Karakteristik Penderita Dermatofitosis PDF
Karakteristik Penderita Dermatofitosis PDF
SKRIPSI
Diusulkan Oleh:
Asvika Anis Anwar
C111 14 355
Pembimbing:
dr. Lisa Tenriesa M,M.MedSc
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa seluruh skripsi ini adalah hasil karya saya.
Apabila ada kutipan atau pemakaian dari hasil karya orang lain baik berupa tulisan,
data, gambar atau ilustrasi baik yang telah dipublikasi atau belum dipublikasi, telah
direferensi sesuai dengan ketentuan akademis.
Saya menyadari plagiarisme adalah kejahatan akademik, dan melakukannya
akan menyebabkan sanksi yang berat berupa pembatalan skripsi dan sanksi akademik
yang lain.
v
SKRIPSI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
NOVEMBER, 2017
Asvika Anis Anwar
dr. Lisa Tenriesa M,M.MedSc
ABSTRAK
Latar Belakang: Dermartofitosis merupakan penyakit yang diakibatkan oleh kolonisasi
jamur dermatofita yang menyerang daerah mengandung keratin. Penyakit dermartofitosis
ini sangat mudah dijumpai karena tingginya angka pertumbuhan jamur di Indonesia yang
disebabkan oleh iklim dan letak geografis yang sangat mendukung. penyakit ini bersifat
kronik dan residif yang dapat mengganggu kenyamanan dan menurunkan kualitas hidup.
Insidensi penyakit di Indonesia berkisar 2,93-27,6% pada tahun 2009-2011.
Kesimpulan: Pada penelitian ini kasus dermatofitosis terbanyak adalah pada umur dewasa
yaitu diatas 18 tahun dengan jenis kelamin perempuan dan lokasi lesi tersering pada tinea
kruris dengan pengobatan yang banyak diberikan menggunakan terapi
kombinasi(topikal&sistemik) dan kasus terbanyak dengan riwayat pengobatan dibawah 1
bulan hingga pasien sembuh.
vi
THESIS
FACULTY OF MEDICINE
HASANUDDIN UNIVERSITY
NOVEMBER, 2017
Asvika Anis Anwar
dr. Lisa Tenriesa M,M.MedSc
ABSTRACT
Result: The result showed from 80 cases of dermatophytosis, according to age, gender,
lesion area, treatment, and treatment duration. The most cases found in adult age group
(86.25%), woman (51.25%), tinea cruris (50%), combination treatment (71.4%) and
treatment duration under 1 month (71.25%).
Conclusion: This study concluded that the most dermatophytosis are in adult age group
(over 18 years old, in female sex and the most common lesion categorized as tinea cruris.
Most of the cases found with the combination treatment (topical and systemic) with a
history of treatment under 1 montil until the patients recovered.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya,
penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Karakteristik Penderita Dermatofitosis
pada Pasien Rawat Jalan di RSUD Daya Makassar Periode Januari-Desember 2016”
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan skripsi ini dilaksanakan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked.) pada
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Jutaan terima kasih penulis ucapkan kepada
kedua orang tua, saudara dan juga teman-teman yang telah dengan sabar, tabah dan penuh
kasih sayang serta selalu memanjatkan doa dan dukungannya selama masa studi penulis.
Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepadadr.
Lisa Tenriesa M,M.MedSc selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan
sabar memberikan arahan, koreksi dan bimbingannya tahap demi tahap penyusunan skripsi
ini. Waktu yang beliau berikan merupakan kesempatan berharga bagi penulis untuk belajar.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Kepala Bagian dan seluruh staf dosen Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
3. Keluarga tercinta, utamanya orang tua yang sangat banyak membantu, baik dalam
memberikan dukungan berupa materi maupun doa, memberikan motivasi dan
memberikan pengarahan, sehingga akhirnya penelitian ini dapat terselesaikan
4. Muh.Aji Ismail yang selalu setia membantu dan memberikan support dalam
penyelesaian penelitian ini.
