Anda di halaman 1dari 12

A.

Kewajiban Melontar Jumrah dengan 7 Kerikil

jumrah adalah sebuah kegiatan yang merupakan bagian dari Ibadah haji tahunan ke
kota suci Mekkah, Arab saudi. Para jemaah haji melemparkan batu-batu kecil ke tiga tiang
(jumrah; bahsa arab: jamarah, jamak: jamaraat) yang berada dalam satu tempat bernama
kompleks Jembatan Jumrah, di kota Mina yang terletak dekat Mekkah. Para jemaah
mengumpulkan batu-batuan tersebut dari tanah di hamparan Muzdalifah dan meleparkannya.
Kegiatan ini adalah kegiatan kesembilan dalam rangkaian kegiatan-kegiatan ritual yang harus
dilakukan pada saat melaksanakan ibadah haji, dan umumnya menarik jumlah peserta yang
sangat besar (mencapai lebih dari sejuta jemaah).

Sebagian orang mengira bahwa melontar tidak sah kecuali dengan batu yang berasal
dari Muzdalifah. Karena itu anda akan dapatkan mereka menyulitkan dirinya untuk mencari
batu di Muzdalifah sebelum berangkat ke Mina. Inilah adalah keyakinan keliru. Batu dapat
diambil dimana saja; Di Muzdalifah, di Mina dan dari mana saja. Yang penting dia adalah
batu kerikil.. Tidak terdapat riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau
memungut batu dari Muzdalifah sehingga kita mengatakan bahwa hal itu adalah sunah.
Sebenarnya memungut batu di Muzdalifah bukan merupakan sunah apalagi wajib. Karena
yang namanya sunah adalah apabila ada ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
perbuatannya atau ketetapannya. Semua itu tidak ada kejelasannya dalam hal memungut batu
di Muzdalifah. Maka apa yang harus kita yakini saat melontar jumrah? Yang harus kita
yakini saat melontar jumrah adalah pengagungan terhadap Allah Azza wa Jalla,
penghambaan kepadaNya serta mengikuti sunah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Sebagian orang menganggap remeh dan tidak peduli, apakah batunya jatuh ke tempat
melontar atau tidak?Jika batunya tidak masuk ke kubangan pelontaran, maka lontarannya
tidak dianggap sah. Cukup perkiraan kuat saja bahwa batu telah masuk kubangan pelontaran,
tidak disyaratkan yakin. Karena yakin dalam masalah ini sulit. Jika yakin sulit diwujudkan
maka cukup perkiraan kuat saja. Karena syariat mengalihkan kepada dugaan kuat apabila
seseorang ragu dalam shalat, berapa rakaat dia shalat, tiga atau empat rakaat? Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya dia pilih yang benar lalu
menyempurnakannya.” (HR. Abu Daud, no. 1020)

Hal ini menunjukkan bahwa dugaan kuat dalam perkara ibadah adalah cukup, ini merupakan
kemudahan Allah Ta’ala, karena yakin kadang-kadang sulit diwujudkan. Jika batunya telah
masuk kubangan pelantaran, maka kewajibannya telah lepas, apakah batu itu tetap berada
dalam kubangan tersebut atau keluar kembali. Tidak disyariatkan batu harus mengenai tiang
tersebut. Sebab tiang tersebut dibuat hanya untuk menjadi tanda kubangan tempat jatuhnya
batu. Jika batunya telah masuk dalam kubangan, maka lontarannya dianggap sah, apakah
batunya mengenai tiang atau tidak. Di antara kekeliruan besar adalah bahwa sebagian orang
menganggap remeh perkara melontar. Lalu dia mewakilkannya kepada orang lain, padahal
dirinya mampu melakukannya. Ini kekeliruan besar, karena melontar termasuk syiar manasik
haji. Allah Ta’ala berfirman,

