Anda di halaman 1dari 12

ROMANTISME

1. Latar Belakang Peradaban Romantisme


Napoleon dikalahkan di Waterloo dan diasingkan ke Pulau Elba, kemudian St Helena. Dinasti
Boubone berkuasa lagi di Perancis, Louis XVIII menempati tahta di Paris. Kemudian di Wina
diadakan kongres yang bertujuan untuk menata ulang batas-batas negara di Eropa yang telah
diporakporandakan oleh Napoleon. Perkembangan ekonomi yang pesat memunculkan
kelompok masyarakat kelas menengah yang mapan dan sejahtera, kelompok masyarakat ini
tidak terlalu rewel dalam selera, dan bersedia menerima barang-barang imitasi.

Di Inggris muncul gaya yang merujuk pada Gotik, di daratan Eropa Rokoko digemari lagi.
Kerung-kerung dan busur-busur luwes namun ruwet yang menggantikan garis-garis lurus yang
tadinya terdapat pada mebel Empire. Muncul kembali motif bunga-bunga dan diperkaya
dengan ikatan-ikatan pita serta untaian-untaian tassel. Dengan demikian periode Romantisme
dimulai. Gaya kelas menengah yang menghadirkan suasana romantis dibagi dalam tiga
periode:

 Biedermeyer 1815 – 1841


 Crinoline 1841 – 1870
 Bustle 1870 – 1890

Tokoh-tokoh dan bangunan pada periode Romantik antara lain :

 Gedung Westminter Abbey, menara lonceng Big Ben, dan House of Parliament di London.
 Seni lukis : Eugene Delacroix.
 Seni musik : Franz Schubert, Robert Schumann, Felix Mandelssohn, dan Frederic Chopin.
 Seni sastra : Emil Zola, Victor Hugo, dan Sie Walter Scott.

2. Tata Busana Romantisme


Tata busana periode Romantik tidak lagi mengacu pada gaya Empire dan Dunia Kuno. Dalam
periode ini, garis pinggang kembali pada tempatnya sehingga kembali menggunakan korset,
rok kembali melebar, hiasan pita-pita, renda-renda, dan kerut-kerut kembali digemari.

a. Biedermeyer (1813 -1841)


Gaya biedermeyer menampilkan perempuan romantis dan laki-laki tampan. Perempuan adalah
sosok ibu rumah tangga dan laki-laki adalah sosok ramah dan elegan. Secara umum, bentuk
dan detail kostum gaya biedermeyer ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
 Rok-rok lebar didapat dari berlapis-lapis rok dalam, kadang mencapai tiga belas lapis.
 Rok tidak terlalu panjang sehingga celana dalam panjang yang dihias bordiran dan renda
pantelette terlihat sedikit.
 Bagian bawah yang lebar diikuti juga bagian atas yang melebar namun garis bahu tidak
diperlebar.
 Bentuk leher sedemikian lebar, hingga akhirnya menjelma menjadi cape (cape pellerine).
 Lengan juga sangat bervolume, berbentuk puff, dan mengecil pada bagian pergelangan
dikenal dengan nama gigot (manche a gigot). Kemudian berbentuk seperti kaki domba.
Kerung lengan semakin turun mencapai siku.
 Perpaduan anatara rok yang sangat lebar, pinggang yang ramping, dan bagian atas yang
lebar, memunculkan siluet jam pasir atau hour glass.
 Untuk gaun malam, kerung leher dibuat rendah dan dihias dengan pita-pita lebar berkerut
dan renda (decolette). Aksesori yang penting adalah kipas tangan dan buket tangan.
 Topi dengan pinggiran yang sangat lebar seperti atas capeline, dihias dengan sangat merah
berbagai pita, bunga-bunga, dan lambaian bulu-bulu burung. Tata rambut mulai mengenal
alat pengeriting (krultang).
 Jas penghangat tubuh dan jas resmi lainnya juga menampilkan bagian bawah yang
dipotong melingkar dan senantiasa dilengkapi dengan cape atau pellerine.
 Rompi pendek juga menjadi pelengkap pakaian pria (gilet).
 Tutup kepala berbentuk tinggi.
 Gaya biedermeyer mencapai puncaknya pada masa ratu Victoria bertahta tahun 1840-
1900, hingga dikenal juga dengan nama periode Victoria.

