan biji salak ?
2. Bagaimana efektivitas arang aktif biji salak terhadap logam cu dalam
air ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui cara pembuatan arang aktif dari biji salak
2. Mengetahui bagaimana efektifitas biji salak terhadap logam cu dalam
air

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini yaitu dapat dijadikan sebagai alternatif penangan
pencemaran lingkungan khususnya pada air dengan menggunakan arang aktif
berbahan biji salak sebagai adsorben logam Cu.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Salak dan Kandungan Biji Salak
Salak adalah sejenis palma dengan buah yang biasa dimakan. Ia dikenal juga
sebagai sala. Dalam bahasa Inggris disebut salak atau snake fruit, sementara nama
ilmiahnya adalah Salacca zalacca. Buah ini disebut snake fruit karena kulitnya
mirip dengan sisik ular.
Tanaman salak merupakan tanaman yang tumbuh baik di dataran rendah hingga
ketinggian 500 m diatas permukaan laut, dengan tipe iklim tropis maupun
subtropis. Pada kondisi lingkungan yang sesuai, pohon salak akan berbuah pada
umur 3 tahun. Tanaman salak muda/ tunas muda salak lebih senang tumbuh di
tempat yang teduh. Umumnya, salak muda atau bibit salak ditanam di bawah
tempat yang banyak pohon rindang di atasnya.

Gambar 1. Tanaman Salak

(Republika.co.id)

Salak merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang menyebar ke


Filipina, Malaysia, Brunei, dan Thailand melalui para pedagang. Di beberapa
daerah, tanaman ini berkembang sesuai dengan spesifikasi lokasi, sehingga secara
umum komoditas ini dikelompokkan sebagai berikut: salak Jawa (Salacca zalacca
(Gaertner) Voss) dengan biji 2-3 butir dan daging buah berwarna putih tulang
kekuningan, salak Bali (Salacca amboinensis (Becc) Mogea) dengan biji 1–2 butir
dan daging buah berwarna putih tulang kekuningan, dan salak Padang Sidempuan
(Salacca sumatrana (Becc)) yang berdaging agak kemerahan (Nixon, 2009).
Secara umum klasifikasi ilmiah salak adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Ordo : Liliopsida
Famili : Arecaceae
Genus : Salacca
Spesies : S. zalacca
Buah salak tersusun atas 3 bagian utama, yaitu kulit, daging, buah dan
bagian biji. Bagian kulit tersusun atas sisik–sisik yang tersusun seperti genting
dan kulit ari yang langsung menyelimuti daging buah. Kulit ari berwarna putih
transparan. Warna sisik buah salak ada yang berwarna coklat kehitaman, coklat
kemerahan, dan coklat keputihan tergantung kultivarnya (Suter, 1988). Salak
merupakan komoditas yang kaya dengan kandungan gizi berupa kalori, protein,
karbohidrat, mineral dan vitamin. Komposisi kimia daging buah salak berubah
dengan semakin meningkatnya umur buah dan bervariasi menurut varietasnya.
Salak mempunyai kandungan kimiawi yang relatif konstan pada umur 5 bulan
sesudah bunga mekar. Pada umur tersebut kadar gulanya mencapai nilai tertinggi,
sedangkan kadar asamnya dan taninnya terendah. Hal ini yang menyebabkan
umur 5 bulan setelah bunga mekar adalah umur panen terbaik untuk konsumsi
karena rasanya manis dan rasa asam hampir tidak ada (Putra, 2011).
Menurut Karta (2015) biji salak selama ini belum dimanfaatkan oleh
masyarakat, padahal biji salak dapat diolah menjadi produk pangan lokal yang
bernilai ekonomis yaitu kopi biji salak. Saputra (2008) menyatakan bahwa biji
salak mengandung antioksidan, uji fitokimia senyawa metabolit sekunder yang
terdapat pada biji salak yakni senyawa flavonoid, tanin dan sedikit alkaloid. Efek
farmakologi senyawa flavonoid di dalam ekstrak biji salak mampu menurunkan
kadar glukosa dalam darah. Pondoh. Biji salak juga banyak diteliti memiliki
antioksidan. Hasil uji fitokimia menunjukkan biji buah salak mengandung
senyawa flavonoid dan tanin serta sedikit alkaloid. Kandungan flavonoid di dalam
ekstrak kulit salak mampu menurunkan kadar glukosa dalam darah (Sahputra,
2008). Ekstrak etanol kulit buah salak mengandung metabolit sekunder alkaloid,
polifenolat, flavonoid, tanin, kuinon, monoterpen dan seskuiterpen. Ekstrak etanol
biji buah salak memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 229,27 ±
6,35 (μg/mL) (Fitrianingsih dkk., 2014).
Gambar 2. Biji Salak
(Terasmaluku.com)
Selama ini tanaman salak telah dimanfaatkan dalam pembuatan makanan
atau minuman sedangkan biji dengan kualifikasi tertentu digunakan sebagai benih.
Selebihnya biji salak hanya dibuang begitu saja. Biji salak mengandung air
54,84%;lemak 0,48%; protein 4,22%; dan karbohidrat 38,9% (Ariel, 2012). Biji
salak terkenal memiliki tekstur yang sangat keras. Tekstur biji yang keras
disebabkan oleh tumpukan hemiselulosa dalam dinding sel yang sangat tebal yang
merupakan cadangan makanan utama bagi embrio biji tersebut (Demura dkk,
2013). Biji salak memiliki kandungan aktivitas antioksidan yang tinggi
(Werdyani et al, 2017). Kandungan biji salak lainnya yaitu mengandung senyawa
tanin dan flavonoid dan sedikit alkaloid, dan juga memiliki antioksidan (Karta et
al, 2015).

