Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP DASAR DAN ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF


PASIEN DENGAN STRIKTUR URETRA
DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUD A. W. SJAHRANIE
SAMARINDA

DI SUSUN OLEH :

VINNA FITRIANA
(NIM.1911102412095)

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
TAHUN 2019
Striktur uretra

I. Konsep Penyakit
A. Definisi
Striktur urethra adalah penyempitan atau konstriksi dari lumen urethra
akibat adanya obstruksi. Striktur urethra adalah penyempitan akibat dari adanya
pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut) pada urethra atau daerah urethra. .
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah :
1. Infeksi
2. Truma internal maupun eksternal pada uretra
3. Kelainan bawaan dari lahir

B. Etiologi
Striktur uretra dapat terjadi secara:
1. Kongenital
Striktur uretra dapat terjadi secara terpisah ataupun bersamaan dengan
anomali saluran kemih yang lain.
2. Didapat
Striktur uretra dapat disebabkan oleh setiap radang kronik atau cedera.
Radang karena gonore merupakan penyebab penting tetapi terdapat pula
radang yang disebabkan oleh penyakit kelamin yang lain. Striktur uretra juga
dapat disebabkan oleh infeksi dan trauma internal maupun eksternal pada
uretra (Nursalam, 2008). Penyebab umum dari suatu penyempitan uretra
adalah akibat traumatik. Penyebab lain adalah inflamasi dan proses keganasan.
C. Manifestasi Klinis
Keluhan: kesulitan dalam berkemih, harus mengejan, pancaran mengecil,
pancaran bercabang dan menetes sampai retensi urine. Pembengkakan dan getah /
nanah di daerah perineum, skrotum dan terkadang timbul bercak darah di celana
dalam. Bila terjadi infeksi sistemik penderita febris, warna urine bisa keruh
(Nursalam, 2008, Hal 86)
Gejala dan tanda striktur biasanya mulai dengan hambatan arus kemih dan
kemudian timbul sebagai sindrom lengkap obstruksi leher kandung kemih seperti
digambarkan pada hipertrofi prostat. Gejala klinis yang sering ditimbulkan oleh
striktur antara lain disuria, kesuliran berkemih, pancaran kemih yang menurun,
frekuensi kemih yang abnormal, rasa tidak nyaman, hematuria, nyeri pelvis atau
bagian bawah perut, pengosongan kantung kemih yang tidak puas.

D. Patofisiologi
Lesi pada epitel uretra atau putusnya kontinuitas, baik oleh proses infeksi
maupun akibat trauma, akan menimbulkan terjadinya reaksi peradangan dan
fibroblastic. Iritasi dan urine pada uretra akan mengundang reaksi fibroblastic
yang berkelanjutan dan proses fibrosis makin menghebat sehingga terjadilah
penyempitan bahkan penyumbatan dari lumen uretra serta aliran urine mengalami
hambatan dengan segala akibatnya. Ekstravasasi urine pada uretra yang
mengalami lesi akan mengundang terjadinya peradangan periuretra yang dapat
berkembang menjadi abses periuretra dan terbentuk fistula uretrokutan (lokalisasi
pada penis, perineum dan / atau skrotum) (Nursalam, 2008)

