Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MATA KULIAH BIOLOGI LAUT

EKOSISTEM RUMPUT LAUT

Dosen Pengampu Mata Kuliah : Nurul Hidayah, S.Si., M.Si.

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK II (DUA)

1. NURMALIA (NIM H0319)


2. WINARTY (NIM H0319333)
3. DIAN AULIA (NIM H0319339)
4. ARINA (NIM H0319503)
5. NURJANNA (NIM H0319508)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SULAWESI BARAT

2021

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Ekosistem Rumput Laut..........................................................
B. Struktur dan Adaptasi...........................................................................
C. Habitat dan Penyebaran........................................................................
D. Kekayaan Biota.....................................................................................
E. Penelitian Terkait Komunitas Makroalga.............................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumput laut merupakan salah satu potensi sumber daya alam yang
banyak tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia. Rumput laut dapat
tumbuh dengan baik terutama karena didukung oleh kondisi iklim tropis yang
ada di Indonesia. Rumput laut yang ada di Indonesia telah sejak lama
dibudidayakan oleh masyarakat terutama yang tinggal di wilayah pesisir
pantai. Rumput laut memiliki manfaat yang banyak sekali. Seperti diketahui
bahwa rumput laut yang ditanam mampu menjadi pengikat nitrogen dan
fosfor yang sangat baik sehingga dapat menjaga keseimbangan ekosistem
perairan (Komarawidjaja, 2005).
Rumput laut yang tersebar di Indonesia terdiri dari beberapa jenis atau
spesies diantaranya; Sargassum, Gracilaria Sp, dan Eucheuma cottonii.
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut
yang telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan dalam pembuatan bahan
makanan, campuran obat-obatan, bahan kosmetik, dll (Rismawati, 2012).
Rumput laut sebagai sumber gizi memiliki kandungan karbohidrat (gula atau
vegetablegum), protein, sedikit lemak dan abu yang sebagian besar
merupakan senyawa garam natrium dan kalium. Rumput laut juga
mengandung vitamin A, B1, B2, B6, B12, C, serta mineral seperti kalium,
kalsium, fosfor, natrium, zat besi dan yodium.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana struktur dan adaptasi ekosistem rumput laut?
2. Bagaiaman peyebaran ekosistem rumput laut?
3. Apa saja kekayaan biota pada ekosistem rumput laut?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui struktur dan adaptasi dari ekosistem rumput laut.
2. Untuk mengetahui penyebaran ekosistem rumput laut.
3. Untuk mengetahui kekayaan biota pada ekosistem rumput laut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ekosistem Rumput Laut
Makroalga yang juga dikenal sebagai rumput laut merupakan tumbuhan
thaluss (Thallophyta), dimana organ-organ berupa akar, batang dan daun
belum dapat dikenali dengan jelas (belum sejati). Sebagian besar makroalga
di Indonesia memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan sebagian digunakan
langsung oleh masyarakat pesisir. Alga laut dari marga-marga tertentu
dikelompokkan dengan nama rumput laut dipanen sebagai bahan pangan,
sebagai sumber obat-obatan, sebagai sumber bahan kimia untuk industri dan
sebagai pupuk pertaniaan.
Keberadaan makroalga sebagai organisme banyak sekali memberikan
manfaat bagi kehidupan akuatik terutama bagi organismeorganisme herbivora
perairan laut maupun sebagai penyedia karbonat di perairan laut.
Diperkirakan bahwa produksi bersih rumput laut yang memasuki jaring
makanan melalui pemangsaan (grazing) hanya 10%, sedangkan sisanya
sebesar 90% masuk melalui rantai bentuk detritus atau bahan organik terlarut
(Kelana, dkk. 2015).
Makroalga merupakan bagian dari ekosistem intertidal berbatu, memiliki
peranan baik secara individual maupun komunitas terhadap ekosistem
tersebut (). Bahkan, keberadaan komunitas rumput laut di ekosistem tersebut
membentuk ekosistem tersendiri yang disebut ekosistem rumput laut
(Handayani, 2020).
B. Struktur dan Adaptasi
Makroalga laut (seaweed) merupakan bagian terbesar dari tumbuhan laut
dan termasuk tumbuhan tingkat rendah yang tidak memiliki perbedaan
susunan kerangka seperti akar, batang dan daun, meskipun tampak seperti ada
perbedaan, tapi sebenarnya hanya merupakan bentuk thallus (Landau dalam
Kepel, 2019). Tubuh alga secara keseluruhan disebut thallus. Alga
dimasukkan ke dalam golongan tumbuhan yang tidak berpembuluh atau
Thallophyta (Mubarak dkk, dalam Kepel, 2019).
