TINJAUAN PUSTAKA
Asuhan Kala IV
1) Pemantauan
Pemantauan Kala IV setiap 15 menit pada jam pertama, dan setiap 30
menit pada jam ke dua. Keadaan yang dipantau meliputi keadaan umum
ibu, tekanan darah, pernapasan, suhu dan nadi, tinggi fundus uteri,
kontraksi, kandung kemih, dan jumlah darah.
2) Memeriksa dan menilai perdarahan
Periksa dan temukan penyebab perdarahan meskipun sampai saat ini
belum ada metode yang akurat untuk memperkirakan jumlah darah
yang keluar. Estimasi perdarahan yaitu, apabila perdarahan
menyebabkan terjadinya perubahan tanda vital (hipotensi), maka
jumlah darah yang keluar telah mencapai 1.000– 1.200 ml. Apabila
terjadi syok hipovolemik, maka jumlah perdarahan telah mencapai
2.000–2.500 ml.
3) Penjahitan perineum
Jika ditemukan robekan perineum atau adanya luka episiotomi lakukan
penjahitan laserasi perineum dan vagina yang bertujuan menyatukan
kembali jaringan tubuh dan mencegah kehilangan darah yang tidak
perlu. Kewenangan bidan pada laserasi grade 1 dan 2, berikut derajat
laserasi perineum dan vagina.
3. Adaptasi Perubahan Psikologi Kala IV
Sesaat setelah bayi lahir hingga 2 jam persalinan, perubahan – perubahan
psikologis ibu juga masih sangat terlihat karena kehadiran buah hati baru dalam
hidupnya.
Perubahan emosi dan psikologis ibu pada masa nifas terjadi karena
perubahan peran, tugas, dan tanggung jawab menjadi oaring tua. Suami istri
mengalami perubahan peran menjadi orang tua sejak masa kehamilan. Dalam
periode masa nifas, muncul tugas orang tua dan tanggung jawab baru yang
disertai dengan perubahan perubahan prilaku.
Perubahan psikologis pada masa nifas terjadi karena pengalaman selama
persalinan, tanggungjawab peran sebagai ibu, adanya anggota keluarga baru
(bayi), dan peran baru sebagai ibu bagi bayi. Hubungan awal antara orang tua
dan bayi (bounding attachment) dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk status
sosial ekonomi ibu, budaya, pengalaman melahirkan dan riwayat keluarga.
Adaptasi psikologis post partum, ibu biasanya mengalami penyesuaian
psikologis selama masa nifasnya. Ibu yang baru melahirkan membutuhkan
mekanisme penanggulangan (coping) untuk mengatasi perubahan fisik dan
ketidaknyamanan selama masa nifas termasuk kebutuhan untuk mengembalikan
figur seperti sebelum hamil serta perubahan hubungan dengan keluarga.
Pada periode masa nifas merupakan masa perubahan besar bagi ibu baru
dan keluarganya. Peran dan harapan sering berubah sebagai keluarga yang
menyesuaikan dengan tambahan keluarga baru mereka dan mereka belajar untuk
“menjadi ibu” (mercer, 2004).
Banyak perubahan psikologis terjadi pada ibu selama waktu ini, asuhan
kebidanan harus berfokus pada membantu ibu dan keluarga untuk menyesuaikan
diri dengan perubahan ini dan meringankan transisi ke peran orang tua.
Penyesuaian dilakukan terhadap semua perubahan baru. Keluargan
memulai peran baru, pada beberapa ibu dapat menyebabkan gangguan
psikologis, seperti postpartum blues dan bila tidak ditangani dapat berakibat
menjadi depresi postpartum. Dalam adaptasi psikologis setelah melahirkan
terjadi 3 penyesuaian yaitu:
1. Penyesuaian ibu (Maternal Adjustment)
Menurut Reva Rubin, seorang ibu yang baru melahirkan mengalami
adaptasi psikologis pada masa nifas dengan melalui tiga fase penyesuaian
ibu (perilaku ibu) terhadap perannya sebagai ibu. Ibu sudah mulai
menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya, keinginan ibu untuk
merawat diri dan bayinya sangat meningkat pada fase ini, terjadi
penyesuaian dalam hubungan keluarga untuk mengobservasi bayi, hubungan
antar pasangan memerlukan penyesuaian dengan kehadiran anggota baru
(bayi).
Adaptasi psikologis postpartum yaitu biasanya mengalami penyesuaian
psikologis selama masa postpartum. Reva rubin meneliti adaptasi psikologis
ibu melahirkan pada tahun 1960 yang mengidentifikasi adanya tiga fase
yang dapat membantu bidan memahami prilaku setelah melahirkan.
Dikemukakan bahwa setiap fase meliputi rentan waktu tertentu dan
berkembang melalui fase secara berurutan.
2. Tahapan rubin dalam adaptasi psikologi ibu nifas
1) Fase taking in ( fase ketergantungan)
Lamanya 3 hari pertama setelah ibu melahirkan. Focus pada diri ibu
sendiri, tidak pada bayi, ibu membutuhkan waktu untuk tidur dan
istirahat. Pasif, ibu mempunyai ketergantungan dan tidak bisa membuat
keputusan. Ibu memerlukan bimbingan dalam merawat bayi dan
mempunyai perasaan takjub Ketika melihat bayinya yang baru lahir.
a) Fase ini berlangsung secara pasif dan dependen.
Ibu menjadi pasif terhadap lingkungan sehingga perlu
menjaga komunikasi yang baik. Ibu menjadi sangat tergantung
pada orang lain, mengharapkan segala kebutuhannya dapat
dipenuhi oleh orang lain.
b) Fokus utama perasaan dan perhatian ibu
terutama pada dirinya sendiri. Mengarahkan energi
kepada diri sendiri dan bukan kepada bayi yang baru dilahirkan.
Kebanyakan ibu khawatir terhadap perubahan tubuh.
c) Pada periode ini ibu akan sering menceritakan tentang
pengalamannya waktu melahirkan secara berulang-ulang.
d) Dapat memulihkan diri dari proses persalinan dan melahirkan
untuk mengintegrasikan proses tersebutke dalam kehidupannya.
e) Memerlukan ketenangan tidur untuk mengembalikan keadaan
tubuh ke kondisi normal. Biasanya setelah kelelahannya
berkurang, kini ibu mulai menyadari berlangsungnya persalinan
merupakan hal yang nyata.
f) Dapat mengalami kesulitan dalam pengambilan keputusan.
g) Nafsu makan biasanya bertambah sehingga membutuhkan
peningkatan nutrisi. Kurangnya nafsu makan menandakan
proses pengembalian kondisi tubuh tidak berlangsung normal.
h) Gangguan psikologis yang mungkin dirasakan ibu pada fase ini
antara lain kecewa karena tidak mendapatkan apa yang
diinginkan tentang bayinya misalnya, jenis kelamin tertentu,
warna kulit, dsb. Ketidaknyamanan dari perubahan fisik
misalnya, rasa mules akibat kontraksi rahim, payudara bengkak,
luka jahitan. Ada rasa bersalah karena belum bisa menyusui
bayinya, suami atau keluarga mengkritik ibu tentang cara
merawat bayinya dan cenderung melihat saja tanpa membantu.
Ibu akan merasa tidak nyaman karena sebenarnya hal tersebut
bukan hanya tanggungjawab ibu saja, tetapi Bersama
2) Fase Taking Hold (Fase Independen)
Akhir hari ke -3 sampai hari ke -10. Aktif, mandiri, bisa membuat
keputusan. Memulai aktifitas perawatan diri, focus kepada perut, dan
kandung kemih. Focus kepada bayi dan menyusui. Merespon intruksi
tentang perawatan bayi dan perawatan diri, dapat mengungkapkan
kekurangan kepercayaan diri dalam merawat bayi.
a) Kurangnya keyakinan diri dalam merawat bayinya. Ibu merasa
khawatir dengan ketidakmampuannya dan tanggungjawab dalam
merawat bayi, muncul perasaan sedih (baby blues).
b) Periode ini dianggap masa perpindahan dari keadaan
ketergantungan menjadi keadaan mandiri. Perlahan-lahan
tingkat energi ibu meningkat, merasa lebih nyaman dan
berfokus pada bayinya.
c) Ibu berusaha menguasai ketrampilan karena mulai
memperhatikan kemampuan menjadi orang tua, muncul
keinginan mengambil tugas dan tanggung jawab merawat bayi
seperti menggendong, menyusui, memandikan, mengganti
popok.
d) Memperlihatkan inisiatif untuk memulai aktivitas perawatan
diri, fokus perhatian untuk mengontrol fungsi dan daya tahan
tubuh, BAB, BAK, serta memperhatikan aktivitasnya.
e) Ibu menjadi sangat sensitif dan mudah tersinggung sehingga ibu
sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat
f) Pada periode ini merupakan saat yang baik bagi ibu untuk
menerima berbagai penyuluhan dalam merawat bayi dan dirinya
sendiri. Dengan begitu rasa percaya diri ibu akan timbul.
3) Letting Go ( Fase Interdependen)
Terakhir hari ke-10 sampai dengan 6 minggu postpartum. Ibu sudag
mengubah peran barunya menyadari bahwa bayi merupakan bagian dari
dirinya. Ibu dapat menjalankan perannya.
a) Menyesuaikan kembali hubungan dengan anggota keluarga
seperti menerima peranan sebagai ibu
b) Keinginan dan rasa percaya diri untuk merawat diri dan bayi
meningkat
c) Mulai menerima tanggung jawab sebagai ibu atas bayinya dan
menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya.
d) Mengakui bayinya sebagai individu yang terpisah dengan
dirinya dan melepaskan gambaran bayi yang menjadi
khayalannya.
e) Dapat mengalami depresi
PIJAT OKSITOSIN
Hormon oksitosin bekerja merangsang otot polos untuk meremas ASI
yang ada pada alveoli, lobus serta duktus yang berisi ASI yang dikeluarkan
melalui putting susu. (Walyani dan Purwoastuti, 2015)
Menurut Fikawati, dkk (2015) menyebutkan bahwa salah satu tindakan
yang perlu dilakukan untuk memaksimalkan kualitas dan kuantitas ASI, yaitu
pemijatan punggung. Pemijatan punggung ini berguna untuk merangsang
pengeluaran hormon oksitosin menjadi lebih optimal dan pengeluaran ASI
menjadi lancar. Menurut Lowdermik, Perry & Bobak (2000)
Pijat oksitosin merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
ketidaklancaran produksi ASI. Pijat oksitosin adalah suatu tindakan pemijatan
tulang belakang mulai dari nervus ke 5 - 6 sampai scapula yang akan
mempercepat kerja saraf parasimpatis untuk menyampaikan perintah ke otak
bagian belakang sehingga oksitosin keluar (Suherni, 2008 Suradi, 2006;
Hamranani 2010) ( Dalam Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Padjadjaran, Leli Khairani dkk, 2012) Ibu yang menerima pijat oksitosin akan
merasa lebih rileks. (Monika, F.B. Monika, 2014)
Pijat stimulasi oksitosin untuk ibu menyusui selain berfungsi untuk
merangsang hormon oksitosin agar dapat memperlancar ASI juga
meningkatkan kenyamanan ibu, Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh
kondisi psikologis ibu menyusui. Saat ibu menyusui merasa nyaman dan
rileks pengeluaran oksitosin dapat berlangsung dengan baik. Terdapat titik-
titik yang dapat memperlancar ASI di antaranya, tiga titik di payudara yakni
titik di atas puting, titik tepat pada puting dan titik dibawah puting, serta titik
di punggung yang segaris dengan payudara. Pijatan di bagian punggung ibu
yang membuat ibu rileks juga dapat merangsang pengeluaran oksitosin.
Hormon oksitosin merangsang kontraksi lapisan miometrium uteri dalam
proses persalinan. Hormon ini juga menghasilkan pengeluaran air susu
melalui pengadaan kontraksi sel-sel mioepitel di kelenjar payudara sebagai
respons terhadap pengisapan putting susu yang dilakukan si bayi, yang
kemudian terjadilah refleks neurogenik (aliran listrik saraf) yang dihantarkan
ke hipotalamus melalui serabut-serabut saraf di medula spinalis (daerah
tulang belakang) (Hendrik H., 2006)
Menurut Hockenberry (2002) menuliskan bahwa pijat oksitosin lebih
efektif diberikan sebanyak dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore. Hal ini
juga didukung oleh Biancuzzo (2003) bahwa pijat oksitosin dilakukan dua
kali dalam sehari dapat memperngaruhi produksi ASI ibu postpartum
Menstimulasi reflex oksitosin penting dalam menyusui atau memberikan
ASI, dilakukan sebelum ASI diperah atau menggunakan pompa. Reflex
oksitosin membuat aliran ASI dari payudara menjadi lancar, sehingga
menyusui semakin lancar dan mengurangi bendungan saluran ASI. Faktor
yang dapat meningkatkan reflex oksitosin adalah melihat bayi, mendengar
suara bayi, mencium bayi, serta memikirkan untuk menyusui. Sedangkan hal
yang menghambat diantaranya adalah stress karna takut atau cemas.
1. Cara menstimulasi refleks oksitosin
1) Bantu ibu secara psikologis
a. Bangkitkan rasa percaya diri
b. Coba mengurangi sumber rasa sakit atau rasa takut
c. Bantu ibu untuk mempunyai fikiran dan perasaan baik tentang
bayinya
2) Ajak ibu untuk ikut dalam kelompok pendukung ASI sehingga ibu
dapat belajar tentang pemberian ASI
3) Ajarkan kontak kulit ke kulit selama memerah ASI jika
memungkinkan. Bila tidak, ibu dapat memandang bayinya atau
memandang foto bayinya
4) Tidak minum kopi
5) Beri kompres hangat pada payudara atau mandi air hangat
6) Stimulasi puting susu dengan cara menarik pelan pelan dan memutar
putting susu dengan jari
7) Pijat payudara
8) Pijat oksitosin
a. Ibu duduk bersandar kedepan, lipat lengan diatas sandaran meja
didepannya dan letakkan kepala diatas lengannya
b. Payudara tergantung lepas, punggung tanpa baju
c. Pijat kedua sisi tulang punggung dengan ibu jari penolong
d. Kepal kedua tangan seperti tinju dan ibu jari menghadap ke arah
atas
e. Tekan kuat bentuk lingkaran kecil dengan kedua ibu jari
f. Pijat kearah bawah di kedua sisi tulang belakang pada saat yang
sama dari leher kearah tulang belikat selama 2-3 menit
DAFTAR PUSTAKA