(196 :‫وأتموا الحج والعمرة هلل )سورة البقرة‬

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.” SQ. Al-Baqarah: 196

Hal ini mencakup agar kita menyempurnakan haji dengan seluruh syiar-syiarnya.
Jamaah haji harus melakukannya sendiri langsung, tidak boleh mewakilkannya kepada siapa
pun. Malam hari adalah waktu melontar, meskipun siang lebih utama. Akan tetapi, jika
seseorang dapat melontar di waktu malam dengan tenang dan khusyu, lebih baik dari
melontar di waktu siang namun dia mempertaruhkan keselamatannya dalam kondisi yang
sangat berdesakan. Atau mungkin dia melontar tapi batunya tidak jatuh di kubangan
pelontaran. Demikian pula seorang wanita, jika dia khawatir terjadi sesuatu saat melontar
bersama kerumunan manusia, hendaknya dia menunda pelontarannya hingga malam. Karena
itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak memberikan keringanan kepada keluarganya yang
lemah, seperti Saudah binti Zum’ah dan semacamnya, agar mereka tidak melontar dan
mewakilkannya kepada orang lain untuk melontar, seandainya perkaranya boleh. Akan tetapi
beliu mengizinkannya untuk berangkat dari Muzdalifah di akhir malam agar dia dapat
melontar sebelum datangnya gelombang manusia. Ini merupakan dalil paling kuat bahwa
wanita tidak boleh mewakilkan orang lain untuk melontar hanya karena alasan dia seorang
wanita. Adapun jika seandainya seseorang merasa lemah dan tidak mungkin dia melontar
dengan dirinya sendiri, baik siang atau malam, maka di sinilah berlaku pendapat
dibolehkannya mewakilkan, karena dia lemah. Terdapat riwayat dari shahabat radhiallahu
anhum bahwa mereka melontar sebagai wakil anak-anak mereka, karena anak-anaknya tidak
dapat melontar sendiri. Kesimpulannya, menganggap remeh masalah ini, yaitu mewakilkan
orang lain untuk melontar jumrah kecuali orang yang uzur tidak mampu untuk melontar,
merupakan kesalahan besar. Karena dia menganggap remeh masalah ibadah dan enggan
melakukan perkara wajib.
Dan apa hukum mencuci batu yang akan digunakan melontar ? Batu diambil di Mina.
Tapi jika seseorang mengambil batu pada hari Id dari Muzdalifah, maka diperbolehkan. Dan
tidak disyariatkan mencuci batu tetapi langsung mengambilnya dari Mina atau Muzdalifah
atau dari tanah haram yang lain. Sedangkan ukuran batu adalah kira-kira sebesar kotoran
kambing dan tidak berbentuk runcing seperti pelor. Demikianlah yang dikatakan ulama fiqih.
Adapun cara melontar adalah sebanyak tujuh batu pada hari Id, yaitu Jumrah Aqabah saja.
Sedangkan pada hari-hari tasyriq maka sebanyak 21 batu setiap hari, masing-masing tujuh
lontaran untuk Jumrah Ula, tujuh lontaran untuk Jumrah Wustha, dan tujuh lontaran untuk
Jumrah ‘Aqabah.