Menurut Sumich (1992), struktur tubuh alga laut terdiri dari 3 bagian
utama, pertama dikenal dengan sebutan blade, yaitu struktur yang menyerupai
daun pipih yang biasanya lebar; kedua stipe, yaitu struktur yang menyerupai
batang yang lentur dan berfungsi sebagai penahan goncangan ombak; dan
ketiga holdfast, yaitu bagian yang menyerupai akar dan berfungsi untuk
melekatkan tubuhnya pada substrat. Menurut Ohba dkk dalam Kepel (2019),
alga terdiri dari 2 kelompok yaitu makroalga dan mikroalga. Dawes dalam
Kepel (2019) menyatakan bahwa perbedaan warna thallus dapat
menggambarkan ciri dari setiap divisi makroalga. Sebagian besar makroalga
mempunyai warna indah yang disebabkan pigmen-pigmen dari kromatofor
menyerap matahari untuk fotosintesis.
Secara umum makroalga (alga berukuran besar) terdiri atas 3 divisi yaitu
Chlorophyta (alga hijau), Rhodophyta (alga merah), dan Heterokontophyta,
khususnya Phaeophyceae (alga cokelat) (Van den Hoek dkk, dalam Kepel,
2019). Alga hijau pada umumnya mempunyai thallus berbentuk filamen yang
bercabang dan tidak bercabang dan ada juga yang berbentuk daun. Alga
tersebut mengandung klorofil a dan b yang memberikan warna hijau, alfa dan
beta karoten, lutein serta zeaxanthin (Ismail dalam Kepel, 2019).
Alga merah merupakan kelompok alga yang spesiesnya memiliki
berbagai bentuk daun dengan variasi warna. Ukuran thallus pada alga merah
umumnya tidak begitu besar, dan bentuk thallus silindris, gepeng dan
lembaran. Sistem percabangannya ada yang sederhana (berupa filamen) dan
ada berupa percabangan yang kompleks. Alga ini mengandung klorofil a dan
d serta mengandung pigmen fotosintetik berupa fikoeritrin, karoten, xantofil,
dan fikobilin yang menyebabkan warna merah pada algatersebut (Dawes
dalam Kepel, 2019).
Menurut Lobban dan Wynne dalam Kepel (2019), alga cokelat memiliki
thallus dengan morfologi luas yang tersusun dari filamen bercabang sampai
susunan yang sangat kompleks. Alga ini memiliki klorofil a dan c, alfa
karoten, dan xantofil (flavoxantin dan violaxantin) yang memberi warna
cokelat pada alga ini (Bold dan Wynne; Dawe dalam Kepel, 2019).
Habitat merupakan suatu tempat organisme terbentuk dari keadaan luar,
baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi organisme
tersebut. Makroalga dapat dijumpai hidup dan melekat pada tipe substrat
seperti pasir, berlumpur, bahkan pada tipe substrat keras seperti karang dan
batu. Makroalga hidup dengan menancapkan dirinya pada substrat berlumpur,
pasir, karang, karang mati, kulit kerang, batu, kayu bahkan sebagai epifit
dengan menancapkan dirinya pada tumbuhan lain (Trono dalam Kepel,
2019).
Distribusi alga laut dapat dibagi menurut kedalaman. Alga hijau dominan
pada bagian permukaan di daerah intertidal, dan alga coklat dominan
sepanjang bagian tengah dan bawah daerah intertidal dan pada bagian
permukaan subtidal, dan alga merah dominan sepanjang batas bawah dari
zona fotik. Alga cokelat berukuran mulai dari epifit mikroskopik sampai yang
paling besar yaitu Macrocystis, dengan panjang 60 m. Struktur yang
sederhana dari alga cokelat yaitu tersusun menegak, filamen bercabang atau
filamen tidak bercabang dan sistem dasar berfilamen (Bold dan Wynne
dalam Kepel, 2019).
