Anda di halaman 1dari 9

LTM KEPERAWATAN JIWA II

Rana Jumana
1806270072
Ekstensi 2018

HALUSINASI

1. Definisi
Halusinasi adalah salah satu gejala dari skizofrenia. SDKI (2017) menyebukan
halusinasi termasuk kedalam gangguan persepsi sensori yang didefinisikan perubahan
persepsi terhadap stimulus baik internal maupun eksternal yang di sertai dengan respon
yang berkurang, berlebihan atau terdistorsi. Halusinasi adalah persepsi sensorik palsu
atau pengalaman persepsi yang tidak ada dalam kenyataan (Videbeck, 2010).
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa adanya
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh pancaindra,
pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Yusuf, Fitryasari, & Nihayati,
2015). Persepsi adalah identifikasi dan interpretasi stimulus berdasarkan informasi
yang diterima melalui penglihatan, suara, rasa, sentuhan dan penciuman (Stuart,
Keliat, & Pasaribu, 2016). Halusinasi menurut Stuart (2016), adalah distorsi persepsi
palsu yang terjadi pada respon neurobiologis maladaptif.

Klien sebenarnya mengalami distorsi sensorik sebagai hal yang nyata dan
meresponya, padahal tidak ada stimulus eksternal atau internal yang diidentifikasi.
Sekitar 70% dari orang dengan skizofrenia mengalami halusinasi, meskipun halusinasi
merupakan salah satu tanda yang paling berkaitan dengan skizofrenia. Halusinasi juga
dapat terjadi pada klien dengan penyakit manik depresif atau delirium, gangguan
mental organik, atau gangguan penyalahgunaan zat (Stuart et al., 2016).
2. Klasifikasi
Halusinasi melibatkan panca indera seperti yang diklasifikasikan berdasrkan
tabel dibawah ini (Yusuf et al., 2015) :

Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif

Halusinasi dengar/ suara  Bicara atau tertawa  Mendengar suara-suara


sendiri atau kegaduhan
 Marah-marah tanpa  Mendengar suara yang
sebab mengajak bercakap-
 Mengarahkan telinga cakap
ke arah tertentu  Mendengar suara
 Menutup telinga menyuruh melakukan
sesuatu yang berbahaya
Halusinasi penglihatan  Menunjuk-nunjuk ke  Melihat bayangan,
arah tertentu sinar, bentuk
 Ketakutan pada sesuatu geometris, bentuk
yang tidak jelas kartun, melihat hantu
atau monster
Halusinasi penciuman  Mencium seperti  Membaui bau-bauan
sedang membaui bau- seperti bau darah,
bauan tertentu. urine, feses, dan
 Menutup hidung kadang- kadang bau itu
menyenangkan
Halusinasi pengecapan  Sering meludah  Merasakan rasa seperti
 Muntah darah, urine, atau feses.
Halusinasi perabaan  Menggaruk-garuk  Mengatakan ada
permukaan kulit serangga di permukaan
kulit
 Merasa seperti
tersengat listrik
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gelaja dari halusinasi pada nomer 2 sudah di bahas mengenai data
objektif dan subjektif, selanjutnya berdasarkan intensitas dan level dari halusinasi
maka dapat dikategorikan sebagai berikut (Yusuf et al., 2015).

Level Karaktersitik Halusinasi Perilaku Pasien

TAHAP I  Mengalami ansietas  Tersenyum/tertawa


kesepian, rasa sendiri
 Memberi rasa nyaman
bersalah, dan  Menggerakkan bibir
 Tingkat ansietas
ketakutan tanpa suara
sedang
 Mencoba berfokus  Penggerakan mata
 Secara umum
pada pikiran yang yang cepat
halusinasi merupakan
dapat menghilangkan  Respons verbal yang
suatu kesenangan.
ansietas. lambat
 Pikiran dan  Diam dan
pengalaman sensori berkonsentrasi.
masih ada dalam
kontrol kesadaran
(jika kecemasan
dikontrol)
TAHAP II NON PSIKOTIK  Peningkatan sistem
saraf otak, tanda-tanda
 Menyalahkan  Pengalaman sensori
ansietas, seperti
 Tingkat kecemasan menakutkan
peningkatan denyut
berat secara umum  Mulai merasa
jantung, pernapasan,
halusinasi kehilangan kontrol
dan tekanan darah.
menyebabkan rasa  Merasa dilecehkan
 Rentang perhatian
antipati. oleh pengalaman
menyempit
sensori tersebut
 Konsentrasi dengan
 Menarik diri dari
pengalaman sensori.
orang lain.
 Kehilangan
kemampuan
membedakan
halusinasi dari realita.
TAHAP III PSIKOTIK  Perintah halusinasi
ditaati.
 Mengontrol  Pasien menyerah dan
 Sulit berhubungan
 Tingkat kecemasan menerima pengalaman
dengan orang lain.
berat sensorinya
 Rentang perhatian
 Pengalaman sensori  Isi halusinasi menjadi
hanya beberapa detik
tidak dapat ditolak atraktif
atau menit.
lagi.  Kesepian bila
 Gejala fisika ansietas
pengalaman sensori
berat berkeringat,
berakhir.
tremor, dan tidak
mampu mengikuti
perintah.
TAHAP IV PSIKOTIK  Perilaku panik.
 Potensial tinggi untuk
 Menguasai  Pengalaman sensori
bunuh diri atau
 Tingkat kecemasan menjadi ancaman.
membunuh.
panik  Halusinasi dapat
 Tindakan kekerasan
 Secara umum diatur berlangsung selama
agitasi, menarik diri,
dan dipengaruhi oleh beberapa jam atau hari
atau katatonia.
waham. (jika tidak
 Tidak mampu
diintervensi).
berespons terhadap
perintah yang
kompleks.
 Tidak mampu
berespons terhadap
lebih dari satu orang.
4. Penatalaksanaan
Halusinasi merupakan tanda gejala utama skizofrenia, maka penatalaksanaannya
berdasarkan diagnosis tersebut. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/73/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Jiwa penanganan skizofrenia dengan halusinasi dapat dibagi menjadi
beberapa fase yaitu :

4.1. Fase Akut


4.1.1. Farmakoterapi
Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau
orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya
gejala psikotik dan gejala terkait lainnya misalnya agitasi, agresi dan
gaduh gelisah.

a. Tindakan
1) Langkah Pertama :
• Berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan.
2) Langkah Kedua :
• Keputusan untuk memulai pemberian obat. Pengikatan atau
isolasi hanya dilakukan bila pasien berbahaya terhadap dirinya
sendiri dan orang lain serta usaharestriksi lainnya tidak
berhasil.
• Pengikatan dilakukan hanya boleh untuk sementara yaitu
sekitar 2-4 jam dan digunakan untuk memulai pengobatan.
Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk
mendapatkan awitan kerja yang lebih cepat serta hilangnya
gejala dengan segera perlu dipertimbangkan.
b. Pengobatan :
1) Obat Injeksi
• Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang
setiap 2 jam, dosis maksimum 30mg/hari.
• Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25
mg/hari), intramuskulus.
• Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang
setiap setengah jam, dosis maksimum 20mg/hari.
• Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis
maksimum 30mg/hari.
2) Obat oral :

Obat Antipsikotika Rentang Bentuk Sediaan


Dosis
Anjuran
(mg/hari)
Antipsikotika
Generasi I (APG-I)
Klorpromazin 300 - 1000 tablet (25 mg,100 mg)
Perfenazin 16 – 64 tablet (4 mg)
Trifluoperazin 15 – 50 tablet (1 mg, 5 mg)
Haloperidol 5 – 20 tablet (0.5, 1 mg, 1.5 mg,
2 mg, 5 mg)
Anti Psikotik
Generasi II (APG-
II)
Aripriprazol 10 – 30 tablet (5 mg, 10 mg, 15
mg)
discmelt (10 mg, 15 mg)
Klozapin 150 - 600 tablet (25 mg, 100 mg)
Olanzapin 10 – 30 tablet (5 mg, 10 mg),
zydis (5 mg, 10 mg)
Risperidon 2–8 tablet ( 1 mg, 2 mg, 3 mg)

4.1.2. Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan, stresor
lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan ketenangan
kepada pasien atau mengurangi keterjagaan melalui komunikasi yang
baik, memberikan dukungan atau harapan, menyediakan lingkungan
yang nyaman, toleran perlu dilakukan.

