Anda di halaman 1dari 68

KARAKTERISTIK PENDERITA DERMATOFITOSIS PADA

PASIEN RAWAT JALAN DI RSUD DAYA MAKASSAR PERIODE


JANUARI-DESEMBER 2016

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Hasanuddin


Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Kedoketeran

Diusulkan Oleh:
Asvika Anis Anwar
C111 14 355

Pembimbing:
dr. Lisa Tenriesa M,M.MedSc

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Asvika Anis Anwar


NIM : C111 14 355
Judul Skripsi : Karakteristik Penderita Dermatofitosis pada Pasien Rawat Jalan
di Rsud Daya Makassar Periode Januari-Desember 2016

Dengan ini saya menyatakan bahwa seluruh skripsi ini adalah hasil karya saya.
Apabila ada kutipan atau pemakaian dari hasil karya orang lain baik berupa tulisan,
data, gambar atau ilustrasi baik yang telah dipublikasi atau belum dipublikasi, telah
direferensi sesuai dengan ketentuan akademis.
Saya menyadari plagiarisme adalah kejahatan akademik, dan melakukannya
akan menyebabkan sanksi yang berat berupa pembatalan skripsi dan sanksi akademik
yang lain.

Makassar, 20 November 2017


Yang Menyatakan,

Asvika Anis Anwar

v
SKRIPSI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
NOVEMBER, 2017
Asvika Anis Anwar
dr. Lisa Tenriesa M,M.MedSc

KARAKTERISTIK PENDERITA DERMATOFITOSIS PADA PASIEN RAWAT


JALAN DI RSUD DAYA MAKASSAR PERIODE JANUARI–DESEMBER 2016.

ABSTRAK
Latar Belakang: Dermartofitosis merupakan penyakit yang diakibatkan oleh kolonisasi
jamur dermatofita yang menyerang daerah mengandung keratin. Penyakit dermartofitosis
ini sangat mudah dijumpai karena tingginya angka pertumbuhan jamur di Indonesia yang
disebabkan oleh iklim dan letak geografis yang sangat mendukung. penyakit ini bersifat
kronik dan residif yang dapat mengganggu kenyamanan dan menurunkan kualitas hidup.
Insidensi penyakit di Indonesia berkisar 2,93-27,6% pada tahun 2009-2011.

Metode Penelitian: Metode ini menggunakan metode deskriptif yang dilaksanakan di


RSUD Daya Makassar dengan tujuan mengetahui karakteristik penderita dermatofitosis
dimana sample ditentukan dengan teknik total sampling dan pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan rekam medik.

Hasil Penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 80 kasus dermatofitosis,


menurut variabel umur, jenis kelamin, lokasi lesi, terapi pengobatan, dan lama pengobatan.
Hasil terbanyak yang didaptkan adalah pada kelompok umur dewasa (86,25%), jenis
kelamin perempuan (51,25%), tinea kruris (50%), terapi kombinasi(71,4%),dan
pengobatan dibawah 1 bulan(71,25%).

Kesimpulan: Pada penelitian ini kasus dermatofitosis terbanyak adalah pada umur dewasa
yaitu diatas 18 tahun dengan jenis kelamin perempuan dan lokasi lesi tersering pada tinea
kruris dengan pengobatan yang banyak diberikan menggunakan terapi
kombinasi(topikal&sistemik) dan kasus terbanyak dengan riwayat pengobatan dibawah 1
bulan hingga pasien sembuh.

Kata Kunci: Dermatofitosis, Karakteristik, Tinea

vi
THESIS
FACULTY OF MEDICINE
HASANUDDIN UNIVERSITY
NOVEMBER, 2017
Asvika Anis Anwar
dr. Lisa Tenriesa M,M.MedSc

THE CHARACTERISTICS OF DERMATOPHYTOSIS PATIENTS AT RSUD


DAYA MAKASSAR ON JANUARY-DECEMBER 2016

ABSTRACT

Background: Dermatophytosis is caused by dermatophyte fungi colonization that break


down the keratinized tissue. Dermatophytosis is a common disease due to the high growth
of fungi in Indonesia, followed by supportive climate and geographical area. It is also
known as chronic and residive disease that decrease the quality of life. The incidence of
dermatophytosis in Indonesia is 2.93-27.6% in 2009-2011.

Methods: This is a descriptive method conducted at RSUD Daya Makassar, aimed to


identify the characteristic of Dermatophytosis patients. All samples determined by total
sampling and data collected from medical records.

Result: The result showed from 80 cases of dermatophytosis, according to age, gender,
lesion area, treatment, and treatment duration. The most cases found in adult age group
(86.25%), woman (51.25%), tinea cruris (50%), combination treatment (71.4%) and
treatment duration under 1 month (71.25%).

Conclusion: This study concluded that the most dermatophytosis are in adult age group
(over 18 years old, in female sex and the most common lesion categorized as tinea cruris.
Most of the cases found with the combination treatment (topical and systemic) with a
history of treatment under 1 montil until the patients recovered.

Keyword: Dermatophytosis, characteristics, tinea

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya,
penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Karakteristik Penderita Dermatofitosis
pada Pasien Rawat Jalan di RSUD Daya Makassar Periode Januari-Desember 2016”
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan skripsi ini dilaksanakan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked.) pada
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Jutaan terima kasih penulis ucapkan kepada
kedua orang tua, saudara dan juga teman-teman yang telah dengan sabar, tabah dan penuh
kasih sayang serta selalu memanjatkan doa dan dukungannya selama masa studi penulis.
Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepadadr.
Lisa Tenriesa M,M.MedSc selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan
sabar memberikan arahan, koreksi dan bimbingannya tahap demi tahap penyusunan skripsi
ini. Waktu yang beliau berikan merupakan kesempatan berharga bagi penulis untuk belajar.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Kepala Bagian dan seluruh staf dosen Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
3. Keluarga tercinta, utamanya orang tua yang sangat banyak membantu, baik dalam
memberikan dukungan berupa materi maupun doa, memberikan motivasi dan
memberikan pengarahan, sehingga akhirnya penelitian ini dapat terselesaikan
4. Muh.Aji Ismail yang selalu setia membantu dan memberikan support dalam
penyelesaian penelitian ini.
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan
dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari yang diharapkan, untuk itu dengan
segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran dari semua pihak demi

viii
kesempurnaan skripsi ini. Namun demikian, dengan segala keterbatasan yang ada, mudah-
mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang banyak. Akhirnya penulis berdoa semoga
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan imbalan yang setimpal kepada semua pihak
yang telah terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Amin.

Makassar, 20 November 2017

Penulis

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGENSAHAN……………………………………………………….ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA ........................................................v

ABSTRAK ......................................................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................viii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................... xiv

DAFTAR ISI………………….……………………………………………………….x

DAFTAR TABEL ........................................................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................ xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................ 17

1.1. Latar Belakang Permasalahan ................................................................................... 17

1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 18

1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 18

1.3.1. Tujuan Umum................................................................................................................ 18

1.3.2. Tujuan Khusus............................................................................................................... 18

1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................................................... 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................. 20

2.1 Anatomi Kulit ................................................................................................................ 20

2.2 Definisi dermatofitosis ................................................................................................ 22

x
2.3 Etiologi ............................................................................................................................ 23

2.4 Epidemiologi.................................................................................................................. 24

2.5 Patogenesis ..................................................................................................................... 25

2.6 Macam-Macam Dermatofitosis ................................................................................ 26

2.7 Pemeriksaan Penunjang .............................................................................................. 30

2.8 Diagnosis ........................................................................................................................ 30

2.9 Penatalaksanaan ............................................................................................................ 31

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL HIPOTESIS PENELITIAN ............................... 32

3.1 Kerangka Konsep ......................................................................................................... 32

3.2 Definisi Operasional .................................................................................................... 32

4.1 Metode dan Jenis Penelitian ...................................................................................... 34

4.2 Lokasi dan Waktu Peneltian ...................................................................................... 34

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................................... 34

4.3.1 Populasi ........................................................................................................................... 34

4.3.2 Sampel ............................................................................................................................. 34

4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel .................................................................................... 35

4.4 Kriteria Seleksi .............................................................................................................. 35

4.4.1 Kriteria Inklusi .............................................................................................................. 35

xi
4.4.2 Kriteria Eksklusi ........................................................................................................... 35

4.5 Jenis Data dan Instrumen Penelitian ....................................................................... 35

4.5.1 Jenis Data ........................................................................................................................ 35

4.5.2 Instrumen Penelitian .................................................................................................... 36

4.6 Manajemen Penelitian ................................................................................................. 36

4.6.1 Teknik Pengumpulan Data ........................................................................................ 36

4.6.2 Pengolahan Data dan Penyajian Data ..................................................................... 36

4.7 Etika Penelitian ............................................................................................................. 36

BAB 5 HASIL PENELITIAN ..................................................................................................... 37

5.1 Distribusi penderita berdasarkan kelompok umur .............................................. 37

5.2 Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin. .................................................. 38

5.3 Distribusi penderita berdasarkan lokasi lesi ......................................................... 39

5.4 Distribusi penderita berdasarkan terapi pengobatan. ......................................... 41

5.5 Distribusi penderita berdasarkan lama pengobatan ............................................ 42

BAB 6 PEMBAHASAN ............................................................................................................... 44

6.1 Umur ................................................................................................................................ 44

6.2 Jenis kelamin ................................................................................................................. 46

6.3 Lokasi lesi ....................................................................................................................... 47

xii
6.4 Terapi pengobatan ........................................................................................................ 49

6.5 Lama Pengobatan ......................................................................................................... 50

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................... 52

7.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 52

7.2 Saran ................................................................................................................................. 53

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 54

LAMPIRAN ...................................................................................................................................... 59

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.1Anatomi Kulit……..……………………………………………...19

Gambar 2.3.1Pemeriksaan mikroskopis jamur dermatofitosis…………………...23

Gambar 2.6.1Tinea kapitis……………………………………..……………….26

Gambar 2.6.2Tinea korporis…………………………………….…………….………26

Gambar 2.6.3 Tinea kruris………………………………………………………….....27

Gambar 2.6.4Tinea pedis………………………………………….…….………..…...28

Gambar 2.6.5Tinea unguium….………………………………….……………..…….28

Gambar 2.6.6Tinea barbae...…………………………………….……………...……29

Gambar 3.1.1Kerangka konsep …..………………………….………………………31

Gambar 5.1.1Grafik karakteristik berdasarkan kelompok umur.……..………..37

Gambar 5.2.1 Grafik karakteristik berdasarkan jenis kelamin….……….……..38

Gambar 5.3.1Grafik karakteristik berdasarkan lokasi lesi……...………...……39

Gambar 5.4.1Grafik karakteristik berdasarkan terapi pengobatan……………..40

Gambar 5.5.1Grafik karakteristik berdasarkan lama pengobatan.……………..41

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel5.1.1Karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan berdasarkan

kelompok umur………...………………………………...........................36

Tabel5.2.1 Karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan berdasarkan

jenis kelamin…..……………………….………………….…….…….....37

Tabel5.3.1 Karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan

berdasarkan lokasi lesi …………………………………………............38

Tabel5.4.1 Karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan berdasarkan terapi

pengobatan…..………………..……………….…………………….….40

Tabel5.5.1 Karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan berdasarkan lama

pengobatan……...…………………………………………….………...41

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1Tabel Data Penelitian.……………………………...........................58

Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Rekomendasi Etik...….……………..…....62

Lampiran 3 Surat Rekomendasi Persetujuan Etik...............................................63

Lampiran 4 Lembar Persetujuan Judul.…………………………………...…....64

Lampiran 5 Lembar Persetujuan Proposal….....………………………………..65

Lampiran 6 Lembar Persetujuan Hasil……………….…………….……...........66

Lampiran 7 Data Diri Penulis……………………..............................................67

xvi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari

lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta

merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis,

sensitif dan bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga sangat

bergantung pada lokasi tubuh.1

Demartofitosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur

dermatofita yang menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum

korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia6. Meskipun penyakit ini tidak fatal,

namun karena bersifat kronik dan residif, serta tidak sedikit yang resisten dengan obat

anti jamur, maka penyakit ini dapat menyebabkan gangguan kenyamanan dan

menurunkan kualitas hidup bagi penderitanya.4.

Dermatofitosis tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi yang berbeda-beda

tiap Negara. Penelitian World Health Organization (WHO) terhadap insiden dari

infeksi dermatofit menyatakan 20% orang dari seluruh dunia mengalami infeksi

kutaneus dengan infeksi tinea korporis yang merupakan tipe yang paling dominan dan

diikuti dengan tinea kruris,tinea pedis, dan onikomikosis.13

Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu

dan kelembaban tinggi, dimana merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan

jamur, higiene juga berperan untuk timbulnya penyakit ini. Sehingga jamur dapat

17
ditemukan hampir di semua tempat.2 Insidensi penyakit yang disebabkan oleh jamur

di Indonesia berkisar 2,93-27,6% untuk tahun 2009-20113. Di Indonesia

dermatofitosis menempati urutan kedua setelah pityriasis versikolor. Dermatofitosis

didapatkan sebanyak 52% dengan kasus terbanyak tinea kruris dan tinea korporis.32

Di Makassar, dermatofitosis menempati urutan kedua setelah golongan dermatitis.

Insiden penyakit ini di RS.Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar melaporkan terdapat

69,33% kasus baru dermatofitosis untuk periode 2006-2010.40

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka rumusan masalah dari

penelitian sebagai berikut: “Karakteristik Penderita Dermatofitosis pada pasien rawat

jalan di RSUD Daya Makassar pada Periode Januari-Desember 2016”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Memperoleh informasi mengenai penderita rawat jalan dermatofitosis diRSUD

Daya Makassar periode Januari-Desember 2016

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi dermatofitosis menurut umur

b. Mengetahui distribusi dermatofitosis menurut jenis kelamin

c. Mengetahui distribusi dermatofitosis menurut lokasi lesi

18
d. Mengetahui distribusi dermatofitosis menurut terapi pengobatan

e. Mengetahui distribusi dermatofitosis menurut lama pengobatan

1.4. Manfaat Penelitian

a. Diperolehnya karakteristik penderita dermatofitosis di RSUD Daya Makassar

periode Januari – Desember 2016

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka

meningkatkan upaya-upaya pencegahan dermatofitosis di masyarakat

khususnya yang bermukim diwilayah kerja RSUD Daya Makassar periode

Januari – Desember 2016

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumber informasi dan dapat

dijadikan bahan bacaan bagi peneliti berikutnya

d. Merupakan pengalaman berharga bagi peneliti dalam rangka menambah

wawasan pengetahuan serta pengembangan diri khususnya dalam bidang

penlitian.

e. Diharapkan dapat memberikan masukan kepada instansi yang terkait dan

pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan-

kebijakan dalam usaha mengatasi masalah dermatofitosis.

19
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kulit

Gambar 2.1.1 Anatomi Kulit.

Kulit adalah suatu pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari pengaruh

lingkungan, kulit juga merupakan alat tubuh terberat dan terluas ukurannya yaitu

15% dari berat tubuh manusia, rata rata tebal kulit 1-2 mm, kulit terbagi atas 3

lapisan pokok yaitu, epidermis, dermis dan subkutan atau subkutis.1

1. Epidermis

Lapisan epidermis terdiri atas :

a. Lapisan basal atau stratum germinativum.

Lapisan basal merupakan lapisan epidermis paling bawah dan berbatas

dengan dermis. Dalam lapisan basal terdapat melanosit. Melanosit adalah sel

20
dendritik yang membentuk melanin yang berfungsi melindungi kulit

terhadap sinar matahari.

b. Lapisan malpighi atau stratum spinosum.

Lapisan Malpighi atau disebut juga prickle cell layer (lapisan akanta)

merupakan lapisan epidermis yang paling kuat dan tebal. Terdiri dari beberapa

lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda akibat adanya

mitosis serta sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya. Pada

lapisan ini banyak mengandung glikogen.

c. Lapisan granular atau stratum granulosum (Lapisan Keratohialin).

Lapisan granular terdiri dari 2 atau 3 lapis sel gepeng, berisi butir-butir

(granul) keratohialin yang basofilik. Stratum granulosum juga tampak jelas di

telapak tangan dan kaki

d. Lapisan lusidum atau stratum lusidum.

Lapisan lusidum terletak tepat di bawah lapisan korneum. Terdiri dari sel-

sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang

disebut eleidin.

e. Lapisan tanduk atau stratum korneum.

Lapisan tanduk merupakan lapisan terluar yang terdiri dari beberapa lapis

sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah

menjadi keratin.Pada permukaan lapisan ini sel-sel mati terus menerus

mengelupas tanpa terlihat.8

2. Dermis

21
Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal

daripada epidermis. Terdiri dari lapisan elastis dan fibrosa padat dengan

elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi

dua bagian yakni8 :

a. Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis dan berisi ujung

serabut saraf dan pembuluh darah.

b. Pars retikulaare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol ke arah subkutan.

Bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang seperti serabut kolagen,

elastin, dan retikulin. Lapisan ini mengandung pembuluh darah, saraf,

rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea.

3. Subkutis

Lapisan ini merupakan lanjutan dermis, tidak ada garis tegas yang

memisahkan dermis dan subkutis. Terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel-

sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti

terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Jaringan subkutan

mengandung syaraf, pembuluh darah dan limfe, kantung rambut, dan dilapisan

atas jaringan subkutan terdapat kelenjar keringat. Fungsi jaringan subkutan

adalah penyekat panas, bantalan terhadap trauma, dan tempat penumpukan

energi.8

2.2 Definisi dermatofitosis

Dermatofitosis adalah penyakit jamur pada jaringan yang menjadi zat tanduk,

seperti kuku, rambut, dan stratum korneum pada epidermis yang disebabkan oleh

22
jamur dermatofita.9 Dermatofitosis adalah infeksi jamur dermatofit yang

menyerang epidermis bagian superfisial (stratum korneum), kuku dan rambut.

Microsporum menyerang rambut dan kulit. Trichophyton menyerang rambut, kulit

dan kuku. Epidermophyton menyerang kulit dan jarang kuku. Dermatofita

penyebab dermatofitosis, Golongan jamur ini bersifat mencernakan keratin,

dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti. Gambaran klinik jamur dermatofita

menyebabkan beberapa bentuk klinik yang khas, satu jenis dermatofita

menghasilkan klinis yang berbeda tergantung lokasi anatominya.10

Dermatofita merupakan kelompok taksonomi jamur kulit superfisial. Yang

terdiri dari 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan

Epidermophyton.10Kemampuannya untuk membentuk ikatan molekuler terhadap

keratin dan menggunakannya sebagai sumber makanan menyebabkan mereka

mampu berkolonisasi pada jaringan keratin.11

Dermatofitosis tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi berbeda-beda pada

tiap Negara.12Penelitian World Health Organization (WHO) terhadap insiden dari

infeksi dermatofit menyatakan 20% orang dari seluruh dunia mengalami infeksi

kutaneus dengan infeksi tinea korporis merupakan tipe yang paling dominan dan

diikuti dengan tinea kruris, pedis, dan onikomikosis.13

2.3 Etiologi

Dermatofita adalah jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur

mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi

imperfecti, Terdapat 3 genus penyebab dermatofitosis, yaitu Microsporum,

23
Trichophyton, dan Epidermophyton.14,15,16 Ketiga genus tersebut telah ditemukan 41

spesies, terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2 spesies

Epidermophyton.3,14,15 Spesies terbanyak yang menjadi penyebab dermatofitosis di

Indonesia adalah Trichophyton rubrum (T. rubrum).8 Berdasarkan lokasinya

Microsporum menginfeksi daerah kulit dan rambut. Trichophyton menginfeksi kulit,

rambut, dan kuku. Epidermophyton menginfeksi hanya pada kulit dan jarang pada

kuku.15,16,17,18

Gambar 2.3.1 Pemeriksaan mikroskopis jamur dermatofitosis.

2.4 Epidemiologi

Umur, Jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting,

dimana prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki 5 kali lebih banyak dari wanita.

Namun demikian tinea kapitis lebih sering pada wanita dewasa, dan anak-anak usia

3-14 tahun. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kebersihan perorangan,

lingkungan yang kumuh dan padat serta status sosial ekonomi dalam penyebaran

24
insfeksinya. Jamur penyebab tinea kapitis ditemukan pada sisir, topi, sarung bantal,

mainan anak-anak atau bahkan kursi di gedung teater.6,19

Perpindahan manusia dapat dengan cepat mempengaruhi penyebaran endemik

dan jamur. Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya oklusif, adanya trauma,

dan pemanasan dapat meningkat temperature dan kelemahan kulit meningkat

kejadian infeksi tinea. Alas kaki yang tertutup, berjalan adanya tekanan temperatur,

kebiasaan penggunaan pelembab, dan kaos kaki yang berkeringat meningkatkan

kejadian tinea pedis dan onikomikosis.6,19

2.5 Patogenesis

Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi dermatofita

melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi melalui dan

diantara sel, dan perkembangan respon pejamu.

a.Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa

melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu,kelembaban, flora

normal yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang di produksi oleh

kelenjar sebasea juga bersifat fungistatik.22

b.Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus

stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses

desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim

musinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi

juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika

jamur mencapai lapisan terdalam epidermis.21,22

25
c.Perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status imun

penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau

Delayed Type Hipersensitivity(DHT) memainkan peran yang sangat penting

dalam melawan dermatofita. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama

yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Terdapat hipotesis

menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis

dan di presentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan

proliferasi dan bermigrasi ketempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur.

Saat ini, lesi menjadi inflamasi, dan barier epidermal menjadi permeable

terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi

secara spontan menyembuh.22

2.6 Macam-Macam Dermatofitosis

Bentuk-Bentuk gejala klinis Dermatofitosis

a. Tinea Kapitis

Adalah infeksi jamur pada kulit kepala biasanya disebabkan oleh

Trichophyton tonsurans atau Microsporum canis. T. tonsurans ditularkan melalui

kontak antara anak dengan anak dan mengakibatkan terbentuknya tempat-tempat

botak berbentuk oval. Rambut terputus dengan panjang yang berbeda-beda dan

permukaan kulit kepala bersisik. Microsporum canis biasanya ditularkan dari anak

kucing ke anak-anak dan dapat menimbulkan bercak-bercak radang purulent yang

tak berambut. Bercak yang tak berambut tersebut biasanya berkrusta dengan

banyak pustul dan dapat menimbulkan alopesia permanen. Setiap bercak tidak

berambut pada kulit kepala yang tampak bersisik dan berkrusta harus dicurigai

26
sebagai infeksi jamur. Untuk memastikan diagnosis tinea kapitis, rambut perlu

dicabut, dan diperiksa dibawah mikroskop setelah diberikan kalium hidroksida,

serta perlu dibiak.20

Gambar 2.6.1Tinea kapitis.

b. Tinea Korporis

Merupakan infeksi jamur pada kulit wajah, badan dan ekstremitas.

Seringkali timbul eritema dan pustula seperti cincin dengan sisik-sisik di tepinya.

Infeksi ini dapat diperoleh dari binatang yaitu jamur M.Canis dari Trichopyton

rubrum. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan mempergunakan kalium

hidroksida dan biakan jamur.20

Gambar 2.6.2Tinea korporis.

27
c. Tinea Kruris

Merupakan infeksi jamur pada lipat paha. Infeksi ini lebih sering dialami

pria dan disertai rasa gatal yang hebat. Lesi berbentuk anular atau berbentuk

lengkung dengan eritema perifer dan sisik yang seringkali meluas sampaike paha.

Skrotum biasanya tidak terkena, istilah yang juga lazim dipakai untuk kelainan ini

adalah jock itch.20

Gambar 2.6.3Tinea kruris.

d. Tinea pedis dan manum

Tinea pedis dan manum mungkin merupakan infeksi jamur yang paling

sering terjadi. Trichopyton rubrum dapat menimbulkan bercak bersisik disertai

eritema pada telapak kaki dan tangan. Yang seringkali terserang adalah kedua kaki

dan satu tangan. T. mentagrophytes menimbulkan erupsi pustular, berkrusta,

meradang pada kaki. Tinea pedis, manum, dan kruris dapat dipastikan melalui

pemeriksaan mikroskopik kerokan kulit dengan menggunakan kalium hidroksida

dan biakan jamur.20

28
Gambar 2.6.4Tinea pedis.

e. Tinea unguium

Infeksi jamur pada kuku, onikomikosis, disertai distrofi kuku. Terjadi

hyperkeratosis subungal dan pemisahan lempeng kuku dari dari jaringan kuku di

bawahnya. Diagnosis dapat ditegakkan dengan biakan jamur dan pemeriksaan

menggunakan kalium hidroksida. Infeksi yang sering terjadi ini sangat resisten

terhadap terapi jamur, dan sering kambuh kembali bila pengobatan dihentikan.20

Gambar 2.6.5Tinea unguium.


f. Tinea barbae

Tinea barbae adalah infeksi dermatofita yang jarang terjadi dan sering

terkena pada daerah wajah dan leher.37 Infeksi ini sering terjadi pada pria karena

menyerang daerah jenggot dan kumis namun pada wanita dan anak-anak

didiagnosis sebagai tinea facialis.38 Gejala klinis yang khas menimbulkan plak,

pustular yang akhirnya menjadi abses menutupi permukaan kulit disertai rasa

29
gatal dan rambut patah. Jenis peradangan yang paling umum biasanya disebabkan

oleh spesies Trichophyton dan microsporum.

Gambar 2.6.6Tinea barbae.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit atau kuku menggunakan

mikroskop dan KOH 20%: tampak hifa panjang dan atau artrospora. Kultur terbaik

dengan agar Sabouraud plus (Mycosel, Mycobioti): pada suhu 28oC selama 1–4

pekan (bila dihubungkan dengan pengobatan,culture tidak harus selalu dikerjakan

kecuali pada tinea unguium). Lampu Wood hanya berfluoresensi pada tinea kapitis

yang disebabkan oleh Microsposrum spp. (kecuali M.gypsium).23,24,25

2.8 Diagnosis

Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara klinis,

dapat diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan dengan

lampu wood pada spesies tertentu.17,19,28,29

Pada pemeriksaan dengan KOH 10-20%, Tampak dermatofit yang memiliki

septa dan percabangan hifa. Pemeriksaan kultur dilakukan untuk menentukan spesies

jamur penyebab dermatofitosis.6,18,19,29

30
2.9 Penatalaksanaan

a. Topikal:

a. Obat pilihan: Golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin) sekali

sehari selama 1 – 2 pekan .26,27

b. Alternatif:

i. Golongan azol: krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol.

ii. Siklopiroksolamin.

iii. Asam undesilinat.

iv. Tolnaftat 2 kali sehari selama 2 – 4 pekan.26,27

b. Sistemik:

a. Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi. Griseofulvin oral

10 – 25 mg/kgBB/hari.26,27

b. Ketokonazol 200 mg/hari, atau itrakonazol 2 x 100 mg/hari.Terbinafin

oral 1 x 250 mg/hari hingga klinis membaik dan hasil pemeriksaan

laboratorium negatif.26,27

31
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Umur

Jenis Kelamin

Status Rekam Karakteristik


Lokasi lesi Medik Pasien Pasien
Dermatofitosis Dermatofitosis
Terapi
Pengobatan

Lama
Pengobatan
Gambar 3.1.1Kerangka Konsep

= Variabel yang diteliti

3.2 Definisi Operasional

a. Umur

Umur yang dimaksud pada penelitian ini adalah kelompok umur pasien

dermatofitosis rawat jalan di RSUD Daya Makassar. Umur dikelompokkan

menjadi:

32
I. Anak – Anak < 18 thn

II. Dewasa > 18 thn

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah sifat jasmani dan rohani yang membedakan dua makhluk

sebagai pria dan wanita. Jenis kelamin di sini tercantum dalam status pasien

Laki-Laki dan Perempuan.

c. Lokasi Lesi

Lokasi lesi yang dimaksud ialah bagian tubuh pasien yang terdapat luka pada

penderita dermatofitosis di RSUD Daya Makassar.

d. Terapi Pengobatan

Terapi pengobatan yang dimaksud adalah pemberian terapi yang sering

diberikan untuk pasien dermatofitosis rawat jalan di RSUD Daya Makassar.

Terapi di kelompokkan menjadi:

I. Kombinasi

II.Topikal

III.Sistemik

e. Lama Pengobatan

Yang akan dinilai ialah jangka waktu pengobatan dari awal masuk hingga

selesainya pengobatan pasien dermatofitosis rawat jalan di RSUD Daya

Makassar.

33
BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Metode dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasi dengan menggunakan

data sekunder yaitu semua variabel diteliti dalam waktu yang bersamaan berdasarkan

fakta yang telah terjadi tanpa adanya intervensi dalam kejadiannya yang terdapat dalam

rekam medik pasien, dimana penelitian diarahkan untuk mendeskripsikan suatu

keadaan dalam suatu komunitas.

4.2 Lokasi dan Waktu Peneltian

• Lokasi Penelitian: Penelitian ini dilakukan di RSUD Daya Makassar

• Waktu Penelitian: Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus – Oktober 2017

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dermatofitosis rawat

jalan di RSUD Daya Makassar periode Januari – Desember 2016.

4.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini terdiri dari pasien dermatofitosis yang

berada di RSUD Daya Makassar periode Januari – Desember 2016 yang

memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi.

34
4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling yaitu

semua populasi yang diperoleh dari bagian rekam medis dan memenuhi kriteria

inklusi akan dijadikan sebagai sampel di RSUD Daya Makassar periode

Januari – Desember 2016.

4.4 Kriteria Seleksi

4.4.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien Dermatofitosis yang menjalani rawat jalan di RSUD Daya Makassar

periode Januari – Desember 2016

2. Memiliki catatan rekam medis lengkap: nomor rekam medis, identitas

pasien, tanggal pemeriksaan, diagnosa klinis dermatofitosis.

4.4.2 Kriteria Eksklusi

Pasien Dermatofitosis yang menjalani rawat jalan dengan catatan medis yang

tidak lengkap dari variabel yang dibutuhkan atau tidak jelas terbaca

4.5 Jenis Data dan Instrumen Penelitian

4.5.1 Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui

rekam medis penderita Dermatofitosis pasien rawat jalan di RSUD Daya

Makassar periode Januari – Desember 2016

35
4.5.2 Instrumen Penelitian

Alat pengumpulan data dari instrumen penelitian yang dipergunakan berupa

alat tulis untuk mencatat data dan komputer untuk membuat tabel-tabel

tertentu dan memproses data.

4.6 Manajemen Penelitian

4.6.1 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah meminta perizinan dari pihak

RSUD Daya Makassar. Kemudian penderita dermatofitosis dalam periode

yang telah ditentukan akan dikumpulkan melalui rekam medis pasien tersebut

di bagian Rekam Medik RSUD Daya Makassar. Setelah itu dilakukan

pencatatan langsung kedalam tabel yang telah disediakan.

4.6.2 Pengolahan Data dan Penyajian Data

Pengelolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer

program Microsoft Excel, penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel dan

diagram dilengkapi dengan penjelasan-penjelasannya.

4.7 Etika Penelitian

Hal – hal yang terkait dengan etika dengan penelitian ini adalah:

a. Sebelum melakukan penelitian maka peneliti akan memberikan surat

pengantar yang diajukan kepada pihak terkait sebagai permohonan izin

untuk melakukan penelitian.

b. Berusaha menjaga kerahasiaan identitas pasien yang terdapat pada

rekammedis sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa

dirugikan atas penelitian yang dilakukan.

36
BAB 5

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Daya Makassar, Pada bulan September 2017.

Data yang didapatkan adalah sebanyak 120 kasus. Namun setelah disaring berdasarkan

kriteria inklusi dan eksklusi, didapatkan 80 data penderita yang menjadi sampel penelitian.

Data diperoleh dari data sekunder melalui rekam medik pasien penderita dermatofitosis

rawat jalan di RSUD Daya Makassar periode januari - desember tahun 2016 untuk

mengetahui karakteristiknya berdasarkan variabel usia, jenis kelamin, lama pengobatan,

lokasi lesi. Adapun hasil penelitian, disajikan dalam bentuk tabel dan diagram sebagai

berikut:

5.1 Distribusi penderita berdasarkan kelompok umur

Tabel 5.1.1 Karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan berdasarkan

kelompok umur

Umur Penderita Frekuensi (n) Presentase (%)

Dewasa (> 18 th) 69 86,25 %

Anak (< 18 th) 11 13,75 %

Total 80 100 %

37
Umur
100

80

60

40 Umur

20

0
Dewasa Anak

Gambar 5.1.1 Grafik karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan

berdasarkan kelompok umur

Dari hasil penelitian melalui rekam medik pasien penderita dermatofitosis berdasarkan

kriteria usia dapat diketahui bahwa penderita dermatofitosis tertinggi pada kelompok

usia dewasa yaitu usia > 18 tahun dengan jumlah sebanyak 69 orang atau sebesar

86,25%. Penderita dermatofitosis pada usia anak yaitu < 18 tahun sebanyak 11 orang

dengan presentase 13,75%.

5.2 Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin.


Tabel 5.2.1 Karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan berdasarkan

Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (n) Presentase (%)

Perempuan 41 51,25%

Laki-Laki 39 48,75%

Total 80 100%

38
Jenis Kelamin
51.5
51
50.5
50
49.5
49 Jenis Kelamin
48.5
48
47.5
47
Perempuan Laki - Laki

Gambar 5.2.1 Grafik karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan berdasarkan

Jenis Kelamin

Dari hasil penelitian melalui rekam medik pasien penderita dermatofitosis

berdasarkan kriteria jenis kelamin dapat diketahui bahwa penderita dermatofitosis

tertinggi pada jenis kelamin perempuan dengan jumlah sebanyak 41 orang atau

sebesar 51,25%. Namun jumlah jenis kelamin laki-laki tidak jauh beda dari jumlah

perempuan yaitu sebesar 39 orang dengan presentase 48,75%.

5.3 Distribusi penderita berdasarkan lokasi lesi

Tabel 5.3.1 Karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan berdasarkan

lokasi lesi

Lokasi lesi Frekuensi(n) Persentase (%)

Tinea Korporis 11 13,75%

39
Tinea Kruris 40 50%

Tinea Kapitis 9 11,25%

Tinea Pedis 18 22,5%

Tinea Manus 1 1,25%

Tinea Facialis 1 1,25%

Total 80 100%

Lokasi Lesi
60

50

40

30
Lokasi Lesi
20

10

0
Tinea Tinea Tinea Tinea Tinea Tinea
Korporis Kruris Kapitis Pedis Manus Facialis

Gambar 5.3.1 Grafik karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan

berdasarkan lokasi lesi

Dari hasil penelitian melalui rekam medik pasien penderita dermatofitosis berdasarkan

kriteria lokasi lesi dapat diketahui bahwa penderita dermatofitosis tertinggi adalah

tinea kruris yang terdapat pada daerah pubis dan sela paha sebanyak 36 orang yaitu

sebesar 45%. Dan yang terendah dari hasil penelitian yang didapatkan adalah tinea

manus dan tinea facialis dengan sebanyak 1 orang dengan presentase 1,25.

40
5.4 Distribusi penderita berdasarkan terapi pengobatan.

Tabel 5.4.1 Karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan berdasarkan

terapi pengobatan

Terapi Frekuensi (n) Presentase (%)

Kombinasi 30 71,4 %

Topikal 4 9,5 %

Sistemik 8 19,1%

Total 42 100%

Terapi Pengobatan
80
70
60
50
Terapi pengobatan
40
30
20
10
0
Kombinasi Topikal Sistemik

Gambar 5.4.1 Grafik karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan

berdasarkan terapi pengobatan

Dari hasil penelitian melalui rekam medik pasien penderita dermatofitosis

berdasarkan kriteria terapi dapat diketahui bahwa pengobatan dermatofitosis

41
tertinggi dengan menggunakan terapi kombinasi (sistemik + topikal) dengan jumlah

sebanyak 30 orang atau sebesar 71,4%. Namun pemberian dengan topikal hanya

sebanyak 4 orang atau sebesar 9,5%.

5.5 Distribusi penderita berdasarkan lama pengobatan

Tabel 5.5.1Karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan berdasarkan lama

pengobatan

Lama pengobatan frekuensi (n) presentase (%)

< 1 bulan 57 71,25%

2 bulan 14 17,5%

3 bulan 5 6,25%

>4 bulan 4 5%

Total 80 100%

Lama Pengobatan
80
70
60
50
40
Lama Pengobatan
30
20
10
0
< 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan > 4 Bulan

Gambar 5.5.1 Grafik karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan

berdasarkan lama pengobatan

42
Dari hasil penelitian melalui rekam medik pasien penderita dermatofitosis berdasarkan

kriteria lama pengobatan dapat diketahui bahwa penderita dermatofitosis berkisar

antara kurang dari satu bulan hingga lebih 4 bulan. dengan persentase terbanyak < 1

bulan yaitu 57 orang atau sebesar 71,25% dan presentase terendah dalam jangka

pengobatan dermatofitosis adalah > 4 bulan yaitu 4 orang atau sebesar 5%.

43
BAB 6
PEMBAHASAN

Penelitian tentang karakteristik penderita dermatofitosis pasien rawat jalan di

RSUD Daya Makassar tahun 2016 telah dilaksanakan pada rumah sakit tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang melihat berdasarkan rekam medik

pasien. Penelitian ini ingin melihat karakteristik penderita dermatofitosis berdasarkan usia,

jenis kelamin, lama pengobatan, dan lokasi lesi. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa

jumlah penderita dermatofitosis di RSUD Daya Makassar ditemukan 120 pasien pada

tahun 2016 namun diambil sampel sebanyak 80 rekam medik pasien, yang disebabkan

karena terdapat beberapa data yang masuk dalam kriteria eksklusi.

6.1 Umur

Presentase kasus dermatofitosis berdasarkan umur dapat dilihat dari tabel 5.1.1

yang menunjukkan bahwa angka terbesar dari kriteria umur pasien dermatofitosis rawat

jalan di RSUD Daya Makassar tahun 2016 adalah kelompok umur dewasa yaitu sebanyak

69 orang atau sebesar 86,25% sedangkan kelompok umur anak hanya 11 orang atau

sebesar 13,75%.

Hasil penelitian Cyndi (2013) di RSUP.Prof.Dr.R.D. Kandou Manado ini sesuai

dengan hasil yang didaptkan. Dari total 153 kasus dermatofitosis yaitu jumlah terbanyak

pada golongan umur 45-64 tahun dengan 50 kasus (32,7%) dan pada jumlah yang terendah

pada kelompok umur 5-14 tahun dengan 17 kasus (11,1%). Pada penelitian tersebut

mengatakan bahwa kelompok usia produktif dan usia kelompok dewasa yang terbanyak

pada penderita dermatofitois. Hal ini dapat disebabkan faktor pertahanan tubuh yang

44
menurun seiring dengan pertambahan usia.6 Adanya penurunan metabolisme di usia ini

dapat mengakibatkan obesitas yang menghasilkan lipatan-lipatan pada beberapa bagian

tubuh. Mengingat kelompok ini masih termasuk usia bekerja, jika ditambah dengan faktor

aktivitas yang menghasilkan keringat dan tidak diimbangi dengan kebersihan diri maka

akan menyebabkan peningkatan resiko terkena dermatofitosis. Saat ini tidak ditemukan

bukti statistik berarti namun pada umumnya untuk golongan usia dewasa dan anak-anak

terdapat perbedaan infeksi jenis dermatofitosis tertentu.15

Pada penelitian Ani oktavia (2011) di RSUD Tangerang yang juga sejalan

mengatakan bahwa penderita dermatofitosis yang tercatat di RSUD Tangerang selama

tahun 2011 sebanyak 178 penderita. usia kejadian tertinggi terjadi pada kelompok umur

18-40 tahun, hal ini sesuai dengan penelitian di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun

2003-2005, kelompok umur terbanyak yang menderita dermatofitos ialah usia produktif

yaitu 25-44 tahun. Pada Usia produktif mempunyai faktor predisposisi, misalnya

pekerjaan basah, trauma, dan banyak berkeringat, sehingga risiko untuk menderita

dermatofitosis lebih besar dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Sedangkan umur

yang paling jarang menderita dermatofitosis di divisi mikologi URJ penyakit kulit dan

kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya adalah kelompok usia 1-4 tahun yang merupakan

golongan balita yang sedikit mempunyai faktor risiko.30

Penelitian Wulan (2016) di RSUD Ciamis jawa barat mendapatkan hasil yang

sama dari hasil penelitian ini. dimana kelompok usia yang paling sering menderita

dermatofitosis adalah kelompok usia 45-64 tahun. Hal itu disebabkan oleh aktivitas

kelompok usia tersebut yang masih aktif di luar rumah sehingga terkena panas dan sering

berkeringat, selain itu terdapat riwayat kebiasaan pasien yang sering menggunakan

45
pakaian berlapis-lapis dan bahan yang tidak menyerap keringat. Hasil penelitian yang

hampir serupa dilaporkan oleh Hitendra B. dan kawan-kawan, yaitu kelompok usia yang

paling sering menderita dermatofitosis adalah kelompok usia 19-59 tahun.30

Hasil tersebut menggambarkan bahwa usia merupakan salah satu faktor yang

berperan dalam terjadinya dermatofitosis. Meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa

kelompok usia dewasa yang banyak mengenai penderita dermatofitosis, namun tidak

menutup kemungkinan kelompok umur anak (<18 tahun) akan banyak mendapatkan

penyakit dermatofitosis dimasa akan datang karena hasil yang didaptkan memiliki jumlah

yang lumayan banyak pada umur < 18 tahun. Sehingga walaupun masih berusia dibawah

18 tahun harus tetap menjauhi faktor predisposisi yang dapat menimbulkan dermatofitosis.

Selain itu perlu juga diketahui bahwa selain faktor usia banyak faktor lain yang juga

berperan dalam terjadinya penyakit dermatofitosis.

6.2 Jenis kelamin

Presentasi kasus dermatofitosis berdasarkan jenis kelamin tabel 5.2.1 yang

menunjukkan bahwa angka terbesar dari kriteria jenis kelamin pasien dermatofitosis rawat

jalan di RSUD Daya Makassar tahun 2016 adalah jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak

41 orang atau sebesar 51,25% sedangkan jenis kelamin laki-laki hanya 39 orang atau

sebesar 48,75%.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wulan (2016) di RSUD Ciamis jawa

barat mengatakan Infeksi dermatofita dapat mengenai kedua jenis kelamin, tetapi

perbedaan angka kejadian pada beberapa daerah atau negara disebabkan oleh pengaruh

46
faktor kebiasaan dan gaya hidup.31 Penelitian ini menunjukan angka kejadian

dermatofitosis lebih sering terjadi pada wanita (60%) dibandingkan pria (40%). Hal

tersebut berhubungan dengan riwayat kebiasaan per individu, yaitu perempuan umumnya

sering menggunakan pakaian berlapis-lapis dan bahan yang tidak menyerap keringat,

selain itu diduga karena pasien jarang mengganti pakaian sehari-hari.

Terdapat beberapa penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini, dimana

jumlah jenis kelamin perempuan pada pasien dermatofitosis yang diteliti tidak jauh

berbeda dari jenis kelamin laki-laki. Seperti hasil penelitian Ani oktavia (2011) di RSUD

tangerang yaitu jenis kelamin perempuan sebanyak 99 orang dengan presentase 55,6% dan

jumlah jenis kelamin laki-laki sebanyak 79 orang yaitu 44,4%. Adapun hasil penelitian di

Divisi Mikologi URJ Kulit Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2003-2005,

perbandingan angka penderita dermatofitosis pada perempuan lebih besar daripada laki-

laki.30 Penelitian Viter (2015) juga sesuai dengan hasil penelitian ini dengan mengatakan

bahwa distribusi kasus dermatofitosis berdasarkan jenis kelamin didapatkan perempuan

lebih banyak menderita dermatofitosis dibandingkan laki-laki yaitu perempuan sebanyak

67,70% dan laki-laki sebanyak 32,30%. Hal ini diduga disebabkan karena perempuan

lebih memperhatikan faktor penampilan sehingga lebih terdorong untuk datang

memeriksakan diri ke dokter.30

6.3 Lokasi lesi

Presentasi kasus dermatofitosis berdasarkan lokasi lesi tabel 5.3.1 yang

menunjukkan bahwa angka terbesar dari kriteria jenis lokasi lesi pasien dermatofitosis

rawat jalan di RSUD Daya Makassar tahun 2016 adalah tinea kruris yaitu sebanyak 40

47
orang atau sebesar 50% ,tinea pedis diurutan kedua sebanyak 18 orang (22,5%), tinea

korporis diurutan ketiga sebanyak 11 orang (13,75%), selanjutnya tinea kapitis sebanyak

9 orang (11,25%), serta yang terendah adalah tinea manus dan tinea facialis dengan

sebanyak 1 orang (1,25%).

Hasil penelitian ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa tinea

kruris adalah dermatofitosis terbanyak di Indonesia selain tinea korporis karena

timbulnya penyakit ini berperan pada keadaan lembab dan panas yang menyebabkan

perkembangan infeksi jamur, faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini

adalah iklim panas, lembab, kebersihan lingkungan yang buruk, daerah pedesaan yang

padat, pengeluaran keringat yang berlebihan, trauma kulit, dan menggunakan pakaian

yang ketat atau lembab.32

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian viter (2015) di RSUP Prof. Dr. R. D.

Kandou Manado bahwa klasifikasi dermatofitosis dengan jumlah terbanyak yaitu tinea

kruris 36 kasus (55,38%). Tinea kruris merupakan dermatofitosis pada sela paha, genitalia,

daerah pubis, perineum, dan perianal. Tinea kruris merupakan keadaan yang sering terjadi

di seluruh dunia, dan paling sering di daerah tropis. Keadaan lembab dan panas berperan

pada timbulnya penyakit.32 Hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr. M. Djamil

Padang pada tahun 2011 juga sesuai dimana tinea kruris merupakan dermatofitosis

terbanyak (72%).

Hasil peneliatian Divisi Mikologi URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.

Soetomo Surabaya tahun 2011 sampai dengan 2013 tidak relevan dengan hasil penelitian

ini karena pada penelitian tersebut lokasi terbanyak adalah tinea korporis (51%) dan tinea

kruris (41%) berada diurutan kedua. Hal ini dapat disebabkan karena tinea korporis banyak

48
diderita oleh semua umur, terutama lebih sering menyerang orang dewasa terutama pada

orang yang kurang mengerti kebersihan dan banyak bekerja ditempat panas, yang banyak

berkeringat serta kelembaban kulit yang lebih tinggi.

6.4 Terapi pengobatan

Pada kasus dermatofitosis berdasarkan terapi pengobatan tabel 5.4.1 yang

menunjukkan bahwa jenis pengobatan yang paling banyak diberikan ialah terapi kombinsi

(sistemik + topikal) yaitu sebanyak 30 orang atau sebesar 71,4%. Namun pemberian

dengan pengobatan topikal hanya sebanyak 4 orang atau sebesar 9,5%.

Dari penelitian diatas terdapat 4 orang dengan pengobatan yang diberikan hanya

pemberian topikal. salah satu fungsi dari pemberian topikal yaitu memiliki efek

menenangkan dan meringankan gejala lokal karena konsistesi dari kandungan salep atau

lotion yang memungkinkan pemakaian dapat merata dan cepat pada permukaan kulit

sehingga dapat membasmi area yang lebih kecil dari infeksi. Terapi topikal yang sering

digunakan pada penderita dermatofitosis adalah erazol, mikonazol, moisderm, termisil.

Pada pemberian topikal ini sering diberikan pada penderita dengan tinea pedis.

Pemberian terapi sistemik diperlukan untuk wilayah infeksi yang lebih luas terlibat,

pada infeksi kronis atau berulang.35 Pemberian oral atau sistemik yang sering diberikan

kepada pasien dermatofitosis yaitu ketokonazol, cetirizin, griseofulvin, dan itraconazol.

Hasil yang didapatkan dari pengobatan sistemik sering diberikan pada penderita

dermatofitosis dengan tinea kruris.

Pengobatan dermatofitosis menurut kepustakaan, obat yang diberikan untuk spesies

trichophyton,microsporum,epidermophyton semua sama karena dari ketiga jamur

49
dermatofita ini memiliki pathogenesis yang sama yaitu dapat hidup di superficialis kulit

atau di startum korneum dan mencerna keratin sebagai sumber nutrisi sehingga obat yang

diberikan tidak membedakan dari spesies tersebut. Obat yang diberikan termasuk:

Griseofulvin,Ketokonazol,Mikonazol,Itrakonazol, dan Terbinafin. Obat ini menghambat

dari spesies Microsporum, Tricophyton,dan Epidermophyton.37

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian viter(2015) di RSUP Prof. Dr. R. D.

Kandou Manado bahwa presentase terapi tertinggi yaitu dengan terapi kombinasi

sebanyak 83,08%. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Gaditya(2010) di Bali dimana terapi kombinasi merupakan prinsip pengobatan yang

diakui memiliki keunggulan dalam bidang mikologi. Obat yang dipilih biasanya terdiri

dari sistemik dan topikal. Mekanisme kerja obat pada target yang berbeda akan

meningkatkan keberhasilan terapi. Selain itu tujuan pemberian terapi topikal juga untuk

membantu eradikasi dermatofita dari kulit pasien sehingga mengurangi penyebaran ke

bagian tubuh lain atau kepada orang lain dan lingkungan di sekitarnya34.

Pada peneliatian Divisi Mikologi URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.

Soetomo Surabaya tahun 2011 sampai dengan 2013 mengatakan bahwa presentase terapi

tertinggi adalah dengan pemberian griseofulvin (sistemik). Namun pada penelitian ini

tidak dapat mencerminkan penggunaan terapi yang sesungguhnya pada kasus

dermatofitosis di Divisi Mikologi URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin dikarenakan dalam

satu kasus terkadang pasien lebih dari satu terapi baik oral maupun topikal, atau pasien

terdiagnosis lebih dari satu diagnosis pada saat yang bersamaan.

6.5 Lama Pengobatan

50
Pada kasus dermatofitosis berdasarkan lama pengobatan tabel 5.5.1 yang

menunjukkan bahwa presentase lama pengobatan tertingi adalah dalam jangka waktu < 1

bulan dengan jumlah 57 orang (71,25%) dan presentase terendah dalam jangka pengobatan

dermatofitosis adalah > 4 bulan yaitu 4 orang atau sebesar 5%.

Hasil penelitian ini didapatkan jangka waktu dibawah 1 bulan pada pasien

dermatofitosis terbanyak adalah tinea kruris dan diatas 4 bulan pasien dermatofitosis

terbanyak adalah tinea pedis, lamanya pengobatan memiliki banyak faktor yang

mempengaruhi.Pada pasien tinea pedis tersebut diberikan obat cetirizin + mikonazol

(kombinasi). Tinea pedis ini memiliki tendensi yang sering kambuh karena jari-jari kaki

sangat rentan terinfeksi jamur, terutama pada orang yang sering memakai sepatu tertutup

pada kesehariannya.36

Hasil penelitian ini sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa lama

pengobatan penyakit dermatofitosis sangat bervariasi karena hal tersebut berpengaruh

pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan keadaan imunitas penderita. Lama

Pengobatan dermatofitosis berkisar 4-8 minggu hingga bulan karena penyakit tersebut

diketahui sering terjadi resisten. Bahkan setelah pengobatan berhasil, penderita tetap

beresiko terhadap infeksi ulang jika mereka tidak mengikuti pedoman pencegahan.33

Hasil penelitian ini juga seusai dengan penelitian Wulan (2016) di RSUD Ciamis

jawa barat, bahwa Durasi infeksi tersering pada dermatofitosis < 1 bulan. Dan dapat

hingga > 2 tahun karena infeksi tersebut disebabkan pasien pada umumnya cenderung

mencari pengobatan sendiri terlebih dahulu.33

51
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di RSUD Daya Makassar pada bulan

januari – desember 2016, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan kriteria Umur penderita dermatofitosis diperoleh bahwa penderita

dermatofitosis terbanyak pada kelompok usia dewasa (> 18 tahun) yaitu sebanyak

69 orang atau sebesar 86,25% di RSUD Daya Makassar tahun 2016.

2. Berdasarkan kriteria jenis kelamin penderita dermatofitosis diperoleh bahwa

penderita dermatofitosis terbanyak pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak

41 orang atau sebesar 51,25% di RSUD Daya Makassar 2016.

3. Berdasarkan kriteria lokasi lesi penderita dermatofitosis diperoleh bahwa penderita

dermatofitosis terbanyak adalah tinea kruris yang terdapat pada daerah pubis dan

sela paha sebanyak 36 orang atau sebesar 45% di RSUD Daya Makassar tahun

2016.

4. Berdasarkan kriteria terapi pengobatan penderita dermatofitosis diperoleh bahwa

penderita dermatofitosis terbanyak dengan menggunakan terapi

kombinasi(topikal&sistemik) dengan jumlah 30 orang atau sebesar 71,4% di

RSUD Daya Makassar tahun 2016.

52
5. Berdasarkan kriteria lama pengobatan penderita dermatofitosis diperoleh bahwa

penderita dermatofitosis terbanyak dalam jangka waktu < 1 bulan dengan jumlah

57 orang atau sebesar (71,25%) di RSUD Daya Makassar tahun 2016.

7.2 Saran

1.bagi instansi kesehatan

Data rekam medis perlu dilengkapkan sehingga informasi yang diperlukan dapat dibaca

dengan lebih mudah.

2.bagi masyarakat

Untuk lebih meningkatkan pengetahuan tentang dermatofitosis serta disarankan agar

lebih mengoptimalkan personal hygiene masing-masing dan diharapkan agar selalu rajin

berkonsultasi dengan dokter spesialis kulit tentang penggunaan obat yang sesuai dengan

indikasi penyakit dermatofitosis.

3.bagi peneliti selanjutnya

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai penyakit dermatofitosis karena masih

sedikit data mengenai penyakit ini di Indonesia. Perlu dilakukan pendataan yang lebih

lengkap serta dokumentasi yang lebih baik untuk memperoleh data yang lebih lengkap

dan mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik.

53
DAFTAR PUSTAKA

1. Tortora, G. J.,and Derrickson, B.,(2009). Principles of anatomy and physiology. John

Wiley and Sons, Inc. USA.

2. Hidayati, A.N., Suroso, S., Hinda, D., Sandra, E., 2009. Superficial Mycosis in Mycology

Division Out Patient Clinic of Dermatovenereology. Fakultas Kedokteran Universitas

Airlangga. Vol 21: 1

3. Kurniawati RD. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tinea pedis pada

pemulung di TPA Jatibarang Semarang [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2006

4. Soebono, H., 2001. Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta; Balai Penerbit FKUI.

5. Wirya Duarsa. Dkk: Pedoman Diagnosis Dan Terapi Penyakit Kulit Dan Kelamin RSUP

Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana, Denpasar (2000).

6. Wollf, K., dan Johnson, R.A., 2012. Fitzpatrick Color Atlas and Synopsis of Clinical

Dermatology Edisi 6. ISBN: 978-0-07-163342-0

7. Bertus NVP. Profil Dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP

Prof.Dr.R.D.Kandou Manado periode Januari-Desember 2012. Jurnal e-Clinic 2015; 3.

8. Adiguna MS. Epidemiologi Dermato- mikosis di Indonesia. In: Budimulya U,

Kuswadji, Bramono K, Menaldi (2006)

9. Marwali, Harahap, 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrat es. Jakarta.

10. Djuanda, A., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, editor Hamzah Mochtar, Aisah Siti. Ed.5.

Jakarta: FKUI

11. Koksal F, Er E, Samasti M. Causative agents of superficial mycoses in Istanbul, Turkey:

54
retrospective study. Mycopathologia. 2009; 168 (3):117-23

12. Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2012, Cellular and Molecular Immunology,

Seventh Edition, 1-3, 16-19, 67-68, 75-78, 225-226, Elsevier Saunders, Philadelphia

13. Lakshmipathy TD, Kannabiran K. 2013. Review on dermatomycosis: pathogenesis and

treatment. Natural Science.

14. Rippon JW. Medical Mycology The Pathogenic Fungi. 3rd ed. Philadelphia : WB

Saunders Company; 1998.

15. Hay RJ, Ashbee HR, Morre M.Mycology. In: Champion RH,Burton JZ, Burns DA,

Breatnach SDM, editors. Rook/Wilkinson/Ebling Textbook of Dermatology (8 th ed).

Oxford: Blackwell Science, 2008;p 1674-707

16. Ervianti E, Martodiharjo S, Murtiastutik D, editor. Etiologi dan Patogenesis

Dermatomikosis Superfisialis. Simposium Penatalaksanaan Dermatomikosis

Superfisialis Masa Kini; 11 Mei 2002; Surabaya, Indonesia.

17. Budimulya U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah Has, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit

Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. h. 89-105.

18. Siregar R.S. Penyakit Jamur Kulit. Edisi Kedua. Jakarta: EGC; 2004.

19. Verma S, Hefferman MP. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,

Onichomycosis,Tinea Nigra,Piedra. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller

A, Leffell O, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine (7th ed). New York:

McGraw-Hill, 2008; p. 1807– 21.

20. Sylvia A, Lorraine M. Pathophysiology clinical concepts of disease processes, Ed. 4.

Jakarta: EGC, 2000

55
21. Berman, Kevin (2008-10-03). “Tinea corporis – All information”. MultiMedia Medical

Encyclopedia. University of Maryland Medical Center. Retrieved2012-11-20.

22. Tinea corporis, Tinea cruris, and Tinea pedis. Mycoses. Doctor-Fungus. 2007-01-27.

Retrieved 2012-11-20.

23. Bramono K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianty E, editor. Dalam

Dermatomikosis Superfisialis edisi ke 2. Jakarta : BP FKUI, 2013; 24-99

24. Gupta KA, Cooper EA, Ryder JE, Nicol KA, Chow M, Chaudhry MM. Optimal

Management of Fungal Infections of the Skin, Hair, and Nails. Am J Clin Dermatol

2004; 5 (4): 225-237 


25. Maibach HI & Grouhi F. Evidence Based Dermatology 2nd ed. People’s Meical

Publishing House. USA. 2011;353-363 


26. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,

editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York :

Mc Graw-Hill, 2012;2277 


27. Gupta KA, Cooper EA, Ryder JE, Nicol KA, Chow M, Chaudhry MM. Optimal

Management of Fungal Infections of the Skin, Hair, and Nails. Am J Clin Dermatol

2004; 5 (4): 225-237 


28. Fauzi N, Suyoso S. Penelitian Retrospektif Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi URJ

Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 2006-2007. Surabaya;

2008.

29. Richardson MD, Warnock DW. Fungal Infection Diagnosis and Management. 3rd ed.

Massachusset: Blackwell Publishing; 2003.

56
30. Hidayati, Afif Nurul., Suyoso, Sunarso., P,desy Hinda., Sandra,Emilian.Mikosis

Superfisialis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr.

Soetomo Surabaya Tahun 2003-2005

31. Knor T. Dermatophytoses and their incidence at the outpatient departement of

dermatovenereologic clinic, clinical center University of Sarajevo in year 2010.

Medicinski J. 2011;17(3):222-6.

32. Agustine R. Perbandingan Sensitivitas dan Spesifitas Pemeriksaan Sediaan Langsung

KOH 20% Dengan Sentrifugasi Pada Tinea Kruris. 2012

33. Mulyono, 2001, Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit Dan Kelamin, 1st ed, Meidian

Mulya Jaya, Jakarta : 5 – 21.

34. Gadithya IDG, Darmada IG, Mas ML. Laporan kasus tinea korporis et kruris. Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana Denpasar-Bali Tahun 2010.

35. Nadalo D, Montoya C. What is the best way to treat tinea kruris?.The journal of Family

Practice. 2006; 55(3): 256-7

36. Soekandar TM. Angka kejadian dan pola jamur penyebab Tinea pedis di asrama Brimob

Semarang, Ilmu kesehatan kulit dan kelamin FK Undip, 2004: 1-6

37. Evelyn R, Hayes. 200. Alih Bahasa: Farmakologi Pendekatan Proses

Perawatan,Jakarta: EGC

38. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s textbook of dermatology. 8th

ed. San Francisco: Wiley-Blackwell; 2010

39. Baran W, Szepietowski JC, Schwartz RA. Tinea barbae. Acta Dermatovenerol Alp

Panonica Adriat. 2004;13:91–4

57
40. Amiruddin, M.D,dkk.2013.Penyakit Kulit di Daerah Tropis Penyakit Kusta dalam

Bidang Kedokteran. LKPP Universitas Hasanuddin.

58
LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabel Data Penelitian

Jenis
No. kelamin Umur Lama pengobatan Lokasi lesi
1 L 69 31/3/2016 T.Korporis
2 p 26 3/8/2016 T.Korporis
3 p 40 26/7 - 28/9 t.kruris
4 p 55 1/3/2016 t.kruris
5 p 26 18/1 22/2-5/7 t.kruris
6 l 45 18/4-28/4-28/7 T.Korporis
7 l 37 3/8/2016 t.kruris
8 l 65 22/5-25/8 t.kruris
9 p 53 3/4-1/5, t.kruris
10 p 54 26/5/2016 t.kruris
11 p 39 29/5-2/8 t.kapitis
12 p 20 26/4/2016 t.kruris
13 p 75 1/2/2016 t.pedis
14 l 13 7/2/2016 t.kruris
15 l 24 7/2-13/2 t.kruris
16 p 38 14/2/2016 t.kruris
17 l 41 20/2/2016 t.kruris
18 l 1 28/2/2016 t.kruris
19 l 13 1/3/2016 t.kruris
20 l 20 12/5-18/8 t.kruris
21 l 55 26/8/2016 t.pedis
22 l 30 1/9,6/11 t.kruris
23 p 60 8/8-14/10 t.pedis
24 l 8 29/8-5/10 t.kapitis
25 l 13 15/8-29/8-21/10 t.kapitis
26 p 38 14/2/2016 t.kruris
27 l 21 7/8/2016 t.pedis
28 l 37 15/9/2016 t.kruris
29 p 65 14/9/2016 t.pedis
30 p 26 16/9-26/11 t.pedis
31 p 37 19/9/2016 t.manus

59
32 p 47 14/10/2016 t.kruris
33 p 24 17/10/2016 t.pedis
34 p 42 2/11/2016 t.pedis
35 p 59 6/11,11/12 t.kruris
36 l 27 6/11/2017 t.pedis
37 p 14 17/4/2016 t.capitis
38 l 34 15/9/2016 t.kruris
39 l 65 5/6/2016 t.kruris
40 l 54 13/6-19/6-17/8 t.kruris
41 l 71 24/4-3/5-20/6-15/12 t.pedis
42 l 60 3/7,21/8 t.kruris
43 p 44 6/12/2016 T.Korporis
44 p 48 24/11/2016 t.kruris
45 l 46 5/7/2016 t.kruris
46 p 70 17/11-3/10-9/12-22/12 t.kruris
47 l 21 21/12/2016 t.facialis
48 l 34 22/12/2016 T.Korporis
49 l 50 27/12-3/1 t.kapitis
50 p 57 3/1-5/10 t.pedis
51 l 21 18/6/2016 T.Korporis
52 p 49 25/1/2016 t.kapitis
53 l 53 30/5/2016 t.kruris
54 l 69 26/7-1/8-28/8, t.kruris
55 l 38 9/8/2016 t.kruris
56 p 23 9/8/2016 t.kruris
57 p 3 18/3/2016 t.korporis
58 l 50 18/3/2016 T.Korporis
59 l 20 8/3/2016 t.kruris
60 p 43 26/6/2016 t.kruris
61 p 35 18/2/2016 t.korporis
62 p 25 15/2/2016 t.kruris
63 l 72 12/4/2016 t.kruris
64 l 23 13/5/2016 t.kapitis
65 p 54 25/5/2016 t.kapitis
66 p 19 13/5/2016 t.kruris
67 p 38 5/11,29/12 t.pedis
68 p 70 26/1/2016 T.Korporis
69 p 62 21/7/2016 t.pedis
70 p 15 2/5/2016 t.kruris
71 p 60 6/4-15/6 t.kruris

60
72 l 18 3/9/2016 t.capitis
73 l 29 11/4/2016 t.pedis
74 p 15 31/7/2016 t.pedis
75 p 58 14/8/2016 T.Korporis
76 l 18 27/3/2016 t.pedis
77 l 21 7/9/2016 t.pedis
78 p 48 3/1-11/1-7/12-14/12 t.pedis
79 l 68 28/4,3/7 t.kruris
80 p 32 7/6/2016 t.kruris

No Lokasi lesi Terapi Kategori obat


1 t.pedis Risen,moisderm, termisil S+T
2 t.kapitis gresiofulvin, mikonazol T+S
3 t.kruris cetirizin,itraconazol S
4 t.kruris cetirizin,ketokonazol S
5 t.kapitis mikonazol T
6 t.pedis ketokonazol,metilprednisolon S
7 t.pedis cetirizin,mikonazol,betametason,moisderm S+T
8 t.pedis cetirizin,mikonazol,moisderm S+T
9 t.kruris ketokonzol,griseofulvin,mikonazol S+T
10 t.pedis cetirizin,mikonazol S+T
11 t.pedis moisderm,mikonazol T
12 t.unguinum ketokonazol,erazol cr S+T
13 t.manus cetirizin,ketokonazol,mikonazol S+T
14 t.korporis mikonazol,cetirizin T+S
15 t.kruris cetirizin,mikonazol,ketokonazol S+T
16 t.kruris cetirizin S
17 t.pedis cetirizin,terbesil S
18 t.kruris mikonazol,cetirizin,hidrokortizon T+S
19 t.kruris cetirizin,mikonazol,betametason S+T
20 t.kruris ketokonazol,cetirizin S
21 t.pedis cetirizin,griseofulvin,mikonazol S+T
22 t.manus mikonazol,cetirizin T+S
23 t.kruris cetirizin,mikonazol S+T
24 t.korporis ketokonazol,cetirizin,mikonazol S+T
25 t.pedis mikonazol,cetirizin T+S
26 t.kruris cetirizin,mikonazol,griseofulvin S+T
27 t.unguinum cetirizin,mikonazol S+T
28 t.kruris cetirizin,mikonazol,betametazon S+T
29 t.manus cetirizin,mikonazol,ketokonazol S+T

61
30 t.kapitis mikonazol,ketokonazol,cetirizin T+S
31 t.kruris cetirizin,mikonazol S+T
32 t.kruris mikonazol,cetirizin T+S
33 t.korporis mikonazol,cetirizin,ketokonazol T+S
34 t.pedis gentamisin,mikonazol,kompres nacl T
35 t.pedis cefadroxil,asam mefenamat,nacl S+T
36 t.kruris mikonazol,itrakonazol T+S
37 t.manus mikonazol T
38 t.pedis mikonazol,cetirizin T+S
39 t.kruris cetirizin,betametason S+T
40 t.korporis cetirizin,mikonazol S+T
41 t.kruris cetirizin, griseofulvin S
42 t.kruris cetirizin,ketokonazol S

62
Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Rekomendasi Etik

63
Lampiran 3. Surat Rekomendasi Persetujuan Etik

64
Lampiran 4. Lembar Persetujuan Judul

65
Lampiran 5. Lembar persetujuan Proposal

66
Lampiran 6. Lembar Persetujuan Hasil

67
Lampiran 7. Data Diri Penulis

DATA DIRI PENULIS

Nama Lengkap :Asvika Anis Anwar


Nama Panggilan :Vika
NIM :C111 14 355
Tempat, Tanggal Lahir :Ujung Pandang, 8 September 1996
Agama :Islam
Jenis Kelamin :Perempuan
Jurusan/Fakultas :Pendidikan Dokter/Kedokteran
Nama Orang Tua :Ayah =Prof.Dr.dr.H.Anis Irawan Anwar, Sp.KK (K)
Ibu =Hj. Selviani Anis
Anak ke :4
Alamat :Jl. Sungai saddang baru A11/7A
Telepon :081245457557
Email :asvika.anis@yahoo.com
Riwayat Pendidikan : TK Amaliah (2001-2002)
SD Negeri Mangkura I (2002-2009)
SMP Islam Athirah (2009-2011)
SMA Negeri 1 Makassar (2011-2014)
Fakultas Kedokteran UNHAS (2014-sekarang)
Pengalaman Organisasi:
Bendahara Umum HMI Fakultas Kedokteran Unhas 2015-2016
Anggota KEMA FK Universitas Hasanuddin 2014 – sekarang
Anggota Divisi Internal Asian Medical Students Association (AMSA) UNHAS tahun
2015-2016

68

Anda mungkin juga menyukai