Dawes dalam Kepel (2019) membagi distribusi alga laut berdasarkan
posisi geografisnya sebagai berikut: (i) Alga hijau (Chlorophyta) ditemukan
pada perairan tropis dan sub tropis berupa Cladophorales, Siphonocladales,
Pasicladales, Caulerpales dalam jumlah yang melimpah. Disamping itu juga
terdapat Ulva dan Enteromorpha yang tersebar luas pada perairan yang
memiliki temperatur dingin di Artik sampai pada perairan tropis; (ii) Alga
Cokelat (Phaeophyta) yang berukuran besar hidup di perairan dingin seperti
di pantai Atlantik Utara; dan (iii) Alga Merah (Rhodophyta) ditemukan
tersebar luas dan melimpah pada bagian daerah intertidal dan subtidal, juga
tersebar luas pada perairan dingin Artik dan perairan tropis.
Tomascik dkk dalam Kepel (2019) menyatakan bahwa di Indonesia pada
rataan intertidal ditemukan alga merah berkapur seperti Galaxaura, Amphiroa
dan alga cokelat Turbinaria dan Sargassum. Pada daerah terumbu tepi
(fringing reef) pada bagian yang lebih dalam dari parit-paritnya didominasi
oleh alga Penicillus capitatus, P. firiformus, Caulerpa spp., Rhipocephalus
dan Udotea. Pada kebanyakan terumbu karang yang terdiri dari pecahan-
pecahan karang sering ditumbuhi oleh Caulerpa, Halimeda, dan Goniolithon.
Intertidal berbatu memiliki kondisi fisik yang cukup ekstrem sehingga
makroalga yang tumbuh di daerah ini merupakan makroalga yang mampu
beradaptasi di lingkungan tersebut. Makroalga di intertidal berbatu memiliki
mekanisme sebagai bagian dari bentuk adaptasi terhadap perubahan atau
tekanan berupa pengeringan, suhu ekstrem, tekanan osmotik, salinitas dan
energi gelombang besar (Thompson et al. dalam Handayani, 2020).
Beberapa makroalga yang tumbuh di daerah intertidal berbatu memiliki
bentuk morfologi thalus yang berbeda dibanding-kan dengan makroalga di
intertidal tidak berbatu. Perbedaan morfologi tersebut merupakan bentuk
adaptasi terhadap stressor faktor fisik antara lain energi gelombang tinggi dan
kekeringan (Johansson dalam Handayani, 2020).
Sebagai contoh adalah Gracilaria salicornia yang ditemukan di intertidal
berbatu dengan energi gelombang besar memiliki thalus lebih ramping
dibandingkan dengan thalus yang ditemukan di intertidal tidak berbatu
dengan energi gelombang kecil
Makroalga yang dapat tumbuh di intertidal berbatu selain harus
beradaptasi terhadap energi gelombang yang besar, juga harus beradaptasi
terhadap jenis substrat yang sebagian besar merupakan substrat keras.
Makroalga yang tumbuh di daerah ini biasanya makroalga yang memiliki
sifat hidup epilitik, yaitu makroalga yang tumbuh dan menempel pada
substrat keras seperti batuan masif, pecahan karang, karang mati dan karang
hidup (Zakaria et al.; Satheesh & Wesley dalam Handayani, 2020).
Beberapa marga makroalga yang dapat beradaptasi dan tumbuh dengan
baik di intertidal berbatu antara lain: Sargassum, Turbinaria, Hypnea,
Gracilaria, Amphiroa, Chaetomorpha, Ulva, Acanthophora, dan Gelidium.
Marga makroalga tersebut beradaptasi dengan memiliki holdfast yang kuat
untuk menempel di subatrat keras (Handayani, 2020).
C. Penyebaran
Makroalgae atau tumbuhan ganggang (alga) hidup di sepanjang tepi laut
yang dangkal sering juga disebut “Intertidal Zone” (daerah pasang surut air).
Ganggang dapat ditemukan dalam jarak 40 meter (130 kaki) dibawah laut
atau daerah yang masih terkena sinar matahari. Penyebaran makroalgae
dibatasi oleh daerah litoral dan sub litoral dimana masih terdapat sinar
matahari yang cukup untuk dapat berlangsungnya proses fotosintesis.
Didaerah ini merupakan tempat yang cocok bagi kehidupan alga karena
terdiri atas batuan.
Daerah intertidal pada pantai yang berbatu-batu mempunyai sifat tertutup
sesuai daerah alga merah atau alga coklat terutama alga dari genus facus alga
yang sering disebut rumput laut (seaweeds). Biasanya makro alga sedikit
terdapat diperairan yang dasarnya berlumpur atau berpasir karena sangat
terbatas benda keras yang cukup kokoh untuk tempatnya melekat. Umumnya
ditemukan melekat pada terumbu karang, batuan, potongan karang, cangkang
molusca, potongan kayu dan sebagainya.
