Anda di halaman 1dari 47

PROPOSAL PENELITIAN

TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG


PENGGUNAAN ANTIBIOTIK YANG DIPEROLEH SECARA
BEBAS

Oleh

AHMAD FAUZA HARUN

18 031 014 100

1C

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

` UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR

2019

i
ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirrabbil’alamin puji dan syukur penulis panjatkan

kehadirat Allah Shubhanahu wata’ala, yang senantiasa melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal

yang berjudul ” TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK YANG DIPEROLEH SECARA BEBAS”.

Tak lupa shalawat dan salam penulis haturkan kepada Rasulullah

Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena atas perjuangan dan

kepemimpinan beliau-lah kita berada dalam suasana harmonis.

Penulis menghaturkan terima kasih tak terhingga kepada

pembimbing pertama dan pembimbing kedua yang penuh ketulusan

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan dan

membimbing penulis sejak penelurusan pustaka sampai selesainya

proposal ini.

Ucapan terima kasih yang penuh cinta yang tak terhingga kepada

kedua orang tua tercinta

Penulis sangat berharap persembahan penyelesaian tugas akhir

yang tidak sebanding dengan pengorbanan mereka ini dapat menjadi

kebanggaan dan kebahagiaan untuk mereka semua, Aamiin


iii

Penyelesaian proposal ini juga tak lepas dari bantuan dan kerjasama

dari berbagai pihak, untuk itu izinkan saya mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Rektor dan para Wakil Rektor Universitas Islam Makassar beserta

seluruh staf dan karyawan.

2. Dekan dan para Wakil Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Islam Makassar beserta seluruh staf

dan karyawan.

3. Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Islam Makassar.

4. Ibu Dr. Tahirah Hasan, M.Si. Sebagai penasihat akademik yang telah

memberikan pengarahan dan petunjuk selama penulis mengikuti

pendidikan di Universitas Islam Makassar.

5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas MIPA Universitas Islam Makassar dan

seluruh staf dan karyawan tata usaha.


6. Kepala Laboratorium Biofarmasi dan Fitokimia program studi farmasi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam

Makassar.

7. Sahabat-sahabatwati angkatan 2018 yang selalu memberikan doa dan

dukungannya, semoga persaudaraan dan persahabatan yang

terjalin selama ini tetap terjaga.

Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak

untuk kesempurnaan penulisan proposal ini, dan penulis berharap semoga

proposal ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamin.

Makassar, Januari 2019

Penulis

AHMAD FAUZAN HARUN


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

B. Identifikasi masalah

C. Rumusan

D. Tujuan dan manfaat tulisan

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan teori

B. Kerangka berpiki

C. Hipotesis

BAB III METODEOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan penelitian

B. Variabel dan difinisi

C. Populasi sampel dan teknik

D. Teknik pengumpulan data

1
E. Instrumen penelitian

F. Teknik analisis data

VI . SKEDULE PELAKSANAAN PENELITIAN

V. ANGGARAN DAN PEMBAYARAN

DAFTAR PUSTAKA

1
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Antibiotik merupakan obat yang sering diresepkan dokter untuk

mengobati penyakit infeksi. Namun, penggunaan antibiotik yang tidak tepat

indikasi, tidak tepat dosis dan tidak tepat cara pemberiannya akan

meningkatkan kejadian resistensi kuman terhadap antibiotik, sehingga

menyebabkan kegagalan pengobatan.

Antibiotik tidak mengurangi dampak negatif dari berbagai penyakit

infeksi yang sebelumnya tidak dapat diobati. Namun, pada awal abad ke-21

banyak antibiotik yang keefektifannya mulai menurun, karena banyak

mikroorganisme sudah resisten terhadap antibiotik.(1)

Dari sebuah penelitian resistensi bakteri Streptococcus pneumoniae

yang berasal dari 11 negara di Asia terhadap beberapa jenis antibiotik,

Vietnam menempati persentase tertinggi untuk resistensi terhadap

penicillin dan erythromycin, sedangkan tingkat tertinggi dari resistensi

terhadap ciprofloxacin diduduki oleh Hong Kong.(2)

Penggunaan antibiotik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti

pengetahuan dokter dan pasien tentang antibiotik, status ekonomi,

masyarakat dan kondisi karakteristik pelayanan sistem kesehatan, regulasi

lingkungan di suatu negara. Antibiotik yang digunakan secara bebas tanpa


resep dokter, sering menyebabkan kesalahan dalam penggunaannya,

antara lain sering tidak teratur makan obat dan tidak menyelesaikan

pengobatan, karena sudah merasa sembuh atau tidak mampu membiayai

pengobatan sampai selesai. Kondisi ini menyebabkan tidak tuntasnya

proses eradikasi bakteri, yang terjadinya proses mutasi kuman, sehingga

menjadi kebal/ resistensi terhadap antibiotik tersebut. Jika pasien terinfeksi

kembali oleh bakteri yang sama yang resistensi terhadap antibiotik atau jika

bakteri tersebut menginfeksi individu yang lain, maka pengobatannya

menjadi sulit. Untuk mengatasi hal ini diperlukan antibiotik golongan atau

jenis lain, yang lebih sensitif dan lebih mahal.(1)

Untuk melawan masalah-masalah yang disebabkan oleh muncul dan

menyebarnya resistensi antibiotik, pada tahun 2001, WHO meluncurkan

strategi global pertama yang dikenal sebagai WHO Global Strategy for

Containment of Antimicrobial Resistance. Hal ini menekankan bahwa

resistensi antibiotik merupakan masalah global yang harus diperhatikan

seluruh negara. Strategi tersebut menganjurkan intervensi yang dapat

memperlambat dan mengurangi penyebaran resistensi antibiotik. Intervensi

yang dapat diaplikasikan di seluruh negara tersebut berupa pengenalan

perundang-undangan dan peraturan mengenai perkembangan, perijinan,

distribusi dan perdagangan antibiotik. Namun, meskipun undang-undang

tersebut ada, masih banyak apotek di berbagai negara yang melakukan

pelanggaran terhadap peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. (1)


Menurut Volpato, 74% dan 107 apotek yang dikunjungi di Joinville,

Brazil termasuk 88% apotek, yang didaftar oleh Municipial Health Secretary

bersedia untuk menjual antibiotik tanpa resep dokter.(3)

Di Indonesia, undang-undang yang mengatur penjualan antibiotik

tertulis dalam undang-undang obat keras St. No. 419 tgl.22 Desember

1949, yang pada pasal 1 melampirkan bahwa salah satu obat keras adalah

obat yang mampu mendesinfeksi seperti antibiotik.(4)

Penelitian mengenai perdagangan bebas antibiotik di Indonesia masih

sangat sedikit, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat

pengetahuan masyarakat tentang penggunaan antibiotik yang diperoleh

secara bebas.

B. Identitas masalah

Antibiotik merupakan obat yang sering diresepkan dokter untuk

mengobati penyakit infeksi. Namun, penggunaan antibiotik yang tidak tepat

indikasi, tidak tepat dosis dan tidak tepat cara pemberiannya akan

meningkatkan kejadian resistensi kuman terhadap antibiotik, sehingga

menyebabkan kegagalan pengobatan. apakah tingkat pengetahuan

masyarakat tentang penggunaan antibiotik yang diperoleh secara bebas ?

B. Rumusan

Tingginya prevalensi infeksi meningkatkan penggunaan antibiotik.

Penggunaan antibiotik diperoleh secara bebas tanpa resep dokter


mengakibatkan penggunaan yang tidak tepat indikasi, tidak tepat dosis,

tidak tepat cara dan waktu pemberiannya oleh pengguna. Hal ini menjadi

salah satu faktor penyebab meningkatnya resistensi kuman terhadap

antibiotik. Oleh karena itu ingin diketahui hubungan antara karakteristik

masyarakat dengan penggunaan antibiotik yang diperoleh secara bebas.

C. Tujuan dan manfaat penulisan

Tujuan Penelitian

Tingkat pengetahuan masyarakat tentang penggunaan antibiotik

yang diperoleh secara bebas di Kecamatan Binjai Timur.

Tujuan khusus :

a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat tentang

antibiotik yang dikonsumsi secara bebas.

b. Untuk mengetahui tingkat pendidikan masyarakat yang

menggunakan antibiotik secara bebas.

c. Untuk mengetahui penghasilan rata-rata golongan masyarakat yang

menggunakan antibiotik.

d. Untuk mengetahui jenis kelamin yang lebih sering menggunakan

antibiotik

Manfaat

a. Data atau informasi hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh Balai

Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Kota Binjai untuk

lebih memperhatikan penjualan antibiotik secara bebas yang tidak

sesuai dengan peraturan undang-undangan yang berlaku


b. Sebagai masukkan bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan

penerapan undang-undang obat keras dalam suatu pelayanan

kesehatan.

c. Sebagai masukkan bagi penyusunan/pelaksanaan program

terhadap penggunaan antibiotik yang rasional untuk masyarakat

awam.
14

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teori

1. Antibiotik

1.1 Defenisi

Pengertian antibiotik secara sempit adalah senyawa yang

dihasilkan berbagai jenis mikroorganisme

(bakteri,fungi,aktinomisetes) yang menekan mikroorganisme

lainnya. Namun, penggunaannya secara umum sering kali

memperluas istilah antibiotik sehingga meliputi senyawa antimikroba

sintetik, seperti sulfonamide dan quinolone. Ratusan antibiotik telah

berhasil diidentifikasi dan dikembangkan sehingga dapat

dimanfaatkan dalam terapi penyakit infeksi.(5) Antibiotika adalah zat

yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,, yang dapat

menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak

antibiotic dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh.

Namun dalam praktek sehari – hari antimikroba sintetik yang tidak

diturunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamide dan kuinolon)

juga sering digolongkan sebagai antibiotik.(6)


15

1.2 Mekanisme Kerja

Cara kerjanya yang terpenting adalah perintangan sintesa

protein, sehingga kuman musnah atau tidak berkembang lagi,

misalnya kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida dan

linkomisin.(7) Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi

dalam lima kelompok:

1. Mengganggu metabolisme sel mikroba (sulfonamide dan

trimetoprin)

2. Menghambat sintesis dinding sel mikroba (penisilin dan

sefalosporin)

3. Mengganggu permeabilitas membrane sel mikroba (polimiksin,

zat–zat polien dan imidazol)

4. Menghambat sintesis protein sel mikroba (erytrhtomycin,

tetrasiklin dan kloramfenikol)

5. Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba

(golongan kuinolon dan rifampisin).(6)

Mekanisme kerja setiap antibiotik berbeda-beda. Salah satu

jenis antibiotik misalnya peniciline, seperti semua antibiotik 1-laktam,

menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengganggu reaksi

tranpeptidasi dalam sintesis dinding sel bakteri.(8) Berkhasiat

bakterisid dalam fase pertumbuhan kuman, berdasarkan


16

penghambatan sintesa peptidoglikan yang diperlukan kuman untuk

ketangguhan dindingnya. Kepekaannya terhadap beta-laktamse

lebih rendah daripada penisilin. Tetrasiklin mekanisme kerjanya

berdasarkan diganggunya sintesa protein kuman.(7) Kloramfenikol

bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman, umumnya

bersifat bakteriostatik. Pada konsntrasi yang tinggi kloramfenikol

kadang-kadang bersifat bakterisid.(6)Mekanisme kerja dari

sulfonamid menghambat sintesis asam nukleat dan menghambat

dihidropteroat sintase dan produksi folat. Trimetoprim secara selektif

menghambat asam dihidrofolat reduktase bakteri, yang mengubah

asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat, suatu tahap menuju

sintesis purin dan pada akhirnya sintesis DNA. Mekanisme kerja

Kuinolon menyekat sintesis DNA bakteri dengan menghambat

topoisomerase II (DNA girase) dan topoisomerase IV bakteri.

Mekanisme kerja rifampisin sangat aktif terhadap sel yang sedang

tumbuh. Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase

dari mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula

terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA. (8)

Polimiksin bersifat bakterisida. Polimiksin melekat pada membrane

sel bakteri yang kaya dengan fosfatidiletanolamin dan mengganggu

sifat osmotic serta mekanisme transport pada membran. (9)


17

1.3 Resistensi Antibiotik

Resistensi antibiotic merupakan suatu keadaan tidak

terganggunya mikroba oleh antimikroba. Resistensi antibiotik dapat

terjadi karena penyalahgunaan dan penggunaan antibiotik yang

berlebihan, penggunaan antibiotik yang tidak menyelesaikan

pengobatan antibiotik, sehinga bermutasi dan menjadi resisten.(10)

Agar suatu antibiotik ekfektif, antibiotik tersebut harus

mencapai targetnya, berikatan dengannya, dan mengganggu

fungsinya. Resistensi bakteri terhadap senyawa antimikorba terbagi

dalam 3 kelompok umum yaitu, obat tidak mencapai targetnya, obat

tidak aktif, target berubah.(5)

Secara garis besar kuman dapat menjadi resisten terhadap

suatu antimikroba melalui tiga mekanisme :

a) Obat tidak dapat mencapai tempat kerjanya di dalam sel

mikroba.(6)

Membran luar bakteri gram-negatif merupakan sawar

permeabilitias yang mencegah molekul-molekul polar berukuran

besar memasuki sel. Molekul – molekul polar berukuran kecil,

termasuk banyak antibiotik, masuk kedalam sel melalui saluran yang

terbuat dari protein yang disebut porin. Jika saluran porin yang tepat

tidak ada, atau terjadi mutasi, atau hilang, maka hal tersebut dapat
18

memperlambat laju, atau sama sekali mencegah masuknya obat

kedalam sel, sehingga akan menurunkan konsentrasi efektif obat

pada lokasi trget. Jika targt berada dalam sel dan obat memerlukan

transport aktifuntuk melewati membrane sel, maka mutasi atau

kondisi lingkungan yang menghentikan mekanisme transport ini

dapat menyebabkan resistensi.(5)

b) Inaktifasi obat

Variasi dari mekanisme ini adalah gagalnya sel bakteri untuk

mengubah obat inaktif menjadi metabolit aktif. Perubahan pada

target tersebut dapat terjadi akibat mutasi target alami, modifikasi

target, dan substitusi target asal yang rentan dengan alternative lain

yang resisten. Mekanisme resistensi ini terjadi akibat menurunnya

pengikatan obat oleh target kritis atau substitusi dengan target baru

yang tidak dapat mengikat obat yang ditujukan untuk target

asalnya.(5)

c) Mikroba mengubah tempat ikatan (dinding site) antimikroba

Mekanisme ini terlihat pada S. aureus yang resisten terhadap

metisilin (MRSA). Kuman ini mengubah Penicillin Binding Proteinnya

(PBP) sehingga afinitasnya menurun terhadap metisilin dan

antibiotik beta laktam yang lain.(6)

1.4 Efek Samping


19

Umumnya obat mempunyai lebih dari satu aksi atau efek.

Kegunaan terapi suatu obat tergantung selektifitas aksinya,

sedemikan hingga merupakan efek yang paling menonjol dan hanya

pada suatu kelompok sel atau fungsi organ. Efek atau aksi pokok

adalah satu – satunya efek pada letak primer bila ada satu efekyang

digunakan untuk terapi disebut efek terapi. Sedangkan efek samping

adalah efek suatu obat yang tidak termasuk kegunaan terapi. (11)

Efek samping penggunaan antimkroba dikelompokkan menurut :

(1) Reaksi alergi

Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan

melibatkan sistem imun tubuh hospes, terjadinya tidak bergantung

pada besarnya dosis obat. Manifestasi gejala dan derajat beratnya

reaksi dapat bervariasi.

(2) Reaksi idiosinkrasi

Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara

genetic terhadap pemberian antimikroba tertentu. Sebagai contoh,

10% pria berkulit hitam akan mengalami anemia hemolitik berat bila

mendapat primakuin. Ini disebabkan mereka kekurangan enzim

G6PD.

(3) Reaksi toksik


20

Pada umumnya bersifat toksik-selektif, tetapi sifat ini

relative.efek toksik pada hospes ditimbulkan oleh semua jenis

antimikroba. Yang mungkin dapat dianggap relative tidak toksik

sampai kini ialah golongan penisilin. Dalam menimbulkan efek

toksik, masing – masing antimikroba dapat memiliki predileksi

terhadap organ atau sistem tertentu pada tubuh hospes.

(4) Perubahan biologi dan metabolik pada hospes

Penggunaan antimikroba, tertutama yang berspektrum luas,

dapat mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora sehingga

jenis mkroba yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi

pathogen. Gangguan keseimbangan ekologik mikroflora normal

dapat terjadi di saluran cerna, nafas dan kelamin, dan pada kulit.

Pada beberapa keadaan perubahan ini dapat terjadi menimbulkan

super infeksi yaitu suatu infeksi baru yang terjadi akibat terapi

infeksi primer dengan suatu antimikroba. Mikroba penyebab

superinfeksi biasanya ialah jenis mikroba yang menjadi dominan

pertumbuhannya akibat penggunaan antimikroba, umpamanya

candidiasis sering timbul sebagai akibat penggunaan antibiotic

berspektrum luas, khususnya tetrasiklin.(6)

1.5 Faktor Pasien Yang Mempengaruhi Farmakodinamik Dan

Farmakokinetik
21

Adapun yang mempengaruhi farmakodinamik dan

farmakokinetik obat sebagai berikut :

 Umur

Neonatus pada umumnya memiliki organ atau sistem tubuh

yang belum berkembang sepenuhnya. Umpamanya fungsi

glukuronidasi oleh hepar belum cukup lancar, sehingga

memudahkan terjadinya efek toksik oleh kloramfenikol. Orang yang

berusia lanjut seringkali mengalami kemunduran fungsi organ atau

sistem tertentu, sehingga reaksi tubuh terhadap pemberian obat

berubah, baik dalam segi farmakodinamik maupun segi farmokinetik.

Untuk kedua golongan umur tersebut di atas, posologi obat,

termasuk antimikroba, harus disesuaikan dengan keadaan masing –

masing.(6)

 Kehamilan

Pemberian obat pada ibu hamil harus disertai pertimbangan

kemungkinan terjadinya efek samping pada ibu maupun pada janin.

Ibu hamil pada umumnya lebih peka terhadap pengaruh obat

tertentu, termasuk antimikroba. Sedangkan kemungkinan timbulnya

pada fetus, tergantung pada daya obat menembus sawar uri serta

usia janin. Pemberian streptomisin pada ibu yang hamil tua dapat

menimbulkan ketulian pada bayi yang dilahirkan, sedangkan


22

pemberian antimikroba pada kehamilan trisemester pertama harus

diingat bahaya teratogenesisnya.(6)

 Genetik

Adanya perbedaan antar ras dapat menimbulkan perbedaan

reaksi terhadap obat. Sebagai contoh defisiensi enzim G6PD dapat

menimbulkan hemolisis akibat pemberian sulfonamid, kloramfenikol,

dapson atau nitrofurantoin.(6)

 Keadaan Patologik Tubuh Hospes

Keadaan patologik tubuh hospes dapat mengubah

farmakodinamik dan farmakokinetik antimikroba tertentu. Keadaan

fungsi hati dan ginjal penting diketahui dalam pemberian obat,

termasuk pemberian antimikroba, sebab kedua organ tersebut

berpengaruh besar pada farmakokinetik obat. Gangguan pada hepar

dapat menyebabkan gangguan pada biotransformasi maupun pada

ekskresi obat melalui empedu. Jadi, sama dengan pemberian obat

lain, pada pemberian antimikroba sebaiknya selalu diperhatikan

kemungkinan adanya gangguan fungsi organ atau sistem tubuh,

khususnya hati dan ginjal, guna mendapatkan efek terapi optimal. (6)

1.6 Sebab Kegagalan Terapi

Adapun sebab kegagalan terapi sebagai berikut :

 Dosis yang kurang


23

Dosis suatu antimikorba seringkali tergantung dari tempat

infeksi, walaupun kuman penyebabnya sama. Sebagai contoh dosis

penisiline G yang diperlukan untuk mengobati meningitis oleh

pneumokokus jauh lebih tinggi daripada dosis yang yang diperlukan

untuk pengobatan infeksi saluran nafas bawahyang disebakan oleh

kuman yang sama.(6)

 Masa terapi yang kurang

Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk tiap jenis infeksi

perlu diberikan AM tertertun selama jangka waktu tertentu kini telah

ditinggalkan. Pada umumnya para ahli cenderung melakukan

individualisasi masa terapi, yang sesuai dengan tercapai respons

klinik yang memuaskan.(6)

 Adanya faktor mekanik

Abses, benda asing, jaringan nekrotik, sekuester tulang, batu

saluran kemih, mukus yang banyak, dan lain-lain, merupakan faktor

– faktor yang dapat menggagalkan terapi dengan antimikroba.

Tindakan mengatasi faktor mekanik tersebut yaitu pencucian luka,

debridemen, insisi, dan lain – lain, sangat menentukan keberhasilan

mengatasi infeksi.(6)

 Kesalahan dalam menetapkan etiologi


24

Demam tidak selalu disebabkan oleh kuman. Virus, jamur,

parasit, reaksi obat, dan lain – lain dapat meningkatkan suhu badan.

Pemberian antimikroba yang lazim diberikan dalam keadaan ini tidak

bermanfaat.(6)

 Faktor farmakokinetik

Tidak semua bagian tubuh dapat ditembus dengan mudah

oleh antimikroba. Jaringan prostat ialah contoh organ yang sulit

dicapai oleh kebanyakan obat dengan kadar yang adekuat. (6

 Pilihan AM yang kurang tepat

Suatu daftar antimikroba yang dinyatakan efektif dalam uji

kepekaan tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa setiap

antimikroba yang tercantum itu akan memberi efektivitas klinik yang

sama.(6)

 Faktor pasien

Keadaan umum yang buruk dan gangguan mekanisme

pertahanan tubuh (selular dan humoral merupakan faktor penting

yang menyebabkan gagalnya terapi antimikroba.(6)

1.7 Penggunaan Antimikroba Di Klinik

Adapun penggunaan antimikroba di klinik

1. Indikasi
25

Penggunaan terapeutik antimikroba di klinik bertujuan

membasmi mikroba penyebab infeksi. Penggunaan antimikroba

ditentukan berdasarkan indikasi dengan mempertimbangkan faktor –

faktor berikut :

 Gambaran klinik penyakit infeksi, yakni efek yang ditimbulkan

oleh adanya mikroba dalam tubuh hospes, dan bukan

berdasarkan atas kehadiran mikroba tersebut semata-mata

 Efek terapi antimikroba pada penyakit infeksi diperoleh hanya

sebagai akibat kerja antimikroba terhadap biomekanisme

mikroba, dan tidak terhadap biomekanisme tubuh hospes

 Antimikroba dapat dikatakan bukan merupakan “obat

penyembuh” penyakit infeksi dalam arti kata sebenarnya.

Antimikroba hanyalah menyingkatkan waktu yang diperlukan

tubuh hospes untuk sembuh dari suatu penyakit infeksi.

Gejala demam yang merupakan salah satu gejala sistemik

penyakit infeksi paling umum, tidak merupakan indikator yang kuat

untuk pemberian antimikroba. Pemberian antimikroba berdasarkan

adanya demam tidak bijaksana, karena :

 Pemberian antimikroba yang tidak pada tempatnya dapat

merugikan pasien ( berupa efek samping ), dan masyarakat

sekitarnya ( berupa masalah resistensi )


26

 Demam dapat disebabkan oleh penyakit – penyakit infeksi

virus, yang cukup tinggi angka kejadiannya dan tidak

dipercepat penyembuhannya dengan pemberiaan

antimikroba yang lazim

 Demam dapat juga terjadi pada penyakit noninfeksi, yang

dengan sendirinya bukan indikasi pemberian antimikroba.

Kesimpulannya indikasi untuk memberikan antimikroba pada

seorang pasien haruslah dipertimbangkan dengan seksama, dan

sangat tergantung pada pengalaman pengamatan klinik dokter yang

mengobati pasien.(6)

2. Pilihan Antimikroba Dan Posologi

Memilih antimikroba yang didasarkan atas luas spektrum

antimikrobanya, tidak dibenarkan karena hasil terapi tidak lebih

unggul daripada hasil terapi dengan antimikroba berspektrum

sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan

antimikroba berspektrum luas. Antimikroba yang mutakhir misalnya

sefalosporin generasi III, fluorokuinolon, aminoglikosida yang baru

dll, tidak terlalu sering digunakan untuk keperluan rutin. Tindakan ini

perlu untuk menjaga supaya tetap tersedia antimikroba efektif bila

timbul masalah resistensi dalam kurun waktu tertentu.

Keadaan tubuh hospes perlu dipertimbangkan untuk dapat

memilih antimikroba yang tepat. Untuk pasien penyakit infeksi yang


27

juga berpenyakit ginjal misalnya, jika diperlukan jenis tetrasiklin

sebagai antimikroba maka sebaiknya dipilih doksisiklin yang paling

aman di antara tetrasiklin lainnya.(6)

3. Kombinasi Antimikroba

Kombinasi antimikroba yang digunakan menurut indikasi yang

tepat dapat memberi manfaat klinik yang besar. Terapi kombinasi

antimikroba yang tidak terarah akan meningkatkan biaya dan efek

samping, menseleksi galur kuman yang resisten terhadap banyak

antimikroba, dan tidak meningkatkan efektivitas terapi. Indikasi

penggunaan kombinasi :

 Pengobatan infeksi campuran

Beberapa infeksi tertentu dapat disebabkan oleh lebih dari

satu jenis mikroba yang peka terhadap antimikroba yang

berbeda. Dalam hal ini diperlukan pemberian pemberian

kombinasi antimikroba sesuai dengan kepekaan kuman –

kuman penyebab infeksi campuran tersebut.

 Pengobatannya awal pada infeksi berat yang etiologinya belum

jelas

Beberapa infeksi berat misalnya septikemia, meningitis

purulenta dan infeksi berat lainnya memerlukan kombinasi

antimikroba, karena keterlambatan pengobatan dapat


28

membahayakan jiwa pasien, sedangkan kuman penyebab

belum diketahui. Kombinasi antimikroba disini diberikan dalam

dosis penuh. Bila hasil pemeriksaan mikrobiologi telah

diperoleh maka antimikroba yang tidak diperlukan dapat

dihentikan pemberiaannya.

 Mendapatkan efek sinergi

Sinergime terjadi bila kombinasi antimikroba menghasilkan

efek yang lebih besar daripada sekedar efek aditif saja

terhadap kuman tertentu.

 Memperlambat timbulnya resistensi

Bila mutasi merupakan mekanisme timbulnya resistensi

terhadap suatu antimikroba maka secara teoritis kombinasi

antimikroba merupakan cara efektif untuk memperlambat

resistensi.(6)

4. Profilaksis Antimikroba

Secara garis besar profilaksis antimikroba untuk kasus bukan

bedah diberikan untuk 3 tujuan :

 Melindungi seseorang yang terpajan ( exposed ) kuman

tertentu
29

 Mencegah infeksi bakterial sekunder pada seseorang yang

sedang menderita penyakit lain

 Mencegah endokarditis pada pasien kelainan katup atau

struktur jantung lain yang akan menempuh prosedur yang

sering menimbulkan bakterimia.(6)

1.8 Epidemiologi Kejadian Resistensi Bakteri Terhadap

Antibiotik

Menurut suatu penelitian di 11 Negara Asia, dan 685 jenis

bakteri Streptococcus Pneumoniae yang berasal dari 11 Negara di

Asia diperoleh bahwa bakteri dan Vietnam memiliki prevalensi

resistensi tertinggi terhadap Peniciline (71,4%), diikuti oleh Korea

(54,8%), Hong Kong (43,2%), dan Taiwan (38,6%). Selain itu

prevalensi resistensi terhadap Erythromycine juga sangat tinggi di

Vietnam (92,1%), Taiwan (86%), Korea (80.6%), Hong Kong

(76,8%), dan Cina (73,9%). Untuk Ciprofloxacin, prevalensi

resistensi terhadap antbiotik menunjukan Hong Kong menduduki

tingkat tertinggi (11,8%), kemudian Sri Lanka (9,5%), Filiphina

(9,1%), dan Korea (6,5%).(2)

2.1 Peraturan Mengenai Distribusi Antibiotik

Peraturan mengenai distribusi antibiotik di Indonesia tertulis

dalam undang – undang St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949 tenang

obat keras. Antibiotik termasuk salah satu jenis obat – obat keras, hal
30

ini dijelaskan dalam pasal 1 ayat 1a yang berbunyi: “Obat – obat

keras yaitu obat – obatan yang tidak digunakan untuk keperluan

tekhnik, yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan,

membaguskan, mendesinfeksikan dan lain – lain tubuh manusia,

baik dalam bungkusan maupun tidak, yang ditetapkan oleh

Secretaris Van Staat, Hoofd van het Departement van Gesondheid,

menurut ketentuan pada Pasal 2.”Pada ayat 1k dilampirkan bahwa

obat – obat keras terbagi dalam dua daftar yaitu : daftar obat-obatan

G ( berbahaya ) dan daftar obat – obatan W ( peringatan ). Antibiotik

termasuk dalam daftar obat – obatan G di mana pada kemasannya

terdapat label lingkaran merah dengan huruf K ditengahnya.

Peraturan mengenai distribusi obat – obat keras daftar G tertulis

dalam pasal 3 dan 5 yaitu :

2.1 Pasal 3 Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan

penawaran untuk penjualan dan bahan – bahan G, demikian pula

memiliki bahan – bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa sehingga

secara normal tidak dapat diterima bahwa bahan – bahan ini hanya

diperuntukkan pemakaian pribadi, adalah dilarang, larangan ini tidak

berlaku untuk pedagang – pedagang besar yang diakui. Apoteker –

apoteker, yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan.

2.3.1.2. Penyerahan dan bahan – bahan G, yang menyimpang dan

resep Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan dilarang, larangan ini tidak
31

berlaku bagi penyerahan kepada pedagang – pedagang besar yang

diakui, Apoteker-apoteker, Dokter – dokter Gigi dan Dokter – dokter

Hewan demikian juga tidak terhadap penyerahan – penyerahan

menurut ketentuan pada pasal 7 ayat 5.

2.3. Larang – larang yang diamksud pada ayat – ayat tersebut diatas

tidak berlaku untuk penyerahan obat – obat sebagaimana

dimaksudkan Pasal 49 ayat 3 dan 4 dan Pasal 51 dan “Reglement

D.V.D.”.

2.4. See.V.St. dapatmenetapkan bahwa sesuatu peraturan

sebagaimana dimaksudkan pada ayat 2, jika berhubungan dengan

penyerahan obat-obatan G yang tertentu yng ditunjukkan olehnya

harus ikut ditandatangani oleh seorang petugas khusus yang

ditunjuk. Jika tanda tangan petugas ini tidak terdapat maka

penyerahan obat – obatan G itu dilarang.

2.5 Pasal 5 Pemasukan, Pengeluaran, Pengangkutan, atau suruh

mengangkut bahan – bahan G dilarang, terkecuali dalam jumlah

yang sedemikian rupa sehingga secara normal dapat diterima

bahwa bahan – bahan ini hanya diperuntukkan pemakaian pribadi.

Larangan ini tidak berlaku jika tindakan ini dijalankan oleh

pemerintah atau pedagang – pedagang besar yang diakui atau

pengangkutan – pengangkutan oleh Apoteker – apoteker, Dokter –

dokter yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan.


32

Dalam soal – soal khusus, Inspektur Farmasi D.V.G. di Jakarta dapat

memberikan kelonggaran penuh atau sebagian terhadap larangan

ini.

Pada pasal 12 tertulis bahwa jika terjadi pelanggaran terhadap pasal

– pasal tersebut maka pelaku akan dikenai hukuman penjara

setinggi-tingginya 6 bulan atau denda uang setinggi – tingginya 5000

golden.(4)

B. Kerangka berpikir

Kerangka toeri dalam penelitian ini adalah :

Pemberian
Tanpa resep Resistensi
antibiotik
24

Hipotesis

Hipotesis yang saya ajukan pada penelitian ini adalah tingkat pengetahuan

masyarakat tentang penggunaan antibiotik yang diperoleh secara bebas di

kecamatan tamalanrea
25

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan penelitian

Rancangan penelitian adalah seluruh dari suatu perencanaan disusun

sedimikian rupa yang dapat menuntun peneliti untuk dapat memperoleh

jawaban terhadap pertanyaan penelitian (Sastroasmoro Ismael, 2008).

Secara umum rancangan penelitian perencanaan seluruh penelitian yang

tertuang dalam satu kesatuan naskah secara ringkas, jelas dan utuh.

Berdasarkan tujuan penelitian rancangan yang digunakan adalah

penelitian kualitatif untuk menganalisis penggunan antibiotik yang

diperoleh scaara bebas.

B. Variabel dan difinisi

Pengetahuan masyarakat adalah kumpulan informasi tentang antibotik

yang diperoleh secara bebas oleh masyarakat Kecamatan Binjai Timur,

yang diukur dengan menggunakan kuesioner rancangan penulis dengan

sekala ukur.

Aspek pengukuran yang dilakukan berdasarkan jawaban responden

dan seluruh pertanyaan pengetahuan yang diberikan dalam bentuk pilihan

ganda. Jawaban yang tepat diberi nilai 1, dan jawaban yang tidak tepat

akan diberi nilai 0. Dari penetapan nilai tersebut, maka menjumlahkan skor

yang didapat dan dibuat persentase sebagai berikut :


26

Rumus :

x
S x 100%
r

Keterangan :

S = skor

x = Jawaban yang benar

r = jumlah nilai maksimum (10).

Selanjutnya pengetahuan dikategorikan sebagai berikut :

1. Baik, apabila total skor jawaban benar > 7

2. Sedang, apabila total skor jawaban benar 4-7

3. Buruk, apabila total skor jawaban benar < 4

C. Populasi sampel dan teknik

Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah seluruh

warga di Kecamatan Tamalanrea, yang berjumlah 51367 warga

dengan catatan laki - laki : 25137 dan perempuan : 26230 orang.

Hasil populasi ini diambil dari 7 Kelurahan :

Kelurahan A : 7207 orang

Kelurahan B : 4368 orang

Kelurahan C : 8707 orang

Kelurahan D : 8224 orang

Kelurahan E : 8611 orang

Kelurahan F : 5362 orang

Kelurahan G : 8888 orang


27

Jumlah sampel diambil secara proposional dengan tekhnik

pengambilan sampel secara acak sederhana (simple random

sampling). Cara menentukan besar sampel sebagai berikut:

Dalam penelitian ini, sampel diambil dengan menggunakan rumus

sebagai berikut :

𝑁
𝑛=
1 + (𝑁 . 𝑑 2 )

Keterangan :

N = jumlah Populasi

n = jumlah Sampel

d = derajat kesalahan yang diinginkan = 0,1

Berdasarkan rumus tersebut dapat dicari jumlah sampelnya,

maka :

51367
𝑛=
1 + (51367 . 0,12 )

51367
𝑛=
514,67

n = 99,80

n adalah jumlah sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini yaitu

sebanyak 100 orang yang diambil dengan menggunakan metode

probabbility sampling dengan tekhnik simple random sampli

D. Teknik pengumpulan data


28

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dengan

menggunakan kuesioner yang telah dirancang dan disiapkan oleh

peneliti, dan diberikan kepada respon yang terpilih.

E. Instrumen penelitian

Responden yang diteliti dalam penelitian ini berjumlah 100 orang yang

membeli antibiotik secara bebas di lingkungan masyarakat Kecamatan Binjai

Timur. Data gambaran Karakteristik responden yang diamati adalah usia,

pendidikan dan pekerjaan

1. Tabel pengamatan

Tabel .1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Umur Responden (Tahun) Frekuensi (Orang) %

17-21 21 21%

22-26 18 18%

27-31 4 4%

32-36 8 8%

37-41 15 15%

42-46 13 13%

47-51 10 10%

52-56 6 6%

>57 5 5%

Total 100 100%


29

Dari tabael 1 tentang distribusi responden berdasarkan umur diketahui bahwa

sampel yang diteliti berusia 17- 57 tahun keatas, dengan jumlah terbanyak pada

kelompok usia 17-21 tahun, yaitu sebanyak 21 orang (21%) diikuti dengan

kelompok usia 22-26 tahun sebanyak 18 orang (18%).

Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Frekuensi (Orang) %

SD 7 7%

SMP/Sederajat 7 7%

SMA/Sederajat 39 39%

Perguruan Tinggi/Sederajat 47 47%

Total 100 100%

Dari tabael 2 tentang distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

diketahui bahwa sebagian besar responden dalam penelitian memiliki tingkat

pendidikan Perguruan tinggi 47 orang (47%),dan 39 orang (39%) memiliki tingkat

pendidikan SMA/Sederajat.

Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Responden Frekuensi (Orang) %

PNS 26 26%

Wiraswasta 37 37%

Ibu Rumah Tangga 8 8%

Lain-lain 29 29%

Total 100 100%


30

Dari tabael 3 tentang distribusi responden berdasarkan pekerjaan diketahui

sebanyak 37 orang (37%) responden adalah wiraswasta. Sebanyak 29 orang (29%)

responden pekerjaannya dibidang lain, 26 orang (26%) responden adalah PNS dan

8 orang (8%) responden adalah ibu rumah tangga.

Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Pertanyaan Kuesioner

No Pertanyaan Pengetahuan Salah Benar Jumlah

(Skor 0) (Skor 1) Total

N % N % N %

1 Pengertian antibiotik 47 47% 53 53% 100 100%

2 Penggunaan antibiotik 36 36% 64 64% 100 100%

3 Penyakit yang memerlukan 50 50% 50 50% 100 100%

antibiotik

4 Asal petunjuk antibiotik 6 6% 94 94% 100 100%

5 Efek penggunaan antibiotik 23 23% 77 77% 100 100%

yang tidak tepat dosis

6 Penghentian penggunaan 78 78% 22 22% 100 100%

antibiotik

7 Efek samping antibiotik 57 57% 43 43% 100 100%

8 Pasien yang tidak selamanya 46 46% 54 54% 100 100%

boleh dan harus berhati-hati

dalam pemberian antibiotik

9 Tempat penyimpanan 11 11% 89 89% 100 100%

antibiotik
31

10 Golongan obat antibiotik 81 81% 19 19% 100 100%

Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa mayoritas responden menjawab salah pada

pertanyaan 10, yaitu sebanyak 81 orang (81%) responden, pertanyaan 6 sebanyak

78 orang (78%) responden dan pertanyaan 7 sebanyak 57 orang (57%) responden.

Mayoritas responden menjawab benar pada pertanyaan 4 sebanyak 94 orang (94%)

responden, pertanyaan 9 sebanyak 89 orang (89%) responden dan pertanyaan 5

sebanyak 77 orang (77%) responden.

Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Tingkat Pengetahuan Frekuensi (Orang) %

Baik 24 24%

Sedang 60 60%

Buruk 16 16%

Total 100 100%

Pada tabel 5 tentang distribusi responden berdasarkan tingkat pengetahuan,

dapat diketahui bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki

pengetahuan yang sedang mengenai penggunaan antibiotik yaitu sebanyak 60

orang (60%) responden. Kemudian,24 orang (24%) responden memiliki tingkat

pengetahuan baik, sedangkan 16 orang (16%) responden memiliki tingkat

pengetahuan buruk.

2. Pembahasan
32

Pertanyaan dalam kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan

responden mengenai penggunaan antibiotik pada masyarakat. Hal-hal yang

ditanyakan antara lain pengertian antibiotik (pertanyaan 1), penggunaan antibiotik

(pertanyaan 2),penyakit yang memerlukan antibiotik (pertanyaan 3), asal petunjuk

antibiotik (pertanyaan 4), efek penggunaan antibiotik yang tidak tepat dosis

(pertanyaan 5), penghentian penggunaan antibiotik (pertanyaan 6), efek samping

antibiotik (pertanyaan 7), pasien yang tidak selamanya boleh dan harus berhati-hati

dalam pemberian antibiotik (pertanyaan 8), tempat penyimpanan antibiotik

(pertanyaan 9), golongan obat antibiotik (pertanyaan 10).

Dari hasil penelitian (tabel 4.4) diketahui bahwa sebagian besar 53% responden

sudah mengerti tentang pengertian antibiotik. 64% responden sudah mengetahui

tentang penggunaan antibiotik. Hanya sebagian 50% responden mengetahui

tentang penyakit yang memerlukan antibiotik. Mayoritas 94% responden

mengetahui asal petunjuk antibiotik, serta 77% responden mengetahui efek

penggunaan antibiotik yang tidak tepat dosis. Mayoritas 78% responden tidak

mengetahui kapan penghentian penggunaan antibiotik dilakukan, dan sebagian

besar 57% responden tidak mengetahui efek samping antibiotik. Sebagian besar

54% responden sudah mengetahui tentang pasien yang tidak selamanya boleh

dan harus berhati-hati dalam pemberian antibiotik dan mayotias besar 89%

responden mengetahui dimana tempat penyimpanan antibiotik. 81% responden

tidak mengetahui antibiotik termasuk golongan obat berbahaya.

Menurut pendapat notoadmodjo (2003) bahwa pengetahuan seseorang dapat

dipengaruhi oleh faktor umur, tingkat pendidikan, penghasilan dan sumber

informasi yang digunakannya. Bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh

pada peningkatan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi pada umur tertentu
33

atau menjelang usia lanjut kemampuan dalam menerima dan mengingat suatu

pengetahuan akan berkurang. Pada penelitian ini, mayoritas responden berada

dalam kelompok umur 17-21 tahun (21%) dan kelompok umur 22-26 tahun (18%).

Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas responden memiliki tingkat

pendidikan Perguruan tinggi 47% dan SMA 39% . Hal ini juga yang

menyebabkan mayoritas responden memiliki pengetahuan kategori sedang

terhadap penggunaan antibiotik yang diperoleh secara bebas.

F. Teknik analisi data

A. Editing : untuk kelengkapan konsisten dan kesesuaian antara

karakter yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.

B. Coding : untuk menguantifikasi data kuantitatif atau untuk

membedakan aneka karakter. Pemberian kode ini sangat

diperlukan terutama dalam rangka pengolahan data, baik

secara manual atau dengan menggunakan komputer.

C. Cleaning : pemeriksaan data yang sudah dimasukkan ke

dalam program komputer guna menghindari terjadinya

kesalahan pada pemasukan data.

D. Tabulasi : data yang terkumpul dibuat dalam bentuk tabel dan

grafik.

Data yang dikumpulkan dari hasil quesioner kemudian diolah

dengan metode komputer program SPSS 17.0 release for Windows


34

(Stastitical Product and Service Solution). Kemudian data dianalisis

secara deskriptif.
35

BAB VI

SCHEDULE PELAKSANAAN PENELITIAN

Rancangan jadwal penelitian ini digambarkan sebagai berikut :

No Jadwal Kegiatan Waktu

1. Penyusunan proposal April 201X

2. Seminar proposal Juli 201X

3. Pengambilan data Februari 201X

4. Pengolahan data Februari 201X

5. Analisis data Maret 201X

6. Seminar hasil April 201X


36

BAB V

ANGGARAN DAN PEMBAYARAN

A. Administrasi

Kertas A4 2 rim @ Rp. 30.000 Rp. 60.000,-

Amplop 2 dos @ Rp. 20.000 Rp. 40.000,-

Jumlah Rp. 100.000,-

B. Publikasi dan Dokumentasi

Pamplet Kegiatan 20 lbr @ Rp. 1000 Rp. 20.000,-

Pengadaan Undangan 50 lbr @ 1000 Rp. 50.000,-

Jumlah Rp. 70.000,-

C. Transportasi

7 orang (PP) @ Rp. 250.000,- Rp. 1.750.000,-

Jumlah Rp. 1.750.000,-


37

D. Konsumsi

Konsumsi pendamping + Peserta Rp. 2.000.000,-

selama 14 hari

Jumlah Rp. 2.000.000,-

Rekapitulasi Anggaran

A. Administrasi Rp. 100.000.-

B. Publikasi dan Dokumentasi Rp. 70.000,-

C. Transportasi Rp. 1.750.000,-

D. Konsumsi Rp. 2.000.000,-

Jumlah Rp. 3.920.000,-

Terbilang:

Tiga Juta sembilan Ratus Dua Puluh Ribu Rupiah


38

DAFTAR PUSTAKA

1. Antimicrobial Resistance: World Health Organization; 2002.

2. J S, S J, Kwan SK, Na YK, Jun SS, Chang H, et al. High Prevalence of

Antimicrobial Resistance among Clinical Streptococcus Pneumoniae

Isolates in Asia. AAC. 2004; 48(6): p. 2101-7.

3. Volpato DE, Souza BV, Rosa LGD, Melo LH, Daudt CAS, Deboni L. Use

of Antibiotics without Medical Prescription. BJID. 2005; 9(4).

4. Jateng D. Undang - Undang Obat Keras, St. No. 419 tgl 22 Desember

1949. [Online].; 2007 [cited 1949 Desember 22. Available from:

HYPERLINK

"http:///www.dinkesjatengprov.go.id/dinkes07/uuIUU-ObatKeras.pdf"

http:///www.dinkesjatengprov.go.id/dinkes07/uuIUU-ObatKeras.pdf .

5. Hardman JG, Limbird LE, editors. Goodman & Gilman Dasar

Farmakologi Terapi. 10th ed. Jakarta: EGC; 2008.

6. Farmakologi Dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi Dan

Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.


39

7. Tjay TH, Rahardja K. Obat - Obat Penting Khasiat, Penggunaan, Dan

Efek - Efek Sampingnya. 6th ed. Jakarta: PT Elex Media Komputindo;

2008.

8. Katzung BG. Farmakologi Dasar & Klinik. 10th ed. Jakarta: EGC; 2010.

9. Katzung BG. Farmakologi Dasar & Klinik. 6th ed. Jakarta: EGC; 1998.

10. Ballington DA, Laughlin MM. Antibiotics. In: Pharmacology of

Technicians. 2nd ed. Delhi: New Age international; 2005.

11. Anief M. Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat. 3rd ed. Yogyakarta:

Gadjah Mada university Press; 1997.

12. Katzung BG. Farmakologi Dasar & Klinik. 8th ed. Jakarta: Salemba Medika; 2004

Anda mungkin juga menyukai