B. Lokasi Pengambilan Kerikil


Batu dapat diambil dimana saja; Di Muzdalifah, di Mina dan dari mana saja. Yang
penting dia adalah batu kerikil.. Tidak terdapat riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bahwa beliau memungut batu dari Muzdalifah sehingga kita mengatakan bahwa
hal itu adalah sunah. Sebenarnya memungut batu di Muzdalifah bukan merupakan sunah
apalagi wajib. Karena yang namanya sunah adalah apabila ada ucapan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, perbuatannya atau ketetapannya. Semua itu tidak ada
kejelasannya dalam hal memungut batu di Muzdalifah.
Adapun terhadap alasan pertama, maka kami mengatakan tidak adanya koreksi
dengan hukum asal. Bahwa mengatakan air yang telah digunakan untuk bersuci yang
wajib menjadi “suci tidak mensucikan”, maka sesungguhnya tidak ada dalil atas
demikian itu. Sebab tidak memungkinkan memindahkan air dari sifanya yang asli, yaitu
suci, melainkan dengan dalil. Atas dasar ini maka air yang telah digunakan untuk bersuci
yang wajib, maka dia tetap “suci dan mensucikan”. Jika tiada hukum asal yang menjadi
sandaran maka batal hukum cabang yang diqiyaskannya. Sedang alasan kedua, yakni
mengqiyaskan batu yang dilontarkan dengan hamba sahaya yang dimerdekakan, maka
demikian itu mengqiyaskan kepada sesuatu yang tidak ada kesamaan. Sebab jika hamba
sahaya telah dimerdekakan maka dia menjadi merdeka dan bukan hamba sahaya
sehingga tidak ada tempat untuk memerdekakkan diri lagi. Tetapi tidak demikian dengan
batu. Sebab ketika batu dilontarkan, maka dia juga masih tetap batu setelah dilontarkan.
Sehingga tidak hilang arti karenanya dia layak untuk digunakan melontar. Karena itu jika
hamba sahaya yang dimerdekakan menjadi budak lagi sebab alasan syar’i, maka dia
boleh dimerdekakan untuk kedua kalinya. Lalu tentang alasan ketiga, yaitu
mengharuskan dari yang demikian untuk mencukupkan melontar dengan satu batu, maka
kami mengatakan, jika memungkinkan demikian itu maka akan ada. Tapi hal ini tidak
mungkin dan tidak akan ada seseorang pun yang condong kepadanya karena banyaknya
batu. Atas dasar itu maka jika jatuh dari tanganmu satu batu atau lebih banyak disekitar
tempat-tempat melontar, maka ambillah gantinya dari batu yang ada di sampingmu dan
gunakanlah untuk melontar, walaupun kuat diduga bahwa batu itu telah digunakan untuk
melontar maupun tidak.
[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia,
Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i,
hal 201 – 204, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]

C. Hukum Ragu dalam Jumlah Lontaran


Jika ragu mengenai jumlah lemparan, maka berpegang pada yang yakin. Jika tidak
bisa menentukan keyakinan, maka diambil hitungan yang lebih sedikit. Menurut Dr Yusuf Al
Qardhawi dalam bukunya yang berjudul 100 Tanya-Jawab Haji, dia menegaskan, tidak ada larangan
melontar jumrah atas nama orang lain ataupun diwakilkan oleh orang lain asalkan atas nama yang
dituju. Hal itu berlandaskan hadits yang diriwayatkan dari para sahabat yang menyebut bahwa mereka
menunaikan ibadah haji membawa istri dan anak-anak, ia melontar jamrah atas nama istri.
Mewakilkan Melontar Jumrah, Menggantikan Melontar Untuk Orang Sakit, Wanita Dan
Anak Kecil
D. Wakilkan Melontar Jumrah
Kapan diperbolehkan mewakilkan melontar jumrah ? Apakah ada hari-hari yang tidak
boleh mewakilkan melontar jumrah ? Boleh mewakilkan dalam semua waktu dan tempat
melontar bagi orang yang sakit yang tidak mampu melontar, orang hamil yang takut atas
dirinya, wanita menyusui yang tidak mempunyai orang yang menjaga anaknya, orang yang
berusia lanjut, dan lain-lain dari orang-orang yang tidak mampu melontar sendiri. Seperti
orang tua boleh mewakilkan melontar untuk anaknya yang masih kecil. Bagi orang yang
mewakili, dia melontar untuk dirinya dan untuk orang yang mewakilkan dalam setiap tempat
melontar dengan memulai untuk dirinya kemudian melontar untuk orang yang diwakilinya.
Kecuali jika orang yang melontar jumrah sunnah, maka dia tidak harus memulai melontar
untuk dirinya. Tetapi tidak boleh mewakili melontar jumrah melainkan orang yang haji.
Maka orang yang tidak haji tidak dapat mewakilkan orang lain untuk melontar dan tidak sah
jika dia melontar untuk menggantikan orang lain.
Apakah mungkin bila seseorang menggantikan saya untuk melontar jumrah pada hari kedua
tasyriq (12 Dzulhijjah) disebabkan kondisi keluarga yang mengharuskan saya kembali ke
Riyadh pada hari itu, ataukah saya harus membayar dam untuk itu ?
Tidak boleh seseorang menggantikan melontar kepada orang lain dan bepergian sebelum
rampung melontar. Bahkan dia wajib menunggu. Jika dia mampu maka dia melontar sendiri.
Tapi jika dia tidak mampu melontar sendiri maka dia menunggu dan mewakilkan kepada
orang yang akan menggantikannya. Seseorang yang mewakilkan melontar tidak boleh pergi
hingga orang yang mewakilinya selesai dari melontar, kemudian dia (orang yang
mewakilkan) melakukan thawaf wada’ ke Baitullah, dan setelah itu baru boleh pulang.
Adapun jika seseorang dalam keadaan sehat maka dia tidak boleh mewakilkan melontar
kepada orang lain, tapi dia wajib melontar sendiri. Sebab ketika dia telah melakukan ihram
haji maka dia wajib menyelesaikan rukun-rukun haji seperti disebutkan dalam firman Allah.