Penyebaran dan pertumbuhan seaweeds disuatu perairan pantai sangat
dipengaruhi oleh faktorfaktor salinitas, intensitas cahaya matahari, dan
turbiditas dan juga tipe substrat dan kedalaman dasar laut adalah dua faktor
penting yang menentukan kehadiran suatu jenis alga bersel banyak
kebanyakan melekat pada batuan atau dasar yang keras diperairan dangkal.
Alga ini melekat dengan menggunakan organ yang kuat memegang tetapi
bukan akar dan sering kali membentuk hutan yang luas (kelp beds) tepat
dibawah garis air surut atau pasang surut.
Tumbuhan air makro tumbuh di perairan laut di dasar perairan
(makroalga/seaweed) yang umumnya hanya menempati area yang relatif
sempit di daerah perairan dangkal. Makroalga adalah kelompok alga
multiseluler yang tubuhnya berupa talus yang tidak mempunyai akar, batang
dan daun sejati. Kelompok tumbuhan ini hidup di perairan laut yang masih
mendapat cahaya matahari dengan menempel pada substrat yang keras.
Sebaran makroalga di perairan laut secara umum mengikuti sebaran terumbu
karang sebagai habitatnya. Namun secara lokal di daerah terumbu karang,
sebaran makroalga dipengaruhi oleh factor-faktor lingkungan dan
karakteristik jenis makroalga tersebut (Miala, 2018).
Makroalgae di paparan terumbu karang dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain faktor abiotik dan biotik. Pengaruh faktor abiotik yaitu
berupa pencemaran air, sementara faktor biotik umum dilakukan oleh
pemangsa dan kompetitor. Pemangsa makroalgae yaitu ikan-ikan yang
bersifat herbivora (Round dalam Miala, 2018). Kompetisi makroalgae dengan
biota karang dilakukan dalam perolehan zat hara pada ruang tumbuh yang
sama (nybakken dalam Miala, 2018). Arthur dalam Miala (2018),
menyatakan bahwa kompleksitas habitat berpengaruh terhadap kelimpahan
dan keragaman jenis subtrat dasar makroalgae yang utama yakni pasir,
pecahan karang, karang mati dan batu karang.
Pertumbuhan dan persebaran rumput laut sangat bergantung dari faktor-
faktor oseanografi serta jenis substratnya. Rumput laut lebih banyak dijumpai
pada daerah dengan perairan dangkal, kondisi perairan berpasir dan atau
sedikit berlumpur. Substrat yang biasa digunakan sebagai tempat hidup
rumput laut ialah berlumpur, grave pasir kasar dan batuan karang.
Pertumbuhan rumput laut menancap di tempat berlumpur kebanyakan berupa
jenis Halimeda, Avrainvillea dan Udotea. Substrat berpasir menjadi tempat
kebanyakan rumput laut tumbuh. Rumput laut yang hidup ditempat berpasir
menancap menggunakan holdfast. Holdfast berfungsi untuk mengikat partikel
pasir atau menancap pada daerah berpasir sehingga badan dapat tetap tegak
dan tidak hanyut terbawa arus. Jenis rumput laut yang hidup di daerah
berpasir ialah Caulerpa, Gracilaria, Ecucheuma, dan Acanthophora. Rumput
laut juga dapat tumbuh pada substrat batu karang. Biasanya dijumpai pada
pulau yang berombak besar dan deras. Rumput laut yang hidup pada daerah
batuan karang menahan dirinya menggunakan holdfast berbentuk cakram.
Sehingga dapat melekat dan menempel pada substrat dan tidak terbawa arus.
Jenis rumput laut yang hidup dibatuan karang ini berasal dari jenis Gelidium,
Gelidiopsis, Gelidiella, Hypnea, Laurecia, Hormophysia, Turbinaria dan
Sargassum.
Wilayah persebaran rumput laut di Indonesia meliputi perairan pantai
kepulauan Riau, Selat Sunda, Kepulauan Seribu dan Karimunjawa. Pada
wilayah ini lebih banyak ditemukan rumput laut yang hidup pada substrat
terumbu karang. Wilayah pulau-pulau Kalimantan Timur dan Sulawesi
Selatan akan banyak menjumpai rumput laut yang hidup pada substrat
berlumpur. Rumput laut yang hidup pada substrat berpasir menyebar di
seluruh perairan laut Indonesia seperti Selat Sunda, Jawa bagian selatan,
NTT-B, pulau-pulau Sulawesi selatan dan utara dan perairan Maluku
(Herianti, 2018).
D. Kekayaan Biota
Makroalga merupakan bagian dari ekosistem intertidal berbatu, memiliki
peranan baik secara individual maupun komunitas terhadap ekosistem
tersebut. Bahkan, keberadaan komunitas rumput laut di ekosistem tersebut
membentuk ekosistem tersendiri yang disebut ekosistem rumput laut.
Makroalga di intertidal berbatu seperti halnya makroalga di pesisir lainnya,
memiliki peranan sebagai produsen primer dalam rantai makanan.
Kemampuan makroalga untuk berfotosintesis sering disebut juga dengan
istilah produktivitas primer (Tait & Sciel, dalam Handayani, 2020).
Saat ini belum diketahui apakah produktivitas primer makroalga di
intertidal berbatu lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan dengan di
intertidal tidak berbatu. Makroalga dapat berfungsi sebagai sumber makanan
bagi fauna herbivora yang menyusun ekosistem intertidal berbatu. Struktur
komunitas makroalga berkerak di sebagian besar intertidal berbatu di daerah
tropis dapat menggambarkan adanya pemangsaan oleh ikan (Deepananda
dalam Handayani, 2020) dan moluska (Macusi dalam Handayani, 2020).
Namun kondisi ini ternyata tidak selalu terjadi di intertidal berbatu di
daerah tropis, tetapi bervariasi di setiap daerah (Deepananda dalam
Handayani, 2020). Fauna herbivora yang memakan makroalga di daerah
intertidal berbatu dirangkum dalam Tabel 2. Secara umum, fungsi makroalga
sebagai sumber makanan tidak terdapat perbedaan antara makroalga di
intertidal berbatu maupun makroalga intertidal tidak berbatu. Perbedaannya
hanya terdapat pada jenis makroalga yang dimanfaat sebagai sumber
makanan maupun herbivora pemangsa makroalga.
Tabel 2. Fauna herbivora pemakan makroalga di intertidal berbatu
(Handayani, 2020)
Jenis makroalga dan herbivora pemangsa di intertidal berbatu berbeda
dengan di intertidal tidak berbatu karena perbedaan struktur komunitasnya
(Macusi, 2008; Filbee-Dexter & Scheibling dalam Handayani, 2020).
Makroalga yang memiliki thalus yang rimbun, umumnya dimanfaatkan oleh
biota laut kecil lainnya sebagai tempat perlindungan (provide shelter) maupun
sebagai habitat pengasuhan (nursery ground).
Peranan makroalga tersebut merupakan salah satu bentuk interaksi antara
makroalga dengan fauna laut lainnya, umumnya berhubungan dengan
sumber makanan. Contoh bentuk tempat perlindungan makroalga terhadap
fauna laut lainnya adalah: pada thalus Halimeda opuntia seringkali ditemukan
biota laut kecil seperti juvenil kepiting, moluska, bulu babi, bintang
mengular, dan cacing. Makroalga dapat menjadi habitat pengasuhan bagi
beberapa jenis hewan seperti ikan, sebagai contoh: Sargassum furcatum
menjadi habitat pengasuhan bagi beberapa jenis ikan antara lain: Diplodus
argenteus, Haemulon aurolineatum dan Acanthurus bahianus (Ornellas &
Coutinho dalam Handayani, 2020).
Makroalga juga dimanfaatkan oleh bulu babi sebagai sumber makanan
sekaligus sebagai habitat pengasuhan (Giakuomi et al.; FilbeeDexter &
Scheibling dalam Handayani, 2020). Fungsi ekologi makroalga sebagai
habitat pengasuhan dan tempat perlindungan bagi biota laut, pada prinsipnya
memiliki prinsip yang sama antara daerah intertidal berbatu maupun intertidal
tidak berbatu. Perbedaan kedua fungsi ekologi tersebut hanya terdapat pada
jenis/spesies biotanya, baik jenis makroalga maupun jenis biota asosiasinya.
Perbedaan tersebut terjadi karena biota laut yang hidup di intertidal berbatu
memiliki struktur komunitas yang berbeda dengan biota laut yang hidup di
intertidal tidak berbatu (Okuda dalam Handayani, 2020).
E. Penelitian terkait Makroalga
1. Biodiversitas Makroalga di Perairan Pesisir Kora-Kora, Kecamatan
Lembean Timur, Kabupaten Minahasa
Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Kora-Kora, Kecamatan
Lembean Timur, Kabupaten Minahasa dengan tujuan untuk mengetahui
komposisi taksa makroalga melalui pendekatan morfologi. Pengambilan
data dilakukan dengan menggunakan metode survei jelajah. Pengambilan
sampel alga menggunakan metode Survei Jelajah di perairan pesisir Kora-
kora. Selanjutnya, dilakukan identifikasi dengan menggunakan buku
identifikasi dari Calumpong dan Meñez (1997), Trono (1997), Kepel dkk
(2012) dan Kepel dan Baulu (2013). Selain untuk pengambilan sampel
makroalga, dilakukan pengamatan secara visual terhadap kondisi substrat
dasar perairan.
Di lokasi penelitian terdapat ekosistem lamun (seagrass) yang
memanjang pada sebagian pesisir pantai Kora-Kora dengan lebar yang
bervariasi. Di ekosistem lamun tersebut ditemukan beberapa spesies
makroalga, terutama makroalga coklat dan hijau. Sekitar 100 m dari
pesisir terdapat ekosistem terumbu karang tepi (fringging reef) dengan
beberapa jenis alga cokelat, seperti Turbinaria spp. Adapun di antara
kedua ekosistem tersebut berupa rataan pasang surut, ditemukan
makroalga cokelat Sargassum spp., makroalga hijau Halimeda, dan
makroalga merah Galaxaura. Jumlah total makroalga yang ditemukan
sebanyak 10 spesies.
Tabel 3. Klasifikasi Makroalga Merah, Cokelat dan Hijau
Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa komunitas
rumput laut (makroalga) biasanya tumbuh di ekosistem padang lamun dan
ekosistem lainnya. Namun, terkadang dapat pula membentuk ekosistem
tersendiri.
2. Struktur Komunitas Makroalga di Perairan Pulau Dompak
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai
Struktur Komunitas makroalga yang ada di perairan Pulau Dompak Kota
Tanjungpinang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kuadrat sampling dengan menggunakan papan
pengecekan/cheker-board. Metode sampling yang digunakan pada
penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, yaitu pemilihan
lokasi sampling dilakukan berdasarkan tujuan tertentu. Tujuan tersebut
dilakukan pada daerah intertidal dimana daerah tersebut merupakan
tempat hidup makroalga sebagai lokasi pengambilan sample.
Jumlah plot sampling yang didapat berjumlah 76 plot sampling
dengan plot sampling berukuran 10x10 m2. Setiap plot sampling meliputi
pangambilan sample makroalga, pengukuran parameter perairan. Hasil
pengamatan ditemukan 11 jenis makroalga pada perairan pulau Dompak
yang terdiri dari 3 divisi yaitu divisi Chlorophyta (alga Hijau) dengan
jenis Caulerva recemosa, Codium decorticum, Dictyosphaeria cavernosa
dan Halimeda macroloba, divisi Phaeophyta (alga coklat) dengan jenis
Padina australis, divisi Rhodophyta (alga merah) dengan jenis
Acanthophora spicifera, Eucheuma edule, Gracilaria chilensis,
Gracilaria coronopifolia, Gracilaria folifera dan Gracilaria salicornia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Kepel, RC dan Matini, Desy MH. 2019. Biodiversitas Makroalga di Perairan
Pesisir Kora-Kora, Kecamatan Lembean Timur, Kabupaten
Minahasa. Jurnal Ilmiah Platax. 7(2): 383-393.
Handayani, Tri. 2020. Struktur Komunitas, Peranan dan Adaptasi Makroalga di
Intertidal Berbatu. OSEANA. 45(1): 59-69.
Heranti, H. 2018. Perbanyakan Kultur Jaringan Pada Perbanyakan Bibit Rumput
Laut. Makalah Semianar 1 SKS. Akuakultur UGM. Yogyakarta.
Kelana, L. 2015. Struktur Komunitas Makroalga di Perairan Pulau Dompak,
Skripsi. Tanjung pinang : Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Miala, Iskandar. 2018. Hubungan Antara Bulu Babi, Makroalgae Dan Karang Di
Perairan Daerah Pulau Pucung. Prodi Ilmu Kelautan, FIKP
UMRAH.

Anda mungkin juga menyukai