E. Clinical Pathway (Terlampir)

F. Pemeriksaan Diagnostik
Pasien dengan penyakit striktur uretra biasanya memiliki gejala gangguan
berkemih obstruktif seperti ketegangan, pengosongan yang tidak sempurna, dan
aliran yang lemah; mereka mungkin juga memiliki riwayat ISK berulang,
prostatitis, epididimitis, hematuria, atau batu kandung kemih. Beberapa
pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu dilakukan palpasi uretra anterior untuk
mengidentifikasi kedalaman dan kepadatan jaringan bekas luka. Seringkali
pasien akan memiliki gangguan pola berkemih obstruktif pada studi
uroflowmetry.
2. Pemeriksaan Urinalisis
Urinalisis dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi pada saluran kemih.
3. Retrograd Uretrografi (RUG) dan Voiding Cystourethrography (VCUG)
Retrograd uretrografi (RUG) dan voiding cystourethrography (VCUG)
digunakan untuk menentukan lokasi, panjang, dan tingkat keparahan striktur.
Biasanya, penyempitan lumen uretra jelas terjadi di tempat penyempitan,
dengan pelebaran uretra proksimal pada striktur.
4. Sistoskopi
Sistoskopi juga bisa dilakukan jika RUG dan VCUG tidak meyakinkan untuk
memberi gambaran mengenai lokasi, elastisitas dan kemunculan
penyempitan pada uretra. Sistoskopi dapat dilakukan baik melalui meatus
(dengan sistoskopi pediatrik atau ureteroskop jika perlu) atau melalui
sistostomi suprapubik (dengan sistoskopi yang fleksibel) tergantung pada
lokasi dan tingkatan striktur.
5. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi dapat digunakan sebagai tambahan untuk menentukan
panjang dan derajat spongiofibrosis, dan dapat membantu pengkajian
operatif. Ultrasonografi dapat dilakukan baik sebelum operasi atau
intraoperatif. Salah satu keuntungan dari ultrasonografi intraoperatif adalah
bahwa hal itu dapat dilakukan dengan hydrodistension setelah pasien
dianestesi, memungkinkan dilakukannya evaluasi yang akurat terhadap
striktur anterior dan menghindari masalah tambahan selama evaluasi pra
operasi. Pendekatan ini juga menilai striktur pada saat operasi dan keparahan
striktur itu sendiri.

G. Penatalaksanaan
Beberapa metode yang bisa dilakukan untuk mengatasi striktur uretra antara lain;
A. Non Bedah
1. Dilatasi Uretra
Dilatasi striktura uretra atau businasi dengan busi logam jarang
menjadi terapi kuratif, tetapi dapat dilakukan sebagai tindakan sementara
untuk memperlebar diameter uretra. Uretra harus diberi lubrikasi sebelum
instrument dilatasi dimasukan, gunakan terlebih dahulu instrument dilatasi
ukuran kecil dan dimasukkan secara hati-hati hingga masuk ke dalam buli-
buli. Tindakan ini dapat menimbulkan salah jalan (false route) bila
melakukannya secara kasar dan tidak hati-hati.
Beberapa metode untuk dilatasi uretra adalah dengan menggunakan
pelebaran dengan balon, filiform dan follower, atau dilatasi manual dengan
kateter. Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan
dalam tingkat kekambuhan setelah dilatasi uretra dengan uretrotomi
internal. Tingkat komplikasi dan kegagalan pada saat prosedur tidak
berbeda secara signifikan antara dilatasi uretra dan uretrotomi internal,
walaupun komplikasi yang terkait dengan dilatasi uretra mungkin lebih
sering terjadi pada pasien yang juga mengalami retensi urin.
B. Bedah
1. Uretrotomi Internal
Direct vision internal urethrotomy (DVIU) dilakukan dengan membuat
sayatan transurethral untuk melepaskan jaringan parut, memungkinkan
jaringan pulih dengan intensi sekunder pada kalibre yang lebih besar dan
meningkatkan ukuran lumen uretra. Komplikasi utama pada uretrotomi
adalah rekurensi, hematoma perineum, dan hemoragik uretra. Dengan
sayatan yang terlalu dalam, ada juga risiko memasuki korpus kavernosum
dan menciptakan fistula antara korpus spongiosum dan cavernosa, yang
menyebabkan disfungsi ereksi.
2. Laser Uretrotomi
Selain urethrotomy internal menggunakan, penelitian telah
mengevaluasi penggunaan laser untuk urethrotomy. Banyak jenis laser telah
digunakan, termasuk karbon dioksida, argon, kalium titanyl fosfat (KTP),
kristal garnet yodrium terdefinisi neodymium (Nd: Yag), holmium: Yag, dan
laser excimer. Laser ini masing-masing menggunakan teknologi yang
berbeda dan menawarkan kedalaman penetrasi jaringan yang berbeda.
3. Stent Uretra
Penggunaan stent uretra selain dilatasi uretra atau urethrotomy internal
juga telah di pelajari. Stent sementara seperti stent Spanner® (SRS Medical,
USA) memerlukan penggantian setiap 3-12 bulan tergantung pada jenis stent,
dan lebih sesuai untuk pria dengan obstruksi uretra posterior. Stent
permanen, seperti Urolume® (Endo Solusi Kesehatan, AS) dan stent
Memotherm® (Bard, Jerman), ditempatkan di dalam uretra bulbar dan
dimasukkan ke dalam dinding uretra. Namun, penggunaan stent ini telah
banyak ditinggalkan dan di beberapa negara, stent ini telah dikeluarkan dari
pasaran karena penggunaan terbatas dan tingkat komplikasi yang tinggi
seperti nyeri perineum, stent migrasi, penyumbatan stent (karena hiperplasia
jaringan), inkontinensia, dan infeksi.
4. Uretroplasti
Banyak penelitian telah berusaha untuk menentukan keefektifan
urethrotomy internal dibandingkan dengan urethroplasty rekonstruktif
terbuka. Meskipun tidak satu pun penelitian yang pasti karena hal ini
merupakan uji coba terkontrol acak yang benar, mereka menyarankan bahwa
tingkat keberhasilan jangka panjang jauh lebih tinggi untuk pengobatan
urethroplasty (85-90%) dibandingkan dengan urethrotomy (20-30%).
Sebenarnya, data yang ada menunjukkan bahwa urethroplasty adalah metode
yang paling efektif untuk manajemen penyakit striktur uretra dan metode ini
umumnya dianggap sebagai gold-standard treatment.
Tahap dalam Keperawatan Perioperatif