2.2 Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)


Spektrometri merupakan suatu metode analisis kuantitatif yang
pengukurannya berdasarkan banyaknya radiasi yang dihasilkan atau yang diserap
oleh spesi atom atau molekul analit. Salah satu bagian dari spektrometri ialah
Spektrometri Serapan Atom (SSA), merupakan metode analisis unsur secara
kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang
gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Skoog et. al., 2000).
Sejarah SSA berkaitan erat dengan observasi sinar matahari. Pada tahun 1802
Wollaston menemukan garis hitam pada spektrum cahaya matahari yang
kemudian diselidiki lebih lanjut oleh Fraunhofer pada tahun 1820. Brewster
mengemukakan pandangan bahwa garis Fraunhofer ini diakibatkan oleh proses
absorpsi pada atmoser matahari. Prinsip absorpsi ini kemudian mendasari
Kirchhoff dan Bunsen untuk melakukan penelitian yang sistematis mengenai
spektrum dari logam alkali dan alkali tanah. Kemudian Planck mengemukakan
hukum kuantum dari absorpsi dan emisi suatu cahaya. Menurutnya, suatu atom
hanya akan menyerap cahaya dengan panjang gelombang tertentu (frekwensi),
atau dengan kata lain ia hanya akan mengambil dan melepas suatu jumlah energi
tertentu, (ε = hv = hc/λ). Kelahiran SSA sendiri pada tahun 1955, ketika publikasi
yang ditulis oleh Walsh dan Alkemade & Milatz muncul. Dalam publikasi ini
SSA direkomendasikan sebagai metode analisis yang dapat diaplikasikan secara
umum (Weltz, 1976). Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu
dilewatkan pada suatu sel yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan
maka sebagian cahaya tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan
berbanding lurus dengan banyaknya atom bebas logam yang berada dalam sel.
Pada alat SSA terdapat dua bagian utama yaitu suatu sel atom yang
menghasilkan atom-atom gas bebas dalam keadaaan dasarnya dan suatu sistem
optik untuk pengukuran sinyal. Suatu skema umum dari alat SSA adalah sebagai
berikut:

Gambar 3. Skema Umum Komponen pada Alat SSA

Spektrofotometri serapan atom adalah metode analisis dengan prinsip


dimana sampel yang berbentuk liquid diubah menjadi bentuk aerosol atau nebulae
lalu bersama campuran gas bahan bakar masuk ke dalam nyala, disini unsur yang
dianalisa tadi menjadi atom – atom dalam keadaan dasar (ground state). Lalu
sinar yang berasal dari lampu katoda dengan panjang gelombang yang sesuai
dengan unsur yang uji, akan dilewatkan kepada atom dalam nyala api sehingga
elektron pada kulit terluar dari atom naik ke tingkat energi yang lebih tinggi atau
tereksitasi. Penyerapan yang terjadi berbanding lurus dengan banyaknya atom
ground state yang berada dalam nyala. Sinar yang tidak diserap oleh atom akan
diteruskan dan dipancarkan pada detektor, kemudian diubah menjadi sinyal yang
terukur.
Sinar yang diserap disebut absorbansi dan sinar yang diteruskan disebut
emisi. Adapun hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi diturunkan dari
hukum Lambert-Beer yang menjadi dasar dalam analisis kuantitatif secara AAS.
Hubungan tersebut dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut:
Hukum Lambert: bila suatu sumber sinar monkromatik melewati medium
transparan, maka intensitas sinar yang diteruskan berkurang dengan bertambahnya
ketebalan medium yang mengabsorbsi.
Hukum Beer: Intensitas sinar yang diteruskan berkurang secara eksponensial
dengan bertambahnya konsentrasi spesi yang menyerap sinar tersebut. Hubungan
tersebut dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut:
I = Io . a.b.c
Log = a.b.c
A = a.b.c
dengan,
A = absorban
a = koefisien serapan, L2/M
b = panjang jejak sinar dalam medium berisi atom penyerap, L
c = konsentrasi, M/L
Io = intensitas sinar mula-mula
I = intensitas sinar yang diteruskan
Pada persamaan tersebut menyatakan bahwa besarnya absorbansi berbanding
lurus dengan kadar atom-atom pada tingkat energi dasar, dengan demikian, dari
pemplotan serapan dan konsentrasi unsur dalam larutan standar diperoleh kurva
kalibrasi. Dengan menempatkan absorbansi dari suatu cuplikan pada kurva
standar akan diperoleh konsentrasi dalam larutan cuplikan (Aprilia,dkk.2015).
2.3 Logam Berat
Logam berat adalah unsur yang mempunyai densitas lebih besar dari 5
g/cm3 , dan mempunyai nomor atom 22 sampai 92 yang terletak pada periode III
sampai VII dalam susunan berkala. Logam berat jarang sekali berbentuk atom
sendiri di dalam air, tetapi biasanya terikat oleh senyawa lain sehingga berbentuk
sebuah molekul. Logam berat merupakan senyawa kimia yang berpotensi
menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Logam berat memiliki kekuatan
dan ketahanan yang baik, daya pantul cahaya dan daya hantar listrik yang tinggi,
dan daya hantar panas yang cukup baik (Dahuri, 1996).
Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat dibagi menjadi dua
jenis yaitu logam berat non esensial dan logam berat esensial. Keberadaan logam
berat non esensial dalam tubuh organisme hidup dapat bersifat racun, seperti
logam merkuri (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb), kromium (Cr), dan lain-lain.
Sebaliknya, keberadaan logam berat esensial dalam jumlah tertentu sangat