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan
dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari yang diharapkan, untuk itu dengan
segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran dari semua pihak demi
viii
kesempurnaan skripsi ini. Namun demikian, dengan segala keterbatasan yang ada, mudah-
mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang banyak. Akhirnya penulis berdoa semoga
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan imbalan yang setimpal kepada semua pihak
yang telah terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Amin.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGENSAHAN……………………………………………………….ii
ABSTRAK ......................................................................................................................................... vi
DAFTAR ISI………………….……………………………………………………….x
x
2.3 Etiologi ............................................................................................................................ 23
2.4 Epidemiologi.................................................................................................................. 24
xi
4.4.2 Kriteria Eksklusi ........................................................................................................... 35
xii
6.4 Terapi pengobatan ........................................................................................................ 49
LAMPIRAN ...................................................................................................................................... 59
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR TABEL
kelompok umur………...………………………………...........................36
jenis kelamin…..……………………….………………….…….…….....37
pengobatan…..………………..……………….…………………….….40
pengobatan……...…………………………………………….………...41
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
BAB 1
PENDAHULUAN
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis,
sensitif dan bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga sangat
korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia6. Meskipun penyakit ini tidak fatal,
namun karena bersifat kronik dan residif, serta tidak sedikit yang resisten dengan obat
anti jamur, maka penyakit ini dapat menyebabkan gangguan kenyamanan dan
tiap Negara. Penelitian World Health Organization (WHO) terhadap insiden dari
infeksi dermatofit menyatakan 20% orang dari seluruh dunia mengalami infeksi
kutaneus dengan infeksi tinea korporis yang merupakan tipe yang paling dominan dan
Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu
dan kelembaban tinggi, dimana merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan
jamur, higiene juga berperan untuk timbulnya penyakit ini. Sehingga jamur dapat
17
ditemukan hampir di semua tempat.2 Insidensi penyakit yang disebabkan oleh jamur
didapatkan sebanyak 52% dengan kasus terbanyak tinea kruris dan tinea korporis.32
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka rumusan masalah dari
18
d. Mengetahui distribusi dermatofitosis menurut terapi pengobatan
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumber informasi dan dapat
penlitian.
19
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Kulit adalah suatu pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari pengaruh
lingkungan, kulit juga merupakan alat tubuh terberat dan terluas ukurannya yaitu
15% dari berat tubuh manusia, rata rata tebal kulit 1-2 mm, kulit terbagi atas 3
1. Epidermis
dengan dermis. Dalam lapisan basal terdapat melanosit. Melanosit adalah sel
20
dendritik yang membentuk melanin yang berfungsi melindungi kulit
Lapisan Malpighi atau disebut juga prickle cell layer (lapisan akanta)
merupakan lapisan epidermis yang paling kuat dan tebal. Terdiri dari beberapa
lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda akibat adanya
mitosis serta sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya. Pada
Lapisan granular terdiri dari 2 atau 3 lapis sel gepeng, berisi butir-butir
Lapisan lusidum terletak tepat di bawah lapisan korneum. Terdiri dari sel-
sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang
disebut eleidin.
Lapisan tanduk merupakan lapisan terluar yang terdiri dari beberapa lapis
sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah
2. Dermis
21
Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal
daripada epidermis. Terdiri dari lapisan elastis dan fibrosa padat dengan
elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi
a. Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis dan berisi ujung
3. Subkutis
Lapisan ini merupakan lanjutan dermis, tidak ada garis tegas yang
memisahkan dermis dan subkutis. Terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel-
sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti
mengandung syaraf, pembuluh darah dan limfe, kantung rambut, dan dilapisan
energi.8
Dermatofitosis adalah penyakit jamur pada jaringan yang menjadi zat tanduk,
seperti kuku, rambut, dan stratum korneum pada epidermis yang disebabkan oleh
22
jamur dermatofita.9 Dermatofitosis adalah infeksi jamur dermatofit yang
infeksi dermatofit menyatakan 20% orang dari seluruh dunia mengalami infeksi
kutaneus dengan infeksi tinea korporis merupakan tipe yang paling dominan dan
2.3 Etiologi
23
Trichophyton, dan Epidermophyton.14,15,16 Ketiga genus tersebut telah ditemukan 41
rambut, dan kuku. Epidermophyton menginfeksi hanya pada kulit dan jarang pada
kuku.15,16,17,18
2.4 Epidemiologi
Umur, Jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting,
dimana prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki 5 kali lebih banyak dari wanita.
Namun demikian tinea kapitis lebih sering pada wanita dewasa, dan anak-anak usia
3-14 tahun. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kebersihan perorangan,
lingkungan yang kumuh dan padat serta status sosial ekonomi dalam penyebaran
24
insfeksinya. Jamur penyebab tinea kapitis ditemukan pada sisir, topi, sarung bantal,
dan jamur. Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya oklusif, adanya trauma,
kejadian infeksi tinea. Alas kaki yang tertutup, berjalan adanya tekanan temperatur,
2.5 Patogenesis
normal yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang di produksi oleh
desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim
musinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi
25
c.Perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status imun
penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau
Saat ini, lesi menjadi inflamasi, dan barier epidermal menjadi permeable
terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi
a. Tinea Kapitis
botak berbentuk oval. Rambut terputus dengan panjang yang berbeda-beda dan
permukaan kulit kepala bersisik. Microsporum canis biasanya ditularkan dari anak
tak berambut. Bercak yang tak berambut tersebut biasanya berkrusta dengan
banyak pustul dan dapat menimbulkan alopesia permanen. Setiap bercak tidak
berambut pada kulit kepala yang tampak bersisik dan berkrusta harus dicurigai
26
sebagai infeksi jamur. Untuk memastikan diagnosis tinea kapitis, rambut perlu
b. Tinea Korporis
Seringkali timbul eritema dan pustula seperti cincin dengan sisik-sisik di tepinya.
Infeksi ini dapat diperoleh dari binatang yaitu jamur M.Canis dari Trichopyton
27
c. Tinea Kruris
Merupakan infeksi jamur pada lipat paha. Infeksi ini lebih sering dialami
pria dan disertai rasa gatal yang hebat. Lesi berbentuk anular atau berbentuk
lengkung dengan eritema perifer dan sisik yang seringkali meluas sampaike paha.
Skrotum biasanya tidak terkena, istilah yang juga lazim dipakai untuk kelainan ini
Tinea pedis dan manum mungkin merupakan infeksi jamur yang paling
eritema pada telapak kaki dan tangan. Yang seringkali terserang adalah kedua kaki
meradang pada kaki. Tinea pedis, manum, dan kruris dapat dipastikan melalui
28
Gambar 2.6.4Tinea pedis.
e. Tinea unguium
hyperkeratosis subungal dan pemisahan lempeng kuku dari dari jaringan kuku di
menggunakan kalium hidroksida. Infeksi yang sering terjadi ini sangat resisten
terhadap terapi jamur, dan sering kambuh kembali bila pengobatan dihentikan.20
Tinea barbae adalah infeksi dermatofita yang jarang terjadi dan sering
terkena pada daerah wajah dan leher.37 Infeksi ini sering terjadi pada pria karena
menyerang daerah jenggot dan kumis namun pada wanita dan anak-anak
didiagnosis sebagai tinea facialis.38 Gejala klinis yang khas menimbulkan plak,
pustular yang akhirnya menjadi abses menutupi permukaan kulit disertai rasa
29
gatal dan rambut patah. Jenis peradangan yang paling umum biasanya disebabkan
mikroskop dan KOH 20%: tampak hifa panjang dan atau artrospora. Kultur terbaik
dengan agar Sabouraud plus (Mycosel, Mycobioti): pada suhu 28oC selama 1–4
kecuali pada tinea unguium). Lampu Wood hanya berfluoresensi pada tinea kapitis
2.8 Diagnosis
septa dan percabangan hifa. Pemeriksaan kultur dilakukan untuk menentukan spesies
30
2.9 Penatalaksanaan
a. Topikal:
b. Alternatif:
ii. Siklopiroksolamin.
b. Sistemik:
a. Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi. Griseofulvin oral
10 – 25 mg/kgBB/hari.26,27
laboratorium negatif.26,27
31
BAB 3
Umur
Jenis Kelamin
Lama
Pengobatan
Gambar 3.1.1Kerangka Konsep
a. Umur
Umur yang dimaksud pada penelitian ini adalah kelompok umur pasien
menjadi:
32
I. Anak – Anak < 18 thn
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah sifat jasmani dan rohani yang membedakan dua makhluk
sebagai pria dan wanita. Jenis kelamin di sini tercantum dalam status pasien
c. Lokasi Lesi
Lokasi lesi yang dimaksud ialah bagian tubuh pasien yang terdapat luka pada
d. Terapi Pengobatan
I. Kombinasi
II.Topikal
III.Sistemik
e. Lama Pengobatan
Yang akan dinilai ialah jangka waktu pengobatan dari awal masuk hingga
Makassar.
33
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
data sekunder yaitu semua variabel diteliti dalam waktu yang bersamaan berdasarkan
fakta yang telah terjadi tanpa adanya intervensi dalam kejadiannya yang terdapat dalam
• Waktu Penelitian: Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus – Oktober 2017
4.3.1 Populasi
4.3.2 Sampel
34
4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel
semua populasi yang diperoleh dari bagian rekam medis dan memenuhi kriteria
Pasien Dermatofitosis yang menjalani rawat jalan dengan catatan medis yang
tidak lengkap dari variabel yang dibutuhkan atau tidak jelas terbaca
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui
35
4.5.2 Instrumen Penelitian
alat tulis untuk mencatat data dan komputer untuk membuat tabel-tabel
yang telah ditentukan akan dikumpulkan melalui rekam medis pasien tersebut
program Microsoft Excel, penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel dan
Hal – hal yang terkait dengan etika dengan penelitian ini adalah:
36
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Daya Makassar, Pada bulan September 2017.
Data yang didapatkan adalah sebanyak 120 kasus. Namun setelah disaring berdasarkan
kriteria inklusi dan eksklusi, didapatkan 80 data penderita yang menjadi sampel penelitian.
Data diperoleh dari data sekunder melalui rekam medik pasien penderita dermatofitosis
rawat jalan di RSUD Daya Makassar periode januari - desember tahun 2016 untuk
lokasi lesi. Adapun hasil penelitian, disajikan dalam bentuk tabel dan diagram sebagai
berikut:
kelompok umur
Total 80 100 %
37
Umur
100
80
60
40 Umur
20
0
Dewasa Anak
Dari hasil penelitian melalui rekam medik pasien penderita dermatofitosis berdasarkan
kriteria usia dapat diketahui bahwa penderita dermatofitosis tertinggi pada kelompok
usia dewasa yaitu usia > 18 tahun dengan jumlah sebanyak 69 orang atau sebesar
86,25%. Penderita dermatofitosis pada usia anak yaitu < 18 tahun sebanyak 11 orang
Jenis Kelamin
Perempuan 41 51,25%
Laki-Laki 39 48,75%
Total 80 100%
38
Jenis Kelamin
51.5
51
50.5
50
49.5
49 Jenis Kelamin
48.5
48
47.5
47
Perempuan Laki - Laki
Gambar 5.2.1 Grafik karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan berdasarkan
Jenis Kelamin
tertinggi pada jenis kelamin perempuan dengan jumlah sebanyak 41 orang atau
sebesar 51,25%. Namun jumlah jenis kelamin laki-laki tidak jauh beda dari jumlah
lokasi lesi
39
Tinea Kruris 40 50%
Total 80 100%
Lokasi Lesi
60
50
40
30
Lokasi Lesi
20
10
0
Tinea Tinea Tinea Tinea Tinea Tinea
Korporis Kruris Kapitis Pedis Manus Facialis
Dari hasil penelitian melalui rekam medik pasien penderita dermatofitosis berdasarkan
kriteria lokasi lesi dapat diketahui bahwa penderita dermatofitosis tertinggi adalah
tinea kruris yang terdapat pada daerah pubis dan sela paha sebanyak 36 orang yaitu
sebesar 45%. Dan yang terendah dari hasil penelitian yang didapatkan adalah tinea
manus dan tinea facialis dengan sebanyak 1 orang dengan presentase 1,25.
40
5.4 Distribusi penderita berdasarkan terapi pengobatan.
terapi pengobatan
Kombinasi 30 71,4 %
Topikal 4 9,5 %
Sistemik 8 19,1%
Total 42 100%
Terapi Pengobatan
80
70
60
50
Terapi pengobatan
40
30
20
10
0
Kombinasi Topikal Sistemik
41
tertinggi dengan menggunakan terapi kombinasi (sistemik + topikal) dengan jumlah
sebanyak 30 orang atau sebesar 71,4%. Namun pemberian dengan topikal hanya
pengobatan
2 bulan 14 17,5%
3 bulan 5 6,25%
>4 bulan 4 5%
Total 80 100%
Lama Pengobatan
80
70
60
50
40
Lama Pengobatan
30
20
10
0
< 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan > 4 Bulan
42
Dari hasil penelitian melalui rekam medik pasien penderita dermatofitosis berdasarkan
antara kurang dari satu bulan hingga lebih 4 bulan. dengan persentase terbanyak < 1
bulan yaitu 57 orang atau sebesar 71,25% dan presentase terendah dalam jangka
pengobatan dermatofitosis adalah > 4 bulan yaitu 4 orang atau sebesar 5%.
43
BAB 6
PEMBAHASAN
RSUD Daya Makassar tahun 2016 telah dilaksanakan pada rumah sakit tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang melihat berdasarkan rekam medik
pasien. Penelitian ini ingin melihat karakteristik penderita dermatofitosis berdasarkan usia,
jenis kelamin, lama pengobatan, dan lokasi lesi. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa
jumlah penderita dermatofitosis di RSUD Daya Makassar ditemukan 120 pasien pada
tahun 2016 namun diambil sampel sebanyak 80 rekam medik pasien, yang disebabkan
6.1 Umur
Presentase kasus dermatofitosis berdasarkan umur dapat dilihat dari tabel 5.1.1
yang menunjukkan bahwa angka terbesar dari kriteria umur pasien dermatofitosis rawat
jalan di RSUD Daya Makassar tahun 2016 adalah kelompok umur dewasa yaitu sebanyak
69 orang atau sebesar 86,25% sedangkan kelompok umur anak hanya 11 orang atau
sebesar 13,75%.
dengan hasil yang didaptkan. Dari total 153 kasus dermatofitosis yaitu jumlah terbanyak
pada golongan umur 45-64 tahun dengan 50 kasus (32,7%) dan pada jumlah yang terendah
pada kelompok umur 5-14 tahun dengan 17 kasus (11,1%). Pada penelitian tersebut
mengatakan bahwa kelompok usia produktif dan usia kelompok dewasa yang terbanyak
pada penderita dermatofitois. Hal ini dapat disebabkan faktor pertahanan tubuh yang
44
menurun seiring dengan pertambahan usia.6 Adanya penurunan metabolisme di usia ini
tubuh. Mengingat kelompok ini masih termasuk usia bekerja, jika ditambah dengan faktor
aktivitas yang menghasilkan keringat dan tidak diimbangi dengan kebersihan diri maka
akan menyebabkan peningkatan resiko terkena dermatofitosis. Saat ini tidak ditemukan
bukti statistik berarti namun pada umumnya untuk golongan usia dewasa dan anak-anak
Pada penelitian Ani oktavia (2011) di RSUD Tangerang yang juga sejalan
tahun 2011 sebanyak 178 penderita. usia kejadian tertinggi terjadi pada kelompok umur
18-40 tahun, hal ini sesuai dengan penelitian di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun
2003-2005, kelompok umur terbanyak yang menderita dermatofitos ialah usia produktif
yaitu 25-44 tahun. Pada Usia produktif mempunyai faktor predisposisi, misalnya
pekerjaan basah, trauma, dan banyak berkeringat, sehingga risiko untuk menderita
dermatofitosis lebih besar dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Sedangkan umur
yang paling jarang menderita dermatofitosis di divisi mikologi URJ penyakit kulit dan
kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya adalah kelompok usia 1-4 tahun yang merupakan
Penelitian Wulan (2016) di RSUD Ciamis jawa barat mendapatkan hasil yang
sama dari hasil penelitian ini. dimana kelompok usia yang paling sering menderita
dermatofitosis adalah kelompok usia 45-64 tahun. Hal itu disebabkan oleh aktivitas
kelompok usia tersebut yang masih aktif di luar rumah sehingga terkena panas dan sering
berkeringat, selain itu terdapat riwayat kebiasaan pasien yang sering menggunakan
45
pakaian berlapis-lapis dan bahan yang tidak menyerap keringat. Hasil penelitian yang
hampir serupa dilaporkan oleh Hitendra B. dan kawan-kawan, yaitu kelompok usia yang
Hasil tersebut menggambarkan bahwa usia merupakan salah satu faktor yang
kelompok usia dewasa yang banyak mengenai penderita dermatofitosis, namun tidak
menutup kemungkinan kelompok umur anak (<18 tahun) akan banyak mendapatkan
penyakit dermatofitosis dimasa akan datang karena hasil yang didaptkan memiliki jumlah
yang lumayan banyak pada umur < 18 tahun. Sehingga walaupun masih berusia dibawah
18 tahun harus tetap menjauhi faktor predisposisi yang dapat menimbulkan dermatofitosis.
Selain itu perlu juga diketahui bahwa selain faktor usia banyak faktor lain yang juga
menunjukkan bahwa angka terbesar dari kriteria jenis kelamin pasien dermatofitosis rawat
jalan di RSUD Daya Makassar tahun 2016 adalah jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak
41 orang atau sebesar 51,25% sedangkan jenis kelamin laki-laki hanya 39 orang atau
sebesar 48,75%.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wulan (2016) di RSUD Ciamis jawa
barat mengatakan Infeksi dermatofita dapat mengenai kedua jenis kelamin, tetapi
perbedaan angka kejadian pada beberapa daerah atau negara disebabkan oleh pengaruh
46
faktor kebiasaan dan gaya hidup.31 Penelitian ini menunjukan angka kejadian
dermatofitosis lebih sering terjadi pada wanita (60%) dibandingkan pria (40%). Hal
tersebut berhubungan dengan riwayat kebiasaan per individu, yaitu perempuan umumnya
sering menggunakan pakaian berlapis-lapis dan bahan yang tidak menyerap keringat,
Terdapat beberapa penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini, dimana
jumlah jenis kelamin perempuan pada pasien dermatofitosis yang diteliti tidak jauh
berbeda dari jenis kelamin laki-laki. Seperti hasil penelitian Ani oktavia (2011) di RSUD
tangerang yaitu jenis kelamin perempuan sebanyak 99 orang dengan presentase 55,6% dan
jumlah jenis kelamin laki-laki sebanyak 79 orang yaitu 44,4%. Adapun hasil penelitian di
Divisi Mikologi URJ Kulit Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2003-2005,
perbandingan angka penderita dermatofitosis pada perempuan lebih besar daripada laki-
laki.30 Penelitian Viter (2015) juga sesuai dengan hasil penelitian ini dengan mengatakan
67,70% dan laki-laki sebanyak 32,30%. Hal ini diduga disebabkan karena perempuan
menunjukkan bahwa angka terbesar dari kriteria jenis lokasi lesi pasien dermatofitosis
rawat jalan di RSUD Daya Makassar tahun 2016 adalah tinea kruris yaitu sebanyak 40
47
orang atau sebesar 50% ,tinea pedis diurutan kedua sebanyak 18 orang (22,5%), tinea
korporis diurutan ketiga sebanyak 11 orang (13,75%), selanjutnya tinea kapitis sebanyak
9 orang (11,25%), serta yang terendah adalah tinea manus dan tinea facialis dengan
Hasil penelitian ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa tinea
timbulnya penyakit ini berperan pada keadaan lembab dan panas yang menyebabkan
perkembangan infeksi jamur, faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini
adalah iklim panas, lembab, kebersihan lingkungan yang buruk, daerah pedesaan yang
padat, pengeluaran keringat yang berlebihan, trauma kulit, dan menggunakan pakaian
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian viter (2015) di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado bahwa klasifikasi dermatofitosis dengan jumlah terbanyak yaitu tinea
kruris 36 kasus (55,38%). Tinea kruris merupakan dermatofitosis pada sela paha, genitalia,
daerah pubis, perineum, dan perianal. Tinea kruris merupakan keadaan yang sering terjadi
di seluruh dunia, dan paling sering di daerah tropis. Keadaan lembab dan panas berperan
pada timbulnya penyakit.32 Hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr. M. Djamil
Padang pada tahun 2011 juga sesuai dimana tinea kruris merupakan dermatofitosis
terbanyak (72%).
Hasil peneliatian Divisi Mikologi URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya tahun 2011 sampai dengan 2013 tidak relevan dengan hasil penelitian
ini karena pada penelitian tersebut lokasi terbanyak adalah tinea korporis (51%) dan tinea
kruris (41%) berada diurutan kedua. Hal ini dapat disebabkan karena tinea korporis banyak
48
diderita oleh semua umur, terutama lebih sering menyerang orang dewasa terutama pada
orang yang kurang mengerti kebersihan dan banyak bekerja ditempat panas, yang banyak
menunjukkan bahwa jenis pengobatan yang paling banyak diberikan ialah terapi kombinsi
(sistemik + topikal) yaitu sebanyak 30 orang atau sebesar 71,4%. Namun pemberian
Dari penelitian diatas terdapat 4 orang dengan pengobatan yang diberikan hanya
pemberian topikal. salah satu fungsi dari pemberian topikal yaitu memiliki efek
menenangkan dan meringankan gejala lokal karena konsistesi dari kandungan salep atau
lotion yang memungkinkan pemakaian dapat merata dan cepat pada permukaan kulit
sehingga dapat membasmi area yang lebih kecil dari infeksi. Terapi topikal yang sering
Pada pemberian topikal ini sering diberikan pada penderita dengan tinea pedis.
Pemberian terapi sistemik diperlukan untuk wilayah infeksi yang lebih luas terlibat,
pada infeksi kronis atau berulang.35 Pemberian oral atau sistemik yang sering diberikan
Hasil yang didapatkan dari pengobatan sistemik sering diberikan pada penderita
49
dermatofita ini memiliki pathogenesis yang sama yaitu dapat hidup di superficialis kulit
atau di startum korneum dan mencerna keratin sebagai sumber nutrisi sehingga obat yang
diberikan tidak membedakan dari spesies tersebut. Obat yang diberikan termasuk:
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian viter(2015) di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado bahwa presentase terapi tertinggi yaitu dengan terapi kombinasi
sebanyak 83,08%. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
diakui memiliki keunggulan dalam bidang mikologi. Obat yang dipilih biasanya terdiri
dari sistemik dan topikal. Mekanisme kerja obat pada target yang berbeda akan
meningkatkan keberhasilan terapi. Selain itu tujuan pemberian terapi topikal juga untuk
bagian tubuh lain atau kepada orang lain dan lingkungan di sekitarnya34.
Pada peneliatian Divisi Mikologi URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya tahun 2011 sampai dengan 2013 mengatakan bahwa presentase terapi
tertinggi adalah dengan pemberian griseofulvin (sistemik). Namun pada penelitian ini
dermatofitosis di Divisi Mikologi URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin dikarenakan dalam
satu kasus terkadang pasien lebih dari satu terapi baik oral maupun topikal, atau pasien
50
Pada kasus dermatofitosis berdasarkan lama pengobatan tabel 5.5.1 yang
menunjukkan bahwa presentase lama pengobatan tertingi adalah dalam jangka waktu < 1
bulan dengan jumlah 57 orang (71,25%) dan presentase terendah dalam jangka pengobatan
Hasil penelitian ini didapatkan jangka waktu dibawah 1 bulan pada pasien
dermatofitosis terbanyak adalah tinea kruris dan diatas 4 bulan pasien dermatofitosis
terbanyak adalah tinea pedis, lamanya pengobatan memiliki banyak faktor yang
(kombinasi). Tinea pedis ini memiliki tendensi yang sering kambuh karena jari-jari kaki
sangat rentan terinfeksi jamur, terutama pada orang yang sering memakai sepatu tertutup
pada kesehariannya.36
Hasil penelitian ini sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa lama
pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan keadaan imunitas penderita. Lama
Pengobatan dermatofitosis berkisar 4-8 minggu hingga bulan karena penyakit tersebut
diketahui sering terjadi resisten. Bahkan setelah pengobatan berhasil, penderita tetap
beresiko terhadap infeksi ulang jika mereka tidak mengikuti pedoman pencegahan.33
Hasil penelitian ini juga seusai dengan penelitian Wulan (2016) di RSUD Ciamis
jawa barat, bahwa Durasi infeksi tersering pada dermatofitosis < 1 bulan. Dan dapat
hingga > 2 tahun karena infeksi tersebut disebabkan pasien pada umumnya cenderung
51
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di RSUD Daya Makassar pada bulan
januari – desember 2016, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
dermatofitosis terbanyak pada kelompok usia dewasa (> 18 tahun) yaitu sebanyak
dermatofitosis terbanyak adalah tinea kruris yang terdapat pada daerah pubis dan
sela paha sebanyak 36 orang atau sebesar 45% di RSUD Daya Makassar tahun
2016.
52
5. Berdasarkan kriteria lama pengobatan penderita dermatofitosis diperoleh bahwa
penderita dermatofitosis terbanyak dalam jangka waktu < 1 bulan dengan jumlah
7.2 Saran
Data rekam medis perlu dilengkapkan sehingga informasi yang diperlukan dapat dibaca
2.bagi masyarakat
lebih mengoptimalkan personal hygiene masing-masing dan diharapkan agar selalu rajin
berkonsultasi dengan dokter spesialis kulit tentang penggunaan obat yang sesuai dengan
Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai penyakit dermatofitosis karena masih
sedikit data mengenai penyakit ini di Indonesia. Perlu dilakukan pendataan yang lebih
lengkap serta dokumentasi yang lebih baik untuk memperoleh data yang lebih lengkap
53
DAFTAR PUSTAKA
2. Hidayati, A.N., Suroso, S., Hinda, D., Sandra, E., 2009. Superficial Mycosis in Mycology
3. Kurniawati RD. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tinea pedis pada
5. Wirya Duarsa. Dkk: Pedoman Diagnosis Dan Terapi Penyakit Kulit Dan Kelamin RSUP
Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
6. Wollf, K., dan Johnson, R.A., 2012. Fitzpatrick Color Atlas and Synopsis of Clinical
10. Djuanda, A., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, editor Hamzah Mochtar, Aisah Siti. Ed.5.
Jakarta: FKUI
54
retrospective study. Mycopathologia. 2009; 168 (3):117-23
12. Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2012, Cellular and Molecular Immunology,
Seventh Edition, 1-3, 16-19, 67-68, 75-78, 225-226, Elsevier Saunders, Philadelphia
14. Rippon JW. Medical Mycology The Pathogenic Fungi. 3rd ed. Philadelphia : WB
15. Hay RJ, Ashbee HR, Morre M.Mycology. In: Champion RH,Burton JZ, Burns DA,
17. Budimulya U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah Has, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. h. 89-105.
18. Siregar R.S. Penyakit Jamur Kulit. Edisi Kedua. Jakarta: EGC; 2004.
A, Leffell O, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine (7th ed). New York:
55
21. Berman, Kevin (2008-10-03). “Tinea corporis – All information”. MultiMedia Medical
22. Tinea corporis, Tinea cruris, and Tinea pedis. Mycoses. Doctor-Fungus. 2007-01-27.
Retrieved 2012-11-20.
23. Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianty E, editor. Dalam
24. Gupta KA, Cooper EA, Ryder JE, Nicol KA, Chow M, Chaudhry MM. Optimal
Management of Fungal Infections of the Skin, Hair, and Nails. Am J Clin Dermatol
25. Maibach HI & Grouhi F. Evidence Based Dermatology 2nd ed. People’s Meical
26. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York :
Mc Graw-Hill, 2012;2277
27. Gupta KA, Cooper EA, Ryder JE, Nicol KA, Chow M, Chaudhry MM. Optimal
Management of Fungal Infections of the Skin, Hair, and Nails. Am J Clin Dermatol
28. Fauzi N, Suyoso S. Penelitian Retrospektif Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi URJ
Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 2006-2007. Surabaya;
2008.
29. Richardson MD, Warnock DW. Fungal Infection Diagnosis and Management. 3rd ed.
56
30. Hidayati, Afif Nurul., Suyoso, Sunarso., P,desy Hinda., Sandra,Emilian.Mikosis
Superfisialis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Medicinski J. 2011;17(3):222-6.
33. Mulyono, 2001, Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit Dan Kelamin, 1st ed, Meidian
34. Gadithya IDG, Darmada IG, Mas ML. Laporan kasus tinea korporis et kruris. Fakultas
35. Nadalo D, Montoya C. What is the best way to treat tinea kruris?.The journal of Family
36. Soekandar TM. Angka kejadian dan pola jamur penyebab Tinea pedis di asrama Brimob
Perawatan,Jakarta: EGC
38. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s textbook of dermatology. 8th
39. Baran W, Szepietowski JC, Schwartz RA. Tinea barbae. Acta Dermatovenerol Alp
57
40. Amiruddin, M.D,dkk.2013.Penyakit Kulit di Daerah Tropis Penyakit Kusta dalam
58
LAMPIRAN
Jenis
No. kelamin Umur Lama pengobatan Lokasi lesi
1 L 69 31/3/2016 T.Korporis
2 p 26 3/8/2016 T.Korporis
3 p 40 26/7 - 28/9 t.kruris
4 p 55 1/3/2016 t.kruris
5 p 26 18/1 22/2-5/7 t.kruris
6 l 45 18/4-28/4-28/7 T.Korporis
7 l 37 3/8/2016 t.kruris
8 l 65 22/5-25/8 t.kruris
9 p 53 3/4-1/5, t.kruris
10 p 54 26/5/2016 t.kruris
11 p 39 29/5-2/8 t.kapitis
12 p 20 26/4/2016 t.kruris
13 p 75 1/2/2016 t.pedis
14 l 13 7/2/2016 t.kruris
15 l 24 7/2-13/2 t.kruris
16 p 38 14/2/2016 t.kruris
17 l 41 20/2/2016 t.kruris
18 l 1 28/2/2016 t.kruris
19 l 13 1/3/2016 t.kruris
20 l 20 12/5-18/8 t.kruris
21 l 55 26/8/2016 t.pedis
22 l 30 1/9,6/11 t.kruris
23 p 60 8/8-14/10 t.pedis
24 l 8 29/8-5/10 t.kapitis
25 l 13 15/8-29/8-21/10 t.kapitis
26 p 38 14/2/2016 t.kruris
27 l 21 7/8/2016 t.pedis
28 l 37 15/9/2016 t.kruris
29 p 65 14/9/2016 t.pedis
30 p 26 16/9-26/11 t.pedis
31 p 37 19/9/2016 t.manus
59
32 p 47 14/10/2016 t.kruris
33 p 24 17/10/2016 t.pedis
34 p 42 2/11/2016 t.pedis
35 p 59 6/11,11/12 t.kruris
36 l 27 6/11/2017 t.pedis
37 p 14 17/4/2016 t.capitis
38 l 34 15/9/2016 t.kruris
39 l 65 5/6/2016 t.kruris
40 l 54 13/6-19/6-17/8 t.kruris
41 l 71 24/4-3/5-20/6-15/12 t.pedis
42 l 60 3/7,21/8 t.kruris
43 p 44 6/12/2016 T.Korporis
44 p 48 24/11/2016 t.kruris
45 l 46 5/7/2016 t.kruris
46 p 70 17/11-3/10-9/12-22/12 t.kruris
47 l 21 21/12/2016 t.facialis
48 l 34 22/12/2016 T.Korporis
49 l 50 27/12-3/1 t.kapitis
50 p 57 3/1-5/10 t.pedis
51 l 21 18/6/2016 T.Korporis
52 p 49 25/1/2016 t.kapitis
53 l 53 30/5/2016 t.kruris
54 l 69 26/7-1/8-28/8, t.kruris
55 l 38 9/8/2016 t.kruris
56 p 23 9/8/2016 t.kruris
57 p 3 18/3/2016 t.korporis
58 l 50 18/3/2016 T.Korporis
59 l 20 8/3/2016 t.kruris
60 p 43 26/6/2016 t.kruris
61 p 35 18/2/2016 t.korporis
62 p 25 15/2/2016 t.kruris
63 l 72 12/4/2016 t.kruris
64 l 23 13/5/2016 t.kapitis
65 p 54 25/5/2016 t.kapitis
66 p 19 13/5/2016 t.kruris
67 p 38 5/11,29/12 t.pedis
68 p 70 26/1/2016 T.Korporis
69 p 62 21/7/2016 t.pedis
70 p 15 2/5/2016 t.kruris
71 p 60 6/4-15/6 t.kruris
60
72 l 18 3/9/2016 t.capitis
73 l 29 11/4/2016 t.pedis
74 p 15 31/7/2016 t.pedis
75 p 58 14/8/2016 T.Korporis
76 l 18 27/3/2016 t.pedis
77 l 21 7/9/2016 t.pedis
78 p 48 3/1-11/1-7/12-14/12 t.pedis
79 l 68 28/4,3/7 t.kruris
80 p 32 7/6/2016 t.kruris
61
30 t.kapitis mikonazol,ketokonazol,cetirizin T+S
31 t.kruris cetirizin,mikonazol S+T
32 t.kruris mikonazol,cetirizin T+S
33 t.korporis mikonazol,cetirizin,ketokonazol T+S
34 t.pedis gentamisin,mikonazol,kompres nacl T
35 t.pedis cefadroxil,asam mefenamat,nacl S+T
36 t.kruris mikonazol,itrakonazol T+S
37 t.manus mikonazol T
38 t.pedis mikonazol,cetirizin T+S
39 t.kruris cetirizin,betametason S+T
40 t.korporis cetirizin,mikonazol S+T
41 t.kruris cetirizin, griseofulvin S
42 t.kruris cetirizin,ketokonazol S
62
Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Rekomendasi Etik
63
Lampiran 3. Surat Rekomendasi Persetujuan Etik
64
Lampiran 4. Lembar Persetujuan Judul
65
Lampiran 5. Lembar persetujuan Proposal
66
Lampiran 6. Lembar Persetujuan Hasil
67
Lampiran 7. Data Diri Penulis
68