b. Crinoline (1841 - 1870)


Pakaian perempuan tidak lagi ringan hingga menyerupai baju balet. Rok dibuat sedemikian
lebar dan garis tubuh bagian atas kembali menunjukan garis alami. Secara umum bentuk dan
detail busana periode crinoline ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

 Siluet jam pasir berubah menjadi siluet tutup teko teh karena bentuk rok yang sedemikian
lebar.
 Crinoline, kerangka untuk menahan lebarnya rok yang sangat mengembang, konstruksi
terbuat dari lingkaran-lingkaran bambu, rotan, pegas-pegas kawat yang semakin lebar
kebawah.
 Jas-jas longgar berupa corong diganti dengan scarf raksasa yang dilipat segi tiga.
 Topi cepeline diganti dengan topi capote kecil yang diikat dengan pita sutra pada dagu.
 Bagian rok dibagi dalam bidang-bidang horizontal, serupa pita-pita lebar dan volants masa
Rokoko. Pita-pita lebar horizontal ini semakin hari semakin banyak. Konon dari crepe
memiliki lima belas, organdi delapan belas, dan dari muslin dua puluh lima susunan pita
lebar.
 Efek pita lebar ini diulang pada kerung leher bertha, pada bahu dan juga pada lengan yang
berbentuk corong.
 Hadir Charles Frederic Worth, sebagai perancang permaisuri kaisar Napoleon III, Eugenie.
 Bahan pakaian wanita menjadi sangat mahal, sutra, satin untuk sehari-hari, tafeta, damast,
crepe de chine, dan muslin tipis.
 Pakaian laki-laki masih dengan setelan rapi dan sangat ketat dipinggang.
 Penggunaan topi selang seling antara topi tinggi dan topi bulat.

c. Bustle (1870 - 1890)


Pakaian perempuan mengalami perubahan yang drastis, crinoline tidak lagi digemari, siluet
tudung teko teh berganti dengan siluet yang penuh di bagian belakang tubuh dengan
menggunakan bantalan-bantalan, dikenal dengan dengan siluet bustle, tournure, queue de
Paris. Bantalan pada bagian belakang tubuh di kemudian hari dibuat konstruksi kurungan
berbentuk tapak kuda, konstruksi dikenakan di atas rok-rok dalam, rok luar disusun dan
didraperi di atas konstruksi tersebut menyerupai tirai pada masa itu.

Jas kecil ketat selalu melengkapo busana bustle ini, untuk kesempatan sosial menggunakan
gaun terbuka dan tanpa lengan. Kostum laki-laki jas jelabir (pandjesjas) dengan pantalon
bergaris (jaguette) dan untuk siang hari jas panjang dipadu dengan celana kotak-kotak. Topi
tinggi masih digemari, untuk musim panas dikenakan semacam safari putih yang dilengkapi
kerah tinggi dan dipadu dengan topi jerami dan celana tiga perempat yang sportif
(knickerbockers).
DEKADE TERAKHIR ABAD KE-19 (1890-1900)
1. Latar Belakang Dekade Terakhir Abad Ke-19
Periode dekade terakhir abad ke-19 dengan nostalgia dikenang sebagai masa tradisional,
nyaman, dan damai. Pra abad ke-20 yang seringkali dipandang sebagai abad yang penuh
dengan inovasi, teknologi tinggi, dan peperangan. Dekade ini dikenal sebagai fin de sicle.

Eropa dipegang oleh lima kekuasaan :

 Dinasti Hohenzolrn menguasai Austria, yang mencakup Hongaria dan daerah-daerah


Yugoslavia.
 Dinasti Romanov, menguasai Rusia.
 Dinasti Saksen Coburg Gotha, menguasai Britania Raya.
 Dinasti Bourbone, menguasai Perancis, sesudah itu.
 Dinasti Bonaparte, menguasai Perancis.