“Artinya : Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah” [Al-Baqarah : 196]

Demikian pula umrah sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Seseorang yang telah
ihram untuk umrah, dia wajib menyempurnakannya, sebab menurut pendapat yang shahih,
seseorang tidak boleh mewakilkan sebagian rukun-rukun haji selama dia masih mampu
melakukan sendiri. Jika seseorang pergi sebelum melontar, dia wajib membayar dam, yaitu
memberikan makan kepada orang-orang miskin.

Seorang wanita melaksanakan haji dan telah mengerjakan semua manasiknya kecuali
melontar jumrah dan dia telah mewakilkan orang lain untuk melontar atas namanya karena
dia mempunyai anak kecil, sedangkan dia melaksanakan haji wajib. Bagaimana hukumnya ?
Tidak mengapa dia mewakilkan melontar kepada orang lain. Dan melontarnya orang yang
mewakilinya telah cukup baginya karena ketika melontar terjadi desak-desakan yang
mengandung resiko besar bagi wanita, terutama bagi wanita yang membawa anak kecil.

E.Melontar Jumrah di malam Hari

Waktu Melempar Jumrah

Pertama: Jumrah Aqabah

Jumrah aqabah adalah jumrah yang pertama kali dilempar, dilempar pada hari raya (Idul
Adha, tanggal 10 Zulhijah) setelah matahari terbit. Sementara bagi orang yang lemah baik
wanita, anak-anak dan orang lemah lainnya dibolehkan melempar malam hari raya (pada
akhir malam). Karena Asma binti Abu Bakar radhiallahu anha menunggu terbenamnya bulan
malam hari raya, ketika telah terbenam, maka beliau meninggalkan Muzdalifah ke Mina dan
melempar Jumrah. Akhir waktu melempar jumrah Aqabah; Waktu melepar jumrah aqabah
berakhir sampai terbenamnya matahari hari raya Idul Adha. Tidak mengapa bagi orang yang
mengakhirkan sampai akhir malam karena penuh sesak atau karena jauh dari jumrah. Akan
tetapi jangan diakhirkan sampai terbit fajar pada hari kesebelas.

Kedua: Melempar pada hari-hari tasyriq (11, 12, 13)

Memulai melempar, melempar pada hari-hari tasyriq dimulai dari tergelincirnya matahari
(maksudnya masuk waktu shalat zuhur). Akhir waktunya: Waktu melempar selesai pada
akhir malam. Jika letih, penuh sesak dan lainnya, maka tidak mengapa melempar malam hari
sampai terbit fajar, tapi tidak dibolehkan mengakhirkanny sampai setelah fajar. Melempar
pada hari kesebelas, duabelas dan tigabelas tidak dibolehkan sebelum matahari tergelincir
(masuk waktu zuhur). Karena Rasulullah sallallahuh alaihi wa sallam tidak melempar kecuali
setelah matahari tergelincir, dan beliau mengatakan kepada orang-orang “Ambillah dari
diriku manasik haji kalian semua’.

Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam mengakhirkan melempar -sampai waktu seperti ini-
padahal cuaca sangat panas dan beliau tidak melempar di waktu pagi padahal cuaca lebih
sejuk. Hal ini menunjukkan bahwa tidak dibolehkan melempar sebelum waktu ini. Petunjuk
lainnya juga bahwa Rasulullah sallallahu alaiahi wa sallam biasanya melempar ketika
matahari tergelincir sebelum melakukan shalat zuhur. Hal ini menunjukkan tidak dibolehkan
melempar sebelum matahari tergelincir. Karena kalau boleh, maka melempar sebelum
tergelincir itu lebih utama agar beliau dapat menunaikan shalat zuhur- di awal waktu. Karena
shalat di awal waktu lebih utama.

