Anda di halaman 1dari 47

Genetika Kedokteran

Terapi Gen dan DNA Rekombinan

Dosen Pengajar : dr. Ziske Maritska, M.Biomed

Disusun oleh:
Miranti Dwi Hartanti 04112681923001 BKU Farmakologi
Yunida 04112681923003BKU Farmakologi
Amalia 04112681923005BKU Imunologi dan Sains Tranfusi
Agnes Felicia Lubis 04112681923007BKU Imunologi dan Sains Tranfusi
Maya Eka Apriyanti 04112681923009BKU Sains Reproduksi
Dwi Herdayanti 04112681923011BKU Fisiologi Kedokteran

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019

Terapi Gen
Teknologi terapi gen tidak terlepas dari prinsip rekayasa genetika untuk
menghasilkan GMO (Genetically Modified Organism) atau yang biasa dikenal sebagai
organisme transgenik. Ide untuk terapi gen cukup unik yaitu dengan menambahkan
gen yang normal ke bagian genom yang mengalami mutasi ataupun kerusakan
sehingga fungsi gen tersebut dapat diperbaiki (Kachroo & Gowder, 2016). Proses
rekayasa genetik pada teknologi terapi gen meliputi tahapan berikut: isolasi gen target,
penyisipan gen target ke vektor transfer, transfer vektor yang telah disisipi gen target
ke organisme yang akan diterapi, transformasi pada sel organisme target. Gen target
yang telah disisipkan pada organisme yang diterapi tersebut diharapkan mampu
menggantikan fungsi gen abnormal yang mengakibatkan penyakit pada penderita.
Penggunaan terapi gen harus disesuaikan dengan jenis penyakit yang akan
diterapi. Penyakit dan hubungan genetiknya harus diketahui terlebih dahulu sebelum
dilakukan terapi gen. Apabila suatu gen yang terkait pada penyakit tertentu telah
dapat diidentifikasi, maka potensi penyakit tersebut untuk diterapi akan semakin
besar. Misra (2013) menyatakan bahwa gen merupakan unit fungsional yang
berkaitan dengan hereditas yang memiliki sekuen basa tertentu. Sekuen basa tersebut
yang nantinya akan menentukan jenis dan fungsi protein yang diekspresikan. Ketika
suatu gen mengalami mutasi ataupun perubahan dalam sekuen basa nitrogennya,
maka protein yang dikode tidak akan bisa melaksanakan fungsi normalnya dan
meng- akibatkan suatu kelainan genetik. Terapi gen hadir untuk menjadi solusi terapi
terbaru pada penyakit baik yang diturunkan maupun yang tidak. Jackson and Naber
(2017) menyatakan bahwa hingga bulan Desember 2016 telah ada sebanyak 802
percobaan klinis menggunakan terapi gen di seluruh dunia. Sebagian besar percobaan
klinis terapi gen dilakukan pada pasien-pasien kanker dan penyakit kardio- vaskuler.
Banyaknya penelitian dalam bidang terapi gen memungkinkan pengembangan
metode terapi ini sebagai salah satu alternatif pengobatan yang efektif.
Metode terapi gen mulai digunakan pada tahun 1990 ketika National Health
Institute dari Amerika Serikat memasukkan gen normal adenosine deaminase (ADA)
ke leukosit penderita defisiensi kekebalan kombinasi akut yang berusia 4 tahun.
Terapi gen ADA disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika
Serikat pada tahun yang sama (Emengaha et al., 2015). Setelah inisiasi, penelitian-
penelitian mengenai terapi gen semakin berkembang. Terapi gen meliputi penggunaan
asam nukleat baik DNA ataupun RNA dalam perlakuan, pengobatan, dan pen-
cegahan penyakit pada manusia. Berdasarkan pada tipe penyakitnya, terapi gen dapat
dilakukan dengan mentransfer gen fungsional yang dapat menggantikan gen yang
hilang ataupun tidak berfungsi sehingga dapat mengurangi efek negatif dari kondisi
tersebut (Kaufmann et al., 2013).
Terapi gen pada manusia didefinisikan sebagai transfer asam nukleat berupa
DNA ke sel somatik pasien sehingga gen tersebut memiliki efek pengobatan terhadap
penyakit pasien, baik dengan mengoreksi ketidak- normalan gen maupun over
ekspresi protein yang dikode oleh gen tersebut. Menurut Johnson (2017), terapi gen
sudah banyak digunakan untuk pengobatan kanker, penyakit kardiovaskuler, penyakit
infeksius, penurunan fungsi metabolisme tubuh, penyakit limfatik, hingga cedera
akibat radiasi dan penyembuhan pascabedah. Namun, tidak menutup kemung- kinan
berkembangnya terapi gen untuk meng- obati jenis penyakit lainnya.
Rogers dan timnya merupakan orang yang pertama kali mendemonstrasikan
konsep transfer gen menggunakan virus sebagai vektor. Rogers menggunakan virus
Shope papilloma wild-type untuk mentransfer gen arginase pada dua penderita
penyakit kelainan siklus urea yaitu hiperargininemia (Wirth & Ylä-Herttuala, 2014).
SPV atau Shope Papilloma Virus dikenal juga sebagai CRPV (Cottontail Rabbit
Papilloma Virus) atau Kappapapillomavirus 2. Virus ini mengakibat- kan karsinoma
keratin yang mengalami metastasis dan mengganggu kemampuan inang untuk
makan. Papillomavirus termasuk ke dalam Famili Papovaviridae yang merupakan
virus DNA penginisiasi munculnya tumor. Hipotesis penelitian Rogers menyatakan
bahwa virus Shope papilloma tersebut dapat mengkode gen yang bertanggung jawab
pada aktivitas arginase dan gen ini dapat ditransfer ke tubuh penderita
hiperargininemia. Namun, hasil penelitian menyatakan sebaliknya. Tidak ada
perubahan pada level arginine maupun kondisi klinis dari penderita (Wirth & Ylä-
Herttuala, 2014). Dengan adanya penelitian Rogers pada tahun 1960, penelitian-
penelitian lain terkait terapi gen yang meliputi prosedur transfer gennya serta vektor
transfer yang digunakan semakin banyak. Terapi gen pertama yang tercatat dengan
baik dilakukan pada tahun 1990. Pada tahun 2005 telah tercatat sebanyak 1100
penelitian mengenai terapi gen yang telah dilakukan di seluruh dunia, salah satunya
terfokus di Jerman. Pada tahun 2003 dan November 2005, China berhasil menyetujui
adanya obat terapi gen yang digunakan untuk pengobatan tumor yang
membahayakan. Obat untuk terapi gen pertama kali diajukan ke the European
Agency for the Evaluation of Medicinal Products (EMEA) di Eropa pada tahun 2005
(Winnacker, 2006).

Tipe Terapi Gen


Terdapat dua tipe utama terapi gen, meliputi terapi gen sel embrional (germ
line gene therapy) dan terapi gen sel tubuh (somatic gene therapy) (Misra, 2013):

2 Terapi gen sel embrional (germ line gene therapy)


Pada terapi gen sel kelamin ini, digunakan sel kelamin jantan (sperma) maupun sel
kelamin betina (ovum) yang dimodifikasi dengan adanya penyisipan gen
fungsional yang terintegrasi dengan genomnya.
3 Terapi gen sel tubuh (somatic gene therapy) Pada terapi gen sel tubuh ini,
dilakukan transfer gen fungsional ke dalam sel tubuh pasien sehingga malfungsi
pada organ dapat diperbaiki. Singh et al. (2016) menyatakan bahwa terapi gen sel
tubuh spesifik untuk setiap pasien dan tidak diturunkan ke generasi berikutnya.

Pada terapi gen dengan menggunakan germ line, gen akan ditransfer ke dalam
ovum ataupun zigot sehingga ketika ovum tersebut fertilisasi dengan sperma
membentuk zigot, maka zigot akan berkembang dengan mem- bawa gen yang telah
disisipkan sebelumnya sehingga organisme baru yang terbentuk telah memiliki gen
yang berfungsi dalam terapi yang dimaksudkan. Terapi gen sel embrional biasanya
dilakukan pada hewan untuk membentuk hewan transgenik. Terapi gen jenis ini
memungkinkan perbaikan secara genetik yang akan mulai terlihat ketika sel embrional
telah berkembang menjadi individu baru.
.

Gambar 2. Terapi gen sel embrional pada Spindler (monyet ketiga yang lahir dari
terapi gen embrional (Oregon National Primate Research, 2015)

Gambar 2 menjelaskan tahapan dalam terapi gen sel embrional pada monyet.
Ter- dapat dua monyet, yaitu monyet A yang me- miliki kelainan pada mitokondrianya
dan monyet B yang merupakan monyet normal. Untuk menghasilkan keturunan
monyet A yang normal tanpa adanya kelainan pada mitokon- dria, maka dilakukan
terapi gen melalui sel embrional. Kromosom pada ovum monyet A diambil kemudian
disisipkan ke dalam ovum monyet B yang memiliki mitokondria normal. Proses
pengambilan dan penyisipan tersebut dilakukan secara ex vivo. Ovum monyet B yang
telah disisipi materi genetik monyet A kemudian difertilisasi oleh sperma dari monyet
C yang sejenis dengan monyet A. Ovum yang telah dibuahi sperma tersebut kemudian
diinsersikan ke dalam uterus monyet lain yang berperan sebagai induk inang untuk
kemudian memfasilitasi embrio tersebut untuk tumbuh dan berkembang. Embrio
tersebut kemudian akan dilahirkan dengan kondisi tanpa kelainan mitokondria.
Pada terapi gen dengan sel somatik, DNA yang mengandung gen untuk fungsi
terapi ditransfer ke dalam sel somatik baik secara in vivo maupun ex vivo. Transfer
gen tersebut biasanya ditujukan secara langsung ke organ atau jaringan spesifik
sehingga gen dapat terekspresi dengan baik. Pada terapi gen dengan sel somatik juga
tidak akan memberikan pengaruh terhadap sel embrional.