a. Fase Pre operatif

Fase pre operatif merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif


yang dimulai ketika pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan
berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi untuk dilakukan tindakan
pembedahan.

Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut


dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien di tatanan klinik ataupun
rumah, wawancara pre operatif dan menyiapkan pasien untuk anestesi yang
diberikan pada saat pembedahan. Persiapan pembedahan dapat dibagi menjadi
2 bagian, yang meliputi persiapan psikologi baik pasien maupun keluarga dan
persiapan fisiologi (khusus pasien).

1) Persiapan Psikologi

Terkadang pasien dan keluarga yang akan menjalani operasi emosinya


tidak stabil. Hal ini dapat disebabkan karena takut akan perasaan sakit,
narcosa atau hasilnya dan keeadaan sosial ekonomi dari keluarga. Maka
hal ini dapat diatasi dengan memberikan penyuluhan untuk mengurangi
kecemasan pasien. Meliputi penjelasan tentang peristiwa operasi,
pemeriksaan sebelum operasi (alasan persiapan), alat khusus yang
diperlukan, pengiriman ke ruang bedah, ruang pemulihan, kemungkinan
pengobatan-pengobatan setelah operasi, bernafas dalam dan latihan
batuk, latihan kaki, mobilitas dan membantu kenyamanan.

2) Persiapan Fisiologi, meliputi :

a) Diet (puasa) : Pada operasi dengan anaesthesi umum, 8 jam


menjelang operasi pasien tidak diperbolehkan makan, 4 jam
sebelum operasi pasien tidak diperbolehkan minum. Pada
operasai dengan anaesthesi lokal /spinal anaesthesi makanan
ringan diperbolehkan. Tujuannya supaya tidak aspirasi pada saat
pembedahan, mengotori meja operasi dan mengganggu jalannya
operasi.
b) Persiapan Perut : Pemberian leuknol/lavement sebelum operasi
dilakukan pada bedah saluran pencernaan atau pelvis daerah
periferal. Tujuannya mencegah cidera kolon, mencegah
konstipasi dan mencegah infeksi.

c) Persiapan Kulit : Daerah yang akan dioperasi harus bebas dari


rambuy

d) Hasil Pemeriksaan : hasil laboratorium, foto roentgen, ECG,


USG dan lain-lain.

e) Persetujuan Operasi / Informed Consent Izin tertulis dari pasien /


keluarga harus tersedia.

b. Fase Intra operatif

Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindahkan ke


instalasi bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.
Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup pemasangan IV cath,
pemberian medikasi intaravena, melakukan pemantauan kondisi fisiologis
menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan
pasien. Contoh : memberikan dukungan psikologis selama induksi anestesi,
bertindak sebagai perawat scrub, atau membantu mengatur posisi pasien di
atas meja operasi dengan menggunakan prinsip - prinsip dasar kesimetrisan
tubuh.

Prinsip tindakan keperawatan selama pelaksanaan operasi


yaitu pengaturan posisi karena posisi yang diberikan perawat akan
mempengaruhi rasa nyaman pasien dan keadaan psikologis pasien. Faktor
yang penting untuk diperhatikan dalam pengaturan posisi pasien adalah :

1) Letak bagian tubuh yang akan dioperasi.