Kesimpulannya, dalil-dalil menunjukkan bahwa melempar pada hari-hari tasyriq tidak


dibolehkan sebelum matahari tergelincir

Hukum Melempar Semua Jumrah Pada Malam Hari dan Sebelum Tergelincirnya Matahari
Jumhur ulama fikih berpendapat bahwa melempar jumrah sebelum tergelincirnya matahari
(sebelum dzuhur) tidak sah, berdasarkan riwayat yang menetapkan bahwa Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam- melempar jumrah setelah tergelincirnya matahari, dan beliau pun telah
bersabda:
‫رواه مسل‬ ‫ ()خذوا عني مناسككم ( م‬1297(

“Ambillah manasik (tata cara ibadah haji) kalian dariku”. (HR. Muslim: 1297)

Perbuatan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau menunda pelaksanaan


melempar jumrah sampai pada waktu tersebut (setelah dzuhur), padahal waktu tersebut
sangatlah panas, dan beliau tidak melakukannya pada awal waktu (pagi hari) padahal
cuacanya lebih dingin dan lebih mudah, menjadi dalil bahwa tidak dibolehkan melempar
jumrah sebelum waktu tersebut.

Dan yang menjadi dalil lain bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melempar
jumrah sesaat setelah tergelincirnya matahari dan sebelum mendirikan shalat dzuhur, maka
hal ini menjadi dalil bahwa tidak sah melempar jumrah sebelum tergelincirnya matahari,
kalau tidak demikian maka melempar jumrah sebelum dzuhur akan lebih utama; agar bisa
mendirikan shalat dzuhur pada awal waktunya; karena shalat diawal waktunya lebih utama.

Ibnu Qudamah –rahimahullah- (3/233) berkata:

“Dan dia (jamaah haji) tidak melempar (jumrah) pada hari-hari tasyriq kecuali setelah
tergelincirnya matahari, jika dia melempar sebelum waktu tersebut, hendaknya
mengulanginya. Inilah secara tekstual pendapat Imam Ahmad. Dan hal itu diriwayatkan dari
Ibnu Umar, demikian juga pendapat Malik, Tsauri, Syafi’i, Ishak dan mereka para pemikir.
Diriwayatkan juga dari Hasan dan ‘atha’, hanya saja Ishak dan para pemikir memberikan
keringanan, jika melempar jumrah pada nafar awal boleh dilakukan sebelum tergelincirnya
matahari dan tidak beranjak (dari Mina) kecuali setelah tergelincirnya matahari, demikian
juga pendapat Imam Ahmad. Ikrimah juga memberikan keringanan seperti itu. Thawus
berkata: “(Boleh) melempar sebelum tergelincirnya matahari dan keluar (dari Mina)
sebelumnya”.

Kemudian dia berdalil bahwa tidak bolehnya melempar jumrah sebelum tergelincirnya
matahari dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
telah melempar jumrah setelah tergelincirnya matahari, berdasarkan perkataan ‘Aisyah:
“Beliau melempar jumrah, jika matahari sudah tergelincir (ke arah barat)”. Dan perkataan
Jabir tentang sifat hajinya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “ Saya telah melihat
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melempar jumrah pada waktu dhuha di hari raya,
dan setelahnya beliau melempar setelah tergelincirnya matahari, dan beliau telah bersabda:
“Ambillah manasik (tata cara ibadah haji) kalian dariku”.

Ibnu Umar berkata:

“Kami menunggu waktu, jika matahari sudah tergelincir maka kami melempar jumrah, kapan
pun melempar yang penting setelah tergelincirnya matahari maka tetap sah, hanya saja yang
disunnahkan adalah bersegera melempar jumrah begitu matahari tergelincir (ke arah barat)”.
Sebagaimana perkataan Ibnu Umar.

