Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya dapat diwujudkan dengan
memberikan asuhan pada ibu bersalin secara tepat. Periode kala III persalinan dimulai saat
proses lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta. Komplikasi utama yang terkait
dengan periode ini adalah perdarahan postpartum (PPH), yang merupakan penyebab paling
umum dari morbiditas dan kematian ibu di negara-negara berkembang. Bahkan di negara
maju, meskipun angka kematian ibu jauh lebih rendah, PPH tetap menjadi perhatian
utama. Peristiwa ini dilatarbelakangi kejadian tromboemboli dan penyakit hipertensi sebagai
penyebab umum kematian ibu pada wanita yang kehamilannya berlanjut setelah 20 minggu.
Periode postpartum sangat dini ini berhubungan dengan komplikasi ibu dari perdarahan,
perpindahan cairan, dan emboli. Selama kala ini, fokus dan perasaan emosional serta
kelegaan fisik ibu sering kali berubah secara spontan dari kelelahan konsentrasi terhadap
kelahiran yang actual menjadi eksplorasi dan pengenalan terhadap bayinya yang baru lahir.
Untuk memfasilitasi diperolehnya hasil akhir yang aman dan sehat untuk ibu dan bayinya,
kesehatan antenatal dan juga persiapan intrapartum, keterampilan, ketekunan, dan keahlian
bidan merupakan faktor yang sangat penting.
Kala III dimulai sejak bayi lahir sampai lahirnya plasenta. Rata-rat lama kala III
berkisar 15-30 menit, baik pada primipara maupun multipara. Risiko perdarahan meningkat
apabila kala tiga lebih dari 30 menit, terutama antara 30-60 menit.
Pentalaksanaan aktif didefinisikan sebagai pemberian oksitosin segera setelah
pelahiran bahu anterior, mengklem tali pusat, segera setelah pelahiran bayi, dan
menggunakan traksi tali pusat terkendali untuk pelahiran plasenta. Penelitian selanjutnya
mengonfirmasi kehilangan darah yang jauh lebih sedikit pada penatalaksanaan aktif kala III.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Identifikasi Dan Pemantauan Kala III
2. Bagaimana Mendiagnosa Persalinan Kala III
3. Bagaimana Asuhan Kebidanan Kala III
4. Bagaimana Identifikasi Penyulit dan Komplikasi Kala III serta Penanganannya
5. Bagaimana Konsep Dasar Manual Plasenta

1.3 Tujuan
Mengerahui
1. Identifikasi Dan Pemantauan Kala III
2. Mendiagnosa Persalinan Kala III
3. Asuhan Kebidanan Kala III
4. Identifikasi Penyulit dan Komplikasi Kala III serta Penanganannya
5. Konsep Dasar Manual Plasenta

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Identifikasi Dan Pemantauan Kala III


Kala III dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta dan
selaput ketuban.
Kala III merupakan periode waktu dimulai ketika bayi lahir dan berakhir pada saat
plasenta seluruhnya sudah dilahirkan. Mengapa Kala III penting? Perlu diingat bahwa tiga
puluh persen penyebab kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan pasca persalinan. Dua
pertiga dari perdarahan pasca persalinan disebabkan oleh atonia uteri.
Kala III dimulai sejak bayi lahir sampai lahirnya plasenta/uri. Rata-rat lama kala III berkisar
15-30 menit, baik pada primipara maupun multipara. Risiko perdarahan meningkat apabila
kala tiga lebih dari 30 menit, terutama antara 30-60 menit.
Pentalaksanaan aktif didefinisikan sebagai pemberian oksitosin segera setelah
pelahiran bahu anterior, mengklem tali pusat, segera setelah pelahiran bayi, dan
menggunakan traksi tali pusat terkendali untuk pelahiran plasenta. Penelitian selanjutnya
mengonfirmasi kehilangan darah yang jauh lebih sedikit pada penatalaksanaan aktif kala III,
bahkan pada populasi yang beresiko rendah mengalami perdarahan post-partum.

Pemantauan Kontraksi
Seperti diketahui bahwa otot rahim terdiri atas tiga lapis yang teranyam dengan sempurna
yaitu, lapisan otot longitudinal dibagian luar, lapisan otot sirkuler dibagian dalam, dan lapisan
otot menyilang diantara keduanya. Dengan susunan demikian, pembuluh darah yang terdapat
diantara otot rahim akan tertutup rapat saat terjadinya kontraksi postpartum.
Pada saat inpartu perlu dilakukan observasi yang seksama karena tertutupnya pembuluh
darah mengurangi oksigen ke peredaran darah retroplasenter, sehingga dapat menimbulkan
asfiksia intrauterin.Dengan demikian pengawasan dan pemeriksaan djj segera setelah
kontraksi rahim, terutama pada kala 2, sangat penting sehingga dengan cepat dapat diketahui
terjadinya asfiksia janin.Kontraksi otot rahim bersifat otonom artinya tidak dapat
dikendalikan oleh parturien, sedangkan serat saraf simpstis dan parasimpatis hanya bersifat
koordinasi.