dibutuhkan oleh setiap organisme hidup seperti antara lain, seng (Zn), tembaga
(Cu), besi (Fe), kobalt (Co), dan mangan (Mn). Logam berat esensial dibutuhkan
oleh setiap organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat
menimbulkan efek racun (Palar, 1994).
Logam berat tembaga memiliki nama kimia cuprum dan dilambangkan
dengan Cu. Dalam tabel periodik unsur-unsur kimia, tembaga menempati posisi
dengan nomor atom (NA) 29 dan mempunyai bobot atau berat atom (BA) 63,546.
Logam Cu melebur pada 1038oC dan memiliki titik didih 2562 oC. Logam Cu
digolongkan ke dalam kelompok logam penghantar listrik yang terbaik setelah
perak, karena itu logam Cu banyak digunakan dalam bidang elektronika dan
perlistrikan (Haruna et al., 2014). Logam Cu merupakan salah satu logam berat
esensial untuk kehidupan makhluk hidup sebagai elemen mikro. Apabila
konsentrasi logam Cu dalam tubuh melebihi batas, logam ini akan bersifat racun
(Panjaitan, 2009). Pada tumbuhan secara umum, logam Cu memegang peranan
penting dalam pertumbuhannya yaitu sebagai activator enzim. Cu juga berguna
untuk pertumbuhan jaringan tumbuhan terutama jaringan daun dimana terjadi
proses fotosintesis. Kekurangan logam Cu mengakibatkan tumbuhan berdaun
kecil dan berwarna kuning, bahkan efek lanjutannya mengakibatkan tumbuhan
gagal memproduksi bunga (Hamzah dan Agus, 2010). Namun, apabila kandungan
logam Cu melebihi batas toleransi tumbuhan maka dapat menganggu
pertumbuhan termasuk proses fotosintesis dan respirasi (Kristanti et al., 2007).
Logam-logam di perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tidak
terlarut. Logam dalam bentuk terlarut yakni ion logam bebas dalam air dan logam
yang membentuk kompleks dengan senyawa organik dan anorganik. Logam
dalam bentuk tidak terlarut, terdiri dari partikel yang berbentuk koloid dan
senyawa kelompok metal yang terabsorbsi pada zat tersuspensi (Hamidah, 1980).
Logam berat yang terdapat dalam perairan biasanya dalam bentuk ion jarang
sekali yang berbentuk molekul (Darmono 1995). Penyebab utama logam berat
menjadi bahan pencemar berbahaya yaitu logam berat tidak dapat dihancurkan
(non degradable) oleh organisme hidup di lingkungan dan terakumulasi ke
lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan (Rochyatun et al., 2006).
Pencemaran logam berat terhadap lingkungan merupakan proses yang erat
hubungannya dengan penggunaan logam berat oleh manusia. Sebagaimana telah
diketahui bahwa masukan logam berat ke dalam suatu perairan semakin
meningkat sejalan dengan aktivitas manusia yang juga meningkat (Fardiaz, 1992).
Logam berat yang masuk ke perairan dapat terakumulasi sepanjang 10 perairan
bahkan dapat terjadi beberapa kilometer setelah sumber polusi. (Andarani dan
Roosmini, 2010). Kandungan logam berat yang melebihi ambang batas dapat
membahayakan kehidupan makhluk hidup yang berada di aliran sungai dan
sekitar aliran sungai yang tercemar oleh logam berat (Fitra et al., 2013).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 20 November 2022 sampai dengan 20 Februari
2023. Bertempat di laboratorium IPA SMAN Sumatera Selatan dan Laboratorium
Kimia UIN Raden Fatah Palembang