2) Umur dan ukuran tubuh pasien.

3) Tipe anaesthesia yang digunakan.

4) Sakit yang mungkin dirasakan oleh pasien bila ada pergerakan (arthritis).
Prinsip-prinsip didalam pengaturan posisi pasien : Atur posisi pasien
dalam posisi yang nyaman dan sedapat mungkin jaga privasi pasien, buka area
yang akan dibedah dan kakinya ditutup dengan duk. Anggota tim asuhan
pasien intra operatif biasanya di bagi dalam dua bagian. Berdasarkan kategori
kecil terdiri dari anggota steril dan tidak steril :

1) Anggota steril, terdiri dari : ahli bedah utama / operator, asisten ahli
bedah, Scrub Nurse / Perawat Instrumen

2) Anggota tim yang tidak steril, terdiri dari : ahli atau pelaksana
anaesthesi, perawat sirkulasi dan anggota lain (teknisi yang
mengoperasikan alat-alat pemantau yang rumit).

c. Fase Post operatif

Fase Post operatif merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre


operatif dan intra operatif yang dimulai ketika klien diterima di ruang
pemulihan (recovery room)/ pasca anaestesi dan berakhir sampai evaluasi
tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah.

Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup rentang aktivitas


yang luas selama periode ini. Pada fase ini fokus pengkajian meliputi efek
agen anestesi dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas
keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan penyembuhan pasien dan
melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting
untuk penyembuhan dan rehabilitasi serta pemulangan ke rumah.

Fase post operatif meliputi beberapa tahapan, diantaranya adalah :

1) Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca anastesi


(recovery room)

Pemindahan ini memerlukan pertimbangan khusus diantaranya


adalah letak insisi bedah, perubahan vaskuler dan pemajanan. Pasien
diposisikan sehingga ia tidak berbaring pada posisi yang menyumbat
drain dan selang drainase. Selama perjalanan transportasi dari kamar
operasi ke ruang pemulihan pasien diselimuti, jaga keamanan dan
kenyamanan pasien dengan diberikan pengikatan diatas lutut dan siku
serta side rail harus dipasang untuk mencegah terjadi resiko injury.
Proses transportasi ini merupakan tanggung jawab perawat sirkuler dan
perawat anastesi dengan koordinasi dari dokter anastesi yang
bertanggung jawab.

2) Perawatan post anastesi di ruang pemulihan atau unit perawatan pasca


anastesi

Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat sementara


di ruang pulih sadar (recovery room : RR) atau unit perawatan pasca
anastesi (PACU: post anasthesia care unit) sampai kondisi pasien
stabil, tidak mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk
dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan).

PACU atau RR biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi.


Hal ini disebabkan untuk mempermudah akses bagi pasien untuk :

a) perawat yang disiapkan dalam merawat pasca operatif (perawat


anastesi)

b) ahli anastesi dan ahli bedah

alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat, no. rigester dan diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Klien merasakan pancaran urine melemah, sering kencing, dan sedikit urine yang
keluar.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien striktur uretra keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia, urgensi, disuria,
pancaran melemah, rasa tidak lampias/ puas sehabis miksi, hesistensi, intermitency,
dan waktu miksi memanjang dan akirnya menjadi retensio urine.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan, misalnya ISK
(Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang, penyakit kronis yang pernah di derita,
operasi yang pernah di jalani, kecelakaan yang pernah dialami dan adanya riwayat
penyakit DM dan hipertensi.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit
striktur urethra, DM, asma, atau hipertensi.
f) Riwayat Alergi
Kaji apakah klien dan keluarga memiliki riwayat alergi.
g) Riwayat Penggunaan Obat
Kaji obat apa yang sudah dikonsumsi selama ini, obat apa yang sudah diminum
sebelum MRS.
3.2. Pemeriksaan Fisik
1. B1 (breathing)
Kaji bentuk hidung, pergerakan cuping hidung pada waktu bernafas, kesimetrisan
gerakan dada pada saat bernafas, auskultasi bunyi nafas dan gangguan pernafasan
yang timbul. Apakah bersih atau ada ronchi, serta frekuensi nafas.
2. B2 (blood)
Adanya peningkatan TD (efek pembesaran ginjal) dan peningkatan suhu tubuh.
3. B3 (brain)
Kaji fungsi serebral, fungsi saraf cranial, fungsi sensori serta fungsi refleks.
4. B4 (bladder)
Penurunan aliran urin, ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih
dengan lengkap, dorongan dan frekuensi berkemih meningkat.
5. B5 (bowel)
Kaji apakah ada nyeri tekan abdomen, apakah ada kram abdomen, apakah ada mual
dan muntah, anoreksia, dan penurunan berat badan.
6. B6 (bone)
Kaji derajat Range of Motion dari pergerakan sendi mulai dari kepala sampai
anggota gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri yang dilaporkan klien waktu
bergerak, dan toleransi klien waktu bergerak. Kaji keadaan kulitnya, rambut dan
kuku, pemeriksaan kulit meliputi : tekstur, kelembaban, turgor, warna dan fungsi
perabaan.

3.3.Diagnosa Keperawatan
A. Pre-operasi
a. Nyeri akut b.d penebalan dinding vesika urinaria
b. Retensi urine b.d obstruksi lumen uretra
c. Ansietas b.d tindakan pembedahan
B. Intraoperasi : Risiko Perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
C. Post-op : Resiko infeksi d.d tindakan pembedahan
WOC

Kongenital Didapat : radang karena penyakit kelamin,


infeksi, trauma uretra, proses keganasan

Jaringan parut

Total tersumbat Penyempitan lumen uretra

Obstruksi saluran kemih yang Obstruksi lumen uretra


bermuara ke vesika urinaria

Kekuatan pancaran dan jumlah


Peningkatan tekanan vesika urin berkurang
urinaria

Penebalan dinding vesika Nyeri Akut


urinaria

Penurunan kontraksi otot


vesika urinaria

Kesulitan berkemih

Retensi Urin
Retensi urin

Pembedahan

Pre-op Intra-op Post-op

Ansietas Luka insisi


Risiko perdarahan

Resiko Infeksi
RENCANA KEPERAWATAN

No. Diagnosa (SDKI) Luaran (SLKI) Intervensi (SIKI)

1. Nyeri akut berhubungan dengan penebalan Tingkat nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I.08238)
dinding vesika urinaria dibuktikan dengan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Observasi
Gejala dan tanda Mayor tingkat nyeri pasien berkurang ditandai dengan :
Subjektif No. Kriteria hasil skor 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
1. Keluhan nyeri 1-5 frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
1. Mengeluh nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
2. meringis 1-5 3. Identifikasi respon nyeri nonverbal
Objektif 4. Identifikasi factor yang memperberat dan
3. Sikap protektif 1-5
4. Gelisah 1-5 memperingan nyeri
1. tampak meringis
5. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas
2. Bersikap protektif 5. Kesulitan tidur 1-5
hidup
3. Gelisah Ket.
6. Monitor efek samping penggunaan analgetik
4. Frekuensi nadi meningkat 1= meningkat
Terapeutik
5. Sulit tidur 2= cukup meningkat
7. Berikan teknik nonfarmakologi untuk
3= sedang
mengurangi nyeri
Gejala dan tanda minor 4= cukup menurun
8. Kontrol linkungan yang memperberat nyeri
Objektif 5= menurun
9. Fasilitasi istirahat dan tidur
1. Tekanan darah meningkat Edukasi
2. Pola nafas berubah 10. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
3. Nafsu makan berubah 11. Jelaskan strategi meredakan nyeri
4. Proses berpikir terganggu 12. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
5. Menarik diri 13. Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk
6. Berfokus pada diri sendiri mengurangi nyeri
7. diaforesis Kolaborasi
14. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
No. Diagnosa Luaran (SLKI) Intervensi (SIKI)
2. Retensi urine b.d obstruksi lumen uretra Eliminasi urin Kateterisasi urin (I.04148)
dibuktikan dengan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, eliminasi Observasi
Gejala dan tanda mayor urin akan membaik dengan :
No. Kriteria hasil skor 1. Periksa kondisi pasien
1. Sensasi penuh pada kandung kemih 1. Sensasi berkemih 1-5
Terapeutik
Subjektif Ket. 2. Siapkan peralatan, bahan-bahan dan ruang tindakan
1. Dysuria/anuria 1= meningkat 3. Siapkan pasien : bebaskan pakaian bawah dan
2. Distensi kandung kemih 2= cukup meningkat poisikan dorsal recumbent (untuk perempuan) dan
3= sedang supine (laki-laki)
Gejala dan tanda mayor 4= cukup menurun 4. Pasang sarung tangan
Subjektif 5= menurun 5. Bersihkan daeraha perineal
Dribbling No. Kriteria hasil skor 6. Lakukan insersi kateter urine dengan prisnsip aseptic
2. Urgensi 1-5 7. Sambungkan kateter dengan urin bag
Objektif
3. Distensi kandung kemih 1-5 8. Isi balon sesuai anjuan pabrik
1. Inkontinensia belebih 4. Hesitancy 1-5 9. Fiksasi selang kateter
2. Residu urin 150 ml atau lebih 5. Volume residu urin 1-5 10. Pastikan kantong urine ditempatkan lebih rendah
6. Drbbling 1-5 dari kandung kemih
7 Nokturia 1-5 11. Berikan label waktu pemasangan
8. mengompol 1-5
Edukasi
Ket.
1= menurun 12. Jelaskan tujuan dan procedure pemasangan katete
2= cukup menurun 13. Anjurkan mnarik napas saat insersi kateter
3= sedang
4= cukup meningkat
5= meningkat
No. Diagnosa Luaran (SLKI) Intervensi (SIKI)
3. Ansietas berhubungan dengan tindakan Tingkat ansietas Reduksi Ansietas
pembedahan dibuktikan dengan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, tingkat Observasi
Gejala dan tanda mayor ansietas akan menurun dengan :
No. Kriteria hasil skor 1. Identifikasi saat ansietas berubah
Subjektif
1. Verbalisasi khawatir akibat kondisi 1-5 2. Monitor tanda ansieta
1. Merasa bingung yang dihadapi
terapeutik
2. Merasa khawatir dengan akibat dari kondisi 2. Perilaku gelisah 1-5
yang dihadapi 3. Temani pasien untuk mengurangi ansietas
3. Perilaku tegang 1-5 4. Pahami situasi yang memperberat ansietas
3. Sulit berkonsentrasi
Objektif 5. Dengarkan dengan penuh perhatian
1. . tampak gelisah
Ket. Edukasi
2. Tampak tegang
1= meningkat
3. Sulit tidur 6. Jelaskan prosedur termasuk sensai yang dialami
2= cukup meningkat
3= sedang 7. Informasikan secara factual mengenai diagnosis,
4= cukup menurun pengobatan dan prognosis
5= menurun 8. Latih teknik relaksasi
No. Kriteria hasil skor
Kolaborasi
2. Frekuensi nadi 1-5
3. Frekuensi nafas 1-5 9. Kolaborasi pemberian antiansietas, jika perlu
4. Frekuensi tekanan darah 1-5
Ket.
1= memburuk
2= cukup memburuk
3= sedang
4= cukup embaik
5= membaik
No. Diagnosa Luaran (SLKI) Intervensi (SIKI)
4. Risiko perdaraan Tingkat perdarahan Pencegahan perdarahan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Observasi
tingkatperdarahan akan menurun dengan :
No. Kriteria hasil skor 1. Monitor tanda dan gejala perdarahan
1. hemoptsis 1-5 2. Monitor nilai hb dan ht sebelum dan sesudah
2. hematemesis 1-5 3. Monitor anda vital ortostatik
4. Monitor koagulasi
3. hematemelena 1-5

Ket. Terapeutik
1= meningkat
2= cukup meningkat 5. Batasi tindakan invasive
3= sedang 6. Pertahankan bed rest
4= cukup menurun 7. Hindari pengukuran suhu rektal
5= menurun
no Kriteria hasil skor
2. hemoglobin 1-5 Edukasi
3. hematokrit 1-5 8. Jelaskan ptanda dan gejala perdarahan
Ket. 9. Anjurkan menghindari aspirin dan antikoagulan
1= memburuk 10. Anjurkan segera melapor bila perdarahan
2= cukup memburuk
3= sedang Kolaborasi
4= cukup embaik
5= membaik 11. Kolaborasi pemberian obat pengontrol
no Kriteria hasil skor perdarahan jika perlu
2. Membrane mukosa lembab 1-5
3. Kelembapan kulit 1-5

Anda mungkin juga menyukai