Terapi gen secara in vivo tetap meng- gunakan bantuan vektor untuk
mentransfer gen target ke dalam jaringan atau organ pasien penderita penyakit
tertentu. Pada Gambar 3 terlihat adanya vektor transfer gen berupa virus yang
dimodifikasi menjadi virus rekombinan dengan menyisipkan DNA dengan gen target
untuk terapi melalui metode teknologi DNA rekombinan. Vektor virus yang telah
mengandung gen target tersebut kemudian diinjeksikan ke dalam tubuh pasien secara
langsung menuju jaringan atau organ target di mana gen untuk terapi tersebut
dibutuhkan atau diekspresikan. Terapi gen secara in vivo melibatkan proses transduksi
secara langsung di dalam tubuh, lebih mudah dilaksanakan dan dikembangkan dalam
skala tertentu, dan tidak membutuhkan fasilitas khusus karena injeksi atau transfer
gen bisa dilakukan dengan metode umum maupun menggunakan biolistic gene gun.
Namun, Wang et al. (2016) menyatakan bahwa terapi gen secara in vivo memiliki
spesifitas dan efisiensi yang lebih rendah dibandingkan terapi gen secara ex vivo.
Terapi gen secara ex vivo memiliki tahapan yang lebih kompleks dibanding
secara in vivo. Terapi ini melibatkan transduksi di laboratorium dengan kondisi
spesifik tertentu sehingga membutuhkan fasilitas laboratorium yang lebih lengkap.
Metode ex vivo ini juga
mengakibatkan kurangnya populasi sel yang diproliferasi. Gambar 4 menunjukkan
tahapan dalam metode terapi gen secara ex vivo yang terdiri dari beberapa langkah,
yaitu:
2 Isolasi sel yang memiliki gen abnormal dari pasien penderita penyakit tertentu.
3 Sel hasil isolasi ditumbuhkan pada media kultur tertentu yang sesuai dengan
karakteristik sel
4 Sel target yang telah dikultur kemudian diinfeksi dengan retrovirus yang meng-
andung rekombinan gen dalam bentuk gen normal untuk menggantikan gen
abnormal pada sel
5 Produksi rDNA dari RNA rekombinan (jika vektor virus merupakan virus dengan
materi genetik berupa RNA) dengan transkripsi balik (reverse transcription)
6 Translasi gen normal pada sitoplasma sel menghasilkan protein yang bertanggung
jawab pada gen yang mengalami kerusakan (terjadi integrasi antara gen target
untuk terapi dengan gen pada sel yang dikultur
7 Seleksi, perbanyakan, dan pengujian sel yang telah ditransfeksi untuk
mendapatkan sel normal yang gen abnormalnya telah berhasil digantikan oleh gen
baru
8 Injeksi kembali sel yang telah berhasil direkayasa dengan terapi gen ke dalam
jaringan atau organ pasien.
Gambar 4. Terapi gen secara ex vivo (Baldor, 2012)

Transfer Gen
Keberhasilan terapi gen sangat di- pengaruhi oleh beberapa faktor, terutama
efisiensi transfer dan ekspresi gen pada sel target. Transfer gen fungsional ke
dalam sel target dalam terapi gen memerlukan vektor yang kompeten dan dapat
membawa gen target dengan baik. Gen normal akan disisipkan ke dalam genom
organisme untuk menggantikan gen abnormal yang menyebabkan penyakit.
Menurut Misra (2013), tahapan penyisipan gen merupakan yang paling sulit
dalam keseluruh- an tahapan terapi gen karena pada tahapan ini menentukan
keberhasilan terapi gen itu sendiri. Vektor yang akan digunakan untuk penyisipan
gen pada terapi gen harus memenuhi beberapa karakteristik, yaitu memiliki
spesifitas yang tinggi, mampu secara efisien menyisipkan satu atau lebih gen
dengan ukuran tertentu, tidak di- kenali oleh sistem imun tubuh penderita, dan
dapat dipurifikasi dalam jumlah yang besar. Vektor pembawa gen target harus
tidak dikenali oleh sistem tubuh penderita sehingga tidak akan menimbulkan
reaksi alergi ataupun inflamasi. Penyisipan gen target via vektor tersebut harus
aman bagi penderita dan lingkungan. Vektor penyisipan gen juga harus mampu
untuk memfasilitasi ekspresi gen target sepanjang terapi tersebut dibutuhkan,
bahkan sepanjang umur penderita.
Penyisipan gen pada terapi gen umum- nya menggunakan vektor berupa virus
(viral vector) maupun senyawa atau molekul selain virus (non viral vector). Transfer
gen pada terapi gen dengan menggunakan vektor berupa virus disebut sebagai
transduksi sedangkan transfer dengan vektor selain virus disebut se- bagai transfeksi.
Vektor yang ideal sebaiknya mampu mengantarkan gen ke tipe sel spesifik,
mengakomodasi gen asing untuk menyesuai- kan ukurannya, mencapai level dan
durasi eks- presi transgenik yang mampu memperbaiki kerusakan atau
ketidaknormalan gen, serta ber- sifat aman dan nonimunogenik (Mali, 2013).
Karakteristik ideal yang harus dimiliki oleh jenis virus yang akan dijadikan
sebagai vektor dalam terapi gen haruslah memiliki kemampuan untuk diproduksi
dalam titer yang tinggi secara mudah dan efisien, tidak me- miliki toksisitas terhadap
sel target maupun efek lainnya yang dapat meniadakan kemam- puannya untuk
transduksi gen ke dalam sel target, dapat berintegrasi dengan sisi spesifik dari sel target
yang memungkinkan terjadinya ekspresi untuk terapi gen, memiliki kapasitas
transduksi yang baik pada sel-sel spesifik, serta harus memiliki kemampuan untuk
menginfeksi sel-sel yang masih dapat berproliferasi. Virus yang digunakan sebagai
vektor pembawa gen juga harus memiliki kemampuan untuk meng- hindar dari
imunitas sel target (Crystal, 2014).
Apabila suatu virus telah dikembangkan dan memiliki karakteristik ideal seperti yang
telah disebutkan, maka dimungkinkan untuk dapat menggunakannya sebagai vektor
pembawa gen dalam terapi gen.
Menurut Misra (2013), virus yang di- jadikan vektor pembawa gen target pada
terapi gen haruslah berupa virus yang tidak membahayakan meskipun virus sendiri
dapat berevolusi dan mengantarkan gen pada sel manusia melalui jalur patogenik.
Namun, patogenitas virus vektor tersebut harus dipastikan tidak akan memberikan
efek samping pada pasien yang diterapi gen. Nayerossadat et al. (2012) menyatakan
bahwa beberapa virus yang dimanfaatkan sebagai vektor dalam terapi gen diantaranya
adalah retrovirus, adenovirus (tipe 2 dan 5), adeno- associated virus (AAV), virus
herpes, virus cacar, human foamy virus (HFV), lentivirus, serta beberapa jenis lainnya.
Vektor berupa virus harus dimodifikasi genomnya dengan memotong sekuen tertentu
sehingga patogeni- sitasnya dapat dikurangi atau dihilangkan. Vektor berupa virus
harus aman saat di- gunakan dalam proses terapi gen agar gen target yang akan
digunakan sebagai pengganti gen abnormal dapat diekspresikan dengan baik tanpa
menimbulkan efek samping bagi pen- derita yang diterapi. Terapi gen seringkali tidak
berhasil dikarenakan adanya kesalahan dalam penyiapan vektor yang akan digunakan
untuk transfer gen. Vektor virus yang digunakan untuk transfer gen harus disesuaikan
dengan genom sel target, misalnya Retrovirus me- miliki kapasitas yang baik untuk
berintegrasi dengan genom sel mamalia baik secara in vivo maupun in vitro (Vargas et
al., 2016). Proses rekombinasi gen juga harus diperhatikan sehingga penyisipan gen
normal dapat berhasil dan dapat digunakan sebagai pengganti fungsi gen abnormal.
Persentase vektor virus yang sering digunakan menurut Baldor (2012) terlihat
pada Gambar 5. Adenovirus merupakan vektor utama yang banyak digunakan
sebagai vektor untuk transduksi gen pengganti gen abnormal pada suatu penyakit.
Selain itu, retrovirus juga banyak dimanfaatkan sebagai vektor dalam terapi gen
sesuai dengan kemampuannya untuk mentransduksikan gen target yang dapat
digunakan untuk mensubstitusi gen abnormal penyebab penyakit tertentu. Kedua
jenis virus tersebut dianggap sebagai vektor yang paling baik dan mudah
diaplikasikan dalam terapi gen. Imbert et al., (2017) menyatakan bahwa adenovirus
merupakan virus dengan asam nukleat berupa DNA sedangkan retrovirus merupakan
virus yang memiliki asam nukleat berupa RNA sehingga membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk ekspresi gen.

Gambar 5. Persentase jenis vektor yang digunakan dalam terapi gen (Baldor,
2012)

Misra (2013) menyatakan bahwa RNA pada retrovirus dapat ditranskripsi balik
menjadi complementary DNA (cDNA) sehingga dapat disisipkan gen target untuk
terapi gen. Tiga vektor virus yang banyak digunakan dalam terapi gen adalah:
2 Adenovirus
Adenovirus termasuk dalam virus ikosahedral yang berukuran antara
90–100 nm, memiliki 252 kapsomer dengan 240 hekson dan 12 penton. Adenovirus
memiliki protein fibrosa yang memanjang keluar dari penton dan struktur tersebut
diketahui sebagai struktur yang mendukung kemampuan adenovirus untuk
mengenali serta berikatan dengan resep- tor sel target (Gambar 6) Genom adenovirus
terdiri dari DNA yang linear, double stranded, dan tidak bersegmen dengan ukuran
antara 26– 45 Kbp. Genom adenovirus memiliki setidak- nya 22–40 gen yang
berbeda (Viswanathan et al., 2015). Adenovirus memiliki kemampuan untuk
menginfeksi sel manusia dan memung- kinkan munculnya penyakit pada sistem
pernafasan, pencernaan, maupun indera (Misra, 2013).
Infeksi adenovirus diinisiasi oleh tinggi- nya afinitas pengikatan antara protein
fibrosa pada penton dengan reseptor permukaan sel target, misalnya CAR (coxsac-
kievirus dan reseptor adenovirus) dan domain MHC-I α2 yang diikuti dengan

interaksi antara penton dengan protein integrin αvβ3 dan αvβ5 (Breyer
et al., 2001).
Imbert et al. (2017) menyatakan bahwa adenovirus merupakan virus DNA
yang memiliki kemampuan yang baik untuk men- transfer gen target ke sel, efisiensi
transduksi yang tinggi untuk tipe sel yang berbeda sekali- pun serta memiliki waktu
ekspresi gen yang cepat untuk mendukung efek substitusi gen pada terapi, dapat
memfasilitasi ekspresi gen secara efektif baik pada sel yang berproliferasi maupun
yang tidak, serta memiliki efisiensi yang cukup tinggi untuk menginfeksi sel tar- get.
Namun, adenovirus memiliki spesifisitas yang tinggi terhadap jenis jaringan atau
organ target yang dapat diinfeksi sehingga tidak dapat menginfeksi jaringan atau
organ selain targetnya. Adenovirus juga memiliki imunoge- nisitas yang cukup tinggi
sehingga cenderung mudah dikenali oleh sistem imun penderita dan mengakibatkan
berkurangnya kemampuan dalam menyisipkan gen ke tubuh pasien.
Gambar 6. Struktur adenovirus terdiri dari dua protein utama yaitu protein inti dan
protein kapsid (Waye & Sing, 2010)

3 Retrovirus
Retrovirus merupakan salah satu virus yang menginfeksi sel hewan, termasuk
manusia. Pertama kali identifikasi retrovirus berhasil dilakukan pada infeksi terhadap
ayam sebagai salah satu faktor onkogenik. Retrovirus memiliki struktur spheris
dengan diameter antara 80–100 nm (Gambar 7). Virion retro-virus memiliki enzim
transkriptase balik (reverse transcriptase), integrase, serta juga memiliki dua subunit
RNA yang identik dan berikatan membentuk ikatan dimer pada kapsidnya. RNA
retrovirus akan ditranskripsi balik saat virus ini menginfeksi sel inang (Maurya et al.,
2009).
Gambar 7. Struktur retrovirus (US National Institute of Health, 2016)

Vektor retroviral merupakan salah satu jenis vektor virus yang banyak
digunakan dalam terapi gen sel embrional maupun sel somatik. Retrovirus dapat
menginfeksi sel yang sedang membelah karena virus ini memiliki kemampuan untuk
menembus pori nukleus saat siklus mitosis (Gambar 8). Ber- dasarkan kemampuannya
tersebut, Retrovirus banyak digunakan untuk terapi gen secara in situ (Nayerossadat
et al., 2012). Materi genetik retrovirus cenderung kurang stabil karena berupa RNA.
Untuk dapat disisipi gen target yang akan ditransfer ke sel target, RNA retrovirus
harus ditranskripsi balik terlebih dahulu membentu cDNA (complementary DNA)
sebelum disisipi gen target. cDNA retrovirus dapat diintegrasikan dengan DNA inang
atau penderita secara efisien untuk kemudian disebut sebagai provirus. Provirus
memiliki kemampuan untuk ditranskripsi dan ditranslasi seperti gen lainnya. Hasil
ekspresi provirus telah mengandung gen target yang akan digunakan untuk terapi serta
gen dari retrovirus itu sendiri.
Misra (2013) menyatakan terdapat kelemahan pada penggunaan retrovirus
sebagai vektor transfer dalam terapi gen. Kelemahan tersebut adalah adanya
kemungkinan penyisipan gen virus di fragmen genom manapun pada sel inang dimana
hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya mutasi apabila penyisipan gen virus
terjadi pada bagian tengah dari genom sel inang. Selain itu, penyisipan yang tidak
terkontrol letaknya dapat mengakibatkan tidak terkontrolnya pembelahan sel yang
terjadi sehingga dapat mengakibatkan kanker. Namun, beberapa solusi sudah
dipelajari untuk dapat meminimalisasi kelemahan vektor retrovirus tersebut.
Penambahan zinc finger nuclease ataupun penyertaan sekuen beta globin sebagai
lokus kontrol dapat memastikan terjadinya penyisipan dan inte-grasi materi genetik
pada sekuen yang tepat.

4 Adeno-associated virus (AAV)


Adeno-associated virus (AAV adalah virus yang tidak memiliki selubung
(envelop) (Gambar 9). Virus ini berukuran cukup kecil (25 nm) serta memiliki genom
berupa DNA untai tunggal yang linear. Infeksi AAV hanya akan efektif jika terdapat
virus pembantu (helper virus), baik adenovirus maupun herpesvirus (Schnödt et al.,
2016) AAV memiliki ukuran genom 4,7 Kbp serta memiliki gen rep dan cap. Gen
rep mengkode protein non struktural yang akan berperan dalam replikasi,
pengemasan, dan integrasi genom, sedangkan gen cap mengkode protein struktural
seperti VP1, VP2, dan VP3 yang akan bergabung membentuk kapsid virus yang
berperan dalam transfer gen (Santiago-Ortiz & Schaffer, 2016).
Gambar 8. Proses integrasi materi genetik retrovirus dengan inang (Saxena & Chitti,
2016)

Gambar 9. Struktur Adeno-associated virus (Abs, 2016)

Terapi gen dengan vektor AAV umumnya digunakan dalam terapi in situ karena
gen terintegrasi yang terdapat pada AAV rekombinan dapat langsung diinfeksikan
pada sel inang. Pada sel inang target, gen rekombinan dari vektor akan dirilis untuk
kemudian diekspresikan menjadi protein fungsional tertentu yang dapat mensubstitusi
gen yang abnormal pada sel tersebut. Dengan adanya ekspresi gen fungsional yang
telah disisipkan dengan vektor AAV (Gambar 10), penyakit akibat ketidaknormalan
gen dapat diobati.
Metode transfer gen melalui vektor virus memang sudah banyak dilakukan,
namun dalam terapi gen, metode ini masih memiliki beberapa kelemahan. Vektor
berupa virus dikhawatirkan kembali virulen saat berada di dalam tubuh pasien
sehingga justru dapat membahayakan kesehatan pasien. Pada 24 Juni 2010, Eureka
Network melakukan proyek yang dinamakan EUREKA project E! 3371 Gene
Transfer Agents yang meneliti mengenai senyawa turunan dari kation amfifilik 1,4-
dihidropiridin/1,4-DHP (cationic amphiphilic 1,4-dihydropyridin) yang dapat
digunakan sebagai pengantar gen normal ke dalam inti sel dan mengganti gen
sebelumnya yang rusak. Proyek ini memungkinkan adanya pengem- bangan vektor
nonviral untuk menyisipkan gen dalam terapi gen pada penyakit tertentu. Produk
vektor ini memiliki kelebihan yang dinilai potensial untuk dikembangkan, yaitu telah
siap untuk diproduksi dalam skala besar, lebih efektif dibanding senyawa organik
lain, serta dikarenakan karakteristiknya yang ber- beda dibanding vektor virus maka
resistensi kekebalan tubuh penerimanya dapat dihindari.
Adanya proyek ini memberikan alternatif lain dalam terapi gen, yaitu dengan
menggunakan vektor selain virus.

Gambar 10. Terapi gen dengan vektor AAV (Templeton, 2015)

Gambar 11. Beberapa penyakit yang dapat diberi perlakuan dengan terapi gen (Molina,
2013)
Aplikasi Terapi Gen
Terapi gen dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan terhadap penyakit
penyakit yang selama ini belum ditemukan obat maupun vaksinnya. Gambar 11
menunjukkan beberapa jenis penyakit yang diasumsikan dapat disembuhkan dengan
terapi gen. Penyakit-penyakit tersebut dapat diterapi apabila gen yang terkait dengan
munculnya penyakit telah berhasil diidentifikasi dan dapat ditemukan gen fungsional
yang dapat mensubstitusi gen yang abnormal tadi. Urutan pertama penyakit yang
diterapi gen adalah kanker. Beberapa jenis kanker terutama yang terkait dengan
abnormalitas suatu gen telah
berhasil diterapi dengan menyisipkan gen fungsional tertentu.

KESIMPULAN
Terapi gen merupakan metode peng- obatan terbaru yang dilakukan dengan
mentransfer atau menyisipkan gen fungsional tertentu yang dapat menggantikan
fungsi gen abnormal yang terkait dengan penyakit target. Penyakit-penyakit yang
selama ini belum di- temukan obat maupun vaksinnya dapat dicoba untuk diobati
dengan terapi gen. Terapi gen dapat mengatasi penyakit dengan mengidentifi- kasi gen
terkait terlebih dahulu. Terapi gen dapat dilakukan secara in vivo maupun ex vivo baik
menggunakan sel embrional maupun sel somatik. Transfer gen fungsional pada terapi
gen memanfaatkan vektor tertentu, baik berupa vektor virus, seperti adenovirus,
retrovirus, dan AAV maupun vektor non viral meng- gunakan senyawa-senyawa
organik tertentu. Hingga saat ini, penyakit yang banyak meng- gunakan terapi gen
sebagai salah satu alternatif pengobatannya adalah kanker. Keberhasilan terapi gen
sangat tergantung pada efisiensi transfer gen fungsional serta efektivitas ekspresi gen
fungsional tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Abs. (2016). Adeno-associated virus Introduction. Retrieved from
https://www.abmgood.com/marketing/kn
owledge_base/Adeno_Associated_Virus
_Introduction.php
Baldor. (2012). Gene therapy. Retrieved from
http://www.anthonybaldor.com/thoughts- and-notes/bioblog/gene-therapy/
Biomnis. (2016). Constitutional cyto and molecular genetics: Karyotyping, FISH and
CGH array. Retrieved from http:// www.Biomnis.com/wp_content/uploads/
2016/04/56-INTGB-Focus_Karyotyping
_SNP_ array.pdf.
Breyer, B., Jiang, W., Cheng, C., Paul, R., & He, T. (2001). Adenoviral vector-
mediated gene transfer for human gene therapy. Current Gene Therapy, 1, 1-20.
Chaterine. (2010). Human chromosomes and karyotype. Retrieved from http://genege
ek.ca/2010/11/human-chromosomes-and- karyotype/
Crystal, R. G. (2014). Adenovirus: the first effective in vivo gene delivery vector.
Human Gene Therapy, 25, 3-11.
Emengaha, F. C., Johnkennedy, N., Hope, O., Henry, A., & Ukamaka, E. (2015).
Gene therapy in the developing countries. International Journal of Medical
and Health Sciences Research, (2), 80-92.
Genetics Home Reference. (2017). The Human Genome Project. USA. Department
of Health & Human Services.
Imbert, M., Dias-Florencio, G., & Goyenvalle,
2 (2017). Viral vector-mediated antisense therapy for genetic diseases.
Genes, 8, 1-19.
Jackson, E. A. & Naber, J. (2017). The future is now: Are payers ready for gene
therapies? Retrieved from http://www.mi
lliman.com/uploadedFiles/insight/2017/2 383HDP_20170202.pdf.
Johnson, R. G. (2017). Will gene therapy and gene editing change your life?
Retrieved from http://www.lopc.org/wp-content/up loads/2017/03/Gene-
Therapy.pdf.
Kachroo, S., & Gowder, S. J. T. (2016). Gene therapy: An overview. Gene
Technology, 5, 1.
Kaufmann, K. B., Büning, H., Galy, A., Schambach, A., & Grez, M. (2013). Gene
therapy on the move. EMBO Molecular Medicine, 5, 1642-1661.
Mali, S. (2013). Delivery systems for gene therapy. Indian Journal of Human
Genetics, 19, 3-8.
Maurya, S. K., Srivastava, S., & Joshi, R. K., (2009). Retroviral vectors and gene
therapy: an update. Indian Journal of Biotechnology, 8, 349-357.
Miesfeld, R. L. (2000). Gene therapy. Retrieved from http://cbc.arizona.edu/cla
sses/bioc471/pages/Lecture24.html
Misra, S. (2013). Human gene therapy: a brief overview of the genetic revolution.
Journal of the Association of Physicians of India, 61, 41-47.
Molina, F. M. (2013). Gene Therapy: Tools and Potential Applications. Croatia.
InTech.
Moraes, F. & Góes, A., (2016). A decade of human genome project conclusion:
Scientific diffusion about our genome knowledge. Biochemistry and Molecular
Biology Education, 44, 215-223.
Nayerossadat, N., Maedeh, T., & Ali, P. A. (2012). Viral and nonviral delivery systems
for gene delivery. Advanced Biomedical Research, 1, 27.
Oregon National Primate Research. (2015). Germline engineering. Retrieved from
http://genetherapyinthefuture.weebly.co m/lab-techniques.html.
Santiago-Ortiz, J. L., & Schaffer, D. V. (2016). Adeno-associated virus (AAV) vectors
in cancer gene therapy. Journal of Controlled Release, 240, 287-301.
Saxena, S. K., & Chitti, S. V. 2016. Molecular Biology and Pathogenesis of
Retroviruses. Retrieved from http://
www.intechopen.com/books/advances- in-molecular-retrovirology/molecular-
biology-and-pathogenesis-of-retroviruses
Schnödt, M., Schmeer, M., Kracher, B., Krüsemann, C., Espinosa, L. E., Grünert, A.
Büning, H. (2016). DNA minicircle technology improves purity of adeno-
associated viral vector pre- parations. Official Journal of the American Society
of Gene and Cell Therapy, 5, 1-11.
Singh, S. P., Rai, K. A., Wal, P., Wal, A.,
Parveen, A., & Gupta, C. (2016). Gene therapy: recent development in the
treatment of various diseases. Interna- tional Journal of Pharmaceutical,
Chemical, and Biological Sciences, 6, 205-214.
Smith, J. E. (2009). Biotechnology. Fifth Edition. UK. Cambridge University Press.
Templeton, G. (2015). What is gene therapy? Retrieved from
http://www.extremetech. com/extreme/212956-wgat-is-gene-thera py/
US National Institute of Health. (2016). Discovery of key component of HIV
virus yields new drug target. Retrieved from http://medicalxpress.com/news/20
16-08-discovery-key-component-hiv-vir us.html.
Vargas, J. E., Chicaybam, L., Stein, R. T., Tanuri, A., Delgado-Caňedo, A., &
Bonamino, M. H. (2016). Retroviral vectors and transposons for stable gene
therapy: advances, current challenges and perspectives. Journal of
Translational Medicine, 14, 1-15.
Viswanathan, S., Srinivasan, P., & Prabhu. P. (2015). Adenovirus in gene therapy-a
review. Bioengineering and Bioscience, 3, 1-5.
Wang, L., Li, F., Dang, L., Liang, C., Wang,
C., He, B., Liu, J., Li, D., Wu, X., Xu,
X., Lu, A., & Zhang, G. (2016). In vivo delivery systems for therapeutic
genome editing. International Journal of Molecular Sciences, 17, 1-19.
Waye, M. M. Y., & Sing, C. W. (2010). Anti-
viral drugs for human adenoviruses.
Pharmaceuticals, 3, 3343-3354.
Winnacker, E. (2006). Development of Gene Therapy. Bonn. Wiley-VCH.
Wirth, T., & Ylä-Herttuala, S. (2014). Gene therapy used in cancer treatment.
Biomedicines, 2, 149-162.
DASAR TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN
Molekul DNA merupakan materi genetik yang menentukan sifat suatu
organisme, dan sel bakteri dapat menerima DNA asing secara spontan, beberapa
peneliti segera melakukan penelitian untuk melakukan manipulasi terhadap sifat-
sifat genetik dari beberapa jenis sel. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
memasukkan DNA asing kedalam sel bakteri, sel jamur, sel tanaman dan sel hewan.
Namun demikian, pada tahap pertama manipulasi tersebut banyak yang mengalami
kegagalan. Hal ini disebabkan karena hanya sedikit spesies bakteri yang dapat
menerima DNA secara spontan. Sebagian besar spesies bakteri, sel hewan dan sel
tanaman tidak dapat menerima DNA asing secara spontan. Selain itu DNA asing
yang telah berhasil masuk ke dalam sel hanya mampu bertahan apabila dapat
bereplikasi secara otonom, atau dapat terintegrasi kedalam kromosom hospesnya.
Umumnya DNA asing yang masuk kedalam DNA kromosom akan segera
didegradasi oleh enzim nuklease yang terdapat pada sel hospes. (Radji, M., 2011)
Modifikasi genetik suatu organisme baru bisa dilakukan sejalan dengan
penemuan dan pengembangan berbagai teknik dalam biologi molekuler. Antara lain
teknik isolasi dan pemurnian DNA, penemuan enzim restriksi endonuklease, enzim
DNA polimerase dan DNA ligase, penemuan DNA plasmid dan teknik transfer
DNA, teknik deteksi DNA, teknik pemetaan gen, dan teknik kultivasi. (Radji, M.,
2011)

2.1 ISOLASI DAN PURIFIKASI DNA GENOM DAN PLASMID


2.1.1 Isolasi dan Purifikasi DNA Genom
Molekul DNA yang sering digunakan dalam teknologi DNA rekombinan adalah
DNA plasmid dan DNA genom yang berasal dari sel bakteri. Pada dasarnya isolasi
DNA genom total dari sel bakteri terdiri dari beberapa tahap yaitu:
1. Kultivasi sel dalam media yang sesuai
2. Pemecahan dinding sel
3. Ekstraksi DNA genom
4. Purifikasi DNA

Pemecahan dinding sel bakteri dilakukan secara fisik misalnya dengan cara
sonikasi, maupun dengan cara kimia yaitu dengan menggunakan enzim lisozim,
etilen diamin tetra asetat (EDTA), atau kombinasi dari keduanya. Pada kondisi
tertentu pemecahan dinding sel cukup dilakukan dengan lisozim dan EDTA, akan
tetapi sering ditambahkan bahan lain yang dapat melisiskan dinding sel antara lain
deterjen triton X-100 atau sodium dedosil sulfat (SDS). Setelah sel mengalami lisis,
tahap selanjutnya adalah memisahkan debris sel dengan cara sentrifugasi. Komponen
sel yang tidak larut diendapkan dengan sentrifugasi sehingga meninggalkan ekstrak
sel dalam supernatan yang jernih. (Radji, M., 2011; Thermo Scientific, 2009)
Tahap akhir dari isolasi DNA adalah proses pemurnian DNA. Disamping
DNA, ekstrak sel mengandung protein dan RNA dalam jumlah yang cukup besar.
Umumnya cara pemurnian DNA dilakukan dengan penambahan larutan fenol atau
campuran fenol dan kloroform dengan perbandingan 1:1, untuk mengendapkan
protein dengan cara di sentrifugasikan dan dihancurkan secara enzimatis dengan
proteinase. DNA yang telah dibersihkan dari protein masih tercampur dengan RNA
sehingga perlu ditambahkan RNAse untuk membersihkan DNA dari RNA. Molekul
DNA yang telah diisolasi tersebut kemudian dimurnikan dengan cara “presipitasi
etanol”. Dengan adanya larutan garam (kation monovalen seperti Na+), pada suhu
-20oC etanol absolut dapat mengendapkan DNA dengan baik sehingga mudah
dipisahkan dengan cara sentrifugasi. (Radji, M., 2011; Thermo Scientific, 2009)
Pada isolasi dan purifikasi DNA sel total yang berasal dari sel eukariot,
misalnya sel tanaman atau sel hewan, walaupun pada dasarnya tahapan isolasi dan
purifikasinya sama, namun memerlukan suatu modifikasi cara isolasi sehubungan
dengan sifat-sifat khusus dari sel yang digunakan. Modifikasi yang sering dilakukan
adalah pada proses pemecahan sel eukariot. Senyawa kimia yang digunakan untuk
memecah sel bakteri tidak selalu dapat digunakan untuk memecah sel tanaman
maupun sel hewan. Untuk memecah sel tanaman dibutuhkan ezim-enzim degeneratif
yang spesifik dan sering dikombinasi dengan cara pemecahan dinding sel secara
fisik antara lain menggunakan butiran-butiran gelas. Sedangkan untuk mengisolasi
DNA total dari sel hewan yang tidak memiliki dinding sel

umumnya hanya digunakan deterjen untuk memecah membran sel dan membran
nukleusnya. (Radji, M., 2011)

2.1.2 Isolasi dan Purifikasi DNA Plasmid


Isolasi dan purifikasi DNA plasmid dari sel bakteri pada dasarnya sama dengan cara
isolasi DNA genom. Sel bakteri yang mengandung DNA plasmid dibiakkan dan
dipanen. Sel bakteri dilisiskan dengan penambahan deterjen dan enzim lisozim,
kemudian disentrifugasi untuk memisahkan debris sel dengan ekstrak sel. Proses
selanjutnya adalah memisahkan protein dan RNA dari DNA plasmid. Namun
demikian terdapat perbedaan penting dalam isolasi DNA plasmid dengan isolasi
DNA genom. Isolasi DNA plasmid memperhatikan keberadaan DNA genom yang
berasal dari sel bakteri. Pemisahan antara DNA plasmid dengan DNA genom sangat
penting untuk dilakukan apabila DNA plasmid akan digunakan sebagai vektor
kloning. Adanya sedikit kontaminasi DNA genom bakteri dalam jumlah kecil pun
dapat mempengaruhi keberhasilan kloning DNA. (Radji, M., 2011; Thermo
Scientific, 2009)
Beberapa cara untuk menghilangkan DNA genom pada pemurnian DNA
plasmid telah banyak dikembangkan. Cara pemisahan DNA plasmid dengan DNA
genom pada prinsipnya berdasarkan ukuran dan konformasinya. Ukuran DNA
plasmid sangat kecil bila dibandingkan dengan ukuran DNA genom. Ukuran DNA
plasmid yang terbesar, kurang dari 8% ukuran DNA genom bakteri, dan sebagaian
besar DNA plasmid berukuran lebih kecil daripada ukuran tersebut. Dengan
demikian teknik yang dapat memisahkan molekul DNA yang kecil dengan DNA
yang berukuran besar akan sangat efektif untuk memisahkan DNA plasmid. (Radji,
M., 2011)
Saah satu cara yang lazim digunakan untuk memisahkan DNA plasmid
dengan DNA genom adalah dengan menggunakan cara sentrifugasi gradient
densitas. Teknik sentrifugasi gradient densitas etidium bromida sesium klorida, yang
berkecepatan tinggi, merupakan cara yang sangat efektif untuk memperoleh DNA
plasmid murni. Dengan teknik tersebut DNA plasmid akan membentuk pita pada
titik tertentu yang terpisah dengan pita genom, dimana protein akan mengapung pada
permukaan gradient, dan RNA akan berada pada dasar tabung. Posisi pita-pita DNA
dalam tabung bisa terlihat melalui pendaran etidium bromida yang disinari dengan
ultra violet. DNA plasmid dapat diambil dengan menusukkan jarum suntik pada
dinding tabung dimana pita DNA plasmid terlihat dan menyedotnya. Sedangkan
etidium bromida yang terikat pada DNA plasmid dapat diekstraksi dengan n-butanol,
dan CsCl dihilangkan dengan cara dialisis. Teknik pemisahan ini dapat memperoleh
DNA plasmid murni yang dapat digunakan sebagai vektor kloning. (Radji, M., 2011)

2.2 ENZIM ENDONUKLEASE RESTRIKSI


Pada tahun 1960-an, enzim andonuklease restriksi ditemukan oleh Werner Arber dan
Hamilton Smith, yang diisolasi dari mokroorganisme. Secara alamiah bakteri
menghasilkan enzim endonuklease untuk mempertahankan dirinya dari keberadaan
DNA asing yang masuk kedalam sel bakteri. Jika ada DNA asing masuk kedalam sel
bakteri melalui proses transfer genetik yang terjadi secara alamiah, misalnya virus
bakteriofag, maka akan mempertahankan dirinya dari keberadaan DNA asing
tersebut, sel bakteri melepaskan enzim endonuklease yang dapat memotong DNA
asing pada situs yang sangat spesifik dan restriktif. Oleh sebab itu enzim tersebut
dikenal dengan nama “enzim endonuklease restriksi”. (Radji, M., 2011; )
Enzim endonuklease restriksi yang sangat selektif dalam memotong untai
DNA sangat bermanfaat bila diaplikasikan pada teknologi DNA rekombinan. Setiap
enzim mengalami rangkaian 4-8 pasang basa tertentu yang terdapat dalam untai
DNA. Bagian atas situs pada molekul DNA yang dikenali oleh enzim endonuklease
restriksi dikenal sebagai situs pemotongan enzim. Rangkaian-rangkaian situs
pemotongan DNA oleh enzim ini apabila terdapat dalam genom bakteri itu sendiri,
biasanya dilindungi dengan adanya gugus metil pada residu basa adenine (A) dan
sitosin (C), sehingga tidak dapat dipotong oleh enzim endonuklease yang dihasilkan
oleh bakteri sendiri. Setiap enzim endonuklease restriksi memiliki situs pengenalan
pemotongan yang berbeda dan sangat spesifik. (Radji, M., 2011)
Enzim endonuklease restriksi yang berbeda, memiliki situs pemotongan yang
berbeda, namun ada beberapa jenis enzim endonuklease restriksi yang diisolasi dari
sumber yang berbeda memiliki situs pemotongan yang sama. Enzim-enzim
endonuklease restriksi yang memiliki situs pemotongan yang sama disebut
isochizomer. (Radji, M., 2011)
Sekuens basa DNA pada situs pemotongan memiliki urutan basa yang sama
pada untai DNA heliks ganda, yang dikenal dengan sekuens palindromik. Misalnya
enzim EcoRI, yang diisolasi pertama kali oleh Herbert Boyer pada tahun 1969 dari
Escherichia coli yang memotong DNA pada bagian antara basa G dan A pada
sekuens GAATTC. Hasil pemotongan enzim endonuklease restriksi ada dua macam
yaitu menghasilkan ujung tumpul (blunt) dan ujung lengket (sticky) atau kohesif.
(Radji, M., 2011)
Enzim yang memotong molekul DNA heliks ganda tidak berhadapan
langsung, tetapi selisih 2-4 basa menghasilkan potongan dengan ujung lengket,
sedangkan enzim yang memotong pada tempat yang berhadapan menghasilkan
ujung tumpul. (Radji, M., 2011)

Gambar 2.1. Situs pemutusan DNA oleh enzin restriksi endonuklease

Pada gambar dibawah dapat dilihat misalnya enzim restriksi


EcoRI,memotong molekul DNA pada urutan heksa-nukleotida 5’—GAATTC—3’
pada posisi antara basa G dan A. demikian pula pada urutan polindromiknya 3’—
CTTAAG—5’ enzim EcoRI, juga memotong pada posisi antara basa A dan G.
dengan demikian molekul DNA heliks ganda yang terpotong oleh enzim EcoRI,
menghasilkan fragmen restriksi dengan kedia ujung yang lengket.
Gambar 2.2. Situs pemutusan DNA oleh enzim restriksi endonuklease EcoRI

Beberapa jenis enzim antara lain misalnya AluI menghasilkan fragmen restriksi
Yang tumpul kerena memotong DNA heliks ganda tepat ditengah antara basa C dan
G. dewasa ini banyak enzim endonuklease restriksi yang telah dimurnikan dan
diproduksi secara komersial yang dapat mengenali sekuens nukleotida yang
berlainan.

2.2.1 Perkiraan Pemotongan


Panjang dari sekuens pengenalan memengaruhi seringnya enzim restriksi memotong
DNA dalam ukuran tertentu. Misalnya pada enzim yang memiliki panjang 4 basa,
enzim ini diperkirakan akan memotong setiap 256 nukleotida. Perhitungan tersebut
diperoleh dengan mengasumsikan setiap basa mempunyai kemungkinan yang sama
untuk muncul, yaitu sebesar 1/4 (kemungkinan muncul 1 dari 4 basa). Jadi jika
sekuen pengenalan mempunyai panjang 6 basa, maka perhitungannya menjadi: (1/4)6
= 1/4096. Perhitungan ini hanya sebagai perkiraan, pada kenyataannya belum tentu
demikian. Beberapa sekuen bisa jadi lebih sering atau lebih jarang ditemui dalam
suatu organisme. Seperti pada mamalia, sekuen CG sangat jarang ditemui sehingga
enzim HpaII yang mempunyai sekuen pengenalan CCGG akan lebih jarang
memotong pada DNA mamalia. (Metzenberg, S., 2002)
Enzim restriksi yang mempunyai sekuen pengenalan yang pendek akan
menghasilkan banyak potongan DNA; sedangkan jika mempunyai sekuen
pengenalan yang panjang, akan dihasilkan potongan DNA yang lebih sedikit. Baik
enzim yang mempunyai sekuen pemotongan pendek maupun panjang, mempunyai
fungsi masing-masing dalam rekayasa genetika. (Metzenberg, S., 2002)
Beberapa enzim yang sering digunakan dalam laboratorium dibagi menjadi
tiga berdasarkan perkiraan pemotongan:
1. 6-cutters
Ezim restriksi yang tergolong dalam 6-cutters memiliki situs pemotongan
yang spesifik pada 6 nukleotida. Ezim ini cocok digunakan untuk
pekerjaan kloning sehari- hari karena enzim ini sering memotong satu atau
dua situs pada plasmid, namun jarang memotong bagian penting seperti
titik asal replikasi (origin of replication) atau gen resisten ampisilin.
Contoh enzim 6-cutters adalah HindIII (A↓AGCTT) yang memotong
genom bakteriofage λ (48 kbp) pada 7 situs. (Metzenberg, S., 2002)
2. 8-cutters
Enzim restriksi ini mempunyai situs pengenalan sepanjang 8 nukleotida;
cocok digunakan untuk membentuk kromosom menjadi potongan-
potongan yang spesifik dalam ukuran yang besar. Sebagai contoh: PacI
(enzim 8-cutters) memotong-motong kromosom E. coli menjadi 20
bagian, sedangkan BamHI (enzim 6-cutters) memotong

sekitar 300 bagian. Jika langsung menggunakan enzim 6-cutters, maka


fragmen yang dihasilkan terlalu kecil dan banyak. Untuk itu digunakan
enzim 8-cutters terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan enzim 6-cutters. (Metzenberg, S., 2002)
3. 4-cutters
Enzim restriksi ini cocok untuk percobaan yang menginginkan
pemotongan pada beberapa situs yang potensial. Contohnya: jika ingin
mengumpulkan fragmen DNA secara acak, dan pada potongan tersebut
terdapat gen yang diinginkan; dapat dilakukan digestsi parsial (partial
digestion) menggunakan enzim 4-cutters. (Metzenberg, S., 2002)

2.2.2 Penamaan Enzim Restriksi


Pada dasarnya, penamaan enzim restriksi diambil dari nama bakteri yang
menghasilkan enzim tersebut (Sasnaukas, G., et al., 2007). Seperti contohnya enzim
EcoRI yang memiliki pola:
Kependekan Kepanjangan Deskripsi
E Escherichia genus
co coli species
R RY13 strain
I Urutan penemuan Urutan enzim yang ditemukan pada bakteri

2.2.3 Jenis-jenis Enzim Restriksi


Enzim restriksi secara tradisional dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan komposisi subunit,
posisi pemotongan, spesifisitas sekuens dan kofaktor yang diperlukan:
1. Enzim restriksi tipe I
Enzim restriksi ini kompleks dengan multisubunit, memotong DNA secara
acak dan jauh dari sekuens pengenalannya. Pada awalnya enzim ini dikira
langka; tapi setelah analisis sekuens genom, enzim ini ternyata umum.
Enzim restriksi tipe I ini memiliki pengaruh besar dalam biokimia, namun
mempunyai nilai ekonomis yang rendah karena tidak dapat menghasilkan
potongan fragmen DNA yang diinginkan sehingga tidak diproduksi.
(Sasnaukas, G., et al., 2007)
2. Enzim restriksi tipe II
Enzim ini memotong DNA dekat atau pada situs pengenalan. Enzim ini
menghasilkan fragmen-fragmen sesuai dengan yang diinginkan sehingga
biasa digunakan untuk

analisis DNA dan kloning gen. Enzim tipe II yang umum digunakan
adalah HhaI, HindIII, EcoRI, dan NotI; dan enzim-enzim tersebut tersedia
secara komersil. Enzim ini tergolong kecil dengan subunit yang memiliki
200-350 asam amino dan memerlukan Mg2+ sebagi kofaktor. Selanjutnya
enzim jenis tipe II yang umum, biasanya digolongkan sebagai tipe IIs,
adalah FokI dan AlwI. Enzim ini memotong diluar situs pengenalan,
berukuran sedang, 400-650 asam amino, dan memiliki 2 domain khusus.
Domain pertama untuk berikatan dengan DNA, sedangkan domain yang
satunya untuk memotong DNA. (Rinehart, C.A., 2005; Sasnaukas, G., et
al., 2007)
3. Enzim restriksi tipe III
Enzim restriksi tipe II ini merupakan enzim restriksi yang tidak digunakan
dalam laboratorium. Hal ini dikarenakan enzim ini memotong di luar situs
pengenalan dan membutuhkan dua sekuen dengan orientasi berlawanan
pada DNA yang sama untuk menyelesaikan pemotongan sehingga enzim
ini jarang menghasilkan potongan sempurna. (Rinehart, C.A., 2005;
Sasnaukas, G., et al., 2007)

2.2.4 Keadaan Restriksi


Enzim restriksi pada umumnya bekerja pada pH 7,4; suhu 37°C; dan memerlukan
bermacam- macam kekuatan ionik, tergantung dari jenis enzimnya. Akan tetapi,
beberapa enzim memerlukan optimasi khusus agar proses restriksi berjalan dengan
baik. Dalam larutan stok, enzim restriksi biasanya dikemas bersama dengan 10X
larutan penyangga reaksi yang telah dioptimasi. (Rinehart, C.A., 2005)
Buffer reaksi dapat digolongkan menjadi empat jenis berdasarkan kekuatan
ionik-nya:
1. 0 mM NaCl = low salt buffer (L)
2. 50 mM NaCl = medium salt buffer (M)
3. 100 mM NaCl = hi salt buffer (H)
4. 150 mM NaCl = very high salt buffer (VH)

Ketika melakukan digesti dengan 2 atau lebih enzim restriksi yang berbeda
buffer reaksinya, perlu dilihat rujukan tabel aktivitas enzim tersebut pada buffer
reaksi tertentu. Misalnya: reaksi digesti dilakukan dengan menggunakan EcoRI
(garam tinggi) dan HpaII (garam rendah, KCl). Setelah dilihat pada tabel, kedua
enzim aktif pada keadaan garam sedang. Oleh karena itu, digunakan buffer reaksi
dengan konsentrasi KCl sedang. Buffer
reaksi yang digunakan adalah KCl karena HpaII memerlukan KCl, bukan NaCl;
sedangkan EcoRI dapat menggunakan kedua garam tersebut. Kondisi optimal ketika
melakukan proses digesti sangat penting. Karena jika kondisi optimal tidak tercapai,
enzim akan memotong secara tidak normal. Contohnya: EcoRI pada buffer reaksi
dengan konsentrasi garam rendah tidak hanya memotong pada situs pengenalan
normal G↓AAATTC, namun akan juga memotong situs pengenalan ↓AATT.
Aktifitas seperti ini dinamakan star activity. (Rinehart, C.A., 2005)
Setelah proses inkubasi selesai, reaksi digesti enzim dapat dihentikan dengan
menambahkan EDTA. Penambahan EDTA akan mengkelat ion logam; dalam reaksi
ini ion logam yang dikelat adalah Mg2+. Untuk beberapa tipe enzim lainnya,
inaktivasi dapat dihentikan dengan cara pemanasan; menggunakan pendenaturasi
protein, contohnya fenol atau kloroform; atau memisahkan enzim dari DNA
menggunakan kolom kromatografi. (Rinehart, C.A., 2005)

3.3 BIOTRANSPORT / VEKTOR KLONING


Vektor adalah molekul DNA yang berfungsi sebagai wahana atau kendaraan yang
akan membawa suatu fragmen DNA masuk ke dalam sel inang dan memungkinkan
terjadinya replikasi dan ekspresi DNA asing tersebut. Vektor yang dapat digunakan
pada sel inang prokariot, khususnya E.coli, adalah plasmid, bakteriofag, kosmid dan
fosmid. Sementara itu vektor YACs dan YEps dapat digunakan pada khamir. Plasmid
Ti, baculovirus, SV40 dan retrovirus merupakan vektor-vektor yang dapat digunakan
pada sel eukariot tingkat tinggi.
Vektor kloning DNA terdiri dari beberapa tipe antara lain adalah DNA
plasmid berupa DNA heliks ganda sirkuler yang dapat bereplikasi secara otonom,
karena memiliki titik awal replikasi (origin of replication = ORI) sendiri.

3.3.1 Plasmid
Secara umum plasmid dapat didefinisikan sebagai molekul DNA sirkuler untai ganda
di luar kromosom yang dapat melakukan replikasi sendiri. Plasmid tersebar luar
diantara organisme prokariot dengan ukuran yang bervariasi dari sekitar 1 kb hingga
lebih dari 250 kb (1 kb = 1000 pb).
Agar dapat digunakan sebagai vektor kloning, plasmid harus memenuhi syarat-
syarat berikut ini:

1. Mempunyai ukuran relative kecil bila dibandingkan dengan pori dinding


sel sebingga dapat dengan mudah melintasinya.
2. Mempunyai sekurang-kurangnya dua gen marker yang dapat menandai
msuk tidaknya plasmid ke dalam sel inang.
3. Mempunyai tempat pengenalan restriksi sekurang-kurangnya didalam
salah satu marker yang dapat digunakan sebagai tempat penyisipan
fragmen DNA.

4. Mempunyai titik awal replikasi (ori) sehingga dapat melakukan replikasi


di dalam sel inang.
5.

Gambar 2.3. Struktur plasmid


3.3.2 Virus λ Bakteriofag
Bakteriofag adalah virus yang sel inangnya berupa bakteri. Dengan daur hidupnya
yang bersifat litik atau lisogenik bakteriofag dapat digunakan sebagai vektor kloning
pada sel inang bakteri. Ada beberapa macam bakteriofag yang biasa digunakan
sebagai vektor kloning, diantaranya adalah bakteriofag λ dan M13.

3.3.3 Bakteriofag λ
Bakteriofag atau fag λ merupakan virus kompleks yang menginfeksi bakteri E. coli.
Berkat pengetahuan yang memadai tentang fag ini, kita dapat memanfaatkannya
sebagai vektor kloning semenjak masa-masa awal perkembangan rekayasa genetika.
DNA λ yang diisolasi dari partikel fag ini mempunyai konformasi linier untai ganda
dengan panjang 48,5 kb. Namun masing-masing ujung fosfatnya barupa untai
tunggal sepanjang 12 pb yang komplementer satu sama lain sehingga
memungkinkan DNA λ untuk berubah konformasinya

menjadi sirkuler. Dalam bentuk sirkulet, tempat bergabungnya kedua untai tunggal
sepanjang 12 pb tersebut dinamakan kos.
Seluruh untai basa DNA λ telah diketahui. Secara alamiah terdapat lebih dari
satu tempat pengenalan restriksi untuk setiap enzim restriksi yang biasa digunakan.
Oleh karena itu, DNA λ tipe alami tidak cocok untuk digunakan sebagai vektor
kloning. Akan tetapi saat ini telah banyak dikonstruksi derivat-derivat DNA λ yang
memenuhi syarat sebagai vektor kloning. Ada dua macam vektor kloning yang
berasal dari DNA λ, yaitu vektor insersional dan vektor substitusi. Vektor insersional
adalah vektor yang dnegan mudah dapat disisipi oleh fragmen DNA asing.
Sedangkan vektor substitusi adalah vektor yang untuk membawa fragmen DNA
asing sebagian atau seluruh urutan basanya yang terdapat didaerah non- esensial dan
menggantinya dengan urutan basa fragmen DNA asing tersebut.
Diantara kedua masam vektor λ tersebut, vektor substitusi lebih banyak
digunakan karena kemampuannya untuk membawa fragmen DNA asing hingga 23
kb. Salah satu contohnya adalah WES, yang mempunyai mutasi pada tiga gen
esensial, yaitu W, E, dan S. vektor ini hanya dapat digunakan pada sel inang yang
dapat menekan mutasi tersebut.
Cara substitusi fragmen DNA asing pada daerah non-esensial membutuhkan
dua tempat pengenalan restriksi untuk setiap enzim restriksi. Jika suatu enzim
restriksi memotong daerah nonesensial di dua tempat berbeda, maka segmen DNA λ
di antara kedua tempat tersebut akan dibuang untuk selanjutnya digantikan oleh
fragmen DNA asing. Jika pembuatan segmen DNA λ tidak diikuti oleh subastitusi
fragmen DNA asing maka akan terjadi religasi vektor DNA λ yang kehilangan
segmen pada daerah nonesensial. Vektor religasi semacam ini tidak akan mampu
bertahan di dalam sel inang. Dengan demikian, ada suatu mekanisme seleksi
otomatis yang akan membedakan antara sel inang dengan vektor rekombinan dan sel
inang dengan vektor religasi.
Bakteriofag λ mempunyai dua fase daur hidup, yaitu fase litik dan fase
lisogenik. Pada fase litik, transfeksi sel inang (istilah trasnsformasi untuk DNA fag)
dimulai dengan masuknya DNA λ yang berubah konformasinya menjadi sirkuler dan
mengalami replikasi secara indenpenden atau tidak bergantung kepada kromosom sel
inang. Setelah replikasi menghasilkan sejumlah salinan DNA λ sirkuler, masing-
masing DNA ini akan melakukan transkripsi dan translasim membentuk protein
kapsid (kepala). Selanjutnya, tiap DNA akan dikemas dalam kapsid sehingga
menghasilkan partikel λ baru yang akan keluar dari sel inang untuk menginfeksi sel
inang lainnya. Sementara itu, pada fase lisogenik DNA λ akan

terintegrasi kedalam kromosom sel inang sehingga replikasinya bergantung kepada


kromosom sel inang. Fase lisogenik tidak menimbulkan lisis pada sel inang.
Didalam medium kultur, sel inang yang mengalami lisis akan membentuk
plak berupa daerah bening diantara koloni-koloni sel inang yang tumbuh. Oleh
karena itu, seleksi vektor rekombinan dapat dilakukan dengan melihat terbentuknya
plak tersebut.

3.3.4 Bakteriofag M13


Ada jenis bakteri lain yang dapat menginfeksi bakteri E.coli. berbeda dengan λ yang
mempunyai struktur ikosahedral berekor, fag jenis kedua ini mempunyai struktur
berupa filament. Contoh yang paling penting adalah M13, yang mempunyai genom
berupa untai tunggal DNA sirkuler sepanjang 6.408 basa. Infeksinya pada sel inang
berlangsung melaui pili, suatu penonjolan pada permukaan sitoplasma.
Ketika berada didalam sel inang genom M13 berubah menjadi untai ganda
sirkuler yang dengan cepat akan bereplikasi menghasilkan sekitar 100 salinan.
Salinan-salinan ini membentuk untai tunggal sirkuler baru yang kemudian bergerak
ke permukaan sel inang. Dengan cara seperti ini DNA M13 akan terselubungi oleh
membran dan keluar dari sel inang menjadi partikel fag yang infektif tanpa
menyebabkan lisis. Oleh karena fag M13 terselubungi denngan cara pembentukan
kuncup pada membrane sel inang, maka tidak ada batas ukuran DNA asing yang
dapat disisipkan kepadanya. Inilah salah satu keuntungan penggunaan M13 sebagai
vektor kloning bila dibandingkan dengan plasmid dan λ. Keuntungan lainnya adalah
bahwa M13 dapat digunakan untuk sekuensing (penentuan urutan basa) DNA
mutagenesis tapak terarah (site directed mutagenesis) karena untai tunggal DNA
M13 dapat dijadikan cetakan (template) didalam kedua proses tersebut.
Meskipun demikian, M13 hanya mempunyai sedikit sekali daerah pada
DNA-nya yang dpat disisipi oleh DNA asing. Disamping itu tempat pengenalan
restriksinyapun sangat sedikit. Namun sejumlah derivat M13 telah dikonstruksi
untuk mengatasi masalah tersebut.

3.3.5 Cosmid
Kosmid merupakan vektor yang dikonstruksi dengan menggunakan kos dari DNA
lamdha dengan plasmid. Kemampuannya untuk membawa fragmen DNA sepanjang
32 hingga 47 kb menjadikan kosmid lebih menguntungkan daripada fag λ dan
plasmid.

3.3.6 Fasmid
Selain kosmid, ada kelompok vektor sintetik yang merupakan gabungan antara
plasmid dan fag λ. Vektor yang dinamakan fasmid ini membawa segmen DNA λ
yang berisi tempat att. Tempat att digunakan oleh DNA λ untuk berintegrasi dengan
kromosom sel inang pada sel lisogenik.
3.3.7 Vektor YACs
Seperti halnya kosmid YACs (yeast artificial chromosomes atau kromosom buatan
dari khamir) dikonstruksi dengan menggabungkan antara DNA plasmid dan segmen
tertentu DNA kromosom khamir. Segmen kromosom khamir yang digunakan terdiri
dari sekuens telomere, sentromer, dan titik awal replikasi.
YACs dapat membawa fragmen DNA genomic sepanjang lebih dari 1 Mb.
Oleh karena itu, YACs dapat digunakanuntuk menggklon gen utuh manusia,
misalnya gen penyandi cystic fibrosis yang panjangnya 250 kb. Dengan
kemampuannya itu YACs sangat berguna dalam pemetaan genom manusia seperti
pada proyek pemetaan genom manusia.

3.3.8 Vektor YEps


Vektor-vektor untuk keperluan kloning dan ekspresi gen pada Saccharomyces
cereviceae dirancang atas dasar plasmid alami berukuran 2 µm, yang selanjutnya
dikenal dengan plasmid 2 mikron. Plasmid ini memiliki sekuens DNA sepanjang 6
kb, yang mencakup titik awal replikasi dan dua gen yang terllibat dalam replikasi.
Vektor-vektor yang dirancang atas dasar plasmid 2 mikron disebut YEps
(yeast episomal plasmids). Segmen plasmid 2 mikronnya membawa titik awal
replikasi, sedangkan segmen kromosom khamirnya membawa suatu gen yang
berfungsi sebagai penanda seleksi, misalnya gen LEU2 yang terlibat dalam
biosintesis leusin. Meskipun biasanya bereplikasi seperti plasmid pada umumnya,
YEps dapat terintegrasi kedalam kromosom khamir inangnya.

3.3.9 Plasmid Ti Agrobacterium tumefaciens


Sel-sel tumbuhan tidak mengandung plasmid alami yang dapat digunakan sebagai
vektor kloning. Akan tetapi, ada suatu bakteri, yaitu Agrobacterium tumefaciens,
yang membawa plasmid berukuran 200 kb dan disebut plasmid Ti (tumor inducing
atau penyebab tumor). bakteri A. tumefaciens dapat menginfeksi tanaman dikotil
seperti tomat dan tambakau serta tanaman monokotil, khususnya padi. Ketika infeksi
berlangsung bagian tertenntu plasmid Ti,

yang disebut T-DNA, akan terintegrasi kedalam DNA kromosom tanaman,


mengakibatkan terjadinya pertumbuhan sel-sel tanaman yang tidak terkendali.
Akibatnya akan terbentuk tumor atau crown gall.
Plasmid Ti rekombinan dengan suatu gen target yang disisipkan pada daerah
T-DNA dapat mengintergrasikan gen tersebut kedalam DNA tanaman.
Dalam prakteknya, ukuran plasmid Ti yang begitu besar sangatt sulit untuk
dimanipulasi. Namun ternyata apabila bagian T-DNA dipisahkan dari bagian-bagian
lain plasmid Ti, integrasi dengan DNA tanaman masih dapat asalkan T-DNA dan
bagian lainnya tersebut masih berada didalam satu sel bakteri A. tumefaciens.
Dengan demikian, manipulasi atau penyisipan fragmen DNA asing hanya dilakukan
pada T-DNA dengan cara seperti halnya yang dilakukan pada plasmid E. coli.
Selanjutnya, plasmid T-DNA rekombinan yang dihasilkan ditrasnformasikan ke
dalam sel A. tumefaciens yang membawa plasmid Ti tanpa bagian T-DNA. Perbaikan
prosedur berikutnya adalah pembuangan gen-gen pembentuk tumor yang terdapat
pada T-DNA.

3.3.10 Baculovirus
Baculovirus merupakan virus yang menginfeksi serangga, salah satu protein penting
yang disandi oleh genom virus ini adalah polihedrin, yang akan terakumulasi dalam
jumlah sangat besar didalam nuclei sel-sel serangga yang diinfeksi karena gen
tersebut mempunyai promote yang sangat aktif. Promoter ini dapat digunakan untuk
memacu overekspresi gen-gen asing yang diklon ke dalam genom baculovirus
sehingga akan diperoleh produk protein yang sangat banyak jumlahnya di dalam
kultur sel-sel serangga yang terinfeksi.

3.3.11 Vektor Kloning pada Manusia


Vektor untuk melakukan kloning pada sel-sel mamalia juga dikonstruksi atas dasar
genom virus. Salah satu diantaranya yang telah cukup lama dikenal adalah SV40,
yang menginfeksi berbagai spesies mamalia. Genom SV40 panjangnya hanya 5,2 kb.
Genom ini mengalami kesulitan dalam pengepakan sehingga pemanfaatan SV40
untuk mentransfer fragmen- fragmen besar menjadi terbatas.
Vektor lainnya adalah Retrovirus, mempunyai genom berupa RNA untai
tungaal yang ditranskripsi balik menjad DNA untai ganda setelah terjadi infeksi.
DNA ini kemudian terintegrasi dengan stabil ke dalam genom sel mamalia inang
sehingga retrovirus telah

digunakan sebagai vektor dalam terapi gen. Retrovirus mempunyai beberapa


promoter yang kuat.

4.4 TRANSFER DNA


Transfer molekul DNA rekombinan ke dalam sel merupakan tahap yang penting
pada teknologi DNA rekombinan. Beberapa spesies bakteri yang sering
digunakan dalam industri bioteknologi antara lain adalah Bacillus subtilis,
Eschericia coli, Saccharomyces cerevisiae. (Radji, M., 2011)
Proses transfer DNA rekombinan kedalam sel hospes tergantung pada jenis
vektor yang digunakan. Beberapa cara transfer DNA adalah:
1. Transformasi
Teknik ini digunakan apabila vektor yang dipakai adalah plasmid DNA.
Dapat ditransformasikan kedalam sel inag dengan cara:
a. Induksi kimia menggunakan perlakuan kejut panas kejut panas (heat
shock) dengan CaCl2 pada suhu 42oC dalam waktu 90 detik. Adanya
ion Ca2+ dapat menyebabkan perubahan permeabilitas dinding sel
bakteri sehingga plasmid DNA rekombinan yang berada dalam biakan
sel bakteri akan masuk kedalam sel bakteri yang dinding selnya lebih
permeabel. (Radji, M., 2011)
b. Elektroporasi
Permeabilitas dinding sel bakteri dapat ditingkatkan dengan cara
menempatkan sel bakteri kedalam medan listrik yang kuat. DNA dan
sel bakteri dimasukkan bersama-sama dalam kuvet khusus yang
kemudian ditempatkan dibawah medan listrik (1,8 kv), dalam waktu
yang sangat singkat sekitar 4-5 detik. Dibawah medan listrik ini
dinding sel bakteri dipaksa terbuka dengan sendirinya, sehingga DNA
dapat masuk kedalam sel bakteri kedalam lubang yang terbentuk
tersebut. Teknik ini dapat menyebabkan sebagian besar sel bakteri
mati, namun sel yang bertahan hidup akan menerima DNA. Dewasa
ini elektroporasi sering digunakan untuk transfer DNA karena
prosesnya lebih cepat. (Radji, M., 2011)
c. Konjugasi
Proses ini umumnya terjadi secara alamiah diantras sel bakteri melalui
pili bakteri. Pada transfer DNA melalui konjugasi diperlukan jenis
plasmid khusus yang disebut dengan plasmid konjugatif. Apabila sel
bakteri memiliki plasmid tersebut (sel donor) bertemu dengan bakteri
yang tidak memiliki plasmid (sel penerima),
maka akan terjadi agregasi sel dari keduanya. Pada saat itu akan terjadi
transfer plasmid dari sel donor ke dalam sel penerima. (Radji, M., 2011)
Manipulasi terhadap plasmid konjugatif dapat dilakukan untuk
membuat plasmid konjugatif membawa molekul DNA rekombinan
yang dikehendaki sehingga dapat ditransfer kepada sel bakteri lain
melalui kontak antar sel bakteri. Salah satu cara teknik konjugasi
khusus yang berhasil dilakukan adalahh teknik konjugasi
menggunakan bakteri Agrobacterium tumefaciens yang mengandung
plasmid konjugatif yang disebut dengan plasmid Ti (Tumor inducing).
(Radji, M., 2011)
2. Transfeksi
Transfer DNA melalui proses ini apabila vektor yang digunakan adalh
virus bakteriofag. DNA rekombinan yang akan ditransfer dikemas terlebih
dahulu dalam kapsid bakteriofag, kemudian diinfeksikan kedalam sel
penerima. Proses transfer DNA melalui transfeksi ini menyerupai proses
infeksi oleh virus yang terjadi secara alamiah. Replikasi dan propagasi
akan meningkatkan jumlah DNA rekombinan. (Radji, M., 2011)
3. Mikroinjeksi
Teknik ini digunakan untuk mentransfer DNA secara langsung kedalam
sel menggunakan jarum suntik yang merukuran sangat kecil atau mikro.
Umumnya

karena kultur sel merupakan sumber produk biologis atau mediator dari berbagai
reaksi biokonversi. (Radji, M., 2011)
Kendala utama yang sering dijumpai adalah bahwa teknk kultur sel dalam
skala laboratorium tidak selalu langsung dapat diekstrapolasikan menjadi kultur
dalam skala industry. Kultivasi sel pada skala besar memerlukan proses yang lebih
rumit dan canggih dibandingkan dengan kultur sel skala kecil. (Radji, M., 2011)

2.5.1 Kultur Mikroorganisme


Beberapa jenis mikroorganisme seringkali digunakan dalam produksi senyawa
rekombinan melalui teknologi rekayasa genetika. Sistem biologi ini lebih diminati
karena lebih mudah dan lebih aman untuk diproduksi, baik dalam skala laboratorium
maupun dalam skala industry. Umumnya mikroorganisme yang paling sering
digunakan adalah Eschericia coli dan Saccharomyces cerevisiae. (Radji, M., 2011)
Mikroorganisme umumnya dapat dibiakkan pada media perbenihan cair atau
media perbenihan padat yang mengandung agar. Proses pertumbuhan
mikroorganisme dalam kondisi media perbenihan tersebut, jumlah sel secara
bertahap akan menurun setelah mencapai pertumbuhan yang stabil, karena selain
nutrisi dalam media perbenihan menipis juga karena akumulasi metabolit
mikroorganisme dapat menghambat pertumbuhan. Dengan demikian pada kondisi
tersebut pertumbuhan mikroorganisme akan berhenti setelah mencapai waktu
tertentu. (Radji, M., 2011)
Salah satu cara untuk mengatasi penurunan pertumbuhan mikroorganisme
yang sedang dibiakkan, telah dikembangkan suatu metode yang mampu terus-
menerus dapat dibiakkan sel mikroorganisme yaitu dengan menambahkan medium
perbenihan segar secara berkesinambungan. Kemudian sel yang telah tumbuh dan
metabolitnya dialirkan keluar bejana perbenihan, melalui pipa khusus yang dapat
diatur waktu alirnya. Dengan cara tersebut, akan dapat dibuat situasi dimana sel
mikroorganisme dapat terus-menerus dibiakkan. Metode kultivasi ini disebut dengan
metode “continuous culture”. Namun demikian sebagian besar industry bioteknologi
masih menggunakan metode kultur di dalam tangki tanpa aliran masuk medium
segar dan aliran keluar biakan mikroorganisme. Metode klutur statis ini disebut
dengan “batch culture”. (Radji, M., 2011)
Pertumbuhan bakteri terdiri dari beberapa fase yaitu, fase lag, fase log
(eksponensial), fase pertumbuhan tetap (stasioner), dan fase penurunan/kematian sel.
(Radji, M., 2011)

Dalam rekayasa genetika, fase eksponensial merupakan fase yang sangat


penting karena pada fase ini, sebagian besar mikroorganisme mensintesis metabolit
sekunder. (Radji, M., 2011)
Efektifitas dan efisiensi metode kultur sangat penting dalam pembutan
sediaan farmasi berbasis rekayasa genetika. Oleh sebab itu dalam kultivasi
mikroorganisme seringkali diupayakan agar fase lag dapat berlangsung sesingkat
mungkin dan mengupayakan untuk menunda agar biakan tidak cepat masuk pada
fase pertumbuhan tetap. Untuk tujuan yang pertama biasanya diupayakan dengan
cara memasukkan sejumlah inokulum yang tepat yang telah dilakukan prekultur,
sehingga inokulum dapat beradaptasi secara optimal dengan volume medium
perbenihan yang ada dalam tangki kultur. Sedangkan untuk tujuan kedua dapat
diupayakan dengan berbagai macam cara, salah satunya yang berhasil adalah dengan
cara menambahkan kembali medium segar tepat pada waktu akhir fase eksponensial.
(Radji, M., 2011)
Teknik penambahan medium segar pada akhir fase eksponensial ini disebut
dengan “feed batch culture”. Untuk mencapai pertumbuhan mikroorganisme yang
optimal, tidak hanya harus memberikanmedium perbenihan dengan nutrisi yang
sesuai, tetapi juga harus diperhatikan beberapa factor penting lainnya yaitu kondisi
pH medium, oksigen dan suhu inkubasi. Selain itu dalam kultur ini harus bebas dari
mokroorganisme lainnya. (Freshney, R.I., 2005; Radji, M., 2011)

2.5.2 Kultur Sel Hewan


Sel hewan dapat diisolasi dari berbagai jaringan tertentu setelah dipapar dengan
enzim protease atau tripsin. Sel yang telah didapat tersebut apabila dimasukkan
kedalam tabung kultur yang mengandung medium perbenihan cair yang sesuai,
maka sel akan tumbuh. Sel hewan yang diperoleh tersebut dikenal dengan kultur
primer, tidak dapat bertahan lama dan akan mati dalam perbenihan artificial,
sehingga sel primer ini tidak banyak digunakan dalam bidang rekayasa genetika.
(Freshney, R.I., 2005; Radji, M., 2011)
Namun ada beberapa jenis sel hewan, memiliki sifat immortal, sehingga
dapat tumbuh secara terus menerus didalam media perbenihan artifisial. Sel yang
disebut dengan “continuous cell lines” ini dapat hidup selama beberapa bulan
bahkan selama bertahun-tahun sepanjang dilakukan kultur ulang menggunakan
medium segar secara berkala. Sel yang mampu hidup secara terus menerus tersebut
biasanya didapatkan dari jaringan hewan yang

mengalami malignansi (sel kanker), sehingga bersifat immortal dan dapat


berkembang dengan cepat. (Freshney, R.I., 2005; Radji, M., 2011)
Keberhasilan kultur sel hewan secara in vitro sangat tergantung tidak saja
pada nutrisi medium perbenihan yang sesuai, tapi juga pada adanya factor
pertumbuhan dan hormone. Medium harus mengadung larutan buffer dengan pH
larutan yang sesuai (sekitar 7,0) dan larutan harus isotonis. Kultivasi sel hewan lebih
rumit dibandingkan kultivasi sel mikroorganisme. Beberapa jenis kultur sel hewan,
telah diproduksi secara komersial dan aman untuk dimanfaatkan dalam penelitian
rekayasa genetika. (Freshney, R.I., 2005; Radji, M., 2011)

2.5.3 Kultur Sel Tumbuhan


Tanaman merupakan sumber penting untuk mendapatkan senyawa bioaktif yang
dapat digunakan sebagai obat atau bahan baku obat. Berbagai senyawa aktif telah
berhasil diekstraksi dari tanaman atau bagian tertentu dari tanaman, akan tetapi
hasilnya hanya dalam jumlah yang sangat sedikit. Hal ini telah memacu para peneliti
untuk mencari alternative lain untuk memproduksi senyawa aktif yang terkandung
dalam bagian tumbuhan agar dapat dihasilkan senyawa dalam jumlah yang cukup
besar untuk diproduksi secara komersial. (Radji, M., 2011)
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencoba memproduksi senyawa
aktif yang berasal dari tanaman melalui kultur sel tanaman. Namun upaya tersebut
tidak mudah, terutama jika dibiakkan dalam skala besar. (Radji, M., 2011)
Gambar 2.4. Skema kloning, proses dimulai dari transfer gen kedalam
plasmid hingga kultivasi sel host

2.6 REFERENSI
1. Kayser, O., dan Muller, R.H. (2004). Pharmaceutical Biotechnology; Drug Discovery and
Clinical Applications. Willey-VCH: German.
2. Muladno. (2010). Teknologi rekayasa Genetika. IPB Press: Bogor.
3. Old, R.W., dan Primrose, S.B. (2003). Prinsip-prinsip Manipulasi Gen; Pengantar Rekayasa
Genetika (penterjemah: Herawati Susilo). UI Press: Jakarta.
4. Radji, M. (2011). Rekayasa Genetika; Pengantar untuk Profesi Kesehatan. Sagung Seto:
Jakarta.
5. Sudjadi. (2008). Bioteknologi Kesehatan. Kanisius: Yogyakarta.
6. Walsh, G. (2007). Pharmaceutical Biotechnology; Concepts and Application. Wiley: England.
7. Watson, J. D., Tooze, J., dan Kurtz., D. (2003). DNA Rekombinan (penterjemah: Wisnu
Gunarso). Erlangga: Jakarta.
8. Thermo Science. (2009). Thermo Scientific Pierce Cell Lysis Technical Handbook; Featuring
Cell Lysis Reagent and Detergents, Ver.2.
9. Freshney, R. I. (n.d.). Culture of Animal Cells; A Manual of Basic Technique. Wiley.
10. Berg, H. C. (2003). E. coli in Motion. Springer: USA.

Anda mungkin juga menyukai