Dalam seni rupa, kelompok Pra Raphaelit menguasai selera masyarakat, gaya seni impresionis
sangat dikagumi dan gaya ornamen Art Nouveau mulai berkembang.

2. Tata Busana Dekade Terakhir Abad XIX


Busana perempuan dekade abad terakhir abad ke-19 bersifat romantis dan penuh elaborasi.
Busana laki-laki semakin mantap ke busana modern. Melalui fin de siecle yang berpegang
teguh pada function follows form, tampil dengan penuh pesona. Periode fin de siecle
menghadirkan busana perempuan dengan pinggang ekstra ramping, rok lebar berpola klok.
Atasan sangat bidang dengan lengan puff gaya gigot.

Siluet jam pasir kembali populer dengan gaya yang berbeda dengan pemakaian korset ketat.
Tata rambut disanggul ke atas, ditutupi topi raksasa yang dihias dengan buah-buahan dan
bunga-bunga, serta bulu burung.
ABAD KE-20
1. Latar Belakang Peradaban Abad ke-20
Abad ke-20 adalah abad kebebasan, teknologi tinggi, rekayasa, adikuasa, perang kemerdekaan,
perang dingin, penjelajahan angkasa luar, pendaratan di bulan, bayi tabung, cloning, dan lain
sebagainya. Tampil juga seni lukis modern, jazz, rock, reggae, dan salsa. Tampil pula
emansipasi perempuan, demokrasi, dan pembangunan berkelanjutan. Di abad ke-20 telah
terjadi banyak hal, terutama yang bertujuan untuk lebih memanusiakan manusia.

2. Tata Busana Abad Ke-20


Dalam abad ini, mode tidak lagi menjadi ranah kaum berada. Abad ini adalah masa ketika
tokoh-tokoh Charles F. Worth, Paquin, dan Elsa Schiaparelli yang pernah mendominasi
panggung penampilan diri telah mundur untuk memberi jalan pada suatu masa yang gaya dan
penampilan dapat diperoleh dari aneka sumber, diantaranya para perancang mode, para
pengusaha mode, toko-toko serba ada, butik-butik, dan bahkan juga pedagang kaki lima.
Berbagai perubahan di bidang sosial budaya, ekonomi, dan teknologi telah menjadi sebab
terjadinya revolusi yang luar biasa dalam perilaku masyarakat berpakaian. Perilaku yang
didasari kesadaran akan arti berpakaian itu sendiri adalah mengekspresikan kepribadian diri
yang khas.

a. Edwardian (1900-1910)
Awal abad ke-20 ini masih ditandai oleh masyarakat yang mengacu pada golongan aristrokat
dalam penentuan gaya berpakaian. Di Britania Raya awal abad ini adalah akhir masa Victoria,
masa yang dikenang sebagai masa yang aman, damai, tenteram, makmur, dan sejahtera.
Brittain Rules the Waves merupakan pernyataan yang dikumandangkan ke seantero daerah
kekuasaan Ratu Victoria yang terbentang hampir di seluruh dunia. Ratu Victoria bahkan
dinobatkan sebagai Maharani India (the empress of India). India, bagi pemerintah kolonial
Britania Raya adalah sebuah permata dalam mahkotanya (the Jewel in the Crown). Namun,
masa Victorian juga ditandai dengan kehadiran cara hidup penuh kendali diri. Mode dipandang
sebagai sesuatu yang berlawanan dengan sikap penuh kendali diri tersebut.