3
Beberapa sifat kontraksi rahim dijabarkan sebagai berikut:
1) Amplitudo
 Kekuatan his diukur dengan mm Hg
 Cepat mencapai puncak dan diikuti relaksasi yang tidak lengkap sehingga kekuatannya
tidak mencapai 0 mm Hg.
 Setelah kontraksi otot rahim mengalami retraksi (teidak kembali kepanjang semula).
2) Frekuensi
Jumlah terjadinya his selama 10 menit
3) Durasi his
 Lamanya his terjadi pada setiap saat
 Diukur dengan detik
4) Interval His
Tenggang waktu antara 2 his
5) Kekuatan His
Perkalian antar amplitudo dengan frekuensi yang ditetapkan dengan satuan Montevideo.
Aktivitas kontraksi rahim (his) mempunyai beberapa ciri sebagai berikut:
a) Saat Hamil
Perubahan perimbangan estrogen dan progesteronb menimbulkan kontraksi
otot rahim dengan sifat tidak teratur menyeluruh, tidak nyeri dan berkekuatan 5 mm Hg yang
disebut dengan kontraksi Braxton hicks.Makin tua kehamilan, kontraksi Braxton Hicks makin
sering terjadi sejak umur kehamilan 30 minggu. Kekuatan kontraksi tersebut akan menjadi
kekuatan his dalam persalinan.
b) Kekuatan His kala pertama
Sifat kontraksi otot rahim pada kala pertama adalah:
 Kontraksi bersifat simetris
 Fundal dominan, artinya bagian fundus uteri sebagai pusat dan mempunyai kekuatan yang
paling besar.
 Involunter artinya tidak dapat diatur oleh parturien
 Intervalnya makin lama makin pendek
 Kekuatannya makin besar dan pada kala pengusiran diikuti dengan refleks mengejan.
 Diikuti retraksi artinya panjang otot rahim yang telah berkontraksi tidak akan kembali
kepanjang semula.

4
 Setiap kontraksi dimulai dengan pace maker yang terletak sekitar insersi tuba, dengan
arah perjalaran ke daerah serviks uteri dengan kecepatan 2 cm/detik
 Kontraksi rahim menimbulkan rasa sakit pada pinggang, daerah perut daan dapat
menjalar kedaerah paha.Distribusi susunan otot rahim ke arah serviks yang semakin
berkurang menyebabkan serviks bersifat pasif, sehingga terjadi keregangan/penipisan,
seolah-olah janin terdorong kearah jalan lahir.Bagian rahim yang berkontraksi dengan
yang menipis dapat diraba atau terlihat, tetapi tidak melebihi batas setengah pusat
simfisis.
Pada kala pertama, amplitudo sebesar 40 mm Hg, menyebabkan pembukaan serviks,
interval 3 sampai 4 menit dan lamanya berkisar antara 40 sampai 60 detik. Akhir kala
pertama ditetapkan dengan kriteria yaitu, pembukaan lengkap, ketuban pecah, dan dapat
disertai refleks mengejan.

3) Kekuatan His kala kedua (pengusirana)


Kekuatan his pada akhir kala pertama atau permulaan kala dua mempunyai amplitudo
60 mm Hg, interval 3 sampai 4 menit dan durasi berkisar 60 sampai 90 detik.
Kekuatan his dan mengejan dorong janin ke arah bawah dan menimbulkan keregangan yang
bersifat pasif.Kekuatan his menimbulkan putar paksi dalam, penurunan kepala atau bagian
terendah, menekan serviks dimana terdapat fleksus Frankenhauser, sehingga terjadi reflek
mengejan.Kedua kekuatan his dan reflek mengejan makin mendorong bagian terendah
sehingga terjadilah pembukaan pintu, dengan crowning dan penipisan perinium.Selanjutnya
kekuatan his dan refleks mengejan menyebabkan ekspulsi kepala, sehingga berturut-turut
lahir ubun-ubun besar, dahi, muka dan kepala seluruhnya.
Untuk meningkatkan kekuatan his dan mengejan lebih berhasil guna, posisi parturien sebagai
berikut:
 Badan dilengkungkan sehingga dagu menempel pada dada.
 Tangan merangkul paha sehingga pantat sedikit terangkat yang menyebabkan
pekebaran pintu bawah panggul melalui persedian sacro coccygeus.
 Dengan jalan demikian kepala bayi akan ikut serta membuka diafragma pelvis dan
vulva perenium semakin tipis.
 Sikap ini dikerjakan bersamaan dengan his dan mengejan, sehingga resultante
kekuatan menuju jalan lahir.

5
4) Kekuatan his (kontraksi) rahim pada kala ketiga
Setelah istirahat sekitar 8 sampai 10 menit rahim berkontraksi untuk melepaskan
plasenta dari insersinya, dilapisan Nitabusch.Pelepasan plasenta dapat dimulai dari pnggir
atau dari sentral dan terdorong kebagian bawah rahim.Untuk melahirkan plasenta diperlukan
dorongan ringan secara crede.

5) Kekuatan his pada kala IV


Setelah plasenta lahir, kontraksi rahim tetap kuat dengan amplitudo sekitar 60 sampai
80 mm Hg, kekuatan kontraksi ini tidak diikuti oleh interval pembuluh darah tertutup rapat
dan terjadi pembentukan trombus terjadi penghentian pengeluaran darh postpartum. Kekuatan
his dapat diperkuat dengan memberi obat uterotonika.Kontraksi diikuti saat menyusui bayi
bayi sering dirasakan oleh ibu postpartum, karena pengeluaran oksitosin oleh kelenjar
hipofisis posterior.

