Anda di halaman 1dari 11

SUBULUS SALAM

SYARAH BULUGHUL MARAM

IMAM ASH-SHANANI
1.KITAB JUAL BELI - BAB KHIYAR
Khiyar artinya mencari yang terbaik dari dua pilihan, antara
meneruskan atau membatalkan jual beli. Dalam bab ini penulis
menyebutkan macam-macam khiyar yaitu khiyar majlis dan khiyar
syarat.

Terjemahan Hadits
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, "Apabila dua orang melakukan jual beli, maka
masing-masing dari keduanya mempunyai hak khiyar (memilih antara
membatalkan atau meneruskan jual beli) selama mereka belum
berpisah atau masih bersama; atau jika salah seorang di antara
keduanya menentukan khiyar kepada yang lainnya. Jika salah seorang
menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual beli atas dasar
itu, maka jadilah jual beli itu. Jika mereka berpisah setelah melakukan
jual beli dan masing-masing dari keduanya tidak mengurungkan jual
beli, maka jadilah jual beli itu." (Muttafaq Alaih, dan lafazh hadits ini
menurut riwayat Muslim)

Penjelasan hadits
Dalam hadits terdapat petunjuk adanya khiyar majlis bagi kedua
pihak pelaku jual beli sampai keduanya berpisah badan. Ulama
1 | Studi Hadits_Subulus Salam

berbeda pendapat tentang keberadaannya menjadi dua pendapat,


yaitu:
Pertama, tetap hukumnya, inilah pendapat sekelompok sahabat di
antaranya Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dan lainnya.
Itu juga yang dipegang oleh kebanyakan kalangan tabi'in dan AsySyafi'i,

Ahmad,

Ishaq

dan

Imam

Yahya

mereka

mengatakan:

perpisahan yang membatalkan khiyar yaitu sesuatu yang dinamakan


perpisahan secara adat kebiasaan. Seperti dalam rumah yang sempit
dengan cara salah seorang keluar darinya, dan dalam rumah yang
besar dengan cara berpindah dari tempatnya ke tempat yang lain
dengan

dua

langkah

atau

tiga

langkah.

Perpisahan

tersebut

ditunjukkan dengan perbuatan Ibnu Umar yang terkenal. Bila kedua


pihak semuanya berdiri dan pergi bersama-sama maka hak khiyar
(pilih) tetap ada. Madzab ini berargumentasi dengan hadits yang
Muttafaq Alaih ini.
Kedua,

pendapat

Al-Hadawiyah,

Al-Hanafiyah,

Malik

dan

Al-

Imamiyah yang mengatakan tidak ada khiyar majlis. Bahkan saat


kedua pelaku akad berpisah secara percakapan, maka tidak ada khiyar
kecuali apa yang disyaratkan. Berargumentasi dengan firman Allah:

{
}
Artinya: Jual beli atas suka sama suka (QS. An-Nisaa: 29 )
Dan firman Allah:

{}
Artinya: Dan persaksikanlah saat kalian berjual beli" (QS. Al-Baqarah:
282)
Mereka mengatakan: persaksian bila terjadi setelah berpisah badan
tidak sesuai dengan perintah Allah, dan bila terjadi sebelumnya maka
tidak tepat pada tempatnya.
Sedangkan hadits:
2 | Studi Hadits_Subulus Salam


Artinya: "Apabila berbeda pendapat kedua pelaku jual beli maka
ucapan yang diterima yaitu ucapan penjual", belum diperinci.
Pendapat di atas dijawab sebagai berikut:
Ayat tersebut masih mutlak dikhususkan dengan hadits seperti
khiyar syarat. Begitu pula halnya hadits dan ayat persaksian
dimaksudkan saat akad jual beli. Hal tersebut tidak menafikan adanya
khiyar majlis seperti halnya tidak menafikan semua jenis khiyar.
Mereka mengatakan: hadits tersebut mansukh (terhapus) dengan
hadits:


Artinya: "Kaum muslimin sesuai dengan syarat mereka."

Maka khiyar setelah terjadi jual beli akan merusak syarat, tapi dapat
dibantah bahwa pada asalnya tidak dinaskh (dihapus) dan tidak
ditetapkan dengan sekadar kemungkinan. Mereka mengatakan: karena
dari riwayat Malik dan tidak dapat diamalkan. Pendapat tersebut
dijawab

bahwa

perbedaan

sikap

perawi

tidak

mengharuskan

meninggalkan riwayatnya. karena amal perbuatannya berdasarkan


atas hasil ijtihadnya dan terkadang dia melihat hal yang lebih kuat
menurutnya dari hal yang dia riwayatkan walaupun tidak kuat dalam
hal yang sama.
Mereka mengatakan bahwa hadits ini diperuntukkan bagi kedua
pihak yang saling menawar sebagaimana banyak digunakan bentuk
penawaran penjual seperti itu. Penulis menjawab bahwa hal tersebut
bersifat mutlak dan majazi, sedangkan pada asalnya merupakan
kebenaran yang sebenarnya. Disanggah juga, bahwa hal tersebut
mengharuskan mengartikan secara majaz sesuai dengan pendapat
pertama. Bila hal tersebut dimaksudkan dengan berpisah badan
setelah selesai ucapan akad telah lewat sebagai bentuk majaz di
waktu lampau. Sanggahan tersebut dijawab, bahwa kami tidak
3 | Studi Hadits_Subulus Salam

menerima sebagai bentuk majaz waktu lampau, justru merupakan


hakekat seperti pendapat Jumhur ulama yang berbeda halnya dengan
bentuk masa depan yang merupakan bentuk majaz yang disepakati.
Mereka mengatakan, maksud berpisah dengan perkataan dan
maksud berpisah di sini berupa perpisahan antara perkataan penjual
"aku jual dengan harga sekian" atau perkataan pembeli "aku beli".
Mereka mengatakan, maka pembeli mempunyai hak khiyar pada
perkataannya: "aku beli" atau dia meninggalkannya. Dan penjual
mempunyai hak khiyar sampai pembeli mewajibkan jual beli. Tidak
dipungkiri

lagi

kelemahan

dan

kebatilan

pendapat

ini.

Karena

mengabaikan faedah hadits yang sudah diyakini setiap penjual atau


pembeli dalam gambaran khiyar ini bahwa tidak ada transaksi dari
keduanya. Sehingga khiyar tersebut menghilangkan faedah dan lafazh
hadits tertolak. Maka pendapat yang benar adalah pendapat pertama.

Komentar Tentang Penjelasan Hadits Tersebut


Menurut pendapat saya penulisan Hadits di atas menggunakan
metode

Tahlili

dan

Kontemporer,

karena

dari

hadits

tersebut

menganalisa atau menguraikan kata per kata dari segala aspeknya.


Dan kata tersebut juga berurutan. Dan banyak sekali orang yang
menggunakan jual beli khiyar dari dulu sampai sekarang.

2.KITAB JUAL BELI BAB SALAM


Terjemahan Hadits
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, "Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa
meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu
beliau bersabda, "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya
ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu."
(Muttafaq Alaih).
4 | Studi Hadits_Subulus Salam

Penjelasan Hadits
Kata 'salaf sama dengan 'salam', baik secara wazan [timbangan
kata] maupun makna, yakni pesanan. Disebutkan bahwa kata salam
merupakan bahasa penduduk Iraq, sedangkan kata salaf merupakan
bahasa penduduk Hijaz. Adapun menurut istilah, kata salam adalah
transaksi jual beli dengan cara menyebutkan sifat barang yang
dipertanggungkan
sedangkan

dengan

pembayaran

penyerahan

dilakukan

pada

barang

yang

saat

transaksi.

ditunda,
Salam

diperbolehkan dalam Islam, kecuali pendapat Ibnul Musayyib -yang


menyatakan tidak boleh-. Ulama sepakat perihal syarat yang harus
ada dalam transaksi salam ini sebagaimana syarat dalam jual beli
lainnya dengan menyerahkan modal pokok saat terjadinya akad.
Hanya saja Imam Malik membolehkan pembayarannya ditunda sehari
atau dua hari, dan barang yang dijualbelikan dengan cara seperti ini
harus dapat ditentukan dengan salah satu ukuran [takaran atau
ukuran], sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. Bila barang
tersebut tidak termasuk barang yang dapat ditakar atau ditimbang,
maka penulis dalam kitab Fath Al-Bari mengatakan bahwa barang
tersebut termasuk jenis barang yang dapat diketahui jumlahnya. Hal
tersebut diriwayatkan dari Ibnu Baththal, dan ia menganggap sebagai
bagian dari ijma' ulama.
Penulis juga mengatakan, "Atau diukur dengan dzira' (hasta)",
karena -ukuran- dengan kadar jumlah dan dzira' berkesesuaian dalam
timbangan dan takaran, yakni yang jelas dapat menghilangkan
ketidakjelasan pada kadar atau ukuran barang. Mereka juga sepakat
pada penentuan syarat kejelasan takaran pada barang yang dapat
ditakar, seperti sha' bagi penduduk Hijaz, Qafiz bagi pendudukan Irak,
dan Irdab bagi penduduk Mesir. Bila bentuk takaran disebutkan secara
mutlak, maka pengertiannya beralih kepada bentuk umum akad
salam. Mereka juga sepakat harus diketahui sifat barang yang dipesan,
sehingga dapat membedakan antara barang tersebut dengan barang
5 | Studi Hadits_Subulus Salam

yang lain. Hal tersebut tidak menyelisihi hadits di atas sebab mereka
berusaha mengamalkannya.
Zhahir hadits menunjukkan bahwa penundaan pembayaran sebagai
syarat sah jual beli dengan salam, bila dibayar secara kontan atau
untuk tempo yang tidak dimengerti maka tidak sah. Inilah pendapat
yang dipegang oleh Ibnu Abbas dan sekolompok ulama salaf,
sedangkan pendapat yang lainnya meniadakan penentuan syarat
tersebut dan dibolehkan salam secara kontan.
Jadi, dalam hadits ini dapat diketahui bahwa pada zaman Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam transaksi salam tidak terjadi kecuali
dengan pembayaran yang ditunda, sedangkan pembayaran secara
kontan

disamakan

dengan

pembayaran

secara

tunda,

dan

ini

merupakan hasil qiyas yang bertentangan dengan qiyas itu sendiri.


Karena salam menyelisihi qiyas itu sendiri, sebab salam merupakan
jual beli yang tidak ada barangnya dan sebagai akad gharar (tidak
jelas). Diperdebatkan juga oleh ulama perihal pensyaralan tempat
dilakukannya

serah

terima. Sebagian

ulama

mengharuskan

hal

tersebut dengan mengqiyaskannya dengan takaran, timbangan dan


pembayaran yang ditunda. Sedangkan ulama yang Lainnya tidak
mengharuskan penentuan syarat seperti itu. Adapun kalangan AlHanafiyah cenderung untuk membahasnya dengan lebih rinci; bila
membawanya membutuhkan beban biaya maka perlu disyaratkan saat
transaksi. Akan tetapi, bila tidak ada biaya, maka tidak perlu
disyaratkan. Menurut kalangan Asy-Syafi'iyah, bila akad di tempat
yang tidak layak untuk diadakan serah terima seperti di jalan maka
harus disyaratkan, bila tidak maka ada dua pendapat. Semua rincian
ini bersandarkan pada 'urf (adat kebiasaan) saja.
Komentar Tentang Penjelasan Hadits Tersebut
Dari uraian hadits di atas menurut saya metode yang di gnakan
dalam Hadits tersubut adalah metode Klasik, karena pada zaman Nabi
dulu

penduduknya

meminjamkan

banyak

buah

6 | Studi Hadits_Subulus Salam

tersebut

yang

berkebun

kepada

buah

masyarakat

dan

mereka

dalam

bentuk

takaran, timbangan, dan sampai berlanjut sampai pada zaman


sekarang dengan lebih modern lagi.

3.Kitab Jual Beli Bab Persekutuan (Syarikah)


Terjemahan Hadits
Dan dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu Anhu, ia berkata, "Saya
bersekutu dengan Ammar dan Sa'd dalam harta rampasan yang kami
peroleh dari perang Badar. (HR. An-Nasai)

Penjelasan Hadits
Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan sahnya
berserikat dalam hal mata pencaharian yang disebut sebagai syarikah
abdan.

Adapun

bentuk

dari

syarikah

ini

adalah

setiap

pihak

mewakilkan mitranya untuk menerima dan bekerja atas namanya


dalam hal tertentu, sedangkan keduanya menentukan jenis usahanya.
Sebagian besar kalangan Al-Hadawiyah dan Abu Hanifah berpendapat
bahwa bentuk syarikah seperti ini hukumnya boleh [sah]. Sedangkan
Asy-Syafi'i berpendapat bahwa hal tersebut tidak sah dengan alasan
karena syarikah seperti ini terbangun atas ketidakjelasan ketika
keduanya

tidak

dapat

memastikan

mendapat

keuntungan

dan

kemungkinan adanya rintangan dalam bekerja. Pendapat ini juga


didukung oleh Ibnu Tsaur dan Ibnu Hazm.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa berserikat dengan badan pada
asalnya tidak boleh dalam bentuk apapun, dan bila hal tersebut terjadi
maka dianggap batil sehingga tidak mempunyai sifat yang mengikat.
Setiap orang dari keduanya memperoleh hasil sesuai upaya yang
dilakukannya, bila keduanya membagi dua bagian maka wajib
diputuskan kadar bagian yang diambilnya, karena syarat yang tidak
sesuai apa yang telah ditentukan kitab Allah, maka kedudukannya
batal secara hukum. Adapun hadits Ibnu Mas'ud merupakan riwayat
dari anaknya yaitu Abu Ubaidah bin Abdillah yang termasuk bentuk
7 | Studi Hadits_Subulus Salam

khabar

yang

muncjathi'

[terputus].

Karena

Abu

Ubaidah

tidak

menyebutkan dari bapaknya sedikit pun, sedangkan kami telah


meriwayatkannya dari jalur Waqi' dari Syu'bah dari Amr bin Murrah. Ia
berkata,

'Aku

berkata

kepada

Abu

Ubaidah,

"Apakah

engkau

mengatakan sesuatu dari Abdullah?" Dia menjawab, "Tidak." Kalaulah


kabar tersebut benar maka menjadi dalil bagi pihak yang memandang
sah bentuk serikat seperti ini. Karena mereka orang pertama yang
bersama kita, dan umat Islam yang menyatakan bahwa berserikat
seperti ini tidak dibolehkan serta para pasukan tidak dapat menyendiri
menerima hasil rampasan, kecuali harta yang dipakai orang yang
tertawan bagi pejuang yang membunuh disertai dengan adanya
perbedaan pendapat dari para ulama. Bila hal tersebut dilakukan maka
termasuk bentuk perilaku pencurian (ghulul) dan dosa besar. Karena
bentuk serikat seperti ini bila dibenarkan oleh hadits tersebut, maka
telah dibatalkan oleh Allah Ta'ala yang telah menurunkan firman-Nya:

}

{




Artinya: "Katakanlah, "Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan


Rasul." (QS. Al-Anfal: 1)
Allah membatalkan hal tersebut, kemudian Nabi Shallalahu Alaihi wa
Sallam membaginya kepada para pasukan yang berjihad.
Kemudian kalangan Al-Hanafiyah tidak membolehkan berserikat
dalam berburu, sedangkan kalangan Al-Malikiyah tidak membolehkan
bekerja dalam dua tempat. Bentuk serikat seperti ini sebagaimana
dalam hadits tidak dibolehkan menurut kalangan mereka.
Ulama membagi bentuk serikat menjadi empat bagian yang
dipaparkan panjang lebar dalam buku-buku mereka. Ibnu Baththal
mengatakan, "Ulama sepakat bahwa bentuk serikat yang benar
hendaknya tiap pihak mengeluarkan modal seperti yang dikeluarkan
mitranya

kemudian

dicampur

hingga

tidak

dapat

dibedakan.

Selanjurnya harta tersebut diinfestasikan oleh keduanya, hanya saja


masing-masing pihak menempati posisi mitra kerjanya yang disebut
sebagai

syarikat

'Inan.

Disahkan

pula

bila

salah

satu

pihak

mengeluarkan modal yang lebih kecil dibandingkan mitra kerjanya,


8 | Studi Hadits_Subulus Salam

sedangkan keuntungan dan kerugian disesuaikan dengan kadar modal


yang diberikan. Begitu pula halnya bila keduanya sama-sama membeli
barang dagangan atau salah satu pihak menjual lebih banyak
dibandingkan yang lain. Sehingga dapat disimpulkan setiap orang
menerima keuntungan dan kerugian sesuai kadar harga yang telah
dibayarkan. Lebih jelasnya, bila kedua pihak mencampur kedua modal
maka menjadi kesatuan bersama, kapan saja keduanya menjual dari
harta tersebut maka hasilnya dibagi antara keduanya. Dan bila hal
tersebut merupakan bagian harga dan keuntungan atau kerugiannya,
maka dibagi pula bagi keduanya, begitu pula dengan barang
dagangan yang dibeli sebagai ganti harga yang dimiliki.

Komentar Tentang Penjelasan Hadits Tersebut


Metode yang diguanakan dalam Hadits di atas menggunakan
metode klasik, karena harta rampasan perang hanya banyak terjadi di
zaman Nabi dan zaman sekarang harta rampasan perang sudah jarang
sekali, karena di Indonesia sendiri jarang terjadi perang bahkan tidak
ada.

4. Kitab Jual Beli Bab Qiradh (Memberikan Modal Kepada


Seseorang, Hasilnya Dibagi Dua)

Qiradh menurut bahasa penduduk Hijaz artinya mu'amalah seorang


pekerja dengan menentukan bagian keuntungannya. Disebut juga
dengan Mudharabah yang terambil dari kata Dharab fil Ardhi (berjalan
di muka bumi) karena keuntungan didapat dengan bepergian atau bisa
juga

dari

ad-dharbufil

mal

(menggunakan

harta)

yang

berarti

bertransaksi.

Terjemahan Hadits

Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu Anhu bahwa disyaratkan bagi

seseorang yang memberikan modal sebagai qiradl, yaitu: Jangan


menggunakan modalku untuk barang bernyawa, jangan membawanya
9 | Studi Hadits_Subulus Salam

ke laut, dan jangan membawanya di tengah air yang mengalir. Jika


engkau melakukan salah satu di antaranya, maka engkaulah yang
menanggung modalku. (HR. Ad-Daraquthni dengan perawi-perawi
yang dapat dipercaya).

Penjelasan Hadits
Tidak ada perbedaan pendapat tentang bolehnya Qiradh, dan hal
tersebut termasuk perilaku orang jahiliah yang ditetapkan oleh agama
Islam. Qiradh termasuk jenis peminjaman, hanya saja ditoleransi di sini
sisi ketidakjelasan upah. Seakan keringanan tersebut berupa sikap
lembut terhadap manusia. Qiradh mempunyai rukun dan syarat-syarat
tertentu.
Rukun-rukunnya yaitu: akad dengan adanya ijab qabul (serah
terima) atau yang semakna dengannya yang berupa transaksi antara
orang yang boleh membelanjakan hartanya, hanya saja dikecualikan
transaksi tersebut dari seorang muslim kepada orang kafir terhadap
harta secara kontan sebagaimana pendapat jumhur ulama. Qiradh
juga mempunyai beberapa hukum di antaranya:
Ketidakjelasan upah dimaafkan di sini.
Tidak ada beban tanggungan bagi pelaksana investasi terhadap
kerugian

yang

terjadi

pada

modal

selama

tidak

teledor

melaksanakannya.
Ulama berbeda pendapat bila berupa hutang, jumhur ulama
melarang hal tersebut. Sebab dengan adanya hutang pelaksana
investasi

mendapat

kesulitan

sehingga

pemberian

upah

atas

keuntungan yang ada menjadi bentuk riba yang dilarang. Dikatakan


bahwa sesuatu yang masih dalam tanggungan tidak berubah dari
tanggungan sehingga menjadi bentuk amanat saja. Dikatakan, sesuatu
yang masih dalam benak tanggungan bukan sesuatu yang ada secara
hakiki sehingga belum jelas menjadi harta investasi.
Termasuk syarat mudharabah berupa harta dari pihak pemegang
modal. Ulama sepakat bila salah satu pihak menentukan syarat
keuntungan bagi dirinya secara berlebihan dan tertentu, maka tidak
dibolehkan dan dianggap tidak ada (batal).
10 | Studi Hadits_Subulus Salam

Hadits Hakim menunjukkan bolehnya pemilik modal memblokir


perilaku pelaksana modal sesuai kehendaknya bila menyelisihi, maka
dia menanggung akibat yang terjadi berupa kerugian. Bila modal bisa
diselamatkan, maka mudharabah tetap berlangsung selama masih
dipelihara. Apabila syarat tersebut tidak bermuara pada penjagaan
harta, atau justru berupa perniagaan seperti agar tidak membeli jenis
tertentu dan tidak menjual kepada pihak tertentu maka itu merupakan
bagian sikap yang berlebihan bila dilanggar. Bila pemilik modal
membolehkan maka jual beli dapat dilanjutkan, tetapi bila tidak ada
izin darinya maka jual beli tidak terlaksana.

Komentar Tentang Penjelasan Hadits Tersebut


Menurut penelitian dari hadits tersebut metode yang di pakai dalam
penulisan Hadits di atas menggunakan metode Kontemporer, karena di
zaman sekarang banyak sekali orang yang menggunakan juak beli
salam dalam kehidupan sehari-hari karena lebih memudahkan dalam
perniagaan.

11 | Studi Hadits_Subulus Salam

Anda mungkin juga menyukai