Atas dasar itulah maka melempar jumrah setelah tergelincirnya matahari secara dalil lebih
rajih (kuat) dan lebih banyak madzhab yang menganutnya dan lebih berhati-hati untuk
ibadah; karena barang siapa yang melaksanakannya maka melempar jumrahnya menjadi sah
menurut kesepakatan para ulama. Adapun bagi mereka yang melempar jumrah sebelum
tergelincirnya matahari, maka keabsahan melempar jumrahnya menjadi perbedaan di antara
para ulama, bahkan tidak sah menurut sebagian besar para ulama.

Adapun apa yang telah anda sebutkan tentang penuh sesaknya orang yang berhaji, maka
kemacetan tersebut juga ada sebelum tergelincirnya matahari, apalagi banyak orang yang
menganggap remeh masalah ini dan mengampil pendapat yang lemah.

Bisa jadi melempar jumrah dilakukan sesaat sebelum ashar tiba atau setelahnya, hal itu akan
lebih longgar.

Ketahuilah bahwa boleh melempar jumrah pada malam hari, apalagi anda bersama ibu anda
yang sudah berusia lanjut, hal itu lebih baik dari pada melempar jumrah sebelum
tergelincirnya matahari; karena tidak adanya dalil yang membatasi akhir dari masa melempar
jumrah dengan terbenamnya matahari, demikian juga sebagian ahli fikih berpendapat
demikian, seperti madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyyah.

Baca: Badai’ Shana’i: 2/138, Al Bahrul Raiq: 2/374, Tuhfatul Muhtaj: 4/125 dan Nihayatul
Muhtaj: 3/311.

Imam Bukhori (1723) telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata:
“Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah ditanya oleh seseorang:

‫ ََل َح َر َج‬: ‫ فَقَا َل‬. ُ‫َر َميْتُ َب ْعدَ َما أ َ ْم َسيْت‬


“Saya telah melempar jumrah pada malam hari”, beliau menjawab: “Tidak masalah”.

Tidak ada dalil yang membatasi masa akhir dari melempar jumrah, maka hal itu
menunjukkan bahwa melempar jumrah pada malam hari tetap sah.

Syeikh Ibnu Baaz –rahimahullah- berkata:

“Tidak ada dalil yang menyatakan dilarang melempar jumrah pada malam hari, maka hukum
asalnya adalah boleh. Yang lebih utama adalah melempar jumrah pada siang hari pada semua
waktu di hari raya dan setelah matahari tergelincir pada tiga hari setelahnya jika hal itu
memungkinkan. Sedangkan melempar jumrah pada malam hari tetap sah untuk hari yang
mataharinya sudah terbenam, dan tidak sah untuk hari berikutnya”.

Barang siapa yang ketinggalan untuk melempar jumrah pada siang hari di hari raya, maka dia
melempar jumrah pada malam tanggal 11 nya sampai pada jam terakhir malam itu. Barang
siapa yang ketinggalan untuk melempar jumrah sebelum terbenamnya matahari pada tanggal
11 maka dia melemparnya setelah terbenamnya matahari pada malam tanggal 12, dan barang
siapa yang terlambat melempar jumrah pada tanggal 12 nya sebelum terbenamnya matahari,
maka dia melemparnya setelah terbenamnya matahari pada malam tanggal 13, barang siapa
yang terlambat untuk melempar jumrah pada siang hari dari tanggal 13 sampai terbenamnya
matahari, maka dia wajib membayar dam; karena masa melempar jumrah semuanya berakhir
dengan terbenamnya matahari pada tanggal 13”. (Fatawa Syeikh Ibnu Baaz: 16/144)

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:

“Wahai syeikh yang terhormat, anda tentu mengetahui bagaimana kondisi para wanita pada
musim haji dengan penuh sesaknya orang di sana dan mereka tidak bisa melaksanakan
manasik haji di beberapa tempat, sebagian para ulama telah memberikan fatwa bahwa
dibolehkan bagi seorang wanita untuk melempar jumrah pada malam hari, maka apakah
walinya juga pergi bersamanya untuk melempar jumrah pada malam hari, atau walinya pergi
melempar jumrah pada siang harinya dan pada malam harinya hanya mengantarnya untuk
melempar jumrah ?”