Ketika akhirnya Edward, Pangeran dari Wales, dalam usia senja 60 tahun menduduki tahta
kerajaan Britania Raya sebagai Raja Edward VII, menggantikan ibunya, Ratu Victoria yang
mangkat pada tahun 1901, keseluruhan hidup dipenuhi kemilau, kesenangan dan kemewahan.
Masa cemerlang yang dalam sejarah dikenal sebagai masa Edwardian. Kematian Ratu Voctoria
memberikan peluang pada masyarakat penggemar mode untuk mengekspresikan diri mereka
secara optimal melalui fenomena tersebut. Bahan-bahan satin, beludru suram, damask tebal,
dan bahan-bahan kaku serta atribut-atribut Victorian lainnya disingkirkan untuk membuka
jalan bagi bahan-bahan halus ringan seperti chiffon, crepe de Chine, lace, dan lainnya.

Bahan-bahan halus tersebut diperlukan untuk menampilkan kesan modis yang ringan, gesit,
dan santai walau sebenarnya korset penahan tubuh yang dikenakan wanita sebagai baju dalam
sama sekali tidak bersifat ringan dan santai. Korset penahan tubuh yang dikenakan wanita masa
Edwardian memaksa pemakainya hadir dalam sikap dan bentuk tubuh ketat terikat
mengabaikan bentuk tubuh yang alami. Tubuh dengan bentuk ‘S’ yang termasyur itu
dihadirkan dengan gaun-gaun berpola ketat di bagian atas, namun dibagian panggul melebar
mewah. Belum pernah mode sebagai tolak ukur kesadaran sosial dan kemewahan, tampil
dengan begitu cemerlang.

Extravagance adalah suasana yang menentukan keseluruhan penampilan. Di Britania Raya,


untuk menyemarakkan masa Edwardian dan di Perancis melalui suasana la Belle Epoque
dengan kehadiran kaum aristrokat dipimpin Alexandra, permaisuri Edward VII dan di Perancis
dengan kehadiran wanita-wanita menarik kaum courtesan dan bakat-bakat teater termasyur,
Grand Cocottes seperti Sarah Bernhardt dan Lina Cavalieri. Tampil sesuai mode menjadi
keharusan bagi golongan kelas menengah yang sedang berkembang tersebut. Tujuan yang
penting adalah meningkatkan diri ke posisi sosial tertentu. Dalam hal ini mode memberi
kesempatan bagi seseorang yang menginginkan untuk digolongkan menjadi kelompok kelas
sosial tertentu.

Kehadiran kelas menengah menjadi semakin kuat menjadi sebab meningkatnya kebutuhan
akan busana modis yang tidak terlalu mahal. Berbagai busana yang selama ini dibuat, dihias,
disulam, dan diselesaikan dengan tangan mulai dihadirkan lebih praktis, dikerjakan
menggunakan mesin jahit, disajikan dalam ukuran tertentu yang siap pakai, dan dijual di toko.
Aneka aktivitas fisik yang mulai dilakukan wanita dalam awal abad ke-20 menghadirkan jenis-
jenis busana yang memadai diantaranya berbagai busana yang dirancang oleh Thomas
Burberry seperti untuk bersepeda, mengendarai mobil, dan lain sebagainya.

Walau berbagai penemuan di awal abad ke-20, seperti ditemukannya radio telegraf, lampu
pijar, dan lain sebagainya menyebabkan perkembangan teknologi, pengaruhnya pada mode
sangat lambat. Hal ini disebabkan paham yang berlaku di masa itu yang menyatakan bahwa
mode hanya hadir apabila diikuti sekelompok kecil anggota masyarakat. Hakikatnya bahkan
akan hancur apabila dikomunikasikan ke khalayak ramai. Jadi apabila disebarluaskan ke
masyarakat, maka fenomena tersebut bukan lagi menjadi kegemaran kelas atas, sehingga
dengan demikian tidak bisa disebut mode.

Sekitar tahun 1908, keseluruhan kisah tentang mode mengalami transformasi. Dapat dikatakan
bahwa awal mode yang modern berada diambang pintu. Konsep yang menghadirkan perubahan
ini adalah kesadaran tentang hakikat ‘bentuk tubuh yang alami’. Perempuan, kini lebih
berpendidikan dan lebih kuat dalam menyatakan dirinya dalam masyarakat, ingin hadir dalam
keberadaan secara alami dan menyangkal pernyataan Beaudelaire bahwa mode dipandang
sebagai suatu usaha yang sublime untuk mendestorsikan alam. Korset yang memaksakan siluet
berbentuk ‘S’ diganti dengan korset yang menghadirkan wanita dengan lurus dan tegak.

