Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

FILSAFAT TIMUR

OLEH :
Augie Kiryoma
18061022

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SARIPUTRA INDONESIA TOMOHON
2019
Kata pengantar

Puji syukur senantiasa kami panjatjan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
semuaLimpahan rahmat-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul filsafat timur ini meskipun dengan sangat sederhana.

Harapan kami semoga tugas yang telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah satu
rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,menambah wawasan serta pengalaman,sehingga
nantinya kami dapat memperbaiki bentuk atau[un isi makalah lebih baik lagi

Sebagai penulis kami mengakui bawasanya ,asih banyak kekurangan yang terkandung di
dalamnya. Oleh sebab itu,dengan penuh kerendahan hati saya berharap kepada para pembaca
untuk memberikan kritik dan saran demi lebih memperbaiki makalah ini . Terima Kasih

Tomohon, oktober 2019


BAB I
PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN FILSAFAT

Secara etimologis, kata filsafat memiliki arti yang sepadan dengan kata falsafah
dalam bahasa Arab atau kata philosphy dalam bahasa Inggris, atau kata philoshopie
dalam bahasa Prancis dan Belanda, atau philoshophier dalam bahasa Jerman. Semua
kata tersbut berasal dari kata Latin philosophia sebuah kata benda yang merupakan
hasil dari kegiatan philoshopien sebagai kata kerjanya.

Kata philosphia sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni philein (mencintai)
atau philia (persahabatan, atau tertarik kepada dan sophos (kebijaksanaan,
ketrampilan, pengalaman praktis, dan intelgensi). Kata yang hampir sama dengan
philien atau philia dan sophos tersebut juga dijumpai dalam bahasa Latin, yaitu : philos
(teman atau sahabat) dan sophia (kebijaksanaan).

Dengan demikian, secara etimologis kata filsafat dapat diartikan sebagai cinta
atau kecenderungan akan kebijaksanaan, atau cinta pada pengetahuan yang
bijaksana, atau dapat diartikan pula sebagai cinta secara mendalam akan
kebijaksanaan atau cinta sedalam-dalamnya akan kearifan atau cinta secara sungguh-
sungguh terhadap pandangan, kebenaran (love of wisdom or love of the vision of
truth).

Jadi secara etimologis, kata filsafat dapat diartikan sebagai cinta atau
kecenderungan akan kebijaksanaan.
B. Filsuf-Filsuf Yang Terkenal
1. Aristoteles
2. Plato
3. Thales
4. Siddharta Gautama
5. Konfusius
6. Immanuel Kant
7. Socrates
8. Karl Marx
9. Edmund Husserl
10. Galileo Galilei

C. Yang Diraih Dari Mempelajari Filsafat

Filsafat mengajar kamu untuk melihat suatu masalah dari semua sisi.
Kemampuan kamu untuk berpikir secara abstrak, konkret. kritis, kreatif, mandiri, dan
mendalam akan sangat diperlukan ketika kamu belajar filsafat. Kamu harus mampu
untuk membentuk argumen-argumen yang rasional dan menyampaikannya dengan
efektif maupun itu secara lisan atau tertulis.

Filsafat bersifat terbuka: tidak memberikan jawaban absolut untuk segala hal,
tapi menawarkan alternatif metode berpikir untuk memecahkan masalah-masalah atau
memperbaiki gejala-gejala yang selalu muncul di alam semesta.

D. Filsafat Barat Dan Filsafat Timur

Pada umumnya filsafat terbagi menjadi 2 garis besar yaitu filsafat


Barat (occidental) dan Timur (oriental). Filsafat barat dan filsafat Timur tentu sangat
berbeda karakteristinya karena berkembang di daerah yang berbeda dengan
kebudayaan serta peradaban yang berbeda pula. Banyaknya ilmuwan dari Barat yang
selalu menciptakan inovasi baru untuk kemajuan dunia membuat filsafat Timur kurang
mendapat perhatian. Filsafat Timur memang terkenal dengan sifatnya yang religius,
mistis-magis sehingga kurang bis diterima secara rasional. Filsafat Timur berkembang
di daerah China, India, Jepang yang banyak memunculkan pemikiran-pemikiran dan
digunakan pedoman oleh masyarakat bagian timur. Di wilayah Timur juga terkenal
sebagai wilayah yang mempunyai peradaban besar didunia dan sumber agama serta
pandangan tentang manusia dan dunia. Banyak orang yang mencari ketenangan di
daerah Timur karena dianggap memiliki suatu keadaan yang mendamaikan dan
mententramkan jiwa. Cara pandang filsafat Timur lebih pada realita yang terjadi di
sekitarnya, lebih memikirkan tentang dunia dan sesamanya.

Secara geografis wilayah Barat dan Timur memiliki banyak perbedaan, hal ini
juga tetntu mempengaruhi cara berfikir mereka. Perbedaan paham antara Barat dan
Timur yaitu jika di dunia belahan Timur mempunyai banyak negara dan banyak
penduduk dengan jumlah yang besar serta angka kelahiran yang sangat tinggi. Mereka
juga masih tergolong sebagai golongan menengah kebawah, sedangkan di dunia
bagian barat sudah mengembangkan kemajuan teknologi sejak lama. Manusia di
bagian barat juga tergolong aktif sedangkan di Timur tergolong pasif. Hal ini sesuai
dengan keyakinan dan ajaran pokok mereka seperti Konfusianisme, Taoisme,
Budhisme, dan lain-lain (Kebung, 2011: 8).

Didunia belahan Timur mereka lebih menekankan pada intuisi dan juga pada
batiniah, spiritual, dan mistis. Berdasarkan hal inilah maka orang Timur mempercayai
bahwa dengan memiliki jiwa yang baik maka mereka akan mencapai kebijaksanaan
dan kebaikan hidup. Jika di bagian barat mereka lebih condong pada keadaan
masyarakat sekitar serta pada ilmu pengetahuan. Didunia barat yang mereka lihat
adalah objek dan kerja lapangan jadi manusia harus menguasai alam untuk
kepentingannya. Jika didaerah timur manusia merupakan bagian dari alam.orang Barat
berpedoman “to do is more important than to be” (berbuat lebih penting daripada
sekedar ada), jika orang timur lebih kepada “to be is more important than to
do” (kehadiran lebih penting daripada seseorang perbuat), jadi orang timur kurang
suka denganpertentangan dan konflik (Kebung, 2011: 8).

Cara berfikir orang timur lebih pada cara mereka melihat dunianya, bagaimana
mereka melihat diri sendiri dan sesama, dan bagaimana mereka menggantungkan diri
pada Sang Pencipta. Persprektif filsafat orang timur lebih pada human dan religius.
Paham tentang religius dan kosmis mereka melekat dan menguasai tata kehidupan
orang timur. Pendekatan mereka lebih pada emosional-spiritual daripada rasional-
teoritis. Jadi paham-paham falsafah yang berkembang seperti Hinduisme, Budhisme,
Konfusius dll. Dari perbedaan paham antara timur dan barat sudah berbeda jadi dapat
disimpulkan bahwa cara pandang dan berfalsafah antara orang barat dan timur ada
perbedaan, meskipun ada perbedaan tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi
kesamaan tergantung dari sudut mana mereka melihatnya (Kebung, 2011: 11).

Pandangan filosofis orang timur dengan melihat berbagai macam sosiokultur


dan keadaan masyarakat yang dianut oleh manusia di daerah bagian Timur jadi
bagaimana cara mereka berfikir, menilai dunia dan hidup mereka jadi pandangan
orang Timur dalam melihat kosmologi. Orang Timur memandang kosmos sebagai
sesuatu yang tercipta dari Tuhan dan diberikan kepada manusia. Pandangan falsafah
orang Timur kosmos adalah dunia dengan sesuatu yang tercipta dan diberi dari sang
kuasa. Kosmos selalu dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat ilahi, kosmos bersifat
suci dan kudus sehingga di anggap sebagai wujud yang menguasai manusia dan
manusia harus memberi hormat dan sembah (Kebung, 2011: 14).

Tuntutan dasar dari kosmis ini bersifat religius dan harus di buktikan dengan
moral-etis jadi bagaimana manusia bersikap baik terhadap dirinya sendiri, orang lain
dan dunia. Hal ini diperlihatkan dengan cara bagaimana mencintai sesama dan
mencintai alam. Mereka juga percaya bahwa roh-roh yang diyakini itu memiliki tempat
yang aman dan tentram dan tidak boleh diganggu (Kebung, 2011: 15). Filsafat Timur
masih dianggap belum memenuhi kriteria disebut sebagai filsafat karena masih berbau
mistis dan religius.

Jika filsafat barat memang lebih menekankan pada rasional, misalnya pada
zaman Yunani Kuno, filusuf yang terkenal Plato, Aristoteles, Socrates dalam
pemikirannya masih spekulatif tetapi pada dasarnya mereka berspekulasi dengan
keadaan yang dilihat tanpa mencampurkan unsur religiusnya secara mendalam.
Filsafat barat lebih menekankan pada pola pikir yang rasional dan manusia sebagai
pusatnya. Memang ada gagasan di filsafat barat mengenai religius yaitu pada abad
pertengahan dimana pemikiran St. Agustinus mencampurkan dengan religius dengan
berpedoman pada Alkitab karena pada saat itu agama Kristen merupakan agama yang
mutlak untuk dianut sehingga pemikiran-pemikiran pada abad pertengahan
disesuaikan dengan doktrin gereja.

Arah gerak filsafat Barat muncul karena pemikiran rasional dari para filusuf.
Misalnya Karl Marx yang mempunyai pemikiran tentang historis matrealisme. Karl Marx
berfikiran secara rasional karena saat itu kapitalisme sedang genjar dan juga kaum
borjuis telah menindas kaum buruh sehingga kaum buruh harus sengsara dibawah
majikannya. Marx menginginkan masyarakat tanpa kelas sehingga dia ingin
memperjuangkan hak kelas dalam masyarakat. Karl Marx akhirnya mengeluarkan teori
konflik yang tujuannya ingin masyarakat menjadi sama rata dan sama rasa.

Arah gerak filsafat Timur lebih kepada intuisi, intelegensi dan akal budi. Tujuan
dari Filsafat Timur lebih mengedepankan ilmu pengetahuan yang didasari moralitas
tujuannya agar manusia menjadi bijaksana dalam menjalani hidup. Misalnya filsafat
Konfusius yang lebih mengedepankan moral dan kebajikan. Konfusius melihat bahwa
rakyat Tiongkok yang sedang mengalami krisis dalam bermoral. Akhirnya Konfusius
memutuskan untuk mengamalkan dan mengajarkan nilai-nilai moral serta kebajikan
yang diajarkan pada murid-muridnya.

Dalam filsafat barat yang dijadikan subjek adalah manusia dan alam dijadikan
objek, jadi mereka memanfaatkan alam untuk kepentingan mereka sedangkan di
filsafat timur alam dan manusia lebih menyatu. Mereka menganggap bahwa alam
merupakan bagian dari manusia yang harus dipelihara. Pandangan Filsafat
Barat terhadap cita-cita hidup diisi dengan bekerja dan bersikap aktif sebagai kebaikan
tertinggi. Dengan sifat yang rasional filsafat barat lebih memandang dengan bekerja
keras maka segala kebutuhan akan terpenuhi. Sedangkan pandangan filsafat Timur
mengenai cita-cita hidup yaitu lebih kepada harmonisan, ketenangan.Mereka
berprinsip bahwa kehidupan dijalankan dengan sederhana dan menyesuaikan dengan
alam.

E. Apakah filsafat bertentangan dengan agama

Perbedaan agama dan filsafat diterangkan oleh filosuf Ibnu Sina. Ia


berpandangan bahwa, walaupun agama dan filsafat mempunyai definisi yang sama
terhadap term kebaikan dan kebenaran, akan tetapi perhatian masing-masing terhadap
dua term tersebut berbeda. “Dari ajaran-ajaran Tuhan (agama) disadur prinsip-prinsip
praktikal kebijaksanaan serta batasan-batasannya secara sempurna. Adapun terhadap
teoritis kebijaksanaan, agama hanya berperan ‘mengingatkan’ dan memberikan ruang
luas kepada rasio untuk mencapainya untuk digunakan sebagai hujjah bertindak”. (
Ibnu Sina, Risalah At-Tabiiyat) Apa yang mampu disimpulkan adalah bahwa perhatian
agama terhadap sisi praktikal kebijaksanaan(hikmah) lebih besar dibanding sisi teori.
Namun kita juga mengetahui sebagian aliran filsafat ada yang serupa dalam hal ini,
sehingga perbedaan ini tidak cukup untuk menjadi pengklasifikasian antara esensi
ajakan agama dengan ajaran-ajaran filsafat, secara menyeluruh(muthrodah).
Sementara, ilmuwan-ilmuwan barat berpandangan perbedaan antara agama dan
filsafat adalah sebagai berikut:

Filsafat dianut manusia kelas elit, yaitu orang-orang yang mempunyai akal atau
kemampuan berpikir cemerlang. Sementara agama dianut oleh kelas
rendah(grassroot), masyarakat kebanyakan. Mereka mengatakan bahwa tidak heran
jika pertumbuhan agama, kehidupan pembawa agama dan kondisi-kondisi ketika buku-
buku agama dituliskan, tidak terlepas dari catatan-catatan suram. Filsafat tidak
mengalami ini, malah kebalikannya.

Agama diwarisi oleh manusia dari pendahulunya, sementara filsafat diperoleh


dari kegiatan berpikir dan perenungan, yang terkadang bertentangan dengan
keyakinan yang diwariskan.

Falsafah selalu berevolusi, sementara agama cenderung kepada stagnan, tidak


berkembang. Hal ini wajar karena penganut agama tidak akan mau mengubah
keyakinannya setiap hari atau “mempertanyakan” ulang imannya, lebih-lebih penganut
agama yang mempunyai kitab suci yang diyakini sebagai wahyu Tuhan.

Agama tidak terlepas dari manifestasi sosial, berupa perayaan-perayaan,


sebagai tanda keterikatan penganutnya. Ide-ide agama juga butuh kepada bentuk
ritual tertentu, atau lambang-lambang tertentu, sebagai jalan bagi penganut
untuk merenew “perjanjian” keberagamaannya, yang selalu berpotensi untuk “terlupa”
karena kesibukan kehidupan duniawi. Sementera, filsafat tidak berhajat kepada ritual
atau perayaan seperti ini. Karena akidah filsafat selalu hadir dalam diri seorang filosuf
di hampir semua waktu dalam hidupnya. Filsafat juga tidak butuh kepada simbol
tertentu, karena akal tidak mewajibkan itu, dan kalau ternyata ditemui ada, maka itu
adalah sebuah penyimpangan dalam berfikir filsafat.

Agama hidup dan berkembang dengan naungan kekuatan atau kekuasaan,


seperti negara/kerajaan. Filsafat hidup dalam alam bebas(tidak terikat).

Kesimpulan seperti ini didapat karena perbandingan antara agama dan filsafat tidak
menyentuh seluruh fase-fase yang dilaluinya. Mereka, hanya membandingkan
perjalanan agama dan filsafat dalam skala Eropa saja. Sehingga, wajar kalau agama
terkesan mempunyai catatan suram, dan sebaliknya filsafat sebagai sebuah terobosan
baru yang membawa pencerahan. Kesimpulan lainnya bahwa agama adalah agama
adalah tercipta oleh kesepakatan sebuah kelompok masyarakat(kecil atau besar)
terbantahkan jika kita melihat kepada sejarah agama-agama di awal kemunculannya.
Kita mendapati agama-agama dibawa dan dikembangkan(sehingga diikuti banyak
orang) oleh tokoh-tokohnya dan seringkali dinisbahkan kepada mereka; Musa, Budha,
Isa, Mani, Muhammad, Martin luther, dll. Bahkan agama-agama pagan, tidak terlepas
dari seorang tokoh yang memperkenalkanya, baru kemudian mendapat banyak
penganut. Ketidaktauan penganut sebuah agama akan pembawa agama tidak bisa jadi
bukti bahwa agama ciptaan atau hasil kesepakatan masyarakat, tanpa ada seorangn
penggagasnya. Ketidak jelasan riwayat hidup pembawa agama, kesulitan untuk
menentukan tahun kemunculan dan keterputusan atau kerancuan dalam kitab-kitab
suci agama, bukanlah suatu kaidah umum yang berlaku pada setiap agama. Sejarah
Islam dengan perjalanan emasnya, serta catatan-catatan tentang nabi pembawa dan
kitab sucinya, yang membuat kita merasakan seolah Islam adalah sebuah yang agama
baru terlahir kemarin, adalah fakta yang menyangkal hal ini. Jika agama dinyatakan
sering mengalami masa-masa stagnan, bahkan bertahun-tahun atau abad-abad,
sampai muncul para pembaharu yang berusaha untuk menghidupkannya , maka ini
juga berlaku dalam filsafat dan cabang-cabang ilmu lain. Bahkan dalam ilmu
matematika dan biologi(nature). Dalam disiplin ilmu-ilmu ini, perubahan, pembaharuan
atau penemuan-penemuan baru tidak ubahnya seperti dalam agama; mendapat
penentangan keras dan dianggap sebagai ide gila. Bahwa agama hidup dalam
manifestasi sosial berupa ritual atau perayaan, juga tidak berlaku dalam semua
agama. Ada agama-agama yang bersifat keindividuan, yang hanya berupa intuisting
atau keyakinan dalam diri. Mereka lebih fokus kepada membersihkan hati dan tidak
tertarik dengan gaya-gaya agama yang bersifat ritual. Bahkan, kita bisa mengatakan
bahwa agama-agama besar yang dianut jutaan orang, seperti Budha, tidak selalu
terikat atau mementingkan perayaan. Budha lebih menekankan perenungan,
menyendiri dan hidup sederhana. Sebaliknya, kita dapati sebagian filosuf, seperti
August Comte, menyiapkan dengan secara lengkap moto-moto dan ritual untuk aliran
filsafat yang dibawanya. Tersisa dua pandangan lagi; pertama, filsafat hidup dalam
ruang yang bebas, kedua, agama tidak bisa hidup kalau tidak didukung kekuasaan.
Pandangan ini dari bebarapa sisi benar, tapi tidak mutlak. Jika dikatakan bahwa
keberadaan agama selalu bergantung kepada kekuasaan, maka tidaklah benar.
Karena, kita mengetahui banyak agama yang muncul dan berkembang dalam suasana
penuh kebersahajaan dan toleransai, jauh dari kekuasaan. Budha sebagai contoh
paling nyata. Bahkan Kristen dan Islam diawal kemunculanya, paling tidak, menjunjung
tinggi kemerdekaan keyakinan dan tidak pernah memaksakan agamanya. Dan pada
saat yang sama, kita mengetahui filsafat pernah beberapa masa naik ke kursi
kekuasaan, lalu kekuasaan itu menjadi alat mereka untuk membrangus musuh
pemikirannya. Jika yang dimaksudkan bahwa agama bersandar kepada
kekuasaan adabi dalam masyarakat, dalam artian bahwa suatu kelompok manusia
mengikut kepada seorang tokoh, sehingga walaupun mereka berbeda-beda tetapi
disatukan oleh sebuah pemikiran, maka ini benar, untuk batasan tertentu, yaitu agama
dalam kelompok masyarakat primitif; kelompok masyarakat yang sangat terbatas
interaksinya dengan luar. Adapun jika yang dimaksudkan bahwa agama berkuasa atas
individu penganutnya, maka inilah karakteristik yang dimiliki setiap agama. Ide agama,
dengan berbagai manisfestasi dan tingkatannya, menetapkan bahwa apa yang
dinyatakan agama kesemuanya bersandarkan kepada kekuatan absulot yang harus
diterima dan ditaati dan tidak terbuka lagi ruang untuk dibahas apalagi untuk
diragukan. Filsafat tidak berhak untuk mempermasalahkan ini. Melihat kepada
karakterstik pemikiran agama seperti ini menyampaikan kita kepada muara tentang
perbedaan antara kekuatan dalam jiwa yang berfungsi untuk (sekedar) mengetahui
dan kekuatan jiwa sebagai sebuah iman. Seseorang boleh saja mengetahui arti lapar
dan haus tanpa harus merasakannya, memahami makna cinta dan kerinduan padahal
ia tidak pernah mengalaminya, mengerti tentang keindahan syair, keutamaan akal,
politik, atau itu semua tanpa ada loyalitas kepadanya. Iman adalah tentang cita rasa,
intuisting, yang membawa sebuah pemikiran yang muncul dari rasio kepada jiwa. Iman
ini menjadi imun bagi jiwa dan menjadi pembentuk jiwa itu sendiri. Maka, tema tentang
iman adalah hakikat terbesar dari existensi. Iman kemudian melahirkan loyalitas. Dari
sini jelaslah perbedaan antara agama dan filsafat. Tujuan filsafat adalah memikirkan,
mengetahui. Tujuan agama adalah iman. Filsafat lebih kepada teori, bahkan dalam
tema-tema yang praktikal. Sementara agama mengharuskan juga praktik. Paling jauh,
filsafat ingin mengenalkan kita arti kebenaran dan kebaikan, dan di mana ia berada.
Filsafat kemudian tidak mempertanyakan bagaimana sikap kita terhadap kebenaran
atau kebaikan yang telah diketahui tadi. Sementara agama menunjukkan nilai-nilai,
dan mengharuskan penganutnya untuk mengimani, mencintai dan mengamalkan nilai-
nilai tersebut. Agama sebagai pembawa nilai mempunyai karakteristik bahwa ia
menghendaki penuntutnya untuk menyebarkan nilai-nilai tersebut kepada orang lain,
sehingga agama memiliki banyak pengikut. Lain halnya dengan filsafat, ia bersifat
eksklusif. Jika seorang filosuf mengajak orang lain untuk mengikuti pemikirannya maka
pemikirannya tidak lagi sebagai filsafat, tetapi menjadi sebuah iman, dan ia secara
serta merta telah menukar jubah filosufnya dengan jubah Nabi.

Anda mungkin juga menyukai