1. Robekan Jalan Lahir dan Perinium


Robekan perineal sering terjadi setelah proses persalinan khususnya pada wanita primipara.
Robekan derajat satu kadang kala bahkan tidak perlu untuk dijahit, robekan derajat dua
biasanya dapat dijahit dengan mudah dibawah pengaruh analgesia lokal dan biasanya sembuh
tanpa komplikasi.Robekan derajat tiga dapat mempunyai akibat yang lebih serius dan dimana
pun bila memungkinkan harus dijahit oleh ahli obstetri, dirumah sakit dengan peralatan yang
lengkap, dengan tujuan mencegah inkontinensia vekal dan atau fistula fekal.
Episitomi sering dilakukan, tetapi insidennya berbeda-beda.Episitomi midline
lebih mudah dijahit dan memiliki keuntungan meninggalkan sedikit jaringan perut, sementara
episitomi medioteral lebih efektif minghindari spinkter anal dan rektum. Alasan yang baik
untuk melakukan episitomi selama persalinan normal hingga kini dapat berupa: tanda-tanda
gawat janin; kemajuan persalinan yang tidak cukup, ancaman robekan derajat Ketiga.
Indikasi tersebut benar, meskipun perkiraan robekan derajat tiga sangat sulit. Angka kejadian
robekan derajat tiga sekitar 0,4% sehingga diaknosis ”ancaman robekan tiga” seharusnya
hanya dibuat kadang-kadang, kalau tidak diagnosis tersebut tiodak ada artinya. Selain yang
sudah disebutkan, diberikan untuk penggunaan episiotomi pada semua kasus. Hal ini
termasuk argument bahwa episiotomi menggantikan irisan pembedahan yang lurus dan rapi
untuk laseradsi yang tidak beraturan, lebih mudah diperbaiki, dan sembuh lebih baik sari
robekan (cunningham et al, 1989); penggunaan episiotomi pada semua kasus mencegah
trauma pariniel yang serius; episiotomi mencegah trauma pada kepala janin; dan episiotomi

6
mencegah trauma pada otot dasar panggul sehingga mencegah stres urinarius yang
inkontinen.
Penggunaan episiotomi pada ksus dihubungkan dengan tingkat trauma pada
pariniel yang lebih tinggi dan lebih sedikit wanita yang periniumnya masih utuh.Kelompok-
kelompok dengan penggunaan episiotomi pada semua kasus dan penggunaan yang direstriksi
mengalami sejumlah nyeri perinial yang sebanding, yang dikaji pada 10 hari dan 3 bulan
pasca partum.Tidak ada bukti tentang efek perlindungan episiotomi pada kondisi janin.Dalam
studi – tindak lanjut, hingga 3 tahun pasca partum tidak ada pengaurh penggunaan episiotomi
pada semua kasus terhadap inkontinen urine yang ditemukan. Dalam studi observasi dari
56.471 persalinan yang bantu oleh oleh bidan, insiden robekan derajat tiga sebesar 0,4% jika
episiotopmi tidak dilakukan dan presentasenya sama besar dengan episiotomi mediolatral;
insiden dengan episiotomi midline sebnesar 1,2% (pel dan heres, 1995).
Pemberian perawatan yang melakukan episotomi harus mampu untuk menjahit robekan dan
episiotomi secara tepat.Ia harus dilataih untuk hal tersebut. Episiotomi harus dilakukan dan
dijahti dibawah pengaruh anastese lokal, dengan tindakan pencegahan yang tepat untuk
mencegah infeksi HIV dan hepatitis.
Sedangkan kerusakan perineal adalah salah satu trauma yang paling sering diderita
oleh wanita selama melahirkan, bahkan selama proses persalinan dan pelahiran yang
dianggap normal. Ada beberapa teknik dan praktek yang diarah untuk mengurangi kerusakan
atau memodifikasikan keproporsi yang dapat diatur. Menjaga perinium selama melahirkan
kepala janin: jaari-jari satu tangan (biasanya yang kanan menyangga perinium, sementrara
tangan kiri melakukan tekanan pada kep[ala janin untuk mengendalikan kecepatan
crowning(ketika sekmen besar dari kepal janin terlihat diorificium vaginae, perinum
merenggang) dengan demikian mencoba untuk mencegah atau mengurangi kerusakan pada
jaringan perinial. Kemungkinan bahqwa dengan manuver tersebut robeknya perinial dapat
dicegah, tetapi ada kemungkinan juga bahwa tekanan pada kepala janin menghalangi
perluasan pergerakan kepala dan mengalihkannya dari lengkung pubis ke perinium, sehingga
meningkatkan kemungkinan kerusakan perineal.Oleh karena belum ada evaluasiformal
mengenai strategi ini atau sebaliknya; tidak menyentuh perinium atau kepala selama fase
melahirkan, tidak mungkin untuk memutuskan strategi mana yang di pilih.Praktik menjaga
perineum dengan tangan ahli obstetri dapat diterapkan dengan lebih mudah jika wanita pada
posisi supine. Jika ia pada posisi tegak lurus penolong persalinan tidak dapat menyokong
perineum, atau dipaksa untuk mengikuti strategi ”tanpa sentuhan”.
Teknik lain yang bertujuan mengurangi trauma pada perineum ialah memijat

7
perineum selama akhir kala dua persalinan, jadi mencoba meregangkan jaringan. Teknik
tersebut tidak pernah dievaluasi secara tepat, tetapi ada keraguan tentang keuntungan memijat
jaringan terus – menerus yang vaskularisasinya sudah banyak dan edema.
Manuver lain, yang efektivitasnya belum cukup terbukti, ialah metode yang bervariasi untuk
melahirkan bahu dan perut bayi setelah kelahiran kepala. Tidak jelas apakah manuver ini
selalu diperlukan dan apakah tepat.Data penelitian tentang masalah ini tidak tersedia. Namun,
National Perinatal Epidemiology Unit di Oxford baru – baru ini mengadakan uji coba
terkontrol acak tentang ”Perawatan Perineum saat Melahirkan – Menyerah atau Siap (Hands
On Or Poised)”, atau disebut juga studi ”HOOP”, yang memberikan data mengenai efek
pendekatan yang berbeda untuk melahirkan kepala dan bahu janin pada perineum
(McCandlish, 1996).

2. Tanda Vital dan Hygiene


Banyak perubahan fisiologis normal yang terjadi selama kala astu dan dua persalinan, yang
berakhir ketika plasenta dikeluarkan dan tanda-tanda vital wanita kembali ketingkat sebelum
persalinan selama kala tiga:
1) Tekanan darah
Tekanan sistolik dan distolik mulai kembali ketingkat sebelum
persalian.Peningkatan atau penurunan tekanan darah masing-masing merupakan indikasi
gangguan hipertensi pada kehamilan atau syok.Peningkatan tekanan sistolik dengan
tekanan diastolik dalam batas normal dapat mengindikasikan ansietas atau nyeri.
2) Nadi
Nadi secara bertahap kembali ketingkat sebelum melahirkan.Peningkatan denyut nadi
dapat menunjukkan infeksi, syok, ansietas, atau dehidrasi.
3) Suhu
Suhu tubuh kembali meningkat perlahan. Peningkatan suhu menunjukkan proses infeksi
atau dehidrasi.
4) Pernapasan
Pernapasan kembali normal, pada peningkatan frekuensi pernapasan dapat menunujukan
syok.
Tekanan darah dan nadi ibu sebaiknya diukur paling tidak satu kali selama kala tiga dan
lebih sering jika pada kala tiga memanjang daripada rata-rata atau tekanan darah dan nadi
berada pada batas atau dalam kisaran abnormal.Pemantauan ini tidak hanya dilakukan

8
setelah evaluasi peningkatan sebelumnya, tetapi penting sebagai sarana penapisan syok
pada kejadian perdarahan.

2.2 Mendiagnosa Persalinan Kala III


Resiko kekurangan cairan berhubungan dengan peningkatan cairan secara tidak
disadari, laserasi jalan lahir Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan, respon fisiologis.
setelah melahirkan.
Resiko tinggi cedera maternal berhubungan dengan posisi selama
melahirkan/pemindahan, kesulitan dengan pelepasan plasenta, profil darah abnormal
Perubahan proses keluarga berhubungan dengan terjadinya transisi (penambahan
jumlah anggota keluarga), krisis situasi (perubahan peran/tanggung jawab)
Kurang pengetahuan/kebutuhan belajar berhubungan dengan kurang informasi dan atau
kesalahan interpretasi informasi.

2.3 Asuhan Kebidanan Kala III


A. Fisiologi Kala III
Kala III dimulai sejak bayi lahir sampai lahirnya placenta. Rata-rata lama kala III
berkisar 15-30 menit, baik primipara maupun multipara. Tempat implantasi placenta sering
pada dinding depan dan belakang korpus uteri atau dinding lateral (Sumarah, 2008).

1. Pelepasan Plasenta
Setelah bayi lahir, terjadi kontraksi uterus, mengakibatkan volume rongga uterus
berkurang, dinding uterus menebal. Pada tempat implantasi placenta juga terjadi penurunan
luas area. Ukuran placenta tidak berubah, sehingga menyebabkan plasenta terlipat, menebal
dan akhirnya terlepas dari dinding uterus. Plasenta terlepas sedikit demi sedikit. Terjadi
pengumpulan perdarahan diantara ruang placenta dan desidua basalis yang retro placenter
hematom. Setelah plasenta terlepas, plasenta akan menempati segmen bawah uterus atau
vagina.

Macam pelepasan plasenta


a) Mekanisme Schultz : Pelepasan plasenta yang dimulai dari sentral / bagian tengah
sehingga terjadi bekuan retroplasenta. Tanda pelepasan dari tengah ini mengakibatkan
perdaran tidak terjadi sebelum plasenta lahir. Perdaran terjadi setelah placenta lahir.

9
b) Mekanisme Duncan : terjadi pelepasan placenta dari pinggir atau bersamaan dari pinggir
dan tengah mengakibatkan semburan darah sebelum plasenta lahir.

Tanda-tanda pelepasan plasenta


a) Perubaha bentuk uterus. Dari doscoid menjadi globuler akibat dari kontraksi uterus.
b) Semburan darah tiba-tiba
c) Tali pusat memanjang
d) Perubahan posisi uterus. Setelah plasenta lepas dan menempati segmen bawah rahim,
maka uterus muncul pada rongga abdomen

2. Pengeluaran plasenta
Plasenta yang sudah lepas dan menempati segmen bawah rahim kemudian melalui
servik, vagina dan dikeluarkan ke introitus vagina.
Pemeriksaan Pelepasan Plasenta
Kustner : Tali pusat diregangkan dengan tangan kanan, tangan kiri menekan atas simpisis.
Penilaian :
1) Tali pusat masuk berarti belum lepas
2) Tali pusat bertambah panjang atau tidak masu berarti lepas.

Pengawasan perdarahan
a. Selama hamil aliran darah keuterus 500-800 ml/menit
b. Uterus tidak kontraksi dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 300-500 ml.
c. Kontraksi uterus akan menekan pembuluh darah uterus diantaranya anyaman
miometrium.

10
B. Manajemen Aktif kala III
1. Lama kala III lebih singkat
2. Jumlah perdarahan berkurang sehingga dapat mencegah perdarahan postpartum
3. menurunkan kejadian retensio plasenta

Manajemen aktif kala III terdiri dari :

a) Pemberian oksitosin
b) Penegangan tali pusat terkendali
c) Masase fundus uteri

Penjelasan
Pemberian oksitosin 10 U
1. Sebelum memberikan oksitosin, melakukan pengkajian dengan melakukan palpasi pada
abdomen untuk meyakinkan hanya ada bayi tunggal.
2. Dilakukan sepertiga paha bagian luar
3. Bila 15 menit plasenta belum lahir, maka berikan oksitosin ke-2, evaluasi kandung
kemih apakah penuh. Bila penuh lakikan kateterisasi.
4. Bila 30 menit belim lahir, maka berikan oksitosin ke-3, sebanyak 10 mg dan rujuk pasien
5. Penegangan tali pusat terkendali
a. Klem dipindahkan 5-10 cm dari vulva
b. Tangan kiri diletakkan di atas perut memeriksa kontraksi uterus. Ketika menegangkan
tali pusat tahan uterus.
c. Saat ada kontraksi uterus, tangan di atas perut melakukan gerakan dorso cranial dengan
sedikit tekanan. Cegah agar tidak terjadi inversion uteri
d. Ulangi lagi bila plasenta belum lepas
e. Pada saat plasenta belum lepas, ibu dianjurkan sedikit meneran dan penolong sambil
terus mengangkat tali pusat.
f. Bila plasenta sudah tampak lahir di vulva, lahirkan dengan kedua tangan. Perlu
diperhatikan bahwa selaput placenta mudah tertinggal maka plasenta ditelungkupkan
dan diputar dengan hati-hati searah dengan jarum jam.

11
Masase fundus uteri

1. Tangan diletakkan diatas fundus uteri.


2. Gerakan tangan dengan pelan, sedikit ditekan, memutar searah jarum jam. Ibu diminta
bernafas dalam untuk mengurangi ketegangan atau rasa sakit.
3. Kaji kontraksi uterus 1-2 menit, bombing pasien dan keluarga untuk melakukan masase
uterus.
4. Evaluasi kontraksi uterus setiap 15 menit selama 1 jam pertama dan 30 menit pada jam
ke-2.

C. Pemeriksaan Plasenta
1. Selaput ketuban utuh atau tidak
2. Plasenta : ukuran plasenta
 Bagian maternal : jumlah kotiledon, keutuhan pinggir kotiledon
 Bagian fetal : utuh atau tidak
3. Tali pusat : jumlah arteri atau vena yang terputus untuk mendeteksi plasenta suksenturia.
Insersi tali pusat apakah sentral, marginal, serta panjang tali pusat.

D. Pemantauan Kala III


1. Perdarahan : Jumlah darah diukur, disertai dengan bekuan darah atau tidak
2. Kontraksi uterus : bentuk uterus, intensitas.
3. Robekan jalan lahir / laserasi, rupture perineum.
4. Tanda vital :
 Tekanan darah bertambah tinggi dari sebelum persalinan
 Nadi bertambah cepat
 Temperatur bertambah tinggi
 Respirasi berangsur normal
 Gastrointestinal normal, pada awal persalinan mungkin muntah

12
E. Kebutuhan Ibu pada Kala III
1. Ketertarikan ibu pada bayi. Ibu mengamati bayinya, menanyakan apa jenis
kelaminnya, jumlah jari-jari dan mulai menyentuh bayi.
2. Perhatian pada dirinya. Menjelaskan kondisi ibu, perlu penjahitan atau tidak,
bimbingan tentang kelanjutan tindakan dan perawatan ibu
3. Tertark plasenta. Menjelaskan kondisi plasenta, lahir lengkap atau tidak.

F. Pendokumentasian Kala III


1. Lama kala III
2. Pemberian oksitosin berapa kali
3. Bagaimana pelaksanaan Penegangan Tali Pusat Terkendali
4. Perdarahan
5. Kontraksi uterus
6. Adakah laserasi jalan lahir
7. Vital sign ibu
8. Keadaan bayi baru lahir

13
2.4 Identifikasi Penyulit dan Komplikasi Kala III serta Penanganannya

1. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan
merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi
uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan.
Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut
miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi
plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tidak berkontraksi.

Etiologi
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor predisposisi
(penunjang ) seperti :
1. Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, Paritas tinggi
2. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
3. Multipara dengan jarak kelahiran pendek
4. Partus lama / partus terlantar
5. Malnutrisi.
6. Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya placenta Belum
terlepas dari dinding uterus.

Penanganan
1. Bersihkan semua gumpalan darah atau membran yang mungkin berada di dalam
mulut uterus atau di dalam uterus
2. Segera mulai melakukan kompresi bimanual interna
3. Jika uterus sudam mulai berkontraksi secara perlahan di tarik tangan penolong.
Jika uterus sudah berkontraksi, lanjutkan memantau ibu secara ketat.
4. Jika uterus tidak berkontraksi setelah 5 menit, minta anggota keluarga melakukan
bimanual interna sementara penolong memeberikan metergin 0,2 mg IM dan
mulai memberikan IV (RL dengan 20 UI oksitosin/500 cc dengan tetesan cepat).
5. Jika uterus masih juga belum berkontraksi mulai lagi kompresi bimanual interna
setelah anda memberikan injeksi metergin dan sudah mulai IV
6. Jika uterus masih juga belum berkontraksi dalam 5-7 menit, bersiaplah untuk
melakukan rujukan dengan IV terpasang pada 500 cc/jam hingga tiba di tempat r
ujukan atau sebanyak 1,5 L seluruhnya diinfuskan kemudian teruskan dengan laju
infus 125 cc/jam.

14
2. Retensio Plasenta
Retensio Plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah
kelahiran bayi. Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya perdarahan,
infeksi karena sebagai benda mati, dapat terjadiplasenta inkarserata dapat terjadi polip
plasenta, dan terjadi degenerasiganas korio karsinoma

Etiologi
1. Plasenta belum lepas dari didinding uterus.
2. Plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan (disebabkan karena tidak adanya
usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III)
3. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta
4. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korealis menembus
desidua sampai miometrium-sampai dibawah peritoneum (plasenta akreta-
perkreta).

Gejala Retensi Plasenta


Tertahannya sebagian atau seluruh plasenta di dalam tubuh hingga satu jam setelah
proses persalinan usai, merupakan gejala utama retensi plasenta. Bila plasenta masih
tertinggal di dalam rahim, gejala lain akan muncul sehari setelah persalinan, yaitu berupa:
a) Perdarahan hebat.
b) Nyeri yang berlangsung lama.
c) Demam.
d) Keluar cairan dan jaringan berbau tidak sedap dari vagina.
e) Penyebab Retensi Plasenta

Berdasarkan penyebabnya, retensio plasenta dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:


1) Placenta adherens. Plasenta adherens terjadi ketika rahim tidak cukup kuat
berkontraksi dan mengeluarkan plasenta. Kondisi ini disebabkan perlekatan
sebagian atau seluruh plasenta pada dinding rahim. Placenta adherens adalah jenis
retensi plasenta yang paling umum terjadi.
2) Plasenta akreta. Plasenta akreta terjadi ketika plasenta tumbuh terlalu dalam di
dinding rahim. Umumnya kondisi ini disebabkan oleh kelainan pada lapisan
rahim, akibat menjalani operasi caesar atau operasi rahim.

15
3) Trapped placenta. Trapped placenta adalah kondisi ketika plasenta sudah terlepas
dari dinding rahim, tetapi belum keluar dari rahim. Kondisi ini terjadi akibat
menutupnya leher rahim (serviks) sebelum plasenta keluar.

Faktor Risiko Retensio Plasenta


Retensi plasenta lebih berisiko dialami oleh ibu dengan beberapa faktor berikut:
a) Hamil saat berusia di atas 30 tahun.
b) Melahirkan di bawah usia kehamilan 34 minggu (kelahiran prematur).
c) Mengalami proses persalinan kala 1 atau kala 2 yang terlalu lama.
d) Persalinan dengan janin mati dalam kandungan.
e) Diagnosis Retensi Plasenta

Komplikasi Retensio Plasenta


Retensi plasenta menyebabkan pembuluh darah yang melekat pada plasenta
terus mengalirkan darah. Selain itu, rahim tidak dapat menutup sempurna, sehingga
tidak bisa menghentikan perdarahan. Bila plasenta tidak keluar hingga 30 menit
setelah persalinan, akan terjadi perdarahan yang signifikan dan dapat mengancam
nyawa pasien.

Penanganan Retensio Plasenta


Penanganan retensio plasenta bertujuan untuk mengeluarkan plasenta dari dalam
rahim, menggunakan sejumlah metode antara lain:
1) Mengeluarkan plasenta dari rahim menggunakan tangan. Prosedur ini harus
dilakukan dengan hati-hati, karena dapat meningkatkan risiko infeksi.
2) Menggunakan obat-obatan. Beberapa obat bentuk suntik seperti ergometerine atau
oksitosin, dapat digunakan untuk membuat rahim berkontraksi, sehingga bisa
mengeluarkan plasenta.

16
3. Inversio Uteri
Inversio uteri adalah komplikasi persalinan yang jarang terjadi dimana rahim
sebagian atau seluruhnya ikut keluar ketika plasenta lahir. Bagian rahim bagian atas
(fundus) menjadi terbalik (inversi) mengarah ke bawah, tergantung derajatnya bagian
rahim ini bisa sampai ke mulut rahim hingga keluar dari jalan lahir.
Meskipun inversio uteri tidak sering terjadi, namun ketika itu terjadi ada risiko
tinggi kematian akibat pendarahan hebat dan shock. Namun, bisa diobati dengan
sukses ketika terdeteksi dengan cepat dan diberi penanganan dengan tepat. Oleh sebab
itu penting kiranya bagi kita untuk mengetahui gejala, penyebab, dan langkah
penanganan pada inversio uteri ini.