3.2 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian “Pemanfaatan limbah biji salak
(Salacca edulis reinw) sebagai adsorben logam (Cu) pada air sungai” adalah
sebagai berikut :
1. Gelas Ukur 8. Pipet tetes
2. Gelas kimia 9. Oven
3. Kaca arloji 10. Spektrometri Serapan Atom
4. Timbangan digital (SSA)
5. Cawan krus 11. Biji salak
6. Cawan evaporasi 12. Air sungai yang mengandung
7. Mortar logam Cu

3.3 Prosedur Penelitian


3.3.1 Persiapan Sampel biji salak
Sampel biji salak dipisahkan dari kulit dan daging buahnya. Setelah
terpisah dari kulit dan daging buah biji salak kemudian dijemur dibawah sinar
matahari selama 2 hari. Setelah dijemur biji salak dipotong menjadi ukuran yang
lebih kecil dan dijemur kembali selama 1 hari.

3.3.2 Pembuatan Arang Biji Salak


Setelah biji salak dijemur, biji salak dimasukkan kedalam wadah kaleng
dengan penutup. Pada bagian penutup akan diberikan lubang sebagai ventilasi
udara, setelah sampel biji salak dimasukkan kedalam kaleng proses selanjutnya
adalah memasukkan kaleng tersebut kedalam api setelah terdapat asap kebiruan
atau kekuningan pada ventilasi kaleng, kemudian tutup ventilasi tersebut dan terus
lakukan pemanasan selama 1 jam.
Setelah 1 jam matikan api kemudian dinginkan wadah kaleng yang
terdapat biji salak kemudian keluarkan biji salak yang sudah menjadi arang dan
arang biji salak sudah siap untuk diaktivasi. Proses aktivasi arang biji salak
dilakukan dengan cara memansakan arang biji salak kedalam oven dengan suhu
250oC selama 2 jam. Proses aktivasi ini bertujuan untuk membuka pori-pori pada
arang biji salak agar dapat menyerap logam cu yang tedapat dalam sampel air
sungai yang mengandung logam Cu.

3.3.3 Uji Kadar Air Arang Aktif Biji Salak


Timbang sebanyak 5 gram arang aktif biji salak menggunakan timbangan
digital kemudian masukkan kedalam cawan evaporasi. Timbang cawan evaporasi
yang berisi sampel arang aktif kemudian catat bobotnya. Panaskan cawan
evaporasi beserta sampel arang aktif biji salak kedalam oven selama 2 jam dngan
suhu 100oC kemudian dinginkan sampai suhu ruang. Setelah didingikan timbang
kembali cawan beserta sampel catat bobotnya. Kemudian tentukan kadar air
menggunakan rumus :

%Kadar Air = x 100%

3.3.4 Uji pH Air Sungai yang Mengandung Logam Cu


Siapkan Sampel air sungai sebanyak 200mL dalam gelas kimia kemudian
ukur pH air sungai tersebut menggunakan pH meter dan catat hasil pH dari air
sungai tersebut. Sampel air sungai tersebut alirkan melalui arang aktif yang sudah
disiapkan, kemudian ukur kembali menggunakan pH meter dan catat pH air
sungai. Bandingkan pH air sungai yang sebelum dan sesudah dialirkan melewati
arang aktif biji salak.

3.3.5 Uji Kadar Logam Cu Menggunakan Spektrometri Serapan Atom (SSA)


3.3.5.1 Penentuan Kadar Logam Cu Pada Air Sungai
Konsentrasi logam Cu ditentukan dengan metode adisi standar dengan cara
mem pipet 10 mL sampel kedalam masing-masing labu ukur 50mL. Selanjutnya
pada masing-masing labu ditambahkan larutan standar Cu 100 ppm dengan
volume 0 mL, 10 mL dan 15 m, dan diencerkan sampai tanda batas sehingga
didapatkan campuran larutan standar dengan sampel dengan konsentrasi 0 ppm,
20ppm dan 30 ppm. Selanjutnya larutan diukur absorbansinya menggunakan
spektrometri serapan atom (SSA).
3.3.5.2 Uji Penyerapan Logam Berat Cu Oleh Arang Aktif Biji Salak
Diambil arang aktif dengan variasi massa 2,3 dan 4 g diadsorpsi masing-masing
kedalam 100 mL larutan sampel air sungai dengan konsentrasi 10 ppm. Campuran
tersebut diaduk dengan magnetic stirrer pada kecepatan selama 30 menit pada
suhu 30oC. Setelah pengadukan selesai, campuran didiamkan dan dibiarkan
selama 60 menit sehingga dapat mengendap dengan sempurna. Setelah itu larutan
disaring menggunakan kertas saring. Filtrat dianalisis menggunakan SSA.
Skoog, Holler, Nieman. 1998. Principles of Instrumental Analysis, 5th ed.
Saunders College Publishing. USA.

Aprilia, Rahayu, Retno.2015. Spektrometri Serapan Atom (SSA). Institut


Kesehatan Bhakti Wiyata. Kediri

Fernanda.2012. Studi Kandungan Logam. Jakarta: Universitas Indonesia

Palar, H. 1994. Pencemaran & Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai