Anda di halaman 1dari 6

1.

Definisi Urbun
Al-Urbun (‫ )العربون‬secara bahasa berasal dari kata - ُ‫ َوه َُوع ُْربَان‬- َ‫ َو َع ْربَن‬-‫ب‬
َ ‫َع ّر‬
ُ‫وع ُْرب ُْون‬artinya
َ seseorang memberi uang panjar (DP). Dinamakan demikian, karena
didalam akad jual beli tersebut terdapat uang panjar yang bertujuan agar orang lain
yang menginginkan barang itu tidak berniat membelinya karena sudah dipanjar oleh si
pembeli pertama.
Adapun definisi bai’ al-urbun (jual beli dengan sistem panjar) menurut istilah
para ulama adalah:
“Seseorang yang membeli barang kemudian membayarkan uang panjar kepada si
penjual dengan syarat bilamana pembeli jadi membelinya, maka uang panjar itu
dihitungdari harga, dan jika tidak jadi membelinya, maka uang panjar itu di menjadi
milik si penjual” (Hidayat, 2015: 207)
Seorang Muslim tidak boleh melakukan jual beli urbun, atau mengambil uang
muka secara kontan, karena diriwayatkan bahwa: Rasullulah SAW. Melarang Jual
beli Urbun ( HR. Imam Malik di Al-Muwatha)
Tentang jual beli urbun, Imam Malik menjelaskan bahwa jual beli urbun ialah
seseorang membeli sesuatu atau menyewa hewan, kemudian berkata kepada
penjual,”Engkau aku beri uang satu dinar dengan syarat jika aku membatalkan jual
beli, atau sewa maka aku tidak menerima uang sisa darimu”. (Nawawi, 2012: 80)
2. Perbedaan pendapat tentang Hukum Bai’ al-Urbun
Tentang hukum jual beli urbun ini, terjadi perbedaan pendapat sejak masa sahabat,
tabiin, sampai masa ulama mujahid, perbedaan pendapat tersebut baik yang
membolehkan maupun yang melarangnya. Masing-masing mereka mempunyai dalil
yang menjadi rujukannya.
a) Pendapat yang membolehkan Bai al-Urbun
 Dari kalangan sahabat Rasulullah SAW
Pendapat yang memperbolehkan bai al-urbun Diantarannya adalah Umar Bin
Khattab Ra. Dalam Al-Istidkar, Ibn Abd al-Barr menyebutkan hadits yang
diriwayatkan oleh Nafi’ Bin Abd Al-Harits, beliau berkata :
“umar bermuamalah dengan penduduk mekkah (shafyan). Beliau membeli
rumah dari Shafwan bin Umayah seharga empat ribu dirham. Sebagai tanda
jadi membeli, umar memberi uang panjar sebesar empat ratus dirham.
Kemudian Nafi’ memberi syarat, jika umar benar-benar jadi membeli rumah itu,
maka uang panjar itu dihitung dari harga dan jika tidak jadi membelinya, maka
uang panjar itu milik Shafwan”.
 Dari kalangan Tabi’in
pendapat yang membolehkan dikalangan Tabi’in diantaranya adalah
Muhammad bin Sirin, sebagai Hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah,
bahwa beliau (Ibnu Sirin) berkata :
“ Boleh hukumnya seseorang memberikan panjar berupa garam atau yang
lainnya kepada si penjual. Kemudian orang itu berkata “jika aku datang
kepadamu jadi membeli barang itu, maka jadilah jual beli kalau tidak maka
panjar yang kuberikan itu untukkmu”.
Selain Muhammad bin Sirin, ada Lagi tabiin yang membolehkan bai al-urbun
seperti Mujahid bin Jabir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid, Beliau (Mujahid) berkata: “Boleh
hukumnya jual beli memakai Uang Panjar.”
 Dari kalangan Imam Mazhab
Pendapat yang membolehkan dikalangan Imam Mazhab hanya Imam Ahmad
bin Hambal. Menurutnya, Al-Urbun’ hukumnya boleh, imam Ahmad tidak
mnyebutkan dalil untuk mendukung pendapatnya tersebut selain dalil yang
diinisbatkan kepada Umar bin Khattab. Hal ini sebagaimana telah dikemukakan
diatas.
Al-Urbun’ menurut ulama Hanabillah termaksud jenis jual beli yang
mengandung kepercayaan dalam bermuamalah, yang hukumnya diperbolehkan
atas dasar kebutuhan menurut pertimbangan ‘urf (adat kebiasaan).
Ibnu Qudamah salah seorang ulama Hanabilah dalam Al-Mughni yang
mendefinisikan bai al-urbun sebagai berikut : “Seseorang membeli barang,
kemudian dia menyerahkan dirham (uang) kepada penjual sebagai uang panjar.
Jika ia jadi membeli barang itu, maka uang itu dihitung dari harga barang.
Akan tetapi jika tidak jadi membelinya, maka uang panjar itu menjadi milik
penjual”
Menurut Imam Ahmad, selain Umar yang membolehkan, Ibnu Sirin dan Sa’id
bin al-Musayyab juga membolehkan bai al-urbun. Menurut hadist yang
melarang bai’ al-urbun adalah Hadist Dhai. Karena terdapat hadits shahih yang
membolehkannya, seperti Hadist riwayat Nafi bin Abd al-Haris . (Hidayat,
2015: 208)
Madzahab hambali Memandang urbun sebagai sesuatu yang sah dan tidak
bertentangan dengan hukum Islam dan memandang Hadist yang melarang urbun
kedudukannya Lemah. Menurutnya jual beli urbun adalah sudah menjadi adat
(urf) dalam transaksi jual beli dalam dunia bisnis ataupun perdagangan.
Pemayaran uang muka (urbun) tersebut dijadikan buffer atas kemungkinan
kerugian yang diderita oleh penjual. (Harun, 2017: 73)
b) Pendapat Ulama yang Tidak Membolehkan Bai al-Urbun
Pendapat ulama yang tidak membolehkan (melarang) diantaranya adalah
jumhur (Mayoritas ulama selain Imam Ahmad) yang terdiri dari Imam Abu Hanifah
dan para Muridnya, Imam Malik, dan Imam Syafi’i.
Menurut Imam Abu Hanifah dan para muridnya sebagaimana dikemukakan
dalam kitab Fatawa al-Safdiy bai al-urbun termasuk kedalam jual beli yang fasid
(rusak).
Imam Malik berpendapat sebagaimana dikemukakan dalam kitab Al-Tahnid
karya Abu Amr bin Abd al-Barr bai al-urbuntermasuk kedalam jual beli yang batal.
Abu umar berkata:”kelompok ulama Hijax dan irak, di antaranya adalah imam
Syafi’i, Tsauri, Imam Abu Hanifah, Al-Auza’i dan Al-Laits, menyebutkan bahwa bai’
al-urbun termasuk jual beli mengandung judi, penipuan,dan memakan hara tanpa ada
pengganti (imbalan) dan juga bukan termasuk hibah. Oleh karena itu, hukum bai, al-
urbun adalah batal menurut kesepakatan ulama.
Imam syafi’i berpendapat sebagaimana dikemukakan dalam kitab Al-Majmu
karya An-Nawawi bai’ al-urbun termasuk kedalam jual beli yang batal. Dalam hal ini
beliau sependapat dengan imam Malik.
‘Illat yang terdapat dalam larangan bai’ al-urbun adalah karena terdapat dua
syarat yang dipandang fasid(rusak), yaitu adanya syarat uang muka yang sudah
dibayarkan kepada penjual itu hilang (tidak bisa kembali) bilamana pembeli tidak jadi
membeli barang tersebut, mengembalikan barang kepada si penjual, jika penjualan di
batalkan. (Hidayat, 2015: 213)
Inilah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan
Syafi’iyyah. Al Khothobi menyatakan, “Para ulama berselisih pendapat tentang
kebolehan jual beli ini. Malik, Syafi’i menyatakan ketidaksahannya, karena adanya
hadits dan karena terdapat syarat fasad dan Al Ghoror. Juga hal ini masuk dalam
kategori memakan harta orang lain dengan bathil. Demikian juga Ash-habul Ra’yi
(madzhab Abu Hanifah) menilainya tidak sah. (Sarwat, 2009: 142)
3. Terminasi Akad melalui Urbun
Boleh jadi pula suatu akad disertai semacam tindakan hukum para pihak yang
memberikan kemungkinan kepada masing-masing untuk memutuskan akad bersangkutan
secara sepihak dengan memikul suatu kerugian tertentu. Ini tercermin dalam pembayaran
apa yang dalam hukum islam dinamakan Urbun (semacam uang panjar/cekram).
Dikalangan ahli-ahli hukum islam pra modern, Urbun merupakan institusi yang
diperdebatkan apakahsah atau bertentangan dengan hukum islam. Jumhur (mayoritas) ahli
hukum islam pra modern berperndapan bahwa Urbun tidak sah menurut hukum islam.
Dilain pihak, mazhab Hambali termasuk Imam Ahmad sendiri memandang Urbun sebagai
suatu yang sah dan tidak bertentangan dengan hukum islam . Ahli-ahli hukum islam
kontemporer dan Lembaga Fikih islam memandang menerima Urbun sebagai suatu yang
tidak bertentangan dengan hukum islam, dengan alasan bahwa hadis Nabi SAW yang
digunakan untuk melarang Urbun tidak sahih sehingga tidak dapat menjadi hujah.

Beberapa KUH perdata dinegara-negara islam yang didasarkan kepada hukum


Syariah juga menerima pandangan Hambali ini yang di anggap Urbun sesuatu yang sah.
Dalam kitab undang-undang hukum muamalat Uni Emirat Arab pasal 148 dan kitab undang-
undang hukum perdata Irak Pasal 92 ditegaskan:

a) Pembayaran Urbun dianggap bukti sebagai bukti bahwa akad telah final dimana
tidak boleh ditarik kembali keculi apabila ditentukan lain dalm ppersetujuan atau
akadd kebiasaan.
b) Apabila kedua belah pihak sepakat bahwa pembayaran Urbun adalah sebagao sansi
pemutusan akad,maka masing-masing pihak mempunyai hak menarik kembali akad;
apabila yang memutuskan akad adalah yang membayar Urbun, ia kehilangan Urbun
tersebut dan apabila yang memutuskan akaad adalah pihak yang menerima urbun ia
mengembalikan Urbun ditambah sebesar jumlah yang sama.
Ketentun ini memerlihatkan adanya dua tujuan Urbun. Pertama Urbun yang dimaksud
sebagai bukti untuk memperkuat akad dimana akad tidak boleh diputuskan secara sepihak
oleh salah satu pihak dimana selama tidak ada persetujuan adat kebiasaan yang menentukan.
Dengan demikian, Urbun merupakan bagian dari pelaksanaan perikatan salah satu pihak, dan
merupakan bagian pembayaran yang di percepat. Kedua Urbun juga dimaksud sebagai
pemberian hak kepada masing-masing pihak untuk memutuskan akad sepihak dalam jangka
waktu yang ditentukan dalam Adat kebiasaan atau yang disepakati oleh para pihak sendiri
denganimbalan Urbun yang dibayarkan. Apabila yang memutuskan akad adalah pihak
pembayar Urbun,maka ia kehilangan Urbun tersebut(sebagai konpensasi
pemutusan/pembatalan akad) yang dalam waktu yang sama menjadi hak penerima Urbun.
Sebaliknya, apabila yang memutuskan atau membatalkan akad adalah pihak yang menerima
Urbun atau penerima Urbun, ia wajib mengembalikan Urbun yang telah dibayar mitranya, di
samping tambahan sebesar jumlah Urbun sebagai konpensasi kepada mitranya atas tindakan
membatalkanakad.

Pasal di atas dengan kedua Ayatnya memperlihatkan Bahwa pembayaran Urbun pada asasnya
dimaksudkan sebagai bukti penguat atas akad dimana tidak boleh ditarik kembali tanpa
persetujuan pihak lain, sebagaimana tampak jelas dalam ayat satu. Sedangkan ayat kedua
adalah penyimpangan( perkecualian) dari asas diatas, yaitu bahwa pembayaran Urbun
dimaksud sebagai penegasan hak untuk membatalkaan akad secara sepihak sehingga itu harus
dilakukan berdasarkan kesepakatan secara tegas atau secara diam-diam.

Dari apa yang dikemukakan diatas tampak bahwa akad yang semula mengikat bagi kedua
pihak berubah menjadiakad yang tidakmengikat karena adanya Urbun yang ditunjukan untuk
menjadi imbalan atas pemutusan akad secara sepihak. Dengan demikian, tampak pula bahwa
Urbun merupakan sarana melalui pemutusan akad dilakukan.

Di Indonesia, dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) dikenal juga suatu institusi
serupa Urbun dan disebut uang muka. Pembayaran uang muka ini dapat diberlakukan dalam
akad pembiayaan murabahah antara sebuah Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan
nasabahnya. Ketentuannya disebutkan pada angka 7 dari amar kedua Fatwa DSN yang
berbunyi:
7 Jika uang muka memakai kontrak Urbun sebagai alternatif uang muka, maka :

a) Jika nasabah memutuskan untuk membelibarang tersebut, ia tinggal membayar sisa


harga;
b) Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar
kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka
tidak mencukupi nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Tampaknya konsep Urbun (uang muka) dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional ini
lebih cocok dikualifikasikan sebagai ganti rugi berdasarkan kesepakatan dengan pembayaran
awal daripada Urbun dengan alasan dibawah ini:
a) Pemotongan Urbun (uang muka) oleh LKS dalam hal nasabah membatalkan akad
murabahah didasarkan pada besarnya kerugian yang dialaminya, sehingga apabila
Urbun itu lebih besar dari kerugian LKS, sisanya dikembalikan kepada nasabah dan
apabila kebih kecil, LKS dapat meminta tambahan kekurangannya.
b) Dalam konsiderannya, DSN tidak menyinggung hadis larangan Urbun.
c) Sebaliknya Fatwa tersebut mengutip hadis tentang syarat pejanjian, “ kaummuslimin
setia kepada syarat-syarat mereka,” dan hadis tentang ganti rugi, “Tidak Boleh
merugikan diri sendiri dan tidak boleh merugikan orang lain. (Anwar, 2010: 347)
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Enang. 2015. Fiqih Jual Beli. Bandung: PT Remaja Rosdakaya.


Nawawi, Ismail. 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia.
Anwar, Syamsul. 2010. Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat. Jakarta: Rajawali Press.
Harun. 2017. Fiqh Muamalah. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Sarwat, Ahmad. 2009. Seri Fiqih Islam Kitab Muamalat. Surabaya: Penerbitan Rumah Fiqih.

Anda mungkin juga menyukai