Penyebab Inversio Uteri


Penyebab pasti dari inversio uteri tidak diketahui sepenuhnya. Namun, faktor-faktor
risiko berikut berhubungan erat:
1. Persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam
2. Tali pusar pendek
3. Bayi lahir sebelum waktunya
4. Penggunaan obat relaksan otot selama persalinan
5. Rahim abnormal atau lemah
6. Riwayat inversio uteri sebelumnya
7. Plasenta akreta, dimana plasenta terlalu dalam tertanam di dinding rahim
8. Implantasi plasenta pada fundus uteri, di mana plasenta melekat di bagian paling
atas dari rahim
9. Juga, menarik terlalu keras pada tali pusat saat melahirkan plasenta dapat
menyebabkan inversio uteri. Oleh sebab itu tali pusat tidak boleh ditarik, cukup
ditegangkan saja.

Setelah bayi lahir, normalnya plasenta akan terlepas dengan sendiri dari
perlekatannya dengan dinding rahim, rata-rata 10-15 menit setelah bayi lahir. Namun
dalam beberapa kasus plasenta tak lepas-lepas, bahkan dalam waktu 30 menit setelah
melahirkan, maka diperlukan tindakan untuk melepaskan plasenta oleh dokter atau
bidan, tindakan ini disebut dengan manual plasenta. Tindakan ini dilakukan dengan
cara memasukkan tangan penolong ke dalam lahir melalui jalan lahir, kemudian jari-

17
jemari mencari letak plasenta dan mengikis dari tepi perlekatan hingga terlepas
seluruhnya.

Tanda Inversio Uteri


1. Keluarnya bagian rahim yang menonjol dari vagina
2. Setelah melakukan pemeriksaan, rahim tidak berada ditempatnya
3. Pendarahan dari jalan lahir, pasien kehilangan cukup banyak darah sehingga
tekanan darah cepat turun.

Adapun gejala inversio uteri akibat kehilangan banyak darah antara lain:
1. Pengilahatan kunang-kunang
2. Pusing
3. Kedinginan
4. Kelelahan
5. Sesak napas

Pengelompokkan Inversio Uteri


Inversi tidak lengkap, di mana bagian atas rahim telah jatuh terbalik, namun tidak
satupun dari bagian rahim yang mencapai leher rahim (serviks)
inversi lengkap, di mana bagian rahim telah mencapai serviks
inversi prolaps, di mana bagian atas rahim terlihat keluar dari vagina
inversi total, di mana rahim dan vagina sama-sama terdorong ke luar.

Penanganan Inversio Uteri


Ini merupakan kondisi gawat darurat yang harus segera mendapatkan penanganan.
Dokter akan mendorong bagian atas rahim yang terbalik atau yang ke luar kembali ke
atas melalui jalan lahir dengan kepalan tangan. Untuk lancarnya proses ini mungkin
diperlukan anestesi umum, seperti halotan (Fluothane) gas, atau obat-obatan seperti
magnesium sulfat, nitrogliserin , atau terbutaline.
Setelah uterus kembali ke posisinya, oksitosin (Pitocin) dan metilergonovin
(Methergine) diberikan untuk membantu kontraksi rahim dan mencegah terulangnya
kembali inversio utero. Baik dokter atau bidan akan memijat rahim sampai kontraksi
penuh dan pendarahan berhenti.

18
2.5 Konsep Dasar Manual Plasenta
Manual plasenta adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat implantasinya pada
dinding uterus dan mengeluarkannya dari kavum uteri secara manual yaitu dengan
melakukan tindakan invasi dan manipulasi tangan penolong persalinan yang dimasukkan
langsung kedalam kavum uteri. Pada umumnya ditunggu sampai 30 menit dalam lahirnya
plasenta secara spontan atau dgn tekanan ringan pada fundus uteri yang berkontraksi. Bila
setelah 30 mnenit plasenta belum lepas sehingga belum dapat dilahirkan atau jika dalam
waktu menunggu terjadi perdarahan yang banyak, pasenta sebaiknya dikeluarkan dengan
segera.
Manual plasenta merupakan tindakan operasi kebidanan untuk melahirkan retensio
plasenta. Teknik operasi plasenta manual tidaklah sukar, tetapi harus diperkirakan bagaimana
persiapkan agar tindakan tersebut dapat menyelamatkan jiwa penderita.

Etiologi
Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan perdarahan pada kala
tiga persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak dapat dihentikan dengan uterotonika dan
masase, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit
seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir
dan tali pusat putus.

Manual plasenta dilakukan karena indikasi retensio plasenta yang berkaitan dengan :
Plasenta belum lepas dari dinding uterus dikarenakan:
a) Plasenta adhesive yaitu kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan
plasenta
b) Plasenta akreta yaitu implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki
sebagian lapisan miometrium
c) Plasenta inkreta, yaitu implantasi jonjot korion placenta hingga
mencapai/memasuki miometrium
d) Plasenta perkreta, yaitu implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e) Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta didalam kavum uteri yang
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.

19
Fisiologi
Manual plasenta dapat segera dilakukan apabila :
 Terdapat riwayat perdarahan postpartum berulang.
 Terjadi perdarahan postpartum melebihi 400 cc
 Pada pertolongan persalinan dengan narkosa.
 Plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.
Manual plasenta dalam keadaan darurat dengan indikasi perdarahan di atas 400 cc dan
teriadi retensio plasenta (setelah menunggu ½ jam). Seandainya masih terdapat kesempatan
penderita retensio plasenta dapat dikirim ke puskesmas atau rumah sakit sehingga mendapat
pertolongan yang adekuat.

Pemeriksaan Pada Manual Plasenta


1. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi
mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel
fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak
lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
2. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis
tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
3. Perdarahan yang lama > 400 cc setelah bayi lahir.
4. Placenta tidak segera lahir > 30 menit.

Teknik Manual Plasenta


Untuk mengeluarkan plasenta yang belum lepas jika masih ada waktu dapat mencoba
teknik menurut Crede yaitu uterus dimasase perlahan sehingga berkontraksi baik, dan dengan
meletakkan 4 jari dibelakang uterus dan ibu jari didepannya, uterus dipencet di antara jari-jari
tersebut dengan maksud untuk melepaskan plasenta dari dinding uterus dan menekannya
keluar. Tindakan ini tidaklah selalu berhasil dan tidak boleh dilakukan secara kasar.
Sebelum mengerjakan manual plasenta, penderita disiapkan pada posisi litotomi.
Keadaan umum penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus NaCl atau Ringer Laktat.
Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan memberikan suntikan diazepam 10
mg intramuskular. Anestesi ini berguna untuk mengatasi rasa nyeri. Operator berdiri atau
duduk dihadapan vulva dengan salah satu tangannya (tangan kiri) meregang tali pusat, tangan
yang lain (tangan kanan) dengan jari-jari dikuncupkan membentuk kerucut.

20
Dengan ujung jari menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika pada waktu melewati
serviks dijumpai tahanan dari lingkaran kekejangan (constrition ring), ini dapat diatasi
dengan mengembangkan secara perlahan-lahan jari tangan yang membentuk kerucut tadi.
Sementara itu, tangan kiri diletakkan di atas fundus uteri dari luar dinding perut ibu sambil
menahan atau mendorong fundus itu ke bawah. Setelah tangan yang di dalam sampai ke
plasenta, telusurilah permukaan fetalnya ke arah pinggir plasenta. Pada perdarahan kala tiga,
biasanya telah ada bagian pinggir plasenta yang terlepas.
Ujung jari menelusuri tali pusat, tangan kiri diletakkan di atas fundus melalui celah
tersebut, selipkan bagian ulnar dari tangan yang berada di dalam antara dinding uterus dengan
bagian plasenta yang telah terlepas itu. Dengan gerakan tangan seperti mengikis air, plasenta
dapat dilepaskan seluruhnya (kalau mungkin), sementara tangan yang di luar tetap menahan
fundus uteri supaya jangan ikut terdorong ke atas. Dengan demikian, kejadian robekan uterus
(perforasi) dapat dihindarkan.
Mengeluarkan plasenta, setelah plasenta berhasil dikeluarkan, lakukan eksplorasi
untuk mengetahui kalau ada bagian dinding uterus yang sobek atau bagian plasenta yang
tersisa. Pada waktu ekplorasi sebaiknya sarung tangan diganti yang baru. Setelah plasenta
keluar, gunakan kedua tangan untuk memeriksanya, segera berikan uterotonik (oksitosin) satu
ampul intramuskular, dan lakukan masase uterus. Lakukan inspeksi dengan spekulum untuk
mengetahui ada tidaknya laserasi pada vagina atau serviks dan apabila ditemukan segera di
jahit. Jika setelah plasenta dikeluarkan masih terjadi perdarahan karena atonia uteri maka
dilakukan kompresi bimanual sambil mengambil tindakan lain untuk menghetikan
perdarahan dan memperbaiki keadaan ibu bila perlu.
Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan
dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa
plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati
karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus. Setelah selesai
tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui
suntikan atau per oral. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk
pencegahan infeksi sekunder.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kala III dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta dan
selaput ketuban.
Kala III merupakan periode waktu dimulai ketika bayi lahir dan berakhir pada saat
plasenta seluruhnya sudah dilahirkan. Mengapa Kala III penting? Perlu diingat bahwa tiga
puluh persen penyebab kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan pasca persalinan. Dua
pertiga dari perdarahan pasca persalinan disebabkan oleh atonia uteri.
Kala III dimulai sejak bayi lahir sampai lahirnya plasenta/uri. Rata-rat lama kala III berkisar
15-30 menit, baik pada primipara maupun multipara. Risiko perdarahan meningkat apabila
kala tiga lebih dari 30 menit, terutama antara 30-60 menit.

3.2 Saran
Seluruh tenaga penolong persalinan (bidan, dokter) diharapkan dapat melakukan
Manajemen Aktif kala III pada setiap asuhan poersalinan normal sebagai upaya percepatran
penurunan angka kemnatian ibu di Indonesia. Dalam melaksanakan Manajemen Aktif kala III
bidan harus memperhatikan setiap tindakan agar tidak terjadi kekeliruan ataupun kesalahan
yang dapat membahayakan keselamatan ibu. Setiap tindakan juga harus disesuaikan dengan
ketentuan yang berlaku sehingga perdarahan postpartum dapat dikurangi. Pemeriksaan
plasenta juga perlu dilakukan diantaranya dengan memeriksa selaput ketuban, bagian
plasenta, dan tali pusat.
Diharapkan mahasiswa mampu menerapkan tantang Asuhan Persalinan Kala III dan
memperhatikan setiap penyulit komplikasi kala III dan memahami tindakan yang harus
dilakukan serta mengetahui penanganan penyulit komplikasi kala III.

22

Anda mungkin juga menyukai