Beliau menjawab:

“Yang benar bahwa melempar jumrah pada malam hari dibolehkan, kecuali pada malam hari
raya, maka tidak boleh melempar jumrah kecuali pada akhir malamnya, demikian juga pada
tanggal 12 nya maka tidak boleh menundanya sampai akhir malamnya jika dia ingin besegera
keluar dari Mina; karena jika dia menundanya sampai akhir malamnya maka dia wajib
bermalam lagi sampai tanggal 13. Demikian juga dengan melempar jumrah pada tanggal 13
nya hendaknya tidak mengakhirkannya sampai pada malam harinya; karena hari-hari tasyriq
akan berakhir dengan terbenamnya matahari pada tanggal 13. Maka dibolehkan juga
melempar jumrah pada malam hari bagi laki-laki, pendapat kami bahwa melempar jumrah
pada malam hari akan mendatangkan ketenangan dan melempar dengan khusu’, maka akan
lebih utama baginya dari pada dia melakukannya pada siang hari dalam keadaan tidak
mengetahui apakah bisa kembali lagi ke kemahnya atau meninggal dunia, dia tidak
menunaikan ibadah –pada saat melaksanakannya- sebagai ibadah, akan tetapi dia
melaksanakannya dengan kondisi fikirannya yang cemas dan hawatir akan (keselamatan)
dirinya sendiri, kami telah menentukan kaidah yang mengarahkan pada syari’at: “Bahwa
menjaga dzat ibadah itu lebih utama dari pada menjaga waktu atau tempat pelaksanaannya
selama waktunya luas”. Oleh karenanya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

‫ وَل وهو يدافعه األخبثان‬،‫َل صالة بحضرة الطعام‬

“Tidak ada shalat di hadapan makanan, dan tidak shalat jika sedang terdorong oleh buang air
kecil atau buang air besar”.

Barang siapa yang sedang terdorong untuk buang air kecil atau besar, maka kami
berpendapat: “Tundalah shalat pada akhir waktu sampai buang hajatmu selesai, meskipun
sebenarnya shalat diawal waktu lebih utama, akan tetapi jika anda tetap mendirikan shalat
dalam kondisi terdorong untuk buang air, maka anda tidak akan mendapatkan kekhusyu’an
yang berkaitan erat dengan dzat ibadah itu, oleh karenanya kami berpendapat pada era
sekarang bahwa melempar jumrah pada malam hari lebih utama dari pada dilakukan pada
siang hari, jika melempar jumrah pada siang hari tidak bisa khusyu’ dan tidak bisa
melaksanakan ibadah sesuai dengan yang diperintahkan, maka dibolehkan bagi seorang laki-
laki untuk menunda melempar jumrah sampai pada malam hari agar dia bisa pergi bersama
keluarganya untuk melempar jumrah bersama-sama”. (Liqa al Baab al Maftuh: 21/18) .Tidak
boleh melempar jumrah pada hari-hari tasyriq sebelum tergelincirnya matahari, dan
melempar jumrah pada malam hari menjadi jalan keluar dan ada keluasan, segala puji bagi
Alloh.
F. Bagaimana Kalau Tidak Melontar Jumrah

Sengaja Tidak Lempar Jumrah, Batalkah Hajinya?

Lempar jumrah dilakukan jemaah haji sebagai simbol melempar setan yang dijelmakan
dalam tiga bagian, yaitu jumrah ula (pertama) atau jumrah sughra, jumrah wustha (tengah),
dan jumrah 'aqabah (terakhir). Terkadang, pelaksaan lontar jumrah itu membuat nyawa
seseorang terancam bahkan meninggal akibat desak-desakan dengan jemaah haji satu dengan
yang lainnya. Karena saat itu memang banyak jemaah dari seluruh dunia yang ingin melontar
jumrah. Lalu, bagaimanakah hukumnya orang yang sengaja tidak lontar jumrah dalam hari
kedua (12 Dzulhijah) dan hari ketiga (13 Dzulhijah) selepas Idul Adha? Apakah hal itu akan
membatalkan ibadah hajinya? Dikutip dalam buku 100 Tanya-Jawab Haji & Umrah karya
DR Yusuf Al-Qaradhawi, orang yang sengaja tidak lontar jumrah, ibadah hajinya tidak batal.
Tetapi dalam hal ini ia telah melakukan tindakan yang tidak baik.