Pengaruh Amalia Bloomer dan Mrs. Pankhurst telah berhasil mengatur wanita ke berbagai
tujuan karir, kebebasan yang bertanggung jawab, dan cara hidup baru. Hubungan antara
perubahan-perubahan mode dengan perubahan-perubahan sosial belum pernah sejelas ini
semenjak periode Edwardian mengakhiri masa kejayaannya. Kini, mode berkembang pesat
dan melalui berbagai teknik komunikasi masa seperti majalah, surat kabar, dan radio menyebar
ke segala jurusan. Mode pasca masa Edwardian gampang dibuat dan berkat bakat yang luar
biasa pada Paul Poiret, hadirlah mode yang memukau.

Industri pakaian jadi menyesuaikan dan memproduksi mode ini melalui penerapan berbagai
teknik manajemen dan kondisi kerja yang memadai sampailah produk pakaian jadi kepada
konsumen dengan cepat. Konsumen yang terdiri atas penggemar, pemakai, dan pembuat mode
adalah dari kelas menengah yaitu wanita yang sibuk dan aktif. Namun, aktivitas di berbagai
bidang menuntut busana yang praktis. Dengan gesit Paul Poiret mencium kebutuhan ini dan
buah karyanya menghasilkan rok-rok yang memperlihatkan mata kaki, dikenal sebagai trotteur
atau rok untuk jalan-jalan. Rok-rok jenis ini memudahkan wanita bergerak dengan cepat tanpa
harus memikirkan nasib ‘ekor-ekor’ gaun-gaun menyapu lantai mereka yang selama itu
diusahakan tidak meyentuh tanah.

b. Pra Perang Dunia I


Seiring dengan bentuk busana yang praktis dan modern yang mencerminkan sikap wanita yang
mandiri, timbul hasrat untuk memakai warna warni yang berani. Warna-warna suram masa
Victoria, dan warna-warna lebut suci yang selalu mengikuti keberadaan wanita sepanjang masa
diganti warna-warna berani yang mengejutkan. Asal-usul trend penggunaan warna-warna
berani ini mulai muncul di Paris pada tahun 1905 ketika sekelompok seniman lukis les Fauves
menggemparkan dunia dengan cara memanfaatkan warna, terutama busana-busana ciptaan
Leon Bakst yang dikenakan prima ballerina Anna Pavlova dan Ida Rubenstein.

Leon Bakst dalam menata keseluruhan dekor dan busana panggung dipengaruhi oleh Dunia
Timur, tepatnya oleh Timur Jauh. Berbagai praktek pintu terbuka yang dilakukan berbagai
pemerintah di Asia Timur jauh serta keberhasilan laksamana Perry dalam perundingan dagang
dengan Jepang, membuka perhatian masyarakat barat terhadap segala sesuatu yang bersifat
Oriental. Warna-warna berani, cemerlang, bentuk-bentuk, dan konfigurasi yang berasal dari
busana dan ragam hias Cina dan Jepang serta berbagai efek yang diperoleh melalui seni cetak
kayu Jepang, block print, menjadi tema dalam berbagai ekspresi di Eropa, termasuk dalam
mode.

Dunia intelektual, para sastrawan, penyair, dan cendekiawan sangat memperhatikan dan
seakan-akan merangkul seni lukis modern. Contohnya unsur-unsur yang mendahului ukiran
negro, lukisan pulau-pulau lautan teduh, dan senin Oriental. Bahkan Raoul Dufy merancang
tekstil untuk Paul Poiret, dan mode diberlakukan sebagai seni.

Getaran baru yang dihadirkan oleh mode disajikan kepada segenap lapisan masyarakat.
Semakin berkembangnya teknologi yang diterapkan pada pembuatan pakaian siap pakai
membuat semakin kecil pula perbedaan yang dapat ditonjolkan antara busana pret a porter dan
haute couture. Sikap baru yang ditampilkan perempuan modern berpengaruh pada panjang rok
dan pada karung leher. Sekitar 1908 kerung-kerung yang tinggi mencekik mulai turun sehingga
akhirnya berbagai busana ber-decollete, baik untuk kesempatan di siang maupun di malam
hari menjadi hal yang umum. Sikap baru tersebut juga dipengaruhi dunia sport antara lain
ketika Mrs. Sterry di Inggris pada tahun 1909 untuk kelima kalinya menjadi juara dunia tennis.

Idikasi lainnya yang mengisyaratkan perubahan zaman adalah ketika masyarakat keranjingan
tango, yaitu sejenis tarian dinamis yang memerlukan gerakan-gerakan bebas. Disusul dengan
turkey trot, bunny hog, dan ragtime. Kini orang menari dengan gerakan-gerakan ekspresif
dinamis. Mode perlu meyesuaikan diri.

Perang Dunia I secara tidak langsung membantu perkembangan mode karena perang tersebut
mendorong terjadinya berbagai strategi peningkatan metode produksi yang mengetengahkan
sektor kecepatan dan ketepatgunaan proses produksi industri pakaian jadi. Teknik-teknik jahit
pola, potong, grading, dan penyelesaian harus disesuaikan. Terbukalah pintu bagi produksi
massa pakaian siap pakai. Perkembangan mode pasca Perang Dunia I ternyata sangat
dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada sikap perempuan. Hal ini disebabkan dari perang
ini jumlah pekerja perempuan bertambah dengan pesat. Mereka adalah sosok-sosok mandiri
yang memiliki karir, gaji, masa depan, dan kebebasan untuk menentukan hidup sendiri. Mereka
hadir dalam berbagai sikap dan berasal dari berbagai kelas sosial.

c. Periode di antara dua Perang Dunia


Gaya berpakaian perempuan pasca Perang Dunia I menampilkan pola hijau sederhan. Busana
tampil dengan rok pendek, agak longgar, dan bergaris pinggang rendah. Perempuan periode
tersebut berpenampilan sangat muda dan sprotif, seperti pemuda (ala garconne). Gaya pemuda
ini hadir akibat berbagai faktor diantaranya keinginan untuk mewujudkan suatu ‘persamaan’
dengan laki-laki. Tubuh harus sangat ramping , tegak, dan datar tanpa lekuk-lekuk khas
perempuan, seperti pemuda. Rambut dipotong sangat pendek jongenskop, juga seperti pemuda.

Pengaruh penampilan sesuai mode yang sangat kuat dalam periode 1920-an hingga 1930-an
adalah film-film Hollywood. Pengaruh tersebut selama lebih dari dua puluh tahun berada di
puncak kekuatannya dalam mode. Mirip seorang bintang film Hollywood adalah tujuan utama
upaya berpenampilan. Disamping film, musik juga mempengaruhi mode dalam periode tahun
20-an yang riang gembira atau the gay twenties ini. Jenis musik yang amat berpengaruh adalah
jazz. Jazz diikuti foxtrot, blues, dan Charleston yang mengetengahkan nada-nada lincah,
hangat, dan genit.

Peran perempuan yang semakin menentukan dalam masyarakat membutuhkan jenis busana
yang sesuai, yaitu pakaian yang dibuat dengan teknik tailoring. Di Indonesia dikenal sebagai
mantelpak. Kini kostum dengan teknik pembuatan tailoring yang sudah hadir di masa pasca
Edwardian, telah dikembangkan sebagai busana untuk aktivitas sehari-hari perempuan sibuk.
Bagi perempuan sibuk yang berhadapan dengan berbagai kegiatan sosial dan komersial,
kehadiran perancang mode Gabrielle (Coco) Chanel sangat berarti. Chanel tampil di pentas
mode di akhir tahun 20-an. Selama lebih dari 50 tahun dia berhasil mewujudkan cita-citanya
untuk menampilkan sosok wanita yang modern, rasional, energik juga feminim, bergaya, dan
berselera tinggi.

Di Indonesia, masih dalam pemerintahan Hindia-Belanda remaja putri non Eropa semakin
ingin menyatakan kehadiran mereka melalui kostum praktis modern. Pernyataan ini bermula
dari perempuan yang menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan yang dalam hal ini
berkiblat pada pendidikan yang ada di negeri Belanda. Namun, pada awalnya busana praktis
modern tersebut di atas hanya dikenakan di luar rumah. Hadirnya berbagai sekolah kejuruan
kepandaian putri semenjak 1930-an tambah merangsang minat kaum remaja putri untuk
menjahit baju-bajunya sendiri dengan melihat contoh model yang terdapat di majalah mode
(modeblad).

Masih tetap dalam derap emansipasi perempuan, tahun 30-an juga ditandai dengan adanya
aneka jenis busana yang tadinya merupakan busana khas lelaki seperti pantalon, Bermuda
shorts, polo shirts, blazers, dan lain sebagainya. Emansipasi tersebut juga tampil dalam
berbagai kegiatan sport dan salah satu pengejawantahannya adalah baju renang. Seirama
dengan memuncaknya aktivitas berenang timbul rekreasi jenis baru yaitu berjemur di pantai
menjadi tujuan wisata. Berbagai tujuan wisata memerlukan mode yang memadai, maka
tampillah beachwear, resotwear, dan casualwear.

d. Periode Penemuan Jati Diri


Britania Raya dalam Perang Dunia II adalah salah satu diantara sedikit negara di Eropa yang
tidak berhasil diduduki oelh Hitler. Keadaan mencemaskan tersebut membuat mode tidak ada
tempat apalagi Paris sebagai kreativitas modis, dibungkam oleh pasukan-pasukan Nazi Jerman.
Untuk menanggulangi kekurangan dana dan tenaga akibat perang yang terus berkecamuk,
pemerintah Churchill di Inggris mendekritkan suatu skema yang menentukan kehadiran busana
siap pakai yang hemat dalam penggunaan bahan dan perhitungan ongkos produksi tanpa
mengurangi faktor-faktor kegunaan yang memadai.

Dekrit ini dikenal sebagai Utility Scheme Dresses. Baju-baju utility hanya dapat diperoleh di
toko-toko pemerintah dengan cara menukarkannya dengan berbagai kupon penjatahan. Baju
tersebut dibuat dengan sedikit mungkin hiasan dan penggunaan bahan. Lebar dan panjang gaun
dibatasi. Jumlah lipit-lipit, kerut-kerut, dan kancing dipertimbangkan.

Pada tahun 1945, kesepakatan perdamaian ditandatangani antara pihak-pihak yang bertikai.
Berakhirya perang yang paling kejam yang pernah dialami umat manusia berarti kembali ke
stabilitas dan keteraturan. Mode menjawab kerinduan yang konservatif ini dengan
menghadirkan penampilan yang licin, rata, seimbang, menantang, dan berkualitas. Aspek-
aspek tersebut ditampilkan oleh Christian Dior dalam gagasan New Look-nya. Perempuan
pasca Perang Dunia II awal tahun 1950-an tampil dengan pinggang ramping , rok lebar
sepanjang mata kaki, kerung leher sportif, dan bersepatu tumit tinggi runcing (stiletto heels).

New look dipandang sebagai obat luka perang. Gaya yang romantik ini tersebar di seluruh dunia
dan Hollywood tampil dengan pujaan-pujaan baru seperti Rita Hayworth, Ava Gardner, Jane
Russel. Keseluruhan dari mereka adalah ‘dewi-dewi New Look’. Di Indonesia perempuan
mudanya berlalu lalang dengan idiom yang sama. Usmar Ismail dengan cemerlang
menampilkan Netty Herawati dan Titin Sumarni dalam gaya berpakaian New Look melalui
karya layar putihnya. Semakin jauhlah bayang-bayang gaun-gaun irit bahan. Semakin jauh pula
bayang-bayang gaun-gaun utility.

Suasana romantis perempuan muda tahun 1950-an berlanjut ke gaya yang lebih ceria ialah gaya
dirndl. Gaya ini menghadirkan rok yang sangat lebar. Kesan lebar ini diperoleh melalui rok
dalam petticoat.

Mode tersebut sesuai dengan suasana musik dansa jive, rock n roll, cha-cha-cha, calypso, dan
twist. Irama-irama ini menghangatkan gairah hidup remaja di akhir tahun 1950-an dan di awal
tahun 1960-an. Berbagai pernyataan revolusioner kaum muda pada dasarnya mengeritik
kemapanan, keadaan atau kedudukan yang berkuasa dan bersifat konservatif, dalam hal musik,
seni lukis, lirik lagu dan juga dalam mode. Bagi anak muda cara berpakaian adalah sesuatu
yang bersifat individual. ‘Anti Mode’ adalah salah satu pernyataan anak muda yang pada
dasarnya mengandung suatu proses terhadap berbagai aturan-aturan yang mengacu pada suatu
kekuasaan yang konservatif. Berpakaian dan berpenampilan sesuai kehendak sendiri, kaos
oblong, celana jins, rok mini, pakaian bekas menjadi mode dalam semangat ‘anti mode’
tersebut.

Tahun-tahun 60-an hingga awal 70-an, The Turmoilous Sixties diwarnai dengan musik dan cara
berpenampilan grup The Beatles. Dua perancang mode yang memahami aspirasi kaum muda
tampil dengan sukses. Mereka adalah Mary Quant dan Andre Courreges. Mode kini tak lagi
berkiblat pada Paris semata. Bagi kaum muda mode ada dimana-mana, di toko kecil yang
eksentrik, di penjahit yang mengerti selera remaja bahkan di pasar loak atau kakilima. Kini
kepribadian seorang individu menentukan apa yang pantas bagi dirinya, masyarakatlah yang
menentukan mode.

Hal tersebut mendorong suatu gagasan yang bertujuan mengamati kecenderungan gerak
masyarakat berpakaian. Hasil pengamatan tersebut diintepresentasikan melalui suatu prognosis
yang diramalkan gerak berpakaian masyarakat untuk satu atau dua musim mendatang.
Prognosis tersebut kemudia diinformasikan pada seluruh jajaran industri mode, produsen cat,
benang, tekstil, para perancang, stylist, industri pakaian jadi, grosir, dan pedagang eceran.
Keseluruhan hiruk-pikuk pasca tahun 1960-an menghadirkan berbagai gaya, selera, dan
penampilan. Dua diantara tiga hal tersebut mengendap dan tampil sebagai gaya berpakaian
yang bersifat universal, yaitu jeans dan T-shirt.
Keduanya hampir merupakan seragam bagi umat manusia. Kedudukan sosial, usia, dan asal-
usul tidak lagi penting. Tahun-tahun 1970-an, 1980-an, dan masa kini semakin dilanda
kehadiran pakaian yang praktis dan nyaman dipakai. Casual serta mix n match adalah dua
ungkapan yang mewakili keadaan tersebut. Pakaian harus praktis, modis, nyaman dipakai, dan
tidak terlalu mahal. Perempuan eksekutif kini dengan cermat memilih pakaian mereka dan
perhatian yang besar diberikan pada jenis bahan, teknik jahut, serta penyelesaian, dan
rancangan pola. Berbagai busana yang dibauat dengan teknik jahit tailoring kini semakin
dibutuhkan.

Apa yang akan terjadi di kemudian hari sulit diramal. Mekanisasi dan berbagai penemuan baru
tetap akan mempengaruhi produksi suatu gaun, tetapi status dan aneka koneksi-koneksi sosial
yang dikaitkan dengan mode di masa-masa lalu akan memperoleh hanya sedikit ruang gerak
dalam diunia masa kini dan masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai