Anda di halaman 1dari 15

IMAGING OF GOUT ARTHRITIS

Elysanti Dwi Martadiani


Radiology Department, Faculty of Medicine, Udayana University- Sanglah Hospital,
Denpasar

Abstract
Gout arthritis is an arthropathy caused by precipitation and deposition of
monosodium urate (MSU) crystal in the joint and periarticular soft tissue. This is a most
common inflammatory arthritis. Initial process is hyperuricaemia, that may continue to
deposition of MSU crystal and may trigger inflammatory process and gives clinical
symptoms. Disease progressivity can start from asymptomatic hyperuricaemia, symptomatic
gout or chronic tophaceus gout.
Suspiciousness of gout arthritis can be confirmed by radiographic examination, which
reveals gouty arthritis classical findings such as marginal erosion with overhanging margin
and sclerotic. But those findings usually happen in the late stage of the disease, instead of
tophi or soft tissue nodule which may found in chronic stage of gouty arthritis.
High-frequency ultrasound, dual-energy CT (DECT) and MRI can disclose associate
findings of gouty arthritis, especially on the early stage of the disease. This may potentially
supports the early diagnosis and proper management of gouty arthritis.
Keywords: gouty arthritis, radiograph, ultrasound, dual-energy CT, MRI

IMAGING PADA ARTRITIS GOUT


Elysanti Dwi Martadiani
Departemen Radiologi FK Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak
Artritis gout merupakan artropati akibat presipitasi dan deposisi kristal monosodium
urate (MSU) pada sendi dan jaringan lunak periartikuler. Penyakit ini merupakan artropati
inflamatorik yang paling banyak dijumpai. Gout diawali oleh adanya hiperurisemia yang
berlanjut ke deposisi kristal MSU, yang dapat memicu proses inflamasi dan gejala klinis.
Perjalanan penyakit dapat mengalami progresivitas dari hiperurisemia yang asimptomatik,
serangan gout akut yang simptomatik, hingga terjadinya gout topaseus yang kronik.
Pemeriksaan radiograf digunakan untuk mengkonfirmasi kecurigaan gout, namun
temuan klasik pada radiograf seperti erosi marjinal dengan tepi yang overhanging dan
sklerotik justru merupakan kondisi yang terjadi pada fase lanjut dari penyakit ini. Adanya
tophi (nodul pada jaringan lunak) juga merupakan gambaran yang dijumpai pada proses
lanjut pada artritis gout.
Penggunaan high-frequency ultrasound, dual-energy CT (DECT) dan MRI dapat
menunjukkan temuan-temuan tambahan pada artritis gout terutama pada fase awal penyakit,
sehingga potensial untuk menunjang diagnosis dini dan tatalaksana artritis gout.
Kata kunci: artritis gout, radiograf, ultrasonografi, dual-energy CT, MRI
PENDAHULUAN
Artritis gout adalah penyakit yang disebabkan oleh deposisi kristal monohidrat
monosodium urate (MSU) yang menyebabkan tidak hanya episode peradangan akut, tetapi
juga peradangan kronis yang berhubungan dengan perubahan struktur artikular dan
periartikular. Modalitas imaging dapat berguna untuk diagnosis, evaluasi keparahan dan
monitoring artritis gout. Selain itu, sebagai outcome measure, imaging dapat memberikan
estimasi perubahan parameter selama terapi penurunan asam urat. Dengan demikian,
modalitas imaging dapat digunakan untuk memonitor respon pasien terhadap terapi
penurunan asam urat.1
Imaging pada artritis gout sebagian besar dikaitkan dengan radiografi konvensional
yang lebih mengarahkan pada temuan khas pada fase lanjut atau kronis. Baru-baru ini,
modalitas imaging lainnya seperti high-frequency ultrasound, dual-energy CT (DECT) dan
MRI muncul sebagai alat yang berguna terutama untuk evaluasi keparahan dan monitoring
gout, dan menariknya sebagai outcome measures untuk gout kronis dalam beberapa
penelitian.1,2
Artikel ini membahas mengenai penggunaan modalitas-modalitas imaging yang telah
disebutkan dengan meninjau bukti terbaru, meskipun masih membutuhkan eksplorasi lebih
lanjut terkait validasi teknik imaging terbaru sebagai outcome measures untuk gout.

ROBEKAN TENDON ROTATOR CUFF


Robekan tendon rotator cuff adalah salah satu cidera jaringan lunak pada sendi bahu
yang sering menyebabkan keluhan nyeri bahu. Sebagai trauma jaringan lunak, pencitraan
rotator cuff utamanya menggunakan modalitas ultrasonografi (USG) dan magnetic resonance
(MR). USG adalah modalitas pencitraan yang sederhana akan tetapi mampu membantu
diagnosis robekan tendon rotator cuff dengan sensitivitas dan spesifisitas mencapai 90%
(Moosikasuwan dkk., 2005).
Diagnosis robekan tendon rotator cuff dengan modalitas USG perlu memperhatikan
usia pasien. Data prevalensi menunjukkan orang dewasa lanjut usia cenderung mengalami
robekan tendon rotator cuff asimptomatik dengan prevalensi pada kelompok usia lebih dari
60 tahun mencapai 60%. Indikasi pencitraan penunjang juga harus ditegakkan dengan
pemeriksaan fisis di mana penderita robekan tendon rotator cuff mengalami penurunan range
of movement, terutama untuk abduksi lengan (Moosikasuwan dkk., 2005).
Teknik pemeriksaan USG bahu pada kasus yang dicurigai sebagai robekan tendon
rotator cuff menggunakan transduser frekuensi tinggi, dengan frekuensi 10-12 MHz sebagai
pilihan utama. Penggunaan pencitraan harmonis jaringan juga ditemukan memperjelas garis
robekan tendon, jika ada. Akan tetapi teknik ini tidak meningkatkan ketepatan diagnostic.
Arah gelombang US juga harus tegak lurus dengan arah tendon karena kemiringan yang
sedikit saja dapat menyebabkan munculnya bayangan perancu yang dapat dibaca sebagai
false positive (Moosikasuwan dkk., 2005).
Robekan tendon rotator cuff pada pemeriksaan USG dapat diklasifikasikan sebagai
full-thickness, di mana robekan terjadi dari permukaan bursal hingga permukaan artikluer,
dan partial-thickness, di mana robekan terjadi hanya sebagian pada permukaan bursal atau
permukaan artikuler. Tampilan dominan pada robekan full-thickness adalah gambaran
hipoekoik di mana cairan mengisi celah robekan sehingga mengurangi pantulan gelombang
US. Pada beberapa kasus, cairan tersebut justru meningkatkan transmisi gelombang US
sehingga meningkatkan intensitas gambaran kartilago di bawah tendon, menimbulkan
bayangan double cortex. Sementara itu pada robekan partial-thickness gambaran khas adalah
bayangan hipoekoik tegas pada salah satu permukaan tendon, permukaan bursal atau artikuler
(Moosikasuwan dkk., 2005).
Pencitraan MR dapat memberikan gambaran lebih lanjut mengenai dimensi/ukuran
robekan, bentuk robekan, ada atau tidaknya retraksi tendon, serta keterlibatan organ/jaringan
lain di sekitar robekan. Dimensi/ukuran robekan diklasifikasi menjadi robekan kecil (< 1 cm),
menengah (1-3 cm), besar (3-5 cm), dan sangat besar (> 5 cm). Ukuran robekan akan
berpengaruh pada pilihan tindakan pembedahan. Sementara itu bentuk robekan dapat
diklasifikasikan secara garis besar menjadi robekan kresentik (bentuk bulan sabit), robekan
U, dan robekan L. Robekan kresentik adalah yang paling umum terjadi sementara robekan L
lebih jarang dan sering disertai dengan robekan berukuran sangat besar akibat trauma
multiaksial (Morag dkk., 2006).
Setelah tindakan operatif untuk perbaikan tendon, umumnya gambaran tendon pada
pencitraan MR akan berangsur normal. Akan tetapi gambaran abnormal ringan dapat
ditemukan hingga 6 bulan pasca tindakan. Temuan ini dapat berupa penebalan kapsul atau
deposisi cairan infrakapsular yang berasngsur menghilang dalam 6 bulan. (Lee dkk., 2016).

Moosikasuwan, J.B., Miller, T.T. and Burke, B.J., 2005. Rotator cuff tears: clinical,
radiographic, and US findings. Radiographics, 25(6), pp.1591-1607.
Morag, Y., Jacobson, J.A., Miller, B., De Maeseneer, M., Girish, G. and Jamadar, D., 2006.
MR imaging of rotator cuff injury: what the clinician needs to know. Radiographics, 26(4), pp.1045-
1065.
Lee, S.C., Williams, D. and Endo, Y., 2018. The repaired rotator cuff: MRI and Ultrasound
Evaluation. Current reviews in musculoskeletal medicine, 11(1), pp.92-101.

CIDERA TENDON BISEPS LONG HEAD


Evaluasi MRI tendon biseps yang optimal mensyaratkan bahwa gambar diperoleh
dalam potongan aksial dan sagital oblik. Potongan sagital oblik memberikan visualisasi
terbaik dari bagian intraartikular tendon biseps dalam interval rotator cuff. Potongan aksial
merupakan yang terbaik untuk bagian menurun pada bicipital groove.

Subluksasi dan Dislokasi


Karena orientasi gaya yang bekerja pada tendon biseps, semua perpindahan terjadi
dalam arah medial. Subluksasi dan dislokasi bisep paling mudah dievaluasi pada gambar
aksial karena ini paling jelas menunjukkan posisi tendon relatif terhadap alur bicipital pada
semua tingkatan. perbedaan antara subluksasi dan dislokasi adalah arbitrer. Istilah subluksasi
digunakan ketika setidaknya satu bagian dari tendon menutupi alur bicipital sebagaimana
ditentukan pada gambar aksial (Gbr. 1). tendon perpindahan terlihat anterior ke aspek paling
lateral dari tuberositas yang lebih rendah. Subluksasi dapat diidentifikasi pada gambar sagital
oblik jika tendon tercatat terletak di atas tuberositas yang lebih rendah pada gambar paling
lateral yang menunjukkan tuberositas yang lebih rendah ini. Dislokasi tampak jelas pada
gambar aksial ketika tendon dipindahkan sepenuhnya dari alur. Dislokasi dapat diidentifikasi
pada gambar sagital sebagai posisi yang lebih medial dari tendon descending dan sebagai
perjalanan abnormal dari bagian intraarticular tendon. Gambar koroner paling tidak cocok
untuk diagnosis ini, meskipun dislokasi berat dapat dideteksi.
Tendon biseps dislokasi dapat mengikuti berbagai kursus tergantung pada konfigurasi
kelainan terkait tendon subskapularis [3]. Paling umum, dislokasi tendon biseps dikaitkan
dengan robekan ketebalan penuh bagian pada semua tendon subscapulans. Dalam situasi ini,
tendon biseps dislokasi jauh ke dalam tendon subscapulans [2]. Jumlah dislokasi medial
adalah fungsi dari ukuran robekan pada tendon sub-skapularis. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya [2], tendon dapat dislokasi sofar medial yang terletak di dalam aspek anterior
sendi glenohumeral, di mana ia dapat mengalami pelampiasan. Di lokasi ini, tendon biseps
juga dapat merusak bagian anterior labrum glenoid sebagai akibat dari kontak antara dua
struktur ini dan kapsul sendi dan ligamen yang ikut campur (Gbr. 2).
Pola umum lainnya adalah dislokasi tendon biseps dari alur dengan jalannya tendon
melalui robekan ketebalan penuh tendon subscapulanis. Dalam situasi ini, bagian proksimal
tendon biseps terlihat jauh ke bagian superior tendon subscapulans, sedangkan bagian distal
tendon biseps terlihat dangkal ke bagian inferior tendon subscapularis (Gbr. 3). Beberapa
kasus lain telah diamati di mana bisep dislokasi jauh ke bagian superior tendon subskapularis
tetapi melewati inferior dalam robekan ketebalan parsial tendon subskapularis, keluar melalui
bagian bawah tendon subskapularis.
Atau, tendon dapat dislokasi superfisial ke tendon subscapularis. Ini membutuhkan
cacat pada struktur yang membatasi poriton menurun tendon biseps ke alur bicipital, terutama
ligamentum korakohumeral, tetapi tidak ada kelainan pada tendon subskapularis yang perlu
ada. Bahkan dengan adanya robekan ketebalan penuh dari seluruh tendon subskapularis,
tendon biseps dapat diposisikan secara normal.

Robekan dan Ruptur


Istilah ruptur mengacu pada gangguan pada seluruh penampang tendon biseps.
Robekan adalah gangguan pada beberapa, tetapi tidak semua, serat tendon biseps. Pecahnya
tendon biseps lebih mudah didiagnosis daripada robekan. Bukti untuk ruptur adalah
nonvisualisasi tendon pada setiap titik sepanjang perjalanannya (Gbr. 6). Beberapa perawatan
diperlukan dalam mengidentifikasi pecahnya bagian intraarticulan tendon karena rotasi
eksternal yang tidak memadai dapat membuat identifikasi bagian ini sulit (Gambar 7).
Tendinitis parah juga dapat membuat sangat sulit untuk mengidentifikasi bagian dari tendon.
Setiap gambar aksial yang secara definitif tidak menunjukkan tendon dalam alur dan tidak
ada dislokasi medial tendon adalah diagnostik ruptune. Tanda-tanda tambahan ruptur
termasuk atrofi dan retraksi bagian distal atau bagian proksimal (atau keduanya) tendon.
Mengidentifikasi lokasi pecah yang sebenarnya bisa sulit. Paling sering, tendon pecah pada
titik asal (Gambar 6). Tempat pecah paling umum berikutnya adalah di pintu keluar dari
kapsul sendi (Gbr. 8).
Robekan sulit didiagnosis dengan pasti dan seringkali harus disimpulkan dengan
perubahan mendadak pada diameter penampang tendon. Namun, robekan longitudinal lebih
mudah untuk diidentifikasi karena tendon mengelilingi robekan intensitas sinyal tinggi pada
gambar T2-weighted (Gbr. 9).
Peristiwa traumatis yang mengakibatkan robekan atau robekan tendon biseps sering
mengakibatkan kelainan pada bagian superior labrum glenoid [5-7]. Ini tidak mengherankan
karena gaya yang bekerja pada bagian proksimal tendon akan ditransmisikan ke labrum
glenoid. Kelainan labnal terkait yang paling umum adalah robekan kecil di persimpangan
bagian superior dan anterior labrum glenoid atau robekan yang lebih besar yang melibatkan
seluruh labrum superior dari ujung anterior ke posterior-lesi SLAP (Gambar 10).

ROBEKAN LABRAL DAN CIDERA LIGAMEN GLENOHUMERAL


Labrum adalah struktur fibrocartilaginous yang melekat pada pinggiran glenoid (6).
Ini mengikuti garis besar tepi glenoid yang mendasarinya dan dengan demikian ovoid dalam
konfigurasi. Labrum memperdalam fossa glenoid sekitar sepertiga dan meningkatkan area
kontak antara kepala humerus dan rongga glenoid, sehingga memberikan peningkatan
stabilitas pada sendi (7).
Labrum berkontribusi terhadap stabilitas sendi glenohumeral dengan membatasi
gerakan anterior dan posterior humerus (12). Ini juga berfungsi sebagai tempat perlekatan
penting untuk ligamen glenohumeral dan kepala panjang tendon biseps (LHBT) (11,13,14).
Secara superior, di dekat posisi jam 12, labrum menyatu dengan asal LHBT. Berikutnya pada
jam wajah adalah ligamentum glenohumeral superior dan ligamentum glenohumeral tengah
(MGHL). Mereka berdua turun ketika mereka melewati secara lateral, memasukkan ke
humerus di wilayah tuberositas yang lebih rendah. Ligamentum glenohumeral inferior
(IGHL) mencakup seluruh inferior setengah dari labrum dan terdiri dari pita anterior, pita
posterior, dan kantong aksila intervensi (13,15-17). Ligamen glenohumeral adalah penstabil
pasif utama dari sendi glenohumeral.
Labrum tidak boleh dianggap sebagai struktur yang terisolasi. Ini terdiri dari bundel
serat kolagen paralel yang berjalan di sekitar lingkar glenoid dan meluas ke struktur
sekitarnya, menciptakan sistem yang saling berhubungan yang disebut sistem serat
periarticular (18). Sebagian besar posterosuperior labrum terdiri dari serat periarticular yang
memanjang dari labrum ke tendon biseps. Di labrum anterior dan anterosuperior, ada serat
penghubung antara labrum dan ligamentum glenohumeral superior dan IGHL, dan ada juga
serat yang memanjang dari antrumuperior labrum dengan cara seperti lembaran ke dalam
interval rotator (18,19). Anatomi ini menawarkan wawasan ke dalam klasifikasi lesi SLAP,
yang ditandai sebagian besar oleh lokasi kelainan labral dan perluasannya ke dalam struktur
yang terhubung dari sistem serat periarticular.
Saat menggunakan pencitraan MR konvensional tanpa artrografi, labrum paling baik
dipelajari dengan menggunakan sekuens peka cairan di tiga bidang. Urutan T2-tertimbang
lemak jenuh dilakukan sehingga gambar yang sama dapat digunakan untuk evaluasi yang
akurat dari tendon rotator cuff (33).
Pesawat terbaik yang digunakan untuk mengevaluasi labrum adalah bidang koronal miring
dan aksial (33). Ketika menilai lesi spesifik, bidang yang terbaik biasanya bidang ortogonal
ke lokasi lesi — yaitu, bidang aksial miring untuk lesi anterior dan posterior dan bidang
koronal miring untuk lesi labral superior.
Proses mendiagnosis robekan labral diperumit oleh berbagai jebakan dalam diagnosis
pencitraan yang sering hadir di labrum superior (17,34), yang dapat menjadikan ini tugas
yang menantang bagi ahli radiologi. Namun, ada beberapa karakteristik pencitraan MR yang
dapat membantu ahli radiologi dalam diagnosis. Penggunaan bahan kontras, baik intra-
artikular dan intravena, juga dapat membantu (20).
Kriteria diagnostik adalah sebagai berikut: (a) Intensitas sinyal intrasubstansi:
Intensitas sinyal dalam labrum lebih cenderung berasal dari patologis daripada intensitas
sinyal yang sejajar dengan tepi glenoid (Gambar 2) (11). (B) Margin: Margin labral reguler
yang halus lebih cenderung dikaitkan dengan varian normal, dibandingkan margin labral
ireguler yang berasal dari patologis (26,48). (c) Orientasi: Intensitas sinyal linier yang sejajar
dengan margin glenoid lebih cenderung menjadi varian normal, sedangkan intensitas sinyal
tinggi yang tidak sejajar dengan margin glenoid lebih cenderung menjadi sobekan (Gbr 2) (
26,27,48). (d) Perpanjangan: Intensitas sinyal tinggi posterior ke asal LHBT pada gambar
oblik koronal adalah sugestif tetapi tidak signifikan secara statistik untuk diagnosis lesi tipe II
SLAP versus sulkus sublabral (27). Intensitas sinyal tinggi yang meluas ke posisi 3 jam lebih
menunjukkan lesi labral daripada varian (11). (e) Lebar: Jika lebar ruang antara labrum dan
glenoid setidaknya 2 mm pada gambar MR dan setidaknya 2,5 mm pada arthrograms MR, ini
merupakan indikasi lesi labral (20). (f) Kista Paralabral: Kista paralabral dapat menjadi
indikasi pertama robekan labral dan umumnya menunjukkan adanya robekan labral (20). (g)
Usia pasien: Prevalensi varian normal meningkat dengan usia (20,53). (h) Presentasi pasien:
Penting untuk mempertimbangkan apakah ada riwayat trauma akut, kronis, atau berulang.
Ketidakstabilan bahu dapat diklasifikasikan berdasarkan frekuensi (akut, berulang, atau
kronis), derajat (subluksasi atau dislokasi), asal (trauma, mikrotrauma berulang, atau asal
atraumatik), dan arah (anterior, posterior, inferior, atau multidirectional) (10 ).
Baik kestabilan searah anterior dan posterior menimbulkan lesi di bagian inferior dari
kompleks labroligamentus. Ketidakstabilan anterior adalah jenis ketidakstabilan yang paling
umum dan harus meningkatkan kekhawatiran untuk lesi labral anteroinferior (lesi dan varian
Bankart), sedangkan ketidakstabilan posterior harus meningkatkan kekhawatiran untuk lesi
labral posteroinferior (membalikkan lesi Bankart) (13,14, 56) (Tabel 1). Ketidakstabilan
minor yang mengarah pada kerusakan labrum superior saat ini dijelaskan dengan istilah
microinstability, dengan insiden yang dilaporkan 5% pada pasien dengan nyeri bahu (57).
Ketidakstabilan ini adalah hasil dari cedera pada struktur pendukung setengah superior. sendi
glenohumeral (labrum, MGHL, struktur interval rotator, dan rotator cuff), yang dapat
disebabkan oleh kejadian traumatis akut atau penggunaan berlebihan. Cidera seperti itu
menghasilkan terjemahan abnormal kepala humerus sehubungan dengan glenoid, yang
mengarah ke subluksasi tanpa dislokasi dan karena itu tidak mengarah pada ketidakstabilan
klinis yang jujur. Cedera labral membentuk bagian terbesar dari kelompok ini (17). Tiga
kelas utama lesi labral (anteroinferior, posteroinferior, dan superior) dibahas di sini.

CORACOACROMIAL ARCH DAN IMPINGEMENT

Gambar 1. Gambar radiografi ini menunjukkan ciri khas gout kronis, termasuk massa jaringan lunak
asimetris (tophi), erosi tulang eksentrik (punched-out) yang terlihat jelas dan rendahnya osteopaenia
periartikular. Perhatikan ekspansi ruang sendi yang tampak jelas pada sendi yang mengalami erosi.1

Sementara itu pada fase akut gout, gambaran radiografi biasanya normal atau hanya
menunjukkan pembengkakan jaringan lunak dan efusi sendi, yang merupakan temuan yang
sama sekali tidak spesifik. Ultrasound atau CT mungkin lebih sensitif dalam mendeteksi
tanda-tanda endapan MSU.3
Diagnosis banding dari gout sangat luas dan termasuk rheumatoid arthritis dan
amyloid arthropathy. Tophi pada beberapa lokasi, terutama pada tulang rangka aksial dapat
menyerupai gangguan inflamasi lainnya, seperti infeksi spondylodiskitis atau sakroiliitis.
Untuk kasus tersebut, Pemeriksaan CT sangat penting dilakukan.3 Meskipun radiografi
konvensional memiliki spesifisitas tinggi untuk gout (>90%), perubahan gambaran radiografi
yang khas terjadi pada proses penyakit lebih lanjut dan oleh karena itu sensitivitas modalitas
pencitraan ini rendah (baru-baru ini diperkirakan sekitar 31%).1
(a) (c)

(b)

Gambar 2. Wanita 68 tahun dengan artropati gout kaki. Radiografi (a) menunjukkan pembengkakan
jaringan lunak (tanda bintang) pada aspek medial sendi metatarsophalangeal pertama, sedikit lebih
padat daripada jaringan lunak di sekitarnya, khas untuk tophus. CT (b) mengonfirmasi artropati gout
sendi metatarsophalangeal pertama yang mengombinasikan keberadaan tophus dengan kepadatan
tipikalnya (lingkaran) (kepadatan maksimum biasanya <300 unit Hounsfield [HU]), dan erosi tulang
artikular / juxta-artikular dengan tepi yang overhanging (panah). Rekonstruksi tiga dimensi DECT (c)
mengonfirmasi keberadaan kristal MSU dalam tophi, dengan menunjukkan distribusi tophi di sekitar
pergelangan kaki dan analisis volumetrik (volume total tophi: 4,275 cm2). Perhatikan keberadaan
tophus di dalam tulang (panah pada gambar (b)), yang menyebabkan erosi tulang dengan tepi yang
overhanging.3

Sementara itu, beberapa penelitian telah melaporkan bahwa perbaikan gambaran


radiografi konvensional dapat terjadi pada pasien yang menjalani terapi penurunan asam
urat,1 namun metode tervalidasi untuk mempresentasikan kerusakan sendi pada gout kronis
sendiri belum tersedia sampai saat ini. Penting untuk menemukan metode tervalidasi untuk
menilai kerusakan sendi pada gout kronis, mengingat banyaknya terapi efektif yang mulai
bermunculan, sehingga pencegahan dini gout pun dapat dilakukan. Studi yang mempelajari
hal terkait sudah mulai dilakukan dengan menggunakan skor global konsensus rheumatologis
yang merupakan 'standar emas' disertai metode penilaian yang telah diakui, penelitian ini
menunjukkan bahwa kombinasi erosi Sharp/van der Heijde dan skor penyempitan sendi
paling akurat mewakili kerusakan pada sendi individu yang terkena gout.2 Meskipun indeks
kerusakan gout pada gambaran radiografi telah dilakukan dengan baik dalam penelitian
sampai saat ini, validasi lebih lanjut masih perlu dilakukan.

HIGH-FREQUENCE ULTRASOUND
High-frequence ultrasound adalah modalitas yang menjanjikan untuk penilaian kristal
artropati. Gambaran ultrasonografi gout akut tidak spesifik dan meliputi edema jaringan
lunak periartikular dan hipervaskularitas di dalam dan sekitar sendi.1 Pada fase akut,
layaknya semua arthritic flares akut, efusi sendi dan sinovitis dapat dideteksi pada mode B
dan Doppler tetapi tidak spesifik.3 Sinovitis mungkin tampak heterogen dengan fokus
hiperekoik yang sesuai dengan agregat MSU. Tophi dapat menjadi hiperemik selama flare
akut (Gambar 3). Data-data saat ini tidak mendukung penggunaan ultrasound sebagai
pengganti pemeriksaan cairan sendi untuk diagnosis gout akut.3
Sementara itu, beberapa gambaran karakteristik pada gout kronis telah dilaporkan
termasuk garis hiperekoik dan ireguler pada tepi superfisial kartilago sendi yang dianggap
mengambarkan kristal monosodium urat (MSU) pada permukaannya (double contour sign)
(Gambar 4). Lesi seperti tophus diidentifikasi sebagai material hipoekoik sampai hiperekoik
yang tidak homogen dan dikelilingi oleh rim anekoik kecil. Karakteristik yang kurang
spesifik seperti erosi tulang, efusi sendi, hipertrofi sinovial dan hipervaskularitas dengan
menggunakan Power Doppler juga dapat diamati.1
Ultrasound kini memiliki peran terbaru dalam diagnosis gout. Karakteristik double
contour sign dan lesi seperti tophus telah terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi
untuk gout. Ultrasonografi juga dapat memiliki sensitivitas yang lebih tinggi untuk
mendeteksi komplikasi penyakit, seperti erosi tulang subklinis dan pembentukan tophus.
Sebuah analisis terbaru pada MTPJ pertama telah menunjukkan hasil yang kurang selaras
antara gambaran radiografi konvensional dan ultrasonografi terkait adanya erosi tulang, di
mana hanya kurang dari setengah erosi yang terlihat dengan ultrasonografi dapat terlihat pada
gambaran radiografi konvensional. Studi lainnya juga menyimpulkan bahwa ultrasound
memiliki kegunaan khusus untuk deteksi dan penilaian tophi intra-artikular yang lebih
dalam.1
(a)

(b)

Gambar 3. Pria 77 tahun dengan gout. Gambar ultrasound dari sendi metatarsophalangeal pertama
menunjukkan massa intraartikular hyperekoik dengan sedikit tepi hypoekoik (panah pada gambar a).
Pasien yang sama pada saat flare akut menunjukkan gambar yang sama seperti pada (a), disertai
hiperemia (b).3

Teknik pencitraan ultrasound juga dapat memberikan pandangan baru terkait


patogenesis kerusakan sendi pada penyakit ini. Karakteristik ultrasonografi double contour
sign dari kartilago sendi pada gout dapat dibedakan dengan gambaran kristal atropati akibat
kalsium pirofosfat dihidrat (CPPD) (Gambar 4). Penelitian terdahulu menunjukkan
hipervaskularitas colour Doppler yang dikaitkan dengan perkembangan erosi tulang.1 Studi
lainnya juga telah melaporkan hubungan yang signifikan antara keberadaan tophus dan erosi
tulang pada ultrasonografi. Seluruh data menunjukkan bahwa interaksi lokal antara kristal
urat dan kartilago sendi dapat terjadi sebelum erosi tulang, dilanjutkan dengan invasi dari
tophus (atau sinovitis granulomatosa) melalui kartilago sendi ke dalam tulang, yang
menyebabkan erosi tulang.1
Aplikasi ultrasound untuk pengukuran tophus sensitif terhadap perubahan dari waktu
ke waktu, dengan hubungan terbalik yang kuat antara konsentrasi serum urat rata-rata dan
perubahan dari diameter topus awal. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa ultrasound
memenuhi filter Outcome Measures in Rheumatology Clinical Trials (OMERACT) sebagai
paramater yang valid untuk pengukuran tophus, dan menjamin penggunaan dalam uji klinis.1
Gambar 4. Perbandingan gambar ultrasonografi kartilago sendi di lutut pada kondisi normal, gout
dan artropati CPPD, menurut model yang dijelaskan oleh Thiele dan Schlesinger. Perhatikan deposit
kristal MSU pada permukaan kartilago sendi, yang mengarah pada double contour sign pada gout.
Sebaliknya, pada artropati CPPD, kristal berlapis terdapat pada bagian tengah kartilago sendi. Panah
menunjukkan endapankristal MSU yang tidak teratur pada permukaan kartilago sendi. c: kartilago; b:
tulang. CPPD, kalsium pirofosfat dihidrat; MSU, monosodium urat.1

Ultrasound memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan modalitas pencitraan lain


dalam praktik klinis, terutama rendahnya radiasi, biaya yang relatif rendah dan kemudahan
akses. Namun, keterbatasannya adalah modalitas ini sangat tergantung pada operator dan
standarisasi gambar untuk penilaian dari waktu ke waktu mungkin sulit. Meskipun metode
pencitraan ini menawarkan harapan besar, tugas selanjutnya adalah untuk menentukan lebih
jelas peranannya dalam praktik klinis dan penelitian.5

DUAL-ENERGY CT (DECT)
Munculnya teknologi DECT baru-baru ini telah membuka perspektif baru. Teknik ini
memungkinkan kita untuk membedakan jenis endapan dengan spektrum sinar-x yang
berbeda, dengan prinsip bahwa atenuasi jaringan tidak hanya bergantung pada kerapatannya
tetapi juga pada nomor atom Z serta energi dari photon beam.3 Bersamaan dengan
karakterisasi batu saluran kemih, salah satu fungsi utama DECT selama dekade terakhir
adalah penilaian artropati kristal (lihat Gambar 2). Seperti CT konvensional, DECT juga
dapat mendeteksi kerusakan tetapi tidak membantu pada kasus peradangan. DECT lebih
unggul dari semua teknologi pencitraan lain yang tersedia karena kemampuannya untuk
mengidentifikasi semua endapan kristal MSU pada daerah yang diperiksa (Gambar 5).5
DECT memiliki kinerja diagnostik yang baik dalam penilaian endapan MSU. DECT
dapat menawarkan metode cepat dan non-invasif untuk memvisualisasikan kristal MSU,
perubahan jaringan lunak, dan erosi awal pada resolusi tinggi, bahkan sebelum radiografi
konvensional.5 Sensitivitas dan spesifisitas yang dilaporkan bervariasi dari 75% hingga 100%
bergantung pada penelitian.3 Dibandingkan dengan ultrasound, DECT telah menunjukkan
spesifisitas yang sebanding atau lebih tinggi tetapi sensitivitas lebih rendah dalam mendeteksi
endapan kristal MSU yang lebih kecil pada persendian.3 Temuan ini khususnya menunjukkan
bahwa DECT dapat membantu dalam diagnosis banding dari sinovitis villo-nodular
berpigmen, psoriasis, dan artritis septik yang memiliki manifestasi klinis serupa dengan gout.
DECT sangat akurat dalam mendeteksi kristal MSU pada sendi, tendon, ligamen, dan
jaringan lunak dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi gout subklinis dengan spesifisitas
tinggi. Namun, modalitas ini dapat melewatkan pengendapan kristal pada permukaan tulang
rawan, yang biasanya dapat dideteksi dengan ultrasound sebagai double contour sign.5

Gambar 5. DECT dari pasien gout yang menunjukkan deposit MSU (merah) pada dua persepsi foto
di bagian tendon posterior tibialis (koleksi pribadi Prof. Bardin).5