"Menurut mayoritas ulama ia wajib membayar denda (dam),meskipun menurut sebagian


ulama yang lain ia tidak wajib membayarnya," kata Yusuf.

Dia memaparkan, kalau jemaah haji tersebut merasa tidak mungkin lontar jumrah karena
kepadatan jemaah haji yang luar biasa, maka boleh mewakilkannya kepada orang lain.

"Jadi statusnya sama seperti wanita yang sedang hamil, orang tua renta, atau orang yang
badannya kegemukan (obesitas) sehingga tidak mungkin sanggup berdesak-desakan di tengah
lautan manusia. Orang-orang seperti itu juga boleh mewakilkan,karena lontar jumrah
memang boleh diwakilkan," terang Yusuf.

Salah satu wajib haji adalah melempar jumrah. Kewajiban ini dibarengi dengan kewajiban
mabit (menginap) di daerah Mina. Jarak antara pemondokan di Mina dengan area melempar,
tidak kurang dari 4 KM. Artinya, saat akan melontar, jemaah setidaknya harus berjalan
pulang pergi sejauh 8 KM. Kondisi ini terasa semakin berat seiring dengan pergerakan ribuan
jemaah secara bersamaan hingga terjadi kepadatan di jalan. Dengan kondisi seperti itu,
bagaimana dengan jemaah yang lanjut usia dan memiliki risiko kesehatan yang tinggi (risti).
Bolehkah mereka mewakilkan lempar jumrahnya?
Badal diberikan sebagai bentuk aturan khusus atau ketentuan khusus dalam ibadah haji. Ada
dua kategori badal. Pertama, badal secara keseluruhan, yaitu badal yang dilakukan sejak dari
Tanah Air. Misalnya, ada yang punya nazar untuk melakukan ibadah haji, tetapi karena suatu
hal, bisa karena sakit, atau wafat, itu tidak bisa ditunaikan. Kedua, badal haji bisa dilakukan
di Tanah Suci. Ini dilaksanakan, ketika, misalnya setibanya di Tanah Suci, mereka sakit, atau
dalam kondisi lain, yang menyebabkan ketidakmemungkinkannya menunaikan salah satu
rukun atau wajib ibadah haji. Dalam konteks yang kedua, badal haji dapat diberlakukan bagi
jemaah yang berhalangan mengerjakan wajib haji dan sebagian rukun haji. Nah, wajib haji itu
boleh dibadalkan termasuk Jumrah. Badal lempar jumrah itu menjadi boleh karena kondisi
tertentu. Dalam bahasa agama disebut dengan al masyaqqah (kesulitan). Jadi, kalau kita
beribadah, kita tidak boleh melaksanakan sesuatu yang membahayakan keselamatan diri
sendiri atau orang lain, apalagi sampai mengancam kehidupan diri sendiri.

Sehingga ada kaidah ushul fiqh: al masyaqqah tajlibut taysir. Artinya, kesulitan itu
menjadikan diperbolehhkan sesuatu, sebagai suatu bentuk kemudahan beragama. Itu juga
berkaitan dengan ayat Al Qur’an: ma ja’ala alaikum fiddini min haraji, Allah tidak
menjadikan bagimu kesulitan dalam beragama. Oleh karena itu maka berdasarkan pandangan
tersebut, menurut saya, badal haji itu boleh dilakukan bagi jemaah yang memang karena
kondisinya tidak mampu menunaikan.

Hanya memang, walaupun ini ikhtilaf, tetapi saya berpendapat, seseorang tidak boleh
membadalkan lebih dari satu jemaah haji. Kemudian, dilakukan ketika seseorang telah
menunaikan wajib hajinya terlebih dahulu. Jadi, yang akan membadalkan sudah
menunaikannya terlebih dahulu, baru setelah itu lempar untuk yang dibadalkan. Jadi, harus
dilakukan secara terpisah, dengan urutan mulai dari dirinya sendiri dulu, lalu kemudian untuk
jemaah yang dibadalkan.

Anda mungkin juga menyukai