Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PDA STENTING PADA AN.

M DENGAN
ATRESIA PULMONAL DI RUANG CATHLAB
RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Pelatihan Kardiovaskuler Dasar


RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Disusun oleh :
Feny Mardiyanti A.Md. Kep
Mirawati AMK
Zumaruddin Anwar A.Md. Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. SARDJITO

TAHUN 2019
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

A. Atresia Pulmonal
1. Definisi
Atresia pulmonal adalah penyakit jantung bawaan sianotik yang
ditandai dengan tidak terbentuknya jalan keluar ventrikel kanan sehingga
tidak ada aliran dari ventrikel kanan ke paru (Djer, 2014).

2. Etiologi
Etiologi dari atresia pulmonal belum diketahui secara jelas. Mungkin
berhubungan dengan kondisi-kondisi seperti:
a. Riwayat orang tua atau saudara kandung yang mempunyai kelainan
jantung kongenital
b. Ibu dengan Diabetes mellitus
c. Ibu perokok
d. Ibu mengkonsumsi alkohol
e. Terjadi infeksi berat selama dalam kandungan.
3. Klasifikasi
a. Atresia Pulmonal dengan Defek Septum Ventrikel
1) Insidens
Kelainan ini merupakan 20% dari pasien dengan gejala menyerupai
Tetralogi Fallot, dan merupakan penyebab penting sianosis pada
neonatus
2) Patologi
Walaupun letak defek septum ventrikel sama dengan pada Tetralogi
Fallot, kelainan ini berbeda dengan Tetralogi Fallot. Darah dari
ventrikel tidak dapat menuju ke arteri pulmonalis dan semua darah
dari ventrikel kanan akan masuk ke aorta. Atresia dapat mengenai
katup pulmonal, arteri pulmonalis, atau infundibulum. Suplai darah
ke paru harus melalui duktus arteriosus atau melalui kolateral aorta-
pulmonal (pembuluh darah berasal dari arkus aorta atau aorta
desendens bagian atas). Pada umumnya vaskularisasi paru
berkurang, kecuali bila terdapat duktus arteriosus atau kolateral
yang cukup besar.
3) Gambaran Klinis
Sianosis terlihat lebih dini dibandingkan dengan Tetralogi Fallot,
yaitu dalam hari-hari pertama pascalahir. Pada pemeriksaan fisis
tidak terdengar bising di daerah jalan keluar ventrikel kanan, namun
mungkin terdengar bising di daerah anterior atau posterior, yang
menunjukan terdapatnya aliran kolateral. Apabila kolateral banyak,
maka pasien mungkin tidak terlihat sianotik. Jantung dapat
membesar dan hiperaktif dan terjadi gagal jantung pada usia bayi.
Terdapatnya hipertrofi ventrikel kanan pada elektrokardiogram
serta adanya sianosis dapat menyingkirkan diagnosis duktus
arteriosus persisten.
4) Pemeriksaan Penunjang Foto polos thoraks menunjukan gambaran
mirip Tetralogi Fallot, dengan oligemia paru lebih hebat.
Elektrokardiogram memperlihatkan karakteristik seperti pada
Tetralogi Fallot, yaitu deviasi sumbu QRS ke kanan, dilatasi atrium
kanan, serta hipertrofi ventrikel kanan. Dengan ekokardiografi
tampak over-riding aorta, aorta besar, sedang katup pulmonal tidak
tampak. Perlu dipastikan apakah terdapat a.pulmonalis utama (main
pulmonary artery) dan berapa besarnya, serta danya kolateral. Pada
anak besar, kolateral ini dengan kateterisasi jantung dapat diukur
tekanannya, yang sering mempunyai tekanan sistemik. Kolateral ini
masuk ke hilus atau langsung ke paru tanpa melalui a.pulmonalis.
untuk memperlihatkan a.pulmonalis utama tidak selalu mudah,
sebab ia dapat terisi retrogard dari kolateral; injeksi kontras di
v.pulmonalis menunjukan pengisian retrogard ini.
5) Penatalaksanaan
Kelainan ini merupakan salah satu jenis duct-dependent lesion;
neonatus dapat bertahan hidup selama duktus terbuka dan bila
duktus menutup pasien akan meninggal. Karena itu harus dilakukan
usaha untuk tetap membuka duktus, baik dengan obat (pemberian
prostaglandin) atau dengan operasi paliatif (Blalock-Taussig atau
Waterston). Prostaglandin E1 atau E2 diberikan intravena dengan
dosis 0,1 µg/kg berat badan/menit. Tindakan ini sangat bermanfaat
dan menjadi prosedur standar di negara maju. Tersedia pula
prostaglandin E2 oral dengan dosis 62,5 – 250 µg/kg tiap 1 – 3 jam.
6) Perjalanan Penyakit
Tanpa operasi sebagian besar pasien meninggal dalam tahun
pertama. Sebagian kecil pasien dengan kolateral yang cukup dapat
hidup sampai dekade III.
b. Atresia Pulmonal Tanpa Defek Septum Ventrikel

1) Insidens
Atresia pulmonal tanpa defek septum ventrikel (disebut pula
dengan nama atresia pulmonal dengan septum utuh) merupakan
kelainan yang jarang ditemukan, yakni kira-kira 1% dari seluruh
penyakit jantung bawaan.
2) Patologi
Karena terdapat atresia pulmonal dan tidak terdapat defek septum
ventrikel, maka darah dari ventrikel kanan tidak dapat keluar. Dari
atrium kanan darah menuju ke atrium kiri melalui defek septum
atrium dan foramen ovale. Satu-satunya jalan darah ke paru adalah
melalui duktus arteriosus atau sirkulasi bronkial. Biasanya terdapat
insufiseinsi trikuspid.
3) Manifestasi Klinis
Sianosis telah jelas tampak pada waktu bayi lahir, yang terus
bertambah pada hari-hari pertama. Bayi sesak dengan gejala gagal
jantung. Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak terdengar bising,
atau terdengar bising pansistolik insufisiensi trikuspid atau
terdengar bising duktus arteriosus.
4) Radiologi
Setelah bayi berumur 2-3 hari, pemeriksaan radiologik
menunjukkan terdapatnya kardiomegali dengan atrium kanan
prominen. Corakan vaskular paru berkurang. Ventrikel kiri juga
prominen, arkus aorta sering tampak di kiri. Kombinasi antara
sianosis hebat, paru oligemik, serta ventrikel kiri yang dominan
mencurigakan adanya atresia pulmonal dengan septum ventrikel
yang utuh.
5) Elektrokardiografi
Terdapat gelombang P tinggi yang menunjukan pembesaran atrium
kanan. Sumbu QRS normal. Bila ventrikel kanan hipoplastik,
nampak ventrikel kiri dominan.
6) Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi 2 dimensi akan memastikan diagnosi
kelainan ini. Tampak rongga ventrikel kanan kecil dengan dinding
yang tebal, ventrikel kiri dan aorta relatif besar. Pemeriksaan
Doppler memperlihatkan arus darah dari atrium kanan ke kiri
melalui defek septum atrium atau foramen ovale persisten.
7) Kateterisasi Jantung
Kateterisasi jantung diperlukan pada kelainan ini. Tekanan pada
atrium kanan meningkat, dan tekanan ventrikel kanan biasanya
melebihi tekanan sistemik akibat tidak adanya jalan keluar. Kateter
dari ventrikel kanan tidak dapat masuk ke dalam a.pulmonalis, akan
tetapi mudah masuk dari atrium kiri ke kanan. Terdapat desaturasi
di dalam jantung kiri yang bergantung pada besarnya aliran darah
melalui duktus arteriosus. Injeksi di ventrikel kanan menunjukan
adanya obstruksi ke paru serta regurgitasi trikuspid. Dimensi
rongga ventrikel kanan dpat diukur, dan dapat dilihat adanya duktus
arteriosus.
8) Penatalaksanaan
Tanpa tindakan operasi prognosis jangka panjang pasien dengan
kelainan ini adalah buruk. Yang sulit adalah memutuskan apakah
operasi memang benar dibutuhkan. Tindakan paliatif yang
bermanfaat pada neonatus adalah septostomi atrium dengan balon
untuk menjamin aliran darah yang bebas dari atrium kanan ke
jantung kiri. Agar duktus tetap terbuka sampai saat dapat dilakukan
operasi, diberikan prostaglandin. Operasi yang dilakukan adalah
pembuatan pintasan sistemik-paru. Bila ventrikel kanan hipoplastik
dan terdapat kelainan pada katup trikuspid, maka koreksi di
kemudian hari adalah sulit.
4. Patofisiologi
Tidak terdapat hubungan langsung antara ventrikel kanan dengan
arteri pulmonalis. Patent Ductus Arteriosus (PDA) dan atau arteri kolateral
menjadi sumber utama aliran darah ke paru-paru. Aliran darah sistemik
yang masuk kedalam atrium kanan harus masuk kedalam atrium kiri
melalui defek septum atrium sehingga atrium kanan menjadi melebar dan
hipertrofi untuk mempertahankan shunt dari kanan ke kiri. Ventrikel kanan
biasanya mengalami hipoplasia dengan dinding yang tipis tetapi dapat juga
normal, pada keadaan yang lanjut dapat terjadi regurgitasi dari katup
trikuspid. Aliran darah yang berasal dari sistemik akan bercampur dengan
darah yang berasal dari vena pumonalis di atrium kiri lalu masuk ke
ventrikel kiri dan mensuplai darah ke sistemik dan ke paru-paru. Karena
PDA merupakan sumber aliran darah ke paru-paru, maka pada saat lahir
dan terjadi penutupan dari PDA, maka akan terjadi penurunan aliran darah
pulmonal sehingga aliran darah pulmonal sangat tergantung pada aliran
darah kolateral yang tidak adekuat.
B. Patent Ductus Arteriosus (PDA)
1. Definisi PDA
Patent Ductus Arteriosus (PDA) adalah kegagalan duktus arteriosus
untuk menutup setelah kelahiran. Duktus arteriosus, pada keadaan normal,
akan menutup dua hingga tiga hari setelah bayi dilahirkan. 1 Secara
fungsional, duktus arteriosus menutup pada sekitar 90% bayi cukup bulan
atau aterm dalam 48 jam setelah lahir. Secara persisten, beberapa
intermiten, terbukanya duktus hingga selama sepuluh hari setelah kelahiran
ditemukan pada pasien dengan kelainan sirkulasi dan ventilasi, bahkan
periode patensi yang lebih lama banyak ditemukan pada bayi prematur.
2. Epidemiologi PDA
Faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap tetap terbukanya
duktus arteriosus melebihi 24 – 48 jam awal kehidupan bayi baru lahir
belum diketahui secara sempurna. Prematuriras dengan jelas meningkatkan
insidensi PDA, dan hal ini diakibatkan faktor fisiologis yang lebih
berhubungan dengan prematuritas daripada kelainan duktus itu sendiri.
Pada bayi cukup bulan, kasus yang sering muncul terjadi secara sporadis,
tetapi terdapat peningkatan bukti – bukti yang menunjukkan bahwa faktor
genetik berperan pada banyak pasien dengan PDA. Di samping itu, faktor
lain seperti infeksi pada masa kehamilan juga ditemukan berperan pada
beberapa kasus. Insidensi PDA pada bayi cukup bulan dilaporkan hanya
satu dalam dua ribu kelahiran, terhitung 5% - 10% dari semua penyakit
jantung bawaan. Insidensi PDA pada bayi prematur jauh lebih tinggi,
dengan angka antara 20% - 60% (tergantung pada populasi dan kriteria
diagnostik). Peningkatan insidensi PDA pada bayi prematur atau kurang
bulan biasanya diakibatkan oleh ketidaksempurnaan mekanisme penutupan
karena imaturitas. Umur kehamilan dan berat badan lahir sangat berkaitan
dengan PDA pada bayi prematur. Secara spesifik, PDA terdapat pada 80%
bayi dengan berat badan lahir kurang dari 1.200 gram, dibandingkan
dengan 40% bayi dengan berat badan kurang dari 2.000 gram. 18 Lebih
jauh, PDA simptomatik ditemukan terdapat pada 48% bayi dengan berat
badan lahir kurang dari 1.000 gram. Hubungan yang berbanding terbalik
antara berat badan lahir dengan insidensi PDA.
3. Faktor Risiko
Faktor yang bertanggung jawab atas PDA belum dimengerti
sepenuhnya. Prematuritas secara jelas meningkatkan insidensi PDA dan hal
ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor fisiologis yang berhubungan dengan
prematuritas dari pada abnormalitas duktus. Pada bayi cukup bulan, kasus
lebih sering terjadi secara sporadik, tetapi terdapat peningkatan bukti
bahwa faktor genetik berperan pada pasien dengan PDA. Sebagai
tambahan, faktor-faktor lain seperti infeksi prenatal juga memiliki peran.
PDA lebih sering terjadi pada sindroma-sindroma genetik tertentu,
termasuk dengan perubahan kromosom yang diketahui seperti trisomi 21
dan sindroma 4p, mutasi gen tunggal seperti Carpenter syndrome dan Holt-
Oram syndrome, mutasi terkait kromosom X seperti inkontinensia
pigmenti. Infeksi rubela pada kehamilan trimester pertama, terutama pada
empat minggu pertama berhubungan dengan insidensi PDA. PDA juga
dilaporkan mempunyai hubungan dengan faktor lingkungan lain seperti
fetal valproate syndrome.
4. Patofisiologi PDA
Duktus arteriosus berasal dari lengkung aorta dorsal distal ke enam
dan secara utuh dibentuk pada usia ke delapan kehamilan. Perannya adalah
untuk mengalirkan darah dari paru-paru fetus yang tidak berfungsi melalui
hubungannya dengan arteri pulmonal utama dan aorta desendens
proksimal. Pengaliran kanan ke kiri tersebut menyebabkan darah dengan
konsentrasi oksigen yang cukup rendah untuk dibawa dari ventrikel kanan
melalui aorta desendens dan menuju plasenta, dimana terjadi pertukaran
udara. Sebelum kelahiran, kirakira 90% curahan ventrikel mengalir melalui
duktus arteriosus. Penutupan duktus arteriosus pada bayi kurang bulan
berhubungan dengan angka morbiditas yang signifikan, termasuk gagal
jantung kanan. Biasanya, duktus arteriosus menutup dalam 24-72 jam dan
akan menjadi ligamentum arteriosum setelah kelahiran cukup bulan.
Konstriksi dari duktus arteriosus setelah kelahiran melibatkan
interaksi kompleks dari peningkatan tekanan oksigen, penurunan sirkulasi
prostaglandin E2 (PGE2), penurunan resepetor PGE2 duktus dan
penurunan tekanan dalam duktus. Hipoksia dinding pembuluh dari duktus
menyebabkan penutupan melalui inhibisi dari prostaglandin dan nitrik
oksida di dalam dinding duktus.
Patensi dari duktus arteriosus biasanya diatur oleh tekanan oksigen
fetus yang rendah dan sirkulasi dari prostanoid yang dihasilkan dari
metabolisme asam arakidonat oleh siklooksigenase (COX) dengan PGE2
yang menghasilkan relaksasi duktus yang paling hebat di antara prostanoid
lain. Relaksasi otot polos dari duktus arteriosus berasal dari aktivasi
reseptor prostaglandin G berpasangan EP4 oleh PGE2. Setelah aktivasi
reseptor prostaglandin EP4, terjadi kaskade kejadian yang termasuk
akumulasi siklik adenosine monofosfat, peningkatan protein kinase A dan
penurunan miosin rantai ringan kinase, yang menyebabkan vasodilatasi dan
patensi duktus arteriosus.
Dalam 24-72 jam setelah kelahiran cukup bulan, duktus arteriosus
menutup sebagai hasil dari peningkatan tekanan oksigen dan penurunan
sirkulasi PGE2 dan prostasiklin. Seiring terjadinya peningkatan tekanan
oksigen, kanal potassium dependen voltase pada otot polos terinhibisi.
Melalui inhibisi tersebut, influx kalsium berkontribusi pada konstriksi
duktus. Konstriksi yang disebabkan oleh oksigen tersebut gagal terjadi
pada bayi kurang bulan dikarenakan ketidakmatangan reseptor perabaan
oksigen. Kadar dari PGE2 dan prostaglandin I1 (PGI1) berkurang
disebabkan oleh peningkatan metabolisme pada paru-paru yang baru
berfungsi dan juga oleh hilangnya sumber plasenta. Penurunan dari kadar
vasodilator tersebut menyebabkan duktus arteriosus berkontriksi. Faktor-
faktor tersebut berperan dalam konstriksi otot polos yang menyebabkan
hipoksia iskemik dari dinding otot bagian dalam duktus arteriosus.
Selagi duktus arteriosus berkonstriksi, area lumen berkurang yang
menghasilkan penebalan dinding pembuluh dan hambatan aliran melalui
vasa vasorum yang merupakan jaringan kapiler yang memperdarahi sel-sel
luar pembuluh. Hal ini menyebabkan peningkatan jarak dari difusi untuk
oksigen dan nutrisi, termasuk glukosa, glikogen dan adenosine trifosfat
yang menghasilkan sedikit nutrisi dan peningkatan kebutuhan oksigen yang
menghasilkan kematian sel. Konstriksi ductal pada bayi kurang bulan tidak
cukup kuat. Oleh karena itu, bayi kurang bulan tidak bias mendapatkan
hipoksia otot polos, yang merupakan hal utama dalam merangsang
kematian sel dan remodeling yang dibutuhkan untuk penutupan permanen
duktus arteriosus. Inhibisi dari prostaglandin dan nitrik oksida yang berasal
dari hipoksia jaringan tidak sebesar pada neonatus kurang bulan
dibandingkan dengan yang cukup bulan, sehingga menyebabkan lebih
lanjut terhadap resistensi penutupan duktus arteriosus pada bayi kurang
bulan.
Pemberi nutrisi utama pada duktus arteriosus di bagian lumen, namun
vasa vasorum juga merupakan pemberi nutrisi penting pada dinding luar
duktus. Vasa vasorum berkembang ke dalam lumen dan memiliki panjang
400-500 μm dari dinding luar duktus. Jarak antara lumen dan vasa vasorum
disebut sebagai zona avaskular dan melambangkan jarak maksimum yang
mengizinkan terjadinya difusi nutrisi. Pada bayi cukup bulan, zona
avaskular tersebut berkembang melebihi jarak difusi yang efektif sehingga
menyebabkan kematian sel. Pada bayi kurang bulan, zona avaskuler
tersebut tidak mengembang secara utuh yang menyebabkan sel tetap hidup
dan menyebabkan terjadinya patensi duktus. Apabila kadar PGE2 dan
prostaglandin lain menurun melalui inhibisi COX, penutupan dapat
terfasilitasi. Sebagai hasil dari defisit nutrisi dan hipoksia iskemik, vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan kombinasinya dengan mediator
peradangan lain menyebabkan remodeling dari duktus arteriosus menjadi
ligamen non kontraktil yang disebut ligamentum arteriosum.
5. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis PDA
Terdapat beberapa bentuk manifestasi klinis PDA yang mempunyai
beberapa perbedaan, tergantung dari klasifikasi PDA, yaitu PDA kecil,
PDA sedang atau moderat, PDA besar, dan PDA besar dengan hipertensi
pulmonal.
PDA kecil dengan diameter 1,5-2,5 milimeter biasanya tidak memberi
gejala. Tekanan darah dan tekanan nadi dalam batas normal. Jantung tidak
membesar. Kadang teraba getaran bising di sela iga II kiri sternum. Pada
auskultasi terdengar bising kontinu, machinery murmur yang khas untuk
PDA, di daerah subklavikula kiri. Bila telah terjadi hipertensi pulmonal,
bunyi jantung kedua mengeras dan bising diastolik melemah atau
menghilang.
PDA sedang/moderat dengan diameter 2,5-3,5 milimeter biasanya
timbul sampai usia dua sampai lima bulan tetapi biasanya keluhan tidak
berat. Pasien mengalami kesulitan makan, seringkali menderita infeksi
saluran nafas, namun biasanya berat badannya masih dalam batas normal.
Anak lebih mudah lelah tetapi masih dapat mengikuti permainan.
PDA besar dengan diameter >3,5-4,0 milimeter menunjukkan gejala
yang berat sejak minggu-minggu pertama kehidupannya. Ia sulit makan
dan minum, sehingga berat badannya tidak bertambah. Pasien akan tampak
sesak nafas (dispnea) atau pernafasan cepat (takipnea) dan banyak
berkeringat bila minum.
PDA besar yang tidak diobati dan berkembang menjadi hipertensi
pulmonal akibat penyakit vaskular paru, yakni suatu komplikasi yang
ditakuti. Komplikasi ini dapat terjadi pada usia kurang dari satu tahun,
namun jauh lebih sering terjadi pada tahun ke-2 dan ke-3. Komplikasi ini
berkembang secara progresif, sehingga akhirnya ireversibel, dan pada
tahap tersebut operasi koreksi tidak dapat dilakukan. Pemeriksaan
kateterisasi dan angiografi jantung hanya dilakukan bila terdapat hipertensi
pulmonal, yaitu dimana secara Doppler echokardiografi tidak terlihat aliran
diastolik. Pada kateterisasi didapat kenaikan saturasi oksigen di arteri
pulmonalis. Bila tekanan di arteri pulmonalis meninggi perlu di ulang
pengukurannya dengan menutup PDA dengan kateter balon. Angiografi
ventrikel kiri dilakukan untuk mengevaluasi fungsinya dan juga melihat
kemungkinan adanya defek septum ventrikel atau kelainan lain yang tidak
terdeteksi dengan pemeriksaan echokardiografi.
6. Diagnosis PDA
Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
mendiagnosis PDA, antara lain pemeriksaan radiologi, elektrokardiografi,
ekokardiografi, serta kateterisasi dan angiokardiografi.
Dalam pemeriksaan radiologi, pada PDA simpel, gambaran radiografi
tergantung pada ukuran defeknya. Jika defeknya kecil biasanya jantung
tidak tampak membesar. Jika defeknya besar kedua atrium kiri dan
ventrikel kiri juga tampak membesar. Pemeriksaan elektrokardiografi,
gambaran elektrokardiogram (EKG) bisa terlihat normal atau mungkin juga
terlihat manifestasi dari hipertrofi dari ventrikel kiri. Hal tersebut
tergantung pada besar defeknya. Pada pasien dengan hipertensi pulmonal
yang di sebabkan peningkatan aliran darah paru, hipertrofi pada kedua
ventrikel data tergambarkan melalui EKG atau dapat juga terjadi hipertrofi
ventrikel kanan saja.
Melalui pemeriksaan ekokardiografi, dapat dilihat visualisasi secara
langsung dari duktus tersebut dan dapat mengkonfirmasi secara langsung
drajat dari defek tersebut. Pada bayi kurang bulan dengan suspek PDA
dapat dilihat dari ekokardiografi untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Mendeteksi jika sudah terjadi shunt dari kiri ke kanan.
Pemeriksaan kateterisasi dan angiografi jantung hanya dilakukan bila
terdapat hipertensi pulmonal, yaitu dimana secara Doppler ekokardiografi
tidak terlihat aliran diastolik. Pada kateterisasi didapat kenaikan saturasi
oksigen di arteri pulmonalis. Bila tekanan di arteri pulmonalis meninggi
perlu di ulang pengukurannya dengan menutup PDA dengan kateter balon.
Angiografi ventrikel kiri dilakukan untuk mengevaluasi fungsinya dan juga
melihat kemungkinan adanya defek septum ventrikel atau kelainan lain
yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan ekokardiografi.
7. Penatalaksanaan PDA
Terdapat beberapa jenis terapi untuk menangani kasus – kasus PDA,
yaitu terapi medikamentosa, terapi bedah, dan penutupan secara
transkateter. Terapi medikamentosa diberikan terutama pada duktus ukuran
kecil, dengan tujuan terjadinya kontriksi otot duktus sehingga duktus
menutup. Salah satu jenis obat yang sering diberikan adalah indometasin,
yang merupakan inhibitor sintesis prostaglandin yang terbukti efektif
mempercepat penutupan duktus arteriosus. Tingkat efektifitasnya terbatas
pada bayi kurang bulan dan menurun seiiring menigkatnya usia paska
kelahiran. Efeknya terbatas pada 3–4 minggu kehidupan. Obat yang kedua
adalah ibuprofen, yaitu inhibitor non selektif dari COX yang berefek pada
penutupan duktus arteriosus. Studi klinik membuktikan bahwa ibuprofen
memiliki efek yang sama dengan indometasin pada pengobatan duktus
arteriosus pada bayi kurang bulan.
Terapi melalui tindakan pembedahan dilakukan berdasarkan atas
beberapa indikasi. Pada penderita dengan PDA kecil, dilakukan tindakan
bedah adalah untuk mencegah endarteritis atau komplikasi lambat lain.
Pada penderita dengan PDA sedang sampai besar, penutupan diselesaikan
untuk menangani gagal jantung kongestif atau mencegah terjadinya
penyakit vaskuler pulmonal. Bila diagnosis PDA ditegakkan, penangan
bedah jangan terlalu ditunda sesudah terapi medik gagal jantung kongestif
telah dilakukan dengan cukup. Karena angka kematian kasus dengan
penanganan bedah sangat kecil kurang dari 1% dan risiko tanpa
pembedahan lebih besar, pengikatan dan pemotongan duktus terindikasi
pada penderita yang tidak bergejala. Hipertensi pulmonal bukan merupakan
kontraindikasi untuk operasi pada setiap umur jika dapat dilakukan pada
kateterisasi jantung bahwa aliran pirau masih dominan dari kiri ke kanan
dan bahwa tidak ada penyakit vaskuler pulmonal yang berat.
Penutupan PDA secara transkateter merupakan standar bagi penanganan
bagi banyak kasus dan penutupan PDA diindikasian terhadap semua pasien
dengan tanda volume ventrikel kiri yang terlalu penuh. Pada kasus PDA
pirau kiri ke kanan dengan hipertensi pulmonal berat, penutupan dapat
dilakukan dengan kondisi khusus. Coil dan ADO merupakan alat
penutupan PDA secara transkateter yang paling banyak digunakan di
seluruh dunia.
8. Komplikasi PDA
Komplikasi yang parah dapat terjadi pada PDA. Adanya penurunan
insidensi dari PDA dikarenakan oleh menutupnya duktus arteriosus dengan
cepat atau pada beberapa keadaan dimana gejala belum terlihat.
Pengobatan profilaksis pada bayi kurang bulan dengan surfaktan yang
kurang meningkatkan terjadinya PDA. Penutupan duktus arteriosus
menurunkan resiko pendarahan pada paru. Intoleransi dari pemberian
makanan secara enternal dan nekrosis enterokolitis juga sering terjadi pada
bayi kurang bulan. Sebagaimana disebutkan di atas, insidensi pada kondisi
ini tampaknya terkait dengan penurunan aliran darah gastrointestinal,
dimana telat diteliti pada domba yang menderita PDA. Insiden nekrosis
enterikolitis menurun secara signifikan pada bayi yang duktus
arteriosusnya telah menutup.
Bayi dengan PDA yang besar meningkatkan tekanan arteri pulmonal,
dan jika terdapat perpindahan aliran darah dari kiri ke kanan dalam jumlah
yang besar, tekanan atrium kiri dan vena pulmonal akan meningkat, maka
akan meningkatkan transudasi cairan ke jaringan paru dan alveolus.
Pada bayi kurang bulan, kapiler pulmonal lebih permeable dari bayi
yang cukup bulan. Protein plasma dapat masuk ke dalam alveolus dan
mengganggu fungsi surfaktan. Telah diusulkan bahwa faktor-faktor ini
berkontribusi pada kerusakan paru yang kemudian dapat menjadi penyakit
paru kronis atau dysplasia bronkopulmonar. Penutupan yang cepat pada
PDA secara signifikan menurunkan risiko displasia bronkopulmoner.
Prognosis untuk pasien dengan defek yang besar atau hipertensi pulmonal
tidak baik dan terjadi keterlambatan dalam pertumbuhan dan
perkembangan, pneumonia yang berulang
9. Prognosis PDA
Pasien dengan simple PDA dan defek ringan sampai sedang biasanya
dapat bertahan tanpa tindakan pembedahan walaupun pada tiga sampai
empat dekade kehidupan biasanya muncul gejala seperti mudah lelah, sesak
nafas bila beraktifitas dan exercise intolerance dapat muncul. Hal tersebut
merupakan konsekuensi dari hipertensi pulmonal atau gagal jantung
kongestif.
Penutupan PDA secara spontan masih dapat terjadi sampai umur 1
tahun. Hal ini biasanya terjadi pada bayi kurang bulan. Setelah umur 1
tahun penutupan secara spontan jarang di temukan karena di sebabkan
terjadinya endokarditis sebagai komplikasi yang paling berpotensi.
Prognosis untuk pasien dengan defek yang besar atau hipertensi
pulmonal tidak baik dan terjadi keterlambatan dalam pertumbuhan dan
perkembangan, pneumonia yang berulang dan gagal jantung kongestif.
Oleh karena itu pasien PDA dengan defek besar walaupun masih dalam
usia baru lahir perlu dilakukan operasi penutupan PDA segera.
BAB II
TIFNJAUAN KASUS

A. Pengkajian
1. Identitas
a. Nama : An. M
b. RM : 018***
c. Tanggal lahir : 19/09/19
d. Umur : 1 bulan
e. Jenis kelamin : laki-laki
f. Berat badan : 3,76 kg
g. Panjang badan : 52 cm
h. Diagnosa medis : pulmonary atresia with intact septum, small
PDA, hipertrophy dan hipoplastic RV, small
ASD
i. Rencana tindakan : PDA stenting
2. Riwayat kesehatan
Pasien merupakan pasien rujukan dari RS Muwardi. Sejak lahir pasien
biru. Riwayat kelahiran P1A0 usia kehamilan 39 minggu dengan BBL 2,7
kg lahir secara SC. Hasil echo menunjukan pasien ASD, VSD PMO, PDA
dan pulmonary atresia. Kemudian pasien dirujuk ke RSUP Dr. Sardjito.
3. Persiapan tindakan
a. Persiapan administratif
1) Inform consent tindakan
2) Inform consent anestesi
3) Rekam EKG
b. Persiapan pasien
1) Pemeriksaan laboratorium
- Hb : 15,1 g/dL
- Control/APTT : 42,0 / 31,4 detik
- HbsAg : non reaktif
2) BB : 3,76 kg
3) PB : 52 cm
4) Persiapan gastrointestinal : pasien puasa
4. Catatan sebelum tindakan
a. Pasien
1) Identitas atau gelang ID diperiksa dan diverifikasi
2) Persiapan lambung atau usus telah dilakukan
3) Pasien telah puasa
4) Alergi sudah diklarifikasi (tidak ada alergi)
b. Dokumen
1) Persetujuan tindakan telah ditandatangani dan sah
2) Tersedia catatan medik pasien/RM
c. Barang/protesa yang dipakai pasien dilepas
Pasien tidak memakai perhiasan/protesa
5. Proses pelaksanaan tindakan
a. Sign In
Telah dikonfirmasi pada pukul 09.00
1) Benar pasien
2) Formulir persetujuan tindakan
3) Benar peralatan
4) Benar pemeriksaan penunjang terkait
b. Time Out
1) Benar pasien
2) Benar prosedur : PDA stenting
3) Benar lokasi sisi tubuh pasien (tempat prosedur akan dilakukan)
diperiksa dan dikonfirmasi pada arteri dan vena femoralis dekstra
c. Sign Out
1) Nama prosedur telah dicatat
2) Instrumen, sponge telah dihitung dengan benar
3) Tidak ada pengambilan jaringan
4) Tidak ada masalah dengan peralatan selama tindakan
6. Pelaksanaan tindakan PDA Stenting

WAKTU PROSEDUR
09.37 Pasien masuk ruang tindakan cathlab
09.37 Memberikan antibiotik 200mg IV
09.37 Menyiapkan lokasi akses, mendesinfektan dengan betadine dan
alkohol di daerah arteri femoral dekstra serta melakkukan drapping
09.37 Dokter masuk ruang tindakan cathlab
09.38 Time Out
09.38 Memberikan general anestesi
09.49 Memasang akses dengan memasukkan sheath 6 fr pada arteri femoralis
dekstra
09.50 Memasang akses dengan memasukkan sheath 6 fr pada vena femoralis
dekstra
09.53 Memberikan heparin 200 unit
09.54 Kateter MP 5 fr masuk ke vena perifer, SpO2 79%
09.54 MP catheter 5fr masuk AO ke LV
Ambil saturasi dan pressure di Ao
Pressure (mmHg) : Ao 64/31 (48)
Saturation : Ao 80,2%, perifer : 79%
09.58 Memasukkan wire BMW 0,014 ke AO melewati PDA ke PA
09.58 AO grafi dengan kontras contrast 1 : ultravist 30 m/s menunjukkan
PDA dengan diameter 3.7 mm dengan panjang 9 mm
Setelah AO grafi MP cath diganti wire dengan cath JR GFI
10.13 Memasukkan stent Resolute RX 4.0/18 mm yang ditempatkan pada
PDA
10.13 Inflate stent
10.15 AO grafi post stenting
Pressure Ao : 61/23 (38) mmHg
Perifer saturation 97%
10.38 tindakan selesai
10.39 Sheath arteri dan vena femoralis dilepas, puncture ditutup kassa,
plester dan dibalut dengan elastic verban
10.39 Total fluoro time : 11.49 mins
Total fluoro dose : 22.79 mGy
Total contrast 1 : ultravist 30 m/s
10.42 Telah dilakukan PDA stenting pada pasien dengan atresia pulmonal,
small PDA, hipertrophy dan hipoplastic RV, small ASD II R to L shunt
dengan hasil :
1. Ao grafi : tampak PDA kecil, diameter 3,7 mm
Pressure (mmHg) : Ao 64/31
Saturation : Ao 80,2%, perifer : 79%
2. Dilakukan PDA stenting dengan stent resolute RX 4.0/18 mm
3. Tampak peningkatan aliran darah diarteri pulmonalis dan saturasi
perifer meningkat
4. Post PDA stenting :
Pressure Ao : 61/23
Perifer saturation 97%
5. Tidak didapatkan komplikasi sebelum, selama dan setelah
prosedur
Kesimpulan : succesfull PDA stenting
10.45 Pasien dipindahkan ke RR

7. Instruksi post tindakan


a. Monitoring keadaan umum, vital sign dan perdarahan
b. Immobilisasi tungkai bawah selama 6 jam post tindakan
c. Evaluasi saturai tungkai setiap 5 menit selama 30 menit
d. Makan dan minum secara bertahap setelah pasien sadar penuh
8. Terapi post tindakan
a. Drip heparin 10 unit/kgBB/jam IV
b. Aspilet 1x15 mg PO
B. Analisa Data
Hari, tanggal : Selasa, 29 Oktober 2019
No Data Masalah Penyebab
1. DS : - Risiko Penusukan
DO : Trauma kateter
- bekas puncture arteri dan vena femoralis vaskuler
dekstra terbalut kassa dan elastic verban
- pasien gelisah dan menangis
- SpO2 : 97%
- HR : 150 x/m teraba lemah

C. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko trauma vaskuler berhubungan dengan penusukan kateter

D. Intervensi Keperawatan

NO. TUJUAN INTERVENSI


1. Setelah dilakukan tindakan 1. Kontrol resiko
keperawatan selama 1x1 jam tidak a. Monitor tanda-tanda perdarahan
terjadi trauma vaskuler pada b. Ukur vital sign
pasien dengan kriteria : c. Observasi nadi tungkai bawah setiap
Tidak ada tanda-tanda hematome 5 menit selama 30 menit
dan atau perdarahan d. Edukasi keluarga untuk
Mira, Zumarudin, Feny immobilisasi tungkai bawah pasien
selama 6 jam setelah dilakukan
tindakan
Mira, Zumarudin, Feny
E. Implementasi

Tanggal IMPLEMENTASI EVALUASI


/ Jam

Kamis a. Monitor tanda-tanda perdarahan S:-


29/10/19 b. Ukur vital sign O : pasien menangis
09.45 c. Observasi nadi tungkai bawah HR : 153 x/menit
setiap 5 menit selama 30 menit SpO2 : 96%-99%
d. Edukasi keluarga untuk Bekas puncture ditutup kassa dan
immobilisasi tungkai bawah plester lalu diberikan elastic verban
pasien selama 6 jam setelah Kaki pasien dibedong kuat
dilakukan tindakan Keluarga pasien mengangguk
ketika diberi edukasi
Mira, Zumarudin, Feny Keluarga pasien menyatakan
paham
A : Resiko trauma vaskuler belum
teratasi
P : Lanjutkan intervensi
Monitor tanda-tanda hematome
Monitor tanda-tanda vital
Monitor denyut nadi tungkai
bawah

Mira, Zumarudin, Feny


BAB III
KESIMPULAN

Atresia pulmonal tanpa defek septum ventrikel, disebut pula dengan nama
atresia pulmonal dengan septum utuh. Karena terdapat atresia pulmonal dan tidak
terdapat defek septum ventrikel, maka darah dari ventrikel kanan tidak dapat keluar.
Dari atrium kanan darah menuju ke atrium kiri melalui defek septum atrium dan
foramen ovale. Satu-satunya jalan darah ke paru adalah melalui duktus arteriosus
atau sirkulasi bronkial.
1. An.M dengan Atresia Pulmonal dan PDA telah dilakukan PDA stenting dengan
hasil succesfull PDA stenting.
2. Diganosa keperawatan yang muncul yaitu resiko trauma vaskuler.
3. Resiko trauma vaskuler belum teratasi selama di ruang RR, sehingga perlu
dlanjutkan intervensi setelah dipindah di ruang perawatan
DAFTAR PUSTAKA

Rachmawati. 2013. Atresia Pulmonal. Bandung. Diakses pada 05 November 2019


pada halaman https://docplayer.info/45916308-Gambar-1-atresia-
pulmonal-sumber-http-www-mayoclinic-org-images-pulmonary-valve-
atresia-lg-enlg-jpg.html

Sastroasmoro S, Madyino B. Buku ajar kardiologi anak. Ikatan dokter anak


indonesia. Binarupa aksara. Jakarta. 1994.

Anda mungkin juga menyukai