Perlu dicatat bahwa DECT memiliki beberapa keterbatasan terkait nilai


diagnostiknya. Beberapa penyebab menimbulkan hasil negatif palsu (false-negative).
Penyebab ini oleh karena tophi yang kurang padat dengan konsentrasi kristal yang lebih
rendah, ukuran tophi / kristal yang kecil (biasanya tidak terlihat pada ukuran kurang dari 2
mm), atau bahkan parameter teknis.3 Terdapat pula beberapa penyebab hasil positif palsu
(false-positive) seperti gambar berkode warna yang telah diproses dapat meniru dengan salah
keberadaan endapan MSU ketika jaringan menunjukkan nilai indeks yang sama persis,
seperti keratin. Hasil positif palsu ini dapat ditemukan di sekitar alas kuku dan kulit tetapi
juga di daerah pengerasan berkas (beam) dan artefak logam.3
DECT masih belum tersedia secara luas, sehingga membatasi penerapannya untuk
tujuan klinis dan penelitian. Biaya modalitas ini setara atau lebih tinggi dari CT konvensional
dan memerlukan paparan radiasi.5 Lebih banyak pekerjaan diperlukan untuk
menstandardisasi parameter pasca-proses untuk meningkatkan kinerja DECT. Selain itu,
beberapa teknik pencitraan spektrum digunakan oleh berbagai produsen untuk menerapkan
DECT. Sebagian besar data hasil DECT dalam literatur diperoleh dengan dual-source
scanner, yang tampaknya merupakan teknik DECT yang paling kuat saat ini. Meskipun
begitu, hasil-hasil tersebut masih perlu dikonfirmasi menggunakan metode pencitraan
spektrum lainnya.3
Salah satu kelebihan utama DECT adalah menawarkan pengukuran volume endapan
MSU yang otomatis, dengan potensi aplikasinya tidak hanya dalam praktik klinis tetapi juga
dalam penelitian. Oleh karena itu, DECT dapat berfungsi sebagai alat untuk memantau beban
tophus sebagai parameter outcome gout. Namun, sensitivitas DECT terhadap perubahan
volume deposit kristal masih perlu ditentukan dan kesalahan pengukuran tetap menjadi
masalah. 3

MRI
Gambaran gout pada MRI telah dilaporkan dalam beberapa kasus. Biasanya, tophi
memiliki sinyal rendah pada gambar T1-weighted spin-echo tetapi sinyal yang bervariasi
pada gambar T2-weighted (Gambar 6), hal ini tergantung pada tingkat hidrasi dan
klasifikasi.5 Enhancement perifer dari tophi setelah pemberian kontras intravena juga telah
dilaporkan. Pada sendi yang ditumbuhi tophi, penebalan sinovial (synovial thickening) dan
efusi dapat terjadi, dengan edema sumsum tulang yang berdekatan dengan tophi.1

(a) (b) (c)

Gambar 6. Gambar MRI dari tophus gout kronis.1


MRI sangat berguna dalam menilai komplikasi dari gout kronis. Komplikasi tersebut
termasuk adanya penyakit erosif subklinis, neuropati kompresif seperti carpal tunnel
syndrome dan deteksi tophi gout di lokasi atipikal seperti tulang belakang leher dan leher. 1
MRI juga telah terbukti menjadi metode yang dapat diandalkan untuk pengukuran
tophus, meskipun sensitivitas terhadap perubahan belum dinilai. Sehubungan dengan
penilaian ukuran tophus dengan MRI, gambar spin-echo tanpa kontras menunjukkan hasil
yang memuaskan dan tidak terlalu dipengaruhi oleh artefak dibandingkan gambaran dengan
kontras.6
Peran MRI terbatas karena biaya dan ketersediaannya terbatas. Meskipun demikian,
modalitas ini masih bermanfaat untuk evaluasi gout pada lokasi yang tidak biasa seperti yang
dilaporkan dalam laporan kasus pada tulang kerangka aksial, spondiloarthritis dan carpal
tunnel syndrome. Diagnosis dalam laporan-laporan kasus tersebut merupakan hasil
pemeriksaan MRI, yang kadang-kadang dikombinasikan dengan modalitas lain.5

KESIMPULAN
Teknik imaging telah banyak digunakan untuk mendiagnosis atau mengevaluasi
keparahan artritis gout. Modalitas ini juga dapat menjadi alat yang paling penting untuk
evaluasi dan monitoring deposisi MSU dan peradangan yang terjadi selama terapi penurunan
asam urat. Temuan imaging pada fase awal penyakit juga dapat membantu dalam diagnosis
dan tatalaksana dini.

DAFTAR PUSTAKA
1. Dalbeth N, McQueen FM. Use of imaging to evaluate gout and other crystal deposition
disorders. Curr Opin Rheumatol. 2009;21(2):124-131.
2. Dalbeth N, Clark B, McQueen F, et al. Validation of a radiographic damage index in
chronic gout. Arthritis Rheum 2007; 57:1067–1073.
3. Omoumi P, Zufferey P, Malghem J, So A. Imaging in Gout and Other Crystal-Related
Arthropathies. Rheum Dis Clin North Am. 2016;42(4):621-644.
4. Resnick D, Broderick TW. Intraosseous calcifications in tophaceous gout. AJR Am J
Roentgenol 1981;6(137):1157–61.
5. Ragab G, Elshahaly M, Bardin T. Gout: An old disease in new perspective – A review. J
Adv Res. 2017;8(5):495-511.
6. Schumacher HR Jr, Becker MA, Edwards NL, et al. Magnetic resonance imaging in the
quantitative assessment of gouty tophi. Int J Clin Pract 2006; 60:408 – 414.

Anda mungkin juga menyukai