4.1.3. Terapi lainnya


ECT (terapi kejang listrik) dapat dilakukan pada Skizofrenia katatonik
dan Skizofrenia refrakter.

4.2. Fase Stabilisasi


4.2.1. Farmakoterapi
Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau untuk
mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi kekambuhan dan
mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan (recovery). Setelah
diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih
kurang 8 – 10 minggu sebelum masuk ke tahap rumatan. Pada fase ini
dapat juga diberikan obat anti psikotika jangka panjang (long acting
injectable), setiap 2-4 minggu.

4.2.2. Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang dengan
skizofrenia dan keluarga dalam mengelola gejala. Mengajak pasien untuk
mengenali gejala-gejala, melatih cara mengelola gejala, merawat diri,
mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan. Teknik intervensi
perilaku bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini.

4.3. Fase Rumatan


4.3.1. Farmakoterapi
Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal
yang masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama
kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah berjalan kronis dengan
beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan sampai lima tahun bahkan
seumur hidup.

4.3.2. Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali pada
kehidupan masyarakat.Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya
remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi vokasional,
cocok diterapkan pada fase ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga
diajarkan mengenali dan mengelola gejala prodromal, sehingga mereka
mampu mencegah kekambuhan berikutnya.

4.4. Penatalaksanaan Efek Samping


Bila terjadi efek samping, misalnya sindrom ekstrapiramidal (distonia akut atau
parkinsonisme), langkah pertama yaitu menurunkan dosis antipsikotika. Bila
tidak dapat ditanggulangi, berikan obat-obat antikolinergik, misalnya
triheksilfenidil, benztropin, sulfas atropin atau difenhidramin injeksi IM atau IV.
Untuk efek samping tardif diskinesia, turunkan dosis antipsikotika. Bila gejala
psikotik tidak bisa diatasi dengan penurunan dosis antipsikotika atau bahkan
memburuk, hentikan obat dan ganti dengan golongan antispikotika generasi
kedua terutama klozapin. Kondisi Sindroma Neuroleptik Malignansi (SNM)
memerlukan penatalaksanaan segera atau gawat darurat medik karena SNM
merupakan kondisi akut yang mengancam kehidupan. Dalam kondisi ini semua
penggunaan antipsikotika harus dihentikan. Lakukan terapi simtomatik,
perhatikan keseimbangan cairan dan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi,
temperatur, pernafasan dan kesadaran). Obat yang perlu diberikan dalam kondisi
kritis adalah : dantrolen 0.8 – 2.5 mg/kgBB/hari atau bromokriptin 20-30
mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Jika terjadi penurunan kesadaran, segera dirujuk
untuk perawatan intensif (ICU).
Daftar Referensi

Kementrian Kesehatan RI. (2015). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor Hk.02.02/Menkes/73/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Jiwa. Jakarta : Kemenkes RI
Stuart, G. W., Keliat, B. A., & Pasaribu, J. (2016). Prinsip dan praktik keperawatan
kesehatan jiwa Stuart. Keliat BA, editor, 1. Jakarta : EGC
Videbeck, S. L. (2010). Psychiatric-mental health nursing: Lippincott Williams &
Wilkins.
Yusuf, A., Fitryasari, P. K., & Nihayati, H. E. (2015). Buku ajar keperawatan kesehatan
jiwa. In: Salemba empat.

